Anda di halaman 1dari 37

PERMASALAHAN DALAM E-

COMMERCE
Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat, membuat para pelaku bisnis berfikir
lebih keras untuk dapat memasarkan usaha dagang mereka agar dikenal lebih luas oleh
kalangan masyarakat. Hal ini diikuti pula dengan perkembangan teknologi (tele)komunikasi
dan komputer menyebabkan terjadinya perubahan kultur kita sehari-hari.

Karena adanya desakan bisnis tersebut para pelaku bisnis mau tidak mau harus menggunakan
media elektronik untuk memasarkan kegiatan bisnis mereka, atau yang sering kita sebut
dengan e-commerce (perdagangan elektronik). Media elektronik menjadi salah satu media
andalan untuk melakukan komunikasi dan bisnis.

Dari uraian Latar Belakang di atas penyusun merumuskan Rumusan Masalah sebagai
berikut:

A. ELECTRONIK COMMERCE (PERDAGANGAN ELEKTRONIK)

Electronic commerce atau sering dikenal dengan istilah e-commerce adalah penyebaran,
pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet
atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer
dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem
pengumpulan data otomatis.

E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-
elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website). Ada
tiga faktor yang harus dicermati oleh kita jika ingin membangun toko e-commerce yaitu:
Variability, Visibility, dan Velocity.

Sebelum memutuskan untuk terjun ke market on-line ini, ada beberapa tahapan yang dapat
dilakukan diantaranya:

1. Process conducting dalam penyelidikan:


a) Mendefinisikan target pasar

b) Mengidentifikasikan kelompok untuk dijadikan pembelajaran

c) Mengidentifikasikan topik untuk diskusi

2. Dalam tahap penunjungnya maka dapat diselidiki:

a) Identity letak demografi website di tempat tertentu

b) Memutuskan focus editorialnya

c) Memutuskan isi dari contentnya

d) Memutuskan pelayanan yang dibuat untuk berbagai type pengunjung

B. APLIKASI BISNIS E-COMMERCE

E-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak
hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan
nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-commerce juga
memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), e-surat atau surat elektronik
(e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman
barang, dan alat pembayaran untuk e-commerce ini.

Mekanisme untuk mendekati consumer pada saat ini menggunakan bermacam-macam


pendekatan seperti misalnya dengan menggunakan “electronic shopping mall” atau
menggunakan konsep “portal”. Electronic shopping mall menggunakan web sites untuk
menjajakan produk dan servis. Para penjual produk dan servis membuat sebuah storefront
yang menyediakan catalog produk dan servis yang diberikannya. Calon pembeli dapat
melihat-lihat produk dan servis yang tersedia seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari
dengan melakukan window shopping. Bedanya, (calon) pembeli dapat melakukan shopping
ini kapan saja dan darimana saja dia berada tanpa dibatasi oleh jam buka toko.
Konsep portal agak sedikit berbeda dengan electronic shopping mall, dimana pengelola portal
menyediakan semua servis di portalnya (yang biasanya berbasis web). Sebagai contoh, portal
menyediakan eMail gratis yang berbasis Web bagi para pelanggannya sehingga diharapkan
sang pelanggan selalu kembali ke portal tersebut.

Beberapa aplikasi umum yang berhubungan dengan e-commerce adalah:

 E-mail dan Messaging

 Content Management Systems

 Dokumen, spreadsheet, database

 Akunting dan sistem keuangan

 Informasi pengiriman dan pemesanan

 Pelaporan informasi dari klien dan enterprise

 Sistem pembayaran domestik dan internasional

 Newsgroup

 On-line Shopping

 Conferencing

 Online Banking/internet Banking

 Product Digital/Non Digital

Perdagangan secara elektronik memberikan keuntungan, baik kepada konsumen maupun


perusahaan.
Keuntungan yang diperoleh dari perusahaan antara lain sebagai berikut:
1. Perdagangan secara elektronik memungkinkan perusahaan untuk menjual pasar yang lebih
luas
2. Perusahaan tidak perlu mambuka cabang
3. Biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dikurangi , karena perusahaan tidak perlu
mambangun toko yang besar
4. Karena biaya yang keluar sedikit , barang yang dijual akan semakin murah. Akibatnya ,
lebih banyak konsumen menjangkau harga barang tersebut. Barang akan menjadi lebih laku
5. Barang yang dijual lebih murah , dapat meningkatkan daya saing antar perusahaan

Keuntungan yang diperoleh konsumen , antara lain sebagai berikut:


1. Konsumen tidak perlu mendatangi toko untuk mendapatkan barang , cukup memesan
barang melalui internet , barang akan sampai di rumah
2. Konsumen dapat menghemat waktu dan biaya transportasi berbelanja
3. Konsumen mempunyai lebih banyak pilihan , karena dapat membandingkan semua produk
yang ada di internet
4. Konsuman dapat berbelanja di negara lain , jika yang di dalam negeri belum tersedia
5. Harga barang yang dibeli menjadi lebih murah

Di Indonesia, perdagangan secara elektronik juga sudah mulai dilakukan. Beberapa


website didirikan khusus sebagai website untuk menjual barang-barang. Beberapa contohnya,
antara lain glodokshop.com, apotikonline.com, tokobagus.com.

C. PERMASALAHAN DALAM E-COMMERCE

1. Penipuan dengan cara pencurian identitas dan membohongi pelanggan.

2. Hukum yang kurang berkembang dalam bidang e-commerce ini.

Selain dua hal diatas dalam e-commerce waspadailah adanya cybercrime dengan pola
phising atau pengelabuhan. Hal itu terjadi, karena pelaku seringkali berada di luar kawasan
Indonesia sehingga keberadaannya sulit terdeteksi. Phishing merupakan salah satu bentuk
cybercrime berupa penipuan untuk mendapatkan informasi, seperti kata sandi atau password
kartu kredit. Kata tersebut diambil dari bahasa inggris fishing. Dimana dalam konteks
cybercrime, diartikan sebagai memancing informasi keuangan seseorang.
Sebagai pelaku bisnis kita memang harus mencari peluang yang tepat untuk
mempromosikan kegiatan usahan kita. Yang salah satunya dengan e-commerce atau
perdagangan elektronik. Sebelum terjun kedunia e-commerce kita harus memperhatikan
beberapa kunci sukses untuk membangunnya. Salah satunya adalah dengan menyediakan
informasi barang dan jasa yang lengkap dan jelas, dan mempermudah kegiatan perdagangan.

Selain itu kita harus juga memperhatikan masalah yang akan timbul dari kegitan e-
commerce tersebut. Salah satu bentuknya kita harus hati-hati terhadap penipuan yang
kemungkinan akan terjadi, karena hukum yang belum berkembang di e-commerce ini.
Enam masalah utama yang dihadapi
pemain e-commerce lokal dan solusi yang
diharapkan dari pemerintah

 Nadine Freischlad4:26 PM on Apr 9, 2015

Beberapa nama besar pemain e-commerce di Indonesia, Selasa (7/4) kemarin bertemu untuk
membicarakan langkah pemerintah selanjutnya dalam bisnis e-commerce.Pada acara tersebut
turut hadir Menteri Kominfo Rudiantara yang telah mengisyarakatkan beberapa peraturan
terkait e-commerce di beberapa acara terpisah meski belum dikukuhkan. Seperti dilansir The
Jakarta Post, Rudiantara mengatakan bahwa pemerintah akan mengatur mulai dari layanan
logistik, sistem pembayaran, dan pajak. Diharapkan pembahasan peraturan ini bisa rampung
selambatnya di penghujung tahun.
Pertemuan pertama yang menggandeng pelaku bisnis dan
pemerintah

Pertemuan besar ini diadakan oleh Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA). Anggotanya
berisi sejumlah pemain besar, seperti Tokopedia dan Zalora, serta juga pelaku industri yang
masih berhubungan seperti e-payment dan logistik.

Rudiantara menghadiri acara ini dan memimpin hadirin menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia Raya sebelum ketua idEA Daniel Tumiwa membuka acara. Daniel mengatakan,
“E-commerce kini sudah mencapai titik pertumbuhan tertinggi setelah tumbuh secara
organik.” “Ini saatnya untuk menata kembali beberapa peraturan yang mendasar. Rudiantara
menambahkan, tujuan kedatangannya adalah untuk mendengarkan pendapat orang-orang.
“Semua yang hadir di ruangan ini adalah orang-orang hebat di industri e-commerce. Namun
sayangnya, keputusan terakhir ada di tangan pemerintah,” candanya.

Beberapa hal penting dalam presentasi Daniel adalah bisnis e-commerce di dalam negeri
mengalami masalah penting: infrastruktur yang masih buruk, kesulitan mengatur e-payment,
dan keamanan bertransaksi.

Baca juga: Daniel Tumiwa menyanggah mitos seputar ecommerce di Indonesia

Berikut adalah enam topik perbincangan yang diharapkan bisa menemui jalan keluar terkait
industri e-commerce lokal:

1. Infrastruktur dan prosedur lebih mendalam

Tantangan infrastruktur di Indonesia tidak bisa diselesaikan oleh perusahannya sendiri.


Industri e-commerce berharap pemerintah juga turut mengambil langkah. Utamanya terkait
infrastruktur internet yang belum stabil dan transportasi yang kerap sulit diandalkan.
Perwakilan dari layanan logistik RPX menunjukkan bahwa prosedur perizinan dari bea cukai
untuk pengantaran ke negara lain tidak efisien. Pemerintah diharapkan bisa mencari solusi
terkait hal ini.
2. Industri e-commerce menginginkan pembayaran non-
tunai

Bila bicara pembayaran, penyedia layanan pembayaran digital iPaymu mengatakan bahwa
masyarakat masih mengandalkan pembayaran tunai dan edukasi tentang sistem pembayaran
alternatif. “Ketergantungan terhadap pembayaran secara tunai harus dihentikan segera. Bila
tidak, industri e-commerce akan tumbuh secara lambat.” Pihak iPaymu juga menambahkan
bahwa pemerintah dapat menyelesaikan masalah ini dengan mempermudah aturan untuk
layanan e-payment yang hingga saat ini masih berada di bawah peraturan yang sama dengan
bank.

3. Edukasi dalam menumbuhkan kepercayaan konsumen

Masalah kepercayaan konsumen dan keamanan dalam bertransaksi online masih terus
bermunculan hingga hari ini. Perwakilan dari OLX mengatakan bahwa kepercayaan dari
konsumen masih membutuhkan proses edukasi lebih lanjut. Salah satu solusinya adalah
dengan menjalin kerjasama dengan media untuk menjelaskan pemahaman lebih baik tentang
model bisnis e-commerce untuk menambah kepercayaan masyarakat. Ia meminta pemerintah
untuk turut serta memberi pemahaman kepada masyarakat tentang keamanan bertransaksi
online.

4. Kepercayaan pelanggan lebih berharga ketimbang


sertifikasi

Masalah lain yang menjadi sorotan adalah bagaimana menanamkan kepercayaan. Beberapa
pemain e-commerce menekankan keharusan sertifikasi, sementara sisanya lebih
mengutamakakan kepercayaan pelanggan. Terkait hal ini, Rudiantara mengatakan bila
pihaknya tengah merencanakan pengenalan sistem sertifikasi.

5. E-commerce akan dihilangkan dari daftar investasi


berstigma negatif secara bertahap

Sejak Juni 2013, e-commerce menjadi satu dari industri yang dicoret dari daftar investasi
asing. Namun baru-baru ini, Rudiantara mengatakan ia sedang berdiskusi dengan ekosistem
kementerian lainnya untuk menyelesaikan peraturan ini. Sejumlah pemain besar seharusnya
bisa membuka jalan masuknya investasi asing, dan di acara idEA ini juga dijelaskan beberapa
rencana besar mengenai investor asing, tentunya dengan peraturan yang jelas.

6. Dukungan dan perlindungan bagi para pemain baru

Beberapa e-commerce mengingatkan pemerintah agar memberi kemudahan bagi para


pendatang baru yang mau memasuki memasuki ranah ini. Saran mereka termasuk memberi
kemudahan peraturan bagi bisnis kecil dan menengah untuk mendapatkan akses ke investor,
dan memberi potongan pajak pada perusahaan baru.

Penyelesaian perencanaan

Semua pihak, baik idEA, Rudiantara, Kementerian Perdagangan dan Kementerian lainnya
sudah dijadwalkan untuk bertemu langsung setelah acara ini untuk berdiskusi lebih lanjut
terkait penyelesaian masalah secara menyeluruh.
Sebelum menutup acara, Rudiantara menekankan bahwa acara ini bukan pertemuan terakhir,
dan ia berharap bisa mendiskusikan rancangan ini dengan para kementerian lainnya sebelum
diubah menjadi ketetapan. Pihak idEA berharap versi akhir dari rancangan ini selesai pada
bulan Agustus mendatang.

David Alexander, juru bicara dari idEA mengatakan bahwa tukar pikiran antara pelaku
industri dan pemerintah baru pertama kalinya dilakukan. “Acara ini menjadi penanda bahwa
setiap pelaku bisnis meski sebagai kompetitor, mereka bekerja sama dalam menata ranah ini.
idEA setuju bahwa hal ini sangat penting untuk mengembangkan industri secara
keseluruhan,” tutupnya.

Baca juga: 5 alasan mengapa Indonesia harus meniru e-commerce China


(Diterjemahkan oleh Elfa Putri dan diedit oleh Pradipta Nugrahanto)

Prestasi Apa Saja yang Telah Ditorehkan


Kemenkominfo Tahun Ini?

Pada konferensi Tech in Asia Jakarta 2015 lalu, saya berpapasan dengan Menkominfo
Rudiantara yang sedang memeriksa stan startup di Bootstrap Alley. Saya mengundangnya
naik ke panggung untuk sekadar melakukan obrolan ringan. Beliau menolak, dan mengatakan
kalau ia hanya datang untuk melihat-lihat.

“Saya mengerti,” jawab saya, karena beliau pernah menerima ajakan yang sama setahun
sebelumnya, beberapa saat setelah ia resmi menjadi Menkominfo.

Pak Menteri sepertinya tahu kalau ia akan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit
tahun ini.

Menkominfo sedang berada di tengah booming-nya teknologi di pasar berkembang. Tak


dapat disangkal bahwa Indonesia merupakan negara terbesar dan memiliki perekonomian
paling penting di Asia Tenggara. Indonesia, yang tengah dilanda demam teknologi, menjelma
menjadi destinasi para pebisnis dan investor teknologi dari seluruh dunia.

Para ahli berpendapat bahwa tahap awal perkembangan pasar membutuhkan kerja sama kuat
antara politikus dengan pihak yang berkepentingan. Nah, Rudi menempatkan diri sebagai
seseorang yang cukup mudah untuk ditemui. Buktinya, ia datang ke acara seperti inagurasi
kantor Twitter di Jakarta dan pertemuan teknologi IDbyte milik Shinta Dhanuwardoyo.

Namun prestasi apa sajakah yang telah ditorehkan Kementriannya tahun ini? Apakah Rudi
mampu membuat perbedaan? Tentu saja tak adil jika kita menilai prestasi Kemenkominfo
sebelum genap masa jabatan Rudiantara berakhir. Namun, memasuki penghujung tahun, tak
ada salahnya untuk mengamati kebijakan-kebijakan apa saja yang masih mandek.

Berikut lima isu yang belum dituntaskan oleh Rudiantara.

Baca juga: 5 Fakta menarik tentang Rudiantara

1. Mana dana miliaran dolar untuk startup teknologi?


Sumber gambar 401(K) 2012

Pada bulan Februari, Rudiantara mengatakan telah menargetkan dana sebesar 1 miliar dolar
(sekitar Rp1,37 triliun) untuk membantu mengembangkan startup digital di Indonesia. Beliau
mengklaim kalau dana tersebut akan dikumpulkan dari para raksasa konglomerat di negara
ini. Ia menginstruksikan kepada mereka untuk tidak menyimpan uangnya di bank asing,
namun menginvestasikannya di perusahaan lokal.

“Saya telah mendekati beberapa konglomerat, namun seperti apa hasilnya akan diberitahukan
lagi nanti,” ucapnya beberapa waktu lalu.

Rudiantara menambahkan bahwa ia berharap untuk mencapai target pendanaan di tahun ini
dan telah mendapatkan beberapa “janji” dari para konglomerat tersebut. Uang tersebut akan
dialirkan pada VC independen, tanpa campur tangan pemerintah.

Selagi para keluarga konglomerat Indonesia sedang mencari cara untuk berinvestasi di ranah
teknologi nasional, kami hampir tak mendengar inisiatif lebih lanjut dari Pak Menteri untuk
mengumpulkan sejumlah modal tersebut. CNN Indonesia mengatakan rencana tersebut
mandek

2. Roadmap e-commerce yang terlalu lama digodok

Kerangka peraturan e-commerce di Indonesia telah menjadi topik hangat yang diperdebatkan
tahun ini. Hal itu juga menjadi proses yang lambat dan melelahkan. Minggu lalu, pemerintah
akhirnya mengumumkan bahwa mereka akan mencabut e-commerce dari Daftar Negatif
Investasi (DNI), dan menambahkan bahwa pihak asing dalam waktu dekat diperbolehkan
untuk mendapat porsi kepemilikan saham hingga 33 persen di sektor e-commerce lokal.

Franky Sibarani, selaku ketua Badan Koordinasi penanaman modal, mengatakan pihaknya
telah menerima usulan untuk membatasi investasi minimal sebesar $15 juta (sekitar Rp207
miliar).

Diskusi mengenai rencana ini telah dibicarakan sejak bulan Desember tahun 2014 tanpa
menghasilkan bukti yang konkret. Rudiantara juga dilaporkan mengatakan bahwa rencana
tersebut telah mencapai 90 persen.
Meski demikian, DNI hanya satu dari sekian problema. Saat ini Indonesia menghadapi enam
masalah yang menghambat pertumbuhan bisnis e-commerce nasional: pendanaan, pajak,
perlindungan kosumen, infrastruktur komunikasi, logistik, serta pendidikan dan SDM.

Jika Kemenkominfo menyelesaikan semua masalah di atas, kemungkinan kerangka e-


commerce sudah selesai dalam waktu satu tahun. Namun, beberapa pihak meyakini bahwa
akan sulit untuk menyelesaikan hal tersebut sesuai rencana. Alasannya karena roadmap harus
melibatkan masukan dari berbagai kementerian, bukan hanya Kemenkominfo.

Baca juga: Rudiantara: Pemerintah Tak Ingin Mempersulit Regulasi Startup

3. Akses Vimeo, Reddit, dan Imgur masih diblokir

Tahun lalu, saat Rudiantara berbicara di atas panggung Tech in Asia, beliau mengatakan
bahwa ia sedang berusaha untuk mengembalikan akses Vimeo ke Indonesia. Vimeo diblokir
oleh pemerintah karena ada sebagian film dan video dokumenter yang mengandung konten
dewasa.

“Kami sedang dalam proses diskusi dengan pihak Vimeo mengenai cara agar pengguna
Indonesia tidak bisa mengakses konten pornografi,” ujar Menkominfo pada tahun 2014 silam.

Beliau juga mengatakan bahwa ia sedang menyusun kerangka final mengenai konten web
yang seperti apa yang bisa dan harus disensor oleh pemerintah. Kerangka aturan ini nantinya
akan mempermudah pengguna untuk memahami konten yang dapat mereka buat, kurasi, dan
post secara online di negara ini.

Vimeo dan Reddit termasuk ke dalam domain situs yang diblokir di Indonesia, meskipun
keduanya bukanlah situs porno. Imgur dan Reddit awalnya diblokir penuh, meskipun
beberapa bulan sebelumnya sebagian pengguna melaporkan bahwa kedua situs tersebut dapat
di akses. Namun, nampaknya situs-situs tersebut tak terblokir di semua penyedia layanan
internet.

Hal itu dirasa kurang adil. Pasalnya, gambar-gambar pornografi seperti itu dapat ditemukan
di berbagai macam situs dan jaringan seperti Twitter—yang tetap beroperasi tanpa kendala.

Masyarakat belum mendengar usaha lebih lanjut dari Rudiantara untuk membuka blokir
situs-situs tersebut.

Baca juga: Fokus Perundangan E-commerce, Rudiantara Tak Boleh Abaikan Isu
Pemblokiran Website dan Privasi
4. Aturan perakitan smartphone

Selama beberapa bulan ini, rumor berkembang di Ibukota bahwa sebagian komponen
perangkat mobile 4G di Indonesia harus diproduksi secara lokal. Rudiantara mengatakan
kepada Tech in Asia bahwa smartphone impor merupakan salah satu penyumbang terbesar
defisit neraca perdagangan Republik Indonesia. Ia merasa harus mengatasi masalah tersebut.

Mulai Januari 2017, semua perangkat 4G LTE yang dijual di Indonesia wajib mengandung 30
persen total kandungan dalam negeri (TKDN). 30 persen yang diwajibkan tersebut dapat
berupa software, hardware, dan perakitan.

Namun aturan ini masih belum jelas bagi merek ponsel global. Bagaimana dengan Apple?
Atau Motorola? Atau Huawei? Hugo Barra, VP Xiaomi global, pada awal 2015 mengatakan
bahwa ia merasa aturan ini masih belum jelas. Sehingga Xiaomi tak menjamin akan merilis
ponsel 4G di Indonesia.
Rudiantara menandatangani Perkeminfo perihal penetapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri
(TKDN) pada tanggal 3 Juli. Sebagai langkah antisipasi atas aturan yang akan segera berlaku
ini, Samsung berinvestasi dengan membangun pabrik baru di Indonesia.

5. Masyarakat bisa dijebloskan ke penjara atas “kicauan” mereka

Beberapa tahun ke belakang, hukum ITE Indonesia mengenai pencemaran nama baik yang
kontroversial menjadi perhatian di kalangan media dan aktivis. Pada tahun 2014, masalah ini
mengemuka ke ranah publik setelah Benny Handoko ditahan, dinyatakan bersalah, dan
dihukum satu tahun kurungan atas “kicauannya” yang dianggap mencemarkan nama seorang
politikus negeri.

Pada bulan Juni 2014, seorang perempuan berusia 29 tahun asal Yogyakarta bernama
Handayani dituduh melanggar hukum setelah menulis kritikannya di Facebook. Ketika itu
ia mengkritik manajemen toko perhiasan di kotanya. Kasus ini berlangsung selama beberapa
bulan. Pada bulan September pihak berwenang menjebloskan Handarani ke dalam penjara
beberapa hari sebelum diadili.

Daftar kasus ini masih berlanjut. Pada bulan November 2014, Rudiantara mengatakan kepada
Tech in Asia bahwa ia sedang memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah ini dalam tiga
opsi: mengurangi masa tahanan bagi mereka yang terbukti bersalah, menunjuk aparat khusus
yang paham terhadap masalah yang terjadi, atau mengedukasi aparat agar lebih paham jika
terjadi kasus serupa. Pada bulan April, Time mengatakan Rudiantara menjanjikan revisi UU
ITE dalam agenda parlemennya tahun ini.
Namun hingga kini masih belum ada kejelasan.

Namun, ada hal berjalan dengan baik

Jaringan 4G mulai bisa dinikmati tahun ini, seperti yang telah dijanjikan.

Kemenkominfo telah selesai melakukan penataan atau refarming transmisi data seluler
kecepatan tinggi sebagai langkah bergulirnya layanan 4G LTE. Proses refarming frekuensi
1.800 MHz, yang sebelumnya digunakan untuk jaringan 2G, akan memberikan bandwith
yang lebih besar untuk data 4G.

Meskipun Rudiantara sebelumnya menargetkan ini rampung di akhir September, target


sempat molor dari jadwal semula. Terlepas dari itu, menurut pemerintah, proyek tersebut
telah selesai. Jadi itu merupakan berita gembira bagi Kemenkominfo.

The Jakarta Globe melaporkan kalau operator telekomunikasi mulai menawarkan layanan 4G
pada frekunesi 1.800 MHz di beberapa kota pada bulan Juli lalu, beralih dari frekuensi 900
MHz. Saat ini, mereka memperbarui infrastruktur untuk memperluas jangkauan nasional.

Baca juga: Apa Saja Rencana Rudiantara Selama 5 Tahun Menjadi Menkominfo?

(Diterjemahkan oleh Faisal Bosnia dan diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah; Sumber foto
tktk)

Scroll untuk melihat : RPP E-commerce, Dukungan Pemerintah yang Terkesan...

Sederet Nama Besar E-commerce Dunia


akan Berkumpul di IESE 2016
3Comments

 Aditya Hadi Pratama7:32 PM on Feb 29, 2016

Tren e-commerce dunia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015
kemarin, hasil penelitian eMarketer menyebutkan kalau total penjualan e-commerce dunia
telah mencapai angka $1.771 miliar (sekitar Rp23.687 triliun). Angka ini diprediksi akan
terus meningkat hingga $2.053 miliar (sekitar Rp27.458 triliun) pada tahun 2016 ini.

Di Indonesia sendiri, industri e-commerce diprediksi akan mencapai angka $130 miliar
(sekitar Rp1.738 triliun) di tahun 2020. Untuk menyukseskan hal tersebut, pemerintah telah
meresmikan peta jalan atau acuan (roadmap) untuk membenahi tujuh aspek strategis bisnis e-
commerce, yaitu logistik, pendanaan, perlindungan konsumen, infrastruktur komunikasi,
perpajakan, pengembangan SDM, serta keamanan.

Di tengah euforia tersebut, idEA (Indonesia E-Commerce Association) berinisiatif untuk


mengadakan Indonesia E-Commerce Summit & Expo (IESE) pada tanggal 27 hingga 29
April 2016. IESE diadakan untuk menjadi sebuah forum pertemuan bergengsi bagi para
pemangku kepentingan di bisnis e-commerce Indonesia.

Baca juga: Mengapa Situs Marketplace di Indonesia Bisa Menjadi Begitu Populer?

Acara ini akan menampilkan 72 pembicara yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri,
serta 150 eksibitor. Mereka akan berbicara dalam summit dan workshop yang akan
diselenggarakan sepanjang acara. Untuk mengadakan acara ini, idEA pun bekerja sama
dengan Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta Badan
Ekonomi Kreatif (Bekraf).
“Kami berharap e-commerce bisa memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi
nasional, dan membantu para pelakunya untuk bisa lebih mandiri secara ekonomi,” ujar
Daniel Tumiwa, Ketua Umum idEA.

Tempat berkumpul tokoh-tokoh e-commerce Indonesia

IESE tahun ini, yang akan diselenggarakan di Indonesia Convention Exhibition (ICE)
Tangerang, mengangkat tema “The New Digital Energy of Asia.” Beberapa tokoh penting
industri e-commerce dunia, seperti Roger Egan (CEO Redmart), Rajan Anandan (VP Google
untuk Asia Tenggara dan India), dan Mitch Barns (CEO Nielsen), dipastikan akan hadir di
acara ini.

Acara ini juga akan diisi para tokoh penting pemerintahan seperti Rudiantara (Menteri
Kominfo), Thomas Lembong (Menteri Perdagangan), dan Triawan Munaf (Kepala Bekraf).
Selain itu, para tokoh startup e-commerce tanah air pun akan turut memeriahkan acara ini. Di
antaranya adalah William Tanuwijaya (CEO Tokopedia), Kusumo Martanto (CEO Blibli),
Nadiem Makarim (CEO GO-JEK), Emirsyah Satar (Chairman MatahariMall), dan Madeleine
Ong de Guzman (VP Marketing elevenia).

Baca juga: Siapa Saja Konglomerat Indonesia yang Sudah Merambah Ranah E-
commerce dan Digital?

Menurut Daniel, tahun ini adalah kali pertama IESE diadakan. Ia berharap acara ini bisa
berlanjut di tahun-tahun berikutnya. “Kami menargetkan 5.000 pengunjung setiap harinya,”
ujar Daniel dalam acara press conference yang berlangsung hari ini, Senin (29/2).

Dalam IESE 2016, akan dibahas beberapa tema penting seperti bagaimana Indonesia bisa
belajar dari ekosistem e-commerce di Tiongkok, bagaimana menyelesaikan permasalahan
logistik di Indonesia, hingga bagaimana cara menumbuhkan semangat wiraswasta.

E-commerce Indonesia di masa depan

Dalam acara press conference tersebut, turut hadir juga CEO Tokopedia, William Tanuwijaya.
Menurut William, walaupun angka penetrasi e-commerce di Indonesia masih sangat rendah,
namun Indonesia punya potensi yang besar untuk terus berkembang.
“Indonesia punya usaha kecil dan menengah (UKM) yang sangat banyak. Karena itu, apabila
mereka semua masuk ke pasar e-commerce, hanya tinggal menunggu waktu bagi Indonesia
untuk bisa berbicara lebih,” ujar William.

Hal ini juga diamini oleh Menteri Kominfo, Rudiantara. “Saya yakin Indonesia bisa
berkembang menjadi bagian dari industri e-commerce dunia, bukan hanya menjadi pasar,”
ujar Rudiantara.

Kehadiran acara seperti IESE 2016 diharapkan bisa menyelesaikan masalah-masalah yang
selama ini ada di bisnis e-commerce. Selain itu, acara ini juga bisa menjadi ajang untuk
menjalin kerja sama antara para pelaku e-commerce di Indonesia.

(Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)

Sumber : https://id.techinasia.com/indonesia-e-commerce-
summit-expo-2016
5 alasan mengapa Indonesia harus meniru
e-commerce China

Salah satu topik diskusi kami pada Startup Asia Jakarta 2014 adalah bagaimana Indonesia
bisa belajar tentang ekosistem startup di negara maju lainnya. Pada kesempatan itu, Tech in
Asia membandingkan tiga pasar e-commerce yang sangat berbeda dengan Indonesia: Jepang,
Silicon Valley, dan China. Sesi tersebut menghadirkan pembicara terkemuka, yaitu Sonita
Lontoh, founder Silicon Valley Asia Technology Alliance, Takeshi Ebihara, founding general
partner Rebright Partners, dan James Tan, managing partner Quest VC asal China.

James mengatakan bahwa startup teknologi Indonesia hanya lima tahun di belakang China,
artinya akan lebih banyak raksasa teknologi dan IPO yang akan muncul dari Indonesia di
masa mendatang.

Indonesia mungkin bisa belajar dari China selama periode pertumbuhan awal ini. Di saat
Amerika Serikat menjadi ekosistem startup teknologi yang paling maju di dunia, China masih
dianggap sebagai pasar negara berkembang, berdasarkan laporan dari Bloomberg. Hanya
berbeda dari India dalam hal ukuran pasar, Indonesia dan China memiliki kesamaan yang
menonjol.

Tanpa urutan tertentu, inilah lima alasan mengapa investor dan entrepreneur e-commerce di
Indonesia harus meniru e-commerce di China.

Baca juga: Tips memenangkan hati konsumen wanita di ranah e-commerce

1. Ranah retail online masih kecil, namun menunjukkan


kematangan

Pada tahun 2007, China mengeluarkan hingga USD 8,25 miliar (Rp 101 triliun) untuk retail
online. Namun kini, China memproyeksikan pengeluaran retail online akan mencapai angka
USD 360 miliar (Rp 4.419 triliun) untuk tahun depan. Para ahli memprediksi bahwa tahun
depan e-commerce Indonesia bisa menjadi industri bernilai USD 11 miliar (Rp 135 triliun),
serupa dengan apa yang terjadi di awal munculnya kebiasaan belanja online di China.

Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) percaya bahwa dalam lima tahun mendatang, jumlah
pembeli online di Indonesia akan bertambah dari 15 juta menjadi sekitar 75 juta, itu artinya
30 persen dari total populasi.

2. Peran serta operator telekomunikasi


Gordon Orr, pimpinan McKinsey and Company untuk wilayah Asia, mengatakan bahwa
perusahaan telekomunikasi milik pemerintah China setiap tahun menyediakan internet
broadband ke 10 juta rumah baru, yang mempercepat pertumbuhan cakupan internet negara
tersebut dan memungkinkan penduduk kelas menengah untuk menggunakan internet di
rumah mereka daripada pergi ke warnet.

Hal ini juga sedang terjadi di Indonesia. Baru-baru ini terdapat laporan bahwa sektor
telekomunikasi Indonesia telah menunjukkan fase perkembangan yang sehat. Pelanggan
broadband mereka semakin bertambah, dan perusahaan telekomunikasi sendiri memiliki
ketertarikan terhadap startup di Indonesia. Tidak seperti China di masa lalu, kebangkitan
broadband Indonesia berawal dari perangkat mobile dan paket data, kemudian merambah ke
koneksi internet rumahan.

3. Uang tunai adalah raja, untuk sekarang

Menurut studi yang dilakukan Deloitte, pada tahun 2011, sistem kartu kredit China masih
dianggap tahap awal. Hasilnya, sebagian besar pembeli online lebih memilih membayar
melalui transaksi cash on delivery (COD), seperti apa yang sekarang terjadi di Indonesia.

Namun, idEA mengklaim penduduk Indonesia yang memilih COD berkurang drastis, dari 62
persen turun menjadi 25 persen dari total pembeli online di tanah air antara tahun 2013 dan
2014. Penurunan ini mengindikasikan bahwa penduduk Indonesia beralih dengan cepat ke
metode pembayaran lain seperti transfer ATM, potong pulsa, dan mobile banking.

4. Konsumen siap untuk berbelanja

Gordon berlanjut dengan mengatakan:

Pertengahan tahun 2000an, penduduk kelas menengah di China sudah cukup mapan untuk
beralih membeli kebutuhan sampingan – sebelumnya hanya membeli kebutuhan pokok, tetapi
tetap memperhatikan harga dan melakukan tawar-menawar. Konsumen tipe ini biasanya akan
membeli rumah baru kemudian membeli banyak barang untuk mengisi rumah mereka.

Pasar di Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang mirip dengan pasar China (tentunya
sebanding dengan ukuran negaranya) yang mengalami pertumbuhan enam persen setiap
tahunnya. Pengeluaran sampingan pun sedang mengalami puncaknya. Dalam enam tahun
kedepan, penduduk kelas menengah Indonesia akan mencapai angka 141 juta, berdasarkan
laporan dari Boston Consulting Group.

5. Website marketplace bermunculan

Di awal dan pertengahan tahun 2000an, sebagian besar model bisnis e-commerce yang
digunakan di China adalah consumer-to-consumer (C2C), salah satu yang terkenal adalah
Taobao milik Alibaba.

Lalu pada tahun 2008, Alibaba melahirkan Tmall, dengan model bisnis business-to-consumer
(B2C) untuk brand dan pedagang berskala besar. Penjualan Taobao tetap lebih besar
dibandingkan dengan Tmall, tapi mulai terjadi pergeseran dimana konsumen lebih memilih
berbelanja dari pedagang online besar.

Model bisnis consumer-to-consumer serupa juga sedang terjadi di Indonesia, dan ada yang
percaya bahwa websitemarketplace lokal yaitu Tokopedia akan menjadi Taobao-nya
Indonesia, mengingat startup ini baru saja mendapatkan investasi sebesar Rp 1,2 triliun dari
Sequoia Capital dan Softbank, dua investor awal Alibaba.
Namun, Lazada milik Rocket Internet bisa dibilang menjadi pesaing e-commerce B2B
tangguh di Asia Tenggara dan bisa mendorong Indonesia menjadi pasar layaknya Tmall lebih
cepat dibandingkan dengan Tokopedia.

Pada akhir pekan lalu, Lazada mengumumkan telah mendapat pendanaan sebesar USD 250
juta (Rp 3 triliun), yang menandakan bahwa posisinya yang sudah kuat di wilayah ini akan
semakin solid di masa mendatang.

Lima hal tersebut merupakan kesamaan pasar e-commerce Indonesia dan China. Lalu, apakah
yang membedakan pertumbuhan e-commerce di China dan potensi pertumbuhan di
Indonesia? Sampaikan pendapat Anda melalui kolom komentar di bawah.

10 tren e-commerce di Asia Tenggara tahun


2015
Felicia merupakan kepala corporate communications di aCommerce, sebuah perusahaan
penyedia layanan e-commerce di Asia Tenggara.

Meskipun banyak langkah besar terjadi di ranah e-commerce Asia Tenggara pada tahun lalu,
wilayah ini sebenarnya masih berada di awal perjalanan ritel online. Dengan pendanaan
sebesar USD 249 juta (Rp 3,14 triliun) yang didapat SingPost dari Alibaba, USD 100 juta (Rp
1,2 triliun) yang didapat Tokopedia, dan dana USD 250 juta (Rp 3,15 triliun) yang dimiliki
Lazada, Asia Tenggara menerima banyak sekali kucuran pendanaan.
Terlepas dari banyaknya dana, beberapa prediksi gagal membuahkan hasil. Mobile
commerce, misalnya, tidak meledak seperti yang diharapkan. Bahkan setelah keberhasilan
Line flash sale yang menjual habis barang secara online hanya dalam hitungan menit pada
Januari 2014. Meskipun muncul sebagai saluran penjualan baru bagi banyak orang Asia
Tenggara, banyak orang memang lebih cenderung melakukan browsing melalui gadget tapi
hanya sedikit yang melakukan pembelian. Menurut pengamatan aCommerce, pasar Singapura
sudah penuh dan negara tersebut tidak memberi keuntungan dibanding pasar lainnya, seperti
Indonesia dan Thailand.

Well, jangan terlalu condong pada masa lalu, kini sudah saatnya kita melihat ke depan. Kali
ini saya akan menyuguhkan prediksi e-commerce di Asia Tenggara untuk tahun 2015. Artikel
ini dibuat berdasar sumber-sumber primer (wawancara dengan investor dan eksekutif, serta
data internal) dan sumber-sumber sekunder (berupa artikel dan laporan) dari Januari 2014
hingga Desember 2014.

Baca juga: 5 alasan mengapa Indonesia harus meniru e-commerce China

1. Tahunnya merger dan akuisisi

Jika 2014 merupakan tahun dimana banyak dana yang dikucurkan di Asia Tenggara, maka
tahun 2015 akan menjadi tahun dimana startup mulai kehabisan tenaga atau kapasitas untuk
memanfaatkan potensi pertumbuhan organik yang besar di wilayah ini. Mengapa? Karena
ritel business-to-consumer (B2C), khususnya di negara seperti Indonesia dan Filipina,
membutuhkan banyak modal. Hal ini kemungkinan akan mendorong konsolidasi di ranah
B2C pada tahun 2015 dan seterusnya. Kedua, dengan terus masuknya modal, perusahaan
B2C diharuskan mempercepat pertumbuhan mereka dengan mengakuisisi atau merger
dengan pemain lain di ranah ini. Ranah e-commerce B2C masih terfragmentasi tetapi
pendatang awal seperti Lazada, dengan banyaknya dana, sudah memimpin di depan dan
membuat kompetisi jauh lebih sulit bagi pemain yang lebih kecil.

Aliansi akan terbentuk. Kita telah menyaksikan awal koalisi e-commerce di Thailand dengan
perusahaan seperti Whatsnew, Wear You Want dan MOXY yang bekerja sama untuk tetap
tetap bisa bersaing. Hanya menunggu hitungan waktu bagi mereka untuk berkonsolidasi.
Contoh lainnya: Lazada merambah fashion dengan label LZD. Apa yang membuatnya tidak
bergabung dengan Zalora? Bayangkan skala ekonomi dan penghematan yang bisa dilakukan,
karena jika bergabung maka hanya membutuhkan usaha marketing untuk satu website dan
mengaktifkan hanya satu basis pengguna (keterangan: Lazada Thailand and Wear You Want
adalah klien aCommerce. Wear You Want adalah anak perusahaan Ardent Capital).

Dengan begitu banyak uang yang dikucurkan di pasar, pemain besar ingin melakukan
pembelian. – Paul Srivorakul, Group CEO aCommerce dan executive chairman di Ardent
Capital

2. Agensi digital akan beradaptasi atau punah

Agensi pemasaran digital sudah tahu selama bertahun-tahun bahwa e-commerce adalah pasar
booming yang masih terus berjuang mengembangkan produk dan layanan e-commerce untuk
para klien. Agensi digital tidak memiliki struktur insentif, budaya, dan bakat yang tepat untuk
membuat hal ini terjadi, sebagaimana yang diutarakan Sheji Ho dalam Reasons You Should
Fire Your Agency. Agensi digital akan mencoba untuk mengatasi ini dengan berubah arah
seperti yang dilakukan WPP di China dengan akuisisi perusahaan mitra Taobao – agensi yang
mengelola dan mengoperasikan Taobao dan Tmall untuk brand seperti Nike dan L’Oreal.
aCommerce menyaksikan ketika Huawei memilih divisi pemasarannya dibanding agensi
tradisional lain, atau ketika Uber dan Kiehl’s bermitra dengan agensi pemasaran ini
(keterangan: Kiehl’s merupakan klien end-to-end aCommerce).

Tanpa mengubah DNA (model bisnis) mereka, agensi akan terus mengejar e-commerce
unicorn, dan kehilangan bisnis mereka untuk agensi yang berfokus pada e-commerce seperti
kami. – Sheji Ho, Group CMO aCommerce

3. Ranah marketplace akan makin sesak

Terinspirasi oleh IPO Alibaba senilai USD 25 miliar (sekitar Rp 315,8 triliun), banyak
perusahaan ingin mendirikan marketplace mereka sendiri. Selain pemain lama seperti Lazada
dan Rakuten, kita akan melihat perusahaan telekomunikasi, perusahaan media, bank, serta
retailer B2C memasuki ranah ini. Menurut CEO Lazada Max Bittner, 70 persen barang
Lazada berasal dari penjual pihak ketiga. Perusahaan-perusahaan ini mencari cara tambahan
untuk menghasilkan nilai dari basis pengguna mereka di luar value-added services (VAS)
biasa. Masuknya tambahan modal, yang paling terkenal adalah investasi dari Softbank ke
Tokopedia, akan mengakibatkan persaingan yang sengit di ranah yang sudah sesak ini.

Baca juga: 8 marketplace terbaik di Indonesia untuk membantu Anda berjualan online

Seiring dengan semakin memanasnya model marketplace, brand harus mampu menerapkan
pendekatan omni-channel dan customer-centric terhadap ritel dengan memastikan bahwa
produk mereka tersedia di semua platform tersebut. Berinvestasi dalam aspek teknologi atau
mitra untuk mendistribusikan produk secara lancar akan menjadi pembeda utama untuk
kesuksesan para brand pada 2015. – Paul Srivorakul

4. E-commerce lintas negara akan semakin pesat berkat


AEC

Beberapa tren penting akan membantu mempercepat e-commerce lintas negara pada tahun
2015.

Asean Economic Community (AEC) akan membuka perbatasan dan merangsang perdagangan
di seluruh Asia Tenggara melalui kemampuan logistik yang lebih baik.

Perusahaan seperti Amazon dan ASOS sudah melihat negara-negara Asia Tenggara seperti
Singapura, Thailand, dan Indonesia sebagai pasar mereka yang tumbuh tercepat di Asia.
Sebagai contoh, ShopBop milik Amazon baru-baru ini melakukan promosi Black
Friday/Cyber Monday lintas negara dengan Line dan aCommerce. AEC akan menjadi
kekuatan untuk tren ini.

Seiring stabilnya pasar China, perusahaan China seperti Alibaba dan JD kini melirik pasar
Asia Tenggara untuk bertumbuh.

Baru saja melakukan IPO dan mendapat uang yang banyak, memberikan tekanan [bagi
perusahaan] untuk tumbuh lebih cepat. Berekspansi ke pasar lain adalah salah satu cara untuk
melakukan hal ini dibanding berkutat di pasar China yang kejam. – Paul Srivorakul

5. Evolusi demografis: entrepreneur asing akan


membanjiri pasar Asia Tenggara
Setelah China dan India, Asia Tenggara mungkin adalah pasar paling hot di Asia untuk
tempat bekerja bagi pekerja di ranah e-commerce dan teknologi. Kita mulai melihat
masuknya orang-orang yang tertarik dengan pasar e-commerce yang booming ini secara
organik. Tahun lalu kita melihat lebih banyak entrepreneur asing ingin bekerja di Asia
Tenggara, sedangkan di masa lalu kita harus secara aktif merekrut orang asing.

Tren ini akan berlanjut pada tahun 2015 karena Eropa masih terus berjuang dan pemulihan
ekonomi di AS masih akan berlangsung dalam beberapa tahun. Kucuran pendanaan, selain
mengatasi permasalahan dalam hal kapasitas di pasar lokal, juga meningkatkan banyaknya
talenta dan pencapaian, seperti yang telah dilakukan lulusan Rocket Internet dalam beberapa
tahun terakhir, baik dalam bisnis mereka sendiri atau sebagai bagian dari bisnis orang lain.

6. Uber untuk logistik dan Uber untuk “ini” dan “itu”

Uber seperti sebuah marketplace. Startup ini bisa dibilang sebagai crowdsourcing –
menghubungkan pembeli dan penjual. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa Uber
merupakan sebuah aplikasi dan 2015 akan menjadi tahun dimana Uber dan GrabTaxi akan
lebih serius merambah bisnis logistik.

Amazon sudah menguji pengiriman via Uber. Uber juga baru bermitra dengan Kiehl’s dan
aCommerce untuk mendistribusikan produk Kiehl’s ke pengemudi Uber di Bangkok. Di
Filipina, Uber bergabung dengan LBC Express, perusahaan kargo dan logistik terbesar
Filipina, untuk memberikan hadiah Natal on-demand. Persaingan di ranah ini akan memanas.
GrabTaxi beberapa waktu lalu mendapatkan pendanaan sebesar USD 250 juta (atau sekitar
Rp 3,15 triliun) dari Softbank, sedangkan Uber memiliki dana sebesar USD 2,7 miliar (atau
sekitar Rp 34,1 triliun) di pihaknya.

Baca juga: Uber luncurkan layanan pengiriman logistik UberCargo


Selain itu, Uber akan menerima USD 600 juta (Rp 7,58 triliun) dari Baidu untuk mendorong
ekspansi Asia-nya. Semua dana tersebut pasti akan meningkatkan persaingan dalam bisnis
booking taksi dan akan mempercepat inovasi di bidang lain seperti logistik dan pengiriman.
Dengan infrastruktur logistik yang belum berkembang di sebagian besar Asia Tenggara,
perusahaan seperti Uber dan GrabTaxi akan jauh lebih baik diposisikan untuk memberikan
nilai lebih melalui layanan pengiriman di wilayah ini daripada di pasar asal mereka yang
lebih maju seperti Amerika Serikat atau Malaysia.
Mereka sudah memiliki infrastruktur dan teknologi sehingga jika tidak ada cukup permintaan,
mereka bisa mengisi waktu mereka dengan melakukan pengiriman, terutama ketika waktu
jalanan sepi, seperti selama jam kerja. Sekarang Uber, GrabTaxi, dan Easy Taxi semua
berlomba-lomba untuk menarik pelanggan yang sama. Pada titik tertentu mereka perlu
mengembangkan pasar. – Peter Kopitz, Group COO aCommerce

7. Mobile commerce masih bermasalah dengan user


experience

2014 membuktikan potensi dan memunculkan aplikasi untuk ‘mobile’ sebagai channel
belanja di Asia Tenggara, yang sebagian besar dilakukan oleh aplikasi chatting Line. Aplikasi
ini memasuki ranah mobile commerce dengan tajuk promosi seperti Line flash sale melalui
kerjasama dengan aCommerce. Perusahaan yang berbasis di Jepang ini juga baru saja
meluncurkan marketplace mobile consumer-to-consumer (C2C) yang disebut Line Shop.
Dengan peluncuran Line Pay dan pembayaran mobile lainnya memasuki pasar, tingkat
konversi mobile akan meningkat. Namun kami memperkirakan bahwa mobile commerce
masih beberapa tahun lagi untuk bisa menyalip desktop.

Pada bulan Februari ketika kami melakukan studi kasus tentang mobile commerce, kami
menemukan bahwa penggunaan utama mobile adalah untuk browsing. 89 persen pengguna
Line melakukan browsing di mobile tetapi hanya 56 persen dari seluruh transaksi di Thailand
yang benar-benar membeli. 10 bulan kemudian saat meninjau data klien kami, proyeksi
mobile tetap sangat kecil. Untuk klien besar kami, transaksi mobile masih stabil di angka 10
persen dari total transaksi dalam 30 hari terakhir, meskipun memiliki website yang mobile
responsive.

Awal tahun ini, jurnalis Jon Russell menyatakan pendapatnya tentang tren mobile commerce:
“Ini […] menantang keyakinan bahwa mobile commerce sudah menyaingi e-commerce. Tren
tersebut bisa terjadi di masa depan, karena penetrasi smartphone terus bertumbuh, tetapi tidak
untuk sekarang.” Alasan utamanya adalah user experience di mobile belum dioptimalkan
untuk aktivitas belanja dan retailer baru di tahun ini tidak akan langsung mengembangkan
aplikasi.
aCommerce menemukan bahwa banyak brand yang memilih e-commerce melalui desktop
dan website mobile responsive daripada mengembangkan sebuah aplikasi yang mahal. Tapi
meskipun desktop mungkin masih dominan dibanding mobile, perusahaan diminta untuk
mengambil keputusan strategis jangka panjang dan memulai berinvestasi di ranah mobile saat
ini, apakah itu membuat website yang mobile responsive atau membuat aplikasi mobile. Ada
banyak kesempatan untuk bertumbuh di sini.

Asia Tenggara merupakan pasar yang mobile-first dan agar tetap bisa bersaing kami perlu
strategi mobile-only. – investor potensial yang tengah melirik Asia Tenggara, Desember
2014.

8. E-commerce B2B akan menjadi tren

Setelah lama dibayangi oleh kepopuleran model e-commerce business-to-consumer (B2C),


business-to-business (B2B) akan berjaya pada tahun 2015. Investor dan perusahaan akan
mulai serius dan menyadari bahwa B2C, meskipun masih sangat hot, harus menghadapi
persaingan yang ketat dan memiliki margin yang sedikit, terutama di pasar negara
berkembang dimana sebagian besar produk terlaris merupakan produk konsumen bermargin
rendah seperti barang elektronik dan ponsel. B2B tidak akan membantu Anda mendapatkan
banyak pelanggan tetapi akan membuat Anda mendapat banyak pendapatan.

Di China misalnya, semua orang berbicara tentang Tmall dan JD serta B2C yang terus
bertumbuh tetapi hampir tidak ada orang berbicara tentang B2B. Padahal B2B menyumbang
lebih dari 75 persen total nilai barang bruto (GMV) e-commerce di China, dimana dua
pertiganya berasal dari UKM B2B. Dan bukan hanya pasar negara berkembang yang
berfokus pada B2B. Bos Amazon Jeff Bezos berinvestasi sebesar USD 8 triliun di
AmazonSupply, lengan bisnis B2B Amazon yang menargetkan model bisnis yang tidak seksi
tapi sangat menguntungkan ini.

Klien e-commerce B2C kami terus meminta kami untuk [membuka] toko online B2B. Kami
melihat ini sebagai kesempatan besar. – Paul Srivorakul

9. Cash on Delivery (COD) masih merajai Asia Tenggara


COD menyelesaikan dua masalah terbesar pembeli online di Asia Tenggara, yaitu penipuan
produk dan pembayaran. Sebagian besar konsumen masih takut memberikan informasi kartu
kredit atau kartu debit mereka secara online. Mereka juga khawatir tidak menerima barang
yang telah mereka beli. Selain itu, banyak konsumen tidak memiliki kartu kredit, dan uang
tunai tetap menjadi pilihan pembayaran mereka. Semua masalah tersebut ditambah dengan
sulitnya penanganan pembayaran melalui transfer bank dan ATM, pembayaran di counter,
dan Paypal, membuat tingginya tingkat pembatalan. Ini membuat COD menjadi pilihan yang
paling diandalkan. Sekitar 70 persen pesanan secara online di sebagian besar negara di Asia
Tenggara adalah melalui COD. Tarif pembatalan untuk pembayaran melalui counter, transfer
bank dan atm adalah antara 50 sampai 70 persen, sedangkan COD hanya 5 hingga 8 persen.

Untuk memenangkan e-commerce di Asia Tenggara, perusahaan perlu menerapkan cash on


delivery, tidak peduli bagaimanapun sulitnya. Sama seperti same day delivery yang
diterapkan Jeff Bezos di Amazon, COD merupakan standar layanan yang diperlukan untuk
pasar kita. – Paul Srivorakul

10. Pengiriman menggunakan drone akan terjadi

Tidak.

Baca juga: 5 model bisnis e-commerce di Indonesia


Artikel ini pertama kali dipublikasikan di blog aCommerce.

(Diedit oleh Lina Noviandari dan Elfa Putri)

Sumber : https://id.techinasia.com/tren-ecommerce-asia-tenggara-2015

Anda mungkin juga menyukai