Anda di halaman 1dari 49
SON tet Menace Choe torts Bera ao Pen te) KATA PENGANTAR Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar ‘Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk tercapainya tujuan nasional tersebut diperlukan aparatur penegak hukum yang mampu mendorong terwujudnya tujuan nasional, melalui penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam penegakan hukum dikenal adanya Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu) yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim, Penasihat Hukum dan aparatur Lembaga Pemasyarakatan. Kejaksaan Rl. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Sebagal lembaga pemerintah, Kejaksaan harus didukung oleh aparatur yang professional, berintegrtas dan berkarakter yang salah satu sarananya didapat melalui pendidikan dan pelatinan. Oleh karena itu Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan R.l. menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatinan Pembentukan Jaksa (PPPJ). Dalam pemenuhan proses pembelajaran PPPJ diperlukan modul. Salah satunya modul tentang kejahatan korporasi ‘Tujuan dari pembelajaran ini para peserta PPPJ dapat mengetahui dan memahami tindak pidana yang berkaitan dengan korporasi. Diharapkan dengan pembelajaran ini peserta PPPJ menguasai kompetensi dasar berupa apa yang di maksud dengan subjek hukum korporasi, jenis- jenis korporasi, pertanggung jawaban korporasi dan pemidanaan terhadap korporasi serta peserta PPPJ dapat menjelaskan subjek hukum Korporasi, jenis jenis _korporasi, jung jawaban korporasi dan pemidanaan tethadap Korporasi. Lain dari itu dengan ‘Atas nama Badan Pendidikan dan Pelatinan, kami mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim penyusun yang telah bekerja keras menyusun modul ini. Begitu pula halnya dengan aii di bidang masing-masing yang telah memberikan review dan ‘masukan, kami ucapkan terimakasih. Kami menyadari bahwa modul ini jauh dari sempurna, Kami mohon kesediaan Pembaca untuk dapat memberikan masukan yang konstruktif guna penyempumaan selanjutnya. Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi peserta PPPJ. Jakarta, Agustus 2021 Kepala Badan Diklat Kejaksaan Rul, ‘Tony TSpontana HALAMAN JUDUL ..... ma UU lelott) KATA PENGANTAR oy Na ee tas Pea] A. Latar Belakan: = Fert Comme U la Cll ie DCUMC Uy E. Materi Pokok dan Sub Pokok PE nN) CVT Eo) 0 Se Py CT ae aS NE ogo) Ses . DEAS AWA AO ae Acne mat) 7a BAB V —> SANKSI PIDANA KORPORASI EY STUDI KASUS (terlampir) Pe eee Lt 37 DAFTAR BACAAN mer Pea moet VALUE) Oe PLE Co etl oh tt PAROLES Baal): a ee Na “an a YALE) o 0). ‘ SVR Mtamse) cold BABI PENDAHULUAN ‘A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini, peran korporasi sudah sedemikian luasnya. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di dalamnya. Dapat dilihat bahwa korporasi bergerak di berbagai bidang seperti industri, pertanian, perbankan, kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Perkembangan masyarakat dalam bentuk korporasi juga diikuti dengan perkembangan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi biasanya berbentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Selama ini sangat sulit dilakukan pengungkapan Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi oleh karena kompleksitas kerumitannya. Menindak pelaku kejahatan secara konvensional atas kejahatan yang dilakukan merupakan hal penting namun tidak kalah pentingnya adalah menindak pelaku Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi ‘sekaligus memberikan perlindungan dan keadilan kepada korban kejahatan korporasi. Sehubungan dengan hal tersebut, penanganan perkara pidanadengan subjek hukum korporasi oleh aparat penegak hukum khususnya Jaksa/ Penuntut Umum masih mengalami kesulitan dan hambatan dalam menindak pelaku pidana yang dilakukan oleh korporasi. Korporasi memberikan kontribusi pembangunan pada negara, terutama dalam ekonomi, seperti_pemasukan negara dalam bentuk pajak maupun devisa, sehingga dampak korporasi tampak sangat positif. Dilain sisi, korporasi juga dapat menciptakan dampak negatif, seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam, Persaingan usaha secara curang, manipulasi pajak, eksploitasi buruh, memproduksi produk-produk yang membahayakan pemakainya, serta penipuan terhadap konsumen. Korporasi dapat meningkatkan kekayaan Regara dan menciptakan peluang tenaga kerja, namun revolusi struktur ekonomi dan politik telah menumbuhkan kekuatan korporasi yang besar, sehingga negara terlalu tergantung korporasi sehingga negara dapat didikte sesuai kepentingannya. Kehidupan kerja serta kesehatan dan keamanan dari sebagian besar penduduk dikendalikan baik secara langsung atau tidak langsung oleh perusahaan-perusahaan besar. Telah terbukti bahwa perusahaan- perusahan multinasional (multinational corporations) telah menjalankan pengaruh politik baik terhadap jemerintah di dalam negeri maupun di luar negeri di mana perusahaan itu beroperasi sntuknya korporasi untuk meningkatkan keuntungan yangsebesar-besarnya untuk korporai indakan pelanggaran hukum. Korporasi baik itu berupa suatu badan iekekuasaan yang besar dalam menjalankan aktvitasn ytuan hukum yang berlaku, babi memunculkan korban yang menderita kerugian. Kejahatan korporasi yang biasanya berbentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi oleh aparat penegak hukum khususnya Jaksa/ Penuntut Umum masih mengalami kesulitan dan hambatan dalam menindak pelaku pidana yang dilakukan oleh korporasi, untuk itu diperlukan persepsi yang sama terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukum Korporasi B. Deskripsi Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi biasanya berbentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), umumnya dilakukan oleh suatu korporasi balk berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Selama ini sangat sulit dilakukan pengungkapan Tindak Pidana dengan subjek hukum Korporasi oleh karena kompleksitas kerumitannya, untuk itu perlu untuk menyamakan persepsi berkaitan dengan subjek hukum korporasi.. C. Manfaat Modul 1. Menambah informasi atau wawasan yang lebih kongkrit bagi peserta PPPJ, khususnya dalam ‘menangani kasus kejahatan korporasi. 2. Peserta PPP) dapat menetahui dan memahami korporasi berbadan hukum ataupun korporasi bukan berbadan hukum, 3. Peserta PPP] dapat mengetahui bentuk pemidanaan koorporasi dalam perkara tindak pidana. D. Tujuan Pembelajaran Tujuan dari pembelajaran ini para peserta PPP) dapat mengetahui dan memahami tindak pidana yang berkaitan dengan subjek hukum korporasi, di harapkan dengan pembelajaran ini peserta PPP] menguasai 1. Kompetensi Dasar berupa apa yang di maksud dengan subjek hukum korporasi, jenis jenis korporasi, pertanggung jawaban korporasi dan pemidanaan terhadap korporasi 2. Indikator keberhasilan; Peserta PPP) dapat menjelaskan subjek hukum korporasi, jenis jenis korporasi, pertanggung jawaban korporasi dan pemidanaan terhadap korporasi E. Materi Pokok dan Sub Mater Pokok Pengertian Korporasi is Korporasi BAB II PENGERTIAN KORPORASI Berkaitan dengan pengertian korporasi tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan karena istilah korporasi erat kaitannya dengan istilah badan hukum yang dikenal dalam hukum perdata. Hukum tidak saja_mengatur orang perseorangan sebagai subjek hukum, akan tetapi subjek hukum selain orang perseorangan. Subjek hukum tersebutyaitu badan hukum (rechtspersoon), badan hukum melekat hak dan kewajiban hukum layaknya orang perseorangan sebagai subjek hukum. Pengertian Korporasi berdasarkan Kamus Hukum Fockema Andreae adalah: ‘Corporatie: dengan istilah ini kadang-kadang dimaksudkan suatu badan hukum; sekumpulan manusia yang menurut hukum terikat_mempunyai tujuan yang sama, atau berdasarkan sejarah menjadi bersatu, yang memperlihatkan sebagai subjek hukum tersendiri dan oleh hukum dianggap sebagai suatu kesatuan... Berdasarkan The Concise Dictionary of Law, korporasi adalah: “Corporation (body corporate): An entity that has legal personality, j.eil is capable of enjoying and being subject to legal rights and duties’ Dictionary of Law mendefinisikan korporasi adalah: "Corporation: a legal body such as a limited company or town council which has been incorporated”. Korporasi disebut juga badan hukum, karena memiliki unsur-unsur: 1. mempunyai harta sendiri yang terpisah; 2. ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan dimana kekayaan terpisah itu diperuntukkan: 3. ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya. Secara etimologis, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation Yerman), berasal dari bahasa latin yaitu “corporatio". “Corporatio” sebagai kata benda (subatantivum) berasal dari kata kerja “coporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam’ Hukum tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum, tetapi juga subjek bukan orang. Hukum lalu an badan hukum (korporasi) yang memiliki hak dan kewajiban layaknya orang perseorangan. Hal it baogan masyarakat yang ikut berpengaruh dalam berkembangnya kejahatan, salah satunya dengan munculnya kejahatan korporasi Kejahatan yang dilakukan korporasi lebih sulit untuk diidentifikasi karena kompleksitas dari korporasi itu sendiri, Menurut Satjipto Rahardjo “Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun ditentukan oleh hukum’. Menurut A.Z Abidin bahwa korporasi dipandang sebagai realita sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu . Menurut Subekti dan Tiitrosudibio yang dimaksud dengan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum. Adapun Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi adalah: suatu perseroan yang merupakan badan hukum; koporasi atau perseroan di sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum di perlakukan seperti orang manusia (personal) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka pengadilan. Contoh badan hukum itu adalah PT (Perseroan Terbatas), N.V. (namloze vennootschap), dan yayasan (stichting); bahkan Negara juga merupakan badan hukum. Korporasi melekat padanya hak dan kewajiban oleh karenanya dapat bertindak seperti manusia pada umumnya. Menyangkut hak, kewajiban, serta tanggungjawab korporasi diatur oleh hukum. Dengan diaturnya korporasi sebagai subjek hukum, diharapkan korporasi yang melakukan tindak pidana dapat dipertangunggjawabkan secara hukum. Adapun definisi mengenai korporasi dapat dikemukakan sebagai berikut; Menurut Sutan Remi Sjahdeini, korporasi dapat dilihat dari artinya yang sempit, maupun artinya yang luas. Kemudian Sutan Remi Sjahdeini mengungkapkan bahwa "Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui “eksistensi” korporasi dan memberikannya “hidup” untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan "matinya’ corporasi. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum”. Lebih lanjut Sutan Remi Sjahdeini mengemukakan pengertian korporasi dalam arti yang luas dapat dilihat dari pengertian korporasi dalam hukum pidana. Menurutnya Sutan Remi Sjahdeini “Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum’. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ada perbedaan pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata dengan pengertian korporasi dalam bidang hukum pidana. Dalam bidang hukum perdata, yang dimaksud dengan korporasi adalah badan hukum, sedangkan dalam bidang hukum pidana yang dimaksud dengan korporasi bukan hanya badan hukum saja, tetapi juga yang bukan badan hukum. Mengenai pengertian korporasi Rudi Prasetyo mengemukakan bahwa “Kata korporasi sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda di sebut sebagai rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation". Chaidir Ali juga mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian korporasi dengan menyatakan pendapatnya bahwa “Hukum memberi kemungkinan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawa hak, dan karenanya dapat menjalankan hak- hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggunggugatkan. Namun demikian, badan hukum (korporasi) bertindak harus dengan perantara orang biasa. Akan tetapi, orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggungggatan korporasi’. aspek hukum perdata, hukum perdata mengenal ada dua macam subjek hukum yaitu oran yadan hukum, sedangkan hukum pidana khususnya dalam KUHP, hanya mengenal oj \dang-undang di luar KUHP mengenal adanya korporasi sebagai subjek hukum, baik itu berupa badan hukum maupun bukan badan hukum. Senada dengan pendapat diatas, Setiyono mengemukakan bahwa : “Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau legal person. Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagal peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan’”. Dari pendapat di atas terlihat bahwa ada perbedaan pandangan mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum bidang hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam bidang hukum pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah badan hukum, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan hanya yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Mengenai pengertian korporasi dalam bidang hukum pidana yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata, William C. Burton berpendapat sebagai berikut “affiliate, affiliation, agglomerate, alliance, artificial entity, artificial person, associate, association, body, body corporate, business, business association, business establishment, coalition, combination, combine, commercial enterprise, company, concern, confederacy, conglomerate, conlegium, consociation, consolidation, corporate body, enterprise, establishment, federation firm, faoundation, holding company, industry, institute, institution, joint concern, legal body, legal entity, operating company, organization, solidity, stock company, syndicate, union, ‘Ada persamaan antara dua pendapat terakhir yang mengemukakan bahwa pengertian korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana lebih luas dibandingkan dengan pengertian korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum perdata. Hal ini didasarkan pada pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP. Pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana terdapat dalam peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa, dari perumusan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang khusus di luar KUHP dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut a) Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam undang-undang khusus: b) Pada awainya tidak digunakan istilah “korporasi’, tetapi digunakan istilah yang bermacam-macam (tidak seragam) dan tidak konsisten; ©) Istilah *korporasi” mulai terlihat pada tahun 1997 dalam Undang- Undang Psikotropika yang dipengaruhi oleh istilah dalam Konsep KUHP 1993 Dengan diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam Konsep KUHP, maka diharapkan kelak aturan tersebut dapat menjadi pedoman bagi pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP. SUBJEK HUKUM Posmetopadane cold MEMILIKI HAK ) |DAN KEWAJIBAN BAB Ill JENIS-JENIS KORPORASI Korporasi sebagai badan hukum keperdataan dapat dirinci dalam beberapa golongan, dilihat dari cara mendirikan dan peraturan perundang-undangan sendiri, yaitu 1. Korporasi egoistis, yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan, misalnya perseroan terbatas, serikat pekerja. 2. Korporasi altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, seperti perhimpunan yang memerhatikan nasib orang-orang tunatra, tunarungu, penyalit TBC, penyakit Jantung, penderita cacat, Taman Siswa, Muhammadiyah dan sebagianya. Perundang-undangan tentang badan hukum yang tunduk pada hukum perdata menurut KUH Perdata a. Bab IX Buku KUM Perdata dimulai dari Pasal 1653 yang mengatur tentang zedelijk lichaam, yaitu badan- badan susila dan sekarang disebut badan hukum: b. Stb. 1870 No.64 Rechtspersooniijkheid van Vereenigingen(kepribadian hukum dari perkumpulan artinya badan hukum itu mempunyai kedudukan sebagai subjek hukum), Stb. 1927 No. 156: Regeling van de Rechpositie der Kerkgenootschappen; Bab Il bagian 3 KUH Dagang (W.v.K) menurut Stb. 1938 No.276 tentang Perseroan Terbatas; Pasall 286 KUH Dagang tentang Perusahaan Asuransi yang merupakan badan hukum; dan Stb. 1926 No.377 tentang Dana Buruh Disamping bentuk badan hukum diatas, masih terdapat badan usaha yang mempunyai status sebagai badan hukum yaitu koperasi (Pasal 9 Undang-undang No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian). Yayasan (stichting) merupakan badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Perseroan Terbatas atau PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan kan dalam Undang-undang (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentani Perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH) undang-undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Partai politik, undang-undang nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik dimana dalam Pasal 3 ayat (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum, dan dalam ayat (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai ‘a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; . kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari Jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten /kota yang bersangkutan; 4d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan’ e. rekening atas nama Partai Politik.” Korporasi didalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat dijumpai dalam konsep Rancangan KUHP Baru Buku | tahun 2004-2005 Pasal 182 yang menyatakan, * Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Yang dimaksud dengan perkumpulan berbadan hukum adalah suatu perusahaan yang karena sifatnya dibebani tanggungjawab terbatas sebatas modal yang ditanamkan. Sedangkan yang dimaksud dengan perkumpulan yang tidak berbadan hukum adalah suatu perusahaan yang menurut sifatnya dan bentuknya memiliki tanggung jawab yang luas secara pribad Persekutuan yang bukan badan hukum terdiri atas, a) Perusahaan perorangan b) — Persekutuan perdata; c)__Persekutuan Firma (Fa); ituan Komanditer (CV); ‘Ad. a. Perusahaan Perorangan Perusahaan perseorangan didirikan cukup dengan mengurus SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) di kantor perdagangan, serta mengurus Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di kantor pajak. Bagi mereka yang mendirikan perusahaan perseorangan lebih dari satu orang maka mereka harus membuat perjanjian tentang perusahaan yang akan didirikan dengan suatu akta tertulis atau akta autentik. Ad. b. Persekutuan Perdata Persekutuan perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa maatschap adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Sehingga persekutuan perdataatau perseroan perdata adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama. Persekutuan perdata merupakan bentuk pemitraan yang paling sederhana, karena 1) Dalam hal modal, tidak ada ketentuan tentang “besarnya’ modal; 2) Dalam hal pemasukan sesuatu dalam persekutian atau maatschap, selain terbentuk uang atau barang, boleh menyumbangkan hanya tenaga kerja 3) Lapangan kerjanya tidak dibatasi, juga dalam bidang perdagangan; 4) Tidak ada pengumuman kepada pihak ketiga seperti yang dilakukan dalam firma. Apabila ditetapkan lain dalam persetujuan atau perjanjian, maka kerjasama ini sudah mulai berlaku sejak saat persetujuan. Perjanjian dalam persekutuan perdata pada umumnya berisi hal-hal sebagai berikut 1) Pembagian keuntungan. Apabila pembagian keuntungan tidak diatur, maka berlaku ketentuan menurut undang-undang; 2) Tujuan kerjasama; 3) Waktu dan lamanya: Pendirian persekutian perdata (maatschap) dapat dilakukan melalui perjanjian sederhana, dan tidak ada pengajuan formal atau tidak diperlukan adanya persetujuan pemerintah. Pendiriannya dapat dilakukan secara lisan tetapi bisa juga berdasarkan akta pendirian, bisa dilakukan dengan perjanjian tertulis maupun lisan Pembubaran dan penyelesaian maatschap dengan sendirinya bubar atau berakhir apabila terjadi 1) Lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian maatschap: 2) Musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok pemitraan; 3) Atas kehendak semata-mata dan beberapa atau seorang mitra, tetapi kemauan itu didasarkan atas itikad baik; 4) Jika salah seorang mitra meninggal atau ditempatkan dibawah pengampuan atau dinyatakan pailit. Perkembangan lebih lanjut di Belanda bahwa penggunaan istilah maatschap ditiadakan dan sudah dimasukkan kedalam pengertian vennootschap. ‘Ad. c. Persekutuan Firma (Fa) Firma adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan nama bersama atau firma. Jadi firma memiliki unsur sebagai berikut 1) Persekutuan perdata (Pasal 1618 KUHPerdata) 2) Menjalankan perusahaan (Pasal 16 KUHD) 3) Dengan nama bersama atau firma (Pasal 16 KUHD) 4) Tanggungjawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan (Pasal 18 KUHD) Firma didirikan dengan akta autentik yang dibuat dimuka notaris (Pasal 22 KUHD). Dalam akta pendirian tersebut memuat anggaran dasar firma yang terdiri atas 1) Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal para sekutu; 2) Penetap nama bersama atau firma 3) Firma bersifat umum atau terbatas pada menjalankan perusahaan bidang tertentu; 4) Nama-nama sekutu yang yang tidak diberi kuasa untuk menandatangani perjanjian bagi firma; 5) Saat mulai dan berakhirnya firma; 6) Ketentuan-ketentuan laim mengenai pihak ketiga terhadap para sekutu: ‘kta pemdirian firma harus didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan firma yang bersangkutan (Pasal 23 KUHD). Kemudian akta pendirian harus diumumkan dalam Berita Negara atau Tambahan Berita Negara (Pasal 28 KUHD).. Firma dimasukkan ke dalam golongan bukan badan hukum karena 1) Tidak ada pemisahan harta kekayaan antara persekutuan dengan pribadi sekutu-sekutu, setiap sekutu bertanggungjawab secara pribadi untuk keseluruhan; 2) Tidak ada keharusan pengesahan akta pendirian oleh Menteri Kehakiman. Firma berakhir apabila: jangka waktu yang diterapkan dalam anggaran rumah tangga, sebelum berakhir Jangka waktu (karena ada sekutu yang mengundurkan diri atau pemberhentian sekutu). Pembubaran firma harus dilakukan dengan akta autentik yang dibuat di muka notaris, didaftarkan ke Paniteraan Pengadilan Negeri setempat dan diumumkan dalam Berita Negara. Kelalaian pendaftaran dan pengumuman ini mengakibatkan tidak berlaku pembubaran firma, pengunduran diri, atau pemberhentian sekutu atau perubahan anggaran dasar terhadap pihak ketiga. ‘Ad. d. Persekutuan Komanditer (CV) Menurut Pasal 19 KUHD, CV adalah suatu perseroan untuk menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk satu orang atau beberapa orang persero yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung jawab solider) pada satu pihak, dan satu orang atau lebih sebagai pelapas uang (geldscheiter) pada pihak lain. Pengaturan CV dalam KUHD hanya terdapat dalam tiga pasal yaitu Pasal 19, 20 dan 21 KUHD. Letak pengaturan tersebut ada ditengah-tengah aturan mengenai firma. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat pada pokoknya persekutuan komanditer juga merupakan persekutuan firma dengan bentuk khusus. Kekhususan tersebut terletak pada sekutu komanditer, yang dalam firma tidak ada pengaturan seperti itu. Pada persekutuan firma hanya terdapat sejkutu-sekutu kerja “firmant’ sedangkan dalam persekutuan komanditer terdiri atas sekutu kerja dan sekutu komanditer yakni sekutu yang tidak kerja (sekutu hanya memberikan pemasukan saja tidak ikut mengurus perusahaan). Sehingga dengan demikian sekutu dalam persekutuan komanditer terdiri atas 1) Sekutu kerja (aktif) perusahaan yang disebut dengan sekutu komplementer; 2) Sekutu tidak kerja (pasif) perusahaan yang disebut dengan sekutu komanditer. Baik sekutu aktif dan sekutu pasif masing-masing memberikan masukkan yang berupa uang, barang atau tenaga (fisik atau pikiran) atas dasar pembiayaan bersama, artinya untung rugi dipikul bersama antara sekutu kerja dengan sekutu komanditer, meskipun tanggung jawab sekutu komanditer terbatas pada modal yang disanggupkan untuk dimasukkan. Pendirian CV harus dibuat dengan akta autentik sebagai akta pendirian yang dilakukan oleh Notaris yang berwenang di wilayah Republik Indonesia. Akta pendirian tersebut kemudian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dimana persekutuan komanditer tersebut berkedudukan. Kemudian ikhtisar akta pendirian persekutuan tersebut diumumkan dalam Berita Negara Republik indonesia. ‘Adapun hal-hal yag dimuat dalam akta pendirian antara lain sebagai berikut: 1) Nama persekutuan dan kedudukan hukumnya; 2) Maksud dan tujuan didirikan persekutuan; 3) Mulai dan berakhirnya persekutuan; 4) Modal persekutuan; 5) Penunjukkan siapa sekutu biasa dan sekutu komanditer: 6) Hak, kewajiban, tanggungjawab masing-masing sekutu; dan 7) Pembagian keuntungan dan kerugian perusahaan persekutuan. Persekutuan yang berbadan hukum terdiri atas a) Perseroan Terbatas (PT); b) — Koperasi; ©) Yayasan; @) Badan Usaha Milik Negara (BUMN); ‘Ad. a. Perseroan Terbatas (PT) Perseroan Terbatas (PT) sebelumnya diatur dalam Pasal 35-36 KUHD dan Ordonansi Indonesiche Maatschaoij Op Anndelen (IMA) S.1939 No. 569 jo 717. Kemudian melalui program pembangunan hukum maka pemerintah berhasil membuat Undang-Undang Perseroan Terbatas _yaitu UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1996, dan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. ‘Adapun ciri-ciri dari Perseroan Terbatas adalah 1) Berbadan hukum memiliki harta kekayaan yang terpisah dengan harta pribadi 2) Modal terdiri dari saham-saham sehingga tanggung jawab pemegang saham terbatas pada sejumlah saham yang dimasukkannya; 3) Sistemnya lebih tertutup sehingga segala teknis pengoperasian, pembubaran dan aturan lainnya diatur berdasarkan UU. Pendirian Perseroan Terbatas harus dengan akta notaris dan memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang harus disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM, dan kewajiban mendaftarkan, mengumumkan berada di pudak direksi. Selanjutnya didaftarkan ke Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Didalam praktik, dikenal beberapa jenis Perseroan Terbatas, yaitu » Perseroan Terbatas yang Tertutup PT tertutup ialah perseroan dimana tidak setiap orang dapat ikut serta dalam modainya dengan beri satu atau beberapa saham. Kriteria dalam perseroan tertutup adalah bahwa su 2) Perseroan Terbatas yang Terbuka Perseroan Terbatas Terbuka adalah perseroan yang terbuka untuk setiap orang. Seseorang dapat ikut serta dalam modalnya dengan membeli satu/lebih surat saham lazimnya tidak tertulis atas nama. 3) Perseroan Terbatas Umum Perseroan Umum adalah perseroan terbuka, yang kebutuhan modalnya didapat dari umum dengan Jalan dijual sahamnya dalam bursa (pasar modal). 4) Perseroan Terbatas Perseorangan Perseroan terbatas tidak mungkin didirikan oleh satu orang saja, karena perseroan merupakan suatu erjanjian, dan perjanjian hanya mungkin dilakukan oleh paling sedikit atas dua orang. Akan tetapi setelah perseroan terbatas berdiri mungkin sekali semua saham jatuh disatu tangan sehingga hanya ada seorang pemegang saham saja yang menjadi direkturnya Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Perseroan Terbatas menegaskan tentang organ (alat perlengkapan) Perseroan Terbatas yaitu’ 1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar. (Pasal 1 angka 4 UUPT) 2) Direksi. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan Anggaran Dasar. 3) 3) Komisaris. Tugas komisaris menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas yaitu_mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan Perseroan serta memberikan nasihat kepada Direksi Perseroan Perseroan Terbatas dapat bubar dikarenakan alasan-alasan sebagai berikut 1) Berdasarkan keputusan RUPS; 2) Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; 3) Berdasarkan penetapan pengadilan; 4) Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; 5) Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, atau 6) Karena dicabut izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Ad. b. Koperasi Pengertian koperasi berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Modal koperasi bersumber dari anggota baik berupa simpanan pokok, simpanan wajib, maupun simpanan sukarela. Sedangkan pendirian koperasi harus dilakukan dengan membuat Anggaran Dasar (AD) yang disahkan oleh Kantor Perdagangan dan Koperasi setempat dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Ri. Organ koperasi terdiri dari rapat anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, pengurus sebagai pengelola koperasi sehari-hari dan pengawas yang bertindak mengawasi sepak terjang koperasi. Ad. c. Yayasan Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Pengaturan mengenai yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Pendirian yayasan dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Sedangkan pengesahan akta pendirian diajukan oleh pendiri atau kuasa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Kehakiman dan HAM. Organ yayasan terdiri atas pembina yang merupakan organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus dan pengawas oleh UU atau AD, pengurus yang merupakan organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan dan pengawas yang merupakan organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. ‘Ad. d. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara merupakan Undang-Undang tentang BUMN yang lahir setelah reformasi oleh karenanya berdasarkan Undang-Undang tersebut, jenis BUMN pun mengalami perubahan dari yang sebelumnya terdiri atas Perusahaan Negara Perum (Perum), Perusahaan Nrgara Jawatan (Perjan) dan Perusahaan Negara Persero (Persero), sehingga dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 jenis BUMN hanya terdiri atas 1, Perusahaan Perseroan (Persero) Perusahaan Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51 % dimiliki pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan. Ciri-ciri Persero adalah ) Pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada Presiden; b) Pelaksanaan pendirian dilakukan oleh menteri dengan memperhatikan undang-undang; ©) Statusnya berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang: d) Modainya berbentuk saham: ¢) Sebagian atau seluruh odainya adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan; f) Organ persero adalah RUPS, direksi dan komisaris; {g) Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham milik pemerintah; h) Apabila seluruh saham dimiliki pemerintah, maka menteri berlaku sebagai RUPS; i). RUPS bertindak sebagai kekuasaan tertinggi perusahaan; J). Persero dipimpin oleh direksi k) Laporan tahunan diserahkan ke RUPS untuk disahkan; I). Tidak mendapat fasilitas negara; m) Tujuan utama memperoleh keuntungan: n) Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata; 0) Pegawainya berstatus pegawai swasta. 2). Perusahaan Umum (Perum) Perusahaam Umum (Perum) adalah suatu perusahaan negara yang bertujuan untuk melayani kepentingan umum, tetapi sekaligus mencari keuntungan. Ciri-ciri Perusahaan Umum (Perum) adalah : ) Melayani kepentingan masyarakat umum; b) Dipimpin oleh seorang direksi/direktur; ©) Mempunyai kekayaan sendiri dan bergerak disektor swasta (Perum bebas membuat kontrak kerja dengan semua pihak): 4) Dikelola dengan modal pemerintah yang terpisah dari kekayaan negara; ) Pekerjanya adalah pegawai perusahaan swasta; uk keuntungan untuk mengisi kas negara BAB IV PERTANGUNGJAWABAN KORPORASI Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Perkembangan pandangan bahwa subjek hukum pidana bukan hanya manusia (person) saja tetapi juga korporasi, telah mengenyampingkan asas universitas delinquere non potest(korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana) yang selama ini menjadi tameng bagi tidak dapat dipidananya korporasi yang melakukan kejahatan. Pandangan awal yang berpendapat bahwa hanya manusia saja yang dapat melakukan tindak pidana, sehingga hanya manusia yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, pandangan tersebut telah beralih dimana korporasi juga dapat melakukan tindak pidana. Perkembangan ini disebabkan peranan korporasi yang dominan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, dimana hampir semua kebutuhan manusia dilakukan oleh korporasi. Korporasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi korporasi tidak jarang korporasi melakukan perbuatan yang bersinggungan dengan hukum, Sehingga membawa konsekuensi korporasi dibebani Pertanggungjawaban pidana. Peran dan pengaruh korporasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan tidak menutup kemungkinan melakukan suatu tindakpidana sehingga masyarakat menjadi korban, karena itu korporasi harus dibebani dengan pertanggungjawaban pidana apabila melakukan kejahatan/ delik dalam melakukan kegiatan-kegiatan usahanya. Mengenai sistem pertanggungjawaban pidana ini, ada beberapa sistem pertanggungjawaban pidana yang dapat diterapkan menurut B. Mardjono Reksodiputro, yaitu a) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; b) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab; © Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Apabila dilihat dari pembebanan pertanggungjawabannya, maka ada empat kemungkinan sistem yang dapat diberlakukan, yaitu 1, Pengurus korporasi yang melakukan perbuatan pidana, dan penguruslah yang dibebani pertanggungjawaban pidana; 2. Korporasi yang melakukan perbuatan pidana, dan pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana; 3. Korporasi yang melakukan perbuatan pidana, dan korporasilah yang dibebani pertanggungjawaban pidana; 4, Pengurus dan korporasi yang melakukan perbuatan pidana, dan korporasi beserta pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana. Jika dikaitkan dengan KUHP, maka sistem yang pertama yang digunakan, apabila perbuatan pidana dilakukan oleh pengurus, maka penguruslah yang bertanggungjawab. Pendapat ini mengacu bahwa korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan pidana dan juga tidak mempunyai sikap batin yang jahat, karenanya Penguruslah yang dapat melakukan perbuatan pidana dan yang mempunyai sikap batin yang Jahat, karena itu pengurus korporasi yang harus bertanggungjawab, meskipun perbuatan pidana atau delik tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi. Namun demikian, beberapa undang-undang diluar kitab undang-undang hukum pidana telah mengatur korporasi sebagai subjek tindak pidana, dengan demikian korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Adapun teori atau ajaran yang dapat dijadikan dasar dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut. Yaitu teori atau ajaran Teori Identifikasi_ (Identification Theory), Teori Pertanggungjawaban Pidana Mutlak (Strict Liability), dan Teori Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability). 1. Teori Identifikasi (Identification Theory) Teori identifikasi merupakan salah satu teori yang digunakan dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang melakukan kejahatan/ delik. Teori ini mengemukakan bahwa suatu korporasi bisa dibebani pertanggungjawaban pidana, orang yang melakukan tindak pidana harus dapat didentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar dibebankan kepada Korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut. Menurut Nina H.B. Jorgensen tentang dasar dari teori identifikasi adalah,"the basis for liability is that the acts of certain natural persons are actually theacts of the corporation. These people are seen not as the agents of company but asits very person, an their guilty is the guilty of the company” .Dari pendapat tersebut, yang menjadi dasar pertanggungjawabannya adalah perbuatan manusia alamiah tertentu adalah perbuatan nyata dari korporasi. Manusia tersebut tidak dipandang sebagai agen dari korporasi, tetapi sebagai manusia seutuhnya, dan kesalahan mereka adalah kesalahan korporasi Dalam teori identifikasi, perbuatan pidana yang dilakukan oleh pejabat senior diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi. Teori ini juga dikenal dengan teori alter ego (alter ego theory) atau teori organ yang dapat diartikan secara sempit maupun secara luas, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, yaitu a. Arti sempit (Inggris) : hanya perbuatan pejabat senior (otak korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan kepada korporasi. b. Arti luas (Amerika Serikat) : tidak hanya pejabat senior/direktur saja, tetapi juga agen dibawahnya. Secara sempit teori identifikasi hanya membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pejabat senior karena pejabat seniorlah yang merupakan otak atau pengambil keputusan atau kebijakan dalam korporasi, sehingga yang menentukan arah kegiatan korporasi adalah pejabat senior. Tetapi secara luas, bukan hanya pejabat senior saja yang dapat dibebani pertanggungjawaban, tetapi juga mereka yang berada dibawahnya. Korporasi merupakan entitas yang dibuat dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, korporasi dijalankan atau bertindak melalui pejabat senior atau agennya. Pejabat senior atau agen adalah individu yang menjadi directing mind atau otak dibalik kebijakan-kebijakan korporasi dalam menjalankan kegiatannya. Perbuatan dan sikap batin individu tersebut kemudian dihubungkan dengan korporasi. Selama individu tersebut diberi wewenang untuk bertindak atas nama korporasi, maka perbuatan dan sikap batin individu tersebut merupakan perbuatan dan sikap batin dari korporasi, sehingga pertangungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana menentukan siapa yang menjadi directing mind dari sebuah korporasi. Apabila dilihat dari segi formal yuridis, yaitu melalui anggaran dasar korporasi, maka akan terlihat jelas siapa yang menjadi directing mind dari korporasi tersebut. Anggaran dasar tersebut berisi penunjukan pejabat-pejabat_ yang _mengisi_posisi tertentu berikut kewenangannya. Lord Diplock mengemukakan bahwa pejabat senior adalah: “mereka-mereka yang berdasarkan memorandum dan ketentuan yayasan atau hasil keputusan para direktur atau putusan rapat umum perusahaan, telah dipercaya melaksanakan kekuasaan perusahaan” . Kenyataan dalam praktek operasional korporasi, pejabat senior yang secara formal yuridis mempunyai kewenangan dalam mengambil keputusan dalam korporasi ternyata berada dibawah pengaruh pihak yang secara faktual lebih memegang kendali, misalnya para pemegang saham (shareholders). Dengan demikian, dalam menentukan directing mind dari sebuah korporasi tidak cukup hanya dilihat dari segi formal yuridis. saja, tetapi juga dari segi kenyataan dalam oprasionalisasi korporasi. Hal ini adalah sangat_penting, mengingat perbuatan dan sikap batin dari individu yang menjadi directing mind dapat dianggap sebagal perbuatan dan sikap batin dari korporasi. Menurut Lord Morris, “pejabat senior adalah orang yang tanggungjawabnya_mewakili/melambangkan pelaksana dari the directing mind and will ofthe company’. Sedangkan Hakim Reid dalam perkara Tesco Supermarkets pada tahun 1972 mengemukakan bahwa “untuk tujuan hukum, para pejabat senior biasanya terdiri dari dewan direktur, direktur pelaksana dan pejabat-pejabat tinggi lainnya yang melaksanakan fungsi manajemen dan berbicara serta berbuat untuk perusahaan” . Dengan demikian tidak semua pegawai Perusahaan yang bekerja berdasarkan perintah pejabat tinggi perusahaan dapat dianggap sebagai pejabat senior. Pendapat mengenai pejabat senior juga dikemukakan oleh Viscount Dilhorne, dimana menurutnya : “...in my view, a person who is an actual control of the operations of a company or of part of them and who is not responsible to another person in the company for the manner in which he discharges his dutie in the sense of being under his orders, is to be viewed as being a senior officer" . Pejabat senior adalah orang yang dalam kenyataannya memegang kontrol dalam operasional korporasi atau mereka yang merupakan bagian dari pemegang control yang tidak bertanggungjawab kepada orang lain dalam korporasi. Pada pokoknya dalam teori identifikasi, pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada korporasi harus memperhatikan dengan teliti siapa yang benar-benar menjadi otak atau pemegang kontrol operasional korporasi, yang berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengambil keputusan atas nama korporasi. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh pejabat senior korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut. 2. Teori Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (Vicarious Liability) Teori lain mengenai pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi adalah teori pertanggungjawaban pidana pengganti atau vicariousliability, yang dapat diartikan sebagai suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain. Menurut Kamus Henry Black, vicarious liability diartikan sebagai berikut “the liability of employer for the act of an employee, of a principle for tort and contracts of an agent (pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari pekerja atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam suatu kontrak)" . vicarious tiabilityadalah pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another) vicarious liability sering di artikan sebagai " pertanggungjawaban pengganti" . Berdasarkan teori pertanggungjawaban pengganti, seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan, atau kesalahan, atau perbuatan dan kesalahan orang lain. Pertanggungjawaban seperti ini hampir seluruhnya diterapkan pada delik undang-undang, dan dasarnya adalah maksud kehendak pembuat undang-undang bahwa delik ini dapat dilakukan baik secara vicarious maupun secara langsung. Dengan kata lain, tidak semua delik dapat dilakukan secara vicarious. Pengadilan telah mengembangkan beberapa prinsip yang dapat diaplikasikan secara khusus mengenai hal ini. Salah satunya adalah employmentprinciple. Dalam employment principle, majikan adalah pihak yang utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan oleh buruh dimana perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup pekerjaannya. Di negara Australia dinyatakan dengan tegas bahwa the vicar’s criminal act (perbuatan dalam delik vicarious) dan the vicar's guilty mind (kesalahan atau sikap batin jahat dalam delik vicarious) adalah tanggungjawab majikan. Berbeda halnya dengan negara Inggris, a guiltymind hanya dapat dianggap menjadi tanggungjawab majikan hanya Jika ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan menurut undang-undang . Dengan kata lain ada prinsip delegasi (delegation principle) yang dianut, dimana kesalahan (guilty mind) dari buruh atau karyawan dapat dipertangungjawabkan kepada majikan, hanya apabila ada_pendelegasian kewenangan dan cewajiban dan hanya untuk delik yang ditentukan oleh undang-undang(statutory offences) Teori pertanggungjawaban pengganti didasarkan pada doktrin respondeat superior, terhadap majikan dapat dibebani pertanggungjawaban atas perbuatan buruhnya, atau pemberi kuasa atas perbuatan orang yang diberinya kuasa. Selain doktrin respondeat superior, vicarious liability juga didasarkan pada prinsip employment principle, yaitu prinsip dimana majikan atau employer bertanggungjawab atas perbuatan pegawainya. Pertanggungjawaban tersebut muncul dalam lingkup perbuatan-perbuatan yang dilakukan pegawai atau karyawan yang merupakan lingkup pekerjaan atau jabatannya. Kondisi ini mengakibatkan pihak yang merasa dirugikan akibat perbuatan pegawai dapat meminta pertanggungjawaban kepada majikannya, asal dapat dibuktikan hubungan dan pertanggungjawabannya atas kerugian tersebut. Mengenai employment principle, Peter Gillies mengemukakan beberapa pendapat dalam kaitannya dengan vicarious liability , yaitu a. Suatu perusahaan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha) dapat bertanggungjawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh karyawan atau agennya. Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara vicarious. b. Dalam hubunganya dengan “employment principle’, delik-delik ini sebagian besar atau seluruhnya merupakan “summary offences” yang berkaitan dengan peraturan perdagangan. . Kedudukan majikan atau agen dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. Tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara alami, tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada karyawan untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (Bahkan, dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya). Oleh karena itu, apabila perusahaan terlibat, pertanggungjawaban muncul sekalipun perbuatan itu dilakukan tanpa menunjuk pada orang senior di dalam perusahaan. Walaupun pertanggungjawaban korporasi atas perbuatan yang dilakukan karyawannya hanya timbul pada delik yang dapat dilakukan secara vicarious, perusahaan tetap dapat dikenai tanggungjawab sepanjang erbuatan itu dilakukan dalam lingkup pekerjaannya. i pertanggungjawaban pengganti pada satu sisi dirasa bertentangan nilai-nilai moral ys ian, dimana dalam pemidanaan tidak cukup hanya perbuatan saja (act eseorang dapat dipertanggungjawabkan karen; ing dilarang oleh undang-und; Menurut Boisvert, teori ini secara serius dianggap menyimpang dari doktrin mens rea karena berpendirian bahwa kesalahan manusia secara otomatis begitu saja diatributkan kepada pihak lain yang tidak melakukan kesalahan apapun Doktrin pertanggungjawaban pengganti hanya dapat diterapkan apabila benar-benar dapat dibuktikan bahwa ada hubungan atasan bawahan antara majikan dengan buruh atau karyawan yang melakukan tindak pidana. Harus diperhatikanjuga apakah hubungan atasan bawahan tersebut cukup layak untuk dapat membebankan pertanggungjawaban kepada majikan atas tindak pidana yang dilakukan oleh buruh atau karyawannya. Selain itu juga harus juga dipastikan apakah buruh atau karyawan tersebut dalam hal tindak pidana yang dilakukan, benar-benar bertindak dalam kapasitas lingkup pekerjaannya. KUHP Indonesia tidak mengenal adanya pertanggungjawaban pengganti, tetapi doktrin pertanggungjawaban pengganti telah diadopsi dalam RUU KUHP 2006, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) yang menyatakan : “Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain” . Bisa dikatakan bahwa ketentuan tersebut merupakan penyimpangan atas asas tiada pidana tanpa kesalahan. Terdapat perluasan dalam hal pertanggungjawaban oleh seseorang terhadap mereka yang melakukan pekerjaan untuknya, dimana pekerjaan tersebut dilakukan atas perintahnya. Dengan demikian, seseorang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana atas perbuatan dan kesalahan orang lain yang bekerja atas perintahnya, walaupun ia tidak melakukan dan bersalah atas perbuatan tersebut. Penerapan doktrin pertanggungjawaban pengganti hanya dapat dilakukan apabila telah ditentukan oleh undang-undang. Seseorang tidak dapat dikenai pertanggung-jawaban apabila undang-undang_ tidak menentukan secara tegas bahwa tindak pidana yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan kepada orang lain melalui mekanisme pengganti/vicarious 3. Teori Pertanggungjawaban Mutlak Menurut Undang-Undang (StrictLiability) Teori ini juga sering disebut dengan teori pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Strict liability merupakan salah satu bentuk pembebanan pertanggungjawaban kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada korporasi tersebut. Menurut doktrin pertanggungjawaban mutlak ini, suatu pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana tertentu, tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsur kesalahan (baik itu kesengajaan ataupun kelalaian). Dengan kata lain, pertanggunggjawaban pidana oleh pelaku tidak dipermasalahkan dalam strictliability. Doktrin pertanggungjawaban mutlak ini sendiri bertentangan dengan asas umum yang berlaku dalam hukum pidana yang dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (doktrin mens rea). Sutan Remi Sjahdeini berpendapat bahwa “Dalam hukum pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun pelakunya tidak memiliki mensrea yang disyaratkan. Cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering dikenal juga sebagai offences of absolute prohibitation’. Unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan dalam pembebanan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi cukup dibuktikan bahwa perbuatan pidana telah dilakukan Pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan pertanggungjawaban ketat muncul berdasakan undang- undang, dalam arti hanya mencakup tindak pidana yang ditentukan oleh undang-undang. Korporasi dibebani pertanggungjawaban apabila korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh undang-undang. Menurut Barda Nawawi Arief, pelanggaran kewajiban tersebut dikenal dengan istilah companies offence, situational offence,atau strict liability offence Lebih lanjut Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa sering dipersoalkan apakah strict liabilit absolut liability. Ada dua pendapat mengenai hal in 1. Strict liability merupakan absolute liability. Alasan atau dasar pemikirannya jalah, bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Jadi, seseorang yang sudah melakukan tindak pidana menurut rumusan undang-undang harus/mutlak dapat dipidana. 2. Strict liability bukan absolute liability, artinya orang yang telah melakukan perbuatan terlarang menurut undang-undang tidak harus atau belum tentu dipidana. Pendapat pertama sudah jelas bahwa mereka yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sudah pasti dapat dipidana, berbeda halnya dengan pendapat kedua. Pendapat kedua menyatakan bahwa mereka yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang belum tentu dapat dipidana karena ada faktor kesalahan (mens rea) yang perlu dipertimbangkan, sehingga ada ketidakabsolutan dalam strict liability yang diterapkan. Negara Belanda yang sudah tidak memberlakukan lagi pertanggungjawaban yang didasarkan pada doktrin pertanggungjawaban muktlak, di Belanda, pertanggungjawaban mutlak tersebut dikenal dengan istilah leer van het materielle feit atau fait materielle yang hanya diberlakukan terhadap tindak pidana yang berupa pelanggaran. Seiring dengan perkembangan hukum itu sendiri, penerapan pertanggungjawaban mutlak ditiadakan dengan arrest susu tahun 1916 dari Mahkamah Agung Belanda (H.R. Netherland) . sama dengan Penerapan pertanggungjawaban yang didasarkan pada pertanggungjawaban mutlak itu sendiri pada kenyataannya sudah dilakukan di Indonesia. Misalnya saja dalam pelanggaran lalu lintas. Para pengendara kendaraan bermotor yang melanggar peraturan lalu lintas akan langsung dikenakan tilang oleh polisi lalulintas dan akan disidang di pengadilan. Di pengadilan itu sendiri, putusan atas pelanggaran tersebut tidak akan mempertimbangkan alasan atau faktor kesalahan dari pelanggar karena yang menjadi pertimbangan utama adalah perbuatan pelanggaran peraturan lalu lintasnya Selain diterapkan untuk pelanggaran yang ringan, strict liability dan vicarious liability juga dapat diterapkan terhadap korporasi yang dapat dibebani pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap kepentingan masyarakat umum. Dalam konteks ius constituendum, Rancangan Undang-Undang KUHP 2006 telah mengadopsi doktrin pertanggungjawaban strict liability tersebut. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dari RUU KUHP 2006, yaitu : “Bagi tindak pidana tertentu, Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan Ketentuan tersebut di atas hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu saja yang ditetapkan oleh undang- undang. Pelaku tindak pidana akan dibebani pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan(mens rea) ketika perbuatan (actus reus) dilakukan. Pemberlakuan ketentuan strictliability terhadap tindak pidana tertentu saja adalah sudah tepat, karena penerapannya tidak boleh sembarangan melainkan harus dengan pembatasan, sehingga penerapannya tidak meluas. Mengenai pertangunggjawaban mutlak itu sendiri dalam kaitannya dengan korporasi, korporasi juga dapat dibebani pertanggunggjawaban atas tindak pidana tertentu yang tidak harus dibuktikan unsur kesalahannya (mens rea), yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Masalah yang perlu diperhatikan_ terkait penerapannya adalah apakah tindak pidana tertentu yang tidak mensyaratkan adanya usur kesalahan yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut sudah dapat mengakomodasi sekian banyak kejahatan yang difakukan oleh korporasi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan korporasi tidak memilki mens rea, karena korporasi itu sendiri tidak memiliki sikap kalbu. Korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana, melainkan orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi, dalam hal ini Pengurus atau pegawai yang memperoleh kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum korporasi. 1. Undang-undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pi a. Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, apabila tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun (Pasal 7 ayat (1) sub b); b, Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. Sub d); . Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun (Pasal 7 ayat (1) sub e); d. Pengumuman putusan hakim (Pasal 7 ayat (1) sub f) e. Tindakan tata tertib, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan, mewajibkan pembayaran uang jaminan, mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan, mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan, tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum, sekadar hakim tidak menentukan lain (Pasal 8 sub a, b, c, d): dan f. Pidana denda, sebab menurut Pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib dalam Pasal 8 harus bersama-sama dengan sanksi pidana, dan sanksi pidana yang tepat dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda. Sebagai catatan sistem penjatuhan pidana yang dianut dalam Undang-undang tindak pidana ekonomi adalah * sistem dua jalur” atau double track system, artinya sanksi berupa pidana dan tindakan dijatuhkan secara bersama-sama, yaitu pidana denda dan tindakan tata tertib. 2.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan a. Berdasarkan pasal 55 ayat (1) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 54 dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha dan/ atau pengurusnya. b. Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) dalam hal pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap badan usaha, pidana yang dikenakan berupa denda maksimal ditambah sepertiga. 3.Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika a. Menurut Pasall 59 ayat (3), korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 59 hanya dikenakan dengan Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah); b. Menurut Pasal 70, korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 dikenakan: 1. Pidana denda sebesar dua kali yang diancamkan, dan 2. Dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha 4,Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. a. Berdasarkan Pasal 130 ayat (1) “dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal tersebut. b. Ayat (2) dalam Pasal 130 yaitu *selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat di jatuhi pidana tambahan berupa a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. 5.Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. a. Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada a. badan usaha; dan/ atau b. orang yang ‘memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebutatau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. b. Berdasarkan Pasal 117; jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga, sedangkan dalam Pasal 118 ; terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurusyang berwenang mewakili di dalam dan di lar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. Selanjutnya dalam pasal 119 selain pidana sebagaimana dimaksud dalam undang- undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau Tindakan tata tertib berupa: Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; . Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan Perbaikan akibat tindak pidana; |. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. Penempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun aoge 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Untuk korporasi dapat dijatuhkan pidana denda (Pasal 48). Disamping itu dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha: atau b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang- undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau Komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selama-lamanya lima tahun; atau ©. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain (Pasal 49). Khusus untuk * tindakan adminitrasi" dalam Pasall 47 ayat (2) terdapat kejanggalan kebijakan legislasi dalam merumuskkan tindakan administrasi berupa: Penetapan pembatalan perjanjian; Perintah menghentikan integrasi vertical; . Perintah menghentikan kegiatan yang menimbulkan praktik monopoli, persaingan usaha tidak sehat, atau merugikan masyarakat; Perintah menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; Penetapan pembatalan atas penggabungan/peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham j. Penetapan ganti rugi; dan /atau g. Pengenaan denda minimal Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan maksimal Rp 25.000.0000.000,- (dua puluh lima milyar rupiah). 7. Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. a. Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap " pelaku usaha” adalah pidana denda (Pasal 62): b. Pidana tambahan, berupa: a. Perampasan barang tertentu: Pengumuman keputusan hakim; Pembayaran ganti rugi Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen enarikan barang dari peredaran b, es d 8. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda, yang maksimumnya ditambah/ diperberat 1/3 (satu pertiga) (Pasal 20 ayat (7). Ketentuan tersebut cukup wajar sebab dari dua jenis pidana pokok yang diancamkan yaitu penjara dan denda, hanya pidana denda yang cocok dan dapat diterapkan untuk korporasi. Akan tetapi, juga dapat dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dapat diterapkan terhadap korporasi, yaitu sanksi korporasi berupa penutupan perusahaan/korporasi untuk waktu tertentu atau pencabutan hak/izin usaha 9. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Sanksi yang dapat dijatuhkan terhdapa badan usaha/ badan hukum adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya (Pasal 56 ayat (2)). Dalam undang- undang tersebut pidana denda yang diancamkan paling tinggi Rp 60.000.000.000,- (enam puluh milyar rupiah), Pasal 52, 54, dan 55. 10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang a. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi . Berdasarkan Pasal Pasal 7 ayat (1) pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,00(seratus miliar rupiah), sedangkan menurut ayat (2) selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa’ a.Pengumuman putusan hakim b.Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi: ¢. Pencabutan izin usaha; dé. Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi: asset korporasi untuk Negara; dan atau ‘oleh Negara BAB VI PENUTUP Tindak Pidana Korporasi merupakan hal yang diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh setiap Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara tindak pidana korporasi. Jaksa Penuntut Umum menjadi pintar karena mau belajar dan memperkaya pengetahuannya dalam praktek penegakan hukum. Untuk itu, bagi peserta diklat Pembentukan Jaksa diharapkan untuk terus belajar dan mempraktekkan administrasi perkara tindak pidana korporasi dengan mempelajari modul ini dan juga perlu melihat contoh-contoh bentuk formulir, surat-surat, register, formulir laporan dan berita acara yang terdapat pada Peraturan Jaksa Agung RI No: PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi tanggal 1 Oktober 2014 dan Peraturan Mahkamah Agung RI No: 13 Tahun 2106 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Korporasi Tanggal 21 Desember 2016. ‘STUDI KASUS PERKARA KORPORASI TERLAMPIR Akhirnya diucapkan selamat belajar, dan teriring doa semoga menjadi Jaksa yang Satya, Adhi dan Wicaksana DAFTAR BACAAN Buku Abidin, A.Z., Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita 1983. Aburera, Sukarno, dk, Filsafat Hukum, Makassar , Pustaka Refleksi, 2010. Aider, John, Constitutional and Adminitrative Law, London, Macmillan Educations Itd, 1989. Ali, Mahrus, Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2013 Asikin Zainal, Hukum Dagang, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2014 Atmasasmita, Romli, Hukum Kejahatan Bisnis Teori dan Praktek di Era Globalisasi, Jakarta, Prenadamedia Group, 2014. Azhari, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Jakarta, UI Press, 1995. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Departemen Hukum Dan HAM Rl, 2009; Bemmelen, J.M Van, Hukum Pidana |, Bandung, Bina CiptaCetakan ke dua, 1987. BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Jakarta, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP,1999. Danil, Elwi, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannyalakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011. Dirjosiswono, Soedjono, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Bandung, sinar Baru, 1984. Djaja, Ermansjah, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2010. Effendi, Marwan, Kapita Selekta Hukum Pidana, Jakarta, Referensi, 2011 ._ Kejaksaan RI Posisi, Jakarta, Referensi, 2011. Friedmann,W,Legal Theory, London, Steven& Son Limited, 1960. Fuady, Munir, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003 Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993. Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995 ‘Syed, Sosiologi Korupsi , Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, Jakarta, LP3, Irfan, M. Nurul,Korupsi Dalam hukum Pidana IslamJakarta, amzah, 2011 Kelsen, Hans, Pure Theon of Law, London, University of California Press, 1978. Klitgaarrd, Robert, Membasmi Korupsi, terjemahan Hermuya, Jakarta, yayasan Obor, 1998 Lubis, Muchtar,"Pengantar” di dalam "Bunga rampai Korupsi, Jakarta, LP3S,1985 Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum sebuah Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1999. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta PT. Rineka Cipta, 1993, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang,Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. . HAM, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang,BP UNDIP, 1997. , Demokratisasi, HAM, dan Reformasi Hukum, Jakarta, The Habibie Center, 2002. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung,PT. Alumni 2005. . Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung,PT. Alumni, 2007. , Pidana dan Pemidanaan, Semarang, Bahan Penyedia Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 1984. Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam HukumPidana, STHB, Bandung, 1991 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, 2010: Mulyadi, Lilik,Tindak Pidana Korupsi Khusus Tentang Proses Penyidikan,Penuntutan,Peradilan serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999,Bandung, PT.Citra Aditya Bakti,2000. Nawawi Arief, Barda, Kebijakan legislatif dalam Penanggulangan Kejahatandengan Pidana Penjara, Semarang,Balai penerbitan Undip, 1996 , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Bandung, citra Aditya Bakti, 1996. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangankejahatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001 . Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung,PT. Citra Aditya Bakti, 2003. + Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan PengembanganHukum Pidana, Edisi Revisi, Bandung,PT.Citra Aditya Bakti, 2005 , Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif KajianPerbandingan, Bandung,PT. Citra Aditya ari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002 Projodikoro, Wiryono Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Eresco, 1986 Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung, PT ‘Alumni, 2007. Putra Jaya, Nyoman Serikat Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang,Badan PenerbitUniversitas Diponegoro, 2005. _-, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam pembaharuan HukumPidana Nasional, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2005. , Pembaharuan Hukum Pidana (Bahan Kuliah Magister llmuHukum UNDIP), Semarang, 2007. Rahardjo, Satjipto, limu Hukum, Bandung, Alumni, 1986. Reksodiputro, B. Mardjono, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Semarang,FH UNDIP, 1989. Remi Sjahdeini, Sutan, Kredit Sindikasi (Proses Pembentukan dan AspekHukum), Jakarta,Grafiti, 1997. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, PT. Grafiti Pers, 2006 Romili Atmasasmita, Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerja Sama Internasional dalam Konvensi PBB, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008. Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, Bandung,Eresco, 1994, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta, Rajawali, 1992 Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Bandung, Bina Cipta, 1992. Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2015; Setiyono, Kejahatan Korporasi : Analisis Victimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum. Pidana Indonesia, Malang , Bayumedia Publishing, 2004 Shofie, Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Jakarta,Ghalia Indonesia, 2002. Sjawie, Hasbullah F., Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban PidanaKorporasi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2013. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Prenada Media Group, 2015; —Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan HukumJakarta,PT. Rajat Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 2008 Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1A, Semarang,Badan Penyediaan Bahan Kuliah FakultasHukum UNDIP, 1975. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung,PT. Alumni, 2006. ; Hukum pidana dan Perkembangan masyarakat Kajian Tethadap Pembaharuan Hukum Pidana,Bandung, Sinar Baru, 1983. Susanto, IS, Kejahatan Korporasi, Semarang,BP UNDIP, 1995 , Pengantar Penelitian Hukum, cet. Ill, Jakarta, Ul- Press, 1986. Suseno, Franz Magnis, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modem, Jakarta, Gramedia, 1993. Taher Azhary, Muhammad, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implamentasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1987. Tri Hayati, et. al, Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum danPerencanaannya, Depok, Badan Penerbit Fakultas Hukum Ul. Wahyono, Padmo, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta, Ind-Hill Co, 1989. Widyo Pramono, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta, Bandung, Alumni, 2013 Wiyono, R, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2012; Zulfa, Eva Achjani, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Bandung, Lubuk agung, 2011. Makalah/Jurnal/Karya llmiah Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan __terhadap_Proses _Litigasi dan Pemidanaan di Indonesia, Disampaikan dalam Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam !lmu Hukum Pidana FHUI di Balai Sidang Ul, Depok, 2003. Muladi, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana (CorporateCriminal Liability), Seminar Nasional Aspek Pertanggungjawaban PidanaDalam Kebijakan Publik dari Tindak Pidana Korporasi, Semarang, 2004. Moh. Askin, Pro Kontra Pemidanaan Korporasi Tanpa Dakwaan Khusus Ex Pasal 20 Ayat (1) UUPTPK, Varia Peradilan No. 351 Februari 2015. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum bagi Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, wakaf, Bandung, Alumni, 1986. ita, Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Keria. Sa BB, (jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Yenni Mangoting, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Mei 2000/Vol. 2/No. 1, www.petra.co.id. isi 354 Tahun XXXVI, Mei 2004. ajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum’, Jantera Edisi 3 Tahun ll. November 2004. Soeroso, Tjipto,Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Komplikasi yang Menyertainya, Dalam Masalah- Masalah Hukum no.4,Semarang, FH Undip,1990 Perundang-undangan Council of Europe, Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime, Strasbourg, 8, XI, 1990. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20/2001 jo No. 31/1999, Pasal 2, TLN Republik Indonesia No: 3874 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Monopoli dan PersainganUsaha Tidak Sehat. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun2001. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uangsebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. kamus Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary With Pronoun citation, (St. Paul minn; West publishing Co. 1983. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. ‘Summary Report, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, 1974 N.E. Algra, H.W. Gokkei, Kamus Istilah Hukum Fockma Andreae Belanda - Indonesia (diterjemahkan dan diedit oleh Sal eh Adiwinata, A. Teioekj, dan Boerhanoeddin St Batoeah), Bandung: Binacipta, 1983. Elizabeth A. Martin dkk (ed), The Concise Dictionary of Law, (Bungay, Suffolk, Great Britfain:Oxford University Press, 1988, 1* edition) P.H. Collin, Dictionary of Law (London, UK: Bloomsbury Publishing Pic, 2005, Fourth Edition), Subekti dan R. Tjitrosudibio, kamus hukum, Jakarta, Pradnya Paramita 1979 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang, CV. Aneka 1977 W)S. Poerwadarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN.Balai Pustaka,1976 Internet Korupsi Kejahatan Luar Biasa, http: //bataviase.co. id /detailberita-10387828.html.Diunduh pada 10 September 2013. http://suaramerdeka.com /v1 /index.php/read news /201 1 /02/23/78626//Nilai-Kerugian-Negara-Akibat- Korupsi-Rp-3,6-Triliun, diunduh pada 10 September 2013 http: //www.delikpos.com /delik-investigasi/investigasi/jejak-kasus/item/473~ mahasiswa-tabur-bunga-di- kejagung-menanti-kepastian-hukum-indosat- im2.htmiDiunduh pada 10 September 2013, http: //analisis.news.viva.co.id/news /read /409650-ptun--laporan-audit-bpkp-di-kasus- im2-cacat-hukum Diunduh pada 10 September 2013. http:/ /id.wikipwdia.org, diunduh pada 10 September 2013. www.tempointeraktif.com, diunduh pada 10 September 2013. www.kompas.com, diunduh pada 10 September 2013. www.antara.co.id, diunduh pada 10 September 2013 www.icw.comdiunduh pada 10 September 2013 www.rmol.co/..../kpk_masih_kedodoran_balikin_kerugian.negara http://metronews.fajar.co.id/read/104148/10/iklan/index.php di unduh 9 September 2013 http://www. rakyatmerdekaonline.com /news.php?id=9705di unduh 10 September 2013 http: //pitoyoadhi.wordpress.com/2004/02/10/kejahatan-korporasi/ di unduh 10 September 2013 http://www.tempo.co/read /news/201 3/07 /08/063494544 /p-Direktur-Utama-IM2-Indosat-Divonis-4~Tahun di unduh 10 Oktober 2013 http: / /analisis.news.viva.co.id /news /read /409650-ptun--laporan-audit-bpkp-di-kasus-im2-cacat-hukum http: /Jid.wikipedia.org/wiki /Insider_tradingdi unduh 15 september 2013 http:/ /www.tempo.co/read /news/2007/05/10/05699801 /Kasus-linsider-Tradingl-PGN-Rumit kompas.com, indonews.com/read/2013/09/24/13/786905 /perkara-indosat-im2-akan-ditindaklanjuti

Anda mungkin juga menyukai