Anda di halaman 1dari 17

PRINSIP PEMILIHAN METODE PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Disusun Sebagai Tugas Mata kuliah Pemberdayaan dan Pengorganisasian Masyarakat


Dosen Pengampu: Dr. Yudhia Fratidhina, SKM, M.Kes

Disusun oleh Kelompok 6:

Ariani Wulansari (P3.73.24.3.21.006)

Azzikra Fathiyah Rahmah (P3.73.24.3.21.008)

Muhammad Afif Aghyar Firmansyah

(P3.73.24.3.21.020)

Nindya Septi Madina (P3.73.24.3.21.024)

Syakira Khonsa Adzkiya (P3.73.24.3.21.034)

Tri Sukma Ayu (P3.73.24.3.21.037)

KELAS 3A JURUSAN KEBIDANAN

PRODI SARJANA TERAPAN PROMOSI KESEHATAN

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III


2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Prinsip Pemilihan
Metode Pemberdayaan Masyarakat tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu
Dr. Yudhia Fratidhina, SKM, M.Kes, pada mata kuliah Pemberdayaan dan Pengorganisasian
Masyarakat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Prinsip
Pemilihan Metode Pemberdayaan Masyarakat bagi para pembaca terutama bagi penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Yudhia Fratidhina, SKM, M.Kes,
selaku Dosen mata kuliah Pemberdayaan dan Pengorganisasian Masyarakat yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu kami
dalam memenyelesaikan makalah ini.

Jakarta, 29 Juli 2023

Kelompok 6
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sebagai bentuk pembangunan alternatif, pemberdayaan masyarakat atau
pembangunan berbasis komunitas (community-based development) adalah
pembangunan yang berorientasi pada kemandirian dan keberdayaan melalui aktifitas
bottom-up dan partisipatif. Alternatif pembangunan ini didasarkan pada pertimbangan
untuk mengembangkan dan memberdayakan masyarakat agar menjadi lebih berdaya
melalui penguatan masyarakat dengan prinsip keadilan dan kebersamaan. Pendekatan
yang digunakan dalam model pembangunan alternatif ini adalah pembangunan yang
bersifat partisipatif, yang menyatukan kondisi dan potensi lokal, dan bukan
pembangunan yang bersifat sentralistik dan/atau top down.

Dalam konteks pengelolaan pertanahan, selama ini belum melibatkan


masyarakat secara optimal. Beberapa konflik dan sengketa pertanahan yang terjadi,
salah satunya disebabkan oleh kurangnya interaksi antara pihak-pihak yang terlibat
konflik (Sutaryono, 2008). Sebuah resolusi penting agar konflik yang terjadi tidak
berkepanjangan adalah melakukan dialog dan bargaining untuk mendapatkan sebuah
konsensus dalam pengelolaan pertanahan antar segenap pemangku kepentingan.
Proses dialog dan bargaining antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan
pertanahan hanya dapat terwujud apabila ada proses pemberdayaan masyarakat di
dalamnya.

Munculnya visi ”Tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat guna


mewujudkan keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Republik Indonesia” dan terbitnya regulasi yang mengatur tentang
pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan, menjadikan pemberdayaan adalah
sebuah peluang dan tantangan bagi aparat pertanahan. Peluang yang berupa
tersedianya regulasi tentang pemberdayaan mestinya dapat dimanfaatkan secara baik
oleh aparat pertanahan, untuk memberdayakan masyarakat yang berorientasi pada
pencapaian visi pertanahan. Adapun tantangan yang dihadapi adalah berubahnya
paradigma pembangunan ke pemberdayaan yang diikuti dengan menguatnya
desentralisasi dan civil society.
Artinya, pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan dapat dijadikan titik
masuk bagi eksistensi kelembagaan pertanahan dan tata ruang (Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) di era keterbukaan ini. Persoalannya
adalah bagaimana mengimplementasikan konsep pemberdayaan masyarakat ketika
secara substansial dan secara praksis pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan
belum dipahami secara baik oleh segenap pemangku kepentingan yang terlibat dalam
pembangunan dan pelayanan pertanahan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka
pemahaman terhadap prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat berikut lingkupnya
harus dilakukan secara terus menerus terhadap seluruh stake holder yang terlibat
dalam pembangunan dan pelayanan pertanahan.

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Pemberdayaan Masyarakat?


2. Apa Tujuan dari Pemberdayaan Masyarakat?
3. Bagaimana Tahapan Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat?
4. Bagaimana Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat?
5. Bagaimana Ruang Lingkup Pemberdayaan Masyarakat?
6. Bagaimana Metode Pemberdayaan Masyarakat?

I.3 Tujuan Pembahasan

1. Untuk menjelaskan tentang Pengertian Pemberdayaan Masyarakat


2. Untuk mengetahui Tujuan dari Pemberdayaan Masyarakat
3. Untuk menjelaskan Tahapan Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat
4. Untuk menjelaskan Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
5. Untuk menjelaskan Ruang Lingkup Pemberdayaan Masyarakat
6. Untuk menjelaskan Metode Pemberdayaan Masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN

II.1.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat


Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya”yang berarti
kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut maka pemberdayaan
dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh
daya/ kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/ kekuatan/ kemampuan
dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.

Pengertian “proses” menunjukan pada serangkaian tindakan atau langkah-


langkah yang dilakukan secara kronologis sitematis yang mencerminkan pertahapan
upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan.
Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk
mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun practice
(KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku sadar dan kecakapan-
keterampilan yang baik.

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses yang mengembangkan dan


memperkuat kemempuan masyarakat untuk terus terlibat dalam proses pembanguanan
yang berlangsung secara dinamis sehingga masyarakat dapat menyelesaikan masalah
yang dihadapi serta dapat mengambil keputusan secara bebas dan mandiri (Oakley,
1991; dan fatermant 1996).

Prijono&Pranarka (1996:77) menyatakan bahwa: pemberdayaan mengandung


dua arti. Pengertian yang pertama adalah to give power or authority (memberikan
kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang
kurang/ belum berdaya),  pengertian  pengertian kedua to give ability ability to or
enable (kemampuan (kemampuan atau keberdayaan keberdayaan serta memberikan
memberikan  peluang  peluang kepada pihak lain untuk melakukan melakukan
sesuatu).sedangkan sesuatu).sedangkan dalam konteks konteks Indonesia Indonesia
apa yang disebut dengan pemberdayaan merupakan suatu usaha untuk memberikan
daya, atau meningkatkan daya (Tri Winarni, 1998: 75-76).
II.1.2 Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan
tersebut. Lebih lanjut perlu ditelusuri apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai suatu
masyarakat yang mandiri.

Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami


masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta
melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai  pemecahan masalah-
masalah  pemecahan masalah-masalah yang dihadapi den yang dihadapi dengan
mempergunakan gan mempergunakan daya dan daya dan kemampuan yang
kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, dengan
pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut,
dengan demikian untuk menuju mandiri  perlu dukungan dukungan kemampuan
kemampuan berupa sumber daya manusia manusia yang utuh dengan kondisi kondisi
kognitif, kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif, dan sumber da konatif,
psikomotorik dan afektif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisik-material.

II.1.3 Tahap-tahap Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat

II.1.4 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat


Merujuk pada pendapat Najiyati, dkk (2014), terdapat empat prinsip yang
sering digunakan dalam program pemberdayaan, yakni :
1. Kesetaraan
Kesetaraan berasal dari kata “setara” atau sederajat yang berarti sama
tingkatan, kedudukan atau pangkatnya. Kesetaraan atau kesederajatan
menunjukkan adanya tingkatan yan sama, kedudukan yang sama, tidak lebih
tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Kesetaraan inilah salah satu
prinsip dasar dalam pemberdayaan masyarakat, yang harus dipahami secara
bersama. Dalam konteks ini kesetaraan atau kesejajaran kedudukan antara
masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program pemberdayaan
masyarakat maupun antara pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah program
pembangunan. Tidak ada dominasi kedudukan atau sub ordinasi kedudukan di
antara pihak-pihak yang terlibat. Semua dibangun dan dilakukan atas dasar
kesamaan derajat dan kedudukan.
Dinamika yang dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan
mengembangkan mekanisme berbagi pengetahuan, pengalaman, serta keahlian
satu sama lain. Masing-masing saling mengakui kelebihan dan kekurangan,
sehingga terjadi proses saling belajar. Tidak ada arahan atau petunjuk, tidak ada
atasan atau bawahan, tidak ada guru atau murid, tidak ada pembina atau yang
dibina, serta tidak ada penguasa atau yang dikuasai. Kesalahan yang sering
terjadi dalam proses pemberdayaan adalah pendamping atau pelaksana kegiatan
memposisikan dirinya sebagai guru yang serba tahu.
Di sisi lain, masyarakat diposisikan sebagai murid yang harus diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan dengan cara mendengarkan yang disampaikan dan
melaksanakan apa yang diperintahkan. Ini sering terjadi karena pendamping
ingin mentransfer pengetahuan yang dimilikinya secara cepat mengacu pada
kemampuan dirinya tanpa memahami kemampuan dan kebutuhan masyarakat.
Dalam banyak hal, masyarakat justru memiliki pengetahuan yang cukup banyak
tentang daerahnya, karena merekalah yang selama ini hidup, mengenali, dan
merasakan permasalahan yang terjadi di desanya. Ini biasa disebut sebagai
kearifan lokal (indigenous wisdom).
Kesetaraan dalam hal ini juga berlaku untuk laki-laki dan perempuan,
untuk golongan tua maupun golongan muda. Semua individu dalam masyarakat
mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat, sehingga mempunyai hak,
kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam melaksanakan suatu kebijakan
atau program pembangunan dalam masyarakat.
2. Partisipatif
Esensi dari pemberdayaan masyarakat adalah partisipasi. Namun
demikian, partisipasi masyarakat belum dapat disebut sebagai pemberdayaan
apabila belum ada unsur memberikan kewenanangan atau sebagian kewenangan
dan memberikan dorongan untuk lebih berdaya.
Selama ini praktik-praktik pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
belum sepenuhnya memberikan kesempatan dan kebebasan kepada masyarakat
untuk menentukan nasib dirinya sendiri melalui program-program pembangunan
yang dibutuhkannya. Kebanyakan progam-program pembangunan yang telah
ditetapkan merupakan program yang sudah dirancang dan ditentukan oleh para
pengambil kebijakan, baik pemerintah maupun lembaga yang mendanainya.
Keterlibatan masyarakat masih sebatas pada mobilisasi, belum pada tahapan
pasrtisipasi.
3. Keswadayaan
Banyak program pembangunan di masyarakat yang bersifat caritas, atau
membagi-bagikan bantuan secara cuma-cuma. Agenda ini dalam praktiknya jauh
lebih dominan dari pada bantuan yang bersifat penguatan kapasitas dalam rangka
menumbuhkan kemandirian dan keberdayaan. Hal ini bida dipahami bahwa,
bantuan yang bersifat caritas langsung dapat dinikmati oleh anggota masyarakat
yang mendapatkan bantuan. Sementara itu, bantuan yang bersifat penguatan
kapasitas cenderung berproses secara lambat dan tidak langsung kelihatan
hasilnya.
Dalam proses pemberdayaan, bantuan atau dukungan untuk
pengembangan kapasitas dan kemandirian, meskipun hasilnya baru dapat
dinikmati dalam jangka panjang lebih diprioritaskan dari pada bantuan yang
bersifat caritas. Dukungan dan bantuan tersebut hanya bersifat stimulant,
sedangkan sumberdaya utama untuk pengembangan kapasitas dan kemandirian
sebagian besar berasal dari masyarakat sendiri. Upaya menumbuhkembangkan
kapasitas dan kemandirian yang berasal dari sumberdaya masyarakat sendiri
inilah yang disebut keswadayaan. Oleh karena itu, salah satu prinsip penting
dalam pemberdayaan masyarakat adalah keswadayaan.
4. Berkelanjutan
Proses pemberdayaan masyarakat bukanlah proses yang instan, impulsive
atau hanya sekedar menjalankan suatu program pembangunan belaka.
Pemberdayaan masyarakat adalah proses yang terus-menerus, berkesinambungan
dan berkelanjutan. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat banyak kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang hanya berorientasi pada program pembangunan
yang dibatasi waktu dan pendanaannya. Apabila program tersebut sudah selesai,
pelaksana program dan masyarakat tidak memikirkan bagaimana kelanjutannya.
Hal di atas menunjukkan bahwa agenda pemberdayaan masyarakat masih
bersifat project based, dan belum dapat dikatakan sebagai pemberdayaan
masyarakat yang sesungguhnya. Salah satu yang menunjukkan bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah agenda pemberdayaan yang sebenarnya adalah
prinsip keberlanjutan.
Keempat prinsip di atas harus diterapkan secara simultan agar proses
pemberdayaan dapat benar-benar menguatkan dan memandirikan masyarakat secara
berkelanjutan. Prinsip memberikan power kepada yang powerless dalam proses
pemberdayaan benar-benar dapat diwujudkan.

Indikator keberhasilan penerapan prinsip-prinsip pemberdayaan sebagaimana


di atas antara lain: (1) masyarakat benar-benar berperan sebagai aktor dalam
pembangunan; (2) program pembangunan yang dilakukan benar-benar berbasis
partisipasi masyarakat dimana masyarakat sudah terlibat sejak penetapan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan hingga pada pengelolaan hasil-hasil pembangunan; (3)
masyarakat berkontribusi sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki, baik
berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia ataupun sumberday financial; dan (4)
program pembangunan yang dilakukan bukan sekedar project based, tetapi dapat
dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.

II.1.5 Ruang Lingkup Pemberdayaan Masyarakat


Secara umum ruang lingkup pemberdayaan didasarkan pada bidang-bidang
yang sering menjadi objek pemberdayaan masyarakat. Ndraha (2003) dan Supriyatna
menentukan bahwa lingkup pemberdayaan masyarakat terdiri dari 4 bidang yaitu :

1. Pemberdayaan pada lingkup politik


Diorientasikan agar masyarakat mempnyai bargaining position (daya
tawar) yang tinggi apabila berhadapan dengan pihak-pihak terkait, baik
pemerintah, kalangan LSM, maupun kalangan swasta yang mempunyai agenda
atau proyek di wilayah masyarakat. Daya tawar ini sangat dibutuhkan agar posisi
masyarakat tidak menjadi đsub ordinat dihadapan stake holder yang lain.
2. Pemberdayaan pada lingkup ekonomi
Biasanya berhubungan dengan kemandirian dalam penghidupan
masyarakat. Dalam hal ini upaya-upaya produktif yang dapat menjadi sumber
pendapatan atau menjadi gantungan hidup menjadi fokus dalam lingkup
pemberdayaan bidang ekonomi.
3. Pemberdayaan pada lingkup sosial budaya
Berhubungan dengan peningkatan kapasitas masyarakat, baik yang bersifat
individual maupun kolektif. Orientasi pemberdayaan pada lingkup sosial budaya
ini berkisar pada penguatan soliditas masyarakat, pengurangan kerentanan
terhadap konflik, serta penguatan solidaritas sosial. Dalam lingkup ini termasuk
juga kesadaran masyarakat terhadap kondisi masyarakat yang plural, baik secara
etnik, kepercayaan/agama maupun status sosialnya.
4. Pemberdayaan pada lingkup lingkungan
Berfokus pada upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
agar terjaga kelestariaannya. Upaya-upaya ini ini hanya bisa dilakukan apabila
masyarakat memahami dan peduli terhadap kondisi lingkungan dan
keberlanjutannya. Pemahaman dan kepedulian masyarakat ini hanya dapat
tumbuh dan berkembang melalui upaya-upaya pemberdayaan. Pemberdayaan
pada lingkup agraria, pertanahan dan tata ruang sebetulnya bukanlah lingkup
yang umum, namun disisipkan untuk menunjukkan bahwa lingkup
pemberdayaan masyarakat perlu dikontekskan dengan tugas pokok dan fungsi
kelembagaan yang mengatur tentang agraria, tata ruang dan pertanahan.

Jika ruang lingkup ini dipersempit, maka ruang lingkup pemberdayaan bidang
pertanahan menjadi hal yang urgent. Dalam konteks ini, pemberdayaan di bidang
pertanahan ditujukan untuk memberdayakan masyarakat ketika berhadapan dengan
persoalan-persoalan pertanahan. Pemberdayaan ini membebaskan masyarakat dari
dominasi aparatur pemerintah di bidang pertanahan yang mengarah pada pelayanan
pertanahan yang egaliter, adil dan bebas dari pungli.

Apabila lingkup pemberdayaan masyarakat didasarkan pada proses, dapat


dikategorikan ke dalam 3 (tiga) hal, yakni:

1. Pra pemberdayaan, yang berupa menciptakan ruang interaksi yang kondusif agar
masyarakat merasa percaya diri dan mampu untuk menjadi pelaku pembangunan;
2. Pelaksanaan pemberdayaan, yang menempatkan masyarakat sebagai subyek
pembangunan yang setara dengan pemangku kepentingan lainnya; dan
3. Pasca pemberdayaan, dimaksudkan bahwa lingkup ini memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk terus berproses dalam pemberdayaan meskipun
keterlibatan pemangku kepentingan lain sudah berakhir, karena keterbatasan
waktu, penganggaran dan kegiatan. Dalam konteks ini, pemangku kepentingan di
luar masyarakat secara institusional tetap terlibat dalam mendukung dan
memfasilitasi dalam proses-proses pemberdayaan masyarakat yang terus menerus
berlangsung.
II.1.6 Metode Pemberdayaan Masyarakat

Dalam praktik pemberdayaan masyarakat, terdapat beragam metode, yang secara rinci
dikemukakan dalam tabel berikut

No Kelompok Metode Ragam Metode Keterangan

1. Tatap-muka Percakapan,/dialog, Anjang-sana, Anjang-karya Pertemuan,


Ceramah, Diskusi, FGD, RRA, PRA, PLA,

Sekolah-lapang, Pelatihan Pameran Individual Kelompok Masal

2. Percakapan tak-langsung Telepon, TV, Radio, Teleconference Individual

Kelompok

3. Demonstrasi Demonstrasi cara, Demonstrasi

hasil, Demonstrasi cara dan hasil Kelompok

4. Barang cetakan Foto, pamflet, leaflet, flyer, brosur, poster, baliho, dll

5. Media-massa Surat kabar, Tabloid, Majalah Radio, Tape-recorder TV, VCD, DVD
Media Cetak Media lisan Media

Terproyeksi

6. Kampanye Gabungan dari semua metode diatas

1. RRA (Rapid Rural Appraisal)

RRA mulai dikembangkan sejak dasawarsa 1970-an, sebagai proses belajar yang dilakukan
oleh “orang-luar” yang lebih efektif dan efisien. RRA merupakan metode penilaian keadaan
desa secara cepat, yang dalam praktik, kegiatan RRA lebih banyak dilakukan oleh “orang luar”
dengan tanpa atau sedikit melibatkan masyarakat setempat.

Meskipun sering dikatakan sebagai teknik penelitian yang “cepat dan kasar/kotor”, tetapi
RRA dinilai masih lebih baik dibanding teknik-teknik kuantitatif klasik. Tentang hal ini,
Chambers (1980) menyatakan bahwa dibanding teknik-teknik yang lain, RRA merupakan
teknik penilaian yang relatif "terbuka, cepat, dan bersih" (fairly - quickly - clean) dibanding
teknik yang "cepat dan kotor" ("quick-and-dirty') berupa sekadar kunjungan yang dilakukan
secara singkat oleh seorang "ahli" dari kota. Di lain pihak, RRA dinilai lebih efektif dan efisien
dibanding teknik yang "lama dan kotor" (long and dirty) yang dilakukan melalui kegiatan
survei yang dilakukan oleh tenaga profesional yang dipersiapkan melalui pelatihan khusus.
Karena itu, McCracken et al (1988) melihat bahwa RRA lebih merupakan pendekatan riset-
aksi.

Sebagai suatu teknik penilaian, RRA menggabungkan beberapa teknik yang terdiri dari :

a) Review/telaahan data sekunder, termasuk peta wilayah dan pengamatan

lapang secara ringkas;

b) Observasi/pengamatan lapang secara langsung;


c) Wawancara dengan informan kunci dan lokakarya;

d) Pemetaan dan pembuatan diagram/grafik;

e) Studi kasus, sejarah lokal, dan biografi;

f) Kecenderungan-kecenderungan;

g) Pembuatan kuesioner sederhana yang singkat;

h) Pembuatan laporan lapang secara cepat.

Untuk itu, terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan, yaitu :

1) Efektivitas dan efisiensi, kaitannya dengan biaya, waktu, serta perolehan informasi
yang dapat dipercaya yang dapat digunakan dibanding sekadar jumlah dan ketepatan serta
relevansi informasi yang dibutuhkan;

2) Hindari bias, melalui: introspeksi, mendengarkan, menanyakan secara berulang-


ulang, menanyakan kepada kelompok termiskin;

3) Triangulasi sumber informasi dengan melibatkan Tim Multidisiplin untuk bertanya


dalam beragam perspektif;

4) Belajar dari dan bersama masyarakat;

5) Belajar cepat melalui eksplorasi, cross-check dan jangan terpaku pada batuan yang
telah disiapkan

Bahaya dari pelaksanaan kegiatan RRA adalah, seringkali apa yang dilakukan oleh Tim RRA
bahwa mereka telah melakukan praktik "partisipatif", meskipun hanya dilakukan melalui
kegiatan pengamatan dan bertanya langsung kepada para informan yang terdiri dari warga
masyarakat setempat.

2. PRA (Participatory Rapid Appraisal) atau Penilaian Desa Secara Partisipatif

PRA, merupakan penyempurnaan dari RRA atau penilaian keadaan secara partisipatif.
Berbeda dengan RRA yang dilakukan oleh (sekelompok) Tim yang terdiri dari "orang luar",
PRA dilakukan dengan lebih banyak melibatkan "orang dalam" yang terdiri dari semua
stakeholders (pemangku kepentingan kegiatan) dengan difasilitasi oleh orang-luar yang lebih
berfungsi sebagai "narasumber" atau fasilitator dibanding sebagai instruktur atau guru yang
"menggurui ".

PRA merupakan metode penilaian keadaan secara partisipatif, yang dilakukan pada tahapan
awal perencanaan kegiatan. Melalui PRA, dilakukan kegiatan-kegiatan :

a) Pemetaan-wilayah dan kegiatan yang terkait dengan topik penilaian keadaan;

b) Analisis keadaan yang berupa :

-keadaan masa lalu, sekarang, dan kecenderungannya di masa depan;

-identifikasi tentang perubahan-perubahan yang terjadi dan alasan alasan atau penyebabnya;

-identifikasi (akar) masalah dan alternatif-alternatif pemecahan


masalah;
-kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau analisis strength, weakness, opportunity,
and threat (SWOT) terhadap semua alternatif pemecahan masalah.

c) Pemilihan alternatif pemecahan masalah yang paling layak atau dapat

diandalkan (dapat dilaksanakan, efisien, dan diterima oleh sistem sosialnya);

d) Rincian tentang stakeholders dan peran yang diharapkan dari para pihak, serta
jumlah dan sumber-sumber pembiayaan yang dapat diharapkan untuk melaksanakan
program/kegiatan yang akan diusulkan / direkomendasikan.

3. FGD (Focus Group Discussion) atau Diskusi Kelompok yang Terarah

Pada awalnya, FGD digunakan sebagai teknik wawancara pada penelitian kualitatif yang
berupa "in depth interview" kepada sekelompok informan secara terfokus (Stewart &
Shamdasani, 1990). Dewasa ini, FGD nampaknya semakin banyak diterapkan dalam kegiatan
perencanaan dan atau evaluasi program (Marczak & Sewell, 2006). Sebagai suatu metode
pengumpulan data, FGD merupakan interaksi individu-individu (sekitar 10-30 orang) yang
tidak saling mengenal) yang oleh seorang pemandu (moderator) diarahkan untuk
mendiskusikan pemahaman dan atau pengalamannya tentang sesuatu program atau kegiatan
yang diikuti dan atau dicermatinya.

Sebagai suatu metode pengumpulan data, FGD dirancang dalam beberapa tahapan, yaitu :

a) Perumusan kejelasan tujuan FGD, utamanya tentang isu-isu pokok yang akan
dipercakapkan, sesuai dengan tujuan kegiatannya;

b) Persiapan pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan;

c) Identifikasi dan pemilihan partisipan, yang terdiri dari para pemangku kepentingan
kegiatan terkait, dan atau narasumber yang berkompeten;

d) Persiapan ruangan diskusi, termasuk tata-suara, tata-letak, dan perlengkapan diskusi


(komputer dan LCD, papan-tulis, peta-singkap, kertas-plano, kertas metaplan, spidol
berwarna, dll.);

e) Pelaksanaan diskusi;

f) Analisis data (hasil diskusi);

g) Penulisan laporan, termasuk lampiran tentang transkrip diskusi, rekaman suara,


photo, dll.

Sebagai suatu metode pengumpulan data, pemandu/fasilitator memegang peran strategis,


karena keterampilannya memandu diskusi akan sangat menentukan mutu proses dan hasil
FGD. Tentang hal ini, Krueger (1994) menyampaikan adanya beberapa prinsip yang harus
disiapkan, yaitu :

a) Pertanyaan pembuka, yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai pencairan suasana


(ice breaking), agar proses interaksi/diskusi antar peserta dapat berlangsung lancar;

b) Pertanyaan pengantar, tentang isu-umum yang sebenarnya hanya berfungsi sebagai


pencairan suasana (ice breaking), agar proses interaksi/diskusi antar peserta dapat
berlangsung lancar;
c) Pertanyaan transisi, yaitu pertanyaan tentang isu-isu pokok yang berfungsi untuk
membuka wawasan partisipan tentang topik diskusi;

d) Pertanyaan kunci, yang terdiri sekitar 5 (lima) isu yang akan dikaji melalui

FGD;

e) Pertanyaan penutup, tentang catatan tambahan yang ingin disampaikan oleh para
peserta.

4. Pelatihan Partisipatif

Sebagai proses pendidikan, kegiatan pemberdayaan masyarakat banyak sekali dilakukan


melalui pelaksanaan pelatihan-pelatihan. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat
dipandang sebagai suatu proses pendidikan non-formal atau pendidikan luar-sekolah. Ini
berarti bahwa kegiatan pemberdayaan masyarakat bukanlah kegiatan bersifat mendadak:
atau insidental, melainkan harus terencana atau telah direncanakan sebelumnya. Di samping
itu, sesuai dengan prinsip-prinsipnya, setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat harus
mengacu kepada kebutuhan yang (sedang) dirasakan penerima manfaatnya, baik yang
berkaitan dengan kebutuhan kini, dan kebutuhan masa mendatang (jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang). Lebih lanjut, kegiatan pemberdayaan masyarakat harus
memberikan manfaat atau memiliki relevansi tinggi dengan kebutuhannya tersebut.

Berbeda dengan kegiatan pelatihan konvensional, Pelatihan Partisipatif dirancang sebagai


implementasi metode pendidikan orang dewasa (POD), dengan ciri utama :

1) hubungan instruktur/fasilitator dengan peserta didik tidak lagi

bersifat vertikal tetapi bersifat lateral/horizontal;

2) Lebih mengutamakan proses daripada hasil, dalam arti, keberhasilan pelatihan tidak
diukur dari seberapa banyak terjadi alih pengetahuan, tetapi seberapa jauh terjadi interaksi
atau diskusi dan berbagi pengalaman (sharing) antara sesama peserta maupun antara
fasilitator dan pesertanya.

Substansi materi pelatihan selalu mengacu kepada kebutuhan peserta. Karena itu, sebelum
pelatihan dilaksanakan, selalu diawali dengan kontrak belajar, yaitu kesepakatan tentang
substansi materi, urut-urutan (sequence), tata-waktu, dan tempat.

BAB III

PENUTUP
III.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/371019620/Makalah-Tahapan-Dan-Metode-Pemberdayaan-
Masyarakat

https://prodi4.stpn.ac.id/wp-content/uploads/2020/2020/Modul/Semester%205/MODUL
%20PEMBERDAYAAN%20MASYARAKAT/MODUL-2%20PEMBERDAYAAN%20MASYARAKAT.pdf

Anda mungkin juga menyukai