Sejarah Dan Pemikiran Tasawuf Di Jawa Tengah Dan Yogyakarta (Kelompok 5)
Sejarah Dan Pemikiran Tasawuf Di Jawa Tengah Dan Yogyakarta (Kelompok 5)
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah SPTI
oleh:
kelompok 5 (TP-2C)
A. Pendahuluan
Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit seperti
yang dipahami oleh masyarakat Islam sendiri pada umumnya. Dalam sejarah
terlihat bahwa Islam bersumber kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Dari persentuhan tersebut
lahirlah sebagai disiplin ilmu keislaman, salah satunya adalah tasawuf.
Sebagian ahli sejarah berkata bahwa agama Islam masuk ke Indonesia
tidak langsung dari tanah Arab, tetapi melalui negeri Persia dan India, dibawa ke
Indonesia oleh pedagang atau oleh mereka yang memang khusus datang untuk
menyiarkan agama Islam. Jika kita perhatikan, agama Islam masuk ke Indonesia
sekitar abad keempat dan kelima hijriah, maka paham-paham sufi dan tasawuf
yang sedang tersebar luas dan mendapat perhatian umum dalam negara-negara
Islam ketika itu.
Secara garis besar, tasawuf adalah sifat dan sikap kesucian kaum sufi. Dari
itu karena tasawuf merupakan ilmu tentang kesucian jiwa, maka tasawuf adalah
dasar atau landasan dari berbagai ilmu. Sedangkan sumber ilmu tasawuf sendiri
adalah Al-Qur'an, As-Sunnah serta Qiyas dan Ijma para Ulama.
Seperti yang kita ketahui, tasawuf sangat menyebar di Indonesia terutama
di pulai Jawa. Karena Jawa merupakan titik tumpu Indonesia dari berbagai aspek.
Diantaranya adalah ekonomi, budaya maupun sosial. Seperti yang disebutkan
terdahulu bahwa Aceh mempunyai peranan yang sangat besar dalam penyebaran
pemikiran tasawuf di gugusan pulau Melayu-Nusantara. Termasuk juga dalam
hal ini adalah pemikiran tasawuf di pulau Jawa karena bagaimana pun harus
diakui bahwa tampilnya para sufi Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-
Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abd Ra'uf As-Sinkli cukup mempengaruhi
sufi-sufi di daerah lain termasuk pulau Jawa1.
B. Pembahasan
a. Sejarah Penyebaran Islam di Jawa Tengah dan Yogyakarta
Ahli-ahli sejarah tampaknya sependapat bahwa penyebar Islam di Jawa
adalah
para Wali Songo. Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan,
tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Bahkan, seringkali seorang
raja seakan-akan baru sah sebagai raja kalau ia sudah diakui dan diberikan
oleh Wali Songo. Islam telah tersebar di pulau jawa paling tidak sejak Malik
1
Solihin, sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 77
Ibrahim dan Maulana Ishak yang bergelar Syaikh Awal Al-islam diutus
sebagai juru dakwah oleh Raja Samudera, Sultan Zainal Abidin Bahiyah Syah
(1349-1406 M), seorang raja pertama yang benar-benar muslim.
Namun demikian, sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada
pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada
abad ke-9 H/14 M, sekitar tahun 1524-1546 penduduk pribumi memeluk
Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya
penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat
itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu
ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan
Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra
Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan
oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu maupun Budha
di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam
The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah
sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke
Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan
merebut kekuasaan politik
b. Kerajaan dan Pusat Penyebaran Islam di Jawa Tengah
1. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan islam pertama sekaligus pusat
penyebaran agama islam di pulau Jawa. Secara geografis, kerajaan Demak
terletak di daerah Demak, didaerah Jawa Tengah. Demak juga dikenal dengan
sebutan Bintoro atau Glagah wangi yaitu bagian dari kerajaan Majapahit yang
kemudian merdeka. Namun, kerajaan Demak tidak pernah lepas dari pengaruh
kerajaan majapahit. Tentu saja, karena raja dari kerajaan Demak, Raden Fatah
adalah seorang bupati dari kerajaan Majapahit berpindah kepercayaan menjadi
Islam.
Masa kejayaan Demak terjadi pada masa Raden Patah. Pada masa
kepemimpinannya, kerajaan Demak berkembang dengan cepat karena
pengaruh dari Wali Songo. Kejayaan Raden Patah dalam memimpin kerajaan
Demak terjadi pada tahun 1511. Daerah kekuasaannya pun meluas hingga
daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam memimpin kerajaan
Demak. Raden Patah dibantu oleh anaknya Pati Unus atau yang dikenal juga
dengan julukan Pangeran Sabrang Lor. Setelah Raden Patah wafat, Pati Unus
lah yang melanjutkan kepemimpinan kerajaan. Namun kepemimpinan Pati
Unus hanya tiga tahun, beliau wafat pada 1521 M dan kepemimpinan pun
diberikan kepada adiknya yaitu Pangeran Trenggono. Beliau menjabat selama
25 tahun dari tahun 1521-1546. Islam mengalami penyebaran yang sangat
cepat ke seluruh Jawa bahkan sampai Kalimantan. Hal ini merupakan usaha
Trenggono yang bergelar Sultan Ahmad Abdul Tuban sekitar tahun 1527.
Penaklukan Demak selanjutnya ,meliputi Madiun, Blora (1530),
Surabaya(1531), Pasuruan(1535), Lamongan. Pengakuan kekuasaan Demak
oleh Banjarmasin dan Palembang semakin memperluas persebaran Islam itu
sendiri. Dibantu oleh Syekh Siti Jenar dan Sunan Tembayat, daerah
pedalaman sekitar gunung Merapi, Penggin, dan Pajang juga menyatakan
tunduk pada Demak.
2. Kerajaan Pajang
Berkat ridho dan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Sunan Bonang
yang berdarah campuran Samarkan – Campa, dengan cepat dapat menguasai
bahkan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai media dakwahnya. Inti ajaran-
ajaran tasawuf yang bersumber dari Al Ghazali, dengan sentuhan kelembutan dan
cinta kasih Jalaluddin Rumi, mengilhami serta mengobarkan semangatnya untuk
mengajarkan “wirasating ilmu suluk” atau jiwa ajaran tasawuf kepada masyarakat
Jawa yang beragama Syiwa – Budha dan menyenangi mistik. Tasawuf yang
menurut Al Ghazali merupakan jiwa ilmu-ilmu agama, disyiarkan melalui
berbagai media komunikasi yang hebat yang belum pernah dikenal masyarakat.
Segala yang dirintis Sunan Bonang tersebut mendapat dukungan para wali
seperguruan dan murid-muridnya, bahkan dikembangkan oleh terutama murid
andalannya yaitu Sunan Kalijaga serta cucu muridnya yaitu Sunan Muria. Ajaran-
ajaran itulah yang kemudian menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf Jawa, yakni
ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan kebudayaan Jawa.
Berbicara tentang berdirinya Kerajaan Islam Mataram ini, tidak lepas dari
pengaruh, petunjuk dan bimbingan spiritual Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng
Griring, Ki Juru Mertani serta Sunan kalijaga. Dari Ki Ageng Pemanahan, lahirlah
Panembahan Senopati. Dan dari Panembahan Senopati, terlahirlah para raja
Mataram. Sebelum Kerajaan Mataram berdiri pun dikabarkan murid-murid Syekh
Siti Jenar telah menyebar hingga ke pedalaman selatan Jawa. Tokoh spiritual Ki
Ageng Sela pun termasuk murid tidak langsung dari Syekh Siti Jenar. Karena itu,
para pendiri Mataram yang ajarannya diwarisi keraton masa ke masa itu, selaras
dengan kecenderungan masyarakat di bagian selatan Jawa yang sebelumnya
populer dengan ajaran mistis Syekh Siti Jenar.
Senada dengan Nancy, menurut Prof. Dr. Abdul Hadi, dimensi mistis
Islam Jawa tak bisa lepas dari ajaran Islam itu sendiri yang menyentuh Jawa
pertama kali. Hal ini, lanjut Sastrawan dan budayaan ini, karena sebagian besar
penyebar Islam adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam
berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat.
Bahkan, para sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan kalender Islam,
penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti maulid dan lain-lain.
Sunan Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang
tergabung dalam walisongo, yang lahir sekitar 1500an Masehi. Nama lengkapnya
adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan
Sunan Ngudung. Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara
Islam di Nusantara. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di
Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri)
yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah di Kesultanan Islam
Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.
Ia adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq. Ia pula
yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar Islam di
Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan masyarakat
Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud dikarenakan Sunan Kudus telah
memberikan pondasi pengajaran keagamaan dan kebudayaan yang toleran.
2. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Walisongo, lahir pada tahun 1450
Masehi dari Raden Ahmad Sahuri (seorang Adipati Tuban VIII) dan Dewi
Nawangarum (putri Raden Kidang Telangkas / Abdurrahim Al-Maghribi).
Dikenal sebagai wali yang sangat lekat dengan muslim di Pulau Jawa, karena
kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi dan budaya Jawa.
Makamnya berada di Kadilangu, Demak.
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden
Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau
Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat
Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan
Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali
Kiai Sholeh juga menimba ilmu ke Mekah di Hijaz, kini Arab Saudi. Di
sana, ia berguru kepada sejumlah ulama seperti Syeikh Muhammad Al Muqri,
Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al Makki, Sayid Ahmad bin Zaini
Dahlan, Setelah beberapa tahun belajar, Kiai Sholeh menjadi salah satu pengajar
di Mekah. Muridnya berasal dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Jawa dan
Melayu. Beberapa tahun mengajar, Kiai Sholeh memutuskan kembali ke
Semarang dan mengajarkan pengetahuannya kepada umat Islam di tempat tinggal
asalnya. Kiai Sholeh pun mendirikan pusat kajian Islam berupa langgar atau
mushola, yang kemudian berkembang menjadi pesantren kecil.
Banyak calon ulama yang tinggal di Pesantren Kiai Sholeh Darat dan
menimba ilmu di sana. Sebagian dari mereka kemudian menjadi tokoh-tokoh
terkenal seperti Syeikh Mahfudz At Turmusi, KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad
Dahlan, dan RA Kartini.
4
http://furqonws.blogspot.com/2016/01/tokoh-tokoh-tasawuf-pulau-jawa.html?m=1 diakses pada tangal
04 Mei 2020 pukul 11.29 WIB
Kiai Sholeh juga melahirkan banyak karya dalam ilmu agama Islam. Di
antaranya, Majmu'ah Asy Syari'ah Al Kafiyah li Al Awam, Batha'if At Thaharah,
serta kitab Faidhir Rahman. Kitab Faidhir Rahman merupakan tafsir Alquran
yang ditulis Kiai Sholeh menggunakan aksara Arab pegon. Aksara ini
menggunakan huruf-huruf Arab, namun bahasa yang dipakai adalah Jawa5.
C. Penutup
a. Kesimpulan
A. Sejarah Penyebaran Islam di Jawa Tengah dan Yogyakarta
5
Muslich Shabir, "Corak Pemikiran Tasawuf Kyai Saleh Darat Semarang", International Journal Ihya''Ulum
Al-Din. Vol. 19 No. 1, tahun 2017, hlm. 94
tasawuf kepada masyarakat Jawa yang beragama Syiwa – Budha dan
menyenangi mistik. Tasawuf yang menurut Al Ghazali merupakan jiwa ilmu-
ilmu agama, disyiarkan melalui berbagai media komunikasi yang hebat yang
belum pernah dikenal masyarakat.
Ia menciptakan aliran silat tenaga dalam yang menggunakan jurus-jurus
yang dinamai sesuai alpabetik huruf Arab, guna menggembleng jiwa raga
para cantrik atau muridnya sekaligus sebagai sarana belajar huruf Arab. Ia
menyempurnakan instrumen gamelan Jawa serta menggubah irama-irama
yang baru dan khas, sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Ia
menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman dalam adat-
istiadat dan budaya kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia berkhotbah dengan
mendendangkan tembang-tembang yang indah dan merdu, yang berisi tentang
ajaran-ajaran Islam khususnya tasawuf. Tembang-tembang itulah yang
kemudian kita kenal sebagai Suluk-Suluk Sunan Bonang.
Segala yang dirintis Sunan Bonang tersebut mendapat dukungan para wali
seperguruan dan murid-muridnya, bahkan dikembangkan oleh terutama murid
andalannya yaitu Sunan Kalijaga serta cucu muridnya yaitu Sunan Muria.
Ajaran-ajaran itulah yang kemudian menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf
Jawa, yakni ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan
kebudayaan Jawa. Islam dengan corak tasawuf merupakan ajaran yang kental
di Mataram (Yogyakarta-Surakarta kuno) dan lebih kental dibanding periode
kerajaan Islam sebelumnya seperti Demak Bintaro yang berumur singkat.
Jika dilirik ke belakang lagi, sejatinya laku atau sikap hidup manusia Jawa
itu, kata Konco Kaji Keraton Yogyakarta Ki Ridwan, cenderung pada
tasawuf. Termasuk keyakinan kosmologi tentang Tuhan Yang Satu.
Sehingga, ketika diperkenalkan pertama kali dengan Islam yang bercorak
tasawuf oleh para wali, yang terjadi ialah adanya hubungan integral. Dalam
analogi budayawan kondang Emha Ainun Najib, pertemuan Jawa dan Islam
bagaikan botol bertemu tutupnya. Bahkan, kata Cak Nun, sebelum Islam
datang, manusia Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.
Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,
katanya menyinggung perbedaan Islam simbolik dan substansial. Jikapun ada
pengaruh eksternal seperti kisah pewayangan, Sunan Kalijaga tetap memberi
ruang masuknya konsep Islam seperti ‘insan kamil’. Sunan Kaligaja membuat
modifikasi sedemikian rupa, sehingga ada yang kita kenal dengan Punakawan
yang masing-masing perannya mengandung makna filosofis dan sufistik.
D. Tokoh-tokoh yang berperan dalam Penyebaran Tasawuf di Jawa Tengah
dan Yogyakarta
1. Sunan Kudus
2. Sunan Kalijaga
3. Syekh muslih Abdurrahman
4. Kyai Saleh Darat
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Ensiklopedia
Internet
http://furqonws.blogspot.com/2016/01/tokoh-tokoh-tasawuf-pulau-
jawa.html.
http://ayudaleni.blogspot.com/2016/12/.makalah-anatomi-fisiologi-
manusia.html.