Anda di halaman 1dari 3

Sosok Umar bin Khattab dalam khasanah pemikiran hukum Islam sungguh sudah tidak

asing lagi di benak kaum Muslimin. Beliau adalah sosok sahabat Nabi yang banyak
andil dalam berbagai urusan umat ini. Dalam aspek perkembangan dan pembentukan
hukum Islam pun beliau turut memberi warna dengan ijtihad-ijtihadnya yang sangat
berpengaruh. Tulisan ini mengangkat beberapa produk ijtihad Umar bin Khattab.
Pencuri yang Tidak Dipotong Tangan
Pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah pertama (Abu Bakar), setiap pencurian yang
sudah melewati satu nishab curian, maka dikenai hukuman potong tangan.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 38. Allah SWT berfirman
memutuskan dan memerintahkan agar tangan pencuri laki-laki dan perempuan
dipotong.
Pada masa jahiliyah, hukum potong tangan ini telah berlaku kemudian disetujui oleh
Islam dan ditambahkan kepadanya mengenai syarat-syarat lain. Perihalnya sama
dengan diat, qirad dan lain-lainnya yang syariat datang dengan menyetujuinya sesuai
dengan apa adanya disertai dengan beberapa tambahan demi menyempurnakan
kemaslahatan. Dahulu yang mula-mula mengadakan hukum potong tangan pada masa
jahiliyah adalah kabilah Quraisy. Mereka memotong tangan seorang laki-laki yang
dikenal dengan nama Duwaik, maula Bani Malih ibn Amr, dari kabilah Khuza’ah, karena
mencuri harta perbendaharaan Ka’bah. Menurut pendapat yang lain, pencurinya adalah
suatu kaum, kemudian mereka meletakkannya di rumah Duwaik (Ibnu Katsir, Tafsir al-
Quran al-Adzim, vol II, hal 71-74).
Pada masa Rasulullah, pencuri yang pertama dihukum potong tangan adalah Khiyar bin
A’dy bin Naufal bin Abdi Manaf, sedangkan pencuri perempuan adalah Marrah binti
Sufyan bin abdil Asad dari Bani Mahzum. Pada masa Abu Bakar pencuri pertama yang
dihukum potong tangan adalah Asma’ binti ‘Umais sedangkan pada masa Umar adalah
ibnu Samrah (Abdurrahman al-Jazairy, al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, vol. V, hal
157-158).
As-Sa’di berkata mengenai keputusan Umar tentang budak-budak Hathib,
sesungguhnya budak-budak kepunyaan Hathib bin Abi Balta’ah telah mencuri unta
seorang laki-laki dari Muzainah. Umar mendatangi mereka dan mereka mengakui hal
itu. Kemudian Umar menulis surat kepada Abdul Rahman bin Hathib yang kemudian
datang menghadap Umar. Umar berkata kepadanya, sungguh budak-budak Hathib
telah mencuri unta seorang laki-laki dari Muzainah dan mereka semua mengakui hal itu.
Kemudian Umar menyuruh Katsir bin al-Shalt pergi dan memotong tangan-tangan
mereka. Lalu tiba-tiba mendadak Umar menarik kembali keputusannya dan berkata,
“Demi Allah, jika saja saya tidak tahu kalian yang telah menyebabkan mereka
melakukan itu dan menjadikan mereka kelaparan sehingga mereka mencuri dan hal
yang haram pun menjadi halal bagi mereka niscaya akan saya potong tangan-tangan
mereka” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lamul Muwaqqi’in, vol IV, hal 350-352). Kemudian
pencuri itupun segera dibebaskan dari hukuman potong tangan atas dasar pendapat
Umar tersebut.
Dari uraian tersebut dapat ditangkap bahwa latar belakang pemikiran Umar dalam hal
ini adalah karena pada waktu itu adalah musim kelaparan/paceklik sehingga orang
mencuri belum tentu didorong oleh kejahatan jiwanya tetapi karena didorong oleh
keterpaksaan karena mempertahankan hidupnya. Dengan kata lain, pencuri tersebut
melakukannya karena kebutuhan dharury dan Umar pun melakukannya dalam rangka
menjaga kemaslahatan sebagai poin penting dari tujuan-tujuan syariat itu sendiri.
Tentang Mu’allafah Qulubuhum
Mu’allafah Qulubuhum merupakan golongan yang diharapkan kecenderungan
keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam atau terhalangnya niat jahat atas kaum
Muslimin atau diharapkan manfaat mereka dalam membela dan menolong kaum
Muslimin dari musuh (Yusuf Qarhawi, Fikih Zakat, hal 563). Golongan Mu’allafah
Qulubuhum ini merupakan bagian zakat sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an
surat at-Taubah ayat 60.
Golongan Mu’allafah Qulubuhum tidak hanya satu jenis, akan tetapi mempunyai
beberapa kategori, yaitu : pertama, golongan yang diharapkan keislamannya atau
keislaman kelompok atau keluarganya, seperti halnya Safwan bin Umayyah yang pada
waktu Fathul Makkah diberikan jaminan keamanan oleh Rasulullah SAW. Kedua,
golongan yang dikhawatirkan kejahatannya. Mereka ini dimasukkan ke dalam kelompok
mustahik zakat dengan harapan dapat mencegah kejahatannya. Ketiga, golongan
orang yang baru masuk Islam. Keempat, pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah
masuk Islam dan mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan memberikan
mereka sebagian zakat diharapkan dapat menarik simpati mereka untuk memeluk
Islam. Kelima, pemimpin dan tokoh yang berpengaruh di kalangan kaummnya akan
tetapi imannya masih lemah. Mereka diberikan zakat dengan harapan imannya menjadi
tetap dan kuat. Keenam, kaum Muslimin yang bertempat tinggal di benteng-benteng
dan daerah-daerah perbatasan dengan musuh. Mereka diberi, dengan harapan dapt
mempertahankan diri dan membela kaum Muslimin lainnya yang tinggal jauh dari
benteng itu dari serbuan musuh. Ketujuh, kaum Muslimin yang membutuhkannya untuk
mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan kecuali dengan paksaan seperti
dengan diperangi. Semua golongan di atas termasuk dalam pengertian Mu’allafah
Qulubuhum, baik mereka seorang Muslim maupun kafir (Qardhawi, hal 563-566).
Pada masa Rasulullah SAW, beliau memberikan zakat kepada golongan ini
sebagaimana pada nash al-Qur’an. Di antara yang diberi zakat dari golongan ini ialah
Safwan bin Umayyah. Akan tetapi, pada masa Umar, beliau menghilangkan golongan
ini dari kelompok ashnaf yang delapan. Sejak saat itulah golongan Mu’allafah
Qulubuhum ini tidak lagi diberi bagian zakat.
Apakah ijtihad Umar ini tidak bertentangan dengan nash syar’i yang jelas? Yusuf al-
Qardawi menjelaskan bahwa ijtihad Umar tersebut tidaklah bertentangan dengan nash
al-Qur’an. Umat bin Khattab ketika menghilangkan golongan muallaf itu tidak berarti
menentang nash atau menasakh syara’, karena zakat itu harus diberikan kepada
kelompok ashnaf yang delapan sebagaimana dalam surat at-Taubah. Apabila salah
satu ashnaf tidak ada, maka hilanglah bagiannya. Bila terjadi demikian, maka jangan
dikatakan bahwa hal tersebut bertentangan dengan nash ataupun menasakh nash.
Umar memahami betul spirit ayat tersebut dalam ijtihadnya. Dalam hal ini, sasaran
zakat dengan golongan muallaf menunjukkan bahwa ta’lif qulub (membujuk hati)
merupakan ‘illah menyerahkan zakat pada mereka. Apabila ‘illah itu ada mereka harus
diberi. Akan tetapi, bila ‘illah itu tidak ada, maka mereka tidak perlu diberi (Qardhawi,
hal 571).
Dari kebijakan Umar ini, dapat disimpulkan bahwa keputusan tidak memberikan bagian
zakat kepada kelompok Mu’allafah Qulubuhum merupakan bagian dari ijtihad Umar.
Dalam hal ini, keputusan Umar tersebut bukan berarti bertentangan ataupun
menghapus kelompok ini dari bagian orang yang berhak mendapatkan zakat. Akan
tetapi, hal ini hanyalah ijtihad Umar yang terjadi di suatu masa dalam keadaan tertentu
yang merupakan suatu bentuk kemaslahatan. Ijtihad Umar tersebut juga tidak serta
merta menghapus kelompok Mu’allafah Qulubuhum dari bagian mustahiq zakat.
Tentang Masalah Talak Tiga
Allah memberikan penjelasan dalam al-Qur’an bahwa, “Talak (yang dapat dirujuki) dua
kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik… Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]:229-230).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menegaskan bahwa talak itu adalah dua kali yang
boleh rujuk kembali. Apabila jatuh talak yang ketiga kalinya, maka si suami tidak boleh
rujuk kembali kepada bekas istrinya tersebut, kecuali dengan akad nikah baru dan
bekas istrinya tersebut telah menikah dengan orang lain kemudian telah ditalak oleh
suami keduanya. Dalam sebuah Hadits disebutkan, “Dan sungguh Thawus
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: bahwa talak di masa Rasulullah SAW, Abu
Bakar dan dua tahun dari pemerintahan Umar, talak tiga (yang dijatuhkan sekaligus) itu
jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab berkata: sesungguhnya manusia benar-benar
tergesa-gesa dalam segala urusan yang seharusnya mereka tempuh dengan sabar,
maka alangkah baiknya kalau kami laksanakan hal itu atas mereka. Kemudian Umar
melaksanakan atas mereka.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Al-Syaukani menyebutkan banyak riwayat ketika membahas mengenai bab ini dalam
kitab Nailul Authar. Beliau mengomentari: “Ini semua menunjukkan kesepakatan
mereka atas sahnya talak tiga yang dijatuhkan sekaligus.” (Asy-Syaukani, Nailul Authar,
vol VI, Bab Talak yang Dijatuhkan Sekaligus, hal. 616-623).

Pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, talak yang diucapkan sekaligus tiga hanya jatuh
talak satu kali. Akan tetapi, pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, talak tiga yang
dijatuhkan sekaligus tiga maka akan jatuh talak tiga sekaligus. Kebiasaan
mempermainkan talak itu dinilai oleh Umar sebagai suatu yang harus dicegah karena
seakan-akan mempermainkan talak yang notabene merupakan bagian ajaran agama
Islam. Karena itulah, Umar menetapkan talak tiga sekaligus jatuh tiga pula agar
masyarakat jangan suka mempermainkan talak. Hal ini menunjukkan bahwa Umar
dalam melakukan ijtihadnya selalu diiringi dengan tujuan dari syari’at itu sendiri.
Wallahu a’lam bisshawwab. [islamaktual/sm/ziyadulmuttaqin]

Anda mungkin juga menyukai