Pewarisan Dalam Hukum Tanah
Pewarisan Dalam Hukum Tanah
• 1. Ada seorang meninggal dunia namanya A pada tahun tanggal 1 Januari 2012.
A punya anak 4 orang C, D, E dan F. Istrinya sendiri sudah meninggal dunia lebih
dahulu dari A. C dan D anaknya tersebut sdh menjadi WNA Belanda.
• A punya tanah yang diatasnya berdiri rumah 3 buah dengan sertipikat Hak Milik.
Tanah dan rumah tersebut akan dibeli oleh Tuan X yang merupakan WNI.
1. Pertanyaannya apakah C dan D ahli waris dari A ?
2. Bagaimana status 3 bidang tanah yang diatasnya berdiri rumah?
3. Bagaimana proses transaksinya , bisakah dengan Akta Jual Beli?
Jawaban versi saya ya :
1.C dan D adalah ahli waris Golongan I dari A. dengan meninggalnya A maka yang
berupakan ahli waris adalah C, D, E dan F.
• Kematian seseorang menurut KUHPerdata mengakibatkan peralihan segala
hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata : “sekalian
ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak milik atas
segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal“.
• Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya disebut “saisine” yaitu ahli waris memperoleh segala hak dan
kewajiban dari yang meninggal dunia, tanpa memerlukan suatu tindakan
tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang
adanya warisan itu.
Berarti pada tanggal 1 Januari 2012 yaitu setelah meninggal A, maka
pemilik tanah dan bangunan (3 buah) adalah C, D, E dan F. dengan tidak
melihat kewarganegaraan.
• 2.Oleh karena meninggalnya pada tanggal 1 Januari 2012, maka semenjak
saat itu pemagang hak atas tanah (3 buah) sertipikat adalah C, D, E dan F,
dan diberikan kesempatan oleh UUPA sampai dengan 1 tahun setelah
memperoleh hak karena pewarisan. Sehingga pada saat sekarang ini (lebih
dari 4 tahun) maka tanahnya menjadi tanah Negara.
Pewarisan yang terjadi karena hukum (pewarisan tanpa wasiat), yang
mengakibatkan orang asing atau WNI berkewarganegaraan ganda
memperoleh tanah hak milik, berlaku Pasal 21 ayat (3) UUPA yaitu :
-dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan HM tersebut;
-apabila lewat dari 1 tahun tidak melepaskan haknya, maka haknya hapus
karena hukum, tanahnya jatuh pada negara, hak-hak pihak lain yang
membebani tetap berlangsung.
• 3.Proses transaksinya (peralihan hak) tidak bisa menggunakan akta PPAT
misalnya Akta Jual Beli, karena hak atas tanahnya adalah tanah Negara.
Proses peralihan hak nya adalah dengan menggunakan akta notaris, yaitu
dengan Akta Pelepasan hak dan Kepentingan Prioritas. Prioritas dari C, D, E
dan F yang dilepaskan kepada Negara, dan pemohon yaitu Tuan X dapat
memohon hak kepada Kantor Pertanahan ditempat tanah dan bangunan
tersebut berada dengan hak yang sesuai dengan kebutuhan Tuan
Xdisesuaikan dengan RUTR setempat. Lihat ketentuan PMNA/Kepala BPN
Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata cara Pemberian dan Pembatalan Hak
atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
• 2. Hibah wasiat kepada WNA?
• Sebagaimana difahami bahwa surat wasiat atau testamen berisi
pernyataan kehendak bagi almarhum, ini berarti bahwa surat wasiat atau
testamen itu merupakan suatu perbuatan hukum sepihak yaitu, berupa
tindakan atau pernyataan kehendak satu orang saja sudah cukup untuk
timbulnya akibat hukum yang dikehendaki.
• Suatu surat wasiat atau testamen baru mempunyai efek (baru berlaku)
setelah pewaris meninggal dunia, itu sebabnya surat wasiat disebut berisi
pernyataan terakhir almarhum.
• Apabila ada yang membuat wasiat atau Pemberian dengan Wasiat yang
mengakibatkan orang asing atau WNI berkewarganegaraan ganda
memperoleh tanah dengan status hak milik, berlaku Pasal 26 ayat 2 UUPA
yaitu :
• -pemberian tersebut batal demi hukum
• -tanahnya jatuh pada negara
• -hak-hak pihak lain yang membebani tetap berlangsung
• -semua pembayaran yang telah diterima pemilik tidak dapat dituntut
kembali.
• Oleh karena itu maka harus selalu dilihat objek nya apa ? bagaimana status
kwarganegaraan penerima wasiat tersebut ?
• 3. A, B, C dan D adalah ahli waris dari Tuan X. Karena sesuatu hal Tuan C
dan D ingin menjual tanah warisan dari Tuan X, tetapi Nyonya A tidak
setuju dengan keinginan tersebut sedangkan Nyonya B tidak mau tahu
terhadap hal tersebut.
• Pertanyaannya, bisakah keinginan Tuan C dan Tuan D dilaksanakan?
• Pendapat hukum:
• Sebagaimana ketentuan Pasal 1076 KUHPerdata:
• Bila para ahli waris, atau seorang atau beberapa orang dan mereka,
berpendapat bahwa barang- barang tetap dan harta peninggalan itu atau
beberapa di antaranya harus dijual, baik untuk kepentingan harta
peninggalan itu, untuk membayar utang-utang dan sebagainya, maupun
untuk dapat menyelenggarakan pembagian yang baik, maka Pengadilan
Negeri setelah mendengar pihak-pihak lain yang berkepentingan atau
setelah memanggil mereka secukupnya, dapat memerintahkan penjualan
itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata; namun
bila dilakukan di muka umum, penjualan itu harus dihadiri oleh para wali
pengawas dan pengampu pengawas, atau setidak-tidaknya setelah mereka
dipanggil secukupnya.
• Bila salah seorang dan para ahli waris membeli suatu barang tetap, maka
hal itu mempunyai akibat yang sama terhadapnya seperti jika dia
memperolehnya pada waktu pemisahan harta itu.
• Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1076 KUHPerdata tersebut diatas,
Tuan C dan Tuan D yang merupakan ahli waris dari Tuan X, sebagai pemilik
serta atas warisan sebagai kekayaan milik bersama dapat mengajukan
permohonan kepada hakim agar demi terlaksananya pembagian warisan
secara patut benda tertentu dari boedel warisan, yang tentunya
merupakan benda milik bersama para ahi waris boleh dijual. Dan apabila
permohonan tersebut dikabulkan, dan penjualan dapat dilakukan oleh C
dan D.
• Penjualan yang dilakukan oleh C dan D atas perintah hakim (Putusan) tentu
mempunyai dampak kepada semua ahli waris (untuk A dan B) juga,
sehingga tentunya dapat dijalankan sekalipun ada pemilik (A dan B) yang
tidak setuju.
• Dalam hukum memang dikenal juga Lembaga Perwakilan Terpaksa,
contohnya sebagaimana tersebut diatas, dimana di dalam penjualan atas
benda milik bersama oleh salah seorang pemilik serta atas perintah/ijin
hakim, ada kemungkinan ada pemilik serta yang sebenarnya tidak setuju
dengan penjualan itu dan karenanya alam peristiwa itu dikatakan ada
perwakilan terpaksa. Dan karena disebut sebagai perwakilan terpaksa
maka tindakan pemilik berdasarkan ijin hakim dianggap sebagai mewakili
kepantingan semua pihak.
• 4. Bedah kasus dari kisah nyata…..
• R dengan G menikah tahun 2006.
• Mereka membeli Rumah tahun 2012 (sertipikat HM. 1).
• R dengan G bercerai tahun 2018.
• Dibuatlah Akta pernyataan oleh Notaris yang isinya bahwa Rumah dengan
sertipikat HM. 1 adalah milik Nyonya G, dan bukan harta Bersama dengan
R.
• Pertanyaannya, apakah Suatu Akta Pernyataan yang dibuat dihadapan
Notaris, bisa menghilangkan hak R?
• Tentu tidak bukan…..
• Bahwa Notaris tidak dapat membuat akta dengan asal menuangkan kehendak
Pihak (para pihak), hati-hati dengan akta yang bersifat tidak benar atau
perbuatan hukum pura-pura yang secara Normatif bisa dinilai dengan alat bukti
oleh Notaris, Notaris wajib menilai lebih teliti.
• Kewenangan yang ada pada notaris sebagaimana tersebut di dalam Pasal 15
UUJN memberikan kekuatan pembuktian dari akta notaris sempurna dimana:
• -Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak
kedalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku; dan
• -Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti
lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut
tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar
tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum
yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat
publik dari jabatan notaris.
• Dalam menjalankan jabatannya maka asas yang harus dijadikan pedoman dalam
menjalankan jabatan notaris, yaitu sebagai asas-asas pelaksanaan tugas jabatan
notaris yang baik, dengan substansi dan pengertian untuk kepentingan notaris.
Asas-asas tersebut adalah Asas Kepastian Hukum, AsasPersamaan, Asas
Kepercayaan, Asas Kehati-hatian.
• Asas kehati-hatian ini merupakan penerapan dari Pasal 16 ayat (1) huruf a UU
Jabatan Notaris antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris wajib
bertindak seksama. Pelaksanaan asas kecermatan wajib dilakukan dalam
pembuatan akta dengan:
• a. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang
diperlihatkan kepada notaris;
• b.Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut;
• c. Memeriksa bukti Surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para
pihak tersebut;
• d. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan
atau kehendak para pihak tersebut;
• e.Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan untuk
minuta;
• f. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan
notaris;
• Berkaitan dengan hal tersebut diatas Notaris mempunyai peranan untuk
menentukan suatu tindakan dapat dituangkan dalam bentuk akta atau tidak.
Sebelum sampai pada keputusan seperti ini, Notaris harus mempertimbangkan
dan melihat semua dokumen yang di perlihatkan kepada Notaris, meneliti semua
bukti yang diperlihatkan kepadanya, mendengarkan keterangan atau pernyataan
para pihak. Keputusan tersebut harus didasarkan pada alasan hukum yang harus
dijelaskan kepada para pihak. Pertimbangan tersebut harus memperhatikan
semua aspek hukum termasuk masalah hukum yang akan timbul di kemudian
hari.
• Dari Jenisnya Akta yang dibuat di hadapan notaris atau yang dinamakan
akta partij (partij akten), akta ini yang berisikan suatu cerita dari apa yang
terjadi karena perbuatan yang di lakukan oleh para pihak di hadapan
notaris, artinya yang diceritakan oleh para pihak kepada notaris dalam
menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja
datang dihadapan notaris dan memberikan keterangan itu di hadapan
notaris, agar keterangan itu dikonstantir oleh notaris di dalam suatu akta
otentik. Akan tetapi keterangan yang dikonstatir oleh notaris ke dalam
suatu akta otentik tersebut tetap harus selalu memperhatikan undang-
undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
• Oleh karena itu notaris harus mempunyai parameter yang baik dalam
mengukur apakah suatu keterangan yang dikonstatir ke dalam akta otentik
tersebut layak atau tidak layak, dan tidak mempunyai potensi merugikan
pihak lain.
• Dalam Akta Partij, Notaris menuangkan kehendak para pihak ke dalam akta
otentik, yang kemudian menjadi alat pembuktian sempurna. Walaupun suatu
perjanjian dibuat dengan akta notaris, bukan berarti kekuasaan hakim tidak bisa
mencampuri isi perjanjian dan kemudian membatalkan perjanjian tersebut.
• Terkait ilustrasi kasus Sebagaimana tersebut diatas Notaris harus memahami
ketentuan tentang Harta Bersama dalam Perkawinan, karena akan berpengaruh
terhadap akta yang dibuatnya.
• Menurut Pasal 35 UUP, harta bersama adalah harta perkawinan suami istri dalam
ikatan perkawinan. Proses terbentuknya harta bersama ditegaskan dalam Pasal
35 ayat (1) UUP, bahwa sejak dari tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan
perkawinan bubar. Jadi harta apa saja yang diperoleh terhitung sejak saat
dilangsungkan akad nikah, sampai perkawinan pecah, baik oleh karena salah satu
pihak meninggal dunia maupun oleh karena perceraian, maka seluruh harta-
harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama.
• 5. Dapatkah Notaris membuat akta dalam bentuk Kesepakatan Bersama yang
isinya memecat seorang anak dari hubungan keluarga?
• Bahwa Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan
ayat (3) UUJN, yaitu:
• a. Kewenangan Umum Notaris
• Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu
membuat akta secara umum,hal ini disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris,
dengan batasan sepanjang:
• -Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-
undang.
• -Menurut Lubbers, bahwa Notaris tidak hanya mencatat saja (kedalam bentuk
akta), tapi juga mencatat dan menjaga, artinya mencatat saja tidak cukup, harus
dipikrkan juga bahwa akta itu harus bergunadikemudian hari jika terjadi keadaan
yang khas.
• -Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
• -Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
• Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut di dalam
Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris:
• -Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak
kedalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
• -Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti
lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut
tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar
tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum
yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta notaris ini berhubungan dengan sifat
publik dari jabatan notaris.
• b. Kewenangan Khusus Notaris
• Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk
melakukan tindakan hukum tertentu, yaitu :
• -Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
• -Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
• -Membuat copy dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
• -Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
• -Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
• -Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
• -Membuat akta risalah lelang.
• c. Kewenangan Notaris yang Akan Ditentukan Kemudian.
• Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan
kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan ditentukan kemudian
(ius constituendum).
• Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika notaris melakukan tindakan
diluar wewenang yang telah di tentukan, maka notaris telah melakukan
tindakan diluar wewenang, maka produk atau akta notaris tersebut tidak
mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan, dan pihak atau
mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan notaris diluar wewenang
tersebut, maka notaris dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri.
• Berkaitan dengan akta Perjanjian atau Kesepakatan Bersama yang dibuat
tentu harus juga diperhatikan asas kebebasan berkontrak yang diatur
dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyebutkan Setiap
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya.
• Akan tetapi pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tersebut di atas tidak bisa
ditafsirkan seolah-olah para pihak dapat membuat suatu persetujuan
mengenai apapun sesuai dengan kehendak kedua pihak tersebut, oleh
karena dalam membuat suatu kesepakatan para pihak tidak boleh
membuat perjanjian yang dilarang oleh undang-undang, bertentangan
dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
• Bagaimanapun asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata tetap ada batas-batasnya. Hal ini disebabkan karena
kesusilaan dan hukum tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
• Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa Suatu sebab adalah terlarang
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan ataupun ketertiban umum.
• Demikian halnya Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat 4 syarat sahnya
perjanjian yaitu:
• -sepakat mereka yang mengikatankan diri;
• -kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
• -suatu hal tertentu, dan
• -sebab yang halal.
• Syarat terakhir yang mengatur syarat sahnya perjanjian yaitu sebab yang halal, bahwa
suatu sebab yang dilarang adalah yang dilarang oleh UU atau berlawanan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum (hal ini diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata).
• Mari kita lihat analogi dari dampak Akta Pernyataan Bersama tersebut dihubungkan
dengan ketentuan terkait Ahli waris yang tidak patut menerima harta warisan dari
pewaris jika dia melakukan perbuatan tidak patut menjadi ahli waris menurut Pasal 838
KUHPerdata, yaitu:
• a. Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh pewaris;
• b. Mereka yang dengan putusan pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengadukan pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat;
• c. Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut
surat wasiat;
• d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
• Pendapat Hilman Hadikusuma, dalam hukum pewarisan adat, seorang yang telah
berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu diampuni dia tetap menjadi ahli
waris yang menerima harta warisan dari mewaris.
• Sedangkan menurut hukum kewarisan Islam, orang yang tidak berhak mewaris
adalah orang yang berbuat jahat terhadap pewaris dan melakukan dosa besar
yaitu:
• a. Pembunuh pewaris;
• b. Ahli waris yang murtad dari penganut agama Islam ;
• c. Orang yang berbeda agama dengan pewaris;
• d. Anak zina.
• Walaupun berkaitan dengan pewarisan beda agama dapat dilakukan terobosan
hukum yang dapat dilakukan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman di
Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai bentuk toleransi antar
sesama pemeluk agama adalah dengan memberikan wasiat wajib sebanyak-
banyaknya 1/3 (sepertiga) bagian dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris
yang sederajat dengannya.
• Bahwa dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan tidak dikenal adanya
PUTUSNYA HUBUNGAN KELUARGA, yang diatur hanya tentang Pencabutan
Kekuasan Orang Tua. Istilah Pembebasan Kekuasaan Orang Tua diatur
secara eksplisit dalam KUH Perdata, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
319a KUH Perdata, paragraf pertama yang menyatakan bahwa:
• “Bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan
dari kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak-anak maupun
terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan dewan perwalian atau
atas tuntutan kejaksaan, bila ternyata bahwa dia tidak cakap atau tidak
mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-
anaknya dan kepentingan anak-anak itu tidak berlawanan dengan
pembebasan ini berdasarkan hal lain.”
• Pada paragraf kedua pasal yang sama disebutkan mengenai Pemecatan
Kekuasaan Orang Tua.
• “Bila Hakim menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-masing
dari orang tua, sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dari
kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak
atau lebih, atas permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga
sedarah atau semenda dan anak-anak itu, sampai dengan derajat keturunan
keempat, atau dewan perwalian, atau Kejaksaan atas dasar:
• 1. menyalahgunakan kekuasaan orang tua atau terlalu mengabaikan kewajiban
memelihara dan mendidik seorang anak atau lebih;
• 2. berkelakuan buruk;
• 3. dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena sengaja ikut serta
dalam suatu kejahatan dengan seorang anak yang masih di bawah umur yang
ada dalam kekuasaannya;
• 4. dijatuhi hukuman yang tidak dapat ditarik kembali karena melakukan
kejahatan yang tercantum dalam Bab 13, 14, 15, 18, 19, dan 20, Buku
Kedua Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap seorang di bawah
umur yang ada dalam kekuasaannya;
• 5. dijatuhi hukuman badan yang tidak dapat ditarik kembali untuk dua
tahun atau lebih;
• 6. Dalam pasal ini pengertian kejahatan meliputi juga keikutsertaan
membantu dan percobaan melakukan kejahatan.”
• Demikian halnya menurut Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) UU
Perkawinan menyebutkan , kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
• UU Perkawinan menjelaskan mengenai Pencabutan Kekuasaan Orang Tua,
yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi:
• “Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang
tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung
yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal:
• a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
• b. la berkelakuan buruk sekali.”
• Bahwa hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan
yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat
diputus seperti memutuskan hubungan hukum yang terjadi karena,
misalnya perjanjian atau Kesepakatan Bersama putusnya hubungan
keluarga.
• Dalam Akta Kesepakatan Bersama tersebut, maka perjanjian tersebut
dapat dinyatakan batal demi hukum karena bertentangan dengan UU dan
melanggar kesusilaan atau ketertiban umum.
• bahwa tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan
para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum
yang berlaku, maka selalu Notaris harus memperhatikan ketentuan hukum
yang berlaku, dan tidak sekedar asal menuangkan.
• Terimakasih…..
• Hatur Nuhun….