Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam usaha menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dan pemenuhan
terhadap target produksi maka perlu ditunjang dengan peralatan yang modern.
Namun dengan penggunaan peralatan yang modern tersebut pasti akan muncul
adanya bahaya bagi operatornya maupun karyawan lainnya, disamping itu juga
dapat mempengaruhi atau membahayakan lingkungan maupun masyarakat sekitar.
Di sinilah pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja yang maksimal
diharapkan dapat meminimalisasi dampak negatif yang ditimbulkan dari sebuah
proses produksi, sehingga usaha efisiensi dan peningkatan produktifitas yang
dilakukan perusahaan dapat terwujud (PT. Adi Satria Abadi, 2007). Faktor
sumber daya manusia merupakan aset utama yang menentukan keberhasilan
proses produksi, sehingga perlu diberikan perlindungan kerja yang sebaik-baiknya
agar dapat menunjukan penampilan kerja yang baik yang akan tercermin dalam
tingkat produktivitas kerja yang tinggi (Suma’mur, 1995). Kepedulian pemerintah
Indonesia terhadap keselamatan kerja diatur melalui peraturan perundang-
undangan guna meningkatkan kesadaran bagi pihak perusahaan dan karyawan
(Martina Indah Lestari, 2005). Peraturan tersebut diantaranya adalah UU No. 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja yang diantaranya mencakup syarat-syarat
keselamatan kerja yang bertujuan untuk :
1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatan dalam melakukan pekerjaan
untuk kesejahteraan dan meningkatkan produktivitas nasional.
2. Melindungi setiap orang yang berada di tempat kerja atas hak keselamatannya.
3. Sumber produksi yang dipakai dapat dipergunakan secara aman dan efisien.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk melaksanakan
secara berkala terhadap pelaksanaan perundang-undangan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) guna mencapai keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan
bagi tenaga kerja dan masyarakat sekitar (Suma’mur, 1995). PT. Adi Satria Abadi
adalah salah satu industri penyamakan kulit yang telah menerapkan pelaksanaan
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup ( K3LH ) serta telah

1
menyediakan Alat Pelindung Diri bagi tenaga kerja maupun orang lain yang
berada di tempat kerja, training K3, sarana dan prasarana pengolahan limbah hasil
industri. PT. Adi Satria Abadi dinilai cukup baik bagi mahasiswa untuk menimba
ilmu pengetahuan pengalaman praktek kerja lapangan yang berkenaan dengan
Higene Perusahaan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Selain itu mahasiswa
dapat berlatih untuk mengidentifikasi bahaya, penyebab terjadinya kecelakaan
kerja dan menemukan penanganannya. Berkaitan dengan latar belakang tersebut
di atas, maka kami melaksanakan observasi serta menyusun laporan tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja di PT. Adi Satria Abadi.

1.2 Profil Perusahaan


PT. Adi Satria Abadi (ASA) terletak di dusun Banyakan Sitimulyo
Piyungan Bantul Yogyakarta. Batas wilayah PT. Adi Satria Abadi adalah :
Utara : Jalan raya
Timur : PT. Bintang Alam Semesta
Selatan: Sawah
Barat : Sawah
Perusahaan ini bergerak di bidang industri penyamakan kulit dengan bahan baku
kulit kambing dan domba. Terdapat 260 tenaga kerja, waktu kerja di PT. Adi
Satria Abadi adalah 6 hari kerja dan lama kerja 8 jam per hari dengan total kerja
40 jam per minggu. PT. Adi Satria Abadi mempunyai beberapa bagian produksi
yaitu bagian pickle (seleksi bahan), tanning (pencucian dan penyamakan bahan
dasar), shaving (penipisan ukuran kulit yang dikehendaki atau menurut
pemesanan), dyeng (pewarnaan dan perminyakan) dan retan (pewarnaan untuk
warna putih dengan bahan formalin), enzine (pengeringan kulit semi kering) dan
setter (pelebaran kulit dengan sistem press), hanging (pengeringan total), milling
(pelemasan kulit), wide stacking (pelemasan kulit untuk yang berwarna putih),
stacking (pelemasan kulit), toggle (pelebaran kulit akhir dengan dipanasi) dan
gudang (pengepakan hasil akhir proses). Di dalam “Pedoman Mutu PT. Adi Satria
Abadi”, perusahaan ini memiliki moto perusahaan, yaitu “kepuasan pelanggan
adalah budaya kami”.

2
1.3 Tujuan
1. Melakukan pengukuran dan pengamatan mengenai bahaya kimia dan fisik,
kebisingan, pencahayaan, iklim kerja dan paparan debu di PT. Adi Satria
Abadi.
2. Mengidentifikasi potensi bahaya kimia dan fisik, kebisingan,
pencahayaan, iklim kerja dan paparan debu di PT. Adi Satria Abadi.
3. Merencanakan upaya pengendalian potensi bahaya kimia dan fisik,
kebisingan, pencahayaan, iklim kerja dan paparan debu di PT. Adi Satria
Abadi.

1.4 Manfaat
1. Bagi Perusahaan
Memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi perusahaan
terhadap upaya penanganan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
sehingga dapat meminimalisasi tingkat kecelakaan kerja, penyakit akibat
kerja.
2. Bagi Dokter Peserta Pelatihan
Rangkaian kegiatan observasi ini dapat dijadikan pengalaman dan
pengajaran untuk kegiatan ilmiah pada umumnya dan hiperkes pada
khususnya.
3. Bagi Masyarakat
Hasil observasi ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kondisi
perusahaan secara umum dan menjadi bahan pertimbangan dalam mencari
lapangan pekerjaan.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi Bahaya Fisik dan Kimia


Karyawan akan menghadapi ancaman bahaya yang mengganggu kesehatan

di tempat kerja PT. Adi Satria Abadi, identifikasi bahaya yang dilakukan di

bagi menjadi 2 area yaitu :

a. Area Office

Berikut ini merupakan identifikasi bahaya yang mungkin terjadi pada area

office PT. Adi Satria Abadi, antara lain :

1) Bahaya Fisik

Bahaya yang timbul di area office antara lain bahaya akibat kebisingan, bahaya

akibat pencahayaan, dan bahaya akibat radiasi.

a) Bahaya kebisingan yang timbul di area office di karenakan pada ruangan

office tidak kedap suara, sehingga terpapar kebisingan yang di sebabkan oleh

adanya kebisingan yang berada di area produksi. Namun bahaya kebisingan

yang ada di area ini masih di bawah NAB yaitu sebesar 78 dB sedangkan batas

NAB ialah 85 Db, (Hasil pengukuran mahasiswa Poltekes Fakultas Kesehatan

Lingkungan,2009)

b) Bahaya pencahayaan timbul akibat tidak adanya pemeliharaan terhadap

fasilitas pencahayaan. Pencahayaan yang tidak baik dapat mengakibatkan

kelelahan pada mata yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas

pekerja.

4
c) Aktivitas di area office yang menggunakan komputer berpotensi

menyebabkan bahaya akibat radiasi yang di hasilkan oleh layar komputer, hal

ini dapat mengakibatkan kelelahan pada mata serta efek radiasi lainnya.

2) Bahaya Mekanik

Bahaya ini berasal dari pengaturan penempatan perlengkapan yang tidak rapi juga

dapat berasal dari kecerobohan dari pekerja sendiri, seperti tersandung,

terjatuh, tertimpa dll.

3) Bahaya Kimia

Bahaya pada area office, penggunaan zat kimia dapat diidentifikasikan pada

penggunaan tinta printer dan tinta bolpoin yang berbahaya apabila terhirup karena

mengandung timah hitam. Timah hitam yang terhirup secara berlebihan dapat

mengganggu metabolisme tubuh.

b. Area Produksi

Faktor-faktor bahaya yang dapat diidentifikasi antara lain :

1) Bahaya Fisik

Bahaya fisik yang timbul di area produksi, antara lain : bahaya akibat

kebisingan, getaran, debu dan bahaya akibat tekanan panas.

a) Kebisingan

Bahaya fisik akibat kebisingan pada area produksi ini pada bagian proses

drum ialah 79,4 dBA, bagian Shaving 82,9 dBA, tidak melebihi ambang

batas. Nilai Ambang Batas 85 dBA, sedangkan ruang Enzine Setter 90,3

dBA, ruang staking 93,8 dBA, yaitu melebihi ambang batas Nilai ambang

batas 85 dBA. Sumber kebisingan di area produksi PT. Adi Satria Abadi

5
terdapat pada proses produksi staking, karena pada area tersebut

digunakan mesin yang dapat menghasilkan kebisingan. Kebisingan dapat

mengganggu komunikasi antar pekerja ketika bekerja, sehingga berpotensi

menimbulkan kecelakaan dan tentunya dapat menurunkan produktifitas

perusahaan.

b) Getaran

Getaran di PT. Adi Satria Abadi berasal dari alat-alat proses yang

berada dalam setiap ruangan terutama pada mesin setter utara dan mesin

Enzine, serta mesin enzine selatan selatan.

2) Bahaya Mekanik

Kecelakaan dengan sumber bahaya mekanik banyak terjadi pada area

produksi, seperti tersandung, tergelincir, terjatuh, tertimpa kulit, terjepit,

dan lain-lain.

3) Bahaya Kimia

Penggunaan bahan kimia pada proses produksi seperti formalin. bahan

kimia tersebut dapat mengakibatkan keracunan apabila terhirup oleh

pekerja dan apabila dengan mudah meledak dan terbakar apabila tidak

digunakan dan diperlakukan sesuai prosedur.

2.2 Kebisingan
2.2.1 Definisi
Hampir semua jenis industri manufaktur menggunakan peralatan atau
mesin-mesin yang berpotensi menimbulkan kebisingan. Suara dapat terjadi
apabila ada bagian-bagian mesin atau benda yang bergetar, getaran ini
selanjutnya dihantarkan oleh udara dalam bentuk gelombang dan sampai
ke telinga bagian dalam unuk dianalisis, kemudian dilanjutkan melalui

6
saraf pendengaran ke cortex cerebr. Mengingat sumber getaran tidak
hanya satu, maka kebisingan terdiri dari bermacam-macam frekuensi yang
acak.
Kebisingan menurut PERMENAKER no : PER-13/MEN/X/2011
didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari
alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu
dapat meninbulkan gangguan pendengaran. Sedangkan definisi nilai
ambang batas (NAB) menurut sumber yang sama didefinisikan sebagai
standar faktor tempat kerja yang dapat dditerima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari
hari untuk waktu yang tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Jadi jelas bahwa kebisingan yang akan dibicarakan dalam makalah ini
ruang lingkupnya terbatas pada tempat kerja atau workplace.
2.2.2 Jenis Kebisingan
Kebisingan dapat dibedakan menjadi 5 jenis yaitu :
a. Steadynoise
b. Intermitten noise
c. Fluctuating noise
d. Impulsive noise
e. Impact noise
Kebisingan di tempat kerja dapat terdiri dari kombinasi kelima jenis bising
diatas, bergantung dari sumber bising yang ada di tempat tersebut.
Parameter suara atau atau bising yang penting adalah intensitas dan
frekuensi.
2.2.3 Pengukuran Kebisingan
Di dalam industri, pengukuran kebisingan dapat dilakukan dengan
tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengakses keterpaparan kebisingan tenaga kerja yang dikaitkan
dengan resiko kerusakan pendengaran atau gangguan komunikasi.
2. Untuk mengakses sumber bising sebagai dasar tindakan pengendalian.
3. Untuk melihat sejauh mana kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan.

7
Pengukuran kebisingan dapat menggunakan Sound Level Meter, sebuah
sound level meter pada prinsipnya terdiri dari : microphone, frequency
weihting networks, dan amplifier. Sound level meter yang lengkap
biasanya mempunyai perangkat untuk analisa frekuensi
(octavebandanalyzer). Analisa frekuensi ini diperlukan untuk memperoleh
data spektrum frekuensi dari sumber bising yang kompleks. Selanjutnya
data ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengendalian termasuk sebagai
dasar pemilihan suatu alat pelindung telinga.
Dalam suatu sound level meter dengan grade yang baik biasanya
dilengkapi juga dengan fasilitas Equivalent Continuous Sound Level atau
Leq. Kebisingan lebih mudah terbaca bila menggunakan Leq, karena Leq
mengukur besarnya energi suara yang berfluktuasi dan memberikan suatu
level kebisingan yang equivalent dengan suara yang tidak berfluktuasi
secara kontinyu dengan kandungan energi yang sama.
2.2.4 Prinsip Kesamaan Energi
Keterpaparan kebisingan tidak berarti hanya dipengaruhi tingkat
kebisingan saja, tetapi juga lamanya terpapar. Bertambahynya 3dB berarti
bahwa energi akustik yang sampai ke telinga akan menjadi 2 kali lipat. Ini
berarti bila seseorangterpapar 85dB selama 8 jam akan wquivalent dengan
terpapar 4 jam oleh tingkat kebisingan 88 dB.
2.2.5 Nilai Ambang Batas Kebisingan
Waktu pemajanan / Intensitas kebisingan dB
hari
8 jam 85
4 88
2 91
1 94
30 menit 97
15 100
7.5 103
3.75 106
0.94 112

8
28.12 115
14.06 118
1.88 119
7.03 121
3.52 124
1.76 127
0.88 130
0.44 133
0.22 136
0.11 139
Tidak boleh 140

2.2.6 Pengaruh Kebisingan


Kebisingan dapat menimbulkan efek-efek yang merugikan
terhadap manusia, tidak hanya kemungkinan kerusakan pendengaran
tetapi dapat lebih jauh lagi, yaitu menyebabkan gangguan komunikasi
dan efisiensi kerja. Efek-efek yang merugikan antara lain :
1. Temporary hearing loss
Bila telinga dipaparkan dengan sound pressure level yang
sedang atau tinggi untuk waktu yang singkat, temporary hearing
loss mungkin akan dialami. Hal ini dapat ditandai dengan adanya
kenaikan tingkat ambang pendengaran. TTS bisa juga disertai
dengan telinga yang berdengung secara kontinyu yang disebut
tinitus. Recovery dari efek ini memerlukan waktu dan tergantung
pada tingkat paparan kebisingan. Bila paparan kebisingan begitu
hebat atau sering terjadi berulang-ulang, maka sebelum recovery
TTS berlangsung sempurna kemungkinan akan berubah menjadi
Permanent Hearing Loss.
2. Permanent hearing loss
PTS bisa disebabkan oleh :
1. Trauma akustik

9
Suara ledakan hebat dapat memecahkan gendang telinga,
merusakkan ossicles dan merusak sel sensor pendengaran dari
organ corti dan sekitarnya. Bils tingkat kebisingan diatas 140
dB, maka kerusakan pendengaran akan terjadi.
2. Chronic noise induced hearing loss
Terpapar kebisingan yang berulang-ulang dan berlangsung
selama bertahun-tahun dapat menyebabkan PTS . Mula-mula
hanya satu frekuensi yang meningkat ambang pendengaranyya,
dalam tahap perkembanghannya, gangguan akan merambah
pada semua frekuensi pembicaraan akan mengalami kenaikan
ambang pendengaran.
3. Gangguan komunikasi
Kebisingan akan menyebabkan seseorang akan sulit
berkomunikasi satu dengan yang lain. Kesulitan ini akam
muncul terutama apabila tingkat kebisingan melebihi 90dB.
Pengaruh yang paling berbahaya apabila kebisingan tersebut
menutup suara sinyal tanda bahaya yang seharusnya
didengarkan oleh pekerja, namun karena background noise
demikian tinggi sehingga sinyal tersebut tidak dapat didengar,
hal ini bisa menimbulkan kecelakaan kerja.

4. Efek-efek lain
Pengaruh kebisingan sudah banyak dipelajari dan diteliti,
diantaranya gangguan pada pembuluh darah yang
menyebabkan tekanan darah meningkat, denyut nadi
bertambah, vertigo serta melebarnya pupil mata seseorang bila
berada di tempat yang sangat bising. Selain gangguan tersebut,
kebisingan dapat mengganggu ko9nbsentrasi dan sulit tidur.

2.2.7 Prinsip Pengendalian Kebisingan


Dua pendekatan dasar untuk mengendalikan kebisingan adalah :
1. Pengendalian pada sumbernya

10
Pengendalian kebisingan sebaiknya dimulai dari sumbernya, yaitu
dapat berupa penggantian peralatan atau mesin yang bising,
memodifikasi mesin, dan perawatan mesin dengan baik secara
periodik.
2. Memotong jalur transmisi kebisingan
Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain : meredup atau
meredam mesin yang bising, menambah jarak antara sumber bising
dan pekerja, membuat ruangan kedap suara, menggunakan bantalan
mesin dan anti vibrasi.

2.2.8 Alat Pelindung Telinga (Personal Hearing Protection)


Bila pengendalian kebisingan secara teknis maupun asministratif
sulit untuk diterapkan atau tidak berhasil mengurangi tingkat
kebisingan sampai batas yang direkomendasikan, maka pekerja
sebaiknya menggunakan alat pelindung telinga yang efektif. Pada
prinsipnya ada 2 jenis alat pelindung pendengaran, yaitu :
1. Sumbat telinga
2. Tutup telinga
Sumbat telinga yang baik dapat menahan suara dengan frekuensi
tertentu saja, sehingga frekuensi untuk pembicaraan tidak terganggu.
Kedua alat pelindung diatas tentunya punya kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih alat
bantu dengar adalah :
a. Ear muff lebih visibel dibanding ear plug.
b. Ear muff tidak mudah hilang.
c. Ear muff dapat digunakanm oleh orang yang memiliki infeksi
telinga.
d. Ear muff cocok untuk semua ukuran kepala.
e. Ear plug membuat telinga kotor bila tangan yang memasukkan
terkontaminasi.
f. Ear plug jauh lebih murah.

11
g. Ear plug lebih nyaman dibanding ear muff pada lingkungan yang
panas.
h. Ear plug tidak diganggu oleh pemakai yang berkacamata dan
berambut panjang.
i. Ear plug lebih praktis jika dipakai dalam lingkungan confined
space.

2.3 Pencahayaan
2.3.1 Definisi
Intensitas pencahayaan / penerangan di tempat kerja dimaksudkan untuk
memberikan pennerangan kepada benda – benda yang merupakan object
kerja, peralatan , atau mesin dan proses produksi serta lingkungan kerja.
Untuk itu diperlukan intensistas penerangan yang optimum. Selain
menerangi object kerja, penerangan juga diharapkan cukup memadai
menerangi keadaan sekelilingnya (Badan Statistik Nasional,2004)
2.3.2 Faktor faktor yang mempengaruhi penglihatan
Beberapa factor yang dapat mempengaruhi penglhatan menurut Dyer dan
Morris (1990) adalah : (Padmanaba CGR , 2006)
1. Faktor Usia
Bertambahnya usia menyebabkan lensa mata berangsur angsur
kehilangan elastisnya, dan agak kesulitan melihat pada jarak dekat. Hal
ini akan menyebabkan ketidak nyamanan penglihatan ketika
mengerjakan sesuatu pada jarak dekat, demikian ppula penglihahatan
jauh.
2. Faktor Penerangan
Luminasi adalah banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh permukaan
objek. Jumlah sumber cahaya yang tersedia juga mempengaruhi
kepekaan mata terhadap warna tertentu. Tingkat luminasi juga akan
mempengaruhi kemampuan mata melihat objek gambar dan pada usia
tua diperlukan intensitas penerangan lebih besar untuk melihat objek
gambar . semakin besar luminasi dari sebuah objek, rincian objek yang
dapat dilihat oleh mata jug akan semakin bertambah.

12
3. Faktor Silau (glare)
Menurut Granjean (1988) silau adalah suatu proses adaptasi yang
berlebihan pada mata sebagai akibat dari retina terkena sinar yang
berlebihan
4. Faktor ukuran pupil
Agar jumlah sinar yang diteriima sinar sesuai , maka otot iris akan
mengatur ukuran pupil.
5. Faktor sudut dan ketajaman penglihatan
Sudut penglihatan (visual angle) sebagai sudut yang berhadapan
dengan objek pada mata.

2.3.3 Sistem Pencahayaan


Menurut Prabu (2009), menyebutkan bahwa ada 5 sistem pencahayaan di

ruangan, yaitu : (Prabu, 2009)

Sistem Pencahayaan Langsung (direct lighting)

Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan secara langsung ke

benda yang perlu diterangi. Untuk efek yang optimal, disarankan langit-

langit, dinding, serta benda yang ada di dalam ruangan perlu diberi warna

cerah agar tampak menyegarkan.

Pencahayaan Semi Langsung (semi direct lighting)

Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan langsung pada benda

yang perlu diterangi, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan

dinding. Dengan sistem ini kelemahan sistem pencahayaan langsung dapat

dikurangi.

Sistem Pencahayaan Difus (general diffuse lighting)

Pada sistem ini setengah cahaya 40-60% diarahkan pada benda

yang perlu disinari, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan

dinding. Dalam pencahayaan sistem ini termasuk sistem direct-indirect

13
yakni memancarkan setengah cahaya ke bawah dan sisanya ke atas. Pada

sistem ini masalah bayangan dan kesilauan masih ditemui.

Sistem Pencahayaan Semi Tidak Langsung (semi indirect lighting)

Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan

dinding bagian atas, sedangkan sisanya diarahkan ke bagian bawah. Untuk

hasil yang optimal disarankan langit-langit perlu diberikan perhatian serta

dirawat dengan baik. Pada sistem ini masalah bayangan praktis tidak ada

serta kesilauan dapat dikurangi.

Sistem Pencahayaan Tidak Langsung (indirect lighting)

Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan ke langit-langit dan

dinding bagian atas kemudian dipantulkan untuk menerangi seluruh

ruangan. Agar seluruh langit-langit dapat menjadi sumber cahaya, perlu

diberikan perhatian dan pemeliharaan yang baik. Keuntungan sistem ini

adalah tidak menimbulkan bayangan dan kesilauan sedangkan kerugiannya

mengurangi effisien cahaya total yang jatuh pada permukaan.

Tingkat Penerangan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Jenis Contoh Pekerjaan Tingkat Penerangan yang


Pekerjaan Dibutuhkan (Lux)
Tidak teliti Penimbunan barang 80-170
Agak teliti Pemasangan (tak teliti) 170-350
Teliti Membaca 350-700
menggambar
Sangat teliti Pemasangan 700-1000
Sumber : Higine Perusahaan dan Kesehatan Kerja, 2012.

14
Rekomendasi tingkat pencahayaan lingkungan kerja berdasarkan jenis kegiatan

tingkat pencahayaan minimal berdasarkan KEMENKES RI. NO 1405 /

MENKES/SK/XII/02

1. Pekerjaan kasar dan tidak terus menerus adalah 100 lux pada ruangan
penyimpanan dan ruang peralatan yang memerlukan pekerjaan kontinui.
2. Pekerjaan kasar terus menerus adalah 200 lux pada pekerjaan dengan mesin
dan perakitan kasar\
3. Pekerjaan rutin adalah 300 lux pada ruang administrasi , ruang control ,
pekerjaan mesin dan perakitan
4. Pekerjaan agak halus 500 lux pada pembuatan gmbar atau bekerja dengan
mesin kantor , pekerjaan pemeriksaan atau pekerjaan dengn mesin.
5. Pekerjaan halus adalah 1000 lux pada pemeilihan warna , pemrosesan
textile, pekerjaan mesi halus dan perakitan halus
6. Pekerjaan amat halus adalah 1500 lux pada mengukir dengan tangan dan
perakitan yang sangat halus . tidak menimbulkan bayangan
7. Pekerjaan terinci adalah 3000 lux pada pemeriksaan pekerjaan, perakitan
sangat halus tidak menimbulkan bayangan

2.4 Getaran
Dalam kehidupan sehari hari kita sering tidak menyadari bahwa
sebenarnya alat transportasi seperti : bus, kereta api dan mobil adalah
sumber paparan vibrasi. Selain itu, tenaga kerja dalam melakukan
pekerjaannya juga tidak lepas dari paparan vibrasi terutama mereka yang
menggunakan : hand tool, mesin mesin produksi atau kendaraan berat.
Sebagaimana halnya dengan suara, ada yang bias dinikmati misalnya
music atau yang bersifat mengganggu seperti suara mesin pabrik. Vibrasi
pada manusia dapat juga membuat nyaman atau tidak nyaman. Vibrasi yang
menyenangkan dapat berupa jogging / lari, dan menari. Sedang yang
membuat tidak nyaman dapat dijumpai pada hand held power tool atau
mengemudi diatas jalan berbatu / tidak rata.

15
Ada 2 jenis vibrasi pada manusia, yaitu whole body vibration (WBV) dan
Hand Arm Vibration ( HAV). WBV ditransmisikan ke tubuh melalui
permukaan penyangga ( kaki, pantat dan punggung ). Seseorang yang
mengemudikan kendaraan akan terpapar vibrasi melalui pantat dan
punggung. HAV ditransmisikan ke telapak tangan dan lengan, vibrasi
tersebut terutama dialami oleh operator alat alat getar. Sistem WBV dan
HAV secara mekanis berbeda, oleh karena itu masing masing dipelajari
secara terpisah.
Keterpaparan terhadap WBV
Terpapar terhadap WBV dapat menyebabkan kerusakan fisik
permanen atau gangguan pada system saraf. Terpapar setiap hari olehWBV
selama bertahun tahun dapat menyebabkan kerusakan fisik yang serius,
sebagai contoh ischemic lumbago yang mempengaruhi tulang belakang
bagian bawah, selain itu system sirkulasi dan urologi juga terganggu.
Terpapar WBV dapat menggangu system saraf pusat. Gejala dari
gangguan ini biasanya akan muncul selama atau segera setelah terpapar
getaran. Biasanya gejala berupa, kelelalahan, imsonia atau sakit kepala.
Banyak orag mengalami gejala tersebut setelah melakukan perjalanan
panjang dengan mobil atau kapal. Namun demikian gejala biasanya akan
hilang setelah beristirahat beberapa saat.
Keterpaparan terhadap HAV
Terpapar setiap hari oleh HAV selama bertahun tahun dapat
menyebabkan kerusakan fisik permanen, yang umumnya dikenal sebagai
“White finger syndrome” atau dapat merusakkan persendian dan otot otot
jari atau lengan. White finger syndrome ditandai dengan memutihnya jari-
jari yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah dan saraf pada
jaringan lunak. Gejalanya biasanya mempengaruhi satu jari pada mulanya,
selanjutnya jari- jari yang lain akan terpengaruhi bila keterpaparan HAV
berlanjut. Dalam sebagian besar kasus-kasus bergejala akan menyerang
pada kedua tangan. Pada tahap awal White-finger syndrome gejalanya
berupa sensasi gatal, mati rasa dan hilangnya control pada jari-jari yang
dipengaruhi. Hilangnya rasa dan control dari jari-jari dapat mengundang

16
bahaya secara langsung dan seketika. Kerusakan sendi-sendi jari atau siku
sering disebabkan oleh paparan vibrasi yang dihasilkan oleh alat seperti:
asphalt hammers dan rock drill dalam jangka panjang. Kerusakan ini
menyebabkan sakit dipersendian dan otot-otot lengan dengan disertai
berkurangnya kotrol dan kekuatan otot lengan.
Respon frekuensi dari tubuh manusia
Vibrilasi mekanis dari sebuah mesin disebabkan oleh komponen
komponen mesin yang bergerak. Setiap gerakan komponen mempunyai
frekuensi tertentu. Vibrasi keseluruhann yang ditransmisikan ke seluruh
tubuh manusia dibangun oleh frekuensi yang berbeda dari vibrilasi yang
terjadi secara stimultan. Merupakan kenyataan yang perlu dipertimbangkan
bila mengukur vibrasi pada, karena masing masing bagian tubuh manusia
sensitifitasnya tidak sama untuk setiap kisaran frekuensi vibrilasi.
Untuk mengetahui mengapa bagian tubuh manusia ada yang
sensitive dan ada yang tidak sensitive terhadap beberapa frekuensi vibrilasi,
maka perlu dipandang bahwa tubuh manusia merupakan system mekanis.
Sistem ini demikian complicated karena adanya kenyataan bahwa :
a. Masing masing bagian tubuh mempunyai sensitifitas terbesar pada
kisaran frekuensi yang berbeda.
b. Tubuh manusia tidak simetris
c. Tidak ada dua orang yang merespon vibrilasi dengan cara yang tepat
sama.

Karena tubuh manusia tidak simetris, maka responnya terhadap


vibrilasi tergantung pada arah dimana vibrilasi dikenakan. WBV sebaiknya
diukur dalam arah arah system koordinat orthogonal. Arah longitudinal
( dari kepala ke ujung kaki ) disebut sumbu Z. Dalam arah ini tubuh paling
sensitive terhadap vibrilasi dalam kisaran frekuensi 4 – 8 Hz. Respon tubuh
terhadap vibrilasi dalam sumbu x ( depan ke belakang ) dan sumbu Y
( samping ke samping ) tidak berbeda dan dalam sumbu X dan Y ini respon
terbesar pada frekuensi 1 – 2 Hz.
Untuk system HAV, respon frekuensi terhadap vibrilasi adalah sama
untuk semua sumbu. Oleh karena itu, tidak menjadi masalah apakah sumbu

17
X, Y atau Z yang diambil dalam pengukuran vibrilasi. HAV mempunyai
sensitivitas terbesar pada kisaran frekuensi 12 – 16 Hz.
Pengukuran Vibrilasi
Adalah penting untuk mengukur vibrasi pada manusia secara akurat,
sehingga suatu assessment dapat dibuat untuk :
1. Ketidaknyamanan yang dihasilkan oleh vibrasi
2. Kemungkinan bahaya dari bagian tubuh yang terpapar

Dari pengukuran yang akurat dapat diambil step step yang perlu untuk
mempengaruhi kedua factor diatas. Akurasi dari pengukuran vibrasi
tergantung pada kualitas dari transducer dan analisis sebuah alat yang
digunakan. Transducer atau accelerometer yang sekarang banyak digunakan
untuk pengukuran vibrasi adalah piezoelectric accelerometer. Responnya
meliputi seluruh frekuensi yang penting dalam pengukuran vibrasi pada
manusia. Accelerometer yang dipilih sebaiknya berbentuk kecil :
a. Vibrasi yang sedang diukur tidak terganggu oleh keberadaannya
b. Tidak mengganggu operator dalam menjalankan alat

Pengendalian Vibrasi
a. Pada Whole Body Vibration ( WBV )

Tujuan utama pada pengendalian vibrasi adalah mengurangi


banyaknya bahaya vibrasi dengan meredam resonansi yang timbul tanpa
menimbulkan frekuensi resonansi yang baru. Caranya antara lain :
a. Memperbaiki atau meredam langsung getaran pada sumbernya
b. Member bantalan lunak antara tempat duduk pengemudi dengan
bagian tubuh pengemudi
c. Menggunakan sepatu peredam getaran bila sumber getar merambat
melalui kaki
d. Mengurangi waktu terpapar
b. Pada Hand Arm Vibration
Getaran pada HAV dapat dikendalikan dengan acara :
a. Memberikan damping pada bagian peralatan
b. Menyisipkan damping antara peralatan dan tangan

18
c. Mengurangi waktu terpapar
d. Mengenakan sarung tangan

2.5 Iklim Kerja


2.5.1 Pengertian Iklim Kerja
Iklim kerja adalah hasil perpaduan antara suhu, kelembapan,
kecepatan gerakan udara dan panas radiasi dengan tingkat pengeluaran
panas dari tubuh tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaannya. (Menaker,
1999)
Iklim kerja adalah kombinasi dari suhu udara, kelembapan udara,
kecepatan udara, kecepatan gerakan, dan suhu radiasi. Kombinasi dari
keempat faktor ini dihubungkan dengan produksi panas oleh tubuh yang
disebut tekanan panas. (Ramdan, 2007)
Iklim kerja adalah suatu kombinasi dari suhu kerja, kelembapan
udara, kecepatan gerakan udara dan suhu radiasi pada suatu tempat kerja.
Cuaca kerja yang tidak nyaman, tidak sesuai dengan syarat yang
ditentukan, dapat menurunkan kapasitas kerja yang berakibat menurunnya
efesiensi dan produktivitas kerja. Suhu udara dianggap nikmat bagi orang
Indonesia ialah berkisar antara 24oC sampai 26oC dan selisih suhu didalam
dan diluar tidak boleh lebih dari 5oC. Batas kecepatan angin secara kasar
yaitu 0,25 sampai 0,5 m/detik. (Subaris, 2007)

2.5.2 Macam Iklim Kerja


Kemajuan teknologi dan proses produksi di dalam industri telah
menimbulkan suatu lingkungan kerja yang mempunyai iklim atau cuaca
tertentu yang dapat berupa iklim kerja panas dan iklim kerja dingin.

a. Iklim Kerja Panas


Iklim kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja
yang dapat disebabkan oleh gerakan angin, kelembapan, suhu udara,
suhu radiasi dan sinar matahari. (Budiono, 2008)

19
Tekanan panas adalah keseluruhan beban panas yang diterim tubuh
yang merupakan kombinasi dari kerja fisik, faktor lingkungan (suhu
udara, tekanan uap air, pergerakan udara, perubahan panas radiasi) dan
faktor pakaian. Tekanan panas akan berdampak pada terjadinya :
1. Dehidrasi
Penguapan yang berlebihan yang akan mengurangi volum darah
dan pada tingkat awal aliran darah akan menurun dan otak akan
kekurangan oksigen.
2. Heat rash
Paling umum adalah prickly heat yang terlihat sebagai papula
merah, hal ini terjadi akibat sumbatan kelenjar keringat dan retensi
keringat. Gejala bisa berupa levet terus menerus dan panas disertai
gatal yang menyengat.
3. Heat fatigue
Gangguan pada kemampuan motorik dalam kondisi panas.
Gerakan tubuh menjadi lembat, kurang waspada terhadap tugas.
4. Heat cramps
Kekejangan otot yang diikuti penurunan sodium klorida dalam
darah sampai dibawah tingkat kritis. Dapat terjadi sendiri atau
bersama dengan kelelahan panas, kekejangan timbul mendadak.
5. Heat exhaustion
Dikarenakan kekurangan cairan tubuh atau elektrolit.
6. Heat syncope
Keadaan kolaps atau kehilangan kesadaran selama pemejanan
panas dan tanpa kenaikan suhu tubuh atau penghentian keringat.
7. Heat stroke
Kerusakan serius yang berkaitan dengan kesalahan pada pusat
pengatur suhu tubuh. Pada kondisi ini mekanisme pengatur suhu
tidak berfungsi lagi disertai hambatan proses penguapan secara
tiba-tiba. (Ramdan, 2007)

20
b. Iklim Kerja Dingin
Pengaruh suhu dingin dapat mengurangi effisiensi dengan keluhan
kaku atau kurangnya koordinasi otot. Sedangkan pengaruh suhu
ruangan sangat rendah terhadap kesehatan dapat mengakibatkan
penyakit yang disebut frost bite. Pencegahan terhadap gangguan
kesehatan akubat iklim kerja suhu dingin dilakukan melalui seleksi
pekerja yang fit dan menggunakan pakaian pelindung yang baik. Di
samping itu, pemeriksaan kesehatan perlu juga dilakukan secara
periodik. (Budiono, 2008)

2.5.3 Pengukuran Iklim Kerja


Alat yang dapat digunakan adalah Arsmann psychrometer. Selain
itu pengukuran iklim kerja dapat menggunakan Questemp yaitu suatu alat
digital untuk mengukur tekanan panas dengan parameter Indeks Suhu Bola
Basah (ISBB). Alat oni dapat mengukur suhu basah, suhu kering, dan suhu
radiasi. Pengukuran tekanan panas dilingkungan kerja dilakukan dengan
meletakkan alat pada ketinggian 1,2 m (3,3 kaki) bagi tenaga kerja yang
berdiri dan 0,6 m ( 2 kaki) bila tenaga kerja duduk dalam melakukan
pekerjaan. Pada saat pengukuran reservoir ( tandon ) termometer suhu
basah diisi dengan aquadest dan waktu adaptasi alat 10 menit.

2.6 Kadar Debu


2.6.1. Definisi
Debu adalah debu adalah zat kimia padat, yang disebabkan oleh
kekuatan kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran,
pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari benda,
baik organik maupun anorganik (Suma'mur, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah partikel-
partikel kecil yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi, pada dasarnya
pengertian debu adalah partikel yang berukuran kecil sebagai hasil dari
proses alami maupun mekanik.

21
2.6.2. Sifat-Sifat Debu
Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh Sitepu
(2002), partikel-partikel debu di udara mempunyai sifat:
1. Sifat pengendapan
Sifat pengendapan adalah sifat debu yang cenderung selalu
mengendap karena gaya gravitasi bumi. Namun karena kecilnya ukuran
debu, kadang-kadang debu ini relatif tetap berada di udara.
2. Sifat permukaan basah
Sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah, dilapisi oleh
lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu
dalam tempat kerja.
3. Sifat penggumpalan
Oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga dapat
menempel satu sama lain dan dapat menggumpal. Turbulensi udara
meningkatkan pembentukan penggumpalan debu. Kelembaban di bawah
saturasi, kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Kelembaban
yang melebihi tingkat huminitas di atas titik saturasi mempermudah
penggumpalan debu.Oleh karena itu partikel debu bias merupakan inti dari
pada air yang berkonsentrasi sehinga partikel menjadi besar.
4. Sifat listrik statis
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik partikel
lain yang berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam larutan debu
mempercepat terjadinya proses penggumpalan.
5. Sifat optis
Debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancarkan
sinar yang dapat terlihat dalam kamar gelap.
Partikel debu yang berdiameter lebih besar dari 10 mikron
dihasilkan dari proses-proses mekanis seperti erosi angin, penghancuran
dan penyemprotan , dan pelindasan benda-benda oleh kendaraan atau
pejalan kaki. Partikel yang berdiameter antara 1-10 mikron biasa nya
termasuk tanah dan produk-produk pembakaran dari industri lokal.
Partikel yang mem- punyai diameter 0,1-1 mikron terutama merupakan

22
produk pembakaran dan aerosol fotokimia (Fardiaz, 1992).
Polutan partikel masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem
pernafasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan terutama terjadi
pada sistem pernafasan. Faktor lain yang paling berpengaruh terhadap
sistem pernafasan terutama adalah ukuran partikel, karena ukuran partikel
yang menentukan seberapa jauh penetrasi partikel ke dalam pernafasan.
Debudebu yang berukuran 5-10 mikron akan ditahan oleh jalan pernafasan
bagian atas, sedangkan yang berukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian
tengah jalan pernafasan (Yunus, 1997).
American Lung Association membagi penyakit paru akibat kerja mejadi
dua kelompok besar : Pneumokoniosis disebabkan karena debu yang
masuk ke dalam paru serta penyakit hipersensitivitas seperti asma yang
disebabkan karena reaksi yang berlebihan terhadap polutan di udara
(Suma'mur, 2009).
Menurut Suma'mur (1996), debu yang dapat menimbulkan ganggguan
kesehatan bergantung dari :
a. Solubility
Jika bahan-bahan kimia penyusun debu mudah larut dalam air, maka
bahan - bahan itu akan larut dan langsung masuk ke pembuluh darah
kapiler alveoli. Apabila bahan-bahan tersebut tidak mudah larut, tetapi
ukurannya kecil, maka partikel-partikel itu dapat memasuki dinding
alveoli, lalu ke saluran limpa atau ke ruang peri bronchial menuju ke luar
bronchial oleh rambut-rambut getar di kembalikan ke atas.
b. Komposisi kimia debu
1. Inert dust
Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis
pada paru. Efeknya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada
penghirupan normal.
- Poliferal dust
Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut
atau fibrosis. Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan
alveoli sehingga mengganggu fungsi paru. Debu golongan ini

23
menyebabkan fibrocytic pneumoconiosis, contohnya : debu silika,
asbestosis, kapas, berilium dan sebagainya.
- Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust
Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak tahan
di dalam paru, namun dapat ditimbulkan efek iritasi yaitu debu
yang bersifat asam atau asam kuat.
c. Konsentrasi debu
Semakin tinggi konsentrasi debu di udara tempat kerja, maka
semakin besar kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan.
d. Ukuran partikel debu
Ukuran partikel besar akan di tangkap oleh saluran nafas bagian
atas. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran
tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut :
1. Ukuran debu 5 – 10 mikron, akan tertahan olah cilia pada
saluran pernapasan bagian atas.
2. Ukuran debu 3 – 5 mikron, akan tertahan oleh saluran
pernapasan bagian tengah.
3. Ukuran debu 1 – 3 mikron, sampai dipermukaan alveoli.
4. Ukuran debu 0,5 – 1 mikron, hinggap dipermukaan
alveoli,selaput lendir sehingga menyebabkan fibrosis paru.
5. Ukuran debu 0,1 – 0,5 mikron, melayang dipermukaan
alveoli.

2.6.3. Sumber Debu


Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite
particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada sementara di
udara, partikel ini segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Suspended
particulate matter adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
mengendap (Yunus, 1997). Sumber-sumber debu dapat berasal dari udara,
tanah, aktivitas mesin maupun akibat aktivitas manusia yang tertiup angin.

24
2.6.4. Jenis Debu
Jenis debu terkait dengan daya larut dan sifat kimianya. Adanya
perbedaan daya larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan
mengendapnya di paru juga akan berbeda pula. Demikian juga tingkat
kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula. Suma'mur (2009)
mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan
anorganik. Klasifikasi debu dapat dilihat pada tabel.
Jenis Debu Yang Dapat Menimbulkan Gangguan Kesehatan
Pada Manusia
No Jenis Debu Contoh (Jenis Debu)

1. 1 Organik
a. Alamiah
1. Fosil Batu bara, karbon hitam, arang, granit.
2. Bakteri TBC, antraks, enzim, bacillus substilis.
Koksidiomikosis, Histoplasmosis.
3. Jamur Actinomycosis, kriptokokus, thermophilic.
4. Virus Cacar air, Q fever, psikatosis.
5. Sayuran Kompos jamur, ampas tebu, tepung padi, gabus,
serat nanas, atap alang-alang, katun, rami.
6. Binatang Kotoran burung, kesturi, ayam
b. Sintesis
Plastik 1. Plastik

2. Reagen Politetrafluoretilen, toluene diisosianat Minyak


isopropyl, pelarut organic
2. 2 Anorganik
a. Silika bebas
1. Crystaline Quarz, trymite cristobalite

2. Amorphous Diatomaceous earth, silica gel

b. Silika
1. Fibrosis Asbestosis, sillinamite, talk

2. Lain-lain Mika, kaolin, debu, semen

25
c. Metal
1. Inert Besi, barium, titanium, alumunium
2. Lain-lain Berilium
3. Bersifat keganasan Arsen, kobal, nikel hematite, uranium, khrom,
(Sumber : Suma'mur. P.K 2009)
Partikel debu yang terdapat di lingkungan kerja lokasi
penelitian sebagian besar bersumber dari akitivitas pengepressan
barang-barang bekas yang terbuat dari besi dan alumunium yang
sudah korosif (berkarat). Debu di lingkungan kerja lokasi penelitian
sebagian besar debu anorganik golongan metal yang bersifat inert.
Debu inert merupakan debu kerja nonfibrogenik, dimanadebu ini
yang tidak menimbulkan reaksi jaringan paru akibat inhalasi di
tempatkerja, contohnya adalah ferrioksida, stanum oksida,
alumunium oksida, barium sulfat, titanium dioksida (Harrianto,
2010).

2.6.5. Pengukuran Kadar Debu di Udara


Pengukuran kadar debu di udara bertujuan untuk mengetahui
apakah kadar debu pada suatu lingkungan kerja berada konsentrasinya
sesuai dengan kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi pekerja.
Dengan kata lain, apakah kadar debu tersebut berada di bawah atau di atas
nilai ambang batas (NAB) debu udara. Hal ini penting dilaksanakan
mengingat bahwa hasil pengukuran ini dapat dijadikan pedoman pihak
pengusaha dalam membuat kebijakan yang tepat untuk menciptakan
lingkungan kerja yang sehat bagi pekerja, sekaligus menekan angka
prevalensi penyakit akibat kerja.
Pengambilan/pengukuran kadar debu di udara biasanya dilakukan
dengan metode gravimetri, yaitu dengan cara menghisap dan melewatkan
udara dalam volume tertentu melalui saringan serat gelas/kertas saring.
Alat-alat yang biasa digunakan untuk pengambilan sampel debu total (TSP)
di udara seperti:
1. High Volume Air Sampler (HVAS)

26
Alat ini menghisap udara ambien dengan pompa berkecepatan 1,1 -
1,7 m³/menit, partikel debu berdiameter 0,1-10 mikron akan masuk
bersama aliran darah melewati saringan dan terkumpul pada permukaan
serat gelas. Alat ini dapat digunakan untuk pengambilan contoh udara
selama 24 jam, dan bila kandungan partikel debu sangat tinggi maka
waktu pengukuran dapat dikurangi menjadi 6 - 8 jam.
2. Low Volume Air Sampler (LVAS)
Alat ini dapat menangkap debu dengan ukuran sesuai yang kita
ingin kan dengan cara mengatur flow rate 20 liter/menit dapat
menangkap partikel berukuran 10 mikron. Dengan mengetahui berat
kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran maka kadar debu
dapat dihitung.
3. Low Volume Dust Sampler (LVDS)
Alat ini mempunyai prinsip kerja dan metode yang sama dengan
alat low volume air sampler.
4. Personal Dust Sampler (PDS)
Alat ini biasa digunakan untuk menentukan Respiral Dust (RD) di
udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia
selama bernafas. Untuk flow rate 2 liter/menit dapat menangkap
debu yang berukuran < 10 mikron. Alat ini biasanya digunakan pada
lingkungan kerja dan dipasang pada pinggang pekerja karena
ukurannya yang sangat kecil.

2.6.6. Nilai Ambang Batas (NAB) Kadar Debu


Nilai ambang batas (NAB) adalah standard faktor-faktor
lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja agar tenaga kerja
masih dapat menerimanya tanpa mengakibatkan penyakit atau
gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak
melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu (Permenakertrans RI
No.13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan
Kimia di Tempat Kerja). Kegunaan NAB ini sebagai rekomendasi
pada praktik higiene perusahaan dalam melakukan penatalaksanaan

27
lingkungan kerja sebagai upaya untuk mencegah dampaknya
terhadap kesehatan.
Kadar debu yang melampaui ambang batas yang ditentukan
dapat mengurangi penglihatan, menyebabkan endapan tidak
menyenangkan pada mata , hidung, dan telinga dan dapat juga
mengakibat kerusakan pada kulit. Nilai ambang batas kadar debu di
udara berdasarkan Permenakertrans RI Nomor 13 tahun 2011
tentang Nilai Ambang Batas Bahan Fisika dan Kimia di Tempat
Kerja, bahwa kadar debu di udara tidak boleh melebihi 3,0 mg/m3.

28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pengujian


3.1.1 Identitas Perusahaan
Nama Perusahaan : PT. Adi Satria Abadi (ASA)
Jenis Perusahaan : Penyamakan Kulit
Jumlah Tenaga Kerja : 252 Orang
Alamat Perusahaan :Dusun Banyakan, Sitimulyo, Piyungan,
Bantul, Yogyakarta
Tanggal Kunjungan : 22 Januari 2015, Pukul 10.00 WIB
3.1.2 Proses Produksi
1. Bahan yang diperlukan :
a. Bahan baku : Kulit domba dan kambing
b. Bahan tambahan : tepung kanji, wax (lilin), formalin, kromik
2. Mesin atau peralatan kerja yang dipergunakan :
a. Mesin pemroses kulit mentah
b. Mesin pengering
c. Mesin pembersih lemak kulit
d. Mesin pembakar bulu kain
e. Mesin pemasrah kulit
f. Mesin oven
g. Mesin finishing
3. Proses produksi :
Kulit mentah dipilih melalui proses seleksi (pickle), kemudian masuk
ke proses pencucian dan penyamakan warna dasar (tanning),
dilanjutkan dengan penipisan ukuran kulit sesuai pemesanan (shaving).
Setelah ditipiskan, kulit kemudian masuk ke tahap pewarnaan dan
peminyakan (dyeing) dan pewarnaan untuk warna putih menggunakan
formalin (retan). Setelah selesai diwarnai, kulit dikeringkan setengah
kering (Enzyne) dan dilebarkan menggunakan mesin press (setter).
Kulit dikeringkan total dengan cara digantung (hanging), dan

29
dilemaskan menggunakan mesin (milling), untuk kulit yang berwarna
putih dilakukan dengan cara wide stacking.
4. Barang yang dihasilkan :
a. Produk utama : Kulit lembaran
b. Produk sampingan : -

3.2 Identifikasi Bahaya Fisik dan Kimia


A. Hasil
Potensi bahaya Sumber potensi Bahaya Pengendalian
Kebisingan Ruang enzine Hearing loss Ear plug
setter Hearing loss Ear plug
Ruang staking
Tekanan panas Area produksi Dehidrasi Menyediakan air
minum di setiap
area produksi
Pencahayaan Office Mata lelah, Meningkatkan
Gudang penglihatan kabur pencahayaan
dan rangkap, sampai nilai
produktivitas normal
berkurang
Getaran Mesin setter Gangguang sistem Meredam langsung
utara saraf pusat dan getaran
Mesin Enzine urologi Memberi bantalan
Mesin enzin lunak
selatan Menggunakan
sepatu peredam
getaran
Mengurangi waktu
terpapar
Radiasi - - -

Faktor Kimia

Potensi bahaya Sumber potensi Bahaya Pen gendalian


Debu Area produksi Infeksi pernapasan
Menggunakan
masker
Gas uap/ asap - - -
Kimia cair Diobal Keracunan Menggunakan
Chromosol b Alergi sarung tangan
Soda kue Kerusakan Menggunakan
(NaHCO3) jaringan paru masker
Soda asetat Infeksi saluran Menyediakan
Pro enzym napas ventilasi yang

30
Soda klorid cukup
Formid acid
Amoniak
Permian carbonat
Kimia padat - - -

3.3 Kebisingan
A. Hasil
Tingkat
Jenis Sumber NAB
No Lokasi kebisingan Keterangan
bising bising (dB)
Leq Lmax
Bag. Mesin Belum
1 81.6 95.5 Kontinu 85
tanning tanning melebihi
Bag. Mesin Belum
2 83.5 91.7 Kontinu 85
Shaving shaving melebihi
Bag. Mesin
3 Enzyn- 80.4 92.4 Kontinu enzyn 85 < NAB
setter
Bag. Kipas
4 Bengkel 88.2 96.9 Intermitten angin, alat 85 >NAB
perbaikan
Bag. Mesin
Stacking stacking,
5 80.1 81.5 Kontinu 85 <NAB
exhaust
fan, fan
Bag. Mesin
Milling milling,
6 83.1 87.9 Kontinu 85 <NAB
exhaust
fan, fan
Bag. Mesin
Polish polish,
7 80.7 90.3 Kontinu 85 <NAB
exhaust
fan, fan
8 Bag. 80 87.7 Kontinu Mesin 85 <NAB

31
Togglin toggling,
g fan
Bag. Mesin
9 83.7 87.7 kontinu 85 <NAB
Dying dying
Bag. Mesin
Enzyn- enzyn,
10 talk 99.7 105 Kontinu kompresor, 85 >NAB
mesin
giling
b. Pembahasan
Dari hasil pengukuran 10 lokasi diatas hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa hasil pengukuran kebisingan di bagian PT ASA didapatkan NAB (nilai
ambang Batas) yang melebihi standar antara lain pada bagian enzyn talk (99.7
dB) dan bagian bengkel (88.2 dB), sedangkan bagian tanning, shaving, enzyn
setter, stacking, milling, polish, dan toggling didapatkan nilai NAB <85 dB.
Tingkat pengukuran bising terendah diadapatkan pada bagian toggling yaitu
80 dB dan bising tertinggi didapatkan pada bagian enzyn talk dengan nilai 99.7
dB. Faktor yang mempengaruhi tingginya kebisingan pada bagian Enzyn talk
adalah banyaknya bmesin kompresor di ruangan tersebut. Terdapat 4 buah alat
pada ruangan enzyn talk. Dari 4 alat yang ada, 3 alat beroperasi pada hari
tersebut. Setiap harinya mesin tersebut beroperasi secara kontinue bselama 8
jam. Jenis bising dapat dikategorikan sebagai kontinu dan intermitten,
sedangkan untuk sumber bising berasal dari mesin di dalam ruangan.
Pengendalian sumber kebisingan oleh pihak perusahaan baru terbatas pada
pemakaian APD, dan belum difokuskan pada sumber bising.
Kesimpulan mengenai pengukuran pada 10 bagian pabrik, didapatkan 2
bagian memiliki kebisingan diatas NAB. Saran untuk memperbaiki tingkat
kebisingan di pabrik antara lain dengan cara menggalakkan promosi
penggunaan APD berupa earplug dan menggunakan media yang bersifat
persuasif. Dari segi sumber bising dapat dilakukan pengendalian berupa
pemeliharaan bising secara berkala, atau penggantian mesin lama dengan

32
mesin baru. Dari segi adminiostratif dapat dilakukan rotasi kerja yang teratur
dan kontinu sehingga resiko gangguan pendengaran dapat berkurang.

3.4 Pencahayaan
A. Hasil
No Lokasi Tingkat Pencahayaan Jenis Tingkat Keterangan
Umum Lokal Kerja Pencahayaan
Range Rata- Range Rata-
Rata Rata
1 Trimmine 14-60 24,6 13-45 26,3 Sedang, Kurang Sumber :
(merapikan sepintas Matahari,
bahan) lampu
2 Milling 100- 117,5 70- 90 Sedang, Cukup Lampu
(sebelum 160 110 sepintas
tanning)
3 Tanning 109- 116,3 42-90 63,67 Sedang, Cukup Sumber :
(pencucian) 130 3 sepintas Matahari,
lampu
4 Shaving 47- 102,6 44,5- 48,43 Sedang, Cukup Lampu
(penipisan 198 7 54,5 sepintas
ukuran
kulit)
5 Toggling 70- 90 70- 87,5 Sedang, Kurang Lampu
110 100 sepintas
6 Setter 40-58 49,33 28,778 55 Sedang, Kurang Lampu
(pelebaran sepintas
bahan)
7 Enzyn Talk 48-50 49 170- 235 Sedang, Cukup Lampu
300 sepintas
8 Stacking 80- 96,67 90- 100 Sedang, Cukup Lampu
(pelemasan) 110 110 sepintas
9 Polish 55,2- 57,7 54,1- 57,4 Sedang, Kurang Lampu
60,8 60,7 sepintas
Dari hasil pengukuran 9 lokasi diatas hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa hasil pengukuran pencahayaan di bagian PT ASA didapatkan tingkat
pencahayaan yang kurang daripada standar antara lain pada bagian trimming,
toggling, setter, dan polishing. Beberapa ruangan tersebut menggunakan
sumber cahaya berupa lampu yang dinyalakan selama kurang lebih 8 jam
sehari. Selain lampu didapatkan sumber cahaya dari mataharin yang sedikit
masuk di setiap ruangan. Faktor yang mempengaruhi rendahnya pencahayaan
pada beberapa ruangan tersebut antara lain kurangnya jumlah lampu yang ada

33
di ruangan, jenis lampu yang digunakan dan kurangnya ventilasi sehingga
cahaya matahari sulit masuk ke dalam ruangan. Baik pencahayaan lokal dan
general pada beberapa bagian tersebut masih kurang. Hal ini dikhawatirkan
dapat menjadi sumber bahaya terutama bagi pekerjaan yang membutuhkan
ketelitian tinggi dan menggunakan sumber cahaya menjadi hal yang penting
dalam proses produksi Pengendalian sumber cahaya oleh pihak perusahaan
belum terlalu banyak dilakukan. Saran untuk memperbaiki tingkat
pencahayaan di pabrik antara lain dengan cara berkoordinasi dengan
perusahaan untuk menambah unit lampu, menambah daya kekuatan lamu dan
mengatur ventilasi yang ada agar cahaya yang masuk dapat optimal. Dari segi
adminiostratif dapat dilakukan rotasi kerja yang teratur dan kontinu serta
pemeriksaan berkala pada mata sehingga resiko gangguan penglihatan dapat
berkurang.
3.5 Getaran
A. Hasil Pengujian Getaran ( Lengan dan Tangan )

No Lokasi Durasi Nilai Getaran Nilai Ambang


Jumlah waktu
pemajanan per hari
kerja
1 Proses Tanning ± 8 jam 0,0131 m/s2 4 m/s2
2 Enzym Talk ± 8 jam 0,0149 m/s2 4 m/s2
3 Staking ± 8jam 0,0176 m/s2 4 m/s2
B. Pembahasan

Dari hasil pengukuran diatas hasil yang didapatkan menunjukkan

bahwa hasil kebisingan di bagian PT ASA didapatkan NAB ( Nilai Ambang

Batas ) yang dibawah standar antara lain pada Proses Tanning (0,0131 m/s 2),

pada Enzym Talk (0,0149 m/s2) dan pada staking (0,0176 m/s2). Tingkat

Getaran terendah pada Proses tanning dan tertinggi pada Staking. Faktor yang

mempengaruhi getaran pada ruangan dipengaruhi oleh banyaknya mesin dan

kompresor yang terdapat pada ruang tersebut.

34
2.3 Iklim Kerja
A. Hasil
Hasil Pengujian
Sumber NAB
No Lokasi TnWb RH ISBB Beban Kerja Keterangan
Panas ISBB
(ºC) (%) (ºC)
1 Bagian 25,4 87 26,6 Sedang Atap asbes, 31 Di bawah
Mesin Mesin, NAB
Drum Lampu
2 Bagian 25,1 82 26,4 Sedang Atap asbes, 31 Di bawah
Stacking Mesin, NAB
Lampu
3 Bagian 25,0 82 26,4 Sedang Atap asbes, 31 Di bawah
Buffing Mesin, NAB
Lampu
4 Bagian 25,1 82 26,4 Sedang Atap asbes, 31 Di bawah
Toggling Mesin, NAB
Lampu
5 Bagian 26,2 79 27,7 Sedang Atap asbes, 31 Di bawah
Milling Mesin, NAB
Lampu
6 Bagian 24,1 62 26,2 Ringan Atap asbes, 31 Di bawah
Gudang Mesin, NAB
Lampu
Keterangan :
TnWb : Suhu Basah Alami (ºC)
RH : Relative Humidity / Kelembaban Udara Relatif (%)
ISBB : Indeks Suhu Basah dan Suhu Bola (ºC)

B. Pembahasan
Ruangan 1 yaitu ruangan tanning (bagian mesin drum) memiliki
TnWb sebesar 25,4 ºC. Nilai tersebut berada di bawa Nilai Ambang Batas
(NAB) untuk TnWb di tempat kerja yang berkisar antara 21-30 ºC.

35
Kelembapan udara relatif di ruangan ini sebesar 87 %, sesuai dengan
kelembapan udara relatif yang nyaman untuk iklim tropis yaitu sekitar 65-
95 %. Pada ruangan ini didapatkan ISBB 26,6 ºC. Beban kerja di ruangan
ini termasuk beban kerja sedang. Pada suhu sekian, semestinya pekerja
dapat bekerja selama 75-100 % dari lama jam kerja (8 jam).
Ruangan 2 yaitu ruangan stacking memiliki TnWb sebesar 25,1
ºC. Nilai tersebut berada di bawa Nilai Ambang Batas (NAB) untuk TnWb
di tempat kerja yang berkisar antara 21-30 ºC. Kelembapan udara relatif di
ruangan ini sebesar 82 %, sesuai dengan kelembapan udara relatif yang
nyaman untuk iklim tropis yaitu sekitar 65-95 %. Pada ruangan ini
didapatkan ISBB 26,4 ºC. Beban kerja di ruangan ini termasuk beban kerja
sedang. Pada suhu sekian, semestinya pekerja dapat bekerja selama 75-100
% dari lama jam kerja (8 jam).
Ruangan 3 yaitu ruangan buffing memiliki TnWb sebesar 25,0 ºC.
Nilai tersebut berada di bawa Nilai Ambang Batas (NAB) untuk TnWb di
tempat kerja yang berkisar antara 21-30 ºC. Kelembapan udara relatif di
ruangan ini sebesar 82 %, sesuai dengan kelembapan udara relatif yang
nyaman untuk iklim tropis yaitu sekitar 65-95 %. Pada ruangan ini
didapatkan ISBB 26,4 ºC. Beban kerja di ruangan ini termasuk beban kerja
sedang. Pada suhu sekian, semestinya pekerja dapat bekerja selama 75-100
% dari lama jam kerja (8 jam).
Ruangan 4 yaitu ruangan toggling memiliki TnWb sebesar 25,1
ºC. Nilai tersebut berada di bawa Nilai Ambang Batas (NAB) untuk TnWb
di tempat kerja yang berkisar antara 21-30 ºC. Kelembapan udara relatif di
ruangan ini sebesar 82 %, sesuai dengan kelembapan udara relatif yang
nyaman untuk iklim tropis yaitu sekitar 65-95 %. Pada ruangan ini
didapatkan ISBB 26,4 ºC. Beban kerja di ruangan ini termasuk beban kerja
sedang. Pada suhu sekian, semestinya pekerja dapat bekerja selama 75-100
% dari lama jam kerja (8 jam).
Ruangan 5 yaitu ruangan milling memiliki TnWb sebesar 26,2 ºC.
Nilai tersebut berada di bawa Nilai Ambang Batas (NAB) untuk TnWb di
tempat kerja yang berkisar antara 21-30 ºC. Kelembapan udara relatif di

36
ruangan ini sebesar 79 %, sesuai dengan kelembapan udara relatif yang
nyaman untuk iklim tropis yaitu sekitar 65-95 %. Pada ruangan ini
didapatkan ISBB 27,7 ºC. Beban kerja di ruangan ini termasuk beban kerja
sedang. Pada suhu sekian, semestinya pekerja dapat bekerja selama 75-100
% dari lama jam kerja (8 jam).
Ruangan 6 yaitu ruangan storage memiliki TnWb sebesar 24,1 ºC.
Nilai tersebut berada di bawa Nilai Ambang Batas (NAB) untuk TnWb di
tempat kerja yang berkisar antara 21-30 ºC. Kelembapan udara relatif di
ruangan ini sebesar 62 %, di bawah dari nilai kelembapan udara relatif
yang nyaman untuk iklim tropis yaitu sekitar 65-95 %. Pada ruangan ini
didapatkan ISBB 26,2 ºC. Beban kerja di ruangan ini termasuk beban kerja
ringan. Pada suhu sekian, semestinya pekerja dapat bekerja selama 75-100
% dari lama jam kerja (8 jam).
Tabel Pedoman Penilaian ISBB
ISBB (ºC)
No Variasi Kerja
Kerja Ringan Kerja Sedang Kerja Berat
1 75-100 % 31,0 28,0
2 50-75 % 31,0 29,0 27,5
3 25-50 % 32,0 30,0 29,0
4 0-25 % 32,2 31,0 30,5

2.4 Kadar Debu


A. Hasil

Parameter : Debu

No. Lokasi Satuan Jenis Debu Hasil NAB Metode /


Pengujian Alat
1. Bag. Partikel
Stakking- mg / m³ tidak 0,960 10 Gravimetri
Buffing- terklasifikasi
Toggling
2. Bag. Partikel
Buffing- mg / m³ tidak 1,085 10 Gravimetri
Shaving terklasifikasi
3. Bag. mg / m³ Partikel
Milling tidak 0,869 10 Gravimetri

37
terklasifikasi

B. Pembahasan

Debu pada industri penyamakan kulit lebih banyak dijumpai di


proses kering. Proses tersebut terdiri dari milling (pelemasan kulit), wide
stacking (pelemasan kulit untuk yang berwarna putih), stacking
(pelemasan kulit), polishing (memoles/mengamplas), toggle (pelebaran
kulit akhir dengan di panasi). Saat berada di gedung proses kering seluruh
atap gedung dilapisi oleh seng dan lantainya terbuat dari semen. Di atap
gedung banyak terdapat debu-debu yang menempel dan sangat tebal.
Namun dari hasil pengukuran debu dengan menggunakan alat Gravimetri
kadar debu di gedung tersebut dibawah Nilai Ambang Batas yang
menandakan kadar debu di gedung tersebut masih bisa diterima dan
dihirup oleh karyawan yang bekerja. Perilaku dari karyawan di industri
tersebut juga sudah dibilang baik karena mereka sudah menggunakan
masker ketika bekerja. Namun masker yang digunakan yang terbuat dari
bahan kain yang kami tidak tahu apakah itu sering dicuci / dibersihkan
atau tidak. Saran dari kami adalah sebisa mungkin memakai masker yang
sekali pakai sehingga setiap hari ganti untuk menjaga kebersihan.

38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Potensi Bahaya

Adapun potensi bahaya yang dapat timbul di tempat kerja yang ada di PT.

Adi Satria Abadi meliputi, terjepit, terjatuh, tertimpa kulit, terpeleset, dan

peledakan.

5.1.1. Faktor Bahaya Fisik dan Kimia

Bahaya yang ada di lingkungan kerja yang ada di PT. Adi Satria Abadi

meliputi :

a) Faktor fisik :

Kebisingan, dibeberapa tempat NAB kebisingannya masih ada yang

melebihi 85 dBA. Tetapi telah dilakukan pengendalian baik secara

teknik, administratif dan menyediakan APD yang sesuai dengan SK.

Menteri No. 01 /MEN/1999 tentang NAB faktor fisik di tempat kerja.

b) Getaran, dari 9 tempat proses produksi 3 tempat masih melebihi nilai

ambang batas Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP-

51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat

Kerja, yang di dalamnya termasuk juga masalah getaran mekanis No.

01 /MEN/1999 tentang NAB faktor fisik di tempat kerja agar segera

dilakukan pengurangan pemaparan terhadap getaran.

c) Faktor kimia : Faktor bahaya kimia pengendaliannya telah sesuai

dengan Kepmenaker No. Kep 187/ MEN/ 1999 tentang pengendalian

bahan kimia berbahaya di tempat kerja.

39
5.2 Kebisingan

Kesimpulan mengenai pengukuran pada 10 bagian pabrik,


didapatkan 2 bagian memiliki kebisingan diatas NAB. Saran untuk
memperbaiki tingkat kebisingan di pabrik antara lain dengan cara
menggalakkan promosi penggunaan APD berupa earplug dan
menggunakan media yang bersifat persuasif. Dari segi sumber bising
dapat dilakukan pengendalian berupa pemeliharaan bising secara
berkala, atau penggantian mesin lama dengan mesin baru. Dari segi
administratif dapat dilakukan rotasi kerja yang teratur dan kontinu
sehingga resiko gangguan pendengaran dapat berkurang.
5.3 Pencahayaan

Dari hasil pemeriksaan yang telah kami lakukan pada PT. ASA, hasil

yang didapat belum sesuai dengan standar pencahayaan

Saran :

a. Penyuluhan untuk memperbaiki kebiasaan tenaga kerja agar

selalu menyalakan lampu saat bekerja.

b. Perbesar ventilasi untuk tempat masuk cahaya matahari sebagai

sumber cahaya alami.

5.4 Getaran

Tingkat Getaran terendah pada Proses tanning dan tertinggi pada

Staking. Faktor yang mempengaruhi getaran pada ruangan dipengaruhi

oleh banyaknya mesin dan kompresor yang terdapat pada ruang

tersebut.

5.5 Iklim Kerja

Dari hasil pemeriksaan yang telah kami lakukan pada PT.ASA,

didapatkan hasil yang menunjukkan semua ruangan mendukung untuk

produktivitas dan keselamatan kerja.

40
Saran:

a) Pengaturan waktu kerja dan istirahat sesuai dengan pedoman


b) Pertahankan iklim kerja yang sudah ada
c) Disediakan air minum yang mencukupi dengan kandungan garam
NaCl 0,1% pemberian minum tiap 15-20 menit sebanyak ±159 mL
serta suhu air minum dijaga 10-20oC.

5.6 Kadar Debu

Kadar debu di gedung tersebut dibawah Nilai Ambang Batas yang

menandakan kadar debu di pabrik kulit tersebut masih bisa diterima

dan dihirup oleh karyawan yang bekerja. Saran dari kami adalah

sebaiknya karyawan menggunakan masker yang setiap hari diganti.

41
DAFTAR PUSTAKA

Budiono, Sugeng dkk. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja.

Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Suma’mur PK. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT.

Toko Gunung Agung

Tim Hiperkes. 2012. Modul Pelatihan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Bagi

Dokter Perusahaan. Yogyakarta : Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja.\

42

Anda mungkin juga menyukai