Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkerasan Jalan


Menurut Sukirman (2003), perkerasan jalan adalah lapisan perkerasan yang
terletak diantara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi
memberikan pelayanan kepada transportasi, dan selama masa pelayanan diharapkan
tidak terjadi kerusakan yang berarti.
2.1.1. Jenis Konstruksi Perkerasan
Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat dibedakan
menjadi (Sukirman, 1999):
1. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan perkerasannya
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
2. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikat. Pelat beton
dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah dasar dengan atau tanpa lapis
pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton.
3. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku
yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur
di atas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku di atas perkerasan lentur.
2.1.2. Struktur Perkerasan Jalan Lentur
Pada umumnya struktur perkerasan jalan lentur (flexible pavement) dibuat
secara berlapis dan terdiri atas lapisan permukaan (surface course) yaitu lapisan aus
dan lapis antara. Lapisan dibawahnya ialah lapisan pondasi yang terdiri dari lapisan
pondasi atas (base course) dan pondasi bawah (subbase course). Lapisan ini
diletakkan di atas tanah dasar yang dipadatkan (subgrade) (Sukirman, 1999).

4
5

Masing-masing elemen lapisan di atas termasuk tanah dasar secara bersama-


sama memikul beban lalu lintas. Tebal struktur perkerasan dibuat sedemikian rupa
sampai batas kemampuan tanah dasar memikul beban lalu lintas, atau dapat
dikatakan tebal struktur perkerasan sangat tergantung pada kondisi atau daya
dukung tanah dasar (Sukirman, 1999).

Gambar 2.1 Lapis Perkerasan


Sumber: Sukirman (2003)

1. Elemen Tanah Dasar (sub-grade)


Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari
sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Tidak semua jenis tanah dapat digunakan
sebagai tanah dasar pendukung badan jalan secara baik, karena harus
dipertimbangkan beberapa sifat yang penting untuk kepentingan struktur jalan,
seperti: daya dukung dan kestabilan tanah yang cukup, komposisi dan gradasi
butiran tanah, sifat kembang susut tanah, kemudahan untuk dipadatkan, kemudahan
meluluskan air (drainase), plastisitas dari tanah, sifat ekspansif tanah dan lain-lain
(Sukirman, 1999).
Pemilihan jenis tanah yang dapat dijadikan tanah dasar melalui penyelidikan
tanah menjadi penting karena tanah dasar akan sangat menentukan tebal lapis
perkerasan di atasnya, sifat fisik perkerasan di kemudian hari dan kelakuan
perkerasan seperti deformasi permukaan, dan sebagainya (Sukirman, 1999).
6

2. Elemen Lapis Pondasi Bawah (sub-base course)


Lapis pondasi bawah (sub-base) adalah suatu lapisan yang terletak antara
lapis tanah dasar dan lapis pondasi atas (base), yang berfungsi sebagai bagian
perkerasan yang meneruskan beban di atasnya, dan selanjutnya menyebarkan
tegangan yang terjadi ke lapis tanah dasar (Sukirman, 1999).
Lapis pondasi bawah dibuat di atas tanah dasar yang berfungsi di antaranya sebagai
berikut (Sukirman, 1999):
A. Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan
menyebarkan beban roda.
B. Menjaga efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-
lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya
konstruksi).
C. Untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.
D. Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.

Bermacam-macam material setempat (CBR > 20 % PI < 10 %) yang relatif


lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai bahan pondasi bawah. Ada
berbagai jenis lapis pondasi bawah yang sering dilaksanakan, yaitu (Sukirman,
1999):

A. Pondasi bawah yang menggunakan batu pecah, dengan balas pasir.


B. Pondasi bawah yang menggunakan sirtu yang mengandung sedikit tanah.
C. Pondasi bawah yang menggunakan tanah pasir.
D. Pondasi bawah yang menggunakan agregat.
E. Pondasi bawah yang menggunakan material ATSB (Asphalt Treated Sub-
Base) atau disebut Laston Bawah (Lapis Aspal Beton Pondasi Bawah).
F. Pondasi bawah yang menggunakan stabilisasi tanah.
3. Elemen Lapis Pondasi Atas (base course)
Lapis Pondasi Atas (LPA) adalah suatu lapisan perkerasan jalan yang terletak
antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah (sub-base), yang berfungsi sebagai
bagian perkerasan yang mendukung lapis permukaan dan beban-beban roda yang
7

bekerja di atasnya dan menyebarkan tegangan yang terjadi ke lapis pondasi bawah,
kemudian ke lapis tanah dasar (Sukirman, 1999).
Lapis pondasi atas dibuat di atas lapis pondasi bawah yang berfungsi di antaranya
(Sukirman, 1999):
A. Sebagai bagian perkerasan yang menahan beban roda.
B. Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.
C. Meneruskan limpahan gaya lalu lintas ke lapis pondasi bawah.

Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR > 50%, PI <4 %) dapat


digunakan sebagai bahan lapis pondasi atas, antara lain: batu pecah, kerikil pecah,
dan/atau stabilisasi tanah dengan semen atau kapur. Secara umum dapat berupa
(Sukirman, 1999):

A. Pondasi atas yang menggunakan pondasi Telford.


B. Pondasi atas yang menggunakan material agregat.
C. Pondasi atas yang menggunakan material ATB (Asphalt Treated Base)
atau disebut Laston (Lapisan Aspal Beton) Atas.
D. Pondasi atas yang menggunakan stabilisasi material
4. Elemen Lapis Permukaan (surface course)
Fungsi Lapis Permukaan antara lain (Sukirman, 1999):
A. Sebagai bahan perkerasan untuk menahan beban roda.
B. Sebagai lapis kedap air, yaitu lapisan yang melindungi lapisan di
bawahnya dari resapan air yang jatuh di atas permukaan perkerasan.
C. Sebagai lapisan aus (wearing course) yaitu lapisan yang langsung
menderita gesekan akibat rem kendaraan, sehingga mudah menjadi aus.

Bahan untuk lapis permukaan umumnya adalah campuran bahan agregat dan
aspal, dengan persyaratan bahan yang memenuhi standar. Penggunaan bahan aspal
diperlukan sebagai bahan pengikat agregat dan agar lapisan dapat bersifat kedap
air, di samping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan tarik, yang
berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap beban roda lalu lintas
(Sukirman, 1999).
8

Jenis lapisan permukaan (surface course) yang umum dipergunakan di


Indonesia antara lain:

1. Lapisan bersifat nonstruktural, yang berfungsi sebagai lapisan aus dan kedap
air yang meliputi:
A. Burtu (laburan aspal satu lapis), merupakan lapisan penutup yang terdiri
dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi
seragam, dengan tebal maksimum 2 cm.
B. Burda (lapisan aspal dua lapis), merupakan lapis penutup yang terdiri dari
lapisan aspal yang ditaburi agregat, yang dikerjakan dua kali secara
berurutan dengan tebal maksimum 3,5 cm.
C. Latasir (lapis tipis aspal pasir), merupakan lapis penutup yang terdiri dari
lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus, dicampur, dihampar dan
dipadatkan pada suhu tertentu dengan tebal padat maksimum 1-2 cm.
D. Buras (laburan aspal), merupakan lapis penutup terdiri dari lapisan aspal
taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8 inci.
E. Latasbum (lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup yang
terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan
tertentu yang dicampur dalam keadaan dingin dengan ketebalan
maksimum 1 cm.
F. Lataston (lapis tipis aspal beton), dikenal dengan nama Hot Rolled Sheet
(HRS) merupakan lapis penutup yang terdiri dari campuran agregat
bergradasi timpang/senjang, filler dan aspal keras dengan perbandingan
tertentu, yang dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu panas dengan
tebal padat maksimum 2,5-3 cm.
2. Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan
menyebarkan beban roda, yaitu antara lain:
A. Penetrasi Macadam (lapen), merupakan lapis perkerasan yang terdiri atas
agregat pokok dan agregat pengunci bergradasi terbuka seragam yang
diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan di atasnya dan dipadatkan lapis
demi lapis dengan ketebalan maksimum 4-10 cm.
9

B. Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri atas
campuran agregat asbuton dan bahan pelunak yang dihampar dan
dipadatkan dalam keadaan dingin dengan ketebalan padat pada tiap lapisan
antara 3-5 cm.
C. Laston (lapis aspal beton) merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan
yang terdiri atas campuran aspal keras dan agregat bergradasi menerus,
dicampur, dihampar dan dipadatkan pada suhu panas.
D. Campuran Emulsi Bergradasi Rapat (CEBR) dan campuran emulsi
Bergradasi Terbuka (CEBT).
5. Lapis Resap Pengikat (prime coat)
Lapis resap pengikat merupakan bagian dari struktur perkerasan lentur yang
tidak mempunyai nilai struktur akan tetapi mempunyai fungsi yang sangat
besar terhadap kekuatan dan keawetan struktur terutama untuk menahan gaya
lateral atau gaya rem. Lapis resap pengikat dilaburkan diantara lapisan material
tidak beraspal dengan lapisan beraspal yang berfungsi untuk menyelimuti
permukaan lapisan tidak beraspal.
6. Lapis Perekat (tack coat)
Sama halnya dengan lapis resap pengikat, lapis perekat dilaburkan diantara
lapis beraspal lama dengan lapis beraspal yang baru (yang akan dihampar di
atasnya), yang berfungsi sebagai perekat diantaranya.

2.2. Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan


Lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu
lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu sendiri.
Dengan demikian memeberikan kenyamanan kepada si pengemudi selama masa
pelayanan jalan tersebut. Untuk itu dalam perencanaaan perlu dipertimbangkan
seluruh faktor yang dapat mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi perkerasan
jalan seperti (Alamsyah, 2003):
10

2.2.1. Fungsi Jalan


Berdasarkan fungsinya jalan terbagi menjadi lima yaitu (Alamsyah, 2003):
1. Jalan arteri primer : dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60
km/jam, lebar badan jalan tidak kurang 8 meter, jumlah jalan masuk dibatasi
secara efisien, jarak antara jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek
500 meter dan lainnya.
2. Jalan kolektor primer : dirancang dengan kecepatan rencana 40 km/jam, lebar
badan jalan tidak kurang 7 meter, jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien dan
jarak antaranya lebih dari 400 dan lainnya.
3. Jalan lokal primer : dirancang untuk kecepatan rencana 20 km/jam, kendaraan
angkutan barang dan bus diijinkan melalui jalan ini, lebar jalan tidak kurang 6
meter.
4. Jalan arteri sekunder : dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
20 km/jam, lebar jalan tidak kurang 6 meter dan lainnya.
5. Jalan lokal sekunder : dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah
10 km/jam, lebar badan tidak kurang 5 meter, angkutan barang dan bus tidak
diijinkan melewati jalan ini.

2.2.2. Klasifikasi dalam Perencanaan Perkerasan Jalan


Dalam klasifikasi ini jalan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu (Alamsyah,
2003):
 Tipe jalan I (jalan masuk/akses langsung sangat dibatasi efisien)

Tabel 2.1 Tabel Klasifikasi Jalan


Fungsi Kelas
Arteri I
Utama Sekunder Kolektor II
Arteri II
Sumber SNI 1732-1989-f

 Tipe jalan II ( jalan masuk/akses langsung diijinkan secara terbatas seperti tabel
berikut ini:
11

Tabel 2.2 Tipe Jalan II


Fungsi Volume LL Rencana (smp) Klas
Utama Arteri I
Kolektor 10.00 atau lebih I
20.000 atau lebih I
Arteri
Kurang dari 20.000 II
6000 atau lebih II
Sekunder Kolektor
Kurang dari 6000 III
500 atau lebih III
Lokal
Kurang dari 500 VI

Sumber SNI 1732-1989-f

Kecepatan rencana, kecepatan yang ditetapkan untuk rencana atau desain


perencanaan dimana korelasi segi-segi fisiknya akan mempengaruhi kendaraan,
kecepatan yang dimaksud kecepatan maksimum yang dipertahankan, sehingga
kendaraan yang bergerak seakan-akan diarahkan dalam pergerakannya (Alamsyah,
2003).

Tabel 2.3 Kecepaatan Rencana

Tipe Jalan Klas Jalan Kecepatan (km/jam)


Kelas I 100 atau 80
Tipe I Klas II 100 atau 60
Klas I 60
Tipe II Klas II 60 atau 50
Klas III 40 atau 30
Klas IV 30 atau 20
Sumber : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga
12

2.2.3. Kinerja Perkerasan (Pavement Performance)


Kinerja perkerasan jalan meliputi 3 hal yaitu (Alamsyah, 2003):
1. Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya kontak antara
ban dan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang terjadi dipengaruhi oleh
bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan, kondisi cuaca dan sebagainya.
2. Wujud perkerasan jalan (structural perkerasan), sehubungan dengan kondisi fisik
dari jalan tersebut seperti adanya retak-retak, amblas, alur, dan gelombang.
3. Fungsi pelayanan (fungtional performance), sehubungan dengan perkerasan
tersebut memberikan pelayanan kepada pemakai jalan. Wujud perkerasan dan
fungsi pelayanan umumnya merupakan satu kesatuan yang dapat digambarkan
dengan “kenyamanan mengemudi (riding quality).
Dalam perencanaan konstruksi jalan yang baik harus mempunyai kriteria –
kriteria sebagai berikut (Alamsyah, 2003):
1. Menjadi life cycle cost yang minimum
Dalam melaksanakan suatu pembangunan infrastruktur diperlukan adanya biaya,
oleh karena itu pelaksanaan perlu melakukan analisa ekonomi teknik dalam
merencanakan suatu anggaran biaya. Pemilihan bahan serta pelaksanaan yang
menjadi kunci pokok dalam merencanakan suatu anggaran. Konstruksi jalan
umumnya diketahui bahwa perkerasan dengan lapis aspal (lentur) lebih murah
dari perkerasan lapis beton (kaku). Pandangan ini dapat dipertimbangkan dalam
benak perencana karena aspek umur jalan serta lalu lintas rencana yang akan
melewati jalan tersebut dapat mempengaruhi daya tahan struktur perkerasan.
Oleh karena itu pemilihan jeis perkerasan harus di analisis dengan discounted
whole life cost terendah.
2. Mempertimbangkan kemudahan saat pelaksanaan
Dengan pelaksanaan yang mudah maka konstruksi jalan akan cepat selesai
dengan jumlah pekerja maupun alat berat yang optimum, sehingga dapat
menekan biaya serta menghindari denda (penalty) akibat keterlambatan
pengerjaan.
13

3. Memilih material yang efisien dan memanfaatkan material lokal semaksimum


mungkin.
Pelaksanaan yang baik dan didukung dengan material yang baik pula akan
menghasilkan struktur perkerasan yang baik. Dengan memanfaatkan material
lokal juga dapat menekan biaya angkut/distribusi material tersebut. Pemilihan
material juga harus mempertimbangkan kemampuan pelaksanaan yang tersedia,
atau dibutuhkan tidaknya alat berat dalam mengolah material tersebut.
4. Mempertimbangkan faktor keselamatan pengguna jalan
Keselamatan pengguna jalan diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009
pada bab xx pasal 273 ayat 1-4. Tertulis bahwa penyelenggara jalan apabila
menyebabkan kecelakaan terhadap pengguna jalan akan dikenakan denda
tertentu dan hukuman pidana. Oleh karena itu suatu jalan haruslah dibuat aman,
nyaman terhadap penggunaannya hingga umur rencana yang ditentukan.
5. Mempertimbangkan kelestarian lingkungan
Aspek lingkungan perlu dipertimbangkan pada setiap pelaku konstruksi dalam
menjalankan kegiatan pembngunannya. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkugan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan mengenai penyelenggaraan usaha atau kegiatan.
Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 juga mengatur
dan memberi pertimbangan atau solusi kepada pihak desainer dalam hal
kemampuan mendesain suatu struktur perkerasan. Ketentuan pertimbangan
dalam kemampuan serta pemilihan jenis perkerasan dapat dilihat pada tabel
berikut (Pratama, 2015):
14

Tabel 2.4 Ketentuan Pertimbangan Desain Perkerasan

Sumber : MKJI 2013


Catatan: Tingkat kesulitan
1. Kontraktor kecil - medium
2. kontraktor besar dengan sumber daya yang memadai
3. membutuhkan keahlian dan tenaga ahli khusus – dibutuhkan kontraktor Burda.

2.2.4. Umur Rencana


Menurut Kementrian Pekerjaan Umum umur rencana suatu jalan raya
merupakan jumlah waktu dalam tahun yang dihitung sejak jalan tersebut dibuka
sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu untuk diberi lapis
permukaan yang baru. Umur perkerasan jalan ditetapkan pada umumnya
berdasarkan jumlah kumulatif lintas kendaraan standar (CESA, Cumulative
Equivalent Standard Axle) (Pratama, 2015).

Dalam Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 umur


rencana digunakan untuk menentukan jenis perkerasan dengan mempertimbangkan
15

elemen perkerasan berdasarkan analisis discounted whole of life cost terendah.


Berikut ini adalah tabel ketentuan umur rencana dengan mempertimbangkan
elemen perkerasan yang disajikan dalam Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor
02/M.BM/2013 (Pratama, 2015):

Tabel 2.5 Umur Rencana Perkerasan Jalan Baru (UR)

Sumber : MKJI 2013


Dilihat pada tabel hubungan antara umur rencana, jenis perkerasan dan
elemen perkerasan. Untuk perkerasan yang direncanakan dengan umur 10 tahun,
perkerasan tanpa penutup dapat digunakan, sedangkan untuk perkerasan umur 20
tahun, perkerasan lentur menjadi pilihan utama. Untuk perkerasan dengan umur
rencana 40 tahun lebih dianjurkan menggunakan perkerasan kaku. Ketentuan tabel
diatas tidaklah mutlak. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi desain perkerasan
seperti ketersediaan material lokal, beban lalu lintas, kondisi lingkungan serta nilai
bunga sangat penting untuk dipertimbangkan (Rahadian, 2013).

Diilustrasikan misalnya, untuk desain perkerasan lentur 10 tahun, terutama


pada kasus overload, maka dalam kondisi kritis saat harus di-overlay akan
membutuhkan overlay yang tebal. Namun jika Desain perkerasan lentur dibuat 20
tahun, umumnya pada waktu yang sama, hanya membutuhkan overlay non
struktural yang ditempatkan sebelum aspal eksisting mencapai kondisi kritis. Selain
itu, penutupan untuk kegiatan pemeliharan yang terlalu sering juga meningkatkan
biaya delay pengguna jalan, karenanya umur desain 20 tahun memberikan biaya
siklus hidup lebih rendah. Ditinjau dari sisi penghematan nilai sekarang biaya siklus
16

hidup, peningkatan umur rencana juga akan memberikan penghematan yang cukup
signifikan (Rahadian, 2013).

2.2.5. Lalu lintas


Perencanaan teknik jalan lalu lintas sangat diperlukan, karena kapasitas dan
konstruksi struktur perkerasan yang akan direncanakan tergantung pada komposisi
lalu lintas yang akan menggunkan jalan pada suatu segmen jalan yang ditinjau,
adapun pendahuluan Manual PD T-19-2004-B survei lalu lintas dapat dilakukan
dengan cara manual, semi manual (dengan bantuan kamera video), ataupun
otomatis (menggunakan tube maupun loop) (Rahadian, 2013).
Analisis lalu lintas pada ruas jalan yang didesain harus juga meperhatikan
faktor pengalihan arus lalu lintas yang didasarkan pada analisis secara jaringan
dengan memperhitungkan proyeksi peningkatan kapasitas ruas jalan yang ada atau
membangun ruas jalan yang baru dalam jaringan tersebut, dan pengaruhnya
terhadap volume lalu lintas dan beban terhadap ruas jalan yang didesain (Rahadian,
2013).
1. Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas diperlukan guna menentukan jumlah dan lebar jalur
pada suatu jalan dalam penentuan karakteristik geometrik, sedangkan jenis
kendaraan akan menentukan kelas beban atau MST (Muatan Sumbu Terberat)
yang berpengaruh pada perencanaan konstruksi strukturb perkerasan. Volume
lalu lintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang melewati suatu titik
pengamatan selama satu satuan waktu (hari, jam atau menit). Volume lalu lintas
juga dapat berupa volume lalu lintas harian rata-rata (LHR) yaitu volume lalu
lintas yang diperoleh dari nilai rata-rata kendaraan selama beberapa hari
pengamatan dan lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) yaitu volume lalu
lintas harian yang diperoleh dari nilai rata-rata jumlah kendaraan selama satu
tahun penuh (Sukirman, 2010).
Pada Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 analisis
volume lalu lintas harus didasarkan pada survei faktual yakni dengan melakukan
survei lalu lintas aktual, dengan durasi minimal 7 x 24 jam, dengan pedoman
pada Manual Pd T-19-2004-B dan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI).
17

Hal yang ditekankan dalam analisis volume lalu lintas pada Manual Desain
Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 ini adalah hasil survei lalu lintas
sebelumnya dapat dipakai sebagai tolak ukur dalam survei lalu lintas aktual dan
LHRT yang dihitung adalah untuk semua jenis kendaraan kecuali speda motor,
ditambah 30% jumlah speda motor (Pratama, 2015).
2. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas
Kebijakan dalam perencanaan faktor pertumbuhan lalu lintas harus
didasarkan pada data-data pertumbuhan historis atau rumusan korelasi dengan
faktor pertumbuhan lain yang valid. Data histori pertumbuhan lalu lintas apabila
tidak lengkap atau tidak tersedia, Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor.
02/M.BM/2013 menyediakan tabel faktor pertumbuhan lalu lintas minimum
sebagai berikut:
Tabel 2.6 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas (i) Minimum
FAKTOR PERTUMBUHAN LALU LINTAS (%)
KELAS JALAN
2011 – 2020 >2021 – 2030

Arteri perkotaan 5 4

Kolektor rural 3.5 2.5

Jalan desa 1 1
Sumber : MKJI 2013

Menghitung pertumbuhan lalu litas selama umur rencana Manual Desain


Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 menyajikan rumus sebagai berikut:

𝑈𝑅
𝑛(1 + 0.01) −1
R=
0.01𝑖

Dimana,
 R = Faktor Pengali Pertumbuhan Lalu lintas
 i = Tingkat pertumbuhan lalu lintas tahunan
 UR = Umur Rencana (tahun)
18

3. Faktor Lajur
Lalu lintas kendaraan terdistribusi pada lajur – lajurnya dan distribusi arus
pada arus lajur – lajur jalan yang umumnya dipengaruhi oleh komposisi/jenis
kendaraan. Di Indonesia ada 2 kondisi perilaku umum berlalu lintas. Pada jalan
bebas hambatan, kendaraan berat berada pada jalur kiri dan kendaraan ringan
yang berkecapat lebih tinggi berada pada jajur kanan, sedangkan untuk jalan
umum kendaraan berat berada pada jalur kanan dikarenakan pada jalur kiri
terdapat kendaraan yang lebih lambat seperti sepeda motor, angkot dan becak.
Perilaku berlalu lintas secar komprehensif telah dimasukkan kedalam
perencanaan struktur perkerasan sebagai salah satu faktor distribusi lajur.
Terdapat perubahan dalam menentukan faktor distribusi lajur pada perencanaan
desain 2013 dengan 2002 yang dapat dilihat pada tabel berikut (Suryo, 2012):
Tabel 2.7 Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

Dapat dilihat pada tabel faktor distribusi lajur pada Maual Desain Perkerasan
Lentur Pd T-01-2002-B memberikan sengkang batas atas dan bawah, sedangkan
pada Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 langsung
memberikan nilai persen (%) besar faktor distribusi lalu lintas dengan
mengambil persen (%) minimum yang awalnya disajikan pada manual desain
sebelumnya.
4. Perkiraan Faktor Ekivalen Beban (Vehicle Damage Vactor)
Perusakan jalan oleh kendaraan dihitung dalam bentuk satuan faktor yang
disebut dalam faktor perusak jalan (Vehicle Damage Vactor). Menghitung faktor
kerusakan jalan perlu diperoleh gambaran tentang beban sumbu kendaraan dan
onfigurasi sumbu kendaraan yang ada. Perhitungan beban lalu lintas yang akurat
19

sangatlah diperlukan dalam tahap perhitungan dalam kebutuhan konstruksi


jalan. Pada panduan Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013
perhitungan beban lalu lintas dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu (Pratama,
2015):
I. Studi jembatan timbang/timbangan statis lainnya khusus untuk ruas jalan
yang didesain.
II. Studi jembatan timbang dan standar yang pernah dikeluarkan dan dilakukan
sebelumnya juga telah publikasikan serta dianggap cukup resprensentatif
untuk ruas jalan yang didesain.
III. Data WIM Regional yang dikeluarkan oleh Direktorat Binamarga Teknik.
IV. Tabel Klarifikasi Kendaraan dan Nilai VDF Standard Manual Desain
Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 pada tabel 2.11 halaman
berikutnya.
Dari keempat ketentuan sumber pengumpulan data beban lalu lintas berbeda
terhadap prasarana jalan yang akan dibangun. Ketentuan untuk cara
pengumpulan data beban lalu lintas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.8 Pengumpulan Data Beban Lalu Lintas
SPESIFIKASI PENYEDIA SUMBER DATA BEBAN LALU
PRASARANA JALAN LINTAS
Jalan bebas hambatan 1 atau 2
Jalan Raya 1 atau 2 atau 4
Jalan Sedang 1 atau 2 atau 3 atau 4
Jaan Kecil 1 atau 2 atau 3 atau 4
Sumber : MKJI
20

Tabel 2.9 Nilai VDF Standart


2.2.6. Beban Lalu lintas
Beban lalu lintas adalah beban kendaraan yang dilimpahkan ke perkerasan
jalan melalui kontak antara ban dan lapis aus/permukaan atas jalan secara dinamis
dan berulang-ulang selama masa pelayanan jalan (Rahadian, 2013).
Beban kendaraan dilimpahkan melalui roda kendaraan yang terjadi berulang
kali selama masa pelayanan jalan sebagai akibat repetisi kendaraan yang melalui
atau melintas pada jalan tersebut. Beban kendaraan yang terjadi secara dinamis
pada perkerasan jalan sangatlah mempengaruhi hasil dari perencanaan konstruksi
struktur perkerasan jalan dan kekuatan struktur pelayanan jalan selama umur
rencana (Sukirman, 2010).
1. Beban Sumbu Standar
Beban sumbu 100kN diijinkan dibeberapa ruas yaitu untuk jalan kelas I.
Namun nilai CESA selalu ditentukan berdasarkan beban sumbu standar
80kN.
2. Pengendalian Beban Sumbu
Untuk keperluan desain, tingkat pembebanan saat ini (aktual) diasumsikan
berlangsung sampai tahun 2020. Setelah tahun 2020, diasumsikan beban
berlebih terkendali dengan beban sumbu nominal 120kN.
3. Beban Sumbu Standar Komulatif
Terdapat sedikit perbedaan dalam perhitungan komulatif beban sumbu
standard dengan Manual Desain Perkerasan Lentur Tahun 2002, Manual
Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 membagi ESA menjadi 2
yaitu ESA4 dan ESA5. ESA4 merupakan jumlah pengulangan sumbu standar
pada perkerasan jalan pada umumnya (perkerasan berbutir), sedangkan
untuk perkerasan lentur (asphalt) ESA4 harus diubah menjadi ESA5 dengan
mengalikan ESA4 dengan Traffic Multiplier (TM) atau disebut juga
kelelahan lapisan aspal.
2.2.7. Desain Pondasi Jalan

Dalam Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 secara


khusus membahas detail desain subgrade jalan dengan menerapkan prinsip strong
ba
approach yaitu umur rencana pondasi yang lebih besar dari umur lapis
aus/permukaan (Pratama, 2015).
Umur rencana pondasi jalan untuk semua perkerasan baru maupun pelebaran
digunakan minimum 20 tahun, dengan alasan:
I. Pondasi jalan yang tidak dapat ditingkatkan selama umur pelayanan kecuali
dengan rekonstruksi total.
II. Keretakan dini akan terjadi pada perkerasan kaku pada tanah lunak yang
pondasinya didesain lemah.
III. Perkerasan lentur dengan desain pondasi lemah pada umumnya selama
umur rencana akan membutuhkan perkuatan dengan lapis struktual, yang
berarti kurang efisien dalam segi biaya dibandingkan dengan umur rencana
yang lebih panjang.

Desain pondasi jalan adalah desain perbaikan tanah dasar dan lapis penompang
(capping), tiang pancang mikro, drainase vertikal dengan bahan strip (wick drain)
atau penanganan lainnya yang dibutuhkan untuk memberikan landasan pendukung
struktur perkerasan lentur maupun perkerasan kaku dan sebagai akses untuk lalu
lintas konstruksi pada musim penghujan (Pratama, 2015).

Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 memberikan empat


kondisi lapangan yang perlu dipertimbangkan dalam prosedur desain pondasi jalan
yaitu:

I. Kondisi tanah dasar normal yang memiliki ciri-ciri CBR > 2,5 dan dapat
dipadatkan secara mekanis. Desain semacam ini meliputi perkerasan di atas
timbunan, galian atau tanah asli (kondisi normal ini lah yang sering
diasumsikan oleh desainer). Dalam manual metode untuk prosedur desain
pondasi normal disebut Metode A.

Kondisi tanah dasar langsung diatas timbunan rendah (kurang dari 3m) diatas
tanah lunak aluvial jenuh. Prosedur laboratorium untuk penentuan CBR tidak
dapat digunakan untuk kasus ini, karena optimasi kadar air dan pemadatan secara
mekanis tidaklah mungkin dilakukan dilapangan. Tindakan lanjutnya tanah asli
akan menunjukan kepadatan rendah dan daya
23

I. dukung tanah yang rendah sampai kedalaman yang signifikan yang


membutuhkan prosedur stabilitas khusus. Dalam manual metode untuk
prosedur desain pondasi normal disebut metode B.
II. Kasus yang sama dengan kondisi b namun tanah lunak alluvial dalam
kondisi kering. Prosedur laboratorium untuk penentuan CBR memiliki
validitas yang terbatas karena tanah dengan kepadatan rendah dapat muncul
pada kedalaman pada batas yang tidak dapat dipadatkan dengan peralatan
konvensional. Kondisi ini membutuhkan prosedur stabilitas khusus. Dalam
manual metode unutk prosedur desain pondasi normal disebut Metode C.
III. Tanah dasar di atas timbunan tanah gambut. Dalam manual desain metode
untuk prosedur desain pondasi normal disebut metode D.

Metode pengerjaan setiap kondisi dari tanah dasar lebih jelas dijabarkan pada
Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M.BM/2013 dan untuk perbaikan tanah
dasar dapat dilihat pada tabel 2.11.
24

Tabel 2.10 Solusi Desain Pondasi Jalan Minimum

Sumber : MKJI 2013


25

Tabel 2.11 Desain Perkerasan Lentur Opsi Biaya Optimum Termasuk CTB

Sumber : MKJI 2013

Anda mungkin juga menyukai

  • 1591 5260 2 PB
    1591 5260 2 PB
    Dokumen7 halaman
    1591 5260 2 PB
    Muhammad Alamsyah
    Belum ada peringkat
  • 05.4 Bab 4
    05.4 Bab 4
    Dokumen5 halaman
    05.4 Bab 4
    Muhammad Alamsyah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Muhammad Alamsyah
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 - 2
    Bab 2 - 2
    Dokumen24 halaman
    Bab 2 - 2
    Muhammad Alamsyah
    Belum ada peringkat
  • Kisi Kisii Merged
    Kisi Kisii Merged
    Dokumen35 halaman
    Kisi Kisii Merged
    Muhammad Alamsyah
    Belum ada peringkat
  • Bab 2 Anhar - Merged
    Bab 2 Anhar - Merged
    Dokumen55 halaman
    Bab 2 Anhar - Merged
    Muhammad Alamsyah
    Belum ada peringkat