Sejarah Dan Pemikiran Tasawuf Di Aceh Kel. 1
Sejarah Dan Pemikiran Tasawuf Di Aceh Kel. 1
Makalah
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
di Indonesia
dosen pengampu: Drs. Tamami, M.Ag.
oleh:
Nadya Pramesti Cahyani (NIM 1191040107)
Nur Hani’A Fajriah (NIM 1191040112)
Reiva Auria Nurcahya Muslim (NIM 1191040122)
Rini Antika Agustina (NIM 1191040131)
Salsabila Aulia (NIM 1191040142)
Kelas Tasawuf Psikoterapi 2C
A. Pendahuluan
Masuknya agama Islam di Nusantara pada umumnya dilakukan
dengan jalan damai yakni melalui perkawinan, perdagangan, kesenian dan
lain sebagainya. Melalui perkawaninan misalnya terjadinya perkawinan
antara seorang pedagang yang beragama Islam dengan putri seorang
bangsawan pada waktu itu yang pada akhirnya akan menghasilkan
keturunan beragama Islam, selanjutnya melalui perdagangan yaitu adanya
komunikasi antara pedagang yang beragama Islam dengan para pembeli
maupun pedagang lain yang bukan beragama Islam sehingga ketika
komunikasi tersebut terjadi para pedagang yang beragama Islam tersebut
selain menjual barang dagangannya, mereka juga menyampaikan
kelebihan agama yang dianutnya kepada pembeli, sedangkan melalui
kesenian yakni dengan cara mengganti istilah-istilah yang dipergunakan
dalam kesenian perwayangan yang sebelumnya banyak menggunakan
istilah dalam agama Hindu-Budha dengan istilahistilah yang terdapat
dalam agama Islam (Yatim,1993:92). Selain melalui cara-cara di atas,
proses penyebaran Islam dilakukan juga melaui ajaran-ajaran tertentu.
Ajaran yang dimaksud adalah ajaran tasawuf. Berkat ajaran-ajaran tasawuf
inilah agama Islam dapat diterima dan berkembang dengan pesat di
Nusantara. Hal ini sesuai dengan pendapat Posponegoro (1984:181) yang
mengemukakan bahwa kedatangan Islam hingga terbentuknya masyarakat
muslim di Indonesia pada abada ke-13 disebabkan oleh masa arus
penyebaran dan kedatangan ajaran tasawuf. Kedatangan agama Islam di
Indonesia pada abad ke 13 Masehi dibawa oleh pedagang-pedagang dari
Gujarat (India), hal ini berdasarkan bentuk-bentuk angka yang terdapat
pada makam-makam yang diketemukan di Samudera Pasai dan di Jawa.
Sedangkan bukti-bukti adanya hubungan langsung antara pedagang-
pedagang dari Arab dengan pedagang-pedagang di pulau Jawa baru pada
masa kemudian seperti adanya utusan-utusan dari kerajaan Mataram Islam
dan Banten ke Mekkah pada Pertengahan Abad ke 17 (Graff, 1985:12).
Adapun kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah kerajaan Samudera
Pasai yang terletak di pulau Sumatera dan berdekatan dengan Selat
Malaka. Pada waktu itu kerajaan Samudra Pasai menjadi tempat
bertemunya para pedagang yang berasal dari Persia, Arab dan India,
sehingga mata pencarian utama rakyat ketika itu adalah pelayaran dan
perdagangan. Raja pertama yang memeluk agama Islam adalah Sultan
Malik Al Saleh. Aceh yang dikenal dengan sebutan “Serambi Mekah” atau
halaman depan atau gerbang ke tanah suci Mekah merupakan tempat di
mana agama Islam berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok
Nusantara. Seperti halnya daerah lain di Nusantara, salah satu ajaran yang
memiliki peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Aceh adalah
ajaran tasawuf. Ajaran tasawuf dalam penyebaran agama Islam di
Nusantara cocok dengan latar belakang masyarakat setempat yang saat itu
dipengaruhi oleh asketisme Hindu, Budha, dan sinkretisme kepercayaan
lokal. Selain itu, tasawuf mempunyai kecenderungan untuk bersikap
toleran terhadap pemikiran dan praktik tradisional semacam itu yang
sebenarnya bertentangan dengan praktek tauhid (Amin, 2014:325).
Tasawuf masuk dan berkembang di Aceh seiring dengan masuknya Islam
di Aceh. Hal ini tak lepas dari peran para sufi yang menyebarkan Islam di
Aceh. Selain itu, konsep ajaran tasawuf yang tidak jauh berbeda dengan
konsep kepercayaan sebelum masyarakat memeluk Islam membuat mereka
lebih mudah menerima Islam aspek tasawuf dari pada aspek aspek agama
Islam yang lain. Perkembangan tasawuf di Aceh dapat dibagi dalam dua
priode, yakni priode klasik dan priode modern. Dalam periode klasik
pengaruh pemikiran tasawuf falsafi dari Baghdad dan Persia masih
mendominasi. Seperti yang terlihat dalam konsep-konsep falsafi dalam
mistisisme Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan lainnya
(Solihin, 2008:39)
B. Pembahasan
3
Prof. Dr. Miftah Arifin, M. Ag., Sufi Nusantara, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013, hal. 15-16
4
Ibid.
5
Ibid., hal. 17
6
Ibid., hal. 17-18
Akibatnya, para sarjana tidak tahu pasti kapan penduduk Nusantara
memeluk agama Islam, hanya mengira-ngira bahwasannya agama Islam
telah masuk di Nusantara pada abad pertama Hijriyah atau abad 7 M.
pendapat ini didasarkan atas ramainya jalur niaga yang dilakukan oleh
oranng-orang Arab dengan dunia Timur. Pada abad ke-7 M ini
perdagangan dengan Tiongkok melalui Ceylon sangatlah marak sehingga
pada abad ke-8 dijumpai banyak pedagang-pedagang Arab di Kanton. Dan
menurut berita Tiongkok tahun 674 M terdapat kabar bahwa ada seorang
pembesar Arab yang menjadi pimpinan orang Arab di pantai Barat
Sumatera.7 Keadaan ini menyebabkan para saudagar Arab Muslim harus
tinggal lama di gugusan pulau Melayu dan kesempatan ini digunakan
untuk mendakwahkan Islam di tempat-tempat yang mereka singgahi.
Diantara mereka banyak yang menikahi penduduk setempat. Hasil
perkawinan ini melahirkan generasi baru muslimin di gugusan pulau
Melayu tersebut. Dengan demikian, Islam datang ke gugusan pulau-pulau
Melayu melalui laut India dan juga Laut Cina Selatan secara langsung dari
negeri Arab.8
7
Ibid., hal. 18
8
Solihin, op. Cit., hal. 22
9
Prof. Dr. Miftah Arifin, M. Ag., Sufi Nusantara, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013, hal. 22
iu, tampaknya kedua aspek ini tidak sehausnya dipertentangkan sebab
keduanya justru saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
10
Prof. Dr. Miftah Arifin, M. Ag., Sufi Nusantara, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2013, hal. 22-23
11
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2001, hal. 27
dari tokoh-tokoh sufi acehlah kemudian tasawuf menyebar dan
membentuk jaringan-jaringan ke seluruh Nusantara. Sedangkan secara
substansial, pemahaman tasawuf di Aceh mempengaruhi daerah-daerah
lain memiliki kecenderungan isi dan corak pemikiran tasawuf yang mirip
dengan tasawuf di Aceh. Kendati sebetulnya telah banyak mengalami
pergeseran atau modifikasi.
Ajaran Tasawufnya
Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang
mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan
mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. 20
18
Parpatih, Datuk. Februari 2015. “SYAMDUDDIN SUMATRANI: TOKOH TASAWUF DARI ACEH”. E-
Jurnal IAIN Imam Bonjol Padang. http://ejournal.uinib.ac.id/. 5 April 2020.
19
Firdaus. Desember 2018. “MERETAS JEJAK SUFISME DI NUSANTARA”. E-Jurnal UIN Raden Intan
Lampung. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan. 5 April 2020.
20
Firdaus. Desember 2018. “MERETAS JEJAK SUFISME DI NUSANTARA”. E-Jurnal UIN Raden Intan
Lampung. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/alAdyan. 5 April 2020.
Pemikiran Kalam Syamsuddin al-Sumaterani, dalam buku Tasawuf
Nusantara karya Dr. Hj. Sri Mulyati, MA bahwa ajaran pokok tasawuf
Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani antara lain:
1. Tentang Allah, Syekh Syamsuddin Al-Sumatrani mengajarkan
bahwa Allah itu Esa adanya, Qodim, dan Baqa.
2. Tentang penciptaan, Menurutnya penciptaan dimulai dari Dzat
yang mutlak.
3. Tentang Alam dan Manusia, Alam dalam pandangan al-Sumaterani
terbagi atas dua. Pertama alam syahadah yaitu alam yang dapat
ditangkap oleh panca indera, baik yang di bumi maupun di langit;
Kedua alam gaib yaitu alam yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indera dimanapun keberadaannya, seperti malaikat, jin, dan ruh
manusia.
4. Tentang Alam Arwah dan Alam Mitsal, Ini berarti bahwa Tuhan
haruslah menciptakan alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh
Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk
pertama adalah nur (cahaya), Segenap makhluk atau alam adalah
berasal dari cahaya Tuhan, tetapi derajat diantara semua makhluk itu
dibedakan.
5. Tentang Alam Ajsam, Alam Ajsam adalah alam yang mampu
ditangkap oleh panca indra.
6. Tentang Alam Manusia, Manusia martabat ketujuh dari wujud Tuhan,
disebut dengan kata syay‘ jami‘ dan dilihat dari unsur lahiriahnya
unsur tanah, air, udara, dan api. Sedangkan dilihat dari segi batiniah
terdiri dari, 1) wujud, yang di maksud adalah zat; 2) ‗ilm, yang
dimaksud adalah sifat-sifat; 3) nur, yang dimaksud adalah nama-
nama; dan 4) syuhud, yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan.
Diantara ajarannya adalah bahwa Tuhan saja yang wujud. Hal ini di
dasarkan pada ayat AlQur’an:
“Dialah Yang awal, Yang akhir, Yang Dhahir (tampak), dan Yang batin
(tersembunyi).”
C. SIMPULAN
Perkembangan tasawuf di kalangan Islam mengalami beberapa
periode, yakni priode pembentukan pada abad I Hijriah yang ditandai
munculnya bibit-bibit tasawuf, priode pengembangan pada abad III dan IV
Hijriah yang sudah mempunyai corak yang berbeda dengan tasawuf
sebelumnya, priode konsolidasi pada abad V Hijriah yang ditandai dengan
kompetsisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dan tasawuf Sunni,
priode falsafi pada abd ke VI Hijriah yang ditandai dengan munculnya
tasawuf Falsafi dan periode pemurnian yang terjadi setelah abad VI
Hijriah. Berkat kedatangan para ulama tersebut, pemikiran, penghayatan,
pengalaman, dan pengamalan keagamaan menjadi sangat berkembang di
kawasan kerajaan Islam Aceh. Di samping itu, tasawuf dan tarekat juga
berkembang pesat dan mewarnai kehidupan keagamaan di Aceh. Dari
Aceh, kemudian tasawuf dan tarekat tersebar luas ke seluruh Nusantara,
bahkan hingga berpengaruh ke daerah Pattani dan wilayah-wilayah lain di
Semenanjung Melayu. Para ahli dan tokoh di Aceh yang turut
mengembangkan tasawuf di Aceh melalui pemikiran- pemikirannya adalah
Hamzah Fansuri yang pemikiran- pemikirannya tentang tasawuf banyak
dipengaruhi oleh Ibnu ‘Arabi dalam faham wahdat wujud-nya. Syamsudin
Sumatrani, dalam pemikiran tasawufnya, Syamsuddin Sumatrani
membahas tentang Martabat Tujuh dan sifat dua puluh Tuhan. Konsep
Martabat Tujuh. Nurrudin al-Raniri, yang berusaha kerasa membongkar
kelemahan dan kesesatan faham wujudiyyah yang dianggap bertentangan
dengan Al- Qur’an dan Hadist. Terakhir, Abdur Rauf As-Sinkili yang tetap
menolak paham wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara
Tuhan dan hamba.
27
Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia, Bandung: PUSTAKA SETIA, 2001, hlm. 54-
56
D. DAFTAR PUSTAKA
Solihin, M. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung:
Pustaka Setia.
Dudy, Ahmad. 1990. Tinjauan Atas Al-Fath Al-Mubin ‘Ala Al-Mulhidin karya
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, dalam: Ahmad Rifai Hasan, Warisan Intelektual
Islam Indonesia. Bandunng: Mizan.