Anda di halaman 1dari 34

Analisis Filosofis Seni Ukir Masjid Ditinjau Dari Perspektif Aqidah Islam

( Studi Kasus Masjid Astana Sultan Hadlirin Di Desa Mantingan Kecamatan


Tahunan Kabupaten Jepara)

SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi sebagian Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Bidang Aqidah dan Filsafat Islam

Oleh :
LUTFI SEPTIKA
NIM : 2030210058

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS


FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesenian merupakan salah satu bentuk hiburan yang tak terlepas dari kehidupan
manusia. Islam mengajarkan batasan-batasan yang jelas yang mengarahkan kepada
kebaikan dan menjauhkan manusia dari hal-hal yang buruk1. Dalam perspektif Islam,
konsep seni adalah membimbing manusia menuju ketauhidan dan pengabdian diri kepada
Allah SWT. Seni diciptakan untuk melahirkan manusia yang beradab dan baik. Motif
seni dalam Islam bertujuan untuk kebaikan dan akhlak yang baik. Selain itu, seni juga
harus dijalankan sebagai proses pendidikan yang positif dan sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat Islam2.

Pada dasarnya, manusia memiliki fitrah yang mencintai segala sesuatu yang dapat
menyenangkan hatinya melalui inderanya. Seni diciptakan dalam berbagai bentuk yang
mengandung nilai estetika yang harmonis dengan nilai-nilai estetika Islam. Dalam
estetika tersebut terkandung nilai-nilai akhlak. Dalam Islam, para penganutnya
diperbolehkan menikmati keindahan alam, asalkan tidak bertentangan dengan aturan-
aturan Allah. Keindahan tidak hanya dilihat dari segi fisik semata, tetapi juga harus baik
dan benar. Sebaliknya, sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam tidak dapat
dianggap indah, meskipun pada pandangan manusia mungkin tampak mempesona dan
menarik.3

Terkait dengan seni, ada aspek menarik yang layak dibahas, yaitu seni ukir. Seni
ukir melibatkan proses menciptakan karya seni atau hiasan dengan menggunakan teknik
mengukir atau memahat pada bahan seperti kayu, batu, logam, dan bahan lainnya. Dalam
seni ukir, seorang seniman menggunakan berbagai alat tajam seperti pahat, gergaji, pisau,
atau burin untuk menghilangkan, mengukir, atau membentuk bahan menjadi bentuk yang
diinginkan.4

1
Nor Adina Abdul Kadir, Nang Naemah Nik Dahalan, and Norsaeidah Jamaludin, “Seni Dalam Islam: Kajian Khusus
Terhadap Seni Ukir,” E-Journal of Islamic Thought and Understanding 1, no. 30 January (2018): 1–15.
2
Kadir, Dahalan, and Jamaludin.
3
Kadir, Dahalan, and Jamaludin.
4
Rahmi Nur Fitria Utami et al., “Etnomatematika: Eksplorasi Seni Ukir Jepara,” JP3M (Jurnal Penelitian Pendidikan
Dan Pengajaran Matematika) 7, no. 1 (2021): 23–38, https://doi.org/10.37058/jp3m.v7i1.2551.
Kedatangan Islam mengubah motif dalam seni ukiran, di mana motif awal yang
menggambarkan hewan dan dewa digantikan dengan motif flora dan khat (Ismail Said &
Ahmad Saifuddin Abdullah, 2001). Dalam konteks ukiran patung, membuat gambar
patung dengan sengaja dan dengan tujuan untuk disembah dianggap sebagai tindakan
kafir. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, siapa pun yang membuat patung atau gambar
patung dengan maksud menyamakan ciptaan Allah SWT termasuk dalam golongan orang
kafir. Yusuf al-Qaradawi (1980) menyatakan bahwa pemahat patung dan orang-orang
yang menggunakan patung sebagai hiasan ternasuk dalam perbuatan dosa.
Pemahaman dasar Islam telah mendorong penggunaan seni ukir dalam bangunan dengan
menghasilkan motif baru yang didasarkan pada unsur-unsur seperti geometri, bunga-
bungaan, pucuk tumbuhan, dan dedaunan. Sebagai hasilnya, para pengukir berusaha
untuk melakukan inovasi dengan mengubah teknik pengukiran dan menggunakan motif
yang mencerminkan keislaman. Seni ukir kemudian berkembang luas, terutama dalam
istana-istana raja, rumah-rumah orang terkemuka, tempat ibadah, pintu gerbang kota, dan
sebagainya5.

Pada tempat-tempat ibadah, seringkali kita menemukan relief seni ukir yang
menjadi peninggalan bersejarah, seperti yang terlihat pada Masjid Mantjangan di Jepara.
Kita sering melihat adanya ukiran yang indah pada ornamen masjid tersebut, yang
dilengkapi dengan hiasan berupa ukiran ayat-ayat Al-Quran dan motif-motif khas dari
unsur budaya dan lingkungan alam. Tidak lupa juga terdapat lambang kebesaran Allah
dan pentingnya ketaatan manusia sebagai makhluk-Nya.

Masjid Mantingan, juga dikenal sebagai Masjid Astana Sultan Hadlirin,


merupakan salah satu masjid bersejarah di Indonesia setelah Masjid Agung Demak.
Masjid ini terletak di Desa Mantingan, Jepara, Jawa Tengah, sekitar 5 km dari pusat Kota
Jepara. Pembangunan Masjid Mantingan dilakukan pada tahun 1559 Masehi pada masa
pemerintahan Ratu Kalinyamat.

Di masa lalu, Masjid Mantingan memegang peranan yang sangat menonjol di


tengah keramaian pelabuhan, rumah-rumah, dan pasar. Arsitektur masjid ini memiliki ciri

5
Nurul Shakira Ahmad Asri and Mohd Yuszaidy Mohd Yusoff, “Motif Alam Dan Tumbuhan Dalam Seni Ukiran Kayu
Melayu Di Besut Terengganu,” Jurnal Wacana Sarjana 6, no. 1 (2022): 1–8.
khas yang unik, dengan pengaruh gabungan budaya Hindu-Buddha, Jawa, dan
Tionghoa.Sejak zaman kerajaan dahulu, Jepara telah menjadi pelabuhan yang sibuk di
pantai utara Jawa. Pelabuhan ini menjadi tempat pertemuan para pedagang dari berbagai
negara, termasuk Cina, India, dan wilayah Nusantara lainnya.

Sejalan dengan itu, pembangunan Masjid Mantingan diperkirakan terjadi pada


masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, yang merupakan putri Sultan Trenggono (1521-
1546) dari Kesultanan Demak dan diangkat sebagai bupati di Jepara. Dalam buku Sejarah
dan Hari Jadi Jepara (1988), disebutkan bahwa Ratu Kalinyamat, yang sebelumnya
dikenal sebagai Ratna Kencana, menikah dengan Pangeran Kalinyamat atau Sultan
Hadlirin, yang kabarnya adalah seorang pangeran dari Kesultanan Aceh Darussalam6.

Pendirian Masjid Mantingan pada tahun 1559 M dengan arsitektur yang unik
menjadi bukti keberadaan pemerintahan kerajaan yang mengusung nilai-nilai Islam di
Jepara. Ambary dan Hasan Muarif dalam buku "Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis
dan Historis Islam Indonesia" (2001) menyatakan bahwa bangunan masjid merupakan
hasil desain yang disesuaikan dengan alam dan budaya masyarakat setempat7.

Hal yang sama terjadi pada Masjid Mantingan di Jepara. Sebagai bangunan
bersejarah, masjid ini memiliki ciri khas dalam arsitektur bangunannya. Salah satu contoh
uniknya adalah bentuk atap tumpang dan mustaka, yang mencerminkan pengaruh
akulturasi dari arsitektur era Majapahit dan Tionghoa. Selain itu, gapura masuk masjid
dan bekas petilasan candi yang terletak dekat masjid juga menjadi bagian yang menarik
dalam kompleks Masjid Mantingan.

Budaya Jawa, Tiongkok, dan Hindu ditampilkan jelas dalam arsitektur Masjid
Mantingan. Misalnya, bangunan serta gapura rumah ibadah tersebut yang berbentuk
lengkungan. Selain itu, di dekat bangunan utama Masjid Mantingan terdapat petilasan
candi meski kini tak utuh lagi.Masjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi yang
ditutup dengan ubin buatan Tiongkok. Begitu pula dengan undak-undakannya yang
semuanya didatangkan dari Makau.

6
Agus Setiawan, “Ornamen Masjid Mantingan Jepara Jawa Tengah,” Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan
Seni, 2016, https://doi.org/10.33153/dewaruci.v6i2.921.
7
Setiawan.
Akulturasi budaya Hindu dan Cina juga tampak dari bentuk mustaka dan atap
tumpang. Corak tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Majapahit. Begitu juga dengan
relief yang terpampang pada dinding masjid ini. Sementara itu, pengaruh kebudayaan
China terlihat dari adanya ornamen barongsai pada relief yang digayakan (stilisasi)8.

Bangunan utama Masjid Mantingan menampilkan relief-relief yang menempel


pada dinding. Saat ini, terdapat 114 relief yang dipajang di sana. Adapun sisanya sudah
tersimpan di galeri sederhana pada samping masjid ini. Adanya relief tersebut
menunjukkan keunikan Masjid Mantingan bila dibandingkan dengan masjid-masjid kuno
lainnya di Nusantara.

Relief biasanya dijumpai pada candi-candi Hindu. Bagaimanapun, relief pada


Masjid Mantingan mematuhi kaidah Islam. Sebagai contoh, gambar-gambar makhluk
bernyawa, seperti binatang, pada relief tersebut diukir dengan cara disamarkan. Inilah
bukti kepiawaian para seniman istana pada zaman silam. Corak gambar lainnya
mengikuti tradisi kaligrafi Islam, yakni geometris atau flora (sulur-suluran tumbuhan).

Menurut cerita tradisional setempat, arsitek masjid ini adalah Chi Hui Gwan (Tjie
Wie Gwan) atau yang lebih dikenal dengan julukannya, Patih Sungging Badarduwung.
Patih ini merupakan ayah angkat Sultan Hadlirin yang membantu Ratu Kalinyamat dan
masyarakat setempat dalam mendirikan masjid dan makam tersebut.

G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950
(1985), menjelaskan bahwa Masjid Mantingan memiliki lima atap yang bertingkat.
Bangunan tersebut mengingatkan pada ciri khas gaya arsitektur Cina9.

Dikutip dari Eko Roy Ardian Putra dalam penelitiannya berjudul "Makna
Simbolis pada Ragam Hias Masjid Mantingan di Jepara" (2018), dinding Masjid
Mantingan dihiasi dengan berbagai ornamen ukiran jenis relief dari batu karang putih10.

8
Aulia Normalita, “Nilai-Nilai Toleransi Hasil Akulturasi Budaya Pada Masjid Mantingan Jepara,” Satwika : Kajian
Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial 7, no. 1 (2023): 133–42, https://doi.org/10.22219/satwika.v7i1.24353.
9
Keragaman Abd. Ghofur. Bentuk, Bentuk Masjid, and T U A Di, “Pendahuluan,” 2000.
10
Eko Roy Ardian Putra, “Makna Simbolis Pada Ragam Hias Masjid Mantingan Di Jepara,” Pendhapa 10, no. 1
(2019), https://doi.org/10.33153/pendhapa.v10i1.2938.
Ragam hias dalam relief masjid ini berciri ornamental zaman madya. Ragam hias
Mantingan mendapat pengaruh kuat dari kebudayaan Hindu dan Cina. Dalam filosofis
bentuk bangunan, pengaruh Hindu dapat dijumpai pada bentuk gerbang Candi Bentar.
Bentuk gerbang Candi Bentar tersebut digunakan sebagai pintu masuk kawasan masjid
maupun makam di Mantingan.

Kemudian, motif hiasannya berupa tumbuh-tumbuhan, bunga teratai, dan hewan.


Namun, semua gaya tersebut sudah disesuaikan dengan budaya Islam. Menurut aqidah
Islam, sosok manusia atau semua makhluk yang bernyawa tidak diperkenankan sebagai
hiasan dekoratif. Akan tetapi seniman pada zaman itu sangat pintar. Mereka membuat
gambar-gambar bernyawa itu dalam bentuk ukiran yang disamarkan, atau distilir. Namun
masih ada beberapa relief seni ukir dipahat dengan wujud dari makhluk hidup yg tampak
begitu jelas11. Dalam Aqidah Islam, ada beberapa dalil yang berkaitan dengan hukum
gambar. Baik itu dari Al-Quran maupun dari hadits Nabi Muhammad SAW.

Dalam Al-Quran surat Al-Anbiya ayat 52-54, Allah SWT berfirman12:

٥٢ َ‫ِإ ْذ قَا َل َأْلبِ ْي ِه َوقَوْ ِم ٖه َما ٰه ِذ ِه التَّ َماثِ ْي ُل الَّتِ ْي َأ ْنتُ ْم لَهَا عَا ِكفُوْ ن‬

Ayat 52. (Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya,
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?"

٥٣ َ‫قَالُوْ ا َو َج ْدنَا ٰابَا َءنَا لَهَا ٰعبِ ِد ْين‬

Ayat 53. Mereka menjawab, "Kami mendapati nenek moyang kami


menyembahnya."

٥٤ ‫ض ٰل ٍل ُّمبِ ْي ٍن‬
َ ‫قَا َل لَقَ ْد ُك ْنتُ ْم َأ ْنتُ ْم َو ٰابَاُؤ ُك ْم فِ ْي‬

Ayat 54. Dia (Ibrahim) berkata, "Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu
berada dalam kesesatan yang nyata."

11
Kadir, Dahalan, and Jamaludin, “Seni Dalam Islam: Kajian Khusus Terhadap Seni Ukir.”
12
Al-Qur’an Kemenag, “Qur’an Dan Terjemahan,” n.d., https://quran.kemenag.go.id/.
Selain dari Al-Quran, ada juga beberapa hadits yang menjelaskan tentang hukum
gambar dalam Islam. Berikut adalah beberapa di antaranya13:

Oleh Ibnu Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang
membuat gambar di dunia ini, maka Allah akan menyiksanya pada hari kiamat dengan
memerintahkan kepadanya untuk meniupkan ruh ke dalam gambar itu. Padahal dia tidak
akan mampu meniupkan ruh ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:


“Sesungguhnya Allah SWT berfirman: Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
menciptakan seperti ciptaan-Ku? Maka hendaklah mereka menciptakan sebutir gandum
atau sebutir jelai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari beberapa sumber Alqur'an dan hadist terdapat bebeberapa penjelasan yang
berisi pelarangan membuat gambar makhluk bernyawa. Mengenai hal ini, para ulama’
memiliki pendapat yang berbeda-beda. Ada yang melarang secara mutlak melarang, dan
ada juga yang memperbolehkan. ari latar belakang yang telah dijabarkan, peneliti akan
mengkaji lebih lanjut mengenai " Analisis filosofis seni ukir masjid ditinjau dalam
perspektif aqidah islam ( Studi kasus Masjid Astana Sultan Hadlirin Desa Mantingan
Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara)"

Sebagai buah peninggalan sejarah lampau, Masjid Mantingan kental dengan sarat
akan nilai filosofis pada pembangunan dan design interior masjidnya. Dari berbagai nilai
filosfis yg ada penelitian ini juga penting dilakukan untuk mengetahui pengaruh dan
pandangan tersendiri bagi masyarakat Jepara khusunya masyarakat desa Mantingan yang
memiliki sejarah masjid tertua dan mempunyai nilai sejarah yang begitu besar. Adanya
peninggalan sejarah bukan hanya untuk dinikmati keindahanya saja namun perlu
diketahui pula peranan masyarakat juga sangat penting dalam menjaga dan melestarikan
peninggalan sejarah untuk itulah peneliti melakukan penelitian lebih dalam mengenai
pemahaman dan pandangan masyarakat terhadap nilai filosofis seni ukir Masjid Astana
Hadlirin.

13
Muhamad Zarkasih Nur and Susanti Vera, “Syarah Hadis Perihal Seni Gambar Dan Memahat Patung,” The 2nd
Conference on Ushuluddin Studies 8 (2022): 208--218,
https://www.conferences.uinsgd.ac.id/index.php/gdcs/article/view/565/373.
B. Fokus Penelitian

Terkait dengan penelitian yang akan dilakukan maka fokus penelitian ini tertuju
pada “Analisis filosofis seni ukir masjid ditinjau dalam perspektif aqidah islam ( Studi
kasus Masjid Astana Sultan Hadlirin Desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten
Jepara)” yang disimpulkan dalam sub fokus penelitian sebagai berikut : nilai filosofis
pada seni ukir masjid Astana Sultan Hadlirin ditinjau dari perspektif Aqidah Islam. Serta
menelaah lebih lanjut pandangan dan pengaruh bagi masyarakat desa Mantingan
mengenai makna filosofis yang ada pada masjid Astana Hadlirin.

C. Rumusan masalah
Adapun beberapa pertanyaan yang dijadikan rumusan masalah sebagai berikut :
Rumusan masalah :
1) Apa nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam seni ukir Masjid Astana Hadlirin
Desa Mantingan ditinjau dalam perspektif aqidah Islam?
2) Bagaimana pandangan dan pemahaman masyarakat terkait yg terkandung dalam seni
ukir masjid Astana Hadlirin Desa Mantingan?
3) Bagaimana pengaruh makna filosofis seni ukir masjid Astana Sultan Hadlirin
terhadap religiusitas masyarakat Desa Mantingan?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah terkait penelitian “ Analisis filosofis seni ukir


masjid ditinjau dalam perspektif aqidah islam ( Studi kasus Masjid Astana Sultan
Hadlirin Desa Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten Jepara)”, maka tujuan
penelitian ini adalah:

a) Untuk mengetahui nilai-


nilaifilosofisyangterkandungdalamseniukirMasjidMantinganJeparaditinjaudalampersp
ektifaqidahIslam.
b) Untuk mengetahui pandangan masyarakat terkait makna yg terkandung dalam seni
ukir masjid mantingan.
c) Untuk mengetahui pengaruh makna filosofis seni ukir masjid astana sultan hadlirin
terhadap masyarakat desa mantingan

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini meliputi
dua hal, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Meliputi:

1) Manfaat teoritis

a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca
terutama masyarakat Desa Mantingan dalam meyikapi berbagai kebudayaan yg
ada khususnya warisan budaya Desa Mantingan berupa Masjid yangg memiliki
nilai filosofisnya tersendiri.
b. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana pengembangan
pada masyarakat luas.

2) Manfaat praktis

a. Dari hasil penelitian ini diharapkan sebagai suatu pengetahuan bagi masyarakat
khusunya masyarakat Desa Mantingan dalam menyikapi adanya warisan budaya
berupa masjid dengan berbagai nilai filosofisnya
b. Bagi mahasiswa diharapkan dapat membantu pemahaman mengenai adanya nilai
filosofis pada seni ukir masjid Astana Hadlirin Desa Mantingan.

F. Sistematika penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, supaya dapat dipahami serta dimengerti


pembahasannya, serta memperoleh hasil yang maksimal, perlu adanya sebuah sistematika
penulisan untuk meyusun suatu tulisan dalam penelitian agar lebih tertapa dengan rapi.
Sistematika penulisan hasil penelitian ini pada dasarnya di bagi ke dalam beberapa bab
dan beberapa sub bab pembahasan. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Bab I (Pendahuluan), dalam bab ini memuat tentang latar belakang masalah,
fokus penelitian yang akan diteliti, rumusan masalah yang akan di bahas, tujuan
penelitian, manfaat dari penelitian, serta sistematika penulisan yang di sajikan dalam
bentuk per sub bab dalam setiap itemnya.

Bab II (Kerangka Teori), di dalam bab ini penulis akan memaparkan tentang
dasar-dasar teoritis terkait dengan penelitian yang kami lakukan. Adapun bab II ini kami
bagi menjadi beberapa sub bab yaitu: 1. Kerangka teori: berisi teori-teori yang terkaitan
dengan judul penelitian. 2. Penelitian terdahulu: berisi tentang penelitianpenelitian yang
sudah pernah dilakukan terkait dengan fokus penelitian yang diteliti. 3. Kerangka
berfikir. Berisi tentang alur penelitian yang akan kami terapkan dalam peelitian kami.

Bab III (metode penelitian), berisi tentang jenis penelitian, pendekatan yang
digunakan, sifat penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis
data yang digunakan untuk penelitian ini. Dalam bab ini juga pemebahasan-pembahasan
tersebut juga kami sajikan dalam beberapa sub bab agar memudahkan pembaca.

Bab IV (hasil penelitian dan pembahasan), bab ini merupakan bab yang paling
sentral karena dalam bab ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian yang penulis
lakukan. Pembahasan didalam bab ini juga penulis sajikan ke dalam beberapa sub bab
agar memudahkan pembaca.

Bab V (penutup), dalam bab terakhir ini, akan dipaparkan kesimpulan dari
penelitian yang penulis lakukan, yang merupakan kesimpulan dari pembahasan yang ada
di dalam bab I sampai bab V. selain itu, pada bab ini juga tertera saran dan juga penutup
dari penelitian penulis.

Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, dokumen sumber primer dan daftar
riwayat hidup.
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kajian Teori
1) Konsep Filosofis
a. Pengertian Filosofis
Filosofis adalah atau falsafah berasal dari kata Yunani Philosophia yang berati
cinta kebijaksanaan, philein adalah cinta dan sophia adalah hikmah, jadi
Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Jadi
kata filsafat berati mencintai atau lebih suka atau keinginan kebijaksanaan.
Pengertiian filsafat secara terminologi bersifat subjektif, karena sangat
luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, sehingga setiap filosof mempunyai
konsep tersendiri mengenai pengertian filsafat. Disini akan dikemukakan
beberapa pengertian filsafat menurut beberapa orang filosof. Diantaranya:
1. (Betrand Russel 2007:13) Mengemukakan bahwa filsafat adalah tidak lebih
dari suatu usaha untuk menjawab pertanyaanpertanyaan terakhir, tidak secara
dangkal atau dogmatis seperti yang kita lakukan pada kehidupan sehari-hari
dan bahkan dalam ilmu pengetahuan, akan tetapi secara kritis, dan arti kata
dari setelah segala sesuatunya diselidiki problema-problema apa yang dapat
ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu dan setelah kita
menjadi sadar dari segala kekaburan dan kebingungan yang menjadi dasar
bagi pengertian kita sehari-hari.
2. Rahmat Aceng et (2013: 106) Filsafat adalah suatu proses mencari kebenaran
yang hakiki tentang Tuhan, alam dan manusia. Kebenaran tersebut diperoleh
dengan jalan melakukan perenungan dan penyelidikan yang dilaksanakan
melalui pengamatan, penyelidikan dan penelitian.
Dari pendapat para ahli diatas dapat saya simpulkan bahwa filosofis atau
filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan dan suatu proses yang mencari suatu
kebenaran dan mencari tau tentang hakiki Tuhan.
Filsafat merupakan ilmu yang mempersoalkan inti, hakikat, atau hikmah
segala sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Karena filsafat mencari
sesuatu yang mendasar, asas dan inti, atau hikmah dari segala sesuatu. Dan
berfikir filsafat adalah berfikir secara mendalam, radikal, dan sitematis.14
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam, baik dalam ungkapan
maupun titik tekannya. Disini dikemukakan beberapa definisi dari para filosof
terkemuka yang cukup representatif, baik dari segi zaman maupun kualitas
pemikiran.15
Plato seorang filsuf Yunani terkenal, gurunga Aristoteles, ia sendiri berguru
kepada Socrates. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala
yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli.16
Aristoteles (murid Plato) juga memiliki beberapa gagasan mengenai filsafat.
Antara lain, ia mengatakan bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan asas segala
benda.17 Ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada
sebagaiamana adanya” (being as such).

14
Dede Ahmad Ghazali dan Heri Gunawan, Studi Islam : Suatu Pengantar Dengan Pendekatan Interdisipliner, (Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 2015), 66.
15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, 7.
16
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta : Prenada Media, 2003), 2.
17
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2005), 67.
Rene Descartes, filsuf Prancis yang termasyhur dengan argumen (je pense,
donc je suis), atau dalam bahasa Latin (cogito ergo sum) “aku berpikir maka aku
ada”, ia mengatakan bahwa filsafat sebagai kumpulan segala pengetahuan dimana
mengenai Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.18
Selain beberapa gagasan para filosof terdahulu mengemukakan definisi
filsafat diatas, maka para filosof diera modern ini juga tidak kalah untuk
menuangkan gagasan mereka mengenai filsafat, diantaranya yaitu menurut Hasan
Shadily bahwa filsafat asal katanya adalah cinta akan kebenaran. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa filsafat adalah cinta ilmu pengetahuan atau
kebenaran, suka kepada hikmah dan kebijaksanaan. Jadi, orang yang berfilsafat
adalah orang yang mencintai kebenaran, berilmu pengetahuan, ahli hikmah dan
kebijaksanaan.
Selain itu, Harold Titus juga mengemukakan pengertian filsafat dalam arti
yang lebih luas yaitu:
1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta.
2) Filsafat ialah suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian penalaran.
3) Filsafat ialah suatu perangkat masalah-masalah.
4) Filsafat ialah seperangkat teori dan sistem berfikir19
Immanuel Kant sebagai salah seorang tokoh filosof modern berpendapat
bahwa filsafat adalah pengetahuan mengenai pokok pangkal dari segala
pengetahuan dan perbuatan. Dan Bertrand Russel mendefinisikan filsafat sebagai
usaha untuk menjawab masalah wujud tertinggi secara kritis.20
Dengan demikian perbedaan definisi yang diberikan oleh para tokoh diatas
dapat diambil suatu pengertian bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
komprehensif yang berusaha memahami persoalan-persoalan yang timbul dalam
keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian diharapkan
agar manusia dapat mengerti dan memiliki pandangan yang sistematis, integral,
menyeluruh dan mendasar mengenai berbagai bidang kehidupan manusia.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian dari makna filosofis adalah hasil
dari konsep pemikiran manusia dalam menilai suatu objek tertentu secara arif dan
bijaksana.
b. Munculnya Filsafat
Banyak filsuf mengatakan bahwa yang menjadi awal kelahiran filsafat ialah
kekaguman, keheranan, atau ketakjuban. Dalam karyanya yang berjudul
Metafisika, Aristoteles mengatakan bahwa karena ketakjuban manusia mulai
berfilsafat. Pada mulanya manusia takjub memandang benda-benda aneh
disekitarnya, lama-kelamaan ketakjubannya semakin terarah pada hal-hal yang

18
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2009), 5.
19
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, 59.
20
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, 8.
lebih luas dan besar, seperti perubahan dan peredaran bulan, matahari,
bintangbintang, dan asal-mula alam semesta.21
Plato mengatakan : “mata kita memberi pengamatan bintang-bintang,
matahari, dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dari
penyelidikan ini berasal filsafat”.22 Sikap kagum atau takjub itu akan lahir dalam
bentuk bertanya. Pertanyaan itu memerlukan jawaban. Bila pemikir menemukan
jawaban, jawaban itu dipertanyakan lagi karena ia selalu sangsi pada kebenaran
yang ditemukannya. Patrick mengatakan, apabila keheranan mereka menjadi
serius dan penyelidikan menjadi sistematis, mereka menjadi filosof. Sarte
mengatakan bahwa kesadaran pada manusia ialah bertanya yang sebenar-
benarnya.
Dengan bertanya itulah manusia berada dalam kesadaran yang sebenar-
benarnya.Perlu dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat
bukanlah sembarang pertanyaan, tetapi pertanyaan yang dalam, yang ultimate,
yang bobotnya berat, itulah yang akan menimbulkan filsafat, jika jawabannya
diberikan secara serius. Misalnya pertanyaan dari Thales, “What is the nature of
the world stuff?” Apa sebenarnya bahan alam semesta ini? Indera tidak dapat
menjawabnya, sains juga terdiam. Filsuf menjawabnya. Thales menjawab air.
Jawaban itu (air) sungguh belum memuaskan, tetapi ia mendasari jawabannya
dengan dasar yang lumayan. Katanya “water is the basic principle of the
universe”. Prinsip dasar alam semesta adalah air dapat berubah menjadi berbagai
wujud, inilah alasan jawaban tersebut dikatakan lumayan.23
Selain Thales, banyak juga filsuf yang mengemukakan jawabannya. Ada yang
menjawab dengan dasar menemukan empat unsur (tanah, air, udara, api). Ada
juga yang menemukan apieron yang cirinya mungkin sama dengan Tuhan.
Dengan demikian, adanya pertanyaan tersebut yang menimbulkan filsafat. Pada
zaman permulaan (Yunani), pertanyaan itu timbul dari takhayul, ketakjuban pada
alam. Pada zaman modern penyebab pertanyaan itu lain lagi.
Pada zaman modern ini, penyebab timbulnya pertanyaan adalah kesangsian.
Augustinus dan Rene Descartes menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama
pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ia ragu-ragu.24 Sangsi adalah setingkat
di bawah percaya dan setingkat di atas tidak percaya. Bila manusia menghadapi
suatu pertanyaan, ia mungkin percaya, dan ia mungkin tidak percaya. Maka
pikirannya akan bekerja, bekerja agar sampai pada percaya atau tidak percaya.
Selama ada tanda tanya dalam pikiran, jalan pikiran itu membentur-bentur. Bagi
filsuf pertanyaan itu menggelisahkan, merintangi dan mengganggu, ibarat
pertanyaan yang membentur dalam pikiran itu dalam bahasa Yunani disebut
21
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, 16.
22
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2014), 14-15.
23
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2002), 13-14.
24
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, 15.
Problema yang menunjukkan sesuatu yang ditaruh di depan, merintangi
perjalanan kita, harus disingkirkan agar tidak membentur kaki
Sangsi menimbulkan pertanyaan. Dengan adanya pertanyaan tersebut, maka
pikiran akan bekerja. Oleh sebab itu pikiran yang bekerja menimbulkan adanya
filsafat. Jadi, rasa ingin tahu itulah pada dasarnya penyebab timbulnya filsafat.
Rasa ingin tahu ini dahulunya disebabkan oleh keheranan pada kebesaran alam,
pada zaman modern ini rasa ingin tahu timbul karena adanya sangsi, lantas ingin
kepastian. Rasa ingin tahu yang muncul dalam bentuk pertanyaan. Jadi pertanyaan
inilah yang menimbulkan filsafat.

c. Objek Filsafat
Objek filsafat terbagi menjadi dua yaitu:
1) Objek Material
Objek material dari Filsafat ada beberapa istilah dari para
cendekiawan, namun semua itu sebenarnya tidak ada yang bertentangan.
Mohammad Noor Syam berpendapat, para ahli menerangkan bahwa
objek filsafat itu dibedakan atas objek material atau objek materiil filsafat
; segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik materiil konkret,
psikis maupun non materiil abstrak, psikis. Termasuk pula pengertian
abstraklogis, konsepsional, spiritual, dan nilai-nilai. Dengan demikian,
objek filsafat tidak terbatas.
Selanjutnya menurut Poedjawijatna, ia berpendapat bahwa objek
material filsafat ialah ada dan yang mungkin ada. Dapatkah dikatakan
bahwa filsafat itu keseluruhan dari segala ilmu yang menyelidiki segala
sesuatunya juga? Dapat dikatakan bahwa objek filsafat yang kami
maksud adalah objek materialnya- sama dengan objek material dari ilmu
seluruhnya. Akan tetapi, filsafat tetap filsafat dan bukan merupakan
kumpulan atau keseluruhan ilmu.
Selain itu juga Oemar Amir Hoesin berpendapat, masalah lapangan
penyelidikan filsafat adalah karena manusia mempunyai kecenderungan
hendak berpikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap
segala yang ada dan yang mungkin ada. Objek sebagaimana tersebut
adalah menjadi objek material filsafat.
Setelah melihat berbagai pendapat dari para ahli di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa objek material dari filsafat, segala yang ada dan tidak
terbatas. 25

2) Objek Formal Filsafat

25
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, 5-6.
Objek formal filsafat, yaitu sudut pandang yang menyeluruh, secara
umum sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materialnya. Oleh
karena itu, yang membedakan antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain
terletak dalam objek material dan objek formalnya. Kalau dalam ilmu-
ilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat tidak
membatasi diri. Adapun pada objek formalnya membahas objek
materialnya itu sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya.26

d. Manfaat Mempelajari Filsafat


1) Filsafat atau berfilsafat mengajak manusia bersikap arif dan berwawasan luas
terhadap berbagai problem kehidupan yang dihadapinya. Manusia diharapkan
mampu memecahkan problem dengan cara mengindentifikasinya agar ia bisa
mendapatkan jawaban dengan mudah.
Berfilsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih
kreatif atas dasar pandangan hidup atau ide-ide yang muncul karena
keinginannya.
2) Berfilsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi
permasalahan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan
lainnya (interaksi dengan masyarakat, komunitas, agama, dan lain sebagainya
di luar dirinya) secara rasional, lebih arif, dan tidak terjebak fanatisme yang
berlebihan.
3) Berfilsafat dapat menumbuhkan kemampuan dalam menganalisis secara
komprehensif dan sintetis atas berbagai permasalahan ilmiah yang dituangkan
dalam suatu riset, penelitian atau kajian ilmiah lainnya. Dalam era globalisasi,
ketika berbagai kajian lintas ilmu atau multidisiplin melanda dalam kegiatan
ilmiah, diperlukan adanya suatu wadah, yaitu sikap kritis dalam menghadapi
kemajemukan berpikir dari berbagai ilmu berikut para ilmuwannya.27

e. Cabang Umum Filsafat


1) Epistemologi (filsafat pengetahuan)
Epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme
biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan pikiran, kata,
atau teori. Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata Yunani, yakni
episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran,
ataupun ilmu. Oleh karena itu, epistemologi adalah salah satu cabang dari
filsafat yang hendak membuat refleksi kritis terhadap dasar-dasar dari
pengetahuan manusia. Oleh karena itu, epitemologi sering juga disebut
sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).28
26
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, 7
27
Khaerul Azmi, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Tangerang : Indigo Media, 2014), 20-21.
28
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, 53.
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan
mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.
Cabang epistemologi ini juga untuk merefleksikan dan menganalisis ciri-ciri
mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan pokok yang diajukan adalah
bagaimana suatu bentuk pengetahuan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya? Di manakah batas-batas pengetahuan manusia? Disamping itu,
epistemologi juga hendak mencari syarat-syarat logis yang memungkinkan
pengetahuan. Dalam konteks ini, pertanyaan dasarnya adalah bagaimana saya
tahu bahwa saya tahu?
Kita bisa melihat karakter normatif, evaluatif dan kritis yang menandai
cabang filsafat ini. Normatif berarti ada upaya untuk menentukan norma
sebagai tolok ukur kebenaran pengetahuan.
Evaluatif berarti epistemologi hendak menilai sejauh mana suatu pendapat
di dalam ilmu pengetahuan ataupun pengetahuan pada umumnya dapat
dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Sedangkan, kritis berarti
epistemologi mengajak untuk mempertanyakan dan menguji seluruh proses
kegiatan mengetahui manusia.29
Epistemologi sebenarnya juga masih mempunyai cabang, yakni filsafat
sains. Filsafat sains ini muncul sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan positif dan sains sejak abad ke-17 dan terus berkembang pesat
sampai sekarang. Pada awalnya, filsafat sains merupakan suatu metode
sekaligus pengkajian atas metode tersebut di dalam praktek kerja sains.
Sudarminta, di dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Dasar menyatakan
bahwa logika sains dapat dibedakan menjadi dua, yakni konteks penemuan
ilmiah (context of discovery) dan konteks pertanggungjawaban rasional atas
penemuan tersebut (context of justification). Yang menjadi pusat analisis dari
filsafat sains tersebut konteks pertanggungjawaban rasional. Selain membuat
telaah tentang cara kerja sains, filsafat sains kemudian juga merefleksikan
secara kritis ciri-ciri hakiki sains beserta arti dan nilainya bagi kehidupan
manusia secara keseluruhan.30
2) Metafisika
Istilah “metafisika” berasal dari bahasa Yunani meta ta physika yang
berarti “hal-hal yang terdapat setelah fisika”. Metafisika dapat didefinisikan
sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan
mengenai hakikat yang ada yang terdalam. Metafisika membicarakan berbagai
persoalan seperti hubungan akal dengan benda, hakikat perubahan, pengertian
tentang kemerdekaan , wujud Tuhan, kehidupan setelah mati, dan lain
sebagainya. Dewasa ini metafisika digunakan baik untuk menunjukkan filsafat

29
Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta : Kanisius, 2002), 18-19.
30
Sudarminta, Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat Pengetahuan, 19.
pada umumnya maupun untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari
pertanyaan-pertanyaan terdalam.
Metafisika juga memiliki beberapa cabang, diantaranya adalah ontologi
(yang membicarakan prinsip yang paling mendasar atau paling mendalam dari
segala sesuatu yang ada), kosmologi (cabang metafisika yang bergumul
dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai asal dan susunan alam raya,
penciptaan dan kekekalannya, vitalisme atau mekanisme, kodrat hukum,
waktu, ruang dan kausalitas). Dan filsafat manusia (mengenai hakikat
terdalam manusia dan tentang makna sejarah manusia).31
3) Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, axios yang
berarti sesuai atau wajar, dan logos yang berati ilmu. Dengan demikian,
aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat nilai.
Jika epistemologi bertujuan mendapatkan kebenaran secara teoritis-rasional,
maka aksiologi lebih menekankan pada masalah kebaikan. Obyek kajian
aksiologi adalah menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu, karena ilmu dalam
konteks filsafat tidak bebas nilai. Artinya, pada tahapan-tahapan tertentu ilmu
harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral masyarakat sehingga
nilai kegunaan ilmu dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama. Dalam aksiologi, setidaknya ada dua
komponen yang dijadikan bahan pembahasan, yaitu etika (moralitas) dan
estetika (keindahan).32

2) Seni Ukir
Dalam sebuah karya seni rupa, nilai seni keindahan juga saling terkait dan tidak
dapat dipisahkan. Seni adalah kemampuan menghasilkan keindahan atau sesuatu yang
menimbulkan kesenangan estetik atau hasil dari kemampuan sejenis yaitu seni adalah
penilaian, pemujaan, mengindikasikan keunggulan nilai estetik. Seni adalah kegiatan
dari salah satu cabang seni estetik termasuk music, literature dan juga seni rupa atau
hasil dari kegiatan tersebut. Thomas Munro mendefinisikan seni sebagai kemampuan
ketrampilan untuk menghasilkan keindahan dalam bentuk nyata, atau hasil dari
kemampuan tersebut. Seni adalah kegiatan dari salah satu seni visual (seni rupa dalam
pengertian yang terbatas), atau produk dari seni rupa tersebut.
Seni ukir adalah bagian cabang seni rupa yang proses pembuatannya dengan cara
mengurangi bagianperbagian dengan pola atau gambaran yang sudah ditentukan
terkait dengan pola-pola budaya masyarakat yang bersangkutan keberadaan seni ukir
yang hidup dan berkembang di masyarakat Jepara merupakan salah satu produk
budaya yang mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi. Produk budaya tersebut
mengandung berbagai keragaman yang dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut
31
Khaerul Azmi, Filsafat Ilmu Komunikasi, 7-10.
32
Khaerul Azmi, Filsafat Ilmu Komunikasi, 13.
dimana artefak tersebut diciptakan atau dihasilkan produk ukir sebagai salah satu
produk budaya tidak akan terlepas dari proses perjalanan sejarah yang panjang. Jepara
adalah sebuah daerah yang terletak di pantai utara Jawa Tengah.
Kaitanya dengan penelitian ini, maka karya seni yang di hasilkan di daerah
penelitian adalah bentuk atau wujud nyata ornament yang ada pada Masjid dan
makam mantingan. Telaah secara mendalam pada ornament yang terkait pada bentuk,
fungsi dan makna simbolik yang berada pada Masjid dan makam Mantingan
menggunakan teori estetik, yang ada dalam buku Art as Image and idea, oleh Edmund
Burke Feldman. Teori ini sangat relevan guna mempertajam pembahasan masalah
yang di hadapi. Dalam buku tersebut di bahas berbagai hal yang berkaitan dengan
bidang kesenirupaan, terutama struktur bentuk, gaya, fungsi dan makna serta kritik
seni.
Menurut Feldman istilah fungsi disebutkan secara spesifik, bahwa fungsi seni
dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu fungsi personal, fungsi sosial, dan
fungsi fisik.
a) Fungsi Personal Seni
Fungsi yang mendasar dari bidang seni, lebih mengarah padafungsi yang
berkaitan dengan kebutuhan fisik dan non-fisik. Pemenuhan kebutuhan yang
bersifat personal, yang disampaikan oleh seorang seniman melalui karya seni
sebagai ekspresi pribadi, ke komunitas tertentu atau Masyarakat. Dari apa yang
disampaikan, diharapkan seseorang atau masyarakat dapat menangkap dan
meneterjemahkan pesan-pesan dan makna yang disampaikan lewat karya seni
yang dibuatnya.
Sehubungan dengan itu, maka fungsi personal yang terdapat pada Masjid dan
Makam Mantingan adalah pesan yang ditinggalkan oleh seniman pembuatnya,
dihubungkan dengan hasil ornament yang diciptakan. Bagaimana ornament pada
kompleks Masjid dan Makam Mantingan yang diciptakan dapat memberikan arti
bagi masyarakat yang melihatnya. Ketika awal ornament tersebut diciptakan,
tentu seniman bermaksud menyampaikan sesuatu kepada masyarakat dalam hal
ini jamaah dan pengunjung, dan berharab sesuatu itu bermanfaat. Pesan-pesan
yang disampaikan merupakan hal-hal yang terkait dengan rasa keindahan,
kekuatan, kekuasaan, dan agama. Segala macam bentuk dapat berfungsi. secara
personal jika ia dapat dipahami dan memiliki keterkaitan dengan kehidupan
seseorang atau masyarakat.
Secara umum fungsi personal dari seni berlaku sama, kapan, dan dimana
saja, dan yang membedakannya hanyalah pada bagaimana sikap, cara pandang,
keterkaitan emosional seseorang dengan objek ornament tersebut, serta
kemampuan dalam menyikapi dan meresapi kehadiran ornament tersebut. Jika
melihat teori fungsi personal yang dikembangkan Feldman, kaitannya dengan
kajian terhadap ornament pada kompleks Masjid dan Makam Mantingan ini,
maka ornament tersebut dapat dianalisis dengan teori fungi personal tersebut.33
b) Fungsi Sosial Seni
Fungsi sosial dari seni pada prinsipnya bertujuan bagaimana karya seni itu
dapat mempengaruhi perilaku, cara berfikir, perasaan, dan tindakan seseorang
atau masyarakat dalam merespons sebuah karya seni. Fungsi sosial seni lebih jelas
terlihat dan cenderung ada pada seni public. Karya seni diciptakan atau yang
tampil menggambarkan suatu kondusi, keadaan, propaganda dalam sebuah
perjuangan, biasanya terwujud dalam ptung-patung perjuangan, monument
peringatan, atau poster-poster iklan, gambar yang sifatnya himbauan yang
memberikan semacam semangat dan perilaku tertentu bagi seseorang atau
masyarakat yang hidup dalammasyarakat.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas dan dihubungkan dengan melihat
ornament pada Masjid dan Makam Mantingan, dari hasil pengamatan di lapangan,
ornament pada Masjid dan Makam Mantingan mengindikasikan pada fungsi
sosial yang dapat menggugah emosional seseorang. Ornament yang terdiri dari
unsur flora fauna, ornament Islam, kera, teratai, dan kepiting dapat dianalisis
menggunakan teori fungsi sosial ini.
c) Fungsi Fisik Seni
Feldman, menjelaskan fungsi seni dalam konteks fungsi fisik. Fungsi fisik
seni lebih mengarah pada ornament yang berfungsi secara nyata, efektif, dan aktif
sebagai mestinya. Untuk mendukung hal tersebut ornament yang diciptakan
haruslah disesuaikan dengan tujuannya, proporsional, menarik, dan sesuai dengan
fungsinya. Pertimbangan sebuah pendapat yang menyatakan, bahwa bentuk
mengikuti fungsi sangat perlu diperhitungkan secara seksama. Ataudengan kata
lain, paling tidak ornament yang ada pada Masjid dan Makam Mantingan dapat
dikorelasikan dengan fungsi yang sesungguhnya. Fungsi fisik dalam teorinya
haruslah mencakup dan memenuhi unsur kegunaan, keefektifannya, penampilan,
dan daya tarik. Selain itu karya seni dapat dinilai berdasarkan pada unsur
penampilan (warna, bentuk, dan pola hias) yang hadir bersamaan dengan fungsi
yang saling mengikat dan terkait.
Teori fungsi fisik seni itu digunakan menganalisis fungsi fisik ornament pada
Masjid dan Makam Mantingan sehingga dengan jelas secara nyata dapat dilihat,
fungsi masing-masing ornament yang ada pada Masjid dan Makam Mantingan.
Diperhitungkan ornament yang ada tersebut memiliki fungsi sesuai dengan
bentuk, karakter, dan posisi penempatan masing-masing. Walau penempatan dan
penerapan ornament berbeda pada posisi dan tempat yang berbeda, namun tetap
saja memounyai fungsi masingmasing.34

33
Muhammad Farikhun Na’am, Pertemuan Antara Hindu Cina dan Islam Pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan Jepara,
( Yogyakarta: Samudra Biru, 2019), 14.
Kesenian merupakan salah satu unsur yang senantiasa ada pada setiap
kebudayaan. Sebagai unsur kebudayaan, kesenian adalah sebuah sistem simbol
yang perwujudannya terungkap dalam bentuk yang memiliki cita rasa keindahan.
Dengan demikian kesenian menjadi sebuah simbol ekspresif kebudayaan dalam
bentuk yang secara estetis mengungkapkan berbagai makna yang dapat dipahami
bersama.
Salah satu jenis artefak budaya yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup.
Sebagai masyarakat Jepara adalah seni ukir. Seni ukir yang ada pada tiap kurun
waktu memiliki kecenderungan gaya yang berbeda-beda.hKeberagaman bentuk
seni ukir yang ada, merupakan ekspresi manusia dalam kehidupannya, sehingga
bentuk karya ukir tersebut merupakan hasil yang objektif yang telah diperoleh
manusia dalam sejarah perkembangan dari generasi ke generasi. Seni ukir pada
jaman kolonial cenderung menekankan pada nilai guna yang memiliki keterkaitan
dengan nilai ekonomi dan dipengaruhi oleh dunia perdagangan sehingga harus
mampu memenuhi tuntutan selera konsumen yang menjadi sasarannya.

3) Sultan Hadlirin
Sultan Hadlirin pada masa kecilnya bernama Raden Toyib, kita menengok ke
pulau seberang, pulau sumatera, tepatnya di wilayah Aceh, sebab disanalah ia
dilahirkan dan tumbuh besar. Pada saat itu Aceh merupakan kerajaan Islam yang
besar dan sangat masyhur. Letaknya yang strategis membuatnya menjadi pelabuhan
perdagangan yang sangat ramai, hingga banyak sekali pedagang dari negara-negara
lain singgah untuk berdagang. Hal inilah yang kemudian nyata dan membuat kerajaan
Aceh maju tata kebudayaannya, terutama agama islam/ pedagangpedagang islam
yang membawa misi dakwah kemudian malah banyak yang menikah dan bermukim
di kawasan Aceh, itulah mengapa kerajaan aceh kemudian menjadi pusat penyebaran
islam dan terkenal dengan sebutan “serambi mekkah”.
Diantara deretan raja-raja yang pernah berkuasa di Aceh, ada seorang Raja yang
bernama Syekh Muhammad Syah, beliau memiliki dua orang putra, putranya yang
pertama bernama Raden Taqyim, dan putranya yang kedua bernama Raden Toyib.
Diantara kedua putranya ini tentu memiliki perbedaan yang sangat jelas berbeda, sang
kakak Raden Taqyim merupakan seseorang yang lebih suka berfoya-foya daripada
belajar tentang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tata pemerintahan, sangat malas
dan suka hidup bermewah-mewahan dengan kekuasaan ayahnya.35
Berbeda dengan sang adik Raden Toyib yang sangat suka sekali belajar dan
tekun mempelajari berbagai macanm ilmu, terutama ilmu dibidang agama islam, ia
sangat kelihatan menonjol dibidang agamanya. Berkat kesukaannya terhadap
berbagai macam ilmu, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang sangat matang
34
Muhammad Farikhun Na’am, Pertemuan Antara Hindu Cina dan Islam Pada Ornamen Masjid dan Makam Mantingan Jepara,
15.
35
Yulianto Sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim (Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press, 2000), 20.
keilmuannya dan terpelajar. Sangat berbeda dari sang kakak, itulah mengapa ketika
ayahnya Syekh Muhayyat Syah sudah merasa bahwa dirinya sudah lanjut usia, ia
bermaksud mengangkat Raden Toyib memiliki pengetahuan dan kecakapan dalam
memerintah sebagai seorang raja dari pada kakaknya Raden Taqyim.36
Tentu saja dalam pengangkatan Raden Toyib sebagai raja ini menimbulkan
konflik baru di kerajaan, sang kakak Raden Taqyim yang merasa lebih berhak
menerima Tahta kerajaan karena ialah anak pertama dari sang raja kemudian
menuntut tahta itu, maka timbulah pertentangan antara Raden Toyib dan Raden
Taqyim. Hanya saja Raden Toyib tidak menginginan jabatan raja tersebut, ia hanya
suka belajar dan mendalami ilmu agama, tetapi karena dipaksa oleh Ayahandanya
maka ia akhirnya mau nenerima jabatan sebagai seorang Raja. Dan ketika ia
mengetahui pengangkatan dirinya malah berdampak perpecahan ikatan saudara
dengan kakaknya Raden Taqyim, sementara Raden Toyib memilih pergi mengembara
meninggalkan tanah kelahirannya dan kerajaannya untuk menyebarkan agama islam.
Dalam perjalanannya mengembara pergi meninggalkan wilayah Aceh, ia
menggunakan kapal para pedagang untuk keluar dari Aceh, ia mengarungi lautan luas
tanpa satu tempat tujuan jelas, hanya dengan niat ingin mengembangkan agama
islam.62 Hingga terdamparlah Raden Toyib di wilayah Tiongkok, dan bahkan
kebetulan sekali Raden Toyib diangkat anak oleh seorang Patih Tionghoa yang
bernama Cie Wie Gwan. Dalam kehidupannya bersama ayah angkatnya itu Raden
Toyib dikenal sebagai seorang yang sederhana, bersahaja, dan rendah hati, sehingga
sang patih lama-lama semakin sayang dengan Raden Toyib. Dengan berjalannya
waktu kira-kira 5 tahun selama Raden Toyib berada di Tiongkok, Raden Toyib dan
sang patih hidup dengan bahagia dan damai.
Hingga suatu ketika ada peristiwa besar terjadi di kerajaan Tiongkok tersebut.
Dimana mahkota sang Kaisar mengalami kerusakan, dengan adanya masalah itu sang
kaisar menyerahkan urusan ini kepada sang patih Cie Wie Gwan untuk
memperbaikinya. Dan sang kaisar memberi waktu kepada sang patih untuk
memperbaiki Mahkotanya itu selama 40 hari, jika dalam waktu 40 hari sang patih
belum bisa memperbaiki mahkota sang kaisar maka ia akan dihukum mati oleh sang
kaisar. Hari demi hari sang kaisar kebingungan untuk memperbaiki mahkota sang
kaisar, ia mencari ke seluruh plosok negeri untuk mencari tukang emas yang
barangkali bisa memperbaiki mahkota sang kaisar. Semua bawahan sang patihpun ia
kerahkan untuk membantu mencari seseorang yang sanggup memperbaiki mahkota
itu, tetapi lagi-lagi usahanya tak membuahkan hasil sama sekali.
Hingga ketika waktu sudah mendekati dengan yang dijanjikan sang kaisar, patih
Cie Wie Gwan semakin tampak sedih, sebab mahkota sang kaisar masih dalam
keadaan rusak dan belum diperbaiki. Karena kesedihan sang patih Cie Wie Gwan
akhirnya diketahui oleh Raden Toyib. Ia menanyakan kepada ayah angkatnya itu apa

36
Yulianto Sumalyo, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim, 5.
yang sebenarnya terjadi, mengapa sang ayah selalu bersedih. Meski sang patih yang
awalnya tidak mau membawa Raden Toyib dalam permasalahan yang dihadapinya,
namun karena Raden Toyib mendesak sang patih, ayah angkatnya, lalu ia mengaku
dan menceritakan apa yang terjadi kepada Raden Toyib.
Raden Toyib mendengarkan apa yang patih Cie Wie Gwan ceritakan sampai
tuntas. Dan setelah penuturan ayah angkatnya itu, Raden Toyib menyatakan sanggup
untuk memperbaiki Mahkota sang Kaisar. Tentu saja pernyataan Raden Toyib itu
membuat patih Cie Wie Gwan terkejut dan percaya, kalau semua ahli emas di pelosok
negeri tidak mampu memperbaiki mahkota sang kaisar, apalagi Raden Toyib yang
merupakan bukan seorang yang ahli dalam bidang tersebut.
Raden Toyib selalu meyakinkan sang patih, ayah angkatnya bahwa ia sanggup
melakukannya, dan karena sang patih melihat bahwa anak angkatnya bersungguh-
sungguh, dan selama mengenal Raden Toyib ia sama sekali tidak pernah berdusta
dengan apa yang disampaikan, akhirnya sang patih mengijinkan Raden Toyib untuk
memperbaiki mahkota sang kaisar tersebut, Raden Toyib meminta meminta kepada
ayah angkatnya itu untuk menyediakan kamar khusus, dan selama itu pula ia tidak
mau di ganggu atau di temui, dan selama satu minggu Raden Toyib berada dalam
ruangan tersebutr dan melakukan Riyadloh, akhirnya Raden Toyib mampu
memperbaiki Mahkota yang rusak milik sang Kaisar.
Betapa terkejutnya sang patih Cie Wie Gwan saat mengetahui bahwa Raden
Toyib mampu memperbaiki mahkota sang kaisar yang rusak, dan menimbulkan
pertanyaan di benak sang patih. Bagaimana bisa?. Akhirnya sang patih hanya
beranggapan itu merupakan suatu keajaiban yang besar, dan sang patih Cie Wie
Gwan tidak berani bertanya kepada anak angkatnya itu. Tak luput dari itu sang kaisar
itupun juga ikut terpana melihat mahkotanya, bahkan kini mahkotanya kini menjadi
lebih bagus dari semula. Sang kaisar takjub lalu sang kaisar bertanya kepada sang
patih siapa sebenarnya yang memperbaiki mahkota itu.
Sebenarnya berat bagi sang patih Cie Wie Gwan untuk mengatakan kepada sang
kaisar bahwa anak angkatnyalah yang memperbaiki mahkota tersebut, tetapi karena
sang kaisar terus menerus mendesak patih Cie Wie Guan untuk memberitahukan
sebenarnya siapa yang telah berhasil memperbaiki mahkotanya itu, akhirnya patih Cie
Wie Gwan menyampaikan bahwa anak angkatnya lah yang memperbaiki mahkota
sang kaisar, dan sang patih menceritakan bahwa Raden Toyib adalah seseorang yang
sedang berkelana dan ia angkat menjadi anak.
Karena apa yang disampaikan oleh sang patih, sang kaisar pun ingin bertemu
dengan Raden Toyib, dan dengan paksaan sang kaisar, akhirnya patih Cie Wie Gwan
mempertemukan sang kaisar denga Raden Toyib. Begitu melihat paras Raden Toyib
sang kaisar sangat kagum dengan perawakan gagah dan beribawa, tutur katanya yang
lembut dan santun, hingga membuat sang kaisar ingin menjadikan Raden Toyib
menjadi anaknya, tetapi Raden Toyib menolak atas apa yang disampaikan sang
kaisar, bahkan ia melanjutkan lagi berkelana meningglakan pulau Tiongkok itu.
Dengan menumpang sebuah kapal, Raden Toyib terus berlayar dari pelabuhan
Tiongkok hingga akhirnya kapal tersebut mendarat di pesisir utara pulau jawa, yakni
sebuah pelabuhan yang bernama Jepara, selama bermukim di Jepara, Raden Toyib
mengabdi di istana Ratu Kalinyamat, ia mendapatkan tugas sebagai juru tangan.
Namun karena prilaku, kecakapan dan sikapnya, Ratu Kalinyamat menduga Raden
Toyib sang juru taman bukanlah orang biasa. Namun ketika ditanya oleh ratu
Kalinyamat ia tidak mau berterus terang tentang asal usulnya, baru ketika dimasukkan
ke penjara Raden Toyib berterus terang bahwa ia adalah putra Sultan Aceh, bahkan ia
berterus terang pernah menjadi Sultan.63
Mendengar penjelasan Raden Toyib, Ratu Kalinyamat berdebar-debar, ia
mengingat apa yang pernah dikatakan oleh ayahnya Sultan Trenggana, bahwa kelak
suaminya bukanlah berasal dari wilayah kesultanan Demak, tetapi dari seberang
lautan. Setelah itu mereka menikah dan tahta kerajaan Jepara diserahkan kepada
Raden Toyib yang kemudian diberi gelar Pangeran Kalinyamat atau pangeran
Hadlirin, karena ia datang dari pulau seberang.64
Mereka kemudian bersama-sama mengembangkan Kalinyamat hingga menjadi
daerah yang maju, daerah kekuasaannya meliputi Jepara, Kudus, Pati dan Rembang.
Salah satu bidang yang dikembangkan secara besar-besaran oleh Pangeran Hadlirin
dan Ratu Kalinyamat adalah Industri galangan kapal yang telah mulai dirintis
langsung sejak tiba di Jepara. Sebab ia menganggap dunia kemaritiman memiliki
masa depan yang cerah. Bahkan hanya untuk mendukung perdagangan antar kota
Bandar di jawa, tetapi juga Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, bahkan Malaka dan
India.
Menurut Pigeaud dalam bukunya Literature of Java, pangeran Hadlirin memiliki
industri galangan kapal yang sangat besar. Perusahaan ini memperkerjakan ratusan
tukang kayu, bahkan di Rembang yang kala itu menjadi daerah kekuasaan Pangeran
Hadlirin terdapat sekitar 700 tukang, jumlah ini belum termasuk yang bekerja di
Jepara. Industry ini berkembang sangat pesat hingga banyak menyerap tenaga kerja.
Konon kapal-kapal yang dibuat di galangan juga diberi ornament ukiran agar lebih
menarik dan khas. Agar industri galangan kapal ini.
Di dalam masjid Sultan Hadlirin mengandung banyak cerita yang ada
hubungannya dengan pemerintahan kalinyamat dan masyarakatnya. Dan untuk
ornament-ornament yang menghiasi masjid terdiri dari tiga bentuk: bentuk pertama
adalah bentuk lingkaran (Medalion) dengan berukiran daun-daun khas ukiran China.
Bentuk kedua adalah bentuk bujur sangkar dan garis kurawat. Semuanya berukiran
khas jawa dengan dipengaruhi oleh motif-motif China yang cukup dominan. Semua
itu beralasan bahwa Cie Wie Gwan adalah seorang yang datang dari Tiongkok yang
mempunyai kepandaian melukis dan memahat. Sehingga waktu itu ketika masjid
Sultan Hadlirin dibangun, Cie Wie Gwan mengumpulkan orang-orang yang mampu
mengukir untuk bersama-sama memahat batu karang yang didatangkan dari tiongkok
untuk dijadikan hiasan masjid.
4) Kajian Penelitian Terdahulu
Sejauh penemuan penulis, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan
dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Ornament masjid mantingan di Jepara Jawa Tengah”, yang disusun oleh Agus
Setiawan mahasiswa jurusan Pengkajian Seni minat Utama Seni Rupa Nusantara
dengan kesimpulan yaitu keberadaan ornament pada masjid Mantingan sebagai
hiasan dan ajaran terkait dengan tokoh Sultan Hadirin yang mengilhami
terciptanya masjid beserta ornament, Ratu Kalinyamat pemimpin jepara sekaligus
penggagas dan Sungging Badarduwung sebagai pencipta ornament masjid. Peran
tokoh-tokoh tersebut membrikan dampak terjadinya perpaduan gaya seni pada
ornament Mesjid Mantingan yaitu seni Hindu, Cina, Islam dan local Genius.
Karakteristik seni Islam terjadi selama proses akulturasi dan bentuk seni budaya
luar dikemas dengan seni bernuansa islam. Karakter ornament masjid mantingan
dicapai dengan pengabstraksian bentuk, struktur pola, kombinasi keberlanjutan,
repetisi, dinamis dan kerumitan. Makna lambang (simbol) motif ornament masjid
mantingan menggambarkan hubungan mikrokosmos dan makrokosmos yang
diwujudkan melalui motif tumbuh-tumbuhan, binatang, khayati, jalinan,
bangunan, dan benda-benda mati.37
Sedangkan penelitian ini penulis memfokuskan pada nilai filosofis media
ukir yang ada dimasjid mantingan dan hal tersebut belum dibahas dalam tesis
yang disusun oleh Agus Setiawan

b. Bentuk Dan Makna Simbolik Ornamen Ukir Pada Interior Masjid Gedhe
Yogyakarta”, yang disusun oleh Jeksi Dorno Mahasiswa jurusan pendidikan Seni
Rupa dengan kesimpulanya yaitu mendeskripsikan nama-nama ornament dan
makna simboliknya pada seni interior Masjid Gedhe Yogyakarta, peneliti
mendeskripsikan bahwa nama-nama ornament yang terdapat pada interior Masjid
Gedhe Yogyakarta yaitu: ornament Padma, saton, praban/praba, mirong/puteri
mirong, sorotan, tlacapan, gonjo ,mayangkara, lunglungan, banyu tetes/udan
riris, wajikan, nanasan/omah tawon, pangeran. Ornament-ornamen tersebut
diukir pada interior Masjid Gedhe Yogyakarta pada bagian: tiang serambi masjid,
serambi masjid, pintu masjid, liwan, mimbar, maskuro.73
Sedangkan penelitian ini memfokuskan tentang nilai filosofis dalam
perspektif Aqidah dengan media ornament-ornamen ukir yang terdapat di masjid
mantingan hal tersebut belum di bahas di skripsi yang disusun oleh Jeksi Dorno.38

c. Makna Simbolik pada Arsitektur Masjid Nur Sulaiman Banyumas”, yang disusun
oleh Miftakhuddin mahasiswa jurusan Adab dan Humaniora dengan

37
Agus Setiawan, “Ornamen Mesjid Mantingan di Jepara Jawa Tengah”, Surakarta, Institute Seni Indonesia,2009.
38
Jeksi Dorno, Bentuk dan Makna Simbolik Ornamen Ukir pada Interior Masjid Gedhe Yogyakarta, Yogyakarta, Universitas
Negeri Yogyakarta, 2014.
kesimpulanya yaitu bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk serta makna
39
simbolik yang terdapat pada arsitektur masjid Nur Sulaiman Banyumas,
membahas tentang bentuk arsitektur, kemudian terkait makna simbolik atap
tumpang, saka guru, gapura, maskura, mimbar, ukiran gunungan dan mustaka.
Sedangkan penelitian ini peneliti memfokuskan pada beberapa ornament
masjid Astana Sultan Hadlirin salah satunya yaitu ukiran yang terdapat di depan
pintu masuk masjid yang dijadikan sebagai media untuk mememikat orang-orang
atau di jadikan sebagai media untuk menarik agama lain.

5. Kerangka Berfikir

Ukiran yang terletak di Masjid Mantingan pada hakikatnya memiliki makna yang
berbeda-beda dan memiliki nilai seni yang tinggi. tingkat ke ma’rifatan ke ikhlasan dan
kesabaran yang dimiliki oleh seorang seniman membuat daya tarik bagi semua orang
yang melihatnya.
Bermacam-macam ukiran memiliki arti yang kaitanya adalah sebuah pelajaran
hidup bagi kehidupan manusia, ukiran berfungsi sebagai pengingat. Karena ukiran berada
di masjid sehingga ketika seseorang pergi kemasjid di ingatkan tentang arti sebuah
pelajaran kehidupan dengan Tuhanya. Masjid memiliki juga berperan aktif dalam proses
keimanan.

Analisis Filosofis Seni Ukir Masjid Ditinjau


Dari Perspektif Aqidah Islam ( Studi Kasus
Masjid Astana Sultan Hadlirin Di Desa
Mantingan Kecamatan Tahunan Kabupaten
Jepara)

39
Miftakhuddin, Makna Simbolik pada Arsitektur Masjid Nur Sulaiman Banyumas, Purwokerto, Institut Agama Islam Negeri
Purwokerto, 2019.
Analisis Filosofis
Seni Ukir Masjid

Ditinjau Dari
Perspektif Aqidah
Islam

Studi Kasus Masjid


Astana Sultan
Hadlirin

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif, sebagaimana yang


dijelaskan oleh Prastowo yang menyimpulkan uraian dari pakar seperti Sugiyono, Kirk
dan Miller, David Williams, Moleong, Bogdan dan Taylor, Salim dan Lexy
mendifinisikan tentang penelitian kualitatif sebagai berikut: Metode penelitian kualitatif
adalah metode (jalan) penelitian yang sistimatik yang digunakan untuk mengkaji atau
meneliti suatu objek pada latar ilmiah tanpa ada manipulasi di dalamnya dan tanpa ada
pengujian hipotesis, dengan metode-metode yang alamiah ketika hasil penelitian yang
diharapkan bukanlah generalisasi berdasarkan ukuranukuran kuantitas, namun makna
(segi kualitas) dari fenomena yang diamati. Sugiyono menerangkan bahwa penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek
yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci. Lebih lanjut Sugiyono juga
menerangkan pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (teknik gabungan), analisis
data bersifat induktif dan hasil penelitian lebih menekankan pada makna bukan pada
generalisasi40. Dalam penelitian kualitatif ini data yang dikumpulkan berupa deskriptif,
karena penelitian ini bertujuan untuk memaparkan atau mendiskripsikan tentang makna
simbolik Ukiran Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan dan pengaruh kebudayaan
Islam terhadap ornamen tersebut41

B. Data Penelitian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, data berarti keterangan yang benar dan
nyata, atau bahan nyata. Dari definisi tersebut, maka data diartikan informasi-informasi
yang bersifat fakta. Prastowo mengatakan ada dua jenis data berdasarkan asal muasalnya
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dan
diperoleh dari sumber pertama, sedangkan data sekunder data yang diperoleh dari sumber
kedua, ketiga dan seterusnya. Peneliti mengunakan kedua data tersebut, karena data
primer merupakan data utama sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap.
Pengumpulan data di lapangan dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian
kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data. Pada dasarnya penelitian
terjum ke lapangan untuk mengadakan pengamatan tentang pesan-pesan yang terdapat
pada Ukiran Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan. Dengan kata lain maka
pendekatan ini terkait erat dengan pengamatan berperanserta. Pengumpulan data di
lapangan ini dilakukan dengan membuat catatan lapangan secara ekstensif yang
kemudian dianalisis untuk kemudian disajikan. Data penelitian yang dikumpulkan di
lapangan tersebut adalah berupa kata-kata dan gambar, hal ini merupakan cerminan dari
sifat penelitian kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan berkemunginkan menjadi
kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Dengan demikian, penyajian data penelitian akan
berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.42

Data tersebut dikumpulkan dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumentasi


kegiatan lapangan. Data berupa katakata ditujukan untuk mendeskripsikan yang terkait
dengan sejarah Ukiran Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara, kemudian
mendeskripsikan pengaruh budaya islam terhadap seni ukir Jawa dan akhirnya
mendiskripsikan dokumentasi ornamen-ornamen seni ukir Jawa dalam Ukiran Masjid
Astana Sultan Hadlirin Mantingan. Data dilapangan diperkaya dengan data yang terdapat
pada pustaka, untuk sebagai pertimbangan penelitian. Data berupa gambar ditujukan
untuk memberikan gambaran yang lebih jelas terkait dengan data yang disajikan dalam
bentuk kata-kata tersebut43

C. Sumber Data
40
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012),
24.
41
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian., 43.
42
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian., 204.
43
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2016), 15.
Untuk menentukan informasi yang akurat terkait data penelitian Makna Ukiran
Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara ini maka peneliti menentukan sumber
data yang tepat dan akurat juga. Arikunto dalam Prastowo secara umum
mengklasifikasikan sumber data menjadi tiga jenis sumber data dan disingkat dengan tiga
P yaitu person, paper, place. Lebih lanjut dijelaskan oleh Prastowo, person (orang) adalah
tempat peneliti bertanya mengenai variabel yang sedang diteliti. Paper (kertas),
merupakan tempat peneliti mencari informasi data dengan membaca dan mempelajari
sesuatu yang berhubungan dengan data penelitiannya. Paper (kertas) itu berupa dokumen,
warkat, keterangan, arsip, pedoman, surat keputusan dan sebagainya. Place (tempat),
yaitu tempat yang berhubungan langsung dengan penelitian. Contohnya: ruangan,
laboratorium (yang berisi perlengkapan), bengkel dan kelas44

Berdasarkan penjelasan di atas, maka sumber informasi penelitian ini yaitu ukiran
Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara yang didokumentasikan dan narasumber
wawancara misalnya pengurus Masjid Astana Sultan Hadlirin dan tokoh agama yang
bermukim di lingkungan Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara sebagai data
primer, sedangkan untuk kepustakaan seperti buku-buku, majalah, al-kitab dan lain-lain
yang berkaitan dengan penelitian ini sebagai data sekunder.

1. Observasi Menurut Rohidi (2011), Observasi merupakan metode yang digunakan


untuk mengamati sesuatu, seseorang, suatu lingkungan, atau stimulus yang digunakan
secara tajam terinci, dan mencatat secara akurat dalam beberapa cara. Observasi dapat
mengungkapkan gambaran sistematis mengenai peristiwa, tingkah laku, benda atau
karya yang dihasilkan dan peralatan yang digunakan. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penelitian seni ketika melakukan observasi yaitu karya seni,
rungan atau tempat, pelaku, kegiatan, waktu, peristiwa dan tujuan. Akan tetapi dalam
penelitian tentang ukiran Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara
pengumpulan data secara observasi ini lebih difokuskan pada bagian dalam ruangan
atau interior tempat tertentu yaitu lebih fokus pada mengobservasi seni ukir ornamen
pada Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara. Observasi ini dilakukan secara
langsung dari dekat pada objek penelitian agar mendapatkan data primer berupa data
fisik yang mencakup unsur-unsur pembentuk motif seperti bentuk garis motif, bidang,
warna dan susunan motif yang terdapat pada interior masjid. Observasi penelitian ini
dilakukan pada sebelum melakukan pencarian data wawancara dari narasumber.

2. Wawancara Wawancara dilakukan sebagai teknik pengumpulan data untuk


memperoleh data non fisik. Yang dimaksud dengan data non fisik dalam penelitian
ini adalah data yang terkait dengan makna simbolik ornamen interior masjid yang
diketahui dari narasumber. Narasumber dalam wawancara penelitian ini meliputi tiga
komponen masyarakat yaitu narasumber pertama dari tokoh masyarakat Mantingan

44
Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian, 33.
yaitu Kh. Harsono Ahmad Syaimuri yaitu Kyai Mantingan Jepara, narasumber kedua
yang kebetulan berprofesi sebagai juru kunci Masjid Mantingan yaitu Bapak Amin
yang mengetahui informasi tentang Masjid Mantingan. Ketiga narasumber tersebut
diambil dari perwakilan kalangan masyarakat yang berbeda agar mendapatkan
beberapa informasi yang akurat tentang Masjid Masjid Astana Sultan Hadlirin
Mantingan Jepara.

3. Dokumentasi Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data secara visual.


Dalam penelitian ini dokumentasi tidak bisa ditinggalkan karena merupakan suatu
data yang sangat penting. Bentuk data dalam teknik penelitian ini yang menggunakan
dokumentasi adalah gambar-gambar ornamen yang diteliti, serta rekaman suara hasil
wawancara dengan narasumber data. Dokumentasi ini dilakukan selama melakukan
proses penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, banyak cara atau


teknik yang digunakan untuk memperoleh informasi data yang berhubungan dengan
sesuatu yang diteliti. Untuk itu dalam penelitian ini, teknik yang digunakan antara lain
yaitu studi pustaka, observasi, wawancara, dan dokumentasi.

1. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk menggali data skunder yang terkait dengan sejarah
Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara, penjelasan ukiran dan nilai-nilai
simbolik. Studi pustaka dilakukan di rumah, Perpustakaan IAIN Kudus, Perpustakaan
Daerah Jepara, dan pustaka dari artikel-artikel. Penggambilan data dari sumber
pustaka ini dilaksanakan sebelum dan sesudah penelitian di lapangan. Data ini banyak
ditulis pada kajian teori sebagai pelengkap data primer dan juga memperkaya data
lapangan mengenai makna-makna simbolik ukiran.

2. Instumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah peneliti


itu sendiri, sebagai mana yang dimaksud oleh Sugiyono yaitu peneliti sebagai human
instumen. Lebih lanjut lagi Sugiyono menambahkan, peneliti kualitatif sebagai
human instrument, berfungsi untuk menetapkan fokus penelitian, memilih informan
yang tepat sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data,
analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya di wilayah
penelitiannya tersebut. 45

E. Teknik Penelitian

45
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, 305.
Validitas/Keabsahan Data Teknik pemeriksaan keabsahan data dilakukan untuk
menguji keabsahan penelitian dan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan data yang
dilakukan selama penelitian dengan cara melakukan pengecekan kembali data yang udah
ada yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber data sebelumnya. Dalam penelitian
kualitatif pengecekan keabsahan datanya dengan cara uji kredibilitas yaitu dengan
meningkatkan ketekunan dalam penelitian dan melakuakn triangulasi.

1. Ketekunan Pengamatan

Moleong menjelaskan bahwa ketekunan pengamatan merupakan kegiatan untuk


mencari interpretasi dengan berbegai cara dalam kaitan dengan analisis yang konstan
atau tentatif, menganalisis suatu data membatasi dan menyisikan data yang tidak
dibutuhkan serta mencari data yang dapat diperhitungkan dan yang tidak sesuai
dengan kriteria penelitian. Peneliti meningkatkan ketekunan pengamatan yang
berkaitan dengan penelitian untuk menjaga keabsahan data sesuai di lapangan.
Ketekunan pengamatan yang lakukan peneliti dimaksudkan untuk mengecek dan
mencermati lebih mendalam tentang data penelitian yang telah dibuat, ada yang salah
atau tidak. Hal ini dilakukan supaya dapat memberikan diskripsi data yang akurat dan
sistimatis tentang objek penelitian46

2. Triangulasi

Triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat


menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah
ada. Dezim dalam Prastowo membedakan triangulasi menjadi empat macam yaitu
triangulasi sumber, teknik, waktu, penyidik, dan teori. Akan tetapi, dari lima
triangulasi tersebut tidak semua digunakan peneliti untuk pengecekan keabsahan data.
Untuk penelitian kualitatif tentang Makna Simbolik ukiran Masjid Astana Sultan
Hadlirin Mantingan Jepara dengan melakukan uji kredibilitas mengunakan dua
macam teknik triangulasi penelitian saja yaitu hanya menggunakan triangulasi
sumber dan triangulasi waktu, sebab kedua triangulasi tersebut bagian peneliti sangat
efisien dalam mengecek keabsahan data dan peneliti merasa lebih mampu
melaksanakan uji keabsahan data menggunakan kedua triangulasi itu dibanding yang
lain. 47

F. Analisis Data

Menurut Rohidi analisis data merupakan proses mengurutkan, dan


menstrukturkan, dan mengelompokkan data yang terkumpul menjadi bermakna. Analisis
data dalam metode penelitian kualitatif dilakukan secara terus menerus dari awal hingga
akhir penelitian; dengan induktif; dan mencari pola, model, tema dan teori. Lebih jauh
46
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rosda, 2017),
47
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, 330.
lagi Bogdan dan Biklen mengatakan bahwa analisis data merupakan kegiatan yang
berkaitan dengan data, mengorganisakan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan data apa saja yang perlu disajikan.
Untuk itu dalam menganalisis data yang dikumpulkan selama melakukan penelitian pada
ornamen interior ukiran Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan Jepara ini peneliti
akan menggunakan beberapa teknik analisis data. Beberapa teknik tersebut antara lain48:

1. Reduksi Data

Sugiyono mengatakan bahwa reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang
memerlukan kecerdasan, keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi terhadap data
yang telah dikumpulkan di lapangan. Data yang terkumpul di lapangan merupakan
data mentah yang harus ditelaah dan diteliti terlebih dahulu sebelum disajikan.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-
hal yang pentirng, dicari data yang sesuai dengan tema dan fokusnya dan membuang
yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang jelas dan memudahkan peneliti untuk kembali mengunpulkan data
seandainya data dirasa masih kurang kompleks. Dalam kegiatan ini peneliti
menyusun data-data yang dibutuhkan sedemikian rupa. Dengan kata lain, peneliti
mengamati dan menganalisi data apa saja yang valid untuk disajikan dalam laporan
penelitian dan menghilangkan data yang dirasa tidak perlu digunakan49

2. Penyajian Data

Penyajian data merupakan langkah selanjutnya yang akan dilakukan jika proses
reduksi data sudah dilakukan. Dalam penelitian kualitatif seperti penelitian terhadap
pembelajaran seni batik ini, penyajian data dapat dilakukan dengan uraian singkat,
hubungan antar kategori dan lain sebagainya. Miles dan Huberman menyatakan “the
most frequent form of display data for qualitative research data in the past has ben
narrative text”. Cara yang paling baik untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan mendeskripsikannya dalam bentuk teks yang bersifat naratif
Peneliti menyajikan data sesuai dengan hasil penelitian yang dikumpulkan dari
berbagai sumber data dan teknik pengumpulan data. Peneliti menyajikan semua data
tersebut sesuai dengan apa yang dilihat, apa yang didengar dan apa yang dirasakan
selama melakukan penelitian50

3. Penarikan Kesimpulan
48
Rohidi, Metode Penelitian Seni (semarang: Cipta Prima, 2011), 241
49
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D, 339.
50
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D., 341.
Setelah semua rangkaian penelitian sudah dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang berlaku, setelah itu peneliti melakukan penarikan kesimpulan dan verifikasi
terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Penarikan kesimpulan ini berisi
tentang jawaban terhadap rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan
yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dalam penelitian ini dapat
berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih samar atau gelap
sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif,
hipotesis atau teori. Setelah semua rangkaian penelitian sudah dilaksanakan sesuai
dengan prosedur yang berlaku, setelah itu peneliti melakukan penarikan kesimpulan
dan verifikasi terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Penarikan kesimpulan
ini berisi tentang jawaban terhadap rumusan masalah yang telah disusun
sebelumnya.51

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sidiq, Masjid Kuno Di Jawa Timur (Studi Masjid Jami’ Gresik-Jawa Timur Sejarah,
Arsitektur Dan Fungsi) (Semarang: Kementrian Agama RI Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama, 2012),

Azmi Khaerul, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Tangerang : Indigo Media, 2014)

Bakhtiar Amsal, Filsafat Agama : Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta :
Rajawali Pers, 2015),

Buchori Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa 2009)

Chaer Abdul, Filsafat Bahasa, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2015),

Daud Marwah, Teknologi Emansipasi dan Transendensi (Bandung: Mizan, 1994)

Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, 2002

Dorno Jeksi, Bentuk dan Makna Simbolik Ornamen Ukir pada Interior Masjid Gedhe
Yogyakarta, Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta, 2014.
51
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D., 345.
Eko Roy Ardian Putra, Makna Simbolis pada Rgam Hias Masjid Mantingan di Jepara,
Surakarta, Institut Seni Indonesia, 2018

Hartojo dan Amen Budiman, Kompleks makam Ratu Kalinyamat Mantingan Jepara, segi sejarah
dan arsitektur, (Semarang: Proyek Pengembangan permusiuman Jawa Tengah, 1982),

Prastowo Andi, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian


(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)

Priyanto Hadi, Ratu Kalinyamat Rainha de Jepara, (Jepara: Yayasan Kartini Indonesia, 2018)

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2017),

Anda mungkin juga menyukai