Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran
dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam
ulumul quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah
ilmu yang membahas tentang Muhkam Mutasyabbih ayat.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah
mengemukakan tiga pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-
mutasyabih.
1. Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS.
Hud : 1, sebagai berikut :
)1( ‫ت ِم ْن لَّ ُد ْن َح ِك ْي ُم خَ بِ ْي ٍر‬ ِّ ُ‫ت ا يتُهُ ثُ َّم ف‬
ْ َ ‫صل‬ ْ ‫ا ل َر ِكتَبُ اُحْ ِك َم‬

Terjemah Arti: Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Tahu,
2. Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam
QS. Az-Zumar : 39, sebagai berikut :
)39( ‫قُلْ يقَوْ ِم اعملوا علي مكا نتكم اني عا مل فسوف تعلمون‬
Terjemah Arti: Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu,
sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,

3. Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian,
yaitu muhkam dan mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. ‘Ali Imran : 7,
sebagai berikut :
ٌ َ‫ب َوُأ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬
َ‫ات ۖ فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي ٌغ فَيَتَّبِعُون‬ ِ ‫ات ه َُّن ُأ ُّم ْال ِكتَا‬ ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬ َ ‫ك ْال ِكت‬ َ ‫ه َُو الَّ ِذي َأ ْن َز َل َعلَ ْي‬
‫َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء ْالفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَْأ ِويلِ ِه ۗ َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِويلَهُ ِإاَّل هَّللا ُ ۗ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ْال ِع ْل ِم يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد‬
‫ب‬ِ ‫َربِّنَا ۗ َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاَّل ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
Terjemahan Arti :Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di
antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan
yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,
semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini
dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau pemahaman Al-
Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan
pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang
ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang
belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam
mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.
Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran
khususnya dalam ranah Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah
yang membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “ Al-Muhkam Al-Mutasyabih”.
Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan
Muhkam dan Mutasyabbih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya yaitu bab pembahasan.

1.2. Rumusan Masalah


Dalam suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara sistematis dan runtut sesuai
dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun suatu rumusan masalah
yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada makalah ini. Adapun rumusan masalah
tersebut ialah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
2. Bagaimana sebab-sebab adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
3. Apa macam-macam dari Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?
4. Bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih?
5. Apa faedah dari adanya Al-Muhkam dan Al-Mutasyabih?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur'an.Untuk Menambah Pengetahuan
Mengenai Muhkam dan Mutashabih.
2. Untuk Mengetahui Sebab - Sebab Adanya Ayat Mutashabihat.
3. Untuk Mengetahui Macam - Macam Ayat Mutashabihat.
4. Untuk Mengetahui Sikap Para Ulama Terhadap Ayat mutashabihat.
5. Untuk Mengetahui Hikmah dari Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutashabihat.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Al-Muhkam Al-Mutasyabih


Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih dalam buku studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam berasal dari kata ‫ حكمت الد ابة واحكمت‬yang
artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa diartikan,”saya memasang ‘hikmah’ pada
binatang itu”. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali.Muhkam berarti (sesuatu) yang
dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Mutasyabih
secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan
dari yang lain, karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak.
Jadi, tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagainya
membetulkan sebagian yang lain.[3]
Sedangkan menurut terminologi (istilah), muhkam dan mutasyabih diungkapkan para
ulama, seperti berikut ini :
1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan
gamblang, baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih
adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan
hari kiamat, keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok
Ahlussunnah)
2. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus
diimani dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus
diimani, tetapi tidak harus diamalkan.[4]
3. Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan,
lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu
arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa
ditakwilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih sama (semakna-red).[5]
4. Al – Qu’an semuanya muhkamah ,jika dimaksudkan dengan kemuhkamahannya,
bahwa susunan lafadz al-qur,an dan keindahan nadhamnya, sungguh sangat
sempurna, tak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi
lafadznya, maupun dalam segi maknanya.
Dari pengertian-pengertian ulama diatas, sudah dapat disimpulkan bahwa inti
pengertian dari ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar
lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Yang termasuk dalam kategori ayat-
ayat muhkam itu nash (kata yang menunjukkan sesuatu yang dimaksud dengan terang dan
tegas) dan zhahir (makna lahir). Adapun pengertian dari ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-
ayat yang maknanya belum jelas. Yang termasuk dalam kategori ayat-ayat mutasyabih adalah
mujmal (global), mu’awwal (harus ditakwil), musykil, dan mubham (ambigius).
2.2 Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat
diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber
perbedaan mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran :
7
ٌ َ‫ب َوُأ َخ ُر ُمتَ َشابِه‬
َ‫ات ۖ فََأ َّما الَّ ِذينَ فِي قُلُوبِ ِه ْم زَ ْي’ ٌغ فَيَتَّبِ ُع’’ون‬ ِ ‫ات ه َُّن ُأ ُّم ْال ِكتَا‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
ٌ َ‫َاب ِم ْنهُ آي‬
ٌ ‫ات ُمحْ َك َم‬ َ ‫ه َُو الَّ ِذي َأ ْن َز َل َعلَ ْي‬
ْ ْ ‫هَّللا‬ ‫ْأ‬ ‫ْأ‬ ْ
‫َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ ا ْبتِغَا َء الفِ ْتنَ ِة َوا ْبتِغَا َء تَ ِويلِ ِه ۗ َو َما يَ ْعلَ ُم تَ ِويلَهُ ِإاَّل ُ ۗ َوالرَّا ِس ُخونَ فِي ال ِعل ِم يَقُولُونَ آ َمنَّا بِ’ ِه ُك’ ٌّل ِم ْن ِع ْن’ ِد‬
ِ ‫َربِّنَا ۗ َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاَّل ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
‫ب‬
Terjemah Arti: Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama, Wa al-
rasikhuna fi al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna
sebagai hal. Itu artinya, bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang
mendalami ilmunya. Yang kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan
yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui
oleh Allah, sedangkan orang-orang yang mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.
Ada sedikit ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang pertama.
Seperti Imam An-Nawawi, didalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang
paling shahih karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan
uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-
Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun yang
maksudnya hanya diketahui Allah. Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya.
Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam?”.
Dalam al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah al-Rahman ayat 27:
‫ك ُذو ْال َجالَ ِل َواِأل ْك َر ِام‬
َ ِّ‫َويَبْقى َوجْ هُ َرب‬
Artinya: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Surah Taha ayat 5 Allah berfirman:

ِ ْ‫الرَّحْ منُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش اسْـتَوى‬
Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'Arsy.
A. Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab:

1. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat


mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka
mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi
Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta
menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena
mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada
Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid. Ketika Imam
Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:

َ ‫اال ْستِ َوا ُء َم ْعلُوْ ٌم َو ْال َكيْفُ َمجْ هُوْ ٌل َوالسَُّؤ ا ُل َع ْنـهُ بِ ْد َعةٌ َو اَظُـنُّـ‬.
‫ك َرج َُل السُّوْ َء اَ ْخ ِرجُوْ هُ َعنِّ ْي‬ ِ
Artinya: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul),
mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat.
Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa jelas diketahui oleh setiap
orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan
oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih
(penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu,
bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya,
mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut
syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
‫َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِو ْيلَـهُ ِاالَّ هللا ُ َويُقُوْ ُل الرَّا ِس ُخوْ نَ فِى ْال ِع ْل ِم ا َمـنَّا بِه‬
Artinya: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-
orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”.

2. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menkwilkan lafal yang makna lahirnya
mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut
pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan
ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa
merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan
perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi,
bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan
zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri”
dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang
ditempuh oleh ulama Khalaf.
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut
mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalingkan lafal dari
keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena
membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam
Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk
melakukannya.
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga
mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis
riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
.ُ‫ اَنَـا ِم َّم ْن يَ ْعلَ ُم’’وْ نَ تَـْأ ِويْـلَه‬:‫’ال‬ ِ ‫( َو َما يَ ْعلَ ُم تَْأ ِو ْيلَهُ اِالَّ هللاُ َو الر‬: ‫س فِي قَوْ لِ ِه‬
َ َ‫َّاس ُخوْ نَ فِى ْال ِع ْل ِم) ق‬ ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬
)‫(رواه ابن المنذر‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Dan tidak mengetahui
takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata
Ibnu Abbas: “saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.” (HR.
Ibnu al-Mundzir)
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut a‫م‬-Suyuti bahwa Ibnu
Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas.
Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf
(tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang
dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf
dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran
dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih
selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.
B. Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan
Ahlussunnah berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari :
1. Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari
Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika
mengomentari QS. ‘Ali Imran ayat 7 :
“Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabih
untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah
yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
2. Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-
A’masy. Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan :
“Sesungguhnya penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata,
sedangkan orang-orang yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyabih.”
3. Imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian lafadz istawa. Ia
mengatakan: Istawa adalah diketahui. dan bagaimananya adalah sesuatu yang
tidah diketahui. Bertanya tentangnya adalah Bid’ah.

C. Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau
membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1. Bagian yang tak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari
kiamat.
2. Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadz-
lafadz yang ganjil, sulit difahami namun bisa ditemukan artinya.
3. Bagian yang terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh
Ulama’ yang mumpuni saja.
2.3 Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabbih
Dikatakan dengan tegas, bahwa sebab adanya ayat Muhkam dan Mutasyabih ialah
karena Allah SWT menjadikan demikian. Allah membedakan antara ayat – ayat yang
Muhkam dari yang Mutasyabih, dan menjadikan ayat Muhkam sebagai bandingan ayat yang
Mutasyabih.
Pada garis besarnya sebab adanya ayat – ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an ialah
karena adanya kesamaran maksud syara’ dalam ayat – ayat-Nya sehingga sulit dipahami
umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan dengan
bermacam – macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar merupakan hal –
hal yang pengetahuanya hanya dimonopoli oleh Allah SWT saja.
Adapun adanya ayat Mutasyabihat dalam Al – Qur’an desebabkan 3 (tiga) hal :
A. Kesamaran Lafal
1. Kesamaran Lafal Mufrad, dibagi menjadi 2 (dua) :
a. Kesamaran lafal Mufrad Gharib (asing)
Contoh : Lafal dalam ayat 31 surat Abasa: kata Abban (‫ ) َوَأبًّا‬jarang terdapat
dalam al-Qur’an, sehingga asing. Kemudian dalam ayat selanjutnya, ayat 32:
‫َمتَاعًا لَ ُك ْم َوأل ْن َعا ِم ُك ْم‬
Untuk kesenangan kamu dan binatang-binatang ternakmu. (QS. ‘Abasa: 32)
Sehingga jelas dimaksud Abban adalah rerumputan.
b. Kesamaran Lafal Mufrad yang bermakna Ganda. Kata al-Yamin bisa
bermakna tangan kanan, keleluasan atau sumpah.
2. Kesamaran dalam Lafal Murakkab
Kesamaran dalam lafal Murakkab itu disebabkan karena lafal yang Murakkab
terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunan kalimatnya kurang tertib. Contoh
tasyabuh (kesamaran) dalam lafal murakkab terlalu ringkas, terdapat di dalam surah
An-Nisa ayat 3:
َ ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ النِّ َسا ِء َم ْثن َٰى َوثُاَل‬
‫ث َو ُربَا َع‬ َ َ‫وَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسطُوا فِي ْاليَتَا َم ٰى فَا ْن ِكحُوا َما ط‬
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat…”
Ayat di atas sulit diterjemahkan. Karena takut tidak dapat berlaku adil
terhadap anak yatim, lalu mengapa disuruh kawini wanita yang baik-baik, dua, tiga
atau empat. Kesukaran itu terjadi karena susunan kalimat ayat tersebut terlalu singkat.
B. Kesamaran pada Makna Ayat
Kesamaran pada makna ayat seperti dalam ayat-ayat yang menerangkan sifat-
sifat Allah, seperti sifat rahman rahim-Nya, atau sifat qudrat iradat-Nya, maupun
sifat-sifat lainnya. Dan seperti makna dari ihwal hari kiamat, kenikmatan surga, siksa
kubur, dan sebagainya manusia bisa mengerti arti maksud ayat-Nya, sedangkan
mereka tidak pernah melihatnya.
C. Kesamaran pada Lafal dan Makna Ayat
Seperti, ayat 189 surat al-Baqarah:
‫ُورهَا َو ٰلَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ِن اتَّقَ ٰى‬ ‫ْأ‬
ِ ‫ْس ْالبِرُّ بَِأ ْن تَ تُوا ْالبُيُوتَ ِم ْن ظُه‬
َ ‫َولَي‬
“Dan bukanlah kebijakan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebijakan itu ialah kebijakan orang-orang yang bertakwa”.
Sebab kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu
ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan khusus
orang arab. Hingga dalam memahami ayat ini akan sulit bagi orang-orang yang bukan
termasuk orang arab. Dan sejatinya ayat ini adalah diperuntukkan untuk orang yang
sedang melakukan ihram baik haji maupun umrah.
2.4 Macam Macam Ayat Mutasyabihat
A. Menurut Abdul Jalal, macam-macam ayat Mutasyabihat ada tiga macam :
1. Ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak dapat diketahui oleh seluruh umat
manusia, kecuali Allah SWT. Contoh:

ِ ‫َو ِع ْن َدهُ َمفَاتِ ُح ْال َغ ْي‬


‫ب اَل يَ ْعلَ ُمهَا ِإاَّل هُ َو‬
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang
mengetahuinya, kecuali Dia sendiri” (QS. al-An’am : 59)
2. Ayat-ayat yang Mutasyabihat yang dapat diketahui oleh semua orang dengan
jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Contoh: pencirian mujmal,
menentukan mutasyarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang
kurang tertib.
3. Ayat-ayat Mutasyabihat yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan
sains, bukan oleh semua orang, apa lagi orang awam. Hal ini termasuk urusan-
urusan yang hanya diketahui Allah SWT dan orang-orang yang rosikh
(mendalam) ilmu pengetahuan.

1. Mutasyabih Haqiqi, yaitu ayat-ayat yang tidak mungkin diketahui


(maknanya) oleh manusia.
Contoh ayat mutasyabihat haqiqi pada suran Al-An'am : 103 yang artinya:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-An’am: 103)

2. Mutasyabih Nisbi, yaitu ayat-ayat yang samar maknanya bagi sebagian


manusia namun jelas bagi yang lain.

Ayat-ayat jenis ini hanya diketahui maknanya oleh yang kokoh ilmunya dan
boleh ditanyakan jawaban serta penjelasan nya karena memungkinkan, sebab
tidak ada suatu ayat didalam Al-Qur’an yang sama sekali tidak diketahui oleh
seseorang manusia.

Firman Allah dalam surah An-Nisa : 174 yang artinya :

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari


Rabbmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah kami turunkan
kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an).” (QS. An-Nisa: 174)

Orang-orang yang kokoh dalam ilmunya serta memiliki akal cerdik


mengetahui bagaimana membawa ayat-ayat mutasyabih ini kepada makna
yang sesuai dengan makan ayat-ayat yang lain yang tidak mutasyabih,
sehingga Al-Qur’an seluruhnya adalah muhkam tidak ada kesamaran
didalamnya.
B. Contah-Contoh Ayat Muhkam dan Mutasyabih
1. Contoh ayat muhkam

َ ‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوُأ ْنثَى َو َج َع ْلنَ’ا ُك ْم ُش’عُوبًا َوقَبَاِئ َل لِتَ َع’ا َرفُوا ِإ َّن َأ ْك‬
ِ ‫’ر َم ُك ْم ِع ْن’ َد هَّللا‬
‫َأ ْتقَا ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬
Artinya: “ hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seseorang laki-laki dan seorang perempuan dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal”. (Al-Hujarat: 13)

‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ا ْعبُدُوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم َوالَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬
Artinya: “hai manusia, sembahlah tuhanmu yang telah menciptakanmu
dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (Al-Baqarah:
21)

‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا‬


Artinya: “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”.
(Al-Baqarah: 275)
2. Contoh ayat Mutasyabih

ِ ْ‫الرَّحْ َمنُ َعلَى ْال َعر‬


‫ش ا ْستَ َوى‬
Artinya: “ yaitu Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas
Arsy”.
(Thaha: 5)

ُ‫ك ِإاَّل َوجْ هَه‬


ٌ ِ‫ُكلُّ َش ْي ٍء هَال‬

Artinya: “ tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah Allah”. (Al-


qashash: 88)

‫ق َأ ْي ِدي ِه ْم‬
َ ْ‫يَ ُد هَّللا ِ فَو‬
Artinya: “tangan-tangan Allah diatas tangan mereka”. (Al-Fath: 10)

2.5 Pembagian ayat-ayat mutasyabih


1. Mutasyabih daris segi Lafaz
a. Yang dikembalikan kepada lafaz yang tunggal yang sulit pemaknaannya
seperti, dan . dan yang dilihat dari segi gandanya lafaz itu dalam
pemakaiannya seperti lafaz
b. Lafaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya yang seperti ini
ada tiga macam :
1. Mutasyabih karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah Yang
dimaksud dengan disini sudah mencakup
2. Mutasyabih karena luasnya kalimat, seperti firman Allah : Niscaya
akan lebih mudah dipahami jika diungkapkan dengan Mutasyabih
karena susunan kalimat, seoerti firman Allah : Akan lebih mudah
dipahami bila diunggkapkan dengan
3. Mutasyabih dari segi maknanya Mutasyabih ini adalah menyangkut
sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan
terjadinya.semua sifat yang demikian tidak dapat di gambarkan
secara konkret karena kejadiannya belum pernah dipahami oleh
siapapunn.
2. Mutasyabih dari segi lafaz dan makna Mutasyabih dalam segi ini menurut As-
suyuthi, ada lima macam :
1. Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz umum dan khhusus
2. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunnah
3. Mutasyabih dari segi waktu
4. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana ayat itu diturunkan
5. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu
tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan,
misalnya ibadah shalat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak
cukup syaratnya.
2.6. Hikmah adanya ayat-ayat Mutasyabih
Ada seseorang yang bertanya “ mengapa Allah menjadikan ayat Mutasyabihat
di dalm kitab suci-Nya, dan mengapa tidak dijadikan semua ayatnya muhkamat ?
Bagi orang yang mengetahui tabiat manusia sebagai mahluk yang memiliki
kebebasan berakal, dan diberi beban kewajiban; yang tidak seperti binatang ternak,
atau benda-benda padat yang dapat dibentuk; atau seperti malaikat yang diberi fitrah
untuk taat tanpa pengaruh keinginnan mereka….karena manusia dapat mengaktikan
kekuataan dan kemampuan aklnya.
Bagi rang yang mengetahui sifat suatu agama, dan sifat pemberian beban
kewajiban yang berlaku didalamnya; yakni kewajiban yang di dalamnya terdapat
beban dan jerih payah yang dimaksudkan sebagai pelatihan manusia di dunia demi
kehidupannya yang abadi di akhirat, dengan adanya konsekuensi pemberia pahala dan
balasan atas jerih payah itu.
Bagi orang yang mengatahui tabiat Islam yang berbicara kepada oranmg-
orang yang mau mempergunakan akalnya, dan hendak menggerakkan akal mereka
untuk meneliti dan melakukan ijtihad; mengkaji dan mengambil kesimpuln, serta
tidak menghendaki mereka bermalas-malasan dan tidak mau berpikir.
Dan bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia diantara mereka ada
yang senang terhadap bentuk lahiriah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal
suatu nash,. Ada yang memberikan perhatian kepada spiritualitas suatu nash, dan
tidak merasa cukup dengan lahiriahnya; sehingga ada orang yang menyerahkan diri
kepada Allah dan ada orang yang melakukan penakwilan, ada manusia intelak dan
ada manusia spiritual. Karena Al-qur’an ditujukan untuk semua kalangan manusia,
maka kebijakan Allah menghendaki firman-Nya mencakup semua kategori tersebut,
dan mengandung berbagai petunjuk dan dalil-dalil yang memberikan bimbingan
kepada kebaikan, tentunya setelah mereka berjerih payah meneliti dan mencarinya,
sehingga mereka dapat mersaih derajat yang tinggi di dunia ini, dan diberi pahala di
akhirat kelak.
Ayat-ayat al-Quran baik yang muhkam maupun yang mutasyabih semuanya
bersumber dari Allah swt. Jika yang muhkam maknanya jelas dan mudah dipahami
sementara yang mutasyabih maknanya samar dan tidak semua orang dapat
manangkapnya, mengapa tidak sekalian saja diturunkan muhkam sehingga semua
orang dengan mudah memahaminya. Oleh karena itu para ulama berusaha melakukan
pengkajian untuk mengetahui rahasia dan hikmah tersebut.
Adapun hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih dalam al-Quran diantaranya :
Ayat-ayat mutasyabih mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk
mengungkap maksudnya dengan jalan lebih giat belajar, tekun mengkaji sehingga
menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
Sekiranya al-Quran seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu mazhab.
Sebab, kejelasannya akan membatalkan semua mazhab diluarnya. Sedangkan yang
demikian tidak dapat diterima semua mazhab dan tidak memanfaatkannya. Akan
tetapi jika al-Quran mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing dari
penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya.
Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat Allah Swt bagi manusia yang
lemah yang tidak mampu mengetahui segala sesuatu.
Keberadaan ayat-ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia,
apakah mereka percaya atau tidak tentang hal-hal ghaib berdasarkan berita yang
disampaikan oleh orang benar. Sebagai bukti atas kelemahan dan kebodohan manusia.
Bagaimanapun besar kesiapan dan banyak ilmunya, namun Tuhan sendirilah yang
mengetahui segala-galanya. Adanya ayat-ayat mutasyabih dalam al-Quran merupakan
sebuah bukti kemukjizatannya.
Mempermudah orang menghafal dan memeliharanya. Sebab setiap lafal yang
mengandung banyak penafsiran yang berakibat pada ketidakjelasan akan menunjuk
banyak makna. Sekiranya makna-makna tersebut diungkapkan dengan lafal secara
langsung niscaya al-Quran menjadi berjilid-jilid. Hal ini tentunya menyulitkan untuk
menghafal dan memeliharanya. Memberikan ruang kepada manusia untuk
menggunakan potensi yang ada yaitu akal disamping dalil-dalil yang naqli. Untuk
berperan dalam mengemukakan argumen sehingga ia bebas dari taqlid.1
2.7 Hikmah Ayat-ayat Muhkamat
Adanya ayat-ayat muhkamatdalam al-Quran jelas banyak hikmahnya bagi umat
manusia, diantaranya sebagai berikut :
Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya
lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti
dan faedahnya bagi mereka.
Memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan mereka
dalam mengahayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-
ajarannya.
Mendorong umat agar giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan al-
Quran.
Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya,
karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya.
Memperlancar usaha penafsiran atau penjelasan maksud kandungan ayat-ayat al-
Quran.
Membantu para guru, dosen, muballigh, dan juru dakwah dalam usaha menerangkan
isi ajaran kitab al-Quran dan tafsiran ayat-ayatnya kepada masyarakat.
Mempercepat usaha tahfidzul Qur’an (penghafalan al-Quran).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Muhkam menurut terminologi artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna
ungkapan lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Sedangkan mutasyabihat adalah
ungkapan yang makna lahirnya masih samar. Seperti yang penulis ungkapan pada pengertian
muhkam dan mutasyabihat pada pembahasan bab pertama tadi, artinya penulis sepakat bahwa
yang dimaksud dengan muhkam adalah sebuah ayat yang maksudnya sudah dapat dipahami
tanpa penafsiran lebih detil, sementara yang dimaksud dengan mutasyabihat adalah ayat yang
masih samar-samar dan perlu penjelasan lebih detil supaya dalam memahami ayat lebih
mudah.
Adapun pendapat ulama mengenai ayat muhkam tidak ditemukan perbedaan yang
sangat mendasar, sementara dalam memahami ayat mutasyabihat para ulama sepakat bahwa
dalam memahami ayat tersebut membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk
menjelaskannya.
Diantara hikmah keberadaan ayat muhkam dan mutasyabihat dalam al-Qur’an,
adalah:
a. Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
b. Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
c. Memberikan pemahaman abstrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi
yang biasa disaksikannya.
3.2 Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui perbedaan
antara ulama satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, kita sebagi mahasiswa tidak
sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena setiap
pendapat yang dikeluarkan oleh para ulamak tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus
lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
2.1 Pengertian Al-Muhkam Al-Mutasyabih......................................................................3
2.2 Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Al-Mutasyabih..........................................4
2.3 Sebab-Sebab Adanya Ayat Mutasyabbih....................................................................7
2.4 Macam Macam Ayat Mutasyabihat.............................................................................8
2.5 Pembagian ayat-ayat mutasyabih...............................................................................11
2.6. Hikmah adanya ayat-ayat Mutasyabih.....................................................................11
2.7 Hikmah Ayat-ayat Muhkamat....................................................................................13
BAB III PENUTUP..................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................14
3.2 Saran..............................................................................................................................14
KATA PENGANTAR

ُ‫ال َّسالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam
juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan
keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan
kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu
pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Ulumul Quran pada Program Studi
Tasawuf Psikoterapi dengan ini penulis mengangkat judul “Al-muhkam Wal Mutasyabih”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

ُ‫َو ال َّسالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َرحْ َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


Bandung, 17 September 2019
Tim Penyusun

Kel. 07/TP’C
DAFTAR PUSTAKA

http://ruzirahmawati.blogspot.com/2011/12/ayat-muhkam-dan-mutasyabih.html
https://ebdaaprilia.wordpress.com/2013/05/21/makalah-ulumul-quran-muhkam-mutasyabih/
http://amirsabri.blogspot.com/2015/01/muhkam-dan-mutasyabih-a.html
http://ragam-news.blogspot.com/2013/04/ayat-muhkam-dan-mutasyabih.html
http://makalah2107.blogspot.com/2016/07/makalah-muhkam-mutasyabih.html

Anda mungkin juga menyukai