Anda di halaman 1dari 17

M A K A L A H

“SEJARAH DAN PERANAN MAJLIS TARJIH MUHAMMADIYAH”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
TEKNIK SIPIL C

1. NAMRAH 218 190 101


2. HAMDAN 218 190 089
3. USMAN 218 190 093

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYA PAREPARE
2021
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah hanya kami panjatkaan kehadirot Allah yang


Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Atas segala berkah, nikmat
kesehatan dan kesabaran yang diberikannya, hingga pada akhirnya kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Sholawat dan salam tercurahkan kepada baginda Rasulullah Saw,
teladan mulia, inspirator cerdas, motivator tangguh dalam segala aspek
kehidupan. Darinya, pelajaran dan penyelesaian problematika kehidupan,
agama maupun sosial, dapat kita inplementasikan guna mempertahankan
martabat kemanusiaan.
Makalah yang berjudulkan Majlis Tarjih Muhammadiyah ini. Adalah
makalah yang membahas tentang salah satu lembaga-lembaga pemberi
fatwa di Indonesia. Semoga makalah ini bermamfaat bagi kami khususnya
dan umumnya bagi para pembaca.
Bila terdapat dalam makalah ini keslahan penulisan, kami selaku
penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena kami hanya makhluk
yang dho’if yang tidak punya apa-apa, dan kesempurnaan hanya milik Allah
semata.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I.................................................................................................................1

PENDAHULUAN...............................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................1

C. Tujuan Penulisan.................................................................................1

BAB II................................................................................................................2

PEMBAHASAN.................................................................................................2

A. Pengertian Majlis Tarjih...........................................................................2

B. Sejarah Majlis Tarjih Muhammadiyah.................................................3

C. Metode yang di gunakan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam


melakukan peranannya.................................................................................9

BAB III.............................................................................................................13

PENUTUP.......................................................................................................13

A. Kesimpulan............................................................................................13

B. Saran.....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagaman yang memiliki
misi utama pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama.
Pembaharuan dalam Muhammadiyah meliputi dua segi, dipandang dari
sudut sasarannya. Pertma,  pembaharuan dalam arti mengembalikan
kepada keasliannya/kemurniannya, yang sasarannya adalah soal-soal
prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-
ubah. Kedua, pembaharuan dalam arti modernisasi, yang sasarannya
mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik, stategi,  taktik
perjuangan dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan situasi dan
kondisi/ruang dan waktu. Dengan demikian pembaharuan memiliki dua
arti, yaitu memurnikan ajaran dan memodernkan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami jelaskan atau yang
akan kami bahas dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari Majlis Tarjih Muhammadiyah?
2. Bagaimana sejarah terbentuknya Majlis Tarjih Muhammadiyah?
3. Bagaimana metode yang di gunakan Majlis Tarjih Muhammadiyah
dalam melakukan peranannya?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari Majlis Tarjih Muhammadiyah
2. Mengetahui sejarah terbentuknya Majlis Tarjih Muhammadiyah
3. Mengetahui metode yang di gunakan Majlis Tarjih Muhammadiyah
dalam melakukan peranannya

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Majlis Tarjih


Tarjih berasal dari kata “rojjaha-yurajjihu-tarjihan”, yang berarti
mengambil sesuatu yang lebih kuat.
Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah : Usaha yang dilakukan oleh
mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan ( dua dalil ) yang
saling bertentangan, karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari
yang lainnya
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian
singkat mengenai “Matan Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah”
adalah membanding-banding pendapat dalam musyawarah dan
kemudian mengambil mana yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
Pada tahap-tahap awal, tugas Majlis Tarjih, sesuai dengan
namanya, hanyalah sekedar memilih-milih antara beberapa pendapat
yang ada dalam Khazanah Pemikiran Islam, yang dipandang lebih kuat.
Tetapi, dikemudian hari, karena perkembangan masyarakat dan jumlah
persoalan yang dihadapinya semakin banyak dan kompleks, dan
tentunya jawabannya tidak selalu di temukan dalam Khazanah Pemikiran
Islam Klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami pergeseran
yang cukup signifikan. Kemudian mengalami perluasan menjadi: usaha-
usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah-maasalah baru yang
sebelumnya tidak atau belum pernah ada diriwayatkan qoul ulama
mengenainya. Usaha-usaha tersebut dalam kalangan ulama ushul Fiqh
lebih dikenal dengan nama ijtihad.

2
B. Sejarah Majlis Tarjih Muhammadiyah
1. Awal Mula Terbentuknya Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah, lahir sebagai hasil keputusan
Kongres ke-16 organisasi ini di Pekalongan pada tahun 1927 pada
periode kepengurusan KH. Ibrahim (1878-1934) yang menjadi Ketua
Hoofdbestuur Muhammadiyah kedua sesudah KH. Ahmad Dahlan
(1868-1923)[1]. Dalam kongres tersebut dibicarakan usul Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, agar dalam persyarikatan itu diadakan Majlis
Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy. Usul yang diajukan Pimpinan
Pusat tersebut semula berasal dari dan atas inisiatif seseorang tokoh
ulama Muhammadiyah terkemuka, KH. Mas Mansur (1896-1946) yang
waktu itu menjadi Konsul Hoofdbastoor Muhammadiyah Daerah
Surabaya. Ide tersebut sebelumnya telah berkembang di Surabaya
dalam Kongres ke-15 tahun 1928.
Dalam kongres Pekalongan itu, usul pembentukan ketiga majlis
tersebut di atas diterima secara aklamasi oleh para peserta, dengan
mengganti istilah Majlis Tasyri’ menjadi Majlis Tajrih, dan “sejak itulah
berdirinya Majlis Tajrih”
Untuk melengkapi kepengurusan dan pembuatan rancangan
qaidahnya, dibentuk sebuah komisi yang beranggotakan tujuh orang
ulama, yaitu :
a) KH. Mas Mansur, Surabaya
b) A. R. Sultan Mansur, Maninjau (Sumatra Barat)
c) H. Mochtar, Yogyakarta.
d) H. A. Mukti, Kudus
e) Kartosudharmo, Betawi
f) M. Kusni
g) M. Junus Anis, Yogyakarta

3
Hasil pekerjaan komisi ini dibawa ke dalam kongres berikutnya,
yaitu kongres ke-17 tahun 1928 di Yogyakarta. Kongres tersebut
mengesahkan Qaidah Majlis Tarjih dan membentuk susunan
pengurusnya yang pertama dengan :
a) KH. Mas Mansur, sebagai Ketua.
b) KH. R. Hajid, sebagai Wakil Ketua
c) H. M. Aslam Zainuddin, sebagai Sekretaris;
d) H. Jazari Hisyam sebagai Wakil Sekretaris;
e) K.H. Badawi, KH. Hanad, KH. Washil, KH. Fadlil dan lain-lain,
kesemuanya sebagai anggota.

Dalam muktamar Muhammadiyah ke-XVII tahun 1928 di


yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat. Sebagai
ketuanya adalah KH. Mas. Mansur dan KH. Aslam Z sebagai
sekretaris. Pada masa ini juga dibuat anggaran dasar yang antara lain
menetapkan bahwa tugas Majlis Tarjih adalah:
a) Mengamat-amati perjalanan Muhammadiyah yang berhubungan
dengan hukum-hukum agama.
b) Menerima, menyelidiki, dan mentarjihkan atau menetapkan hukum
masalah khilafiyah yang diragukan hukumnya, yang memang
penting dalam perjalanan Muhammadiyah.
c) Penyelidikan dan pembahasan tersebut, hendaklah berdasarkan
Al-Quran dan Al-Hadits dengan berpedoman pada ushul fiqih yang
dipandang mu’tabar, dan mementingkan riwayat dan maknanya,
tidak menggunakan aql di atas naql.
Fungsi majlis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan
hukum tentang masalah-masalah tertentu. Masalah tidak hanya pada
bidang agama dalam arti sempit, tetapi juga menyangkut masalah

4
sosial kemasyarakatan. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan
suatu pesoalan kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis, baik
masalah itu sudah ada hukumnya tetapi masih di perselisihkan, atau
masalah-masalah baru yang sejak semula memang belum ada
ketentuan hukumnya, seperti masalah Keluarga Berencana (KB), bayi
tabung, Bank dan lain-lanin.
1. Ketarjihan Sebelum Terbentuknya Majlis Tarjih
Semenjak Muhammadiyah didirikan, dasar dan haluannya
penuh diletakkan pada ajaran Islam. Hingga segala usaha dan
pekerjaannya sepenuhnya djuga dipandang dari hukum Islam. Malah
lebih dari itu, dasar pokok dari gerakan kita ialah gerakan tajdid Islam,
sehingga dengan sendirinya yang mula-mula dipelajari dan
diperhatikan adalah hukum-hukum Islam pula, maka bukan hanya
merupakan kebenaran saja, apabila pendiri dan pemimpin
Muhammadiyah yang mula-mula adalah seorang ulama, seorang
ulama dalam arti yang sebenarnya.
Reaksi ini malah disambut oleh Muhammadiyah dengan
keputusan harus “Mengadakan shalat Hari Raja di tanah lapang, di
mana-mana Muhammadiyah ada”. Keputusan ini diambil dalam
kongres ke-15 di Surabaya – sebuah kongres yang pertama dilakukan
di luar Jogjakarta – pada tahun 1926, yaitu setahun sebelum
terbentuknya Majlis Tarjih.
Kongres yang sama juga mengambil keputusan tentang :
a) Mengusahakan agar dana masjid sebagian dapat digunakan untuk
membiayai panti asuhan dan menyekolahkan anak-anaknya.
b) Minta agar reglement  yang mengharuskan diperiksanaya calon
temanten, dicabut.

5
c) Mengusahakan perbaikan cara pembagian zakat fitrah dengan
memberikan tuntunan.
Sedang kongres berikutnya, yaitu kongres ke-16 yang
melahirkan keputusan pembentukan Majlis Tarjih, di antara
keputusannya ialah mengusahakan agar supaya khutbah Jum’at
disampaikan dalam bahasa bumiputera.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan,
bahwa pada hakekatnya kongres Pekalongan tahun 1927 itu bukan
merupakan titik mula kegiatan tarjih dalam Muhammadiyah, melainkan
hanya sebagai pelembagaan secara resmi terhadap yang sudah ada
sebelumnya. Tarjih sebagai kegiatan intelektual dalam menyelidiki
ajaran Islam guna mendapatkan kemurniannya untuk kemudian
diproyeksikan ke dalam penyusunan konsepsi masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya, telah berkembang dalam Muhammadiyah sejak
dari mula berdirinya organisasi ini. Jadi dengan ringkas dapat
dikatakan, Tarjih lahir bersamaan dengan lahirnya Muhammadiyah itu
sendiri.
2. Faktor-faktor Yang Melatar Belakangi Lahirnya Majlis Tarjih.
Dari pidato KH Fakih Usman (1904-1968 adanya dua faktor
yang melatarbelakangi lahirnya majlis Tarjih, pertama adalah faktor
yang bersifat intern, dan kedua faktor yang bersifat ekstern.
a) Faktor Intern
Yang dimaksud dengan faktor intern ialah keadaan yang
berkembang dalam tubuh Muhammadiyah sendiri, yaitu hal-hal
yang timbul sebagai akibat dari perluasan dan kemanjuran yang
dicapai oleh persyarikatan ini.
b) Faktor Ekstern

6
Yang dimaksud dengan faktor ekstern adalah
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada umat Islam
umumnya di luar Muhammadiyah, yang dalam hal ini adalah
perselisihan paham mengenai masalah-masalah furu’ fiqhiyah,
yang biasanya dinamai masalah khilafiyah. Di samping itu juga
masalah ajaran Ahmadiyah yang mulai diperkenalkan di Indonesia
pada akhir perempat pertama abad 20. Perselisihan dan
pertentangan-pertentangan itu mengancam keutuhan
Muhammadiyah, sehingga mendorong pembentukan Majlis Tarjih
yang ditugasi antara lain untuk menyelidiki berbagai macam
pendapat itu, untuk diambil yang paling kuat dalilnya, guna menjadi
pegangan anggota-anggota Muhammadiyah, dan dengan demikian
perselisihan-perselisihan karena masalah khilafiyah yang telah
memecah-belah umat Islam dalam sejarah itu, dapat dihindarkan
dalam Muhammadiyah.

3. Manhaj Al-Istimmbat Majelis Tarjih


Majelis Terjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
Muhammadiyah telah merumuskan secara dinamis aspek metodolokis
tersebut dalam Manhaj Al-Istimbatnya. Perumusannya dikatakan
dinamis, karena senantiasa berkembang sejalan dengan perjalanan
masa. Perumusan aspek metodologis terakhirkali dilakukan dalam
Munas Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam tahun 2000
di Jakarta. Prinsip-prinsip metodologis tersebut dirumuskan sebagai
berikut :
1) Mengubah istilah Al-Sunah Al-Sholehah menjadi As-Sunah Al-
Maqbullah. Sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an. Hal ini
dilakukan untuk menunjukkan bahwa secara ebjektif, majelis hanya

7
menggunakan kata kategori shoheh, tetapi juga hasan.
Muhammadiyah  membolehkan Talfiq, yaitu menggabungkan
beberapa pendapat dalam satu perbuatan Syar’i sepanjang telah
dibagi lewat proses tarjih.
2) Posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, yang fungsinya
adalah sebagai metode untuk merumusakan ketetapan-ketetapan
hukum yang belum terumuskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan kata lain, ruang lingkup ijtihad meliputi maslah-maslah
yang terdapat dalam dalil yang dhanniy dan maslah-masalah yang
secaara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau As-Suunah.
3) Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan),
metode taqlili (menggunakan pendekatan illat hukum), dan metode
istislahi (menggunakan pendekatan kemaslahatan). Dalam hal ini
manhaj tidak menjelaskan jika terjadi perbedaan hasil penetapan
hukum terhadap satu masalah karena adanya penngunaan metode
yang berbeda. Mana diantara ketiga metode tersebut yang di
prioritaskan. Dalam hal ini sebaiknya, untuk perkara yang akal
mansia tidak dapat menjangkau illat dan kemaslahatannya, metode
bayani harus di prioritaskan.
4) Manhaj menetukan empat pendekatan untuk kepentingan
menetapakan hukum, yaitu: hermeneutika, sejarah, sosiologis dan
antropologis.
5) Ijma’, qiyas, maslahah mursalah, serta ‘urf, berkedudukan sebagai
teknik penetapan hukum. Meskipun istihsan dan saad al-
dzari’ah tidak di sebutkan, tidak berarti keduanya tidak dipakai. Hal
ini di dasarkan adanya kenyataan bahwa keduanya juga di
dasarkan atas prinsip kemaslahatan yang di pandang sebagai
salah satu metode penetapan hukum.

8
6) Ta’arudul Adillah di selesaikan secara hirarkis melelui al-jam’u waa
al-taufiq, al-tarjih, al-nasikh dan al-tawaqquf. Majlis tarjih secara
tidak langsung mengakui adanya nasikh mansukh. Mengenai
urutan prioritas di atas, tampaknya perlu di pertimbangkan untuk
mendahulukan nasikh sebelum menyelesaikan ta’arrud melalui
tarjih, karena jika di ketahui batas waktu berlakunya suatu hukum,
maka dengan lewatnya waktu tersebut, berlakulah hukum
sebaliknya secara otomatis. Dengan demikian tidak perlu lagi
kepada tarjih.
7) Tarjih terdapat nash harus mempertimbangkan beberapa segi: segi
sanad (kualitas dan kuantitas rowi, bentuk dan sifat periwayatan,
shigot tahammul wa al-ada’), segi matan (mendahulukan shigot
nahy daripada amr; shigot khas daripada ’am), segi materi hukum,
dan segi eksternal.
8) Hal-hal yang tidak di ubah masih tetap berlaku, seperti:
mendasarkan akidah hanya kepada dalil mutawatir, pemahaman
terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah di lakukan secara
komprehensip dan integral, peran akal dalam memahami teks Al-
Qur’an dan As-Sunnah dapat di terima, qiyas tidak berlaku dalam
masalah ibadah mahdhah dan masalah yang sudah ada nashsh
sharihnya dari Al-Qur’an atau As-Sunnah. Untuk memahami
nashsh yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.

C. Metode yang di gunakan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam


melakukan peranannya
Dalam metode ini akan dikemukakan beberapa sumber hukum
dalam Islam yang diterima oleh Muhammadiyah, kemudian akan
diuraikan secara singkat metode-metode berijtihad yang lazim

9
digunakan  oleh Muhammadiyah. Uraian ini lebih bersifat pengantar
terhadap pembasan inti berikutnya. Oleh karena itu, pembahasannya
masih bersifat umum. Kajian ini difokuskan pada apa yang tertulis dalam
Manhaj Istinbath Majlis Tarjih dan Himpunan Putusan Tarjih. Uraian awal
ini di perlukan untuk melihat lebih lanjut, sejauh mana konsitensi
Muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang
telah di gariskannya.
Muhammadiyah menempuh tiga jalur dalam Metode Ijtihad:
1. Al-ijtihad Al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah
terdapat dalam nash Al-Quran dan Hadis. Ijtihad Bayani adalah usaha
yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan hukum dari nash-
zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-
hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya.
a) Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka
mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain yang
memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik makna kata-
kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata
dalam surat Shad ayat 73
b) Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata,
sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud.
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap
makna yang dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut.
c) Bayan Taghyir
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang
mengubah makna yang zhahir menjadi makna yang dituju, seperti
kata-kata yang mengandung pengecualian atau istisna’. Dalam hal

10
ini, usaha yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari
makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa
dalam thuruq-u ‘l-istinbath adanya takhsis itu berupa kata-kata dan
bukan kata-kata.

d) Bayan Tabdil
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan
jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh-
mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seoranh mujtahid.
Masalah nasikh-mansukh itu, terutama diperlukan dalam dalil
sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi
pendapat yang menanggap tidak adanya nasikh-mansukh itu
adalah pada ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab sebelum al-
Qur’an.  Bayan Dlarurah
e) Bayan Dlarurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi
tidak boleh tidak harus diungkapkan. Bayan  ini tidak berupa kata-
kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. 
2. Al-ijtihad Al-Qiyasi, yakni menyelasaikan kasus baru dengan cara
menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam
Al-quran dan Hadis.
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah
yang tidak ada nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja.
Tetapi ada nash al-Qur’an maupun al-sunnah yang menunjukan
keharaman zat sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari
hukumnya,menghisap ganja itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun
al-Sunnah, yang ada kesaaman adalah larangan al-Qur’an tentang
khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan hukum

11
keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum
berdasarkan qiyas (anologi, menurut ilmu logika/mantiq). Menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan
nama Ijtihad Qiyasi
3. Al-ijtihad Al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus  baru
yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum diatas, dengan
menggunnakan penalaran yang di dasarkan atas kemaslahatan
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash
langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan
mendasarkan masalah yang akan dicapai, yang disebut ijtihad
istishlahi disini dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tarjih berasal dari kata “rojjaha-yurajjihu-tarjihan”, yang berarti
mengambil sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah:
Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara
dua jalan ( dua dalil ) yang saling bertentangan, karena mempunyai
kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya. Tarjih dalam istilah
persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat mengenai “Matan
Keyakinan dan Cita-cita hidup Muhamadiyah” adalah membanding-
banding pendapat dalam musyawarah dan kemudian mengambil mana
yang mempunyai alasan yang lebih kuat.
B. Saran
Di dalam menyusun makalah ini kami banyak mengalami kendala-
kendala sehingga dalam pelaksanaannya kurang efisien. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan saran dan kritikan dari dosen ataupun teman-
teman, utamanya pada makalah kami ini serta cara kami untuk
memaparkan materi dalam hal diskusi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Fathurrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos


Publishing House, 1995.
Shodiqin, Ali Dkk, Fiqih Ushul Fiqih, Buku Materi Pembelajaran Fakultas Syari’an
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2014.
Sujarwanto Dkk, Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan Sebuah Dialog
Intelektual, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1990.
Ali mukti, “Majlis tarjih muhammadiyah kini dan masa yang
akan                    datang”, makalah 1989
http : //yuliastusi90.blogspot.co.id/2012/11/metode-ijtihad-dalam-manhaj-tarjih.html
Https://ahmadzain.wordpress.com/2006/12/09/majlis-tarjih-muhammadiyah.com

14

Anda mungkin juga menyukai