Anda di halaman 1dari 168

i

Daftar Isi

Daftar Isi..................................................................................ii
Thanks to................................................................................iv
Prolog.....................................................................................1
01. Darel Shankara..................................................................3
02. Dering Telepon................................................................11
03. Tanda Tanya....................................................................22
04. Hari Pertama...................................................................29
05. Seperti Buku Misteri.......................................................36
06. Siomay dan Ceritanya.....................................................43
07. Andika Pangestu.............................................................52
8. Hari yang Tidak Normal.....................................................61
09. Rumpang yang Magis......................................................71
10. Relung kosong.................................................................78
11. Tidak Ada yang Tahu.......................................................83
12. Panggung Sandiwara.......................................................90
13. Menolak yang Nyata.......................................................98
14. Maaf, Clara....................................................................104
15. Ayunan Filosofis............................................................112
16. Tukar Posisi...................................................................119

ii
17. Terbangun dalam Anomali............................................126
18. Lucid Dream..................................................................133
19. Laki-laki Bercahaya........................................................139
20. Sirkuit Keajaiban...........................................................150
21. Aturan Main..................................................................156
To Be Continued…...........................................................162
Tentang Penulis..................................................................163

iii
Thanks to
Hai! Bersama Frisca disini… kalau kalian membaca
tulisan ini, berarti kalian sedang memeluk novel I Miss

the Old Us dengan cover vintage aesthetic kesukaanku!

Di novel aku yang pertama ini, tidak akan pernah lupa


untuk berterima kasih kepada Allah SWT. Karena tanpa
campur tangan-Nya tidak mungkin aku bisa menulis
buku ini hingga tuntas.
Terima kasih aku ucapkan kepada Ibu Risna Tarabubun,
S.Pd yang sudah membimbing aku untuk menyusun
novel ini.
Terima kasih kepada Mama dan Papa serta teman-teman
yang selalu memberi semangat dan dukungan.
Special thanks to pacar aku; Kharisma Ahmad yang
selalu membantu di setiap kesulitan yang aku hadapi
dalam menyelesaikan novel ini.

iv
Prolog
"Clara nanti mau tinggal sama Ayah atau sama
Bundamu?"

Gadis itu menggelung tubuhnya dengan selimut tebal di


kasur. Hari ini, ia sama sekali tidak tertarik untuk
beranjak, apalagi bicara. Jadi ketika ayahnya mengetuk
pintu kamar Clara dan melongok masuk untuk bertanya,
Jangankan menjawab, menolehkan kepala saja ia tidak
mau.

Ayah Clara menyadari bahwa anaknya itu sedang


menutup diri. Tidak ada cahaya sedikitpun di kamarnya,
semua tirai-tirai jendela ditutup rapat dan lampu
dimatikan. Gelap. Gelap dan dingin. Bahkan ketika
matahari sudah di atas kepala sekalipun,

tidak ada perubahan yang berarti pada kamar Clara. Jadi


tidak peduli itu siang atau malam, Clara selalu
mengurung diri belakangan ini.

1
Karena Agung—ayah Clara—tidak lekas mendapatkan
jawaban, maka pria berpakaian rapi itu segera menarik
gagang pintu kamar anaknya kembali.

Tapi sebelum daun pintu benar-benar tertutup, Agung


berkata sekali lagi, "Hari ini keputusan sidang. Ayah dan
Bundamu tidak akan bersama lagi. Maaf ya Clara, ini
keputusan yang paling baik untuk kita semua."

Lalu, Agung ditelan oleh daun pintu. Dan tidak lama


kemudian, deru mobilnya terdengar telah berjalan keluar
melewati gerbang rumah.

Agung meninggalkan Clara sendiri di sini.

Dan setelah hari itu, semuanya tidak akan pernah sama


lagi.

2
01. Darel Shankara

B asket, game, dan makan adalah tiga hal wajib


yang tidak boleh dilewatkan oleh Darel dalam
sehari, jika ia mau panjang umur dengan bahagia dan
sehat bugar senantiasa. Mandi dan belajar bisa kapan-
kapan, tapi kalau satu dari tiga aspek penting tadi
kelewatan ... wah, esoknya Darel bisa uring-uringan dan
asam lambung.

Maka dari itu, tidak pernah sulit untuk mencari Darel.


Jadi jika telepon tidak kunjung diangkat olehnya pada
hari biasa, orang-orang akan mencari laki-laki itu entah
ke lapangan basket atau perpustakaan sepi
(main game lebih nyaman di tempat-tempat sepi

3
katanya) atau kantin sekolah, di mana Darel suka
bersemayam.

Seperti hari ini, salah seorang teman Clara tidak bisa


menelepon Darel untuk hal penting, jadi pertama-tama ia
pergi ke lapangan basket untuk menemuinya.

"Darel! Darel Shankara!" teriak gadis itu, merasa lega


sebab tidak harus pergi ke semua tempat kesukaan Darel
sekaligus.

Yang sedang bermain basket sampai berpeluh-peluh


akhirnya menoleh. Dan mengetahui Rasha atau Acha,
teman Clara, yang datang dengan napas ngos-ngosan
membuat laki-laki itu mengernyitkan dahi kebingungan.
Pasalnya, Acha tidak pernah menemui Darel kecuali hal-
hal penting mengenai Clara. Maka dengan penuh rasa
keheranan, ia menghampiri Acha di pinggir lapangan.

"Kenapa?" tanya Darel sambil mengelap keringat yang


mengalir dengan kaos bagian lengannya.

4
Acha berusaha mengatur napas. Lalu tangan gadis itu
segera membuka ponsel untuk mencari-cari sesuatu yang
ia ingin tunjukkan kepada Darel.

Darel dengan sabar menunggu. Baru ketika layar ponsel


Acha ditunjukkan untuknya, mata Darel langsung
membelalak lebar-lebar.

"WOI, GUE CABUT DULU!" seru Darel kepada teman-


teman yang bermain di lapangan.

Darel kalang kabut. Ia langsung berlari bersama Acha


seperti orang kesetanan. Mereka menuju kelas laki-laki
itu untuk mengambil semua barang-barang pribadi di
meja.

Kemudian setelah semua alat tulis di meja sudah masuk


sempurna ke dalam tasnya, dan ketika Darel tinggal
angkat kaki dari kelas, tiba-tiba saja Acha mencegat.

"Lo ngapain, sih?" sentak Darel, berusaha ke kanan, tapi


dihalang, dan berusaha ke kiri, tapi juga dihalang.

5
"Dengerin dulu!"

Maka Darel berhenti, dan ia diam berdiri untuk


mendengarkan.

Acha mengembuskan napas berat. Lalu menurunkan


rentangan tangan yang tadi digunakan untuk
menghalangi jalur Darel supaya laki-laki itu tidak
terburu-buru. "Clara lagi nggak mau diganggu, Rel. Dia
pasti butuh waktu sendiri," jelas Acha dengan suara
pelan.

Darel memutar bola mata dengan malas. "Sekarang gue


tanya coba, mau sampai kapan? Mau sampai kapan dia
begitu?" tantang Darel.

"Ya nggak tau, kok tanya gue!" balas Acha dengan nada
meninggi, merasa kesal ditantang oleh Darel.

"Lo temennya, Acha. Lo temennya Clara!" Darel


menunjuk pundak Acha berkali-kali. "Clara udah tiga
bulan menghilang gitu aja dari mata gue. Mau sampai
kapan semua masalahnya dia simpan sendiri?"

6
Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling,
merasa tidak nyaman melihat banyak pasang mata
menatap mereka berdua sambil berbisik-bisik halus.
Acha tidak ingin masalah Clara menjadi gosip sekolah.
Maka gadis itu refleks menarik tangan Darel untuk
keluar dari kelas.

"Lo apa-apaan sih, megang-megang!" kata Darel seraya


menepis tangannya.

Sial. Bak jatuh tertimpa tangga, kini orang-orang yang


mendengar jadi berubah menatap sinis ke arah Acha.
Jangan-jangan mereka berpikir ia ingin merebut Clara
dari Darel.

"Sial, sial, sial," rutuk gadis itu dalam hati.

"Gue tanya, Acha! Clara mau sampai kapan kayak gitu?"


lanjut Darel, menerornya dengan pertanyaan menjebak.

Setelah itu, karena harga diri Acha sudah lenyap oleh


bentakan Darel dan emosinya, kemudian karena amarah
Acha yang tidak lagi bisa dikontrol ulang, maka gadis itu

7
balas menyeru, "Gue nggak tau! Gue nggak tau Clara
mau sampai kapan begitu! Harusnya lo, Rel, yang lebih
tau! Tiga bulan Clara hilang bukan tanpa alasan, tapi
karena orangtuanya ada di meja hijau! Harusnya lo bisa
ngertiin posisi dia, Rel! Harusnya lo yang lebih tau
karena udah dua tahun sama Clara!"

Kini bisikan penggosip-penggosip terdengar lebih


kencang. Bahkan orang-orang yang niatnya hanya
berlalu di luar kelas, kini jadi ikut mendengar melalui
jendela-jendela kelas yang terbuka.

"Orangtua Clara cerai, tuh."

"Pantesan Clara bolos tiga bulan."

"Yah, Clara jadi anak broken home, dong."

"Gila si Acha mau rebut Darel dari temennya sendiri."

"Acha pelakor."

"Acha otak geser."

8
Dada Acha naik-turun, marahnya benar-benar tidak
terbendung dengan semua orang di sini yang malah
mengatainya sebagai pelakor. Meskipun demikian, ia
tetap menyesal karena membongkar masalah Clara di
depan orang-orang. Semua benar-benar sudah di luar
kendali.

"Dasar keras kepala!" sinis Acha kepada Darel.

Selanjutnya gadis itu langsung berbalik badan dan


berjalan cepat untuk keluar dari kelas. Meninggalkan
Darel yang masih membatu di tempat. Lantas orang-
orang yang tadinya berkerumun di depan pintu sontak
segera menyingkir untuk memberikan jalan kepada
Acha, tapi kendati seperti itu, mereka tetap menyoraki
Acha dengan makian yang tidak ingin ia dengar seumur
hidup.

Pelakor.

9
10
02. Dering Telepon

C lara menyibak selimut tebal itu lalu duduk di


tepi kasur. Kepala gadis itu pening, rasanya juga
mau muntah saking pusingnya. Ia berusaha memijakkan
kaki pada lantai, dan mendapati tubuh yang terhuyung-
huyung karena lemas tak berenergi.

"Eh, Clara! Clara!" Bi Inah, pembantu rumah tangga,


yang kebetulan sedang mendorong pintu kamar gadis itu
dan menyalakan lampu untuk menawarkan makan
malam, langsung bergegas panik begitu melihat Clara
nyaris terjatuh. Maka wanita paruh baya tersebut segera
meraih tubuh ringkih Clara. "Aduh, jangan-jangan Clara
anemia, ya. Selama ini makannya nggak pernah teratur,"
katanya, begitu Clara sudah sampai direngkuh.

11
Clara menggeleng lemah lantas berusaha berdiri sendiri.
"Nggak apa-apa, Bi. Nggak apa-apa," tegasnya.

Tapi Bi Inah tetap memandanginya dengan ekspresi


khawatir. "Clara makan ya, Bi Inah bikin makanan
kesukaan Clara lho, malam ini."

Clara memaksakan senyum tipisnya. "Iya nanti ya, Bi.


Nanti aku makan. Aku mau sendiri dulu, Bi."

Bi Inah mengembuskan napasnya dengan berat hati. Dari


hari ke hari, bibir dan kulit Clara semakin pucat. Lingkar
hitam dan sembap di matanya juga kian terlihat.
Rambutnya acak-acakan tidak terurus, lalu badannya
juga jadi kurus kering kerempeng. Seandainya saja
bundanya tidak berperilaku buruk seperti itu, pasti Clara
tidak akan begini, pikir Bi Inah.

"Kalau gitu Bi Inah tinggal, ya. Nanti kalau Clara butuh


apa-apa, panggil aja. Oke?"

Clara menganggukkan kepala. "Iya, Bi. Makasih."

12
Maka Bi Inah pergi. Dan Clara sendiri lagi.

Selanjutnya Clara mengambil napas dalam-dalam, lalu


mengecek ponselnya yang sejak tadi ramai notifikasi.

Notifikasi paling utama, tentu saja dari Darel. Jadi gadis


itu menekan room chat Darel dan langsung menangkap
rentetan pesan dengan beragam emosi dari pacarnya.

Ada seratus lebih pesan. Dan lebih dari dua puluh kali
telepon yang tidak terangkat.

Jadi bisa dibayangkan, pada awal-awal pesan, Darel


sangat khawatir dengan Clara. Pesan-pesannya sangat
manis sekali. Lalu lama kelamaan Darel mulai marah,
muak, dan benci dengan Clara karena tidak kunjung
mendapatkan penjelasan terkait hubungannya ini. Pesan-
pesannya langsung berubah menjadi kata makian,
menggunakan semua huruf kapital, dan tanda seru.

Clara terduduk di kursi belajarnya, kemudian


menumpukan lengan pada meja sambil mengusap wajah
lelah. Darel tidak membuat semuanya berjalan semakin

13
baik, kadang-kadang, Darel malah memperparah
keadaan yang ada.

Sudah sering terjadi. Tapi kali ini, Clara sudah lelah. Ia


benar-benar lelah menghadapi semuanya dengan bertubi-
tubi.

Darel:
Udah online?

Satu pesan masuk. Lagi-lagi dari Darel.

Darel:
Kok nggak jawab? Lagi chat sama siapa?

Clara diam saja membacanya.

Darel:
Pasti lagi asyik sama cowok lain, ya? Akunya dilupain
gitu aja.

Clara terkekeh lemah. Bisa-bisanya Darel beranggapan


seperti itu.

14
Darel:
Tau nggak aku dapat info soal perceraian ortu kamu dari
siapa? Dari Acha.
Dari Acha, Clara. Dari Acha. Acha di-chat sama
bundamu untuk jaga Clara baik-baik.
Kamu kenapa sih, tiga bulan ini hilang gitu aja? Nggak
ngasih kabar apa-apa?
Aku tau kamu lagi sulit, aku tau kamu butuh waktu
sendiri, tapi apa susahnya sih kabarin aku?
Susah ya?
Tiga bulan itu waktu yang panjang, Ra. Tiga bulan kamu
ninggalin aku. Tiga bulan kamu anggep aku nggak ada.
Kamu seneng aku dapat kabar soal kamu dari orang lain?
Udah kubilang jangan begitu, masih aja.
Kok diem?
Kamu beneran chat sama cowok lain?
Clara!
Clara jawab!
Jawab!
JAWAB GUE GOBLOK!

15
Clara segera mematikan ponselnya. Tidak sanggup
membaca apa-apa lagi dari sana. Kepala gadis itu sudah
seperti ditekan, jadi ia tidak ingin memberatkan semua
yang sudah berat kembali. Bebannya sudah kelewat
banyak.

Namun, sepertinya yang berada jauh di sana


masih kekeuh meminta kabar, jadi ponsel Clara
berdering lagi. Kali ini dering yang panjang.

Darel menelepon.

Clara menelan ludah. Jika sudah begini, ia tidak lagi


punya pilihan. Kalau Clara menolak teleponnya padahal
sudah ketahuan aktif, yang ada Darel akan semakin
mengamuk dengan kobaran api dan semakin curiga
kepadanya.

Maka, Clara mengangkat telepon itu.

"DASAR NGGAK TAU DIRI, LO MAUNYA APA, SIH?"


bentak Darel dari sana.

16
Air mata Clara mulai jatuh satu per satu. Ia menunduk
lantas menjawab lirih, "Maaf, El...."

"MAAF LAGI, MAAF LAGI. LO NGAPAIN DARI


TADI? PERASAAN CUMA DI RUMAH, EMANG
NGGAK BISA JAWAB?"

Clara menangis terisak. Telinganya sakit mendengar


bentakan Darel, tapi hatinya jauh lebih sakit lagi karena
Darel tidak pernah berusaha untuk mengerti. Untuk
memahami kondisinya yang kini rusak berkeping-
keping, untuk menyadari bahwa Clara butuh ruang untuk
sembuh lagi, untuk menyayangi Clara tanpa tuntutan
yang membelenggu.

Lamanya hubungan kadang tidak menentukan kita sudah


bertemu dengan seseorang yang baik. Malahan, lamanya
hubungan justru menunjukkan sudah berapa lama kita
bertahan hidup dengan luka dan berusaha baik-baik saja.

17
Clara tahu dirinya salah. Salah sekali karena
mendiamkan Darel selama ini. Tapi Clara bisa apa, jika
dirinya untuk hidup saja sudah susah?

Clara memang harus dan terbiasa mengabari keadaan


sehari-harinya, tapi kali ini kondisi berubah. Semuanya
berubah.

Gadis itu merasa remuk selama kedua orangtuanya


berada dalam proses persidangan sejak tiga bulan lalu. Ia
benar-benar merasa tidak berdaya lagi begitu tahu
bundanya berselingkuh dengan mantan kekasih di
bangku kuliah. Tapi kenapa Darel, yang bahkan sudah
mengetahui kondisi Clara saat ini, malah semakin
mengejarnya tanpa ampun?

Seolah-olah perceraian orangtua Clara adalah hal biasa


baginya.

Seakan-akan kasus itu tidak boleh mempengaruhi


hubungan mereka berdua.

18
Kenapa Darel malah seperti ini, alih-alih menjadi
seseorang yang mendukung Clara di masa-masa susah
dan senang?

Kemudian laki-laki di teleponnya menghela napas


panjang. Ia berusaha mengatur kembali emosi yang
terlanjur menggebu-gebu dan lepas kendali.

Sedangkan Clara masih terisak. Gadis itu menangis


tertahan sebab merasa tidak ada lagi yang beres di
hidupnya.

"Ara?" kata Darel, kini suaranya berubah menjadi


lembut. "Ara dengar aku?"

Clara dengan napasnya yang tersengal-sengal dan suara


yang serak akibat menangis, tetap berusaha menjawab,
"Dengar...."

"Ara, aku minta maaf ya udah kasar sama kamu.


Maksudnya, aku cuma kesel aja kalau kamu nggak ada
kabar apa-apa selama ini. Ara 'kan, bisa cerita kalau
ada masalah. Nggak harus dipendam semuanya sendiri.

19
Ara udah ada aku," jelas Darel panjang lebar. Nadanya
kini berbeda sekali dengan yang awal-awal menelepon.

Clara menangis semakin hebat. Matanya memejam


karena sudah tidak sanggup lagi menahan.

"Ara, aku minta maaf ya..." lirih Darel sambil menangis.


"Maaf udah kasar lagi sama Ara. Aku janji nggak bakal
begini lagi. Maafin aku ya, Ara."

Darel, jika bersama Clara, cara bicaranya memang


berubah menjadi seperti anak kecil. Tapi itu tidak
berlaku ketika Darel marah.

Dan, karena sekarang Darel sudah tidak marah, ia


kembali lagi seperti seseorang yang Clara kenal.

Seseorang yang baik dan lemah lembut.

"Ara, maafin aku ya...."

Gadis itu menggeleng lemah. Lalu berbicara sambil


terisak-isak. "Eng-enggak, aku yang minta maaf. Maaf

20
karena nggak ngabarin Darel selama ini. Aku yang
salah."

Begitulah cara hubungan keduanya berjalan. Jenis


hubungan yang jauh dari kata sempurna dan baik-baik
saja.

21
03. Tanda Tanya

"Pacar lo bikin masalah lagi tadi di sekolah."

Setelah urusannya selesai dengan Darel, kini ganti Acha


yang menelepon. Gadis itu juga khawatir bukan main
mendapatkan pesan mengejutkan dari bundanya Clara,
tapi selain khawatir, ada laporan juga soal perilaku Darel
di sekolah.

Clara dengan lemah tertawa renyah. "Masalah apa?"

"Ya gitu, deh. Gue 'kan, refleks tarik tangannya biar


bisa dibicarain di luar, tapi dia malah marah-marah
nggak jelas sama gue di kelasnya!" Acha merutuk lagi.
Dan dari panggilan saja, Clara sudah bisa

22
membayangkan bagaimana situasi kelas Darel siang tadi.
"Kurang ajar emang tuh, Darel."

"Acha, mulutnya," ingat Clara.

"Habisnya dia emosian bener. Dan yang paling aneh


sih, kok lo mau sama dia?"

Dalam sepersekian detik, tawa Clara lenyap mendadak.


Ini bukan pertanyaan asing baginya. Bahkan, gadis itu
sudah mengulang-ulang beberapa kali pertanyaan itu
untuk diri sendiri ketika Darel mulai lepas kendali.
Kenapa ia masih ingin bersama Darel? Bahkan setelah
diperlakukan sedemikian rupa, kenapa Darel selalu
menjadi tempatnya untuk pulang?

Clara tidak tahu. Clara tidak pernah tahu apa jawaban


rasionalnya.

Namun yang pasti, itu semua karena Clara sayang


dengan Darel. Dua tahun bersama tentu bukan waktu
yang sebentar. Ada harga yang harus dibayar, dan

23
menurut Clara, ini adalah bentuk usaha Clara dalam
kisah percintaannya.

"Darel emang gitu, Acha. Lagian, nggak setiap saat dia


emosi, kok. Dia bisa manis juga, perhatian juga. Dan tadi
Darel udah minta maaf sama gue," tutur Clara, lagi-lagi
membela Darel. "Yang namanya hubungan itu pasti ada
naik-turunnya. 'Kan, gue nggak bisa minta Darel
untuk--"

Acha menyela. Ia benar-benar tidak tahan dengan


temannya itu. "Untuk apa? Untuk apa, Clara? Coba deh
dibalikin, kalau dia sekarang jadi ada di posisi lo, lo
gimana?"

"Gue bakal marah juga kok, itu respon normal, karena


'kan dia nggak ngabarin gue sampai berbulan-bulan."

"Seriously? Emang lo marahnya kayak Darel? Pas lo


tau Darel sedang nggak oke, emang lo bakal bentak-
bentak dan ngomong kasar ke Darel?"

Clara terdiam. Tidak bisa menjawab.

24
"Enggak, 'kan? Ra, coba deh sekali-kali lo buka mata.
Baca-baca tuh, artikel di internet yang bahas soal toxic
relationship. Ada banyak tanda-tandanya."

Napas Clara berubah menjadi sesak. Pandangannya kini


mendadak gamang. Clara tahu Darel salah, Clara tahu
Darel tidak sepatutnya demikian, tapi Clara juga tahu
Darel merasa salah dan siap berubah. Semua orang butuh
kesempatan, dan hal itu yang berkali-kali Clara coba
berikan.

"Clara? Aduh, Clara, sori ya gue malah mojokin lo di


saat-saat begini," sesal Acha di sana. "Kondisi lo
sekarang gimana? Udah makan?"

Clara berusaha mengatur ritme napas dan suaranya


sejenak, supaya tidak terdengar serak. "Gue nggak apa-
apa, Acha," jawab Clara sedatar mungkin.

"Bunda lo siang tadi chat gue untuk jaga lo baik-baik.


Kalau ada masalah, nggak apa-apa untuk cerita sama
gue ya, Ra...."

25
Clara terkesiap mendengar bundanya disebut; mendengar
bahwa bundanya memaksakan perhatian melalui Acha.
Ini semua jadi kelihatan aneh. Jika Bunda memang
peduli, kenapa bukan ia sendiri yang memerhatikan
kondisinya?

"Gue nggak apa-apa," tegas Clara lagi. Kini


pandangannya mengarah ke cermin di atas meja,
memperhatikan bola matanya yang kian memerah. "Gue
mau makan dulu, ya. Gue matiin," putus Clara.

Telepon terputus, kemudian gadis itu menyugar


rambutnya sambil bertanya-tanya. Kenapa hidupnya jadi
selucu ini? Seolah-olah semuanya terdengar seperti
puncak komedi yang konyol.

Maka ia mengedarkan pandangan ke sekeliling lagi, lalu


menangkap foto keluarga di sudut ruangan. Foto dirinya,
Ayah, dan Bunda yang sama-sama tersenyum lebar di
Candi Borobudur, yang sama-sama memakai topi lebar
untuk menghalau panas matahari ketika itu.

26
Lalu untuk sebentar, Clara tersenyum miris. Sekarang
sudah berubah. Semuanya berubah. Gambar itu tidak
akan bisa diambil lagi mau menggunakan kamera
secanggih apapun.

Jadi sekejap kemudian ia mengambil pigura itu, lantas


membantingnya ke sudut kamar yang lain. Sampai
pecah; sampai hancur lebur.

Dan Clara tidak akan menyesalinya karena berlaku


seperti itu.

Setelahnya, suara notifikasi pesan masuk terdengar dari


ponsel Clara di meja. Pesannya terpampang dengan jelas
di layar, meski ia belum benar-benar membukanya.

Dika:
Saya dengar kabar soal kamu, turut menyesal, ya.
Semoga kamu diberikan ketabahan untuk melewati
semua ini.

27
Masa lalu Clara mendadak datang tanpa tanda-tanda.

28
04. Hari Pertama

M atahari sudah di ufuk timur. Cahaya


hangatnya mulai menyeruak masuk ke celah-
celah ventilasi kamar Clara yang gelap. Tetapi bukan hal
itu yang berhasil membuat Clara terbangun pagi ini,
melainkan aroma terbakar dari luar kamar yang
menyengat dan mengganggu indera penciumannya
bahkan ketika ia masih terlelap.

Karena kesadaran Clara langsung menyadari ada sesuatu


yang aneh, maka gadis itu bergegas keluar dengan panik.
Tidak lama kemudian ia mendapati ayahnya sedang
menggoreng telur di wajan dengan heboh.

Hari ini, hari resmi pertama kehidupan mereka tanpa


eksistensi Bunda.

29
"Eh, Clara sudah bangun," kata Agung canggung sambil
mematikan kompor, sebelumnya api besar keluar dari
sana dan sukses menggosongkan wajan. "Sarapan, yuk."

Agung, yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya,


membawa piring berisi dua telur goreng dan roti masih
dalam bungkusan plastik ke meja makan. Pria itu
terbatuk-batuk sebentar karena asap dari penggorengan
mengisi penuh paru-paru Agung. Bagaimana tidak,
penggorengan di rumah sampai hitam legam dibuatnya!

Clara berjalan mendekat sambil mengibaskan tangan


supaya ia bisa mengurangi hirupan asap. "Kenapa Ayah
yang masak? Bi Inah emang mana?" tanya Clara dengan
dingin.

"Katanya hari ini izin, anaknya dari luar kota lagi main."

Clara duduk di kursi, kemudian segera disambut baik


oleh Agung dengan diberikannya segelas susu dan dua
buah roti tawar. Sudah lama sekali Clara tidak bersama
Agung di meja makan. "Mau coba telurnya nggak?"

30
tanya Agung, merasa tidak pantas karena kematangan
telur buatannya tidak ideal.

Yang membuat Agung terkejut, ketika Clara justru


mengangguk. "Boleh," jawab gadis itu seperlunya.

Meski Clara masih irit bicara kepada Agung, ia berusaha


menahan senyum, tetap merasa senang karena anaknya
masih mau menghargai usaha Agung. Maka pria itu
langsung mengambilkan telur goreng untuk Clara dan
diletakkannya pada roti tawar. "Maaf ya, kalau masakan
Ayah nggak bisa sesempurna buatan bundamu. Tadi
nggak sempat juga mau beli sarapan."

Mendengar kalimat pertama Agung membuat tatapan


Clara menjadi kosong. Kadang-kadang Clara masih
membenci kenyataan ini, kenyataan bahwa bundanya
tidak lagi di sini.

"Enggak ada yang sempurna. Begitu juga dengan


Bunda," tegas Clara.

31
Kemudian keduanya makan dalam diam. Melahap
sarapan seadanya dan mengisi perut dengan banyak susu
supaya kenyang. Kendati tidak terlihat, retakan di antara
ayah dan anak tetap terasa. Siapa sangka, ternyata
bundanya sendiri yang membuat semua menjadi
kehilangan nilai.
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

Namanya Clara, Clara Amerta. Nama yang cukup aneh


untuk zaman sekarang karena nama belakangnya
menggunakan bahasa sansekerta yang terdengar asing.
Tidak tahu orangtuanya terbersit pikiran apa ketika
membuat nama Clara dulu. Tapi yang pasti, kini Clara
berusia tujuh belas tahun dan masuk kelas sebelas. Usia
yang kata orang-orang, adalah usia emas karena hampir
mencapai puncak masa pencarian dari identitas diri.

Awalnya, Clara sama seperti remaja perempuan awam.


Suka menonton konser untuk melepas penat, suka main-
main ke kafe untuk sekadar nongkrong, dan sering

32
memedulikan penampilan sampai 'sebegitunya'. Pada
awalnya, Clara sama.

Tapi itu semua dulu, ketika bunda Clara belum ketahuan


berselingkuh dari ayahnya. Ketika hidup masih berjalan
baik-baik saja.

Sekarang Clara sedang mematut diri di depan cermin full


body dengan seragam SMA. Sudah lama ia tidak
menggunakannya. Kemudian karena berat badan Clara
yang menurun drastis beberapa bulan belakangan,
seragamnya jadi terlihat kebesaran ketika dipakai.
Bahkan tidak hanya itu, wajah cerah Clara kini menjadi
kelihatan amat kusam, rambut panjangnya kering
kerontang, lingkar matanya sangat hitam, dan bibir Clara
pecah-pecah berdarah.

Gadis itu menelan saliva dengan gelisah. Merasa tidak


nyaman melihat penampilannya sekarang.

"Apa hari ini nggak usah sekolah dulu aja, ya?"


gumamnya lesu. Ia tidak mau terlihat kacau di depan

33
teman-temannya, apalagi di hari pertama setelah sekian
lama tidak masuk sekolah.

Di saat kepala gadis itu sibuk menimbang-nimbang


antara harus berangkat atau tidak, ponselnya di kasur
tiba-tiba bergetar, tanda notifikasi masuk.

Clara menghentikan perseteruan kepala sejenak dan


memilih untuk mengambil ponsel.

Ada pesan masuk lagi. Dua kali.

Dika:
Clara hari ini kosong nggak?
Saya mau ketemu.
Kalau kosong tolong kabarin, yaa

Senyum Clara mengembang tanpa sadar.

34
35
05. Seperti Buku Misteri

J am pelajaran pertama belum dimulai. Jadi seperti


biasa, Darel akan berkeliling bebas di sekolah
sesuka hatinya. Entah demi menyapa teman-teman di
kelas lain, atau membeli jajanan di kantin untuk sarapan,
atau mampir ke kelas Clara sekadar mengucapkan
'selamat pagi' dengan manis. Tapi opsi terakhir itu dulu,
dulu sebelum Clara mendadak alfa sampai saat ini.

Dan seperti biasa juga Farel, teman dekat Darel, akan


senantiasa mengekorinya ke manapun Darel akan pergi.

Darel dan Farel. Terdengar seperti nama yang tepat


untuk anak kembar, oleh karena itu mereka sering
dijuluki Si Kembar karena kemiripan nama dan
kedekatan mereka yang ... mau hujan badai sekalipun,

36
tak akan ada yang bisa memisahkan keduanya. Yah,
kecuali sakratul maut tentu saja.

"Pagi-pagi udah nempel aja lu," cetus temannya, Rio,


ketika menemui Darel dan Farel di lorong kelas. "Gue
curiga jangan-jangan lu pacarannya sama Farel, bukan
sama Clara. ’’LO SAMA CLARA CUMA
PENGALIHAN ISU KAN—" Mulut Rio langsung
dibekap sempurna oleh Darel. Rio memang begitu,
senang menarik perhatian orang-orang lewat mulut toa
dan pembicaraan ngawurnya.

Maka Darel mendelik ke sekeliling yang mencuri


pandang ke mereka. Lalu ia mendesis, "Lu pagi-pagi
udah bikin masalah aja lu!" Ia kesal mengetahui banyak
orang yang melihat. Khawatir jika ucapan tidak berdasar
Rio bisa menjadi keyakinan semua orang. Karenanya
Darel masih membekap mulut Rio, tanpa ampun,
sehingga Rio meronta-ronta.

37
"Nyari masalah kok sama Darel," celetuk Farel tertawa
melihat Rio sengsara.

Kemudian Rio yang lama-kelamaan mulai kesulitan


bernapas, mendadak mendapatkan ide cemerlang.

Ia terpaksa harus menjilat telapak tangan Darel supaya


dirinya bisa dilepas.

"RIO NAJIS!" teriak Darel menggelegar, membuat


orang-orang di sekitarnya berhenti lagi untuk menatap
penuh heran.

Sementara yang diteriaki berlari kencang, seperti tikus


curut yang kabur dari pemangsa.

Farel tertawa-tawa saja, tapi kemudian ia teringat, "Clara


belum masuk sekolah juga, Bi?" tanyanya.

Darel mengelap telapak tangan yang basah karena air


liur Rio dengan celana abu-abunya, dan sambil
menjawab, "Belum."

"Lo nggak kangen?"

38
Laki-laki itu melirik, lantas menjawab kembali dan kali
ini sambil ngegas. "Ya kangen, lah!"

"Terus kenapa nggak ketemu?"

Mereka berdua berjalan lagi. Darel memasukkan kedua


tangan di saku celana seraya berpikir sebentar. "Katanya
butuh waktu sendiri, sih. Tapi nggak tau deh, ah!"

Farel menggumam. "Orangtua dia bisa cerai, masalahnya


kenapa, sih?"

"Gue nggak tau."

"Hah? Lo 'kan pacarnya, emang dia nggak cerita?"

Langkah Darel terhenti. Benar, memang benar apa yang


dikatakan Farel. Darel pacarnya, tetapi ia tidak
mengetahui sedikitpun tentang Clara yang mendadak
hilang akhir-akhir ini. Clara tidak lagi bercerita, Clara
tidak lagi terbuka. Rasanya jadi seperti berpacaran
bersama buku yang tertutup. Bagaimana mau
memahami, jika bukunya ingin dibuka saja susah?

39
Darel mengembuskan napas berat. Selain frustasi karena
Clara yang kini menjadi pribadi tertutup kepadanya, ia
juga bingung. Bingung mengapa Clara bisa menjadi
sosok yang berbeda bahkan dalam waktu tiga bulan saja,
menjadi sosok yang bahkan tidak bisa dikenali olehnya
lagi. Clara kenapa?
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

"Aku enggak apa-apa," kata Clara sambil terkekeh malu.


Gadis itu segera mengelap dengan tisu karena es krim
cokelat menempel di bajunya akibat tersandung batu
krikil tadi.

Alun-alun kota siang itu tidak ramai. Cuma beberapa


saja yang datang bersama peliharaan, atau anak-anak
kecil, atau pembawa aneka makanan untuk digelar dan
dijajakan kepada pendatang. Siang ini adalah kali
pertama Clara keluar rumah. Setelah sekian lama ia
mengurung diri, dengan tirai dan kasur dan selimut dan
pikiran-pikiran buruk yang menjadi teman, akhirnya hari
ini Clara bisa terlepas dari itu semua.

40
Angin menerpa, hawa panasnya langsung terasa.
Matahari memang sedang terik-teriknya, membuat es
krim mereka mudah mencair dan menetes satu-satu ke
tangan.

Tapi yang paling sial adalah Clara, ia tersandung batu


kecil dan membuat es krim cokelatnya mengotori
baju turtleneck putih. Noda es krimnya sangat kontras
dengan pakaian Clara sekarang, membuatnya merasa
malu dan canggung karena sudah bersikap bodoh di
depan seseorang.

"Seandainya waktu bisa diputar ya, mungkin bajuku


nggak kotor kayak sekarang," kata Clara sembari
memaksakan tawa, berusaha mencairkan suasana.

Namun jangankan membalas guyonan Clara, laki-laki


jangkung di depannya justru menatap Clara dengan
serius. Matanya yang teduh melihat Clara lurus-lurus.
Entah apa maksudnya, tapi itu sukses membuat Clara
merasa sedikit tidak nyaman.

41
"Saya ada kenalan yang bisa begitu."

Clara terkesiap.

Seperti buku misteri, laki-laki di hadapannya ini


memiliki banyak kejutan.

42
06. Siomay dan Ceritanya

J am istirahat pertama berlangsung. Karena


percakapannya dengan Farel pagi tadi, Darel jadi
memikirkan Clara setiap detiknya. Boro-boro ada rumus
matematika yang masuk, siang ini Darel benar-benar
tidak fokus. Ia ketahuan berkali-kali melamun oleh
gurunya tadi dan dipaksa maju mengerjakan satu soal.
Satu soal yang tentu tidak bisa Darel kerjakan. Maka
pada pelajaran pertama, Darel sudah menjadi patung saja
di samping papan tulis sebagai hukuman.

"Ayo makanlah, bengong terus," tukas Farel, merasa


kasihan sohibnya jadi seperti orang linglung begini.

"Iya lu aja sana," jawab Darel dengan ogah-ogahan.


Laki-laki itu justru duduk di kursi, meluruskan kaki, dan

43
menyandarkan tubuh karena merasa pegal-pegal akibat
hukuman tadi. "Kaki gue kayak mau putus," lanjut Darel.

"Halah, lebay lu!"

Darel masa bodoh lantas memejamkan mata. Rasanya ia


mau tidur siang saja supaya tidak diganggu pikiran-
pikiran mengenai Clara yang menghantuinya belakangan
ini. Tidak tertarik untuk makan, main game, apalagi
panas-panasan bermain basket bersama teman-temannya.

Melihat Darel tampak seperti tidak mau diganggu, maka


Farel yang kelaparan pergi meninggalkan Darel ke
kantin.

Baru setelah Farel pergi, mata laki-laki itu kembali


terbuka. Ia tidak bisa tidur siang. Pikirannya tidak pernah
tenang jika jawaban jelas belum didapatkannya.

Suasana kelas yang riuh gegap-gempita seperti pasar


malam bahkan tidak menjadikan Darel memiliki
perasaan 'tergabung', karena buktinya sekarang, di
tengah keramaian sekalipun Darel bisa merasa sendirian.

44
Semacam ada gelembung besar yang menjaganya dari
hiruk-pikuk orang-orang. Darel jadi merasa kosong;
merasa hampa. Rasanya seperti hidup sendirian di dunia.

Biasa jika Darel dalam kondisi seperti ini, yang bisa


menyembuhkannya dari rasa keterasingan adalah Clara.
Cuma Clara yang bisa, bukan yang lain.

Dan saat ini, Clara tidak ada, lalu Darel harus


bagaimana?
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

"Begitu maksudnya ... memutar waktu?" ulang Clara


sekali lagi, tidak mengerti. Sekarang fokusnya sudah
teralihkan dari pakaian gadis itu yang kotor karena es
krim, menjadi ke percakapan laki-laki di depannya yang
berhasil menarik perhatian. "Keren, dong," ucap Clara,
menambahkan.

Yang dipuji tersenyum. "Iya, dia memang keren. Kapan-


kapan aku bawa kamu ke sana ya," katanya.

45
Clara mengembuskan napas kecewa. "Kenapa nggak
sekarang aja?"

"Memang kamu mau sekarang?" tanya laki-laki itu.


"Harus sekarang banget?" tegasnya lagi diikuti tawa
hangat.

Mendengar suara tawanya ternyata bisa mengundang


senyum lebar juga dari Clara. Senyum yang sudah jarang
Clara pakai lagi di paras cantiknya.

"Kalau gitu janji ya, janji bakal bawa aku ke sana."

Laki-laki tersebut menarik sudut bibirnya hingga


membentuk senyum paling sempurna yang pernah Clara
lihat. Senyuman manis dengan lesung pipi di sebelah
kiri. Senyuman tulus yang belakangan langka Clara
dapatkan. "Janji, asal kamu sudah baik-baik saja."

Clara benar-benar telah melupakan noda di pakaiannya,


maka setelah itu, mereka lanjut berjalan lagi.

46
Mereka berdua menyusuri setiap sudut alun-alun kota. Si
lelaki kadang-kadang mengambil gambar melalui
kamera analog retro yang senantiasa ia kalungkan di
leher, sesekali ia meminta izin untuk memotret Clara,
dan dengan perasaan hangat gadis itu mempersilakannya.

"Saya nggak suka tempat ini kalau malam," ujar laki-laki


di samping kanan Clara. Kini mereka berjalan
beriringan.

Clara menoleh. "Kenapa?"

"Iya banyak orang pacaran. Pacarannya seram-seram."

Clara untuk ke sekian kali tertawa. Tawanya membaur


begitu saja dengan bunyi-bunyi daun pepohonan yang
bergesekan akibat angin.

"Tuh, tuh." Laki-laki itu mengangkat tangan untuk


menunjuk suatu sudut alun-alun. "Biasa ada yang ke
semak-semak kalau malam. Kacau, deh," lanjutnya
sambil geleng-geleng kepala.

47
Clara tergelak lebih lepas lagi. Ia jadi ikut geleng-geleng
kepala. "Iya kacau, Kak. Sudah akhir zaman,"
tambahnya.

"Jangan-jangan memang gitu, ya."

Dan keduanya tergelak lebih keras lagi.

Tak lama setelah lelucon akhir zaman itu, mereka


menepi ke salah satu pedagang yang memarkir motornya
di pinggir alun-alun. Pedagang tersebut menjual siomay,
dan kebetulan mereka berdua sama-sama menyukai
siomay. Jadilah keputusan bulat untuk makan siang
dengan sepiring siomay.

Penjualnya bapak-bapak. Bapak-bapak bertopi dengan


wajah kusam, dan serbet dekil yang terkalung di
lehernya. Kalau memerhatikan wajah bapak itu, kadang-
kadang Clara jadi ingin mengurungkan niat untuk
membelinya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, bapak itu
pedagang siomay, dan pedagang siomay di pinggir jalan
tidak akan sempat mengurus wajah dengan perawatan di

48
klinik supaya kulit wajahnya jadi bersih, sehat, dan
terawat sampai kinclong. Maka daripada berpikir yang
tidak-tidak, Clara mencoba lebih tertarik untuk
mencicipi makanannya saja.

"Siomay Bandung ya, Pak?"

Bapak itu membuka tutup panci, memperlihatkan kepada


mereka siomay, tahu isi aci, pare dan kentang rebus yang
uap panasnya sampai membubung tinggi. "Iya, Bang."

"Boleh deh, dua piring ya, Pak. Ada piringnya, 'kan?"

Bapak penjual siomay langsung gesit menyiapkan


pesanan dari panci ke talenan untuk memotongnya
menjadi bagian-bagian kecil. "Siap, ada piringnya, Bang.
Aman."

"Oke." Laki-laki itu menoleh ke belakang, di mana Clara


mengekorinya. "Kamu mau pake semuanya?"

Gadis itu bergumam panjang, berpikir. "Aku enggak


pakai kentang dan pare."

49
"Dua porsi enggak pakai kentang dan pare ya, Pak."

"Siap, Bang! Siap!"

Bapak itu humoris, simpul Clara. Menyenangkan sekali


bisa bertemu dengan orang-orang yang ramah di luar
sini, ketika dunianya sendiri bahkan sedang tidak ramah.

"Siomay Bandung itu biasanya lebih enak daripada


siomay umum," kata si lelaki bisik-bisik, sambil
mendekatkan diri ke Clara.

Clara mengangkat alisnya. "Kenapa?"

"Karena asalnya dari Bandung."

Gadis itu jadi semakin heran. "Masa? Bukannya dari


Mongolia, ya? Siomay itu sebenarnya makanan khas
turun-temurun bangsa Mongol, habis itu jadi resep
favorit juga untuk orang-orang Tiongkok. Perhatiin aja
namanya, sio-may. Kayak bukan bahasa Indonesia,
'kan?" cerocos Clara panjang lebar.

50
Laki-laki tadi jadi salah tingkah. Ia menggaruk
kepalanya yang tidak gatal seraya terkekeh. "Iya juga ya,
hehe."

"Kak Dika ada-ada aja lagian."

Dika. Andika Pangestu. Laki-laki yang berbeda usia


empat tahun, dan seorang mahasiswa yang berhasil
menarik Clara dari lingkaran hitamnya. Laki-laki yang
berhasil menggegerkan posisi Darel perlahan-lahan.

51
07. Andika Pangestu

K elas Sosiologi sedang berlangsung. Sementara


itu gurunya di depan berbicara pelan dan halus
sekali, membuat Darel yang mendengarnya jadi terbawa
kantuk. Tapi bukan karena pembawaan guru saja sih,
Darel biasa memang mengantuk di semua mata pelajaran
sekolah.

Farel, yang duduk di sampingnya, berbanding terbalik


dengan Darel yang datang sekolah cuma untuk malas-
malasan dan setor muka. Farel sangat tekun belajar, tak
jarang ia juga mendapatkan rank 1 dalam ujian semester
untuk seluruh kelas sebelas di sekolahnya. Jadi sekarang
ia menulis dengan lengkap dan terperinci, kadang-
kadang laki-laki itu juga menambahkan beberapa kalimat

52
di buku tulisnya yang tidak disebutkan guru di depan.
Informasinya ia dapatkan dari buku paket yang
senantiasa ia bawa atau dari internet.

Darel, karena memiliki teman seperti ini,


memanfaatkannya dengan sangat baik. Darel suka
meminta scan dari catatan Farel kalau-kalau keesokan
harinya adalah waktu ujian. Jadi dalam semalam saja,
Darel bisa menyerap pelajaran dari catatan Farel yang
luar biasa mengalahkan buku-buku paket di dunia.
Hebat.

"Darel! Menurut Robert M. Z. Lawang, apa definisi dari


konflik?"

Yang dipanggil tersentak bukan main. Rasanya seperti


disambar petir di siang bolong, tidak ada tanda-tanda,
tapi datang begitu saja.

Darel panik, ia refleks menarik buku tulis yang sedang


ditulis Farel. "Gue pinjem!" bisiknya penuh penekanan.

"Jangan ambil buku orang lain!" teriak gurunya di depan.

53
Darel merutuki diri dalam hati, "Sial lagi gue."

Guru di depannya menunggu, begitu juga dengan tiga


puluh dua murid lain yang kini harus merelakan lehernya
untuk menoleh ke belakang; ke arah kursi yang Darel
duduki. Sedangkan yang ditunggu diam-diam merapal
doa, semoga komet jatuh saja di sini supaya tidak ada
yang menanti jawaban Darel. Atau kalau tidak, semoga
alien menjemputnya mendadak demi misi penyelamatan
Darel dari diskriminasi orang-orang di kelas.

"Apa Darel?" ulang gurunya lagi.

Darel sampai heran, kenapa kalau guru Sosiologi


bertanya seperti ini, suaranya jadi terdengar jelas dan
lantang di telinga Darel?

Karena laki-laki itu tidak memiliki pilihan lain, jadi ia


berdiri, lalu menjawab. "Perang, Bu."

Seantero kelas terbahak-bahak mendengarnya. Nyali


Darel menciut dikit. Menciut dikit saja, karena setelah

54
tidak menjadi pusat perhatian dan dipermalukan seperti
ini, nyali Darel juga sudah kembali penuh lagi.

"Farel jawabannya apa?" Guru di kelas masih


memberikan pertanyaan. Tapi kali ini kepada Farel.

Darel duduk, dan sekarang ganti Farel yang berdiri. Farel


berdiri dengan percaya diri, lantas menjawab dengan
lugas, "Menurutnya, konflik sebagai perjuangan untuk
memperoleh nilai, status, dan kekuasaan ketika tujuan
pihak-pihak yang berkonflik tidak hanya mendapatkan
keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan
saingannya."

Seluruh siswa bertepuk tangan riuh. Begitu juga dengan


guru di depan. Maka guru itu segera mengisyaratkan
Farel untuk duduk kembali, agar ia bisa melanjutkan
pelajaran.

"Cuih, hafalan lu," ejek Darel.

"Daripada nggak tau sama sekali, hayoo...."

55
Darel kalah telak.
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

Dika seorang mahasiswa fakultas ilmu komunikasi di


Universitas Pancasila. Kali ini dirinya sedang libur mata
kuliah, lalu mengetahui teman masa kecil Dika yang
sedang kesulitan, laki-laki itu jadi tertarik untuk
menemuinya lagi sambil mengenang masa-masa di mana
kebahagiaan murah dan mudah didapat.

Menghabiskan waktu dan mengenali Clara lagi dari


awal, rupanya tidak hanya asyik mengingat masa-masa
yang pernah dilalui bersama saja, tapi juga
membicarakan apapun yang terlintas di kepalanya. Clara
orang yang seru dan nyambung diajak ngobrol. Gadis itu
selalu mengerti tentang apa yang Dika bicarakan, dan
mereka kebetulan memiliki selera humor yang sama.
Makin-makin saja tidak ada yang ingin pulang di antara
keduanya.

56
Bersama Clara, rasanya nyaman dan menyenangkan.
Dika tidak harus jaga image di depan Clara karena takut
dibilang aneh.

Dua hal itu yang bisa Dika ambil garis besarnya.

"Waktu kamu bilang siomay itu bukan makanan khas


Indonesia, kamu emang suka baca-baca soal sejarah
makanan, ya?"

Hari sudah petang, semburat merah, jingga, dan kuning


menghiasi angkasa dengan indahnya. Mereka masuk ke
dalam kafe terdekat dari alun-alun kota. Kafe yang
ramah di kantong pelajar/mahasiswa, tapi tetap estetika
karena konsep retro dan gaya jadulnya. Ada piringan
hitam yang dipajang di tembok-tembok, sepeda onthel di
luar ruangan, jendela model masa kolonial, lantai kayu
jati, dan lemari-lemari buku yang bertebaran di seluruh
sudut dengan isi buku bertopik 'kiri' pada masanya.

Ditanya seperti itu, Clara mengernyit. "Hah? Siapa juga


yang baca sejarah makanan."

57
"Kamu, 'kan."

"Enggaklah! Itu kebetulan aja. Aku juga cuma tahu itu."

Keduanya berjalan ke arah meja barista untuk memesan.


"Arabika satu," kata Dika seraya membaca menu.
"Kamu kopi arabika juga?" tanyanya yang kini menatap
Clara.

"Enggak, aku nggak bisa kopi," jelas gadis itu. "Aku


choco milkshake aja satu ya, Mas," kata Clara kepada
kasir.

Kasir sekaligus barista itu mengangguk sambil mengetik.


Lantas menyebutkan harga yang mesti mereka bayar.

Ketika Dika sedang mengambil dompetnya di saku


celana, Clara ternyata sudah menyiapkan uang untuk
diberikan kepada barista.

"Eh?" Dika kaget. "Kok kamu yang bayar?"

Clara menerima struk pembayaran lalu hendak berjalan


mencari meja yang kosong. "Iya, gantian."

58
Dika tidak terima. Pasalnya hari ini ia yang mengajak
Clara keluar, dan kalau begitu, berarti Dika yang harus
bertanggung jawab atas semua pengeluaran yang terjadi
pada hari ini. Tapi agaknya Clara lain. Clara tidak seperti
gadis-gadis yang sebelumnya pernah diajak jalan oleh
Dika. Clara berbeda.

"Yaudah, kapan-kapan aku ganti, ya," ujar Dika merasa


tidak enak, sambil mengikuti Clara yang berjalan
mengarah meja kosong di dekat jendela.

"Oke."

Kapan-kapan akan ada pertemuan lagi. Dan Clara senang


mendengarnya.

59
60
8. Hari yang Tidak Normal

Hari ini Darel uring-uringan dan asam lambung.


Seharian ia tidak pergi ke lapangan basket, main game di
perpustakaan, dan makan siang di kantin karena Clara
selalu mengisi setiap lokus-lokus dalam kepalanya.
Membuatnya terganggu dan muak di saat yang
bersamaan.

"Kumat lagi, ya?" tanya Farel, melihat Darel mengambil


obat dari ransel dan mengonsumsinya langsung sebelum
pulang.

"Iya," jawab Darel sambil mengelus perut, lalu meringis


ketika merasakan asam lambungnya yang naik.

"Mau gue anterin pulang, nggak?" usul sohibnya itu.

61
Tetapi mendengar Farel menawarkan tumpangan,
membuat Darel refleks tertawa. "Nggak ah, ntar dikira
gue beneran sama lu lagi kayak kata Rio. Lagian gue
bawa motor sendiri."

Farel memutar bola mata dengan malas. "Terserah lo


deh."

Mereka berdua membereskan barang-barang di meja,


lantas berjalan keluar dari kelas. Jam pelajaran sudah
habis, hari sudah sore. Waktunya pulang dan
mengistirahatkan diri di rumah, begitu pikir Darel.

Padahal jauh di dalam benaknya, Darel marah. Darel


merasa marah, karena hari ini dirinya seperti orang yang
tidak berguna sebab memikirkan Clara seharian. Lucu,
tapi nyata. Darel marah kepada Clara yang tidak
memberikan kabar apa-apa, dan kepada dirinya sendiri
yang terlampau menyayangi Clara. Bagi Darel,
hubungan ini terasa seperti berjalan sendiri. Rasanya
seperti Darel yang punya harapan besar dengan

62
hubungan ini. Sedangkan Clara? Clara sepertinya tidak.
Sudah tidak lagi.

Tiga bulan sebelum Acha tiba-tiba datang untuk


mengabarkan kondisi terbaru Clara, hari-hari Darel juga
berjalan dengan rumit. Pada bulan pertama, Darel
rasanya seperti mau gila, dan berkeinginan kabur untuk
tinggal di gunung sejenak. Biar yang merasa kehilangan
bukan dirinya saja, tapi Clara juga. Hanya saja niatnya
batal karena ia harus datang ke sekolah.

Bulan kedua, Darel sudah gila betulan. Ia menghubungi


Clara berkali-kali, mendatangi rumahnya yang
senantiasa kelihatan sepi, kemudian sampai-sampai
mengecek semua aktivitas akun di media sosial Clara.
Khawatir bahwa Darel melakukan hal salah, jangan-
jangan Clara seperti ini karena Darel, atau misalnya
karena hal lain, Darel tidak tahu. Ia tidak pernah tahu.
Darel seperti digantung di tengah lautan. Berontak dan
dijatuhkan mati, berdiam diri juga bisa mati. Pada
akhirnya, Darel membotaki diri. Bukan botak yang

63
kehilangan rambut, bukan. Cuma memangkas rambut
seperti potongan wajib militer di seluruh dunia. Dan
setelah itu, Darel mulai bangkit.

Jadi pada bulan ketiga, baru Darel sukses membiasakan


diri dan melakukan rutinitasnya sehari-hari, yakni
dengan basket, main game, dan makan secara teratur.
Darel mulai mengikhlaskan Clara perlahan-lahan,
mungkin ia memang butuh waktu, mungkin ia ingin
sendiri dulu.

Baru ketika akhir bulan ketiga, ketika Acha tiba-tiba


datang ke lapangan basket untuk menemuinya ... semua
rasa kehilangan yang Darel coba simpan, mendadak
datang dan meluber keluar lagi. Seperti hutang, bahwa
rindu juga harus dibalas.

Apalagi di saat Acha menunjukkan percakapan


bundanya Clara, makin memuncak saja semua emosi
yang Darel miliki.

64
Jadi pada akhir bulan September ini, Darel kembali
kacau. Ia menjadi kacau lagi dan merasa tidak berharga
karena Clara seperti menganggapnya ghaib. Seolah-olah
Darel ini hantu, maka dari itu tidak bisa diajak bercerita.
Padahal, Darel selalu memprioritaskan Clara di atas
segala aktivitas hariannya dalam hidup.

"Bim," panggil Darel.

Keduanya berjalan beriringan menuju tempat parkir


motor dengan santai. Dari kejauhan saja, mereka sudah
bisa melihat kemacetan yang terjadi di sana. Karenanya,
tidak ada yang ingin terburu-buru, tidak ada yang ingin
bergabung dengan hiruk-pikuk orang-orang.

"Kenapa?" tanya Farel, masih berjalan pelan.

"Clara ... menurut lo gimana, sih?"

Farel tertawa renyah mendengar pertanyaan Darel yang


terdengar seperti orang bodoh dan kehilangan akal.
"Menurut lo sendiri?"

65
Darel mendadak berhenti. Maka Farel juga melakukan
hal yang sama.

"'Kan gue nanyain pendapat lo dulu!"

"Kalau menurut gue, sih..." Farel mengelus dagunya


sambil berpikir, "toxic, ya. Dia silent treatment sama lo
sampai tiga bulan, bikin lo jadi gila dan hilang akal.
Kalau gue jadi lo sih, gue minta putus," katanya enteng.

"Putus? GILA AJA LO."

"Ya 'kan kalau gue, buat lo mungkin lain. Bebas aja,


sih." Farel mengedikan bahu acuh tak acuh. "Emang
kenapa? Kepikiran apa?"

Ditanya begitu sukses membuat Darel langsung diam


dan termenung. Laki-laki itu menunduk, melihat sepatu
ketsnya yang dekil tidak tertolong sambil memain-
mainkan kaki, bingung mau menjawab apa.

"Gue mungkin ngerasa ... hubungan ini nggak


berkembang, Bim," jujur Darel dengan berat hati pada

66
akhirnya. "Tapi nggak segampang itu juga buat putus.
Terlepas dari semua perjalanan kita dua tahun, gue juga
masih sayang sama dia."

Farel memutar seluruh tubuhnya untuk menghadap ke


arah Darel dengan sempurna dan memegangi kedua
pundak laki-laki di depannya. "Rel, gue tanya sekarang,
lo bahagia nggak sama Clara?"

Darel terdiam lagi. Tidak mampu menjawab.

"Dan Clara bahagia nggak sama lo belakangan ini?"

Mata Darel memanas. Ia melepas diri dari genggaman


Farel di pundak, takut kalau sohibnya itu bisa menyadari
mata yang mulai berkaca-kaca. "Gue nggak tau, Bim.
Gue nggak tau."

Farel menatap Darel dengan prihatin. "Rel, awalnya


memang berat, tapi kalau udah dilepas, lama-lama juga
lega, kok."

67
Darel masih membatu. Ia tidak ingin putus dari Clara.
Tidak akan pernah mau.

***

"Mau mampir dulu nggak, Kak? Sebentar lagi Ayah


pulang," kata Clara menawarkan, seraya membuka pintu
gerbang lebih lebar supaya motor laki-laki itu bisa
masuk.

Tapi Dika, dengan halus menolaknya, "Lain kali aja yaa,


Clara."

"Oh okee." Clara menarik lagi gerbangnya. Tapi tidak


sampai tertutup rapat, karena gadis itu masih mau
memandang Dika dengan jelas, tidak terhalang
sedikitpun. "Kalau dilihat-lihat lagi, Kak Dika banyak
berubah," ujar Clara membuat Dika sedikit salah
tingkah.

"Berubah yang dalam hal baik atau hal buruk?"

"Hal baik."

68
Dika menarik senyum. "Terima kasih, Clara."

Clara ikut membuat lengkung senyum. "Sama-sama.


Makasih juga udah narik aku ke luar dari kamar, selama
proses persidangan aku nggak pernah ngelewatin pintu
gerbang. Sama sekali nggak pernah."

"Berarti besok udah bisa masuk sekolah lagi, yaa?"

Mengingat sekolah membuatnya mengingat Darel. Maka


lengkung senyum di bibir Clara perlahan-lahan
memudar, tapi sepertinya gagal dipahami oleh Dika.

Senja sudah ditelan malam. Kini langit ganti


menayangkan bintang-bintang berpendar dan bulan yang
penuh dan cerah. Kemudian suara jangkrik bernyanyi
sahut-sahutan, kadang-kadang katak juga ikut ambil
bagian.

Jadi seharian ini ... Clara benar-benar merasa bahagia


dan penuh bersama Dika, bukan bersama Darel.
Mengingat Darel membuat Clara teringat akan semua
perkataan kasarnya yang menyakiti perasaan. Sayang

69
sekali, seandainya saja karakter Darel seperti Dika, pasti
Clara merasa lebih nyaman.

"Iya, mungkin besok aku udah masuk," jawab gadis itu


tidak bertenaga.

"Kok lemes?" Dika mendekat dan mengusap rambutnya


dengan acak. "Semangat ya, kamu pasti bisa melalui ini
semua."

Dan di saat itu juga, detak jantung Clara lepas dari irama
normalnya.

70
09. Rumpang yang Magis

S etelah Dika pergi dengan motor besarnya dan


diikuti suara deru mesin yang kencang, Clara
segera masuk ke dalam rumah lalu merebahkan diri di
kasur.

Tubuh Clara langsung berterima kasih karena rasanya


nyaman sekali bisa tiduran di atas ranjang yang empuk,
setelah ia sudah lama tidak berjalan nyaris seharian.

Gadis itu kemudian fokus memandangi langit-langit,


seraya membuat kompilasi atas aktivitasnya hari ini
dalam kepala. Hari ini adalah hari pertama yang
menyenangkan selepas tragedi tidak mengenakkan itu. Ia
pergi makan es krim di tengah terik matahari (meski
bajunya berujung nahas karenanya), ia makan siang

71
dengan sepiring siomay sambil berbincang-bincang hal
menarik yang selalu bisa membuatnya tertawa, dan
ditutup pada kunjungan ke kafe yang nyaman; yang
sukses membuat Clara betah lama-lama. Setelah tiga
bulan terasa sulit, hari ini rasanya seperti mimpi. Mimpi-
mimpi baik yang tidak datang dengan sering.

Lalu kepala Clara secara otomatis dipenuhi oleh suara


tawa Dika, senyum cowok itu, bahkan sampai
pembicaraan konyolnya, yang berhasil menghangatkan
pipi Clara dan membuatnya jadi merah merona. Di
samping Dika, entah kenapa Clara bisa merasa baik-baik
saja. Di samping Dika, rasanya Clara bisa menerima
keputusan bundanya yang memilih meninggalkan
mereka. Tidak tahu mengapa alasannya.

"Aku nggak ngerti sih, ya, tapi mungkin Tante Maya


ingin mencari bahagia yang nggak pernah ia dapat," jelas
Dika ketika Clara selesai bercerita dan mereka duduk
bersampingan di alun-alun kota. Maya adalah nama
panggilan bundanya Clara. "Kedengaran egois memang,

72
tapi masing-masing individu punya hak juga buat
bahagia, 'kan?"

Clara mengingat-ingat lagi percakapan mereka siang


tadi. Percakapan yang sukses menenangkan pikiran Clara
dan berhasil membuatnya berhenti mengutuk dunia.
Percakapan yang sangat berarti baginya.

"Kadang nggak semuanya bisa dimengerti, Ra. Dan


nggak semuanya bisa sesuai ekspektasi kita juga." Dika
menunduk, melihat jari-jarinya yang bertautan satu sama
lain. "Aku minta kamu untuk manajemen pikiran lagi,
ya. Kamu harus fokus sama hal-hal yang bisa kamu
kendalikan, Jangan malah sebaliknya."

Clara diam, hampir mau menangis siang tadi.

"Tapi perasaanmu valid, kok. Aku paham rasanya


ditinggal. Ibu aku pergi karena dijemput Tuhan, tapi
bundamu pergi karena pilihannya sendiri. Sama-sama
punya sakit, sama-sama merasa dicurangi. Jadi aku
mengerti kenapa kamu memilih kabur sejenak dari

73
lingkungan sosial," lanjut Dika lagi sambil menatapnya
dalam-dalam kini. "Tapi semoga, kamu nggak seperti
aku ketika itu, lari dari kenyataan hampir setahun dan
menyesal setelahnya karena ketinggalan banyak hal."

Clara menghapus jejak air di ujung matanya, lalu


menghirup udara segar untuk mengurangi rasa sesak di
dada.

"Kesimpulannya, kalau kita mau berdoa kepada Tuhan,


kita harus berdoa dengan jelas. Sangat jelas," kata Dika.

Clara terkekeh.

"Lah, aku serius!"

"Kok gitu?" tanya Clara.

"Iya, biar Tuhan ngerti doa mana yang harus


diwujudkan. Jangan cuma bilang, 'tolong kabulkan
mimpi-mimpi saya.' Karena 'kan, mimpi-mimpi ada yang
baik dan buruk juga."

74
Kini Clara tertawa dengan sempurna. Sesaknya
mendadak menghilang begitu saja. "Iya ya Kak, kayak
lagunya Nadin Amizah." Clara mengayunkan tubuhnya,
merasakan angin yang meniup secara lembut. Bersiap
untuk menirukan lagunya.

"Katanya mimpiku 'kan terwujud--" nyanyian merdu


Clara dipotong.

"Mereka lupa tentang mimpi buruk," lanjut Dika


bernyanyi, sambil tersenyum.

Clara membalas senyumnya.

"Tentang kata, 'maaf, sayang aku harus pergi,'" terus


keduanya berbarengan, bernyanyi dengan hati yang
damai dan hangat.

Malam ini Clara mengambil ponsel di tas selempang


putih yang tadi ia bawa. Jemari lentik gadis itu pergi ke
suatu aplikasi dan mencari-cari lagu yang berhasil
membuatnya merasa baik-baik saja hari ini.

75
"Ketemu," bisik Clara kepada diri sendiri, senyumnya
mengembang.

Maka, malam ini Clara ditemani oleh lagi Rumpang


dengan alunan gitar akustik dan lirik yang
disempurnakan oleh nada-nada indah milik Nadin
Amizah. Mendengar ini rasanya seperti diakui; seperti
dimengerti. Rasanya ... magis sekali.

Sempat ku berpikir masih bermimpi


24/7 tanpa henti
Matahari dan bulan saksinya
Ada rasa yang tak mau hilang

Aku takut sepi, tapi yang lain tak berarti

Katanya mimpiku 'kan terwujud


Mereka lupa tentang mimpi buruk
Tentang kata, 'maaf, sayang aku harus pergi'

Clara menyesap tiap-tiap liriknya, memaknai setiap kata


yang seirama dengan alur hidupnya.

76
Sudah kuucap semua pinta
Sebelum ku memejamkan mata
Tapi selalu saja kamu tetap harus pergi

Air mata Clara meleleh lagi pada malam ini. Namun


sekarang, bukan rasa sedih mendalam yang membuat
Clara menangis, melainkan proses penerimaan tentang
bundanya yang sudah benar-benar pergi dari sini. Dan
Dika-lah yang membuatnya mengajarkan hal itu, bukan
Agung, bukan Darel, tapi Dika.

Dika yang membawa kemagisan dalam hidupnya. Dika


—teman masa kecil Clara—yang menolongnya, bukan
yang lain.

77
10. Relung kosong

D arel frustasi. Asam lambungnya masih kumat


sampai malam ini dan itu membuatnya
kesakitan setengah mati. Darel juga sudah mondar-
mandir ke kamar mandi untuk memuntahkan semua isi
perutnya. Jangankan mengonsumsi nasi, minum teh
hangat yang dibuat oleh ibunya saja ia keluarkan lagi.

"Kamu tuh, tau ada asam lambung malah nggak makan


siang!" kata mamanya menyalahkan ke Darel yang baru
kembali dari kamar mandi.

Laki-laki itu kini berbaring di atas sofa ruang tengah,


matanya ia pejamkan berharap bisa tidur saja dan esok
akan kembali seperti semula. Darel keringat dingin, ia
mual-mual dan sedikit pusing. Asam lambungnya naik

78
sampai-sampai ia gagal mencerna semua yang masuk ke
dalam perut. Oleh sebabnya laki-laki itu jadi menyesal,
kenapa juga ia harus menolak makan siang hanya karena
Clara selalu ada di pikirannya? Itu tidak masuk akal.

Karena kalau seperti ini, Darel sendiri juga yang rugi.

"Minum obat lagi, ya." Nada mamanya sekarang berubah


menjadi lembut, merasa prihatin melihat anaknya
sengsara seperti ini.

Kemudian mamanya pergi mencari kotak obat,


meninggalkan Darel di ruang tengah sendiri.

Rumah Darel hening. Mungkin karena sudah tengah


malam juga, jadi tidak ada suara berisik dari dua adik
laki-lakinya yang sering bertengkar, tidak ada suara
Budhe Sari (pembantu rumah tangga) yang mengerjakan
tugas rumah sambil menyetel lagu-lagu dangdut, dan
tidak ada suara papanya karena beliau jarang pulang,
sebab sering memiliki proyek di luar kota. Soal papanya,
tak jarang Darel merasa kesepian. Tidak seperti remaja

79
pada umumnya yang sering berguyon dengan sang ayah,
Darel justru hanya menemui papanya paling tidak
seminggu dalam sebulan.

Darel memang tinggal di rumah yang besar bak istana,


dengan banyak sekali fasilitas yang mungkin tidak
dimiliki oleh teman-teman sebayanya. Tapi tetap saja,
Darel iri jika melihat ada orang-orang yang bisa pergi
berlibur dengan sang ayah. Darel iri ketika mengetahui
teman-teman sebayanya sering mendapatkan saran-saran
bijaksana dari sang ayah. Atau larangan-larangan yang
membuat Darel merasa diperhatikan seperti orangtua
dari remaja bandel pada umumnya. Semua yang
disebutkan itu adalah hal yang sangat sulit sekali untuk
Darel dapatkan. Sebab papanya, tidak pernah
mengetahui aktivitas Darel bagaimana. Papanya cuma
peduli dengan bisnis, bisnis, dan bisnis. Uang lagi, uang
lagi.

Tidak peduli tentang perkembangan anaknya, tidak acuh


tentang perilaku anaknya, Papa Darel justru lebih

80
penasaran dengan: apakah Darel mau melanjutkan usaha
yang sudah dibangun dari nol olehnya? Tidak lebih, dan
tidak kurang. Papanya cuma peduli siapa yang bisa
mewariskan apa-apa yang sudah ia mulai.

Karenanya, Darel membutuhkan Clara. Darel butuh


gadis itu untuk mengisi relung-relung yang kosong di
dalam hidup.

Omong-omong soal Clara, Darel jadi ingin mengecek


ponselnya sekarang. Jangan-jangan ada pesan masuk dari
gadis itu yang belum Darel baca. Maka laki-laki itu
bergegas mengambil ponsel di saku celana untuk
dilihatnya.

"Nggak ada kabar lagi," kata Darel pelan, kepada diri


sendiri.

Ketika ia mengetahui ponsel Darel ternyata bebas dari


notifikasi Clara, pundak laki-laki itu merosot lagi dan
pusingnya jadi semakin menjadi-jadi.

81
"Tau gini nggak usah cek hp," desis Darel seraya
mengurut pelipis untuk mengurangi rasa pening.

Mama Darel datang membawa sekotak P3K dengan


beragam jenis obat-obatan dan penanganan. "Minum
obat dulu, ya."

Darel terbangun dan duduk bersandar pada sofa. "Iya,"


jawab Darel, menahan mual yang datang lagi.

82
11. Tidak Ada yang Tahu

P agi ini tidak ada insiden rumah bau asap


kebakaran dan menelan telur goreng kematangan,
karena Bi Inah sudah datang subuh-subuh ke rumah
untuk menyiapkan sarapan dan menyelamatkan
penghuninya yang masih terlelap.

Dulu, Bi Inah datang pukul sembilan pagi dari tempat


tinggalnya untuk memulai pekerjaan. Tetapi belakangan,
karena tidak ada yang bisa memasak juga di rumah
Clara, Bi Inah jadi diminta berangkat tiga sampai empat
jam lebih cepat oleh Agung hanya untuk memasak nasi
goreng dan membuat telur dadar demi sarapan.

Ketika Bi Inah hampir menyelesaikan masakan, tiba-tiba


Clara terbangun. Gadis itu berhasil mengenali aroma

83
nasi goreng seafood yang menguar sampai kamarnya
melalui ventilasi-ventilasi udara.

Tempat tinggal Clara memang terbilang rumah yang


sederhana. Di dalamnya cuma ada tiga kamar: satu
tempat untuk Clara, satu kamar Agung, dan satu lagi
dijadikan untuk gudang barang-barang tidak berguna di
lantai atas. Kamar Clara posisinya di paling belakang
dan dekat dengan dapur, oleh karena itu Clara bisa
mengendus semua hal yang dimasak bahkan dalam
keadaan tidur sekalipun.

Clara beranjak turun dari kasur, dan niatnya langsung


bulat, tanpa macam-macam gadis itu segera keluar
kamar dan menuju meja makan. Mendadak perutnya jadi
keroncongan jika membaui makanan-makanan enak.

"Eh, Clara udah bangun," kata Bi Inah.

Clara mengusap matanya yang masih lengket sambil


tersenyum singkat. Kalimat pertama yang ia dengar
adalah kalimat yang biasa bundanya ucapkan setiap pagi

84
ketika melihat Clara berdiri tanpa dibangunkan.
Sekarang, bukan Bunda yang bilang begitu, tetapi Bi
Inah.

"Udah lamaaa lho, Clara nggak sarapan. Baru kali ini Bi


Inah liat Clara udah mau keluar kamar tanpa dipaksa-
paksa." Bi Inah tersenyum bahagia. Wanita paruh baya
itu lekas-lekas mengambilkan sepiring nasi goreng
beserta sendok dan garpu untuk Clara.

"Makasih, Bi. Clara udah baik-baik aja sekarang."

Clara menerima piring uluran Bi Inah dan duduk di


kursi, bersiap-siap untuk melahapnya.

"Minum dulu," kata Bi Inah, ia menyerahkan segelas air


yang langsung diterima oleh Clara. "Nggak nungguin
ayahmu bangun? Biar bisa sarapan bareng?"

Clara diam. Lalu menggeleng. "Enggak, Bi."

Bi Inah menatap maklum. Meski katanya Clara sudah


merasa baik-baik saja, tentu tidak secepat itu untuk

85
merasa semuanya 'baik-baik saja'. Bi Inah mengerti
bahwa mungkin Clara butuh waktu. Masih tergolong
wajar, di saat remaja seusia Clara menolak atas
kenyataan orangtua mereka yang bercerai. Dan Bi Inah
sangat memahami itu.

Jadi ia berjalan memutari meja untuk memijat pundak


gadis di depannya, lantas berkata, "Yaudah, yang penting
Clara makannya yang banyak ya, nambah lagi kalau
kurang."

Clara yang asyik mengunyah mengangguk-anggukkan


kepala.

"Bi Inah tinggal urus kebun dulu, ya."

Gadis itu memberhentikan kunyahannya sejenak untuk


menjawab, "Iya, Bi."

Lalu Bi Inah pergi.


⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

86
Sekarang adalah masa-masa paling canggung sedunia
karena Clara berangkat ke sekolah diantar oleh ayahnya
dengan mobil. Mereka duduk bersebelahan di depan, tapi
bahkan tidak ada yang berniat membuka topik
pembicaraan dari keduanya. Tidak untuk Agung, karena
ia bingung ingin mengobrol soal apa dengan Clara
setelah peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan itu. Tidak
juga untuk Clara, karena ia ... yah, Clara tidak merasa
harus 'dekat' dengan ayahnya dalam waktu-waktu ini.
Karena Clara merasa masih butuh waktu, jadi ia diam
saja. Mereka diam saja. Mereka diam sepanjang jalanan
rapat yang dipadati oleh kendaraan merayap.

Syukurnya, sekolah Clara tidak terlalu jauh dari rumah.


Jadi ketika Agung memarkirkan mobil di pinggir jalan,
Clara buru-buru membuka pintu dan turun takut akan
membuat kemacetan.

Ketika Clara sudah turun dengan sempurna dan menutup


pintu mobil ayahnya, Agung menurunkan kaca mobil

87
lalu berteriak di tengah klakson yang memburu-buru,
"Clara yang semangat belajarnya, ya!"

Kemudian Agung berangkat kerja. Belum sempat


melihat tangan Clara yang sudah terangkat untuk tanda
perpisahannya.

"CLARA YA AMPUN!"

Astaga, mendadak leher Clara dirangkul dari belakang


sampai tubuhnya miring mengikuti arah tarikan. Dari
suara barusan, tanpa melihat pun Clara juga tahu siapa
yang merangkulnya seperti ini. Memang mau siapa lagi
selain Acha?

"Akhirnya lo datang juga," ucap Acha dengan senyum


lima jari. "Kangen tau, nggak?"

Clara mencibir. "Bohong dosa lo."

"Benerannnn."

Maka Clara balas merangkul Acha dengan tangan


kirinya, lalu mereka berdua tertawa lebar menyadari

88
waktu tiga bulan ternyata tidak membuat siapa-siapa
berubah menjadi orang asing. "Gue juga kangen, deh."

Dan keduanya berjalan masuk melalui gerbang sekolah


dengan girang. Langkah mereka dibuat seperti anak kecil
sedang berjalan bahagia bersama temannya ketika main-
main.

Baik Clara maupun Acha, tidak ada yang menyadari


bahwa mereka diperhatikan oleh seseorang dari jarak
jauh.

Tidak ada yang tahu.

89
12. Panggung Sandiwara

Ketika melihat kedatangan Clara, kondisi sekolah


langsung ramai oleh sapaan, senyuman, bisikan,
pandangan sinis, cemoohan, dan macam-macam. Sudah
lama sekali dirinya tidak muncul di permukaan, jadi di
saat Clara kembali lagi masuk ke gedung itu, tentu guru-
guru dan siswa-siswi di dalamnya jadi geger, tidak
menyangka-nyangka ia akan kembali, karena dipikir
Clara akan pindah sekolah saking lamanya tidak pernah
muncul.

Clara memang tidak terkenal. Tidak ada aspek yang bisa


membuatnya terkenal karena Clara biasa-biasa saja.
Tidak terlalu cantik dan menarik, karena masih ada yang
lebih-lebih darinya. Kaya juga tidak, karena ayahnya

90
cuma pekerja PNS dengan gaji rata-rata orang Jakarta.
Kebetulan saja Clara bisa masuk ke sekolah
internasional. Kebetulan yang didatangkan oleh Darel,
yang mempunyai orangtua dengan anak perusahaan
fasilitas pendidikan.

Iya, Clara terkenal karena Darel. Karena Darel pacarnya


dan karena Darel yang membantunya untuk bisa sekolah
di sini.

Banyak orang sudah mengetahui alasan mengapa Clara


menghilang tiga bulan ini dari gosip-gosip yang beredar,
tapi orang-orang baik atau orang-orang yang berpura-
pura baik tetap menanyakan Clara tanpa memedulikan
gosip. Mereka bertanya dengan tatapan prihatin. Dan
seperti ekspresi Clara ketika pertama kali ditanyakan di
ruang guru, Clara menjelaskan kepada teman-teman di
kelas soal perceraian di antara orangtuanya sambil
berwajah datar.

91
Cuma menjawab sekilas, dan tidak banyak. Toh juga
buat apa, orang-orang tidak perlu tahu dan tidak benar-
benar peduli.

"Hushh! Hushh!" usir Acha, mengibas-ngibaskan


tangannya. "Udah sono lo pada, ngapain jadi ada
gerombolan ke sini?"

"Yeee, apaan sih! 'Kan gue mau ngasih support ke Clara


biar dia nggak depression," kata salah satu teman sekelas
dengan bahasa bilingualnya, tidak terima.

Acha berdecak sambil geleng-geleng kepala.


"Support apaan. Lo kemarin juga ghibahin Clara, 'kan?
Ngaku lo!"

Clara menarik tangan Acha yang mulai emosi dan


berdiri. Temannya itu memang sangat mudah terpancing,
jadi kalau tidak dibentengi, perang tarik-menarik rambut
mungkin bisa terjadi kapan saja Acha emosi. "Udah,
Acha. Udah," bisik Clara, memperingatkan.

92
Semua orang di kelas menyoraki Acha karena bersikap
semaunya sendiri. Maka kemudian orang-orang yang
mengelilingi Clara itu segera pergi ke bangkunya
masing-masing. Tapi sebelum temannya tadi pindah
posisi, ia memberikan kartu nama yang diletakkan pada
meja Clara. "Kalau lo butuh psikolog, ke sini ya. Itu
klinik nyokap gue. Gratis buat lo."

Melihat itu alis Acha semakin menyatu dan geram.


"Udahhh, sono udah!"

Dan kerumunan itu tidak ada lagi.

Clara mengambil kartu nama itu dan membacanya dalam


hati. Klinik Permata. Itu klinik dengan cabang Rumah
Sakit ternama di Jakarta. Jika keluarga Darel memiliki
ketertarikan pada pendidikan, maka keluarga teman
sekelasnya barusan mempunyai bisnis dan minat pada
dunia kesehatan. Ia pasti anak pemilik Rumah Sakit
Swasta itu, bisik Clara dengan terkagum-kagum sambil
membolak-balikkan kartu nama di tangan. Jujur saja,

93
baru kali ini Clara benar-benar menjadi perhatian
sekolah.

"Lo tertarik buat ke sana?" tanya Acha, karena


menyadari Clara memperhatikan kartu nama itu terus-
menerus.

Clara mengedikan bahu. "Nggak tau, tapi gue simpan


aja. Siapa tau butuh."

Acha kembali duduk di kursi. "Lo belum baikan?" tanya


gadis itu lagi.

Clara menyimpan kartu nama di saku almamater


sekolah, lalu menggeser tubuh untuk melihat Acha lurus-
lurus. "Udah, Acha. Gue udah baikan, kok."

"Beneran ya? Nggak bohong 'kan, sama gue?"

"Iyaa."

"Terus kenapa nyimpen itu? Kalau udah baik, berarti


nggak butuh, 'kan?"

94
Clara termenung selama beberapa saat. Lantas menepuk-
nepuk pundak Acha dengan ekspresi tenang. "Kalau ada
apa-apa, nanti gue cerita sama lo dulu."

Ucapan Clara barusan sukses membuat rasa khawatir


Acha mereda.
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

Pagi ini kondisi perut Darel sudah baikan. Asam


lambungnya tidak lagi naik, dan kepalanya tidak lagi
pusing. Karena itu, Darel bisa masuk sekolah tanpa
merasa berat.

Ketika memarkirkan motor Ducati hitamnya ke area


parkir sekolah bersama Farel, tiba-tiba ada yang
menghampiri mereka sampai berlari-lari.

Itu Rio.

Darel berdecak, sambil melepas helm di kepala.


Omongan ngawur Rio apa yang akan membuatnya emosi
pagi ini?

95
Laki-laki itu turun dari motor dan menyugar rambutnya
yang berantakan. Lalu bersama Farel, mereka
menghampiri Rio yang bernapas terengah-engah.

"Kenapa lagi lo?" tanya Darel.

"Itu ... itu, Clara--"

Karena tidak memprediksi Rio akan menyebutkan nama


Clara apalagi sampai tergesa-gesa datang ke parkiran,
Darel segera sadar bahwa ada sesuatu tentang Clara yang
lagi-lagi tidak ia ketahui. "Kenapa Clara?" buru Darel,
nadanya meningkat antara panik dan penasaran.

"Clara masuk hari ini."

Tanpa banyak bicara, Darel langsung lari tunggang-


langgang menuju kelas Clara. Tidak menyangka hari
pertemuannya adalah hari ini. 

96
97
13. Menolak yang Nyata

S etelah Darel melalui banyak orang di lorong


sampai menyenggol mereka saking terburu-buru,
kini laki-laki itu akhirnya ada di dalam kelas Clara.
Dadanya naik-turun, dan senyum bahagia di bibirnya
terbentuk. Darel menemui Clara lagi setelah sekian lama.
Darel akhirnya bisa memangkas rindu yang sudah tidak
terbendung hari ini. Bahkan dengan melihat kehadiran
Clara ada di kelas dari ranselnya yang tergantung di meja
saja, Darel sudah girang setengah mati.

Langkah Darel maju dengan pasti menuju posisi Clara


yang duduk bersama Acha di area tengah. Orang-orang
yang mengetahui kedatangan Darel mulai bertepuk
tangan riuh dan bersorak gembira. Seperti dalam film-

98
film, seolah pangeran itu datang menemui sang putri
yang sudah lama ia cari.

Sementara itu, Clara yang baru menyadari ada perubahan


suasana di kelasnya menengok kanan-kiri, keheranan dan
tidak mengerti.

Baru ketika orang-orang di depan yang menghalangi


jalan itu menyingkir, terpampanglah Darel sedang
mengarah ke sini.

Laki-laki berjaket kulit hitam itu benar-benar mendekati


Clara. Dan mereka juga sungguh-sungguh menjadi pusat
perhatian kelas mengingat tidak ada yang tidak tahu soal
hubungan Clara dan Darel.

Clara tertunduk malu. Ia mengangkat tangannya untuk


menutupi dahi supaya tidak merasa diperhatikan oleh
banyak pasang mata.

Namun ketika Darel sampai, Darel menarik tangan Clara


yang menutupi wajahnya itu dengan lembut, lalu
memperhatikan orang di depannya ini dalam-dalam.

99
Clara masih cantik, menurut Darel.

Bagi Darel, gadis itu tidak banyak berubah, kecuali


badannya yang mengecil dan kulitnya yang berubah
menjadi pucat. Darel tidak peduli juga Clara mau
berpenampilan seperti apa, karena poin Darel cuma satu:
asalkan dirinya melihat dan bersama Clara, Darel tahu
bahwa dunianya akan baik-baik saja.

"Selamat pagi, Clara," kata Darel dengan nada yang


dimanis-maniskan, membuat kelas menjadi lebih ramai
dan penuh tepuk tangan dari sebelumnya.

Darel hafal semua respon-respon normal Clara di luar


kepala. Dan hari ini, meski gadis itu kelihatan sama saja
dan tampak sedikit sehat dari tiga bulan yang lalu, Darel
tahu bahwa ada yang berbeda dari Clara.

Clara tersenyum sambil balas mengucapkan selamat


pagi. Tapi kali ini, senyum gadis itu berbeda dan tampak
ganjil.

Senyum Clara ... kelihatan palsu.

100
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

Ternyata, kehadiran Clara dalam kelas setelah sekian


lama, tidak lantas membuat pikiran Darel berubah
menjadi tenang. Tidak, tidak sama sekali. Laki-laki itu
justru memiliki banyak pikiran bercabang tentang
mengapa Clara bisa mempunyai sifat dingin kepadanya.

"Bim, gue salah apa, ya?"

Mereka berdua masuk ke dalam kelasnya. Jika Clara dan


Acha kelas sebelas jurusan IPA, maka Darel dan Farel
kelas sebelas jurusan IPS. Kelas mereka memang berada
di lantai yang sama, bedanya hanya ruang kelas IPA dan
IPS cukup jauh. IPA lebih dekat dengan laboratorium,
sedangkan kelas IPS dekat dengan lift dan tangga untuk
turun.

Farel menggantung ransel hitam ke sisi meja, lalu


mengernyitkan kening. Kenapa lagi Darel ini, pikirnya.

"Kenapa emang?" sahut Farel, yang kemudian


mendaratkan diri di kursi.

101
"Iya, maksudnya, gue salah apa? Soalnya senyum Clara
beda, Bim."

Farel langsung terbahak sambil memukul meja. Laki-laki


dengan model rambut yang senantiasa klimis oleh gel itu
tidak bisa menahan tawanya, membuat Darel merasa
kesal alih-alih tercerahkan.

"Lo ketawa lagi, gue acak rambut lo!"

Maka otomatis Farel berdeham dan diam. Ia mengelus


rambutnya yang mesti tertata rapi dan baik, lalu berkata
dengan serius. "Menurut gue, salah lo adalah tidak
rasional lagi. Cinta monyet bikin lo buta dan nggak
masuk akal!" tekan Farel. "Udahlah, Jangan nerusin hal-
hal yang bikin lo sakit."

Farel benar. Hari ini Farel benar. 

102
103
14. Maaf, Clara

Clara dengan seorang wanita paruh baya sedang pergi ke


supermarket untuk berbelanja bahan makanan dan
kebutuhan alat tulis untuk tahun ajaran baru nanti. Dan
tidak seperti biasanya, hari ini mall ramai sekali.
Mungkin karena sedang hari libur nasional, atau
mungkin karena orang-orang juga ingin membeli
kebutuhan untuk masuk kerja atau kampus atau sekolah
seperti Clara.

Ketika mereka asyik memilih buah, menimbang-


nimbang ingin membeli antara buah apel atau buah pir
untuk di rumah, tiba-tiba saja seorang wanita dengan
setelan glamor datang menghampiri. Seorang wanita
dengan anak laki-laki di belakangnya.

104
"Ya ampun, Maya!" seru wanita cantik itu,
perawakannya seperti model-model di majalah dan
berhasil membuat Clara terkejut.

"Bunda, itu siapa?" bisik Clara.

Bundanya, Maya, memekik tertahan kemudian mereka


berpelukan. Ia mencium pipi kanan dan kiri wanita
cantik itu, lalu memperkenalkan anaknya di belakang.
"Clara, ini teman Bunda waktu di SMA. Dewi, ini
anakku Clara," kenal Maya kepada keduanya.

Wanita itu yang bernama Dewi ikut menarik anak laki-


lakinya yang di belakang untuk diperkenalkan. "Clara
cantik, yaa. Oh iya, ini Darel anakku."

"Wahh ... hai Darel, ngomong-ngomong Darel anak ke


berapa, Wi?" tanya Maya kepada Dewi.

Dewi tertawa. "Anak pertama, Maya. Baru anak satu."

Lalu mereka berdua asyik mengobrol. Tidak menyangka


teman SMA-nya ada di mall yang sama, dan sedang

105
berbelanja. Maya langsung melupakan niat untuk
membeli buah, dan Dewi tidak ingat sama sekali
tujuannya ke sini untuk mencari daging sapi kemasan
sebagai menu makan malam nanti.

"Halo," sapa anak laki-laki itu yang membawa keranjang


belanjaan.

"Halo," balas Clara balik, sambil mengangkat tangannya


untuk melambai dengan kikuk.

"Mama kalau udah ketemu temannya, biasa sampai


lama. Lama banget," kata anak laki-laki itu, mengeluh.

"Bundaku juga," ujar Clara, ikut menanggapi meski


malu-malu. "Bundaku pernah ngobrol sama temannya di
kafe dan aku diajak. Waktu itu aku udah minta pulang
berkali-kali, tapi Bunda nggak akan pulang sebelum
pemilik kafenya datang dan bilang kafe mau tutup,"
cerocos panjang Clara kecil dengan suara imutnya.

Anak laki-laki itu terkekeh geli. "Berarti mama kita


sama."

106
"Bunda, aku manggilnya Bunda."

"Oh iya, berarti bundamu dan mamaku sama," revisinya


kemudian. "Aku Darel."

"Clara."

Jadi mereka bersalaman untuk kali pertama. Tidak ada


yang pernah menyangka bahwa hubungan keduanya
terus berjalan sampai remaja.

***

"Clara jelek banget kayak bebek!"

"Darel pantatnya robek!"

"Clara cengeng banget, ingusan!"

"Darel punya banyak upil!"

Keduanya terus memaki satu sama lain sampai yang satu


menyerah dan berakhir menangis tidak terima. Dan
biasa, yang sering kalah dalam adu kejelekan adalah
Clara. Clara sering kehabisan kata-kata jika berdebat

107
dengan Darel. Dan itu bukan satu dua kali saja. Jadi dari
sekarang, sudah dapat dipastikan siapa yang akan
menang juga kalah ketika mereka berdua mulai adu
mulut.

Dewi sudah sering mengingatkan Darel untuk tidak


berbuat nakal. Tapi Darel tetaplah Darel, anak laki-laki
bandel yang sulit diajak untuk mengerti perasaan orang
lain.

Makanya Darel terus melawan dan memberikan kata-


kata yang lebih komplikasi supaya anak perempuan di
depannya ini tidak mampu lagi berkata apa-apa.

"Clara jelek, item, cengeng, ingusan, pendek, gemuk


kayak sapi, dan bergigi ompong! Clara kayak anak
jalanan!"

Nah, jika Darel sudah mengeluarkan semua jurusnya


begitu, Maya  langsung berlari mendekat untuk
menggendong Clara yang menangis sambil menjerit-
jerit. Clara kini menangis histeris, membuat Dewi ikut ke

108
halaman rumah untuk menyentil telinga Darel dan
memarahinya karena sudah berbuat nakal lagi.

Jadi sekarang, keduanya menangis. Clara menangis


karena sakit hati, sedangkan Darel menangis karena
kupingnya disentil.

Dan tentu saja, ini bukan kejadian satu-dua kali. Hal ini
kerap terjadi setiap Clara bermain ke rumah Darel. Tidak
terkecuali.

Clara kecil memang sering main ke rumah Darel


bersama Maya. Clara menyebutnya istana, karena rumah
Darel memang besar betul dan menurut Clara, rumahnya
mirip seperti istana di film Disney.

Pada awal kehadiran, Clara akan memakan beragam


camilan yang ada di sana dengan Darel, sementara
wanita-wanita atau ibu-ibu pergi ke meja teras sambil
meminum kopi dan mengobrol soal apapun itu dengan
heboh. Di rumahnya, Darel akan mengajak Clara main
kejar-kejaran di tempat yang lapang, lalu main mobil-

109
mobilan, lalu main bola basket, lalu memberi makan
ikan di kolam depan, lalu main petak umpet dengan
heboh. Pokoknya semua dicoba sampai mereka berdua
lelah. Dan tanda-tanda lelahnya adalah bertengkar seperti
tadi.

Jika sudah begini, Dewi biasanya meminta tolong ke


Budhe Sari untuk membuatkan dua gelas susu formula
supaya mereka bisa kenyang dan tidur siang.

Jadi ketika segelas susu sudah ada pada tangan masing-


masing, dua wanita itu baru mencoba mengingatkan lagi
dengan lembut kepada mereka untuk tidak nakal, untuk
tidak berkata kasar, untuk saling meminta maaf, dan
untuk saling memahami.

Nah, hari ini ada yang lain daripada hari-hari pada


umumnya. Darel, yang seringkali tantrum dan
membentak-bentak marah karena enggan meminta maaf,
kali ini mengulurkan tangannya ketika disuruh, untuk

110
berjabat kepada Clara dan mengucapkan kata 'maaf'
sambil malu-malu.

"Maaf, Clara."

Itu adalah kalimat permintaan maaf Darel yang keluar


pertama kalinya, dan hari itu ditujukan untuk Clara.

111
15. Ayunan Filosofis

C lara baru pulang setelah puas bermain boneka


dengan anak tetangga. Dan ternyata di
rumahnya yang sederhana, yang tidak besar-besar amat
dan tidak kecil-kecil amat itu, ia mendengar suara
bentakan, gerutuan, makian dari ayah dan bundanya di
dalam. Rumahnya yang sederhana ternyata tidak kedap
suara, dan semua kemarahan bisa terdengar sampai
halaman depan.

"Gajimu tidak cukup untuk membiayai semua kebutuhan


kita, Agung!"

"Kamu selalu main ke rumah temanmu itu, makanya


tidak pernah merasa cukup!"

112
"Kamu menyalahkan Dewi?"

"Aku menyalahkanmu! Kamu selalu merasa kurang,


kurang, dan kurang."

"Memang kurang!"

"Dasar tidak bersyukur!"

"KAMU! Aku susah begini juga karena kamu, Agung!


SADAR!"

Clara menutup telinganya lalu berlari lagi menuju rumah


tetangga. Anak itu ketakutan. Badan Clara gemetar
ketika sampai, dan berhasil membuat tetangganya panik
juga khawatir. Hari itu adalah hari pertama Clara
mendengar kedua orangtuanya bertengkar. Clara kecil
tidak pernah menyangka, bahwa topik perdebatan
orangtuanya itu akan membawa Clara menjadi remaja
yang kesepian nantinya.
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

113
"Bagaimana rasanya menjadi orang kaya?" tanya Clara
ketika bermain ayunan di halaman depan rumah Darel.

Anak laki-laki di depannya berdeham. Ia mengetuk dagu


sambil berpikir berat, seolah-olah hal yang dipikirkannya
ini seberat menjawab bagaimana cara menurunkan angka
inflasi suatu negara.

"Enak," sahut Darel dengan singkat, padat, dan jelas.

Clara mengangguk-angguk mencoba paham. Meski tidak


tahu pasti enaknya kenapa, jadi Clara berspekulasi,
mungkin enak karena bisa diajak jalan-jalan bebas, atau
mungkin karena bisa memakan apa saja, atau mungkin
karena tidak akan mendengar orangtuanya bertengkar
sebab kekurangan uang. Clara mengangguk-anggukkan
kepala lebih dalam lagi, opsi terakhir sepertinya opsi
yang lebih memungkinkan.

"Kamu sendiri, gimana rasanya jadi orang miskin?"


Darel balik bertanya penuh heran. Pasalnya ia tidak

114
pernah menjadi miskin dan malas berpikir jauh
tentangnya.

Kini ganti Clara yang berdeham. Selanjutnya anak


perempuan itu mengayunkan kedua kaki sambil
berwajah murung. "Tidak enak," katanya.

Karena Darel merasa tidak cukup dengan satu kalimat,


dan malas untuk berpikir lebih panjang. Jadi ia bertanya
lagi, "Kenapa?"

"Bunda dan ayahku jadi sering berantem karena kurang


uang. Mereka sering marah-marah seperti, 'INI GARA-
GARA KAMU TIDAK BECUS MENCARI NAFKAH!'
dan lain-lain. Aku jadi sering mendengarnya belakangan
ini," tutur Clara, sedih. "Kadang mereka lembut, tapi
kadang juga mirip seperti monster. Bunda pernah
membawaku pergi ketika selesai berantem dengan
Ayah," lanjut Clara, menceritakan pertengkaran hebat
yang terjadi di antara kedua orangtuanya ketika itu.

"Kamu dibawa pergi?"

115
Clara mengangguk. "Iya."

"Lalu ayahmu?"

"Ayah jadi mencariku dan Bunda sampai ke mana-mana.


Ketika kita ketemu, dia menangis. Tapi aku lebih
menangis karena sedih juga meninggalkan Ayah sendiri
di rumah berhari-hari."

Darel menaik-turunkan kepalanya dan membentuk huruf


O di mulut kecil anak itu. "Ayahmu keren," puji Darel
tak lama kemudian.

"Kenapa keren?"

"Aku pernah sembunyi ke rumah tetangga ujung sampai


dua hari karena ngambek sama Papa, tapi dia nggak
pernah mencariku," jelas Darel seraya mengayunkan
ayunan itu supaya lebih kencang.

Clara refleks berpegangan pada batang ayunan itu


supaya tidak terpental akibat Darel. "Terus?" tanya
Clara, masih penasaran.

116
"Ya terus Mama yang menjemputku. Mama sehari bisa
datang berapa kali untuk menjemputku. Tapi Papa nggak
pernah datang, tuh."

Selepasnya mereka terdiam, mereka tidak melanjutkan


lagi, karena pembicaraan itu terlalu rumit dan filosofis
bagi anak-anak kelas satu SD. Tapi yang masing-masing
mereka pahami, tidak ada yang benar-benar enak di
dunia ini. Kaya ataupun miskin, sama saja. Sama-sama
susah.

"Aku jadi nggak kepikiran untuk kaya lagi," celetuk


Clara setelah bermenit-menit cuma menikmati ayunan.

"Apalagi aku, nggak pernah kepikiran mau miskin."

Mereka berdua tertawa, lalu membahas hal-hal lain yang


lebih bisa dimengerti dan diminati anak-anak seusianya.
Hari itu adalah hari mereka mulai memahami satu sama
lain. Tapi tidak ada yang menyangka juga, rasa untuk
memahami itu bisa pudar kapan saja.

117
118
16. Tukar Posisi

"Clara, aku salah apa?"

Masa-masa istirahat rasanya seperti berjalan panjang


karena sejak tadi Clara diam saja. Gadis itu sama sekali
tidak tertarik untuk membuka mulutnya dan berbicara.
Darel jadi bingung dan kesabarannya juga diuji setengah
mati. 

Mereka ada di tepi lapangan sekolah, jauh dari teman-


teman terdekat untuk membicarakan mengenai hubungan
mengambang tanpa kejelasan. Darel tidak mau jadi
bahan lelucon teman-temannya, dan Clara sendiri sudah
lelah dengan semuanya. Mereka berdua sepakat untuk
bertemu seusai kelas pertama dan membahas topik
penting dengan kepala dingin. Tapi sepertinya, Clara

119
salah paham soal makna "kepala dingin". Karena
sekarang Clara justru jadi dingin betulan. Kepala dingin
yang Darel maksud adalah tenang dan tidak gegabah dan
tidak penuh emosi, tapi Clara justru menerapkan konsep
dingin yang malas bicara.

"Clara, kamu dengar aku nggak?" tanya Darel sekali


lagi, memastikan. Siapa tahu Clara memiliki masalah
pendengaran yang serius makanya sejak tadi tidak
merespon.

Gadis yang dari awal terus menunduk itu pada akhirnya


menengadahkan kepala, membuat Darel menghela napas
lega. Clara mendengarnya.

Karena saat ini Clara sudah memberikan perhatian, maka


Darel segera berterus terang, memanfaatkan kesempatan
yang ada. "Aku nggak ngerti sama hubungan kita
sekarang arahnya ke mana," jelas laki-laki itu, jujur.

120
Clara bergumam, pandangannya menyapu sekeliling
untuk menghindari kontak mata dengan laki-laki di
depannya.

Gadis itu mengembuskan napas berat, lalu menanggapi,


"Aku juga nggak ngerti alur hidupku mau ke mana, El."

Bagi Clara, setelah kasus perceraian kedua orangtuanya,


garis hidup gadis itu jadi abu-abu. Semuanya tidak
pernah jelas. Bahkan hidupnya, sampai sekarang ini,
Clara juga masih merasa mengambang selama menjalani
semuanya. Tidak ada yang jelas. Tidak ada.

Tapi sayangnya Darel tidak mengerti. Darel merasa


bahwa ialah yang paling dirugikan. Darel merasa
hubungan ini tidak beres. Darel merasa ada yang salah
dengan Clara.

"Bukan soal kamu, Ra. Tapi soal kita. Soal hubungan


kita," tegas Darel.

121
Clara mengesah pelan. Merasa tidak berguna
membicarakan semua ini. "Kamu nggak bakal ngerti,
El."

"Nggak ngerti? Aku sering ditinggal Papa, dan aku


nggak apa-apa."

"Bukan soal ditinggal atau enggak!" Nada Clara refleks


naik, emosinya mendadak membuncah. "Semuanya udah
nggak sama lagi!"

"Kamu yang nggak sama!" elak Darel, ikut menaikkan


suaranya.

"Kondisinya yang berubah, Darel!"

"Makanya cerita!"

"Percuma cerita, kamu juga nggak akan ngerti!"

Darel lantas menyisir rambutnya dengan tangan. Laki-


laki itu merasa sangat frustasi. Sama halnya dengan
Clara, napas gadis itu jadi naik-turun dibuatnya.

122
"Hubungan ini nggak pernah stabil, El. Selalu ada
masalah, selalu banyak masalah," tutur Clara ketika
napasnya sudah kembali teratur. "Hubungan ini
sebenarnya nggak pernah jelas. Aku juga nggak inget
kenapa dulu kita memulainya."

Darel tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri yang


teriris. "Kamu sebenernya kenapa, sih?"

Clara menggelengkan kepala. "Kalau hubungan kita


dijadiin buku, aku yakin hubungan ini nggak jelas dari
awal. Abu-abu, penuh racun, rusak."

"Kamu ngomong apa sih, Ra?"

Clara diam bergeming. Gadis itu tidak berkata apa-apa


selama beberapa saat, membiarkan suara tawa anak-anak
di lapangan mengisi relung kosong keduanya.

Sementara itu, selama Clara terdiam, Darel berpikir


panjang. Darel berusaha merunutkan semua peristiwa
mereka, kejadian demi kejadian, tawa demi tawa, dan
emosi demi emosi ... Darel berusaha mencari sebenarnya

123
kapan titik awal hubungan ini mulai tidak jelas. Karena
bagi Darel sendiri, semuanya jelas. Jelas sekali.

Mata Darel berkaca-kaca, tapi laki-laki itu menahannya


agar tidak mengalir di pipi dan mengganggu citra
maskulinnya di sekolah.

Sedangkan Clara ... ia merasa kosong. Clara merasa mati


rasa.

"Semuanya udah nggak sama lagi, El," lirih Clara,


mengucapkan sebuah kalimat yang tidak pernah Darel
mengerti. "Kamu nggak bakal ngerti..." katanya sekali
lagi.

Dan ketika Clara mengatakan itu, Darel sadar bahwa


Clara sudah menciptakan batas di antara mereka. Darel
langsung menyadari bahwa mungkin dirinya sudah di
luar lingkaran terdekat Clara yang bisa membuat gadis
itu merasa nyaman. Darel sadar, dirinya sudah
tersisihkan, entah karena apa.

124
Lalu mungkin juga benar, seperti kata Clara, jika kisah
mereka ini dibukukan ... mungkin dari awal semuanya
tampak kabur. Kisah mereka mungkin memang bukan
kisah yang cocok dijadikan bacaan.

"Kenapa aku dibilang nggak bakal ngerti?" tanya Darel


untuk terakhir kalinya.

"Karena kamu bukan aku," jawab Clara untuk terakhir


kalinya.

"Kalau begitu semoga aku bisa tukar posisi dan jadi


kamu, biar ngerti apa yang kamu rasain," sahut Darel
untuk terakhir kalinya.

Clara diam saja. Tidak menyahut lagi atau apa.

Dan tidak ada yang pernah menyangka ... keesokan


harinya Semesta akan mengabulkan permintaan Darel
baru saja.

125
17. Terbangun dalam Anomali

D arel menguap lebar. Laki-laki itu merentangkan


kedua tangannya lalu terbangun sambil
menyibakkan selimut. Rasanya waktu seperti bergerak
cepat dan singkat. Hari ini ia sudah harus berangkat
sekolah lagi dan mendengarkan guru-guru berbicara di
depan papan tulis kelas kembali. Hari-hari berjalan
konstan dan menyebalkan. Darel mendengus kasar,
lantas menurunkan kedua kakinya dari ranjang.
Seandainya hidup memberikan waktu sebentar untuk
istirahat dari sekolah, ia pasti bisa hidup lebih
berkualitas dan bahagia.

Namun ketika ia menurunkan kedua kakinya, mata Darel


tiba-tiba membelalak lebar.

126
Darel tahu, nyawa Darel memang belum terkumpul
sepenuhnya, mata laki-laki itu juga masih lengket dan
memerah. Tapi, tidak ada yang salah dengan penglihatan
Darel pagi itu. Darel yakin, dirinya tidak salah.

Darel yakin, matanya tidak salah ketika menyadari


bahwa kakinya ... berubah.

"ANJING!" lepas Darel begitu saja dari mulutnya.

Selain kaki yang berubah, nada Darel juga berbeda.


Darel kaget bukan main. Nadanya jadi melengking dan
ringan dan aneh. Tidak berat seperti biasanya. Kaki
Darel juga jadi jenjang dan mulus, tidak berbulu tipis
seperti sebelumnya.

Jadi pagi-pagi degup jantung Darel sudah berdebar keras


seperti dentuman drum pada acara sirkus. Mengetahui
semua terlalu anomali, Darel segera menelaah seluruh
tubuhnya, dari rambut sampai ujung-ujung kaki, dan
semua benar-benar berbeda. Ini bukan tubuh Darel yang
biasanya.

127
Maka kemudian ia menepuk pipi dengan kencang,
berusaha membangunkan diri.

Tapi setelah sudah berkali-kali menepuk pipinya sendiri,


dan tidak ada yang berubah dari realitasnya, Darel yakin
sesuatu sedang terjadi. Bahkan kamar yang ditempatinya
sekarang bukanlah kamar yang semalam ia pergi tidur.
Bukan kamar tempat ia biasa bermain game secara
leluasa dari set up mejanya yang menawan. Darel justru
berada pada ruangan yang asing, yang banyak rak buku
dan cermin dan berbagai produk kecantikan.

Ah, cermin.

Dengan lemas, Darel berusaha melangkahkan kaki


menuju depan cermin untuk melihat perawakannya
sekarang. Ia menelan ludah susah payah dan mencoba
menerima apapun yang akan muncul di cermin nanti.

Darel melangkah dengan mata terpejam. Tangannya


berusaha meraba-raba sekitar, untuk mengetahui
jaraknya dengan cermin apakah sudah tepat atau belum.

128
Baru ketika dirasa ia sudah benar-benar di hadapan
cermin, Darel merapalkan doa seraya membuka kelopak
matanya perlahan-lahan.

Benar-benar perlahan, karena Darel tahu, ketika ia


membuka mata, semua tidak akan sama lagi.

Seperti sekarang, setelah Darel membuka seluruh


matanya dengan lebar ... ia memegangi cermin full
body tersebut dengan tatapan tidak percaya.

Nyawanya Darel, tapi perawakan di cermin itu bukan.

Nyawanya Darel, tapi cermin itu malah memantulkan


sosok Clara Amerta.

Permainan apa lagi ini?


⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

Darel keluar dari kamar dengan perasaan canggung dan


bingung. Pasalnya laki-laki itu tidak mengerti apakah
kini ia sedang berada di alam mimpi atau sungguhan
terjadi. Kalau di alam mimpi, syukur saja. Tapi jika

129
betulan terjadi, Darel harus menjaga sikap dan tidak
kelihatan mencolok. Namun kelihatannya ini betul-betul
nyata, karena Darel tidak bisa pergi tidur lagi (tidak
seperti biasanya), dan ia sudah memukul diri berulang
kali, tapi tidak kunjung mengalami perubahan juga.

Maka keputusan terakhir adalah mengikuti alur konyol


ini. Dan seperti sekarang, Darel keluar dari kamar
dengan linglung ke arah suara orang memasak di dapur.

Itu Bi Inah, kata Darel dalam hati.

Darel mengenal Bi Inah karena wanita paruh baya itu


sudah menjadi pembantu rumah tangga Clara selama
bertahun-tahun, dan dulu Darel suka mengantar-jemput
Clara dari dan ke sekolah. Maka sosok Bi Inah tentu
bukanlah sosok yang asing bagi Darel.

"Clara udah bangun," kata Bi Inah sambil tersenyum.

Nah, ini baru yang membuat semua tampak asing. Darel


hidup dalam tubuh yang lain; dalam tubuh Clara. Selain

130
itu Darel tidak terbiasa mendengar dirinya dipanggil
dengan sebutan Clara. Kedengarannya aneh dan geli.

"Bi Inah masak apa?" tanya Darel sambil menggaruk


tengkuk yang tidak gatal.

"Nasi goreng kesukaan Clara." Bi Inah tertawa sendiri.


"Nggak apa-apa, 'kan, kalau nasi goreng lagi?"

Darel berusaha menahan ringisannya. Memang kapan


Darel pagi-pagi makan nasi goreng? Tapi berusaha ia
tepiskan pikiran itu dari kepala. "Nggak apa-apa, Bi,"
sahut Darel berusaha lembut, lantas duduk di kursi meja
makan.

Setelah masakannya siap, Bi Inah sibuk mengambilkan


makanan untuk Darel.

"Om Agung ke mana, Bi?"

Bi Inah berhenti mengambil sepiring nasi, seraya


mengernyitkan dahi tidak mengerti. "Om Agung?" ulang
Bi Inah.

131
"Iya--" Darel membatu. Sial, rutuknya dalam hati. "Ayah
maksudnya, Biii. Serius amat," seloroh Darel, berusaha
mengalihkan perhatian sambil terkekeh kecil yang
dipaksakan.

Bi Inah geleng-geleng kepala, dan ikut tertawa.


Membuat Darel bisa menghela napas lega.

"Masih di kamar kayaknya. Kenapa?"

"Makannya nunggu Ayah aja," jawab Darel enteng.

Dan Bi Inah nyaris terkena serangan jantung ketika itu


juga.

132
18. Lucid Dream

B eberapa hal yang Darel tangkap di hari


pertamanya menjadi Clara adalah ... suasana
hangat itu tidak tinggal lagi di rumah ini. Seingat Darel,
keluarga Clara adalah keluarga yang harmonis. Meski
kadang-kadang ada konfliknya juga, tapi keharmonisan
keluarganya seringkali membuat Darel iri.

Sekarang setelah perceraian itu datang, tidak ada lagi


yang Darel inginkan dari kehidupan Clara. Hari-hari
Clara terasa kelam dan sunyi. Tidak ada obrolan hangat
di antara ayahnya, kecuali Bi Inah yang senantiasa
mencairkan suasana.

"Clara yang semangat belajarnya, ya! Biar bisa keliling


dunia kayak mimpi Clara waktu kecilll sekali," pesan Bi

133
Inah ketika Darel hendak pamit berangkat ke sekolah
bersama Ayah.

Darel terkekeh mendengarnya, kemudian salim, lalu naik


ke mobil.

Tidak lama kemudian mobil mereka berangkat keluar


dari parkiran. Tujuan pertamanya adalah sekolah,
seorang pria di sampingnya memiliki kewajiban untuk
mengantar Clara sekolah seperti biasanya. Dulu kalau
bukan Agung yang mengantar, Darel suka menjemput
Clara hampir setiap hari, dengan catatan jika ia tidak
bangun kesiangan. Tapi ketika masalah itu datang, Darel
sudah lama juga tidak mendatangi rumah ini.

Darel mengetuk-ngetuk jemari di atas roknya. Jujur,


Darel merasa tidak nyaman dengan setelan pakaian ini.
Rasanya seperti ingin dipermalukan di depan teman-
temannya.

Semoga ini hanya mimpi, batin Darel. Mimpi yang


realistis, sambungnya lagi dalam hati.

134
"Clara," panggil Agung di sisinya. Membuat Darel
menoleh ke samping. "Gimana kalau kita pindah
sekolah?" tanya Agung dengan nada ragu, pandangannya
tidak lepas dari setir mobil dan jalanan di depan.

Sementara itu Darel membelalakkan mata lebar-lebar,


terkejut. "Ngapain pindah, Yah?"

Agung mengedikan bahunya. "Demi kebaikan bersama,


'kan? Kita bisa mulai lagi semuanya dari awal. Bisa cari
teman lagi, lingkungan baru lagi, yang lebih cocok sama
kondisi kita sekarang."

Darel tidak mengerti. "Emangnya kondisi kita sekarang


kenapa?"

"Ayah tahu kamu kurang nyaman tinggal di sini, setelah


semua kejadian buruk menimpa." Ada jeda sejenak dari
kalimatnya. Agung menggumam sebentar. "Ayah cuma
takut ... kamu bisa ketemu sama bundamu lagi di sini.
Ayah takut kita sama-sama nggak bisa lepas dari trauma

135
karena masih tinggal di kota yang sama, kehidupan yang
sama."

Darel tidak lagi menoleh ke samping. Kini fokusnya


buyar. Lebih buyar lagi dari sebelum-sebelumnya.

Semoga ini benar-benar cuma mimpi, tekan Darel lagi


dalam diri.

Laki-laki itu terdiam panjang. Ia memilih


memperhatikan kendaraan yang padat saja di depan sana
ketimbang memikirkan apakah ini betulan mimpi atau
kenyataan yang terus terjadi. Pasalnya semua terasa
seperti lucid dream, yaitu ketika kamu merasakan
sedang hidup dalam mimpi, dan berada dalam
kebimbangan yang nyata karena bingung ini benar
mimpi atau hidup sehari-hari.

"Lalu bagaimana dengan Darel?" tanya laki-laki itu,


berusaha memancing pikiran Agung mengenai dirinya.

136
Agung menaikkan kedua alis. "Malahan Ayah kira kamu
udah bubar sama Darel," cetus Agung ringan. "Darel
nggak pernah nengokin kamu kenapa?"

"Aku larang," sahut laki-laki itu berusaha mencocokkan


kenyataan.

"Kenapa kamu larang?"

"Karena—" Darel terdiam. Jawabannya menggantung di


sana, seperti angin lalu.

"Kenapa?" tanya Agung lagi.

Darel masih diam. Ia bingung bagaimana menjawabnya,


karena Darel tidak tahu betul apa isi kepala Clara.

"Karena udah nggak nyaman lagi, 'kan?" seloroh Agung


membuat Darel semakin gamang.

Maka ia menyandarkan tubuh pada kursi mobil, lalu


melipat kedua tangannya dan mengalihkan perhatian ke
sisi yang lain. Lebih memperhatikan mobil dan motor

137
yang ikut berlalu untuk meringankan kekhawatiran di
kepalanya.

"Entahlah," jawab Darel, dengan tatapan kosong.

138
19. Laki-laki Bercahaya

A gung menurunkan Darel tepat di depan gerbang


sekolah karena pria itu harus bergegas juga
untuk sampai di kantor dengan tidak terlambat. Lalu
karena banyak mobil di belakang yang ikut mengantre,
maka mau tak mau Darel harus cepat-cepat turun dari
mobil sebelum diklakson panjang.

"Makasih, Yah, udah nganterin. Hati-hati di jalan," pamit


Darel sebelum pintu mobil tertutup rapat.

Laki-laki bertubuh perempuan itu segera menyingkir dari


jalan dan pergi ke tepian. Lantas Agung menekan gas
seraya menurunkan jendela mobilnya untuk
melambaikan tangan. "Semangat belajarnya!" kata
Agung sambil pergi.

139
Darel tersenyum hangat meski hatinya sedang muram, ia
mengangkat tangan untuk balas melambai.

Lalu, mobil Agung ditelan oleh jarak dan kendaraan-


kendaraan lain yang bergerak.

Darel menurunkan tangan dengan hampa, selanjutnya ia


mengembuskan napas berat. Darel tidak bisa
membayangkan jika semua ini adalah nyata, jika Clara
akan segera pergi dari tempatnya. Maka kondisi perasaan
Darel sekarang sangat berkecamuk dan campur aduk.
Darel mau berteriak keras mendadak seperti orang gila,
tapi ia sadar juga bahwa dirinya berada di tubuh Clara.
Tapi terlepas dari rencana Agung yang membuatnya
diam seribu bahasa, ada sosok ayah yang disukainya.
Sosok ayah yang senantiasa menemani anak ketika
hancur meski dirinya sendiri juga rapuh. Sosok ayah
yang tidak Agung miliki. Bagaimanapun juga, walau
tidak sempurna, kehidupan Clara berhasil membuatnya
iri.

140
Kemudian ia menggelengkan kepala, berusaha
memecahkan gelembung pikiran yang mengganggunya
pagi-pagi dari menjalani rutinitas harian. "Pagi-pagi
udah bengong aja," keluh Darel kesal kepada diri sendiri.

Jadi ia berbalik badan hendak memasuki gerbang


sekolah, tapi entah mengapa, semuanya tiba-tiba ...

... gelap.

Gelap gulita.

Pandangan Darel mendadak menghilang. Tidak ada lagi


gedung sekolah di depannya, tidak ada lagi jalanan ramai
dan antrean mobil yang rapat di sisinya, dan tidak ada
lagi orang-orang berpakaian seragam rapi berjalan
masuk ke dalam sekolah.

Tidak ada. Entah kenapa semua gelap. Sangat gelap.

Tidak tahu kenapa hal ini membuat bulu kuduk Darel


merinding. Apakah ia ... sudah mati?

141
Kemudian seperti ada bunyi jari tangan yang menjentik,
mendadak seseorang yang bercahaya ada di depannya,
membuat jantung Darel lepas dari tempat.

"SIALAN!" maki Darel seraya mengatur ritme napas


yang kacau.

"Halo, Darel," sapa laki-laki bercahaya tersebut yang


memegang payung hitam. Payungnya hampir tidak
terlihat karena latar di sini hitam semua, kecuali tubuh
laki-laki di depannya.

Darel menurunkan pandangan ke bawah dan terkejut


ketika menyadari bahwa tubuhnya sudah kembali. Darel
sudah tidak lagi menjadi Clara. Dirinya sudah kembali.
Tapi masalahnya, sekarang ia ada di mana?

"Lo siapa?" tanya Darel sembari mengambil posisi kuda-


kuda. Jadi setidaknya kalau laki-laki bercahaya di depan
itu ingin bertingkah mencurigakan, Darel bisa langsung
melepaskan bogem mentah kepadanya.

142
"Kamu nggak akan ingat nama saya," katanya yang
berjarak beberapa langkah dari Darel. "Tapi kamu harus
ingat ini."

"Ingat apa?"

"Duniamu sekarang bukan mimpi, kamu memang berada


di tubuh Clara," tuturnya lagi.

Darel kembali berdiri tegak, tidak memasang posisi


waswasnya lagi. "Gue ketemu lo aja masih ngerasa ini
cuma mimpi," jawab Darel terang-terangan.

Laki-laki bercahaya itu maju selangkah, membuat Darel


ikut mundur selangkah untuk membuat jarak aman di
antara mereka.

"Lo siapa?!" tanya Darel lagi, kini dengan nada


meninggi karena merasa terancam.

Laki-laki di depannya berhenti mengambil langkah lagi.


Tatapan mata laki-laki itu polos, selain itu ia juga tidak
berekspresi, seperti robot ...

143
... atau hantu baik?

"Saya bukan hantu," katanya. "Saya juga bukan robot."

Mata Darel membulat, ia bisa membaca pikiran!

"Benar, saya bisa membaca pikiran," katanya lagi,


membuat Darel merasa takut. "Jangan takut, saya enggak
gigit," lanjutnya menjawab semua perasaan Darel yang
bercampur.

"Terus lo mau apa?!"

Laki-laki bercahaya itu mengembuskan napas, dan


menurunkan payung hitam yang dipakainya untuk
ditutup. "Kabulkan permintaan," kata laki-laki itu sambil
menunduk.

Pandangan Darel mengikuti tangan laki-laki bercahaya


tersebut, baru kemudian ia kembali buka suara, "Kamu
utusan Tuhan?"

Laki-laki bercahaya itu lantas tertawa. "Entahlah.


Mungkin?"

144
Darel mengernyitkan dahi. "Gue nggak mau ditolong
iblis."

"Saya bukan iblis."

"Ya udah."

Keduanya terdiam, masih sama-sama saling pandang.

Kini Darel harus lebih hati-hati lagi dalam berpikir,


karena seseorang di depannya bisa membaca pikiran.
Darel tidak suka dibaca dengan mudah, rasanya seperti
ditelanjangi. Jadi kembali lagi, Darel benar-benar harus
berhati-hati dalam mengelola pikiran.

"Kamu mau apa?" tanya laki-laki bercahaya itu.

Sedangkan Darel masih tidak mengerti. Pertanyaan mau


apa itu apa maksudnya? Apakah ia bisa mengabulkan
permintaan dalam waktu singkat? Ataukah ia bisa
mengubah realitas yang ada? Atau bagaimana?

145
"Tidak usah banyak berpikir, kamu mau apa?" ulang
laki-laki bercahaya itu lagi. "Saya tidak punya banyak
waktu."

Darel mengerutkan kening lagi. "Kenapa? Lo mau


ngabulin permintaan orang lain juga?"

"Iya, tapi tidak dengan cara ini."

"Maksudnya?"

"Tidak bertemu langsung seperti ini. Saya biasanya


mengekori seseorang dari belakang."

Darel tidak habis pikir. Ia benar-benar bingung dengan


dunianya sendiri.

"Jadi? Bagaimana? Sudah membuat permohonan?" ingat


laki-laki itu.

"Oh iya." Darel kemudian bergumam panjang,


tangannya menyentuh dagu seolah-olah dengan begitu
sesuatu bisa terpikirkannya. "Gue butuh waktu,
mungkin?"

146
"Waktu untuk apa?"

"Untuk mengenali Clara lebih dalam," jelas Darel


dengan lugas.

"Yakin? Itu saja?"

Darel bingung. Tapi kepalanya sedang tidak terpikirkan


apa-apa lagi selain itu. Jadi ia menjawabnya sungguh-
sungguh, "Iya."

"Hm ...." Kini ganti laki-laki di depannya yang


bergumam. "Baiklah, kalau begitu kamu akan menjadi
Clara lagi dalam beberapa waktu."

"Sampai kapan?"

"Sampai kamu kenal Clara betul-betul."

"Terus Clara gimana?"

"Ia juga menjadi dirimu."

147
Darel terdiam sejenak. Ia ingin menanyakan sesuatu, tapi
tidak tahu kenapa, tiba-tiba ia juga merasa tidak yakin
untuk menanyakannya.

"Tanyakan saja," ujar laki-laki bercahaya.

"Apa Clara juga mengharapkan hal yang sama?" tanya


Darel pada akhirnya, dengan penuh keraguan. Ia takut
mendengar jawaban yang akan dilontarkan.

"Bukan. Harapan Clara berbeda," jawab laki-laki


bercahaya lagi.

"Doanya apa?"

"Saya tidak bisa bicara, itu rahasia."

"Lo ketemu dia secara langsung juga?"

"Tidak, saya mengekorinya dari belakang dan


mendengar doanya."

"Kenapa nggak ketemu langsung? Kenapa cuma gue aja


yang disergap kegelapan begini?" tanya Darel tidak

148
terima, pasalnya ia berasa seperti diculik mafia jahat
diam-diam.

"Karena suatu alasan," jawab laki-laki bercahaya itu


dengan mengambang.

149
20. Sirkuit Keajaiban

P andangan dan posisi Darel di area sekolah sudah


kembali lagi. Rasanya memang seperti jentikan
jari, begitu cepat sampai-sampai tidak terasa jika ia baru
saja dipindahkan dari dimensi yang satu ke dimensi yang
lain.

Yang sebelumnya hening dan sepi, sekarang suara


deruan motor dan mesin mobil saling sahut-menyahut,
tidak lupa suara percakapan orang-orang yang
berkolaborasi menciptakan suasana ramai sekolah pada
pagi hari. Pada awalnya, mata Darel agak menyipit
karena terkejut menerima pencahayaan sejelas ini secara
mendadak dari yang sebelumnya hanya kegelapan dan
secercah cahaya saja. Tapi, bukan itu masalahnya.

150
Darel lebih terkejut lagi ketika mendapati ada payung
hitam di tangannya. Ini pasti payung cowok lampu tadi,
batin Darel dalam hati, yang mendefinisikan laki-laki
bercahaya dengan 'cowok lampu'.

"Kalau begitu ini beneran bukan mimpi," gumam Darel,


merinding.

"Claraaa!"

Seseorang dari belakang merangkul lehernya sampai ia


tertunduk. Astaga, siapa yang berani bikin leher orang
nyaris patah pagi-pagi?

"Lo apa-apaan sih, nyet?!" gerutu Darel seraya


melepaskan diri dari rangkulannya.

Kemudian Darel melihat sosok yang merangkul dari


belakang barusan adalah Acha. Dan kini tubuh Acha
membatu.

"Kok lo ngomongnya kasar?" kata Acha, raut wajahnya


keheranan.

151
Darel tergagu dan menggaruk-garuk kepalanya, ikut
bingung. Apa tadi ia berbicara kasar? Suruh siapa tiba-
tiba mendatanginya dengan cara seperti itu? Hm, apa ini
maksudnya Darel harus menahan ucapannya sendiri
selama menjadi Clara? Kalau iya, ini lebih berat dari
ujian nasional. Pasalnya bahasa kasar Darel sudah
menjadi bagian hidup sehari-hari.

"Kok bengong?"

Darel menggelengkan kepala untuk mengalihkan


perhatian. "Nggak, nggak apa-apa. Ayo masuk aja." Ia
balik badan ke arah gerbang sekolah dan berjalan santai.
Sebenarnya berusaha sesantai mungkin karena ini kali
pertama juga Darel menggunakan rok seumur hidupnya!
Bukan main!

Acha ikut menyusul, dan masih dengan tatapan penuh


tanda tanya. "Lo jalannya aneh. Kenapa lo?" tanya Acha
terang-terangan.

152
"Lambung gue bermasalah, tadi pagi habis mencret,"
ceplos Darel sambil berusaha berjalan dengan rileks.

Acha tertawa mendengar itu, berpikir bahwa suasana hati


Clara hari ini mungkin sedang baik makanya sampai bisa
bicara asal seperti tadi.

Maka mereka berjalan beriringan menuju kelas yang


cukup jauh dari gerbang sekolah. Dan seperti biasa,
Acha akan menggandeng lengan Clara untuk berjalan
dengan riang, yang mana hal yang paling membuat Darel
tidak nyaman ketika menjadi Clara di hari pertama.
Yakni ketika ia harus bersentuhan dengan perempuan
selain Clara dan mamanya.
⋆。゚☁︎。⋆。 ゚☾ ゚。⋆

"Lo bawa payung emang hari ini bakal hujan?"

Darel bingung mau menjawab apa. Mana mungkin ia


akan menyahut bahwa payung ini berasal dari cowok
lampu atau malaikat atau dewa yang membuatnya berada
di posisi Clara seperti sekarang.

153
"Lo percaya sama keajaiban, nggak?" tanya Darel ganti,
berusaha mengalihkan.

Acha mendaratkan bokong ke kursinya, diikuti Darel


yang duduk tepat di samping. Gadis itu menggumam
panjang sekali dengan pandangan menatap langit-langit
seolah semua jawaban ada di sana.

"Gue percaya, sih. Di dunia ini pasti ada hal-hal yang


berada di luar kendali kita. Ada hal baik dan buruk.
Kalau buruk namanya musibah, kalau baik namanya
keajaiban. Musibah biasa karena kecerobohan manusia
sendiri, tapi kalau keajaiban?" tutur Acha, membuat
Darel manggut-manggut mengerti.

"Jadi lo percaya, di dunia tempat kita hidup sekarang,


pasti ada sosok yang lagi ngawasin untuk ngasih kita
keajaiban?"

"Gue enggak se-spesifik itu percayanya, tapi gue yakin


keajaiban itu ada," jawab Acha lagi. "Emangnya kenapa?
Lo nggak percaya?"

154
Darel mengedikan bahu sambil mengibaskan rambut
panjangnya yang membuat ia merasa tidak nyaman.
Kalau saja ini bukan tubuh Clara, Darel pasti akan
mencukur rambutnya sampai cepak sepulang sekolah
nanti. "Gue harus percaya," sahut Darel.

"Kenapa harus percaya?" Acha menyangga kepalanya


dengan tangan di meja dan menopang dagu, matanya
lurus-lurus menatap Clara atau Darel, pokoknya dua itu.

"Karena hidup gue sekarang kayak di sirkuit keajaiban."

155
21. Aturan Main

Lagi-lagi dan lagi-lagi, Darel tidak paham dengan


pelajaran di sekolah. Ditambah Clara mengambil jurusan
IPA, berbanding terbalik dengan Darel yang selama ini
ada di kelas IPS, maka makin bodoh lagi saja Darel ini,
daripada ia yang biasa kerjaannya tidur dan melamun di
kelas. Yah, kelas yang biasa ia hadiri setiap hari saja
paham 'sedikit-sekali' saja, apalagi kelas IPA dengan
berbagai mata pelajaran yang tidak pernah ia pelajari?

Darel menggaruk-garuk kepalanya seperti orang stress.


Kalau seperti ini, ia tidak bisa mengenali Clara lebih
dalam karena sudah merasa tertekan duluan.

156
"Kok lo nggak nulis? Tumben amat," celetuk Acha
seraya menengok ke buku tulis Darel yang pagi itu putih
bersih.

"Taulah!"

Darel mendorong mejanya hendak keluar dari kelas


dengan muka masam meninggalkan Acha. Sekarang
sedang jam istirahat pertama, dan seperti biasa 'nyawa'
Darel akan meminta jatah makan, meski tidak lapar.
Omong-omong satu kelas memperhatikan dengan
tatapan aneh karena melihat rambutnya yang acak-
acakan seperti singa garong. Sayangnya Darel tidak
peduli karena toh, ini bukan dirinya sendiri.

Lalu, tiba-tiba kegelapan itu kembali menyergapnya.

Tidak ada cahaya sama sekali. Semuanya gelap, benar-


benar gelap.

Mata Darel terbuka, tapi rasanya seperti terpejam karena


saking ia tidak bisa melihat apa-apa.

157
Namun tidak lama kemudian, laki-laki bercahaya
menampakkan diri lagi tepat di depan Darel. Ia kembali
lagi membuat Darel jantungan karena kedatangannya
yang mengejutkan.

"Lo begitu lagi, bisa-bisa gue mati kena serangan


jantung!" seru Darel sembari memegang letak
jantungnya yang serasa mau lepas.

"Kamu tidak sesuai aturan main," kata laki-laki


bercahaya itu. "Kamu tidak menjadi Clara."

"Hah? Apaan maksudnya?"

"Kamu tidak menjadi Clara," ulang laki-laki itu lagi.


"Kamu meninggalkan Acha, sahabatnya Clara, begitu
saja, dan kamu tidak peduli dengan penampilan. Jika
terus-menerus seperti ini, kamu sama saja
menghancurkan Clara."

"Menghancurkan gimana?"

158
"Menghancurkan harga dirinya. Coba lihat dirimu
sekarang," titah laki-laki itu.

Darel sadar dengan rambutnya yang mengembang


karena habis garuk-garuk kepala, tapi ia tetap bingung.
Memang apa pengaruhnya dengan ini semua? Bukankah
tujuan Darel hanya untuk mengenal Clara lebih dalam
saja dengan menjadi pacarnya?

"Dengan menjadi Clara, kamu harus bersikap seperti


Clara supaya tidak ada kekacauan realitas," jelas laki-
laki bercahaya tersebut yang kini tidak memegangi
payung hitam.

"Ribet amat," keluh Darel kesal.

Laki-laki bercahaya itu mengernyitkan dahi. "Ini yang


kamu butuhkan."

"Gimana kalau gue udah nggak sanggup lagi jadi Clara?


Gimana kalau gue nggak usah tukeran badan kayak
gini?" tanya Darel.

159
"Kesempatan ini tidak untuk semua manusia. Kamu
yakin ingin melepasnya?"

"Gue nggak yakin dengan begini apa manfaatnya buat


hubungan kami berdua. Itu aja," jelas Darel dengan nada
pasrah.

"Kamu gampang putus asa."

Darel menunduk ke bawah, melihat kegelapan dan


cahaya yang samar-samar menerangi tubuh Clara dengan
seragam sekolah yang cantik.

"Ini berkat. Ini bantuan supaya kamu bisa melihat dunia


dengan cara yang berbeda. Ini berkat." Laki-laki
bercahaya di depannya melangkah maju, tapi kini Darel
sudah tidak takut lagi, jadi ia menetap dan membiarkan
laki-laki bercahaya itu memegangi pundaknya untuk
meyakinkan. "Kamu seperti ini untuk suatu alasan.
Kamu diberikan kesempatan khusus ini untuk suatu
alasan. Percayalah, ini berkat."

"Tapi kadang gue masih nggak yakin."

160
"Kalau begitu kenapa tidak menemui tubuhmu saja? Ada
jiwa Clara yang kesulitan beradaptasi juga di sana, tetapi
ia berusaha. Gadis itu berusaha mengikuti aturan main
meski saya tidak menemuinya secara langsung."

Tatapan Darel yang sebelumnya hampa, kini mendadak


berubah jadi memiliki binar. "Gue lupa soal itu."

"Maka temui dia."

Laki-laki bercahaya itu mundur beberapa langkah lagi,


membagi jarak di antara keduanya.

"Saya akan mengawasimu. Senantiasa."

161
To Be Continued…

162
Tentang Penulis

Friscasascia Talitha Gustriandhany


Lahir di Tangerang pada tanggal 7 Juli 2005. Perempuan
yang selalu merayakan kebahagiaan dengan cara-cara
sederhana. Menghabiskan waktu dengan jalan-jalan atau
nongkrong di kedai kopi sudah menjadi perayaan yang
menyenangkan baginya. Ia pun paling senang menjadi
pendengar.
Bagi Frisca, mendengarkan musik adalah merayakan
kebahagiaan hidup dengan cara yang paling sederhana.
Apapun kondisi hatinya, ia rayakan dengan
mendengarkan musik.
Jika ingin lebih tahu tentang Frisca bisa kunjungi media
sosialnya yaitu Instagram : @friscatg_ ataupun jika
teman-teman ingin memberi saran atau kritik terkait
novel ini silahkan email ke :
chacha.gustriandhany@gmail.com

163

Anda mungkin juga menyukai