Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Dilalah Lafdziyyah Menurut Syafi’iyyah (Mantuq dan Mafhum)


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Perkuliahan
Ushul Fiqh II

Disusun Oleh :
Kelompok 6
Anisa Afrianti :1120015
Wina Nofiani :1120017

Dosen Pengampu :
Hamdani, Lc, M.A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (HK A)


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BUKITTINGGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunianya, sehingga penulis dapat menjelaskan mengenai Mantuq dan Mafhum. Makalah ini
ditujukan untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh II.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah
membimbing kami. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
memberikan dorongan, serta bantuan sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang Mantuq dan Mafhum. Makalah ini ditujukan untuk
memenuhi tugas kelompok. Penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan,
maka penulis mohon maaf apabila ada kesalahan ataupun kekurangan dalam makalah yang
penulis buat ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Untuk tercapainya
kesempurnaan makalah ini, penulis mohon kritik dan saran dari yang membacanya.

Pasaman Barat, 8 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii


DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1


A. Latar Belakang................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ......................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 2
A. Pengertian Mantuq dan Mafhum ...................................................................... 2
B. Pembagian Mantuq dan Mafhum ..................................................................... 3
C. Kehujjahan Mantuq dan Mafhum ..................................................................... 9

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 11


A. Kesimpulan...................................................................................................... 11
B. Kritik dan Saran ............................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dilalah merupakan petunjuk yang menunjukkan makna yang dimaksud.
Menurut Shihab (2013: 168) sebuah kata atau kalimat bisa didengar, bisa jadi dapat
dipahami seperti apa adanya; tidak berlebih dan tidak berkurang tetapi bisa jadi juga
seorang pembaca bisa masuk ke dalam kata atau kalimat tersebut sehingga lahir
makna-makna baru yang tidak berhubungan langsung dengan apa yang terucapkan,
meskipun dari jauh ada hubungannya.
Abu Zahrah (tt: 139) menjelaskan bahwa dilalah adalah lafadh-lafadh yang
ditinjau dari segi kejelasan dan kualitas penjelasan itu yang dapat menginterpretasikan
sebagian lafadh-lafadh nash dengan sebagian lainnya untuk dijadikan cara untuk
menggali hukum-hukum dari nash tersebut. Pengertian dari lafadh-lafadh tersebut
(dilalah) dapat ditinjau dari bermacam-macam cara. Bisa jadi satu kata (lafadh) dapat
menunjukkan beberapa pengertian yang saling berdekatan karena dilihat dari berbagai
macam segi. Menurut al-Hudhari (2000: 142), Imam al-Syafi’I membagi dilalah
kepada dua bagian; yaitu mantuq dan mafhum.
Khalaf menjelaskan bahwa sebuah nash syara’ terkadang mempunyai
beberapa makna yang berbeda-beda dengan cara yang berbeda-beda dari metode
dilalahnya. Dilalahnya tidak terbatas pada sesuatu yang dapat dipahami dari ibarat
nash (teks) dan hurufnya semata, namun terkadang dapat dipahami atas makna yang
dapat dipahami dari isyarat, dilalah dan iqtidha’nya
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Mantuq dan Mafhum?
2. Apa saja pembagian Mantuq dan Mafhum?
3. Bagaimana kehujjahan Mantuq dan Mafhum?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Mantuq dan Mafhum.
2. Untuk mengetahui pembagian Mantuq dan Mafhum.
3. Untuk mengetahui kehujjahan Mantuq dan Mafhum.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mantuq dan Mafhum


Secara bahasa manthuq berasal dari kata nathaqa yang bermakna berucap.
Manthuq adalah makna yang dikandung oleh kata yang terucapkan. Al-Qatthan
(2002: 358) menjelaskan manthuq adalah suatu makna yang ditunjukkan oleh lafadh
menurut ucapannya, yakni petunjuk makna berdasarkan materi huruf-huruf yang
diucapkan. Petunjuk (dilalah) lafadh kepada makna adakalanya kepada bunyi
(mantuq, arti tersurat) perkataan yang diucapkan itu, baik secara tegas maupun
mengandung kemungkinan makna lain dengan taqdir mapun tanpa taqdir.
Contoh manthuq, terdapat dalam surat al-An’am: 145:

‫َِّل ا َ ْن ياكُ ْونَ َم ْيتَةً ا َ ْو دَ ًما ام ْسفُ ْو ًحا ا َ ْو لَحْ َم‬


ٓ ‫اط َع ُم ٓه ا ا‬ َ ‫ع ٰلى‬
ْ ‫طا ِع ٍم ي‬ َ ‫ي ُم َح ار ًما‬ ‫ي اِلَ ا‬َ ‫ي َما ٓ ا ُ ْو ِح‬ ٓ ‫قُ ْل ا‬
ْ ِ‫َّل ا َ ِجد ُ ف‬
‫غفُ ْو ٌر ار ِح ْي ٌم‬َ َ‫عا ٍد َفا اِن َرباك‬ َ ‫غي َْر بَاغٍ او ََّل‬ َ ‫ضطُ ار‬ ِ ‫س ا َ ْو فِ ْسقًا ا ُ ِه ال ِلغَي ِْر ه‬
ْ ‫ّٰللا ِب ٖۚه فَ َم ِن ا‬ ٌ ْ‫ِخ ْن ِزي ٍْر فَ ِاناه ِرج‬

Artinya : Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku,


sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging
hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu
kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa
terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka
sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Umam dan Aminuddin (1989: 44) menjelaskan ayat di atas dapat difahami
bahwa Manthuqnya adalah haram memakan darah yang mengalir. Sedangkan mafhum
mukhalafahnya adalah halal darah yang tidak mengalir dan diketahui halalnya melalui
kaidah atau melalui dalil syara’ yang lain seperti bunyi hadis Nabi:

‫ فأما الميتتان‬, ‫ أحلت لنا ميتتان ودمان‬: ‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن ابن عمر قال‬
‫ وأما الثمان فالكبد والطحال (رواه الحاكم‬,‫فالحوث والجراد‬
‫) والبيهقي‬

2
Artinya: Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: "Dihalalkan bagi kita dua
(macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua macam bangkai adalah
bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa"
(HR.al-Hakim dan al-Baihaqi).

Mafhum secara bahasa berarti faham atau dapat difahami. Secara ishtilahi,
mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadh tidak berdasarkan pada bunyi
bacaan. Para ulama’ ushul fiqih berpendapat bahwa sebagian besar dilalah didasarkan
pada teks (nash). Menurut Abu Zahrah (tt: 147), dilalah nash juga diambil dari teks,
karena ia juga difahami dari pengertian bahasa pada suatu teks. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa semua dilalah di atas adalah dilalah al-manthuq, dan berbeda dengan
dilalah mafhum.

B. Pembagian Mantuq dan Mafhum


1. Pembagian Mantuq
Para ulama’ ushul fiqih membagi manthuq kepada tiga macam; nash, zhahir dan
muawwal (al-Qatthan, 2006: 358).
A) Nash, yaitu tidak mengandung kemungkinan ta’wil/ pengalihan makna. Nash
terbagi dua, ada yang 1) sharih (jelas), apabila lafadh yang digunakan
menunjukkan dengan tegas dan jelas maknanya, baik makna itu sesuai
sepenuhnya degan bunyi teks (nash) atau hanya dikandung maknanya oleh
nash. Bagian ini disebut dengan ibarat al-nash.
Misalnya firman Allah Swt.: QS. Al-Baqarah: 196
ٌ‫املَة‬ َ ‫صيَا ُم ث َ ٰلث َ ِة اَي ٍاام فِى ْال َحجِ َو‬
َ َ‫س ْبعَ ٍة اِذَا َر َج ْعت ُ ْم ۗ تِلْك‬
ِ ‫عش ََرة ٌ َك‬ ِ َ‫فَ َم ْن لا ْم يَ ِجدْ ف‬
Artinya: Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna (QS. Al-
Baqarah: 196).
Penyifatan sepuluh dengan sempurna telah mematahkan kemungkinan
sepuluh di diartikan lain secara majaz. Nash yang 2) ghair sharih (tidak jelas,
yakni manthuq yang maknanya bukan muncul dari makna yang diletakkan
untuknya, namun demikian makna itu adalah sesuatu yang tidak terpisahkan
darinya. Contohnya: sepuluh adalah makna angka di atas 9 dan dibawah

3
sebelas. Namun bisa saja angka sepuluh merupakan bilangan genap. Itulah
manthuq yang ghairu sharih dan yang sebenarnya bukan yang dimaksud
dengan kata empat, tetapi selama ia sepuluh, ia pasti genap (Shihab, 2013:
170).
Manthuq ghairu sharih dibagi menjadi tiga:
1. dilalah ima’ dinamai juga dilalah tanbih, yaitu teks yang dibarengi dengan
lafadh tertentu, yang seandainya lafadh itu bukan sebab dari ketentuan
yang disebut oleh ayat, maka penyebutannya dalam teks tidak bermakna,
dan hal yang demikian mustahil terdapat dalam firman Allah atau sabda
Rasul SAW. misal firman Allah: Al-Infithar ayat 13

ْ ‫ار لَ ِف‬
‫ي نَ ِعي ٍْم‬ َ ْ ‫ا اِن‬
َ ‫اَّلب َْر‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan berada di
dalam kenikmatan” (QS. Al-Infithar: 13).

Ayat ini mempunyai maksud, bahwa mereka dalam kenikmatan


sebagai imbalan atas kebajikan mereka. Sisipan ini dirasa perlu karena
Allah Maha Adil, ganjaran dan balasan yang diberikan-Nya atas dasar
perbuatan manusia (Shihab, 2013: 172).
2. dilalah iqtidha’, maksunya kebenaran dilalah (petunjuk) sebuah lafadh
kepada makna terkadang bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan.
Atau dilalah yang harus mentaqdirkan lafadh yang terbuang, karena suatu
nash tidak dapat dipahami dengan benar menurut syara’ kecuali dengan
mentaqdirkan lafadh yang berbuang (Abu Zahrah, tt: 143). Misal:

َ ‫ع ٰلى‬
‫سفَ ٍر فَ ِعداة ٌ ِم ْن اَي ٍاام اُخ ََر‬ ً ‫فَ َم ْن َكانَ ِم ْنكُ ْم ام ِر ْي‬
َ ‫ضا ا َ ْو‬
Artinya: “Maka di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan,
maka (wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari
yang lain” (QS. Al-Baqarah: 184).

Ayat di atas memerlukan suatu lafadh yang tidak disebutkan, yaitu


faafthara faiddatun (lalu ia berbuka maka..), sebab kewajiban qadla puasa
bagi musafir itu hanya apabila ia berbuka dalam perjalanannya itu. Sedang
jika ia tetap berpuasa maka tidak wajib baginya mengganti atau qadla’ (al
Qatthan, 2002: 360).

4
3. dilalah isyarah, yaitu makna yang ditarik dari lafadh, namun bukan itu
yang dimaksud oleh lafadh, akan tetapi ia memeliki hubungan kelaziman
dengan konteks uraiannya. Misal dalam firman Allah swt.:
‫ّٰللاُ اَناكُ ْم كُ ْنت ُ ْم‬ َ ۗ ‫اس لا ُه ان‬
‫ع ِل َم ه‬ ٌ ‫س ۤا ِٕىكُ ْم ۗ ه اُن ِل َب‬
ٌ ‫اس لاكُ ْم َوا َ ْنت ُ ْم ِل َب‬ َ ‫ث ا ِٰلى ِن‬ ُ َ‫الرف‬ ِ َ‫ا ُ ِح ال لَكُ ْم لَ ْيلَة‬
‫الص َي ِام ا‬
‫ّٰللاُ َل ُك ْم ۗ َو ُكلُ ْوا‬
‫َب ه‬ َ ‫ع ْنكُ ْم ٖۚ فَ ْال ٰـنَ َبا ِش ُر ْوه اُن َوا ْبتَغُ ْوا َما َكت‬َ ‫عفَا‬ َ ‫علَ ْيكُ ْم َو‬ َ ‫سكُ ْم فَت‬
َ ‫َاب‬ َ ُ‫ت َْخت َانُ ْونَ ا َ ْنف‬
‫ام اِلَى‬ َ ‫الص َي‬ ِ َ‫ض مِنَ ْال َخي ِْط ْاَّلَس َْو ِد مِنَ ْالف‬
ِ ‫جْر ث ُ ام ا َ ِت ُّموا‬ َ ْ ُ‫لَكُ ُم ْال َخ ْيط‬
ُ ‫اَّل ْب َي‬ َ‫َوا ْش َرب ُْوا َحتهى َيت َ َبيان‬
‫ّٰللاِ فَ َل ت َ ْق َرب ُْوه َۗا َك ٰذلِكَ يُبَيِنُ ه‬
ُ‫ّٰللا‬ ‫عا ِكفُ ْونَ فِى ْال َمسٰ ِج ِد ۗ تِ ْلكَ ُحد ُْود ُ ه‬ َ ‫َوا َ ْنت ُ ْم‬ ‫الا ْي ٖۚ ِل َو ََّل تُبَا ِش ُر ْوه اُن‬
ِ ‫ٰا ٰيتِه ِللنا‬
َ‫اس لَعَلا ُه ْم يَتاقُ ْون‬

Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka
itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa (QS. Al-Baqarah: 187).

Ayat di atas memperbolehkan suami istri untuk berhubungan seks pada


malam puasa, yakni sampai batas berakhirnya malam. Hal itu mengisyaratkan
bahwa seorang yang dalam keadaan junub tidak batal puasanya, walau
hubungan seks itu berlanjut dan selesai pada detik terakhir sebelum
berakhirnya malam. Bagi mereka yang melakukan hubungan seks pada akhir
detik malam, tentu saja ketika itu dia masih dalam keadaan junub (karena
belum mandi janabah) (Shihab, 2013: 173). Berarti ayat ini memperbolehkan
puasa dalam keadaan junub.

B) Zhahir, yaitu lafadh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera bisa
dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang

5
lemah (marjuh). Maka, dhahir itu sama halnya dengan nash dalam hal
penunjukannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Akan tetapi,
dari segi lain ini berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu
makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna
lain. Sedangkan dhahir, selain menunjukkan satu makna ketika diucapkan, ia
juga memberikan kemungkinan makna lain yang meskipun lemah. Misalnya
firman Allah:
‫غفُ ْو ٌر ار ِح ْي ٌم‬
َ ‫ّٰللا‬ َ ‫ل اِثْ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه ۗ ا اِن ه‬ ٓ َ َ‫عا ٍد ف‬ َ ‫ضطُ ار‬
َ ‫غي َْر بَاغٍ او ََّل‬ ْ ‫فَ َم ِن ا‬
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas…” (QS. Al
Baqarah: 173).
Lafadh “al-bagh” digunakan untuk makna al-jahil (bodoh dan tidak
tahu) dan al-dhalim (melampaui batas). Tetapi pemakaian untuk makna kedua
lebih tegas dan popular sehingga makna inilah yang kuat (rajah), sedangkan
makna yang pertama lemah (marjuh) (al-Qatthan, 2002: 359).
C) Muawwal, yaitu sebuah lafadh yang diartikan dengan makna marjuh karena
ada sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna rajah. Ada
perbedaan antara muawwal dan dhahir; dhahir diartikan dengan makna yang
rajah sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada marjuh, sedangkan
muawwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang memalingkan
dari yang rajih. Misalnya firman Allah:
‫ض لَ ُه َما َجنَا َح الذُّ ِل ِمنَ ا‬
‫الرحْ َم ِة‬ ْ ‫َو‬
ْ ‫اخ ِف‬
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan (QS. Al-Isra’: 24).
Lafadh janah aslinya mempunyai arti sayap sedang dzull bermakna
rendah, namun ayat ini lebih condong dimaknai dengan hendah hati, tawadhu’
dan bergaul dengan baik kepada kedua orang tua, tidak diartikan dengan
makna yang pertama (al-Qatthan, 2002: 360).

2. Pembagian Mafhum
Para ulama membagi mafhum atas dua bagian, yaitu: (1) Mafhum muwafaqah;
(2) Mafhum mukhalafah.1

1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 220.

6
Pembagian ini didasarkan pada suatu alasan bahwa, meskipun suatu lafal tidak
menunjukkan pada pengertian mafhum muwafaqah, tetapi pada hakekatnya lafal
tersebut mempunyai pengertian yang sama dengannya.
1. Mafhum Muwafaqah
Yang dimaksud dengan mafhum muwafaqah ialah pengertian yang
dipahami sesuatu menurut ucapan lafal yang disebutkan. Mafhum muwafaqah
ini terbagi dua, yaitu:
a. Fahwa al-khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan, seperti memukul orang tua lebih tidak boleh
dibanding mengucapkan perkataan “ah”, sebagaimana pada ayat yang
telah dikemukakan terdahulu.
b. Lahn al-khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya
dengan yang diucapkan, seperti firman Allah dalam QS al-Nisa’ (4): 10
yang berbunyi:

ْ ِ‫ا اِن الا ِذيْنَ يَأْكُلُ ْونَ ا َ ْم َوا َل ْاليَ ٰتمٰ ى ظُ ْل ًما اِنا َما يَأْكُلُ ْونَ ف‬
ً ‫ي بُطُ ْونِ ِه ْم ن‬
‫َارا‬
Artinya : (sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim
secara aniaya, sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka)2
2. Mafhum Mukhalafah
Yang dimaksud dengan mafhum mukhalafah adalah lafalnya
menunjukkan suatu pertentangan hukum yang diucapkan (didiamkan) dan
yang disebutkan.3 Atau dengan kata lain, kebalikan dari hukum yang disebut,
lantaran tidak adanya batasan, maka nash tersebut dapat juga dipahami sebagai
hukum yang mengharamkan, bila batasannya tidak ada. Contohnya adalah
firman Allah dalam QS al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:

ِ ‫علَ ْيكُ ُم ْال َم ْيتَةُ َوالدا ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َما ٓ ا ُ ِه ال ِلغَي ِْر ه‬
‫ّٰللا بِه‬ ْ ‫ُح ِر َم‬
َ ‫ت‬
(diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang
disembelih atas nama selain Allah).
Bunyi ayat tersebut menunjukkan diharamkannya binatang sembelihan, yang
ketika disembelih dibarengi dengan menyebut nama selain Allah, seperti berhala
dan sebagainya. Di samping itu, ayat tersebut juga dipahami bahwa binatang yang
disembelih dengan tanpa menyebut nama selain Allah, maka haram dimakan.

2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: Jaya Sakti, 1989), hlm.152.
3
Syekh Muhammad al-Khudhairy Bik, Ushul al-Fiqh (Pekalongan: Raja Merah, 1982), hlm. 148.

7
Dengan demikian, bunyi suatu nash menetapkan suatu hukum yang disertai
adanya batas. Jika batas tersebut hilang, maka nash tersebut menimbulkan
pemahaman kebalikan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi dari nash tersebut.
Menurut Abu Zahrah, untuk menggunakan mafhum mukhalafah, harus memenuhi
dua syarat: Batasan dalam nash itu tidak mempunyai tujuan lain, kecuali untuk
membatasi hukum; Tidak ada dalil khusus dalam obyek hukum yang dipahami
dengan mafhum mukhalafah.4 Baik Abu Zahrah maupun al-Khudhary Bik,
membagi mafhum mukhalafah dalam lima macam sebagai berikut:
a. Mafhum al-laqab, yaitu menyebutkan suatu hukum yang ditentukan dengan
jenis atau macamnya, sehingga hukum positif dalam masalah yang terdapat
dalam nash dan negatif bagi masalah yang tidak disebutkan. Misalnya sabda
Nabi yang berbunyi: ‫( فيالسائمةزكاة‬binatang yang digembalakan di padang
rumput, wajib dikeluarkan zakatnya).5 Hadis di atas menunjukkan bahwa
binatang ternak yang digembalakan di padang rumput, wajib dikeluarkan
zakatnya. Dengan menggunakan mafhum mukhalafah, dapat dipahami bahwa
binatang yang dipelihara (dibiayai), tidak wajib dikeluarkan zakatnya.
b. Mafhum al-shifat, yaitu menetapkan hukum dalam bunyi satu nash yang
dibatasi dengan sifat yang terdapat dalam lafal. Jika sifat tersebut telah hilang,
maka terjadilah kebalikan hukum tersebut. Misalnya firman Allah dalam QS
al-Nisa’ (4): 25 yang berbunyi:
ِ ‫ت ْال ُمؤْ ِم ٰن‬
ْ ‫ت فَ ِم ْن اما َملَ َك‬
‫ت ا َ ْي َمانُكُ ْم ِم ْن فَت َٰيتِكُ ُم‬ َ ْ‫ط ْو ًَّل ا َ ْن يا ْن ِك َح ْال ُمح‬
ِ ‫ص ٰن‬ َ ‫َو َم ْن لا ْم يَ ْست َِط ْع ِم ْنكُ ْم‬
ِ‫ْال ُمؤْ ِم ٰن ۗت‬

(dan barangsiapa di antara kamu tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini


wanita baik-baik dan beriman, dia boleh mengawini wanita beriman dari budak
budak yang kamu miliki). Dibolehkanya mengawini wanita-wanita budak dalam
ayat tersebut adalah dibatasi dengan keimanan. Oleh karena itu, wanita-wanita
budak yang tidak beriman, tidak halal dinikahi.
c. Mafhum al-syarth, yaitu menetapkan kebalikan suatu hukum yang tergantung
pada syarat atau bersamaan dengan syarat, jika syarat tersebut tidak terwujud.
Misalnya firman Allah dalam QS al-Thalaq (65): 6

4
Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm.226-227.
5
Departemen Agama RI, op.cit,. hlm. 230.

8
‫ض ْعنَ َح ْملَ ُه ٖۚ ان‬
َ َ‫علَ ْي ِه ان َحتهى ي‬
َ ‫ت َح ْم ٍل فَا َ ْن ِفقُ ْوا‬ َ ُ ‫َوا ِْن كُ ان ا‬
ِ ‫وَّل‬
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban memberikan nafkah
kepada isteri yang dicerai dan tengah menjalani masa iddah itu, dibatasi jika
isteri yang dicerai tersebut dalam keadaan hamil. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa isteri yang dicerai tidak sedang hamil, maka tidak wajib bagi
bekas suami memberikan nafkah kepadanya.
d. Mafhum al-ghayah, yaitu menetapkan hukum yang berada di luar tujuan nash,
bila hukum tersebut dibatasi dengan tujuan. Misalnya firman Allah dalam QS.
Al-Baqarah (2) : 230
َ ‫طلاقَ َها فَ َل ت َِح ُّل لَه ِم ْن َب ْعد ُ َحتهى ت َ ْن ِك َح زَ ْو ًجا‬
‫غي َْره‬ َ ‫فَا ِْن‬
kemudian jika suami mentalaknya, maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya sampai dia kawin dengan suami yang lain
Ayat tersebut menjelaskan bahwa larangan menikah dengan wanita
yang telah ditalak tiga memiliki batas tertentu, yaitu sampai isteri tersebut
telah menikah dengan laki-laki lain. Jika isteri tersebut telah menikah, maka ia
boleh dinikahi lagi oleh bekas suaminya.
e. Mafhum al-‘Adad, yaitu penetapan kebalikan dari suatu hukum yang dibatas
dengan bilangan, ketika bilangan tersebut tidak dipenuhi.

C. Kehujjahan Mantuq dan Mafhum


Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu
juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa
dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena
penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum
padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya
saja. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya,
kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad
adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan
pengertian bahwa selain Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ini jelas bertentangan
dengan nash yang ada.

9
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang
paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi)
dengan beberapa syarat, antara lain
a. Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya
“yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan
anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini
tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri
yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya
anak-anak perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b. Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman
Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan
yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu,
maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang
yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi
kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat
yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita dan untuk menghinakan
orang yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa
menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan
bahwasannya: Secara bahasa manthuq berasal dari kata nathaqa yang bermakna
berucap. Manthuq adalah makna yang dikandung oleh kata yang terucapkan.
Sedangkan Mafhum secara bahasa berarti faham atau dapat difahami. Secara ishtilahi,
mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadh tidak berdasarkan pada bunyi
bacaan.
Pembagian Mantuq ada 3 yaitu:
1. Nash
2. Zhahir
3. Muawwal
Pembagian Mafhum ada 2 yaitu:
1. Mafhum Muwafaqah
2. Mafhum Mukhalafah
Mantuq dan Mafhum muwafaqah dapat dijadikan hujjah, namun untuk
mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa
dijadikan hujjah.

B. Kritik dan Saran


Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan dapat memberikan pengetahuan sedikit tentang Mantuq dan Mafhum. Kami
mengetahui dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik
dari segi penulisannya, bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar dapat terciptanya
makalah yang baik yang dapat memberikan pengetahuan yang benar kepada pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1997.


Al-Khudhairy Bik, Syekh Muhammad. Ushul Fiqh. Pekalongan: Raja Merah, 1982.
Atabik, Ahmad. Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Yudisia, Vol.6, No.1, Juni 2015.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Jaya Sakti, 1989.

Anda mungkin juga menyukai