KLP 1 Estetika
KLP 1 Estetika
PENDAHULUAN
Cara membuat benda indah pun tidak bisa jika dengan teori dalam jiwa yang kosong,
karenajika tidak mempunyai jiwa dan teori yang mendalam maka sulit untuk seseorang
membuat benda itu menjadi indah. Biasanya jika pelukis, pemusik atau sastrawan memiliki
jiwa yang penuh dengan keadaaan hati yang baik akan menghasilkan karya yang memuaskan
juga selain itu, keadaan sekitar dalam menciptakan karya juga akan mempengaruhi karyanya.
Sehingga kami selaku mahasiswa filsafat, khususnya pada kelompok ini ingin
menyajikan pengertian, objek dan sejarah perkembangan filsafat estetika. Cangkupan
estetika pun cukup luas yang dapat didalami dan di pelajari dalam kaidah-kaidah yang
mengandung unsur keindahan.
Keindahan adalah hal yang dapat dikatakan utama dalam kehidupan manusia, karena
tanpa adanya keindahan di dalam kehidupan kita akan merasa kehilangan yang namanya
kebahagiaan. Setiap manusia pasti akan menginginkan keindahan atau estetika, dari
keinginan tersebut manusia bisa menimbulkan adanya masalah karena pada dasarnya manusia
menginginkan keindahan yang abadi (tidak ada habis-habisnya). Manusia rela berkorban
untuk mendapatkan keindahan tersebut, contohnya saja seorang laki-laki memiliki hasrat
untuk mendapatkan wanita cantik, ia rela melakukan semua hal yang terkadang mengarah
pada tindakan diluar kewajaran bahkan mengarah kepada kriminalitas. Banyak manusia yang
memiliki iri hati serta cemburu karena tidak berhasil mendapatkan keindahan yang ingin
didapatkannya. Kata estetika sebenarnya berasal dari bahasa Yunani. Menurut Sachari
(1990:2)… istilah aesthetika (hal-hal yang dapat dicerap dengan panca indera) dan aesthesis
(pencerapan inderawi).
Estetika merupakan cabang dari filsafat yang membahas serta mempersoalkan seni
serta keindahan. Penyebutan filsafat estetika dari zaman Yunani kuno sampai sebelum abad
XVIII sering mengalami perubahan, filsfat estetika pernah disebut sebagai filsafat estetika,
filsafat kritisisme dan filsafat seni. Akan tetapi, sejak abad XVIII istilah estetika mulai
digunakan. Istilah estetika tersebut pertama kali diungkapkan oleh filsuf yang bernama
Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), ia berasal dari Jerman. Ia mengulas estetika di
dalam beberapa karyanya, (Rapar, Hendrik Jan:1996) lewat karyanya, Meditationes
philosophicae de nonullis ad poema pertinentibus (1735), yang diterjemahkan kedalam
bahasa Ingggris dengan judul Relections on poetry (1954). Baumgarten mengembangkan
filsafat estetika yang didefinisikannya sebagai ilmu pengetahuan tentang keindahan lewat
karyanya yang berjudul Aesthetica acromatica (1750-1758).
John Hosper (dalam Sachari, Agus, 1990:2) mendefinisikan estetika sebagai bagian
atau cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis…artinya estetis
tidak hanya sekedar filsafat yang berkaitan dengan obyek seni, tetapi juga melingkup semua
hal yang disadari sebagi suatu ‘karya’ yang indah. Dari pernyataan tersebut dapat dinilai
bahwa estetis merupakan sesuatu yang dinamis. Estetis sangat erat kaitannnya dengan
perasaan emosional yang ada pada diri manusia.
Rapar Hendrik Jan (1996) dalam buku pengantar filsafat mengemukakan bahwa:
Plato berpendapat bahwa seni (art) itu adalah keterampilan untuk mereproduksi
sesuatu. Bagi plato, apa yang disebut hasil seni tidak lain dari tiruan tiruan (imitation).
Sebagai contoh, pelukis yang melukis suatu panorama alam yang indah sesungguhnya hanya
meniru panorama alam yang pernah dilihatnya. Karya-karya seni hanyalah tiruan dari meja,
burung, kucing dan sebagainya, sedangkan meja, burung, dan kucing yang ada di dalam
dunia ide. Dengan demikian, karya-karya seni itu merupakan tiruan yang kedua dan oleh
karena itu tidak sesempurna aslinya.
Keindahan dapat digapai oleh manusia melalui rasa cinta yang ada pada hasrat
manusia. Estetika atau keindahan selalu diidentikkan oleh cinta, asal-usul keindahan ialah
karena adanya keindahan pertama, keindahan pertama yang tersebut yang yang membuat
suatu benda menjadi indah. Keindahan yang ingin digapai oleh manusia yang berada di bumi
yang jauh dari kata suci “kotor”, hamper tidak ada manusia di dunia ini yang dianggap
mampu meraih keindahan yang sebenarnya atau murni. (Sachari Agus, 1990:7) filsafat seni
bagi Plato adalah gagasan tentang idealisme itu sendiri; keindahan tidak pernah didudukkan
sama tinggi dengan kehidupan dunia yang kasar.
Dari pendapat Plato diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa merupakan hal yang
tinggi dan jauh dari jangkauan kehidupan manusia yang berada di muka bumi. Keindahan
dipandang sebagai sesuatu yang maha tinggi dan sangat berjarak dengan kehidupan manusia.
Akan tetapi manusia diberikan anugerah dengan ide-ide yang mereka miliki. Keindahan yang
ada di alam semesta merupakan suatu bentuk tiruan (imitasi), yang tak sempurna. Manusia
yang berkeinginan untuk menggapai keindahan adalah manusia “pemimpi”. Keindahan yang
sebenarnya (mutlak) merupakan subyek yang berada di atas alam semesta.
Aristoteles sependapat dengan Plato mengenai seni sebagai tiruan dari berbagai hal
yanga ada. Contoh yang diberikan oleh arirtoteles ialah puisi. Aristoteles mengatakan bahwa
puisi adalah tiruan dari tindakan dan perbuatan manusia yang dinyatakan lewat kata-kata
(Rapar, Hendrik Jan:1996). Apabila Plato berpendapat bahwa seni itu merupakan hal yang
tidak begitu penting, akan tetapi karya-karya tulisnya merupakan karya seni sastra yang tak
tertandingi sampai sekarang ini, Aristoteles justru menganggap bahwa seni itu penting karena
memiliki pengaruh yang besar bagi manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi lebih
filsafati daripada sejarah.
Pada abad pertengahan estetika tidak begitu mendapat perhatian dari para filsuf. Hal
itu disebabkan gereja Kristen semula bersikap memusuhi seni karena dianggap duniawi dan
dianggap produk bangsa kafir Yunani dan Romawi. Akan tetapi, Augustinus (354-430)
memiliki minat cukup besar pada seni. Agustinus berusaha mengembangkan suatu filsafat
Platonisme Kristen dengan mengajarkan bentuk-bentuk Platonis (Platonic forms). Ia
berasumsi bahwa bentuk-bentuk Platonis juga berada dalam pemikiran Allah. Meskipun
Augustinus mengikuti ajaran Plato tentang keindahan, ia tidak sependapat dengan Plato yang
mengatakan bahwa seni hanyalah tiruan. Augustinus mengatakan bahwa hewan pun meniru,
tetapi tidak dapat menghasilkan karya seni.
Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Sehingga pada dasarnya
estetika yang dicari adalah sebuah hakikat dari keindahan, bentuk bentuk pengalaman
keindahan (seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan
alam), yang diselidiki oleh emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, bagus,
mengharukan dan sebagainya.
Macam-Macam Keindahan
Menurut Jacques Maritain dalam bukunya yang berjudul Art and scholasticism
berpendapat bahwa keindahan bukanlah objek perasaan melainkan objek tangkapan akali.
Jacques Maritain tidak mengingkari peranan yang dipunyai oleh alat-alat inderawi,
karena akal menangkap sesuatu sekedar dengan jalan melakukan abstraksi dan analisa.
Akibatnya, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui alat-alat inderawi yang dapat
mempunyai sifat khas yang diperlukan untuk menangkap keindahan. Maritain mengatakan
bilamana suatu objek dapat menimbulkan kesenangan pada akal, satu-satunya sarana
langsung yang dapat ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu
yang indah. Keindahan ialah sesuatu didalam objek yang dapat menimbulkan senangan pada
akal, yang semata-mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akali.
Mengapa suatu objek tertentu dapat dapat menimbulkan kesenangan pada akal?
Maritain menjawab, karena objek tersebut memiliki kesempurnaan tertentu yang juga
dipunyai oleh akal. “akal merasa senang pada sesuatu yang indah, karena didalam sesuatu
yang indah ia menemukan kembali dirinya, mengenal dirinya kembali, dan berhubungan
dengan pancarannya sendiri. “ciri-ciri khas yang harus dipunyai suatu objek agar dapat
dikatakan indah dapat ditemukan dengan jalan memperhatikan apa yang diutamakan oleh
akal.