Anda di halaman 1dari 16

Makalah

SEJARAH DAN PEMIKIRAN TASAWUF DI JAWA TENGAH DAN


YOGYAKARTA

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah SPTI

Dosen pengampu: Drs. Tamami, M.Ag

oleh:

kelompok 5 (TP-2C)

1. Mukrimah Aulia (1191040103)


2. Noviana Rahmawati (1191040109)
3. Rahmi (1191040120)
4. Rika Annisa. N (1191040125)
5. Rima Dewi Puspita (1191040127)

JURUSAN TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
SEJARAH DAN PEMIKIRAN TASAWUF DI JAWA TENGAH DAN
YOGYAKARTA

A. Pendahuluan
Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit seperti
yang dipahami oleh masyarakat Islam sendiri pada umumnya. Dalam sejarah
terlihat bahwa Islam bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Dari persentuhan tersebut
lahirlah sebagai disiplin ilmu keislaman, salah satunya adalah tasawuf.
Sebagian ahli sejarah berkata bahwa agama Islam masuk ke Indonesia
tidak langsung dari tanah Arab, tetapi melalui negeri Persia dan India, dibawa ke
Indonesia oleh pedagang atau oleh mereka yang memang khusus datang untuk
menyiarkan agama Islam. Jika kita perhatikan, agama Islam masuk ke Indonesia
sekitar abad keempat dan kelima hijriah, maka paham-paham sufi dan tasawuf
yang sedang tersebar luas dan mendapat perhatian umum dalam negara-negara
Islam ketika itu.
Secara garis besar, tasawuf adalah sifat dan sikap kesucian kaum sufi. Dari
itu karena tasawuf merupakan ilmu tentang kesucian jiwa, maka tasawuf adalah
dasar atau landasan dari berbagai ilmu. Sedangkan sumber ilmu tasawuf sendiri
adalah Al-Qur'an, As-Sunnah serta Qiyas dan Ijma para Ulama.
Seperti yang kita ketahui, tasawuf sangat menyebar di Indonesia terutama
di pulai Jawa. Karena Jawa merupakan titik tumpu Indonesia dari berbagai aspek.
Diantaranya adalah ekonomi, budaya maupun sosial. Seperti yang disebutkan
terdahulu bahwa Aceh mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyebaran
pemikiran tasawuf di gugusan pulau Melayu-Nusantara. Termasuk juga dalam
hal ini adalah pemikiran tasawuf di pulau Jawa karena bagaimana pun harus
diakui bahwa tampilnya para sufi Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-
Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abd Ra'uf As-Sinkli cukup mempengaruhi
sufi-sufi di daerah lain termasuk pulau Jawa1.

B. Pembahasan
a. Sejarah Penyebaran Islam di Jawa Tengah dan Yogyakarta
Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebar Islam di Jawa
adalah
para Wali Songo. Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan,
tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Bahkan, seringkali seorang
raja seakan-akan baru sah sebagai raja kalau ia sudah diakui dan diberikan
oleh Wali Songo. Islam telah tersebar di pulau jawa paling tidak sejak Malik

1
Solihin, sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 77
Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-islam diutus
sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah
(1349-1406 M), seorang raja pertama yang benar-benar muslim.
Namun demikian, sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada
pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada
abad ke-9 H/14 M, sekitar tahun 1524-1546 penduduk pribumi memeluk
Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat
itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu
ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra
Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan
oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu maupun Budha
di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam
The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke
Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan
merebut kekuasaan politik
b. Kerajaan dan Pusat Penyebaran Islam di Jawa Tengah
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan islam pertama sekaligus pusat
penyebaran agama islam di pulau Jawa. Secara geografis, kerajaan Demak
terletak di daerah Demak, didaerah Jawa Tengah. Demak juga dikenal dengan
sebutan Bintoro atau Glagah wangi yaitu bagian dari kerajaan Majapahit yang
kemudian merdeka. Namun, kerajaan Demak tidak pernah lepas dari pengaruh
kerajaan majapahit. Tentu saja, karena raja dari kerajaan Demak, Raden Fatah
adalah seorang bupati dari kerajaan Majapahit berpindah kepercayaan menjadi
Islam.
Masa kejayaan Demak terjadi pada masa Raden Patah. Pada masa
kepemimpinannya, kerajaan Demak berkembang dengan cepat karena
pengaruh dari Wali Songo. Kejayaan Raden Patah dalam memimpin kerajaan
Demak terjadi pada tahun 1511. Daerah kekuasaannya pun meluas hingga
daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam memimpin kerajaan
Demak. Raden Patah dibantu oleh anaknya Pati Unus atau yang dikenal juga
dengan julukan Pangeran Sabrang Lor. Setelah Raden Patah wafat, Pati Unus
lah yang melanjutkan kepemimpinan kerajaan. Namun kepemimpinan Pati
Unus hanya tiga tahun, beliau wafat pada 1521 M dan kepemimpinan pun
diberikan kepada adiknya yaitu Pangeran Trenggono. Beliau menjabat selama
25 tahun dari tahun 1521-1546. Islam mengalami penyebaran yang sangat
cepat ke seluruh Jawa bahkan sampai Kalimantan. Hal ini merupakan usaha
Trenggono yang bergelar Sultan Ahmad Abdul Tuban sekitar tahun 1527.
Penaklukan Demak selanjutnya ,meliputi Madiun, Blora (1530),
Surabaya(1531), Pasuruan(1535), Lamongan. Pengakuan kekuasaan Demak
oleh Banjarmasin dan Palembang semakin memperluas persebaran Islam itu
sendiri. Dibantu oleh Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat, daerah
pedalaman sekitar gunung Merapi, Penggin, dan Pajang juga menyatakan
tunduk pada Demak.
2. Kerajaan Pajang

Kerajaan Pajang merupakan kelanjutan dari kerajaan Islam Demak.


Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging. Ia
adalah menantu Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan dari tangan Arya
Penangsang pada tahun 1546 M, seluruh kebesaran kerajaan dipindahkan ke
Pajang dan ia sendiri bergelar merupakan raja pertama yang bergelar Sultan
Hadiwijaya.

Pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya, ia berusaha memperluas


wilayah kekuasaan ke pedalaman kearah timur sampai ke Madiun, setelah itu
beliau menaklukan Blora pada tahun 1554 M dan Kediri pada tahun 1577 M.
Pada tahun 1581 M, ia mendapat pengakuan dari para raja di Jawa sebagai raja
Islam. Pada masa pemerintahannya , kesastraan dan kesenian keraton yang
sudah maju di Demak dan jepara lambat laun dikenaldi pedalaman Jawa.
Demikian pula pengaruh Islam semakain kuat di pedalaman Jawa.

3. Kerajaan Mataram Islam


Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati. Setelah
permohonan Senopati Mataram atas penguasa pajang berupa pusaka kerajaan
dikabulkan, keinginan untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi. Sebab
dalam tradisi Jawa, penyerahan seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Senopati
berkuasa sampai tahun 1601 M.
Sepeninggalnya, ia digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang
yang terkenal dengan Sultan Seda Ing Krapyak kemudian digantikan oleh Sultan
Agung yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusuma Sayidin Panataagama
Khalifatullah ing Tanah Jawi (1613-1646). Pada masa pemerintahan Sultan
Agung inilah kontak senjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
Pada tahun 1646 M, Sultan Agung digantikan oleh putranya, Amangkurat I.
Pada masanya, terjadi perang saudara dengan pangeran Alit yang
mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya para pendukungnya dibantai pada
tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden kajoran 1677
dan 1678 M.
Pemberontakan seperti itulah yang menyebabkan keruntuhan Kerajaan Islam
Mataram.
4. Kudus
Kudus (dalam bahasa jawa untuk al-Quds yaitu baitul makdis) ialah nama
yang diberikan kepada tempat waktu dinyatakan sebagai tempat suci oleh Sunan
Kudus pertama, yang sebelumnya di Demak sebagai imam jama’ah. Menurut
legenda, Mbah Kiai Telingsinglah yang mula-mula menggarap tempat yang
kemudian menjadi kota Kudus. Beberapa orang menyebut dia seorang cina islam,
nama semula The Lin Sing.
Kota Kudus sudah terkenal di jawa dan bahkan Nusantara sebagai pusat
agama. Masjid rayanya diberi nama Al-Manar atau Al-Aqsha, seperti masjid suci
di Baitul Makdis. Ada ahli yang mengatakan bahwa para pengunjung barat sudah
sejak abad XVII mengagumi masjid Menara kudus, suatu bangunan yang kukuh
tampan dan yang arsitekturnya jelas-jelas diilhami oleh candi-candi pra Islam2.
c. Sejarah Perkembangan Tasawuf Di Jawa Tengah Dan Yogyakarta

Perkembangan tasawuf di Indonesia sendiri khususnya Pulau Jawa, adalah


termasuk salah satunya berkat para Sufi yang ada di tanah Jawa. Di tanah Jawa
sejak dahulu memang kental dengan nuansa dimensi ruhaninya. Semenjak zaman
Wali Songo yang diyakini sebagai penyebar agama Islam pertama, Islam
menyebar dengan mengedepankan aspek eksoterismenya. Hal ini tidak terlepas
dari jargon bahwa orang Jawa gone semu. Orang Jawa sepertinya lebih menyukai
dimensi batin dibandingkan dengan syariat oriented, meski hal ini tidak berarti
terjadi pengabaian soal syariat.

Berkat ridho dan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Sunan Bonang
yang berdarah campuran Samarkan – Campa, dengan cepat dapat menguasai
bahkan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai media dakwahnya. Inti ajaran-
ajaran tasawuf yang bersumber dari Al Ghazali, dengan sentuhan kelembutan dan
cinta kasih Jalaluddin Rumi, mengilhami serta mengobarkan semangatnya untuk
mengajarkan “wirasating ilmu suluk” atau jiwa ajaran tasawuf kepada masyarakat
Jawa yang beragama Syiwa – Budha dan menyenangi mistik. Tasawuf yang
menurut Al Ghazali merupakan jiwa ilmu-ilmu agama, disyiarkan melalui
berbagai media komunikasi yang hebat yang belum pernah dikenal masyarakat.

Ia menciptakan aliran silat tenaga dalam yang menggunakan jurus-jurus


yang dinamai sesuai alpabetik huruf Arab, guna menggembleng jiwa raga para
cantrik atau muridnya sekaligus sebagai sarana belajar huruf Arab. Ia
2
Akhmad Nadirin, "Peradaban Islam di Jawa Tengah", 2014, hlm. 2-5
menyempurnakan instrumen gamelan Jawa serta menggubah irama-irama yang
baru dan khas, sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Ia menyusupkan
secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman dalam adat-istiadat dan budaya
kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia berkhotbah dengan mendendangkan
tembang-tembang yang indah dan merdu, yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam
khususnya tasawuf. Tembang-tembang itulah yang kemudian kita kenal sebagai
Suluk-Suluk Sunan Bonang.

Segala yang dirintis Sunan Bonang tersebut mendapat dukungan para wali
seperguruan dan murid-muridnya, bahkan dikembangkan oleh terutama murid
andalannya yaitu Sunan Kalijaga serta cucu muridnya yaitu Sunan Muria. Ajaran-
ajaran itulah yang kemudian menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf Jawa, yakni
ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan kebudayaan Jawa.

Metode dakwah seperti itu disamping memiliki banyak keunggulan, ada


pula kelemahannya, yang menurut penilaian Prof.K.H.Ali Yafie, belum sempat
tuntas disempurnakan, datang penjajahan Belanda yang membawa tata nilai yang
bukan saja baru, tapi juga dengan membawa agama lain berusaha menggilasnya.
Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain berupa dipakainya tamzil dan simbol-
simbol adat kebudayaan Jawa yang masih bercorak Syiwa atau Hindu-Budha,
yang bisa multi tafsir bersama dengan kebudayaan Arab, Persi dan Melayu.

Demikian juga penyusupan nilai-nilai keislaman dalam adat-budaya yang


dilakukan secara bertahap, yang semula dimaksudkan agar mudah dipahami dan
tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Kelemahan-kelemahan tersebut
sesungguhnya dari awal juga sudah diduga dan dikuatirkan oleh wali-mubalig
lainnya, yaitu Sunan Ampel (ayahanda Sunan Bonang sendiri), Sunan Giri
(saudara seperguruan Sunan Bonang) dan Sunan Drajat, yang dalam cerita-cerita
rakyat disebut Golongan Islam Putih. Mereka berpendapat Islam harus disyiarkan
sebagaimana aslinya secara lurus. Oleh sebab itu segala adat-istiadat yang tidak
sesuai harus langsung dibuang, agar di kemudian hari tidak timbul salah persepsi
yang membingungkan. Islam harus diajarkan secara murni dan bersih dari segala
tata nilai yang mengotorinya, bagaikan kain putih yang bersih dari segala kotoran.
Pendapat ini dipatahkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, yang khawatir
dakwah akan gagal jika memaksakan kehendak tanpa mau memahami kondisi
nyata sasaran dakwahnya. Bahwa ada kekurangan dan kelemahan, biarlah waktu
dan generasi-generasi berikutnya yang menyempurnakan. Sunan Bonang yakin,
umat Islam Jawa di masa depan akan bisa memahami sendiri mana yang baik dan
mana yang buruk, dan pada saat itu mereka akan membuang hal-hal yang tidak
sesuai dengan aqidah.
Penjelasan tadi akhirnya bisa diterima, dan selanjutnya para wali yang lain
juga ikut memberikan sumbangan serta peran yang sangat berarti dalam
pengembangan kebudayaan Jawa yang bernafaskan Islam. Di bidang seni suara,
lahir tembang-tembang Dandanggula ciptaan Sunan Kalijaga, tembang
Asmaradana dan Pucung oleh Sunan Giri, Sunan Bonang menciptakan tembang
Durmo, Sunan Kudus mencitakan Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria
menciptakan Sinom dan Kinanti, sedangkan Sunan Drajat menciptakan tembang
Pangkur. Mereka juga menggubah seni wayang menjadi seni wayang kulit seperti
yang sekarang sangat popular, berikut lakon-lakon khusus yang tidak ada di dalam
pakem induk pewayangan, yaitu pakem induk Ramayana dan Mahabarata.
Demikian pula seni budaya yang lain, dikembangkan secara luar biasa misalkan
seni ukir dan seni arsitektur.

Hal lain yang juga menghambat penyempurnaannya sebagaimana


dikhawatirkan Sunan Ampel, adalah peristiwa beberapa saat sebelum orang-orang
Eropa berdatangan ke tanah Jawa, yakni berpindahnya kekuasaan Kesultanan
Demak dari tangan Sultan Trenggono, putera dari pendiri Kesultanan, yaitu Raden
Patah yang tiada lain adalah menantu Sunan Ampel dan ipar Sunan Bonang
sendiri, ke tangan Sultan Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono) yang paham
mistis kejawennya lebih kuat dibanding keislamannya. Sebagai akibatnya, di
kemudian hari sering timbul kerancuan dalam memahami tasawuf Jawa yang
dirintis Sunan Bonang tersebut. Bahkan tidak jarang orang menganggap tasawuf,
khususnya tasawuf Jawa, sebagai ilmu mistis semata yang tidak beda dengan
ilmu-ilmu perdukunan.

Islam dengan corak tasawuf merupakan ajaran yang kental di Mataram


(Yogyakarta-Surakarta kuno) dan lebih kental dibanding periode kerajaan Islam
sebelumnya seperti Demak Bintaro yang berumur singkat. Jika dilirik ke belakang
lagi, sejatinya laku atau sikap hidup manusia Jawa itu, kata Konco Kaji Keraton
Yogyakarta Ki Ridwan, cenderung pada tasawuf. Termasuk keyakinan kosmologi
tentang Tuhan Yang Satu. Sehingga, ketika diperkenalkan pertama kali dengan
Islam yang bercorak tasawuf oleh para wali, yang terjadi ialah adanya hubungan
integral. Dalam analogi budayawan kondang Emha Ainun Najib, pertemuan Jawa
dan Islam bagaikan botol bertemu tutupnya. Bahkan, kata Cak Nun, sebelum
Islam datang, manusia Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.
“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,”
katanya menyinggung perbedaan Islam simbolik dan substansial. Jikapun ada
pengaruh eksternal seperti kisah pewayangan, Sunan Kalijaga tetap memberi
ruang masuknya konsep Islam seperti ‘insan kamil’. Sunan Kaligaja membuat
modifikasi sedemikian rupa, sehingga ada yang kita kenal dengan Punakawan
yang masing-masing perannya mengandung makna filosofis dan sufistik.

Sedemikian kentalnya corak ini, konsep falsafah Sangkan Paraning


Dumadi, Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konteks ke-ilahiyah-an
digambarkan dengan jelas dalam planologi kota Yogyakarta. Misalnya, garis
imajiner dari Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggun Krapyak, hingga pantai
selatan ditafsirkan sebagai manifestasi ke-Ilahiya-an (Jagad Ageng) yang harus
diimbangi dengan hubungan dua sosok manusia sebagai manifestasi Jagad Alit
yang diwujudkan dalam bentuk simbolik berupa Lingga (Tugu) – Yoni (Panggung
Krapyak).

Dalam buku “Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX”


(Wahyukismoyo, 2007), secara singkat, garis imajiner itu juga dapat dimaknai
sebagai kirab perjalanan hidup seorang anak manusia yang tercipta dari plasma
nutfah hingga suatu saat kelak nanti harus kembali kepada pangkuan-Nya.

Berbicara tentang berdirinya Kerajaan Islam Mataram ini, tidak lepas dari
pengaruh, petunjuk dan bimbingan spiritual Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng
Griring, Ki Juru Mertani serta Sunan kalijaga. Dari Ki Ageng Pemanahan, lahirlah
Panembahan Senopati. Dan dari Panembahan Senopati, terlahirlah para raja
Mataram. Sebelum Kerajaan Mataram berdiri pun dikabarkan murid-murid Syekh
Siti Jenar telah menyebar hingga ke pedalaman selatan Jawa. Tokoh spiritual Ki
Ageng Sela pun termasuk murid tidak langsung dari Syekh Siti Jenar. Karena itu,
para pendiri Mataram yang ajarannya diwarisi keraton masa ke masa itu, selaras
dengan kecenderungan masyarakat di bagian selatan Jawa yang sebelumnya
populer dengan ajaran mistis Syekh Siti Jenar.

Senada dengan Nancy, menurut Prof. Dr. Abdul Hadi, dimensi mistis
Islam Jawa tak bisa lepas dari ajaran Islam itu sendiri yang menyentuh Jawa
pertama kali. Hal ini, lanjut Sastrawan dan budayaan ini, karena sebagian besar
penyebar Islam adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam
berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat.
Bahkan, para sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan kalender Islam,
penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti maulid dan lain-lain.

Dengan proses akulturasi yang panjang, Islam Jawa semakin mendapatkan


bentuknya yang khas, esoteris-kultural, ketika Islam masuk ke pedalaman Pajang
lalu akhirnya Mataram. Sejak Mataram inilah, peradaban Islam Jawa mulai
terbangun. Hal ini bisa juga dilihat dari tradisi keagamaan yang beraroma mistis,
hingga terbentuk pola yang mengakar dengan dasar siklus penanggalan Jawa
Islam – mulai dari Suro, Sapar, Maulud, dan seterusnya – karya monumental
Sultan Agung3.

d. Tokoh-Tokoh Yang Berperan Dalam Penyebaran Tasawuf Di Jawa Dan


Yogyakarta
1. Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang
tergabung dalam walisongo, yang lahir sekitar 1500an Masehi. Nama lengkapnya
adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan
Sunan Ngudung. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di
Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri)
yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kesultanan Islam
Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.

Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah


islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural yang begitu kuat. Hal ini
sangat tampak jelas pada Menara Kudus yang merupakan hasil akulturasi budaya
antara Hindu-China-Islam yang sering dikatakan sebagai representasi menara
multikultural. Aspek material dari Menara Kudus yang membawa kepada
pemaknaan tertentu melahirkan ideologi pencitraan tehadap Sunan Kudus. Oleh
Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system komunikasi
yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi oleh objek
pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus selain dapat
ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa ditemukan di dalam
sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni maupun cerita rakyat yang
berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini ia populer sebagai seorang wali
yang toleran, ahli ilmu, gagah berani, kharismatik, dan seniman.

Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula
yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di
Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat
Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah
memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.

Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan


Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan
Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya
setempat. Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap
pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya.
3
http://ayundaleni.blogspot.com/2016/12/makalah-anatomi-fisiologi-manusia.html?m=1 diakses pada
tanggal 05 Mei 2020 pukul 12.03 WIB
Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum
muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.

Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik


masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka
kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal
lain dari ajaran yang dibawa oleh ia. Lama-kelamaan, bermula dari situ,
masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan
petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi
lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih
sapi. Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui
zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai
akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh penyebar Islam di Indonesia
pada umumnya.

Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa


Kerjasan, Kota Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan
masih bertahan hingga sekarang. Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia
saat menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud.
kemudian dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.

2. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Walisongo, lahir pada tahun 1450
Masehi dari Raden Ahmad Sahuri (seorang Adipati Tuban VIII) dan Dewi
Nawangarum (putri Raden Kidang Telangkas / Abdurrahim Al-Maghribi).
Dikenal sebagai wali yang sangat lekat dengan muslim di Pulau Jawa, karena
kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa.
Makamnya berada di Kadilangu, Demak.

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden
Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau
Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat
Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan
Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi


Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria),
Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah. Maulana Ishak memiliki anak bernama Sunan
Giri dan Dewi Saroh. Mereka adalah kakak beradik.
Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang
selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi di kerajaannya,
merampok orang-orang yang kaya. Hasil curiannya, dan rampokanya itu akan ia
bagikan kepada orang-orang yang miskin. Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat


akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika
Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang Ia menggunakan
seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah.
Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul
Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta
lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu Petruk Jadi Raja.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa


memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran,
Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

3. Syekh Muslih Abdurrahman


KH Muslih Abdurrahman lahir pada 1908 dari pasangan KH.
Abdurrahman dan Nyai Shofiyyah. Beliau wafat pada 1981 dan dimakamkan di
Ma’la Makkah, yang kebetulan berdampingan dengan makam Sayyidatina Asma’
binti Sayidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. KH Muslih adalah putra seorang
ulama besar bernama Abdurrahman bin Qosidil Haq. Bila dirunut ke atas, bertemu
dengan Sayyid Abbas RA, paman Rasulullah Muhammad SAW. Pendidikan KH
Muslih diperoleh saat belajar dengan orang tuanya sendiri.
Beliau pernah mengaji dengan KH Ibrahim Yahya (Brumbung Mranggen),
di pesantren Mangkang Kulon Semarang, pesantren Sarang Rembang. Kiai
Muslih juga pernah nyantri kalong kepada KH Maksum (Lasem Rembang) dan
nyantri di Pesantren Termas Pacitan.
KH Muslim belajar ilmu thariqah dan baiat sebagai mursyid di Banten
yaitu Syekh Abdul Latif Al- Bantani. Selama beberapa tahun, beliau bermukim di
Makkah dan mengaji dengan Syekh Yasin Al-Fadani Al-Makky. Dari hasil
pendidikannya tersebut, KH Muslih termasuk ulama yang memiliki banyak
keahlian.
Selain ahli ilmu bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaqhah, hingga mantiq dan
arudh), ahli ilmu kalam (tauhid), ilmu tasawuf, beliau juga ahli kepemimpinan,
ilmu kependidikan, siasah (politik), hikmah hingga ilmu kemiliteran.
Bahkan beliau menjadi syeikhul mursidinatau gurunya para mursyid.
Berdasarkan ilmu yang telah dikuasai, KH Muslih memenuhi peryaratan sebagai
guru mursyid. Kata Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani, bahwa seorang mursyid itu
seharusnya memiliki ilmu ulama (ahli agama Islam), ilmu siasah (politik) dan
ilmu hikmah (kebijaksanaan). KH Muslih berjasa membela dan mempertahankan
negara dari cengkeraman penjajah.
Saat menjadi anggota Laskar Hizbullah, beliau terlibat dalam mengusir
penjajah Belanda dan Jepang. Beliau berlatih kemiliteran bersama KH Abdullah
Abbas (Buntet Cirebon) dalam satu regu di Bekasi Jabar dan menjadi komando
pasukan sabilillah yang beranggotakan para kiai di wilayah Demak Selatan atau
front Semarang wilayah Tenggara4.
4. Kyai Sholeh Darat
Kiai Sholeh Darat merupakan putra Kiai Umar, seorang ulama sekaligus
pejuang dan tangan kanan Pangeran Diponegoro. Ia lahir di Desa Kedung
Cumpleng, Kecamatan Mayong, Jepara, Jawa Tengah pada 1820. Kata 'Darat'
yang tersemat di namanya menunjukkan tempat tinggalnya yaitu di daerah Darat
yang terletak di utara Semarang. Daerah ini dekat dengan laut dan menjadi tempat
mendaratnya orang-orang dari luar Jawa. Ilmu tentang agama didapat Kiai Sholeh
pertama kali dari ayahnya. Ia lalu merantau ke sejumlah tempat di Nusantara
untuk menimba ilmu. Beberapa ulama yang tercatat pernah mengajar Kiai Sholeh
antara lain KH Syahid Waturoyo, KH Muhammad Saleh Asnawi Kudus, KH Haji
Ishaq Damaran, KH Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni, KH Ahmad
Bafaqih Ba'alawi, dan KH Abdul Ghani Bima.

Kiai Sholeh juga menimba ilmu ke Mekah di Hijaz, kini Arab Saudi. Di
sana, ia berguru kepada sejumlah ulama seperti Syeikh Muhammad Al Muqri,
Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al Makki, Sayid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Setelah beberapa tahun belajar, Kiai Sholeh menjadi salah satu pengajar
di Mekah. Muridnya berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Jawa dan
Melayu. Beberapa tahun mengajar, Kiai Sholeh memutuskan kembali ke
Semarang dan mengajarkan pengetahuannya kepada umat Islam di tempat tinggal
asalnya. Kiai Sholeh pun mendirikan pusat kajian Islam berupa langgar atau
mushola, yang kemudian berkembang menjadi pesantren kecil.

Banyak calon ulama yang tinggal di Pesantren Kiai Sholeh Darat dan
menimba ilmu di sana. Sebagian dari mereka kemudian menjadi tokoh-tokoh
terkenal seperti Syeikh Mahfudz At Turmusi, KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad
Dahlan, dan RA Kartini.

4
http://furqonws.blogspot.com/2016/01/tokoh-tokoh-tasawuf-pulau-jawa.html?m=1 diakses pada tangal
04 Mei 2020 pukul 11.29 WIB
Kiai Sholeh juga melahirkan banyak karya dalam ilmu agama Islam. Di
antaranya, Majmu'ah Asy Syari'ah Al Kafiyah li Al Awam, Batha'if At Thaharah,
serta kitab Faidhir Rahman. Kitab Faidhir Rahman merupakan tafsir Alquran
yang ditulis Kiai Sholeh menggunakan aksara Arab pegon. Aksara ini
menggunakan huruf-huruf Arab, namun bahasa yang dipakai adalah Jawa5.

C. Penutup
a. Kesimpulan
A. Sejarah Penyebaran Islam di Jawa Tengah dan Yogyakarta

Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebar Islam di Jawa


adalah para Wali Songo. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M
antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-
kerajaan Hindu maupun Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan
Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa
kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis
dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak
dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik

B. Kerajaan dan Pusat Penyebaran Islam di Jawa Tengah


5. Kerajaan Demak
6. Kerajaan Pajang
7. Kerajaan Mataram Islam
8. Kudus
C. Sejarah perkembangan Tasawuf di Jawa Tengah dan Yogyakarta
Perkembangan tasawuf di Indonesia sendiri khususnya Pulau Jawa, adalah
termasuk salah satunya berkat para Sufi yang ada di tanah Jawa. Di tanah
Jawa sejak dahulu memang kental dengan nuansa dimensi ruhaninya.
Semenjak zaman Wali Songo yang diyakini sebagai penyebar agama Islam
pertama, Islam menyebar dengan mengedepankan aspek eksoterismenya. Hal
ini tidak terlepas dari jargon bahwa orang Jawa gone semu. Orang Jawa
sepertinya lebih menyukai dimensi batin dibandingkan dengan syariat
oriented, meski hal ini tidak berarti terjadi pengabaian soal syariat.
Berkat ridho dan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Sunan Bonang
yang berdarah campuran Samarkan – Campa, dengan cepat dapat menguasai
bahkan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai media dakwahnya. Inti
ajaran-ajaran tasawuf yang bersumber dari Al Ghazali, dengan sentuhan
kelembutan dan cinta kasih Jalaluddin Rumi, mengilhami serta mengobarkan
semangatnya untuk mengajarkan “wirasating ilmu suluk” atau jiwa ajaran

5
Muslich Shabir, "Corak Pemikiran Tasawuf Kyai Saleh Darat Semarang", International Journal Ihya''Ulum
Al-Din. Vol. 19 No. 1, tahun 2017, hlm. 94
tasawuf kepada masyarakat Jawa yang beragama Syiwa – Budha dan
menyenangi mistik. Tasawuf yang menurut Al Ghazali merupakan jiwa ilmu-
ilmu agama, disyiarkan melalui berbagai media komunikasi yang hebat yang
belum pernah dikenal masyarakat.
Ia menciptakan aliran silat tenaga dalam yang menggunakan jurus-jurus
yang dinamai sesuai alpabetik huruf Arab, guna menggembleng jiwa raga
para cantrik atau muridnya sekaligus sebagai sarana belajar huruf Arab. Ia
menyempurnakan instrumen gamelan Jawa serta menggubah irama-irama
yang baru dan khas, sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Ia
menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman dalam adat-
istiadat dan budaya kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia berkhotbah dengan
mendendangkan tembang-tembang yang indah dan merdu, yang berisi tentang
ajaran-ajaran Islam khususnya tasawuf. Tembang-tembang itulah yang
kemudian kita kenal sebagai Suluk-Suluk Sunan Bonang.
Segala yang dirintis Sunan Bonang tersebut mendapat dukungan para wali
seperguruan dan murid-muridnya, bahkan dikembangkan oleh terutama murid
andalannya yaitu Sunan Kalijaga serta cucu muridnya yaitu Sunan Muria.
Ajaran-ajaran itulah yang kemudian menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf
Jawa, yakni ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan
kebudayaan Jawa. Islam dengan corak tasawuf merupakan ajaran yang kental
di Mataram (Yogyakarta-Surakarta kuno) dan lebih kental dibanding periode
kerajaan Islam sebelumnya seperti Demak Bintaro yang berumur singkat.
Jika dilirik ke belakang lagi, sejatinya laku atau sikap hidup manusia Jawa
itu, kata Konco Kaji Keraton Yogyakarta Ki Ridwan, cenderung pada
tasawuf. Termasuk keyakinan kosmologi tentang Tuhan Yang Satu.
Sehingga, ketika diperkenalkan pertama kali dengan Islam yang bercorak
tasawuf oleh para wali, yang terjadi ialah adanya hubungan integral. Dalam
analogi budayawan kondang Emha Ainun Najib, pertemuan Jawa dan Islam
bagaikan botol bertemu tutupnya. Bahkan, kata Cak Nun, sebelum Islam
datang, manusia Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.
Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,
katanya menyinggung perbedaan Islam simbolik dan substansial. Jikapun ada
pengaruh eksternal seperti kisah pewayangan, Sunan Kalijaga tetap memberi
ruang masuknya konsep Islam seperti ‘insan kamil’. Sunan Kaligaja membuat
modifikasi sedemikian rupa, sehingga ada yang kita kenal dengan Punakawan
yang masing-masing perannya mengandung makna filosofis dan sufistik.
D. Tokoh-tokoh yang berperan dalam Penyebaran Tasawuf di Jawa Tengah
dan Yogyakarta
1. Sunan Kudus
2. Sunan Kalijaga
3. Syekh muslih Abdurrahman
4. Kyai Saleh Darat

DAFTAR PUSTAKA

Khalil, Ahmad.2008. Islam Jawa. Malang : UIN Malang Press.

Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: Pustaka


Setia, hlm. 77

Muljana, Slamet.2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya


Negara- negara Islam. Nusantara.PT.LKIS Printing Cemerlang.

Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam.Bandung: Pustaka Setia

Syafwandi.1985. Menara Mesjid Kudus. Jakarta : PT. Bulan Bintang

Syukur, Fatah. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT. Pustaka


Rizki Putra

Thahir, Ajid.2009. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia


Islam.Jakarta : Rajawali Pers

Azmatkhan, Shohibul Faroji. 2011. Ensiklopedi Nasab Imam Al-Husain.


Penerbit Walisongo Center. hlm. 30. ISBN 9789798451164.

Jurnal Ensiklopedia

Muslich Shabir. 2017. Corak Pemikiran Tasawuf Kyai Saleh Darat


Semarang : kajian atas kitab Minhaj Al-Atqiya. UIN Walisongo Semarang Jawa
Tengah. Vol 19, No 1. Di akses 4 Mei 2020.

Ahmad Nadirin. 2014. Peradaban Islam di Jawa Tengah. IAIN Walisongo


Semarang Jawa Tengah. Di akses 4 Mei 2020.

Internet

http://furqonws.blogspot.com/2016/01/tokoh-tokoh-tasawuf-pulau-
jawa.html.

http://ayudaleni.blogspot.com/2016/12/.makalah-anatomi-fisiologi-
manusia.html.

Anda mungkin juga menyukai