Anda di halaman 1dari 5

Lukman Hakim, M.

Si, MA,
Lecturer at KPI department, Da’wah Faculty

Paradigma Sosiologi
Di dalam dunia sosiologi pergulatan pemikiran terkait dengan obyek kajian atau what is
the subject matter of sociology juga sangat tampak. Para ilmuwan berbeda pendapat tentang
masalah ini. Sehingga Ritzer (1992) menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang
mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Dan masing-masing paradigma
tersebut berbeda mengenai obyek kajian, teori, metode analisanya. Para ahli membagi empat
paradigma dalam sosiologi, yakni paradigma Fakta sosial, Definisi Sosial, Perilaku Sosial,
dan Integratif.
1) Paradigma Fakta Sosial terdiri dari sekumpulan teori para teoritisi sosial yang
memusatkan perhatian atau menjadikan apa yang disebut Durkheim sebagai fakta
sosial; struktur dan institusi sosial berskala luas beserta pengaruhnya terhadap pikiran
dan tindakan individu sebagai subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi
yang masuk dalam paradigma fakta sosial ini memusatkan pada struktur makro.
Mereka mengasumsikan bahwa terdapat keajegana (in-stable) dalam kehidupan
manusia. Dan di dalam keajegan tersebut ada perubahan dalam suatu waktu tertentu,
serta tidak ada suatu fakta yang yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya.
Exemplar paradigma ini adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of Social
Methode dan Suicide. Dua tulisan ini menggambarkan sasaran kajian sosiologi yang
disebutnya sebagai fakta sosial. Menurutnya fakta sosial ialah barang (thing) yang
berbeda dengan ide yang menjadi obyek kajian seluruh ilmu pengetahuan dan tidak
dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif), akan tetapi melalui
pengumpulan data riil di luar pemikiran manusia. Menurnya thing dapat dibagi
menjadi dua, yakni dalam bentuk barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan
diobservasi, contohnya adalah arsitektur, norma hukum dan lainnya. Kedua dalam
bentuk non-material, yakni fenomena yang terkandung dalam diri manusia sendiri,
hanya muncul dalam kesadaran manusia, contohnya kelompok, altruisme, egoisme
1
dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam paradigma ini adalah kuantitatif,
interview-kuesioner dan perbandingan sejarah. Metode ini memungkinkan adanya
reduksi berbagai fakta ke dalam variable-variabel sederhana. Di antara kompleksitas
fakta tersebut dimungkinkan terjadinya reduksi fakta secara simpel ke dalam variabel-
1
Zamroni, “Pengantar Pengembangan teori Sosial” Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992, hal. 24. Juga Periksa.
George Ritzer, “Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, “ Jakarta, Tiara Wacana, 1992, hal. 16-
17

1
Lukman Hakim, M.Si, MA,
Lecturer at KPI department, Da’wah Faculty

variabel penelitian.2 Teori yang dominan dalam paradigma ini adalah teori struktural
fungsional, teori konflik dan teori sistem. Ringkasnya, paradigma ini memiliki asumsi
dasar tentang fakta sosial sebagai berikut: general, external, and coercion.
2) Paradigma definisi sosial mencakup teori-teori yang menganggap subject matter dari
sosiologi adalah tindakan social yang penuh arti. Paradigma ini diambil dari salah satu
aspek yang sangat khsusu dari karya Max Weber, yakni tentang tindakan social
(social action). Konsep Weber tentang fakta social berbeda sekali dari konsep
Durkheim. Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur social dengan
pranata social. Struktur social dan pranata social keduanya membantu untuk
membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau penuh makna. Mempelajari
perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan
manusianya sendiri, menurut Weber, berarti mengabaikan segi-segi yang prinsipil dari
kehidupan social. Perkembangan dari hubungan social dapat pula diterangkan
melalui tujuan tujuan-tujuan dari manusia yang melakukan hubungan social itu
dimana ketika ia mengambil manfaat dari tindakan itu sendiri dalam tindakannya;
3
memberikan perbedaan makna kepada tindakan itu sendiri dalam perjalanan waktu.
Karya Weber tersebut membantu menimbulkan minat para teoritisi yang menganut
paradigma ini dalam mempelajari cara actor mendifinisikan situasi social mereka dan
dalam mempelajari pengaruh definisi situasi social terhadap tindakan dan integrasi
berikutnya. Ada beberapa teori yang masuk dalam paradigma ini, yakni teori
tindakan, interaksionalisme-simbolik, fenomenologi, etnometodologi dan
eksistensialisme.

Ringkasnya paradigma ini memeiliki tiga premis berikut:


 Manusia adalah aktor kreatif
 Fakta sosial memiliki arti subyektif (motivasi & tujuan)
 Cara aktor mendefiniskan fakta sosial adalah cara mereka mendefinisikan situasi

3) Paradigma Perilaku Sosial adalah mengacu pada karya psikolog B.F. Skinner
sebagai eksemplar. Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran
behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya meliputi spectrum yang sangat luas.
2
Nur Syam, , “Bukan Dunia Berbeda; Sosiologi Komunitas Islam” Surabaya, Pustaka Eurika, 2005, hal.7
3
Ritzer, “Sosiologi Ilmu Pengetahuan…..”. hal.43

2
Lukman Hakim, M.Si, MA,
Lecturer at KPI department, Da’wah Faculty

Teori, gagasan dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting
dalam pengembangan sosiologi behavior. Skinner melihat paradigma fakta social dan
definsi social sebagai perspektif yang bersifat mistik, dalam arti mengandung suatu
persoalan yang bersifat teka-teki, tidak dapat diterangkan secara rasional. Kritik
Skinner ini tertuju kepada masalah yang substansial dari kedua paradigma itu, yakni
eksistensi obyek studinya sendiri. Menurutnya, kedua paradigma itu membangun
obyek studi berupa sesuatu yang terdiri atas struktur social dan pranata social yang
menjadi obyek studi paradigma fakta social serta sesuatu yang terjadi dalam
pemikiran manusia berupa „tanggapan kreatif‟ terhadap suatu rangsangan atau
stimulus dari luar dirinya, yang menjadi obyek penyelidikan paradigma definisi social
oleh Skinner dinilai keduanya sebagai suatu obyek yang bersifat mistik. Menurutnya
dengan memusatkan perhatian kepada kedua hal tersebut, berarti menjauhkan
sosiologi dari obyek studi berupa barang sesuatu yang konkrit realistis. Menurut
Skinner, obyek studi sosiologi yang konkrit-realistis itu adalah „perilaku manusia
yang nampak serta kemungkinan perulangannya (behavior of man and contingencies
of reinforcement). Ringkasnya, perhatian utama paradigma perilaku social ini tertuju
pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman
(punishments) yang mencegah perilau yang tidak diinginkan. Metode paradigma ini
adalah eksperimen. Dan yang masuk dalam paradigma ini adalah sosiologi
behavioralisme dan teori pertukran (exchange).4
4) Paradigma Integratif merupakan bagian dari upaya ilmuwan social dalam mengatasi
ketegangan yang terjadi antara pendukung paradigma yang ada sekaligus mengatasi
keberatsebelahan pandangan mereka dalam memandang subject matter dari sosiologi.
Seperti paradigma fakta sosial yang hanya memusatkan perhatian pada struktur
makro, paradigma definisi sosial yang hanya memusatkan perhatian pada tindakan,
interaksi, dan konstruksi sosial dari realitas. Sedangkan paradigma perilaku sosial
terlalu memusatkan pada perilaku saja. Robert K Merton sebagai wakil paradigma
fakta sosial , melihat, bahwa paradigmanya dan paradigma definisi sosial dapat saling
memperkaya, sebagai berbeda seperti telur dengan daging; keduanya jelas berbeda,
namun saling memperkaya. Menurut Ritzer, perlunya paradigma integrasi ini karena
teramat sukar untuk memahami fenomena sosial yang beraneka ragam dan saling

4
Lihat. Ritzer, “Sosiologi Ilmu Pengetahuan…..”. hal.81-82. Juga baca. George Ritzer-Douglas J Goodman
“Teori Sosiologi Modern,” Jakarta, Prenada Media, 2004 hal.A-14

3
Lukman Hakim, M.Si, MA,
Lecturer at KPI department, Da’wah Faculty

pengaruh mempengaruhi, sehingga untuk memahaminya jelas dibutuhkan


kemampuan untuk menguraikan dan menjelaskan empat tingkat mendasar analisis
sosial dalam satu kesatuan, yakni makro-subyektif seperti nilai, makro-obyektif seperti
birokrasi, mikro-obyektif seperti pola interaksi dan mikro-subyektif seperti konstruksi
5
sosial.

Gambar 1. Tingkatan Utama Analisis Sosial Ritzer


Tingkat Realitas Sosial Paradigma Sosiologi
Fakta Sosial
Makro-subyektif
Makro-obyektif Definisi Sosial
Mikro-subyektif Paradigma Integratif
Perilaku Sosial
Mikro-obyektif

Dalam gambar di atas Ritzer menjelaskan paradigma fakta sosial memusatkan perhatian
pada tingkat makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan
perhatian, terutama pada kehidupan mikro-subyektif dan mikro-obyektif yang tergantung
pada proses mental(tindakan). Sedangkan paradigma perilaku sosial memusatkan perhatian
pada kehidupan mikro-obyektif yang tidak melibatkan proses berpikir (perilaku). Sedangkan
ketiga paradigma yang ada berpotongan dengan dengan realitas sosial secara horizontal dan
berpotongan dengan paradigma integratif secara vertikal. Gambar tersebut menjelaskan
mengapa paradigma integratif tidak dapat menggantikan paradigma yang lain. Meski
masing-masing ketiga paradigma yang ada itu menjelaskan satu tingkat realitas sosial
tertentu, dan paradigma integratif menjelaskan semua tingkat, namun tidak meneliti setiap
tingkat tertentu secara rinci seperti dilakukan paradigma lain. Jadi pilihan terhadap paradigma
tergantung pada jenis pertanyaan yang diajukan. Tidak semua maslah sosiologi memerlukan
pendekatan integratif, namun sekurang-kurangnya sebagian memerlukan.
Dan bagi Ritzer, penggagas paradigma integratif ini, tidaklah adil, dan harus dihindari
upaya penyamaan sebuah teori atau teoritisi dengan tingkat analisis tertentu. Menurutnya,
walau benar bahwa sosiolog yang setia pada paradigma sosiologi tertentu cenderung

5
George Ritzer-Douglas J Goodman, “Teori Sosiologi Modern,” Jakarta, Prenada Media, 2004, hal. A-19

4
Lukman Hakim, M.Si, MA,
Lecturer at KPI department, Da’wah Faculty

memusatkan perhatian pada tingkat analisis sosial tertentu, namun seringkali secara tidak
adil keluasan karya mereka disamakan dengan satu atau lebih tingkat analisis sosial. Sebagai
contoh Karl Marx sering dikira memusatkan pada struktur makro-obyektif –khususnya pada
struktur ekonomi kapitalis. Tetapi dengan menggunakan skema yang mempunyai berbagai
tingkat analisis sosial memungkinkan kita melihat bahwa Marx mempunyai wawasan yang
kaya mengenai semua tingkat realitas sosial dan antar hubungan berbagai realitas sosial itu.
Begitu pula interaksionalisme simbolik umumnya dianggap sebagai perspektif yang
berurusan dengan mikro-subyektif dan mikro-obyektif, tetapi bukanlah tanpa mempunyai
wawasan sama sekali mengenai tingkat makroskopik analisis sosial.6 Dan para teoritisi yang
paling menonjol dalam paradigma integratif ini adalah Peter L Berger dengan teori
konstruksi sosialnya, dan Anthony Giddens dengan teori strukturasinya. Keduanya mencoba
menjembatani ketegangan antara subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro,
dan antara voluntarisme dan determinisme. Keduanya memadukan antara mentalitas dan
struktur.7

6
George Ritzer-Douglas J Goodman, “Teori Sosiologi Modern…hal. A-21
7
Nur Syam, , “Bukan Dunia Berbeda….hal. 28.

Anda mungkin juga menyukai