Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

CINTA TANAH AIR MENURUT ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Pengajar : Amir Riyadi, S.Pd

Oleh :

1. Nayla Azzahra (22)


2. Raynard Almer Fabrizio (25)
3. Syafira Nayla Shofa (32)
4. Yolanda Wulandari (35)

KELAS X IPA IV
SMA NEGERI 10 BANDARLAMPUNG
TAHUN 2020/2021
Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan Tugas Pendidikan agama Islam tentang Cinta tanah air menurut Islam
ini dengan sebaik baiknya.

kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan Tugas Pendidikan agama Islam tentang Cinta tanah air menurut
Islam.

Bandar Lampung, Oktober 2021

Pendahuluan
Puji dan syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT. yang telah mencurahkan rahmat dan
hidayahnya serta kekuatan dan kemampuan berfikir serta semangat juang yang tinggi pada
kami Menyelesaikan Tugas Pendidikan agama Islam tentang Cinta tanah air menurut Islam

Dengan Kerjasama antar anggota kelompok. Kami persilahkan kepada semua untuk
mempelajari apa yang telah kami susun dalam Tugas Pendidikan agama Islam tentang Cinta
tanah air menurut Islam.
Di dalam kitab "al-Tahliyah wa al-Targhb f al-Tarbiyah wa al-Tahdzb" Sayyid Muhammad
mendefinisikan tanah air (al-wathan) sebagai tanah di mana kita lahir dan tumbuh
berkembang di sana, memanfaatkan tumbuhan dan binatang ternaknya, mencecap air dan
udaranya, tinggal di atas tanah dan di bawah kolong langitnya, serta menikmati berbagai hasil
bumi dan lautnya sepanjang masa.

Sebagai umat muslim kita memiliki suri tauladan yaitu Rasulullah SAW. Rasa cinta tanah air
telah Rasullulah contohkan pada dirinya ketika beliau hijrah dari Makkah ke Madinah. Beliau
memalingkan pandangannya dan menyatakan perasaaannya, "Kau adalah negeri terbaik yang
sangat aku cintai. Kalau tidak karena Kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di
tempat lain selainmu." Kata-kata ini menunjukkan ketulusan cinta Rasulullah kepada tanah
air tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan.

Syekh Mahmoud menjelaskan bahwa Rasulullah SAW telah memberi contoh yang luar biasa
bagaimana mencintai tanah air, ketika hijrah dari Makkah Al-Mukarramah ke Al-Madinah
Al-Munawwarah beliau berdiri di perbatasan kota Makkah, lalu menatapnya dengan sedih
lantas bersabda:

ُ ‫منك ما َس َك‬
‫نت غي َرك‬ َّ ‫ ولوال‬،‫ي‬
ِ ‫أن قومي أخرجوني‬ َّ ‫ك من بل ٍد وأحب َِّك إل‬
ِ َ‫ما أطيب‬ 

“Alangkah baiknya kau sebagai negeri (kota) dan betapa cintanya diriku terhadapmu.
Seandainya kaumku tidak mengusirku darimu (Makkah), niscaya aku tidak akan tinggal di
kota selainmu.” (HR At-Tirmidzi) Seharusnya hadits ini menjadi pelajaran yang mengajarkan
kepada masyarakat dan pemuda khususnya, bagaimana memandang tanah air dengan
pandangan yang baik, serta menanamkan dalam jiwa, cinta tanah air yang setulus-tulusnya,
sehingga mereka berusaha untuk mengangkat martabatnya, tidak menghancurkan atau
menyabotnya, karena perbuatan seperti itu bisa dianggap sebagai pengkhianatan yang ditolak
Islam dan ditolak peradaban serta kemanusiaan. 

Alquran sebagai pedoman kehidupan telah mengatur sedemikian rupa tuntunan untuk umat
manusia. Tak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan ataupun manusia
dengan manusia lainnya, di dalam Alquran juga terkandung ilmu pengetahuan, idak seluruh
ayat Alquran dapat dipahami secara langsung hanya dengan membaca teks, beberapa ayat
membutuhkan pemahaman serta penafsiran yang mendalam untuk mengetahui makna tersirat
padanya. Salah satu pembahasan implisit dari Alquran yang bisa ditemukan yaitu mengenai
nasionalisme.

Nasionalisme merupakan sikap yang menunjukan kecintaan terhadap tanah air serta siap
berkorban untuk memajukan bangsa dan negara. Sikap mencintai tanah air tentu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut dibuktikan Alquran dengan adanya ayat yang
secara tersirat menyinggung mengenai nasionalisme.

1. Surat Al Anbiya ayat 92


‫اِ َّن ٰه ِذ ٖ ٓه اُ َّمتُ ُك ْم اُ َّمةً وَّا ِح َد ۖةً َّواَن َ۠ا َربُّ ُك ْم فَا ْعبُ ُدوْ ِن‬
“Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”
Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, lafaz “ummat” pada ayat tersebut
memiliki makna yang beragam di dalam Alquran. Ar Raghib Al Isfahani berpendapat
“ummat” merupakan suatu perkumpulan yang terdapat pada komunitas tertentu dan
mempunyai kesesuaian tempat, masa, keyakinan, baik atas kehendak sendiri atau
pengelompokkan secara terpaksa.

Perbedaan pemaknaan lafaz “ummah” terdapat pada kalangan ahli bahasa. Namun,
perbedaan tersebut dapat dijadikan argumen bahwa “ummah” yaitu sekelompok
masyarakat tanpa memandang perbedaan suku, adat istiadat serta tanpa paksaan dari
orang lain yang bertujuan membentuk suatu kelompok yang memiliki prinsip dan
tujuan yang satu yakni untuk memajukan suatu daerah dan bangsa mereka.
 
Pendapat Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam tafsir al-Maraghi mengenai ayat ini
yaitu pentingnya menjaga persatuan di antara masyarakat tanpa melihat  perbedaan
satu sama lain. Sebab esensi dari agama Islam pada ayat di atas adalah persatuan.
Para nabi tidak mempermasalahkan hal nasionalisme, meskipun terdapat perbedaan
masa diutusnya para nabi tersebut. Pada akhirnya ayat ini menjadi isyarat dalam
menjalankan sistem tata negara dengan menjadikan agama serta syariat yang terdapat
di dalamnya sebagai landasannya.
 
Ayat ini memiliki munasabah (korelasi) dengan surat An Nahl ayat 120:
ُ َ‫ِإ َّن ِإ ْب َرا ِهي َم َكانَ ُأ َّمةً قَانِتًا هَّلِل ِ َحنِيفًا َولَ ْم ي‬
  َ‫ك ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين‬
“Sesungguhnya Ibrahim ialah seorang yang bisa dijadikan sebagai teladan yang patuh
kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk hamba yang
menyetkutukan (Allah).”
 
Dalam tafsir al-Misbah ayat di atas menjelaskan jika yang dimaksud dengan umat
merupakan sekelompok manusia yang membawa kebenaran. Mereka merupakan
golongan para nabi sehingga golongan inilah yang menyebarkan ajaran Islam dan
agama inilah yang paling dekat dengan jati diri manusia.
 

2. Surat Al Baqarah ayat 144


ُ ‫ط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ۗ َو َحي‬
‫ْث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوْ ا‬ ْ ‫ك َش‬ َ َ‫ضىهَا ۖ فَ َو ِّل َوجْ ه‬ ٰ ْ‫ك قِ ْبلَةً تَر‬َ َّ‫ك فِى ال َّس َم ۤا ۚ ِء فَلَنُ َولِّيَن‬ َ ُّ‫قَ ْد ن َٰرى تَقَل‬
َ ‫ب َوجْ ِه‬
َ‫ق ِم ْن َّربِّ ِه ْم ۗ َو َما هّٰللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُوْ ن‬
ُّ ‫ب لَيَ ْعلَ ُموْ نَ اَنَّهُ ْال َح‬
َ ‫ط َر ٗه ۗ َواِ َّن الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ ْ ‫ُوجُوْ هَ ُك ْم َش‬
“Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami
palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi. Maka hadapkanlah wajahmu ke arah
Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu.
Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Kitab (Taurat dan Injil) tahu, bahwa
(pemindahan kiblat) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Dan Allah tidak lengah
terhadap apa yang mereka kerjakan.”
 
Quraish Shihab berpendapat dalam tafsirnya bahwa pada surat Al Baqarah ayat 144
syarat akan nasionalisme. Hal tersebut dibuktikan Rasulullah SAW saat peristiwa
perubahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Kabah. Dikarenakan Kabah merupakan kiblat
leluhur Nabi Muhammad SAW dan kebanggaan bagi masyarakat Arab.
 
Pada peristiwa tersebut tersirat bahwa rasa cinta tanah air tidak cukup hanya
diucapkan dengan ungkapan “ hubbul wathan minal iman” melainkan justru butuh
bukti yang konkret dari perkataan tersebut, Al Maraghi berpendapat bahwa ayat
tersebut menjelaskan pembagian kaum Nabi Musa menjadi dua belas kelompok yang
menjalankan amanah Allah SWT supaya menegakkan keadilan. Setiap golongan
memiliki peraturan tersendiri dalam menjalankan perintah Allah, karenanya penting
menjaga keluarga dan keturunan agar semua selalu berada jalan lurus bukan saling
mencela dan berpecah belah dengan sesama. Selain itu pula adanya pengelompokan
ini agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan.
 

3. Surat Al Araf ayat 160


‫ك ْال َح َج ۚ َر‬ َ ‫َوقَطَّ ْع ٰنهُ ُم ْاثنَت َْي َع ْش َرةَ اَ ْسبَاطًا اُ َم ًم ۗا َواَوْ َح ْينَٓا اِ ٰلى ُموْ ٰ ٓسى اِ ِذ ا ْستَس ْٰقىهُ قَوْ ُم ٗ ٓه اَ ِن اضْ ِربْ بِّ َع‬
َ ‫صا‬
“Dan Kami membagi mereka menjadi dua belas suku yang masing-masing berjumlah
besar, dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya,
“Pukullah batu itu dengan tongkatmu!”
 
Pada ayat ini Allah SWT mengelompokkan hamba-Nya berdasarkan kelompok atau
keturunannya. bertujuan agar mereka saling mengenal, bukan untuk berpecah belah
atau mencari kelemahan satu dengan yang lainnya.tetapi agar umat manusia
berlomba-lomba dalam kebaikan dan untuk saling mengenal tanpa memandang ras,
suku, bangsa. Pendapat ini disampaikan Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah.
Sedangkan Al Maraghi berpendapat adanya pemindahan arah kiblat dari Baitulmaqdis
menuju Masjidil Haram merupakan penjelasan bahwa kecintaan pada tanah air
dibuktikan dengan perbuatan serta apa yang telah seseoranh berikan kepada tanah air.
Karena menjadi suatu keharusan bagi umat Islam mencintai tanah kelahirannya
menjunjung tinggi martabat tanah air tersebut.
 

Dari ketiga ayat Alquran di atas menyatakan secara implisit bahwa nasionalisme
sebagai salah satu alat yang digunakan untuk mempersatukan bangsa tanpa melihat
kepada latar belakang perbedaan ras, suku, dan bangsa. Perlunya implementasi yang
nyata bukan sekadar berhenti pada seruan “cinta kepada tanah air sebagian dari
iman”.
(Isyatami Aulia/Nashih).
Di dalam kitab "al-Tahliyah wa al-Targhb f al-Tarbiyah wa al-Tahdzb" Sayyid
Muhammad mendefinisikan tanah air (al-wathan) sebagai tanah di mana kita lahir dan
tumbuh berkembang di sana, memanfaatkan tumbuhan dan binatang ternaknya,
mencecap air dan udaranya, tinggal di atas tanah dan di bawah kolong langitnya, serta
menikmati berbagai hasil bumi dan lautnya sepanjang masa.Sebagai umat muslim kita
memiliki suri tauladan yaitu Rasulullah SAW. Rasa cinta tanah air telah Rasullulah
contohkan pada dirinya ketika beliau hijrah dari Makkah ke Madinah. Beliau
pandangannya dan menyatakan perasaaannya, "Kau adalah negeri terbaik yang aku
cintai. Kalau tidak karena Kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di
tempat lain selainmu." Kata-kata ini menunjukkan cinta Rasulullah kepada tanah air
tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan.

Dalam Islam cinta tanah air juga merupakan kesadaran akan tanggung jawab untuk
memenuhi kewajiban-kewajiban atas negara. Rasulullah SAW, dalam piagam
mandinah memutuskan bahwa semua warga negara adalah satu tangan atas yang
lainnya, bahu- membahu melawan ancaman dan permusuhan atas tanah mereka,
bekerja sama dengan yang lainnya untuk memwujudkan kepentingan mereka,
menjaga darah, hak, dan kehormatan mereka.

Mencintai tanah air merupakan masalah fitrah, dan Islam adalah agama fitrah. Akan tetapi,
mencintai tanah air memerlukan batasan, yaitu tidak boleh bertentangan dengan ibadah dan
dakwah. Kecintaan terhadap tanah air juga tidak boleh melanggar hak-hak orang lain yang
terlibat dalam menjaga kehormatan Negara.

Kemuliaan cinta tanah air merupakan suatu yang wajar menurut agama. Karena tujuannya
adalah memakmurkan bumi sebagaiman dalam firman Allah SWT.

Yang Artinya: Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
memakmurkannya," [QS, Hud: 61].

Dengan rujukan diatas kita sebeagai bangsa indonesia memiliki tanah air yaitu Negara
Indonesia. Cara Kita mengekspresikan rasa cinta tanah air pada saat ini yaitu dengan cara
menghormati undang dan peraturan-peraturannya, menjaga aset-aset dan fasilitas umunya,
peduli terhadap lingkunganya, saling menjaga dan menghormati hak dalam
beragama,bermasyarakat dan bernegara, dan ikut serta dalam kemajuan bangsa.
Kiai Hasyim Asy’ari adalah ulama yang mampu membuktikan bahwa agama dan
nasionalisme bisa saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara. Dua unsur ini
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan
dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air memerlukan siraman-siraman nilai-
nilai agama agar tidak tandus dan kering.

Kiai Hasyim Asy’ari adalah ulama yang mampu membuktikan bahwa agama dan
nasionalisme bisa saling memperkuat dalam membangun bangsa dan negara. Dua unsur ini
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama Islam memerlukan tanah air sebagai lahan
dakwah dan menyebarkan agama, sedangkan tanah air memerlukan siraman-siraman nilai-
nilai agama agar tidak tandus dan kering.

Meminjam pernyataan ulama asal Kempek, Cirebon KH Said Aqil Siroj, agama tanpa
nasionalisme akan menjadi ekstrem. Sedangkan nasionalisme tanpa agama akan kering. Hal
ini terbukti ketika fenomena ekstremisme agama justru lahir dari orang dan kelompok orang
yang terlalu eksklusif dan sempit dalam memahami agama tanpa memperhatikan realitas
sosial kehidupan.

Jika agama diartikan sebagai jalan hidup, sudah semestinya agama berperan dalam realitas
kehidupan. Dalam konteks tersebut, realitas bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa
majemuk menuntut seluruh elemen bangsa menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan. Di
sinilah prinsip cinta tanah air harus diteguhkan. Perjuangan melawan dan mengusir penjajah
ditegaskan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai kewajiban agama atas seluruh rakyat Indonesia
sebagai kaum beragama yang sedang terjajah.

Perlu dipahami juga bahwa cinta tanah air mempunyai makna, Indonesia terdiri dari 700 suku
lebih yang mempunyai tradisi, budaya, dan bahasa yang sangat beragam. Langkah kita
sebagai seorang pelajar hendaknya berusaha mengetahui dan memahami kemajemukan
Indonesia. Menjaga dan merawat Indonesia yang beragam ini merupakan bentuk cinta tanah
air yang telah dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Untuk mempertegas pandangan cinta tanah air dalam Islam, ulama muda asal Lampung KH
Ahmad Ishomuddin (2018) mengungkapkan beberapa dalil tentang cinta tanah air dalam
perspektif ajaran Islam
Pertama, cinta tanah air dalam al-Qur'an dan menurut para ahli tafsir. Allah berfirman, "Dan
sesungguhnya jika seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik):
"Bunuhlah diri kamu atau keluarlah dari kampung halaman kamu!" niscaya mereka tidak
akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka..." (QS. An-Nisa': 66)

Dalam Tafsir al-Kabir, al-Imam Fakhr Al-Din al-Razi menafsirkan ayat di atas, "Allah
menjadikan meninggalkan kampung halaman setara dengan bunuh diri."

Kedua, cinta tanah air dalam hadits dan penjelasan ulama pen-syarah-nya. "Diriwayatkan dari
Anas, bahwa Nabi SAW. ketika kembali dari bepergian dan melihat dinding-dinding
Madinah, beliau mempercepat laju untanya. Dan apabila beliau menunggangi unta maka
beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah." (HR.
Al-Bukhari, Ibn Hibban dan al-Turmudzi)

Mengomentari hadits di atas, dalam Fath al-Bari, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, "Hadits
ini menunjukkan keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya cinta tanah air." Hal yang
sama juga dikemukakan dalam kitab 'Umdat al-Qariy oleh Badr al-Din al-'Aini.

Ketiga, cinta tanah air menurut para ahli fiqih. Bahwa hikmah berhaji dan pahalanya yang
besar karena mendidik jiwa menjadi lebih baik dengan meninggalkan tanah air dan keluar
dari kebiasaannya. Dalam kitab al-Dakhirah, al-Qarafi menyatakan, "Manfaat haji adalah
mendidik diri dengan meninggalkan tanah air."

Keempat, cinta tanah air menurut para wali. Orang-orang yang saleh senantiasa mencintai
tanah air. Dalam kitab Hilyat al-Awliya', Abu Nu'aim meriwayatkan dengan sanadnya kepada
pimpinan kaum zuhud dan ahli ibadah, Ibrahim bin Adham, ia berkata, "Saya tidak pernah
merasakan penderitaan yang lebih berat daripada meninggalkan tanah air."

Berdasarkan beberapa dalil di atas, maka setiap orang beragama selain berkewajiban untuk
mencintai agama yang dianutnya--dengan cara memahami dan mengamalkannya dengan
sebenar-benarnya--juga berkewajiban untuk mencintai tanah airnya. Karena mencintai tanah
air itu tidak bertentangan dengan agama dan bahkan merupakan bagian dari ajaran agama
yang wajib diamalkan.
Orang yang beragamanya benar dan cinta terhadap tanah airnya akan selalu memerhatikan
keamanan tanah air, tempat hidupnya, kampung halamannya. Ia tidak akan membuat
kegaduhan demi kegaduhan, tidak menebar kebencian dan saling permusuhan di antara setiap
orang dan setiap suku serta para pemilik indentitas berbeda yang menempati setiap jengkal
tanah airnya.

Orang yang mencintai tanah air karena perintah agamanya bahkan sanggup mengorbankan
harta benda atau apa saja. Bahkan mengorbankan nyawanya untuk kepentingan
mempertahankan tanah airnya dari setiap ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari
luar.

dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 126: Rabbij’al hâdzâ baladan âminan warzuq ahlahû
minats tsamarâti man âmana minhum billâhi wal yaumil âkhir.

Artinya: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki
dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari
kemudian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 126)

Dalam suatu hadis diriwayatkan pada saat Nabi Muhammad hendak hijrah ke Madinah,
karena tindakan represif kaum musyrik dan kafir Quraisy, beliau bersabda "alangkah baiknya
engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai.
Seandainya kaumku tidak mengusir ku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selain
mu” (HR Ibnu Hibban).

Nabi Muhammad meninggalkan kota yang dicintainya karena keadaan darurat, beliau
mendapat intimidasi, ancaman, gangguan, dalam menyebarkan syiar Islam di sana. Oleh
karenanya, mau tidak mau beliau harus meninggalkan kota Makkah demi misi yang lebih
besar.

Selain mencintai kota Makkah, Nabi Muhammad juga sangat mencintai kota Madinah Al
Munawarah, kota di mana peradaban Islam berkembang, kota mulia, tempat turunnya wahyu,
kota di mana jasad Muhammad Saw dimakamkan, dan kota yang dihuni oleh masyarakat
multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam hidup rukun dan saling menghormati
dibawah aturan dasar Piagam Madinah yang dirumuskan oleh beliau sendiri.
Madinah merupakan tempat kedua yang dicintai oleh Nabi Muhammad setelah kota Makkah.
Dalam suatu hadis diriwayatkan dari sahabat Anas, “ketika Nabi Muhammad Saw kembali
dari bepergian, dan beliau melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju
untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk
mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah". (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan
Tirmidzi).

Selain itu, Muhammad Saw juga telah menjadikan Kota Madinah sebagai kota haram, Dalam
sebuah hadis disebutkan “Sesungguhnya Nabi Ibrâhîm menjadikan kota Mekah sebagai kota
haram, dan sesungguhnya aku menjadikan Madinah sebagai kota yang haram juga”. (HR.
Muslim)

Ketika kita berbicara mengenai cinta tanah air, itu tidak terbatas pada negeri umat Muslim
saja, tetapi semua negeri yang ditempati oleh manusia, bahkan meskipun negeri tersebut
bukan negara Islam, atau ketika mayoritas penduduk di negeri tersebut adalah non-Muslim.
Tanah air adalah tanah air, siapapun yang tinggal di atasnya dengan latar belakang agama
apapun punya hak dan kewajiban yang sama.

Indonesia adalah negara yang beragam suku dan budayanya. Salah satu hal yang berpotensi
besar merusak kecintaan kita kepada tanah air adalah fanatisme suku dan kelompok; hanya
suku atau kelompoknya sendiri saja yang paling benar, atau tidak melihat kebaikan yang
datang dari suku atau kelompok lain. Fanatisme adalah perbuatan iblis, dan iblis adalah
imamnya orang-orang yang fanatik. Di dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak termasuk
fanatisme seseorang yang mencintai kaumnya, tetapi yang termasuk fanatisme adalah ia
melihat keburukan kaumnya lebih baik daripada kebaikan kaum yang lain.”

Rasulullah Saw. mendorong untuk menghilangkan fanatisme, baik kepada jenis, suku, atau
warna kulit. “Wahai manusia, kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.
Tidak ada keutamaan orang Arab atas orang asing atau orang berkulit putih atas orang
berkulit hitam kecuali dengan ketakwaan.” Ketika seorang Yahudi bernama Syas ibn Qais
berencana mengobarkan api perselisihan antara suku Aus dengan suku Khazraj, dan
rencananya hampir berhasil, di mana masing-masing dari suku Aus dan Khazraj mulai
menyerukan fanatisme kesukuannya, maka datanglah Rasulullah Saw. menjadi penengah
dengan bersabda, “Tinggalkan fanatisme, karena baunya sangat busuk. Apakah kalian akan
kembali ke masa Jahiliyah sedangkan aku berada di tengah-tengah kalian?”

Kita harus selalu menjaga persatuan karena itulah kekuatan kita. Kita lihat negara-negara
Eropa menyadari betul nilai dari persatuan itu, makanya mereka kemudian membentuk Uni
Eropa. Sementara kita, bangsa Indonesia, belum menyadari itu sepenuhnya, sebab hinggga
saat ini Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika masih hanya sebatas tulisan di atas kertas.
Makanya kecintaan kita kepada negeri ini harus menjadi motivasi untuk mempertahankan
identitas kebangsaan. Artinya, kita mencintai tanah air bukan karena kita menganggapnya
sebagai tempat kita lahir dan tempat tinggal saja, tetapi sebagai sarana untuk menjaga
identitas kebangsaan sebagai satu kesatuan.

Dalam hal ini ormas-ormas keagamaan sebagai rujukan utama masyarakat sangat dibutuhkan
untuk menyebarkan semangat persatuan. Ketidakterlibatan ormas-ormas ini justru akan
membuka peluang bagi kehadiran kekuatan lain untuk memecah-belah bangsa dengan
menggunakan berbagai media dan propaganda, bahkan bisa memicu munculnya kelompok-
kelompok ekstrimis yang mengklaim mampu menghilangkan kerusakan dan memperbaiki
moral masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai