Anda di halaman 1dari 10

Law Journal (Lajour) Vol. 1, No.

1 Oktober 2020
p-ISSN : 2774-2628,
e-ISSN : 2776-2874

TINJAUAN FILSAFAT HUKUM TENTANG NUSYUZ


(TELAAH PASAL 80 DAN PASAL 84 KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI)

Ardi Muthahir1; Ahmad Fuadi2


1,2
Universitas Bina Insan, Lubuklinggau
Email : 1ardimuthahir@univbinainsan.ac.id; 2 ahmadfuadi@univbinainsan.ac.id

Abstract

Divorce is a failure in building a household, Allah really hates this divorce event, but in Islamic
teachings it is still permissible, there are many factors that cause divorce, one of which is the
existence of nusyuz (durhaka) both nusyuz carried out by wives and husbands. a wife is said to
be nusyuz if she does not obey the husband's orders as long as these orders do not contradict
the syari'at. Meanwhile, a husband is classified as nusyuz if he does not give his wife's rights
properly, because husband and wife are ordinary human beings who at any time can make
mistakes and mistakes. However, in the Islamic Law Compilation, there is no confirmation of
the rules regarding the husband who performs nusyuz as the wife. In other words, if the
husband does Nusyuz there is no legal consequence, based on the above assumptions, it can be
concluded that there are various problems related to Nusyuz. This research aims to find out the
true nature of nusyuz in KHI. This research is an analytic descriptive study using a normative
juridical approach. The collected data were analyzed qualitatively with deductive and inductive
thinking methods. In the end it can be concluded that there should be improvements and
improvements to the compilation of Islamic law by considering the interests and rights of
women in the provisions of the article on nusyuz, because in the compilation of Islamic law
there are no articles regulating the problem of husband nusyuz, this tends to be more
detrimental to the wife.

Keywords: Legal Philosophy, Nusyuz, Compilation of Islamic Law

Abstrak

Perceraian merupakan kegagalan dalam membangun sebuah rumah tangga, Allah sangat
membenci pristiwa perceraian ini namun dalam ajaran Islam tetap diperbolehkan, ada banyak
faktor penyebab terjadinya perceraian, salah satunya adalah adanya nusyuz (durhaka) baik
nusyuz yang dilakukan oleh isteri maupun suami. seorang isteri dikatakan nusyuz apabila ia
tidak taat terhadap perintah suami selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syari’at.
Sedangkan suami tergolong nusyuz apabila ia tidak memberikan hak hak isterinya dengan baik,
karena suami dan isteri adalah manusia biasa yang sewaktu waktu bisa berbuat kekeliruan dan
kesalahan. Akan tetapi, didalam Kompilasi Hukum Islam tidak terdapat penegasan aturan
tentang suami yang melakukan nusyuz sebagaimna isteri. Dengan kata lain jika suami yang
melakukan nusyuz tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan, berdasarkan asumsi diatas, dapat
di tarik kesimpulan bahwa terdapat bergabagi masalah yang berkaitan dengan nusyuz. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hakikat yang sebenarnya tentang nusyuz dalam KHI. Penelitian
ini bersifat diskriptik analitik dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data yang
sudah terkumpul dianalisa secara kualitatif dengan metode berfikir deduktif dan induktif. Pada
akhirnya nanti dapat disimpulkan bahwa sudah seharusnya kompilasi hukum Islam /KHI di
lakukan rekontruksi ulang dengan mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak perempuan
dalam ketentuan pasal tentang nusyuz, karena dalam KHI tersebut belum terdapat pasal yang
mengatur tentang nusyuz suami kepada Isteri hal ini cenderung lebih merugikan pihak isteri.

Kata Kunci : Filsafat Hukum, Nusyuz, Kompilasi Hukum Islam

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 34


Law Journal (Lajour) Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
p-ISSN : 2774-2628,
e-ISSN : 2776-2874

I. PENDAHULUAN Terdapat banyak alasan yang


Perceraian merupakan kegagalan menjadikan seorang isteri itu nusyuz, misal,
dalam membangun sebuah rumah tangga, isteri dikatakan nusyuz apabila ia tidak
Allah sangat membenci pristiwa perceraian melakukan kewajibannya dalam
ini namun dalam ajaran Islam tetap rumahtangga serta melalaikan tugasnya
diperbolehkan, perceraian boleh dilakukan sebagai seorang isteri, tidak mau taat
manakala dalam perkawinan didapati kepada suami, menerima tamu tanpa izin
sebuah permasalahan yang tidak dapat suami, keluar rumah tanpa sepengetahuan
terselesaikan, namun apabila perkawinan suami, menolak untuk tinggal bersama
tersebut tetap dilanjutkan maka hanya akan suami, akan tetapi secara umum seorang
menimbulkan kesengsaraan dalam rumah isteri dikatakan nusyuz apabila ia tidak taat
tangga. terhadap perintah suami sejauh perintah
Ada banyak faktor yang menjadikan suami tersebut tidak bertentangan dengan
perceraian, salah satunya adalah terjadi syari’at.
nusyuz/membangkang baik nusyuz yang Sedangkan suami tergolong nusyuz
diakibatkan oleh isteri ataupun suami. Kata manakala suami tidak menunaikan hak hak
nusyuz berasal dari akar kata nasyazi yang isterinya dengan baik seperti hak untuk
artinya tanah yang terangkat tinggi keatas. memberikan nafkah. Dasar hukum nusyuz
Menurut Ali Ashabuni nusyuz berarti yang dilakukan suami terdapat dalam al-
“tempat yang tinggi seperti misalnya Qur’an surat An-nisa’ ayat 34 :
perkataan sebuah bukit yang ‘nasyiz’ dalam Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
arti lain yang tinggi (Ashabuni, 2003). Dan bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
jika dimaksudkan dengan hubungan melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
keluarga maka diartikan sebagai sikap isteri atas sebahagian yang lain (wanita), dan
yang membangkang /durhaka, membenci karena mereka (laki-laki) telah
dan melawan terhadap suaminya. menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sedangkan menurut Rasyid Ridha Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah
nusyuz adalah bermakna meninngi. yang taat kepada Allah lagi memelihara
Perempuan yang menyimpang dari hak-hak diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena
nya sebagai seorang istri, dia telah Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
meninggikan dirinya atas suaminya, dan wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
menjadikan suaminya berada dibawah maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
kepimpinannya, bahkan dia juga mereka di tempat tidur mereka, dan
meninggikan karakternya sehingga dia pukullah mereka. Kemudian jika mereka
menyalahi tatanan fitrah yang dikehendaki mentaatimu, maka janganlah kamu
dalam hubungan rumahtangga (Ridha S. I., mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
1954). Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Sedangkan menurut KBBI makna Maha Besar.
nusyuz adalah perbuatan tidak patuh atau Selama ini masih banyak orang yang
membangkang yang dilakukan oleh seorang mengidentikan nusyuz dengan seorang
isteri kepada suaminya yang tidak isteri yang tidak taat terhadap suaminya,
dibenarkan oleh hukum Syara’ (KBBI, sebenarnya nusyuz tidak hanya berlaku
t.thn.) pada isteri namun juga berlaku bagi suami.
Hal ini sebagaimana yang terkandung

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 35


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

dalam al-Quran surat An-nisa’ ayat 128 masalah yang berkaitan dengan nusyuz ini
bahwa nusyuz tidak hanya dilakukan oleh termasuk didalamnya masalah tentang
seorang isteri namun juga dilakukan oleh bagaimna cara penyelesaiannya.
seorang suami karena suami dan isteri Permasalahan ini akan menimbulkan
adalah manusia biasa yang sewaktu waktu beberapa pertanyaan antara lain apakah
bisa berbuat kekeliruan dan kesalahan benar nusyuz itu hanya berlaku bagi
(Subhan, 2008) seorang isteri ? disamping itu juga untuk
Akan tetapi, didalam Kompilasi mengetahu hakikat yang sebenarnya tentang
Hukum Islam tidak terdapat aturan tentang nusyuz dalam pasal 80 dan pasal 84
suami yang melakukan nusyuz sebagaimna Kompilasi Hukum Islam (KHI).
isteri. Dengan kata lain jika suami yang
melakukan nusyuz tidak ada akibat hukum II. METODOLOGI PENELITIAN
yang ditimbulkan, demikian juga menurut Metode penelitian yang digunakan
pendapat ahli fiqh, dikalangan ahli fiqh ada dalam penelitian ini adalah metode
yang berpendapat bahwa istilah nusyuz itu pendekatan yuridis normatif dengan
hanya melekat pada seorang istri dan tidak menggunakan data sekunder yang diperoleh
diletakan pada diri suami (Rahman, 2006). dari studi kepustakaan. Penelitian
Hal ini kemudian di amini oleh Kompilasi menggunakan spesifikasi penelitian
Hukum Islam (KHI) pasal 84, nusyuz deskriptif analitis yaitu menggambarkan
dalam pasal ini di artikan sebagai sebuah peraturan perundangan yang berlaku
sikap pembangkangan istri terhadap dengan teori-teori hukum dikaitkan dengan
suaminya, istri tidak mau melaksanakan praktik pelaksanaannya yang menyangkut
kewajibannya yaitu berbakti lahir dan batin permasalahan yang diteliti. Metode analisis
kepada suaminya dan kewajiban lainnya data yang digunakan adalah metode
seperti menyelenggarakan dan mengatur normatif kualitatif (Aziz, 2012).
keperluan rumah tangga sehari-hari dengan
baik. III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketentuan aturan tentang nusyuz Dalam Fiqh nusyuz terdapat beberapa
dalam Kompilsi Hukum Islam tersebut pengertian, di antaranya; Hanafiyah
dirasa kurang adil terhadap kaum memaknai nusyuz dengan ketidak
perempuan dan sebaliknya memihak laki harmonisan yang terjadi antara suami dan
laki sebagai seorang suami, keberpihakan isteri. Sedangkan menurut fuqoha’
tersebut tampak karna KHI sendiri tidak Malikiyah nusyuz diartikan sebagai
mengatur tentang nusyuz dari pihak suami. permusuhan yang terjadi di antara suami
Bila mana isteri yang melakukan nusyuz dan isteri. Kemudian Menurut ulama
maka boleh dihukum disamping itu juga Syafi’iyah, nusyuz diartikan dengan
gugur hak istri untuk mendapatkan nafkah, perselisihan yang terjadi di antara suami
dengan alasan bahwa pemberian nafkah dan isteri. Sementara ulama Hambaliyah
istri oleh suami adalah imbalan atas mendefinisikannya dengan ketidaksenangan
ketaatan isteri kepada suami, bahkan jika dari pihak isteri maupun suami disertai
perceraian terjadi akibat istri yang nusyuz dengan pergaulan yang tidak harmonis (al-
istri tersebut tidak berhak mendapatkan Sadlani, 1933)
nafkah selama masa tunggu dalam Secara bahasa kata nusyuz adalah akar
perceraian (nafkah Iddah) kata dari lafad nasyaz - yansyuzu, yang
Berdasarkan asumsi diatas, dapat di artinya terangkat atau menonjol, lafadz
tarik kesimpulan bahwa terdapat bergabagi nusyuz diambil dari lafadz nasyazi, yang

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 36


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

artinya sesuatu yang terangkat dari bumi mendefinisikannya dengan sikap suami
(As-Sadlan, 2004). Menurut Abu Ubaid yang memusuhi isterinya, di samping itu ia
kata nusyuz atau nasyazi mempunyai juga menyakiti baik dengan hijr atau
makna sesuatu yang tebal dan keras. Kata pukulan yang tidak diperbolehkan oleh
nusyuz ini bila di sederhanakan mempunyai syara’, hinaan dan sebagainya. Ulama
arti irtifa’ yaitu pengunnggulan. syafiiyah mendefinisakannya dengan sikap
Maksudnya adalah seorang istri yang suami yang memusuhi isterinya dengan
melanggar atau keluar dari hak-haknya melakukan pukulan dan tindak kekerasan
serta kewajibnnya sebagai seorang istri. Dia lainnya serta berlaku tidak baik
telah melampaui tabiatnya sebagai seorang terhadapnya. Sedangkan ulama Hambali
istri dan apa yang menjadi fitrahnya dalam memberi definisi sebagai perlakuan kasar
pergaulan bersama suami (Ridha M. R., suami terhadap siterinya dengan pukulan
1993). dan memojokan atau tidak memberikan
Secara terminologi lafadz nusyuz dapat hak-hak isterinya seperti hak nafkah dan
diartikan dengan kedurhakaan istri terhadap sebagainya (al-Hanafi, 1992).
suaminya dalam menjalankan apa apa yang Hukum melakukn nusyuz itu adalah
telah diwajibkan Allah kepadanya. Nusyuz haram, karena telah menyalahai aturan
adalah suatu fenomena yang sebenarnya agama, terdapat pelanggaran terhadap hak
bersal dari perempuan, tetapi adakalanya yang telah ditetapan oleh tuhan melalui
juga di timbulkan dari seorang suami, kitab suci dan sunnah nabi. Dalam
walaupun bisa berasal dari keduaduanya hubungannya kepada Allah pelakunya
dengan saling menuduh dan saling mendapatkan dosa dan dalam hubungannya
menghujat terhadap salah satunya. Ulama dalam rumah tangga merupakan suatu
fiqh mendefinisikan nusyuz dengan pelanggaran dalam kehidupan suami istri.
pengertian yang lebih umum, mereka Akibat yang ditimbulkan jika isteri
berpendapat bahwa nusyuz kemungkinan melakukan nusyuz adalah gugur haknya
bisa dari pihak istri ataupun dari pihak sebagai seorang. Alasannya adalah hak hak
suami dengan melihat konteks Ayat 34 dan yang diterima isteri itu adalah imbalan atas
128 surat an-Nisa’ (Al-Hayali, 2004). ketaatan kepada suaminya, isteri yang
Nusyuz dapat terjadi dengan dua hal nusyuz hilang ketaataanya oleh karena itu
pertama dengan kata-kata / ucapan (qaul), hilang hak nafkahnya selama masa nusyuz
kemudian yang kedua dengan perbuatan (Syarifuddin, 2009).
(af’al), ketika seorang suami atau istri Lebih lanjut akibat dari perbuatan
berbicara tidak sopan kepada seorang istri nussyuz menurut mayoritas ulama
atau suaminya itu adalah termasuk nusyuz (jumhur), ulama sepakat manakala isteri
bentuk qoul. Dan ketika suaminya yang tidak tamkin (menyerahkan diri
mengajak tidur istrinya akan tetapi istrinya sepenuhnya) kepada suaminya tanpa adanya
tersebut menolak atau prilaku lain yang suatu alasan yang dibenarkan oleh syara’
intinya tidak mentatai suaminya, itu atau secara aqli (logika) maka isteri
termasuk nusyuz dengan af’al (perbuatan) tergolong nusyuz, dan hak atas nafkah dari
(Engineer, 2007). suaminya menjdi gugur. Apa bila suami
Sementara itu, makna nusyuznya mempunyai beberapa isteri / poligami maka
seorang suami, menurut ulama Hanafiyah kepada isteri yang melakukan nisyuz suami
adalah berupa rasa benci sang suami tidak wajib memberikan nafkah dan giliran
terhadap isterinya serta mempergauli dalam hubungan seksual, akan tetapi isteri
isterinya dengan kasar. Fuqaha Malikiyah tersebut masih mendapatkan hak tempat

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 37


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

tinggal. Mana kala suami yang melakukan pribadi yang lahir dari sikap kesalehannya
nusyuz, maka isteri dapat melaporkannya kepada tuhan. Jadi kata qanitat disini
kepada seorang hakim atau lembaga diartikan sebagai seorang perempuan yang
pengadilan, untuk memberikan nasehat salehah/ taat kepada tuhannya bukan
kepada suaminya, apabila suami belum bisa perempuan yang taat kepada suaminya.
diajak berdamai dengan cara musyawarah, Didalam al-Qur’an sebenarnya kata
demikian menurut pendapat Imam Malik. nusyuz juga digunakan untuk laki-laki,
(Ibrahim, 1994). misal (Q.S.An-Nisa’: 128), qanitat dengan
Jika isteri telah berhenti dari makna perempuan yang “baik” terlalu
nusyuznya maka hak hak istri kembali sering diterjemahkan dengan makna “taat”
sepenuhnya dan menjadi kewajiban bagin dan diasumsikan bermakna “taat kepada
suaminya untuk memenuhi kewaijibannya suami”. Padahal dalam konteks ayat Al-
kembali sebagai seorang suami (Ibrahim, Qur’an tentang nusyuz kata qanitat ini
1994). “Jika isteri tidak lagi nusyuz namun digunakan baik untuk laki-laki (Q.S. al-
suaminya tidak mengetahui hal tersebut Baqarah: 232, Ali-‘Imran: 17, Ali-‘Imran:
dan suami masih bersikap sebagaimna 35) maupun perempuan (Q.S. An-Nisa’: 34,
ketika istri masih nusyuz, kemuadian ia al-Ahzab: 35, at-Tahrim: 5,12), kata ini
mengetahui nahwasanya isterinya telah menggambarkan karakteristik dan
berhenti nusyuz, maka suami harus kembali kepribadian orang-orang yang beriman
bersikap adil saat ia mengetahui hal itu dan kepada Allah. Suami istri yang baik (Sholeh
sikapnya yang keliru itu dimaafkan”. dan sholihah) akan selalu bersikap
Menurut Ulama Zhahiriyah, isteri yang kooperatif (bekerja sama) satu dengan yang
nusyuz tidak gugur haknya dalam lain dan patuh kepada tuhan Yang Maha
menerima nafkah, alasannya adalah bahwa Esa. Atas dasar tersebut nusyuz ini oleh
nafkah itu adalah kewajiban suami yang Musdah diartikan sebagai: “gangguan
timbul akibat adanya akad nikah, bukan keharmonisan dalam keluarga.” Pendapat
didasarkan atas ketaatannya terhadap yang sama juga dikemukakan oleh Sayyid
suami. Jika suatu waktu isteri tidak taat Qutb sebagaimana yang di nukil/ kutip
kepada suami atau nusyuz, ia hanya dapat Amina Wadud bahwa kata nusyuz nampak
diberi pengajaran atau pisah tempat tidur lebih cocok jika di maknai dengan ketidak
atau pukulan yang tidak menyakiti, harmonisan dalam suatu perkawinan
sebagaimna yang termaktub dalam surat an- (Mustaqim, 2008). Tetapi karena Al-Qur’an
Nisa’ayat 34 (Ibrahim, 1994). menggunakan kata nusyuz untuk laki-laki
Dalam penafsirannya terhadap surat dan perempuan, maka kata ini tidak bisa
an-Nisa’ ayat 34, Siti Musdah Mulia diartikan sebagai “kepatuhan istri kepada
nampaknya keberatan kalau kata qanitat di suami” lebih tepatnya diartikan dengan
maknai dengan perempuan perempuan yang “keadaan kacau dalam suatu perkawinan”.
patuh/taat terhadap suaminya. Meskipun Makna seperti ini juga yang menurut
pada bagian ayat yang selanjutnya dari surat Musdah Mulia lebih cocok untuk
an-Nisa 34 disebutkan bahwa apabila mengartikan kata qanitat (Wadud, 2006).
mereka taat kepadamu, janganlah kamu Pemaknaan nusyuz dalam masyarakat
men cari jalan untuk menyusahkan mereka. dewasa ini perlu di cermati ulang, sebab
Musdah tidak ingin jika kepatuhan istri istilah tersebut seringkali mengandung
terhadap suaminya tersebut “mengikuti ungkapan stereotipe bias gender. Misalnya,
perintah” dari luar/perintah suami, akan dalam budaya jawa dikenal dengan istilah
tetapi karena adanya respon emosional purik’ apakah istri yang purik kepada

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 38


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

suaminya bisa dikatakan nusyuz, tentu tidak membalas menampar suaminya, namun
demikian, karna harus dilihat terlebih kaum laki-laki di Madinah menolak dan
dahulu motif yang membuat isteri purik memprotes kepada nabi akibat
kepada suaminya, sebagai contoh misalnya keputusannya untuk kembali membalas
istri kabur dari rumah, tentu harus dilihat pukulan Sa’ad. Nabi menyadari bahwa
terlebih dahulu apa penyebabnya ia kabur, sarannya akan menimbulkan kegemparan
kalau dia kabur dari rumah tanpa adanya dalam sebuah masyarakat, dimana laki-laki
sebab, sedangkan oleh suaminya pun di sangat dominan. Maka terunlah ayat ini
perlakukan dengan baik dan penuh rasa sebagai anjuran yang menyejukan diri
tanggup jawab, hak-haknya sebagai istri dalam masyarakat yang didominasi oleh
semua dipenuhi oleh suaminya maka jika kaum laki-laki. Dilihat dari konteks
seperti ini isteri boleh dikatakan nusyuz, sekarang ayat ini ( QS. An-Nisa ayat 34)
namun jika sebaliknya istri tersebut kabur tampak mengizinkan pemukulan terhadap
dari rumah karna sering diperlakukan oleh isteri. Tetapi sebagaimna ditunjukan oleh
suaminya dengan cara-cara yang tidak baik, Prof. Lokhandwala, untuk memahami ayat
hak-haknya sebagai isteri tidak dia trima nusyuz ini konteks madinah tidak dapat
sebagaimana seharusnya, bahkan terjadi diabaikan, yakni bahwa sesuai dengan
kekerasan terhadap dirinya /KDRT, maka konteksnya ayat ini mempunyai maksud
dalam konteks ini justru suami yang untuk tidak memunculkan reaksi yang
melakukan nusyuz karna telah cukup keras (Mulia, Muslimah Reformis,
memperlakukan istrinya dengan tidak baik. 2004). Karena keadaan saat itu kaum lelaki
Oleh sebab itu semua pelabelan negatif sangat dominan terhadap kaum perempuan.
terhadap isteri atau suami yang selama ini Arab sebelum kedatangan Islam, kaum
sudah dianggap benar perlu dikritisi ulang perempuan dipandang tidak memiliki rasa
sehingga terbangun ajaran Islam yang kemanusiaan yang utuh, sehingganya kaum
akomodatif terhadap nilai-nilai perempuan tidak mempunyai hak untuk
kemanusiaan, yakni ajaran yang ramah bersuara, berkarya dan berharta. Bahkan
terhadap perempuan (Mulia, Majalah kaum perempuan waktu itu dianggap tidak
Tantri, 2009). mempunyai dirinya sendiri. Kemudian
Sebenarnya untuk mendapat sebuah Islam datang, secara bertahap
pengertian yang utuh terkait nusyuz ini kita memperjuangakan kembali hak hak kaum
harus melihat asbabunuzul ayat 34 surat an- perempuan sebagai manusia merdeka dan
Nisa, Al-Zamakhsyari, salah satu ulama diakui sebagai warga masyarakat. Islam
tafsir (mufasir) mengungkapkan, Sa’ad bin sebagai agama wahyu bertujuan untuk
Rabi’ yang merupakan pemimpin Anshar membebaskan manusia dari berbagi bentuk
telah memukul/menampar istrinya yang ketidak adilan, termasuk menghilangkan
bernama Habibah binti Zaid, karena tidak diskriminasi dalam relasi laki-laki dan
taat kepadanya, kemudian Habibah perempuan. Sehinggnya jika didapati
mengeluhkan prihal pemukulan suaminya adanya peraturan-peraturan yang
itu kepada ayahnya karna habibah merasa bertentangan dengan nilai-nilai
tidak diperlakukan dengan baik oleh kemanusiaan (universal Islam) perlu untuk
suaminya, mendengar keluhan dari anak di tinjau kembali.
perempuannya ayah Habibah langsung Dalam Undang-undang No.1 Tahun
memngadukan kepada Nabi Muhammad 1974, kedudukan suami dan isteri diatur
Saw, setelah mendengarkan aduan tersebut dalam pasal 31 sebagai berikut;
Nabipun menyuruh Habibah untuk

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 39


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

1. Hak dan kedudukan isteri adalah bergantung pada dua syarat yang
seimbang dengan hak dan kedudikan diterangkan pada penghujung ayat, yakni
suami dalam kehidupan rumah tangga memiliki kualitas lebih tinggi dari istrinya,
dan pergaulan hidup bersama dalam dan kualitas dimaksud bisa bermakna
masyarakat. kualitas fisik, moral, intelektual, dan
2. Masing- masing pihak berhak untuk financial. Serta syarat bisa menunaikan
melakukan perbiatan hukum kewajiban memberi nafkah kepada keluarga
3. Suami adalah kepala keluarga dan istri itulah sebabnya dalam ayat itu dikatakan al-
adalah ibu rumah tangga rijal menggunakan alif lam (al Makrifat)
Ketiga ketentuan pada pasal 31 yang dalam kaidah bahasa arab berarti
tersebut tampak terjadi kontradiksi satu sesuatu yang definitif atau pengkhususan.
dengan yang lain, dalam dua ayat pertama Artinya, tidak menunjuk kepada semua
dikatakan kedudukan suami dan isteri laki-laki/suami melainkan hanya suami
adalah seimbang baik kaitannya dalam tertentu saja yang memiliki dua kualifikasi
rumah tangga maupun dalam tersebut.
bermasyarakat. Namun bagaimna mungkin Nampaknya pandangan fiqih klasik
bisa seimbang kalau pada ayat yang sangat berpengaruh dalam penyusunan
berikutnya kedudukan suami adalah sebagai pasal/aturan-aturan dalam merumuskan
kepala rumah tangga. Penggunaan kata undang-undang perkawinan. Pandangan
kepala’ dalam menjelaskan kedudukan fiqih yang dimaksud pada umumnya berasal
suami mengandung konotasi kekuasaan dan dari kitab-kitab fiqih klasik, kitab kitab
terkesan otoriter, sehingga tidak salah kalau tersebut tidak bisa dilepaskan darikonteks
masyarakat memandang suami identik lingkungan penulis, lingkungan penulis ikut
dengan penguasa dalam lingkup keluarga mengkonstruk pemikiran-pemikiran fiqh
(Mulia, Muslimah Reformis, 2004). yang kemudian di tuangkan dalam
Umumnya pandangan stereotip suami buku/kitab fiqh, hal ini sesuai dengan
sebagai kepala rumahtangga didasarkan sebuah ungkapan bhawa tokoh itu adalah
pada dominasi ajaran Islam (Fiqh) tentang anak daripada zamannya. Penulis yang
posisi laki-laki sebagai qawwam terhadap hidup di lingkungan masyarakat yang di
perempuan. Kalam Allah Dalam surah An- dominasi oleh kaum laki-laki (male-
Nisa’ (4): 34 yang berbunyi “al_rijal dominated society), seperti di kawasan
qawwamun ala al-nisa” yang selalu Timur Tengah, maka kitab fiqhnya akan
diartikan (seperti dalam versi Kementerian bercorak patriarki. sehingga tidak heran jika
Agama) “laki-laki adalah pemimpin bagi kandungannya memuat pandangan fiqih
perempuan”. Kalaupun qawwam pada ayat yang konservatif. Pembahasan perkawinan
ini diberi makna dengan ‘pemimpin’, maka dalam kitab-kitab fiqih klasik menunjukkan
pemimpin yang bagaimna yang dikehendaki secara mencolok perbedaan laki-laki dan
oleh al-Quran, tentu makna pemimpin perempuan. perempuan dalam kitab kitab
tersebut adalah pemimpin yang pengertian, fiqih selalu digambarkan sebagai objek
pengayom, demokratis dan penuh dengan seksual, diposisikan sebagai makhluk
tanggung jawab serta rasa kasih sayang, inferior. Kedudukannya pun dalam keluarga
bukan seorang pemimpin yang memaksa, hanyalah subordinat, pelengkap belaka.
otoriter, dan sewenang-wenang. Kemudian, Hal inilah yang kemudian menjadi
harus pula dipahami bahwa laki-laki yang permasalahan Karena pemahaman
berposisi sebagai qawwam pada ayat masyarakat yang ada dibangun dengan
tersebut tidaklah otomatis, melainkan paradigma fiqh yang subordinatif dan

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 40


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

memarjinalkan kaum perempuan, maka KHI itu masih relevan untuk digunakan saat
efeknya hanya diterapkan pada perempuan. ini, KHI yang dirumuskan hampir 30 tahun
Seperti dalam KHI pasal tentang nusyuz lalu, dirasa terdapat pasal pasal yang sudah
terdapat tiga pasal yang mengaturnya yaitu tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini,
pasal 80,84 dan pasal 152. Namun dari tiga perubahan perubahan sosial yang begitu
pasal tersebut tidak satupun yang mengatur pesat menyebabkan beberapa aturan
nusyuz suami, pasal pasal ini hanya tertinggal sehingga dalam suatu konteks
mengatur tentang nusyuz isteri serta akibat aturan itu tidak bisa mengakamodasi
hukum yang ditimbulkan. permasalahan yang timbul dalam
Hukum merupakan sebuah aturan masyarakat termasuk masalah nusyuz.
normatif yang mengatur pola dan perilaku Padahal sejumlah hasil penelitian, baik
manusia. Hukum tidak muncul pada ruang dalam bentuk tesis, disertasi, jurnal dan
yang kosong, melainkan tumbuh dari lainnya, menyimpulkan perlunya
kesadaran masyarakat yang menyadari melakukan pembacaan ulang, bahkan revisi
bahwa betapa pentingnya sebuah aturan terhadap Undang undang perkawinan
aturan untuk hidup bersama. Karena itu, karena sebagian isinya tidak lagi
hukum selalu mengadopsi nilai-nilai yang mengakomodasi kepentingan membangun
tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat yang egaliter dan demokratis,
masyarakat, termasuk nilai-nilai adat bahkan dianggap menghambat upaya
istiadat, sosial budaya, dan agama pembentukan masyarakat sipil dan
konsekuensinya, sebagai produk sosial dan berkeadilan di negeri ini. (Mulia, Muslimah
kultural, bahan juga sebagai produk politik Reformis, 2004) Sehingga sudah saatnya
yang bernuansa ideologis, hukum selalu KHI ini dilakukan sebuah perubahan yang
bersifat kontekstual. Dalam teori hukum sesuai dengan konteks saat ini. Karna
islam disebutkan al-adah muhakkamah, terdapat beberapa ketentuan pasal yang
yang berarti bahwa tradisi atau adat istiadat tidak mengakomodasi kepentingan publik
suatu masyarakat dapat dijadikan hukum. guna membangun masyarakat yang pluralis
Dengan demikian, setiap produk hukum dan demokratis karna Indonesia adalah
harus dilihat sebagai produk zamannya negara yang multikultural. Disamping itu
yang sulit melepaskan diri dari berbagai ketentuan pasal-pasal dalam KHI banyak di
pengaruh yang melingkupi kehadiraanya, pengaruhi oleh pemahaman fiqh klasik,
baik pengaruh sosiokultural maupun sehingga banyak mengenyampingkan nilai
pengaruh sosial politis. nilai yang terkandung didalam budaya
Idealnya, sebagai suatu produk hukum, masyarakat indonesia, sehingga nilai
Kompilasi Hukum Islam perlu dikaji ulang kemaslahatan tersebut tidak bisa
sejauh mana efektivitasnya dalam mengatur dimunculkan karena tidak tertuang dalam
perilaku masyarakat di bidang perkawinan. peraturan. Dibanyak pasal dalam KHI
Sayangnya, setelah hampir 30 tahun belum kontradiksi dengan prinsip-prinsip dasar
terlihat adanya upaya-upaya yang serius Islam yang Universal, diantaranya prinsip
dari pemerintah untuk mengevaluasi al-musawah (kesetaraan), al-adil
sejauhmana efektivitas Kompilasi Hukum (keadilan), al-hikmah (kebijaksanaan), al-
Islam sebagai sumber pengambilan ikha (persaudaraan) dan al-mashlahah
keputusan di Pengadilan Agama. Dan juga (kemaslahatan).
bagaimana respons masyarakat
terhadapnya, serta pertanyaan soal apakah
Undang-undang Perkawainan khususnya

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 41


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

IV. KESIMPULAN dan penghargaan harkat dan martabat


Konsep nusyuz dalam KHI yang manusia.
selama ini dipahami sebenarnya
bertentangan dengan nilai nilai VI. DAFTAR PUSTAKA
kemanusiaan, karena dalam pasal 80 dan 84 al-Hanafi, Z. I. (1992). al-Bahr ar-Raiq
tentang nusyuz tersebut cenderung (Vol. IV). Pakistan: Karachi.
merugikan istri dan menguntungkan suami, Al-Hayali, R. K. (2004). Memecahkan
hal ini terjadi karena nusyuz suami sama Perselisihan Keluarga Menurut
sekali tidak di singgung dalam KHI Qur’an Dan Sunnah. Yogyakarta:
sehingga apabila suami melakukan nusyuz Mitra Pustaka.
maka tidak ada akibat hukumnya. Padahal al-Sadlani, S. b. (1933). nusyuz, konflik
jelas didalam ayat alquran surat an-Nisa suami istri dan penyelesainyya. (M. A.
disebutkan adanya nusyuz dari pihak suami. Ghafar, Trans.) Jakarta: Pustaka al-
karena suami juga manusia biasa yang tidak Kautsar.
menutup kemungkinan untuk melakukan Ashabuni, M. A. (2003). Terjemahan Tafsir
kesalahan. Nampaknya ini terjadi karena Ahkam Ashabuni Jilid I. Jakarta:
dalam UU Perkawinan banyak dipengaruhi PT.Bina Ilmu.
oleh fiqh klasik. Buku-buku fiqih tersebut As-Sadlan, S. b. (2004). Kesalahan-
dipengaruhi oleh lingkungan tempat Kesalahan Istri. Jakarta: Pustaka
penulisnya. Penulis yang hidup di Progresif.
lingkungan masyarakat dimana kekuasaan Aziz, N. M. (2012). Urgensi Penelitian dan
kaum laki-lakinya dominan (male- Pengkajian Hukum Dalam
dominated society), sehingga pembahasan Pembentukan Peraturan Perundang-
perkawinan dalam kitab-kitab fiqih klasik undangan (Vol. 1).
menunjukkan secara mencolok perbedaan Engineer, A. A. (2007). Pembebasan
laki-laki dan perempuan. perempuan dalam Perempuan. Yogyakarta: LKIS.
kitab kitab fiqih selalu diposisikan sebagai Ibrahim, M. A.-S. (1994). Lima Puluh
makhluk inferior. Untuk memahami konsep Wasiat Rasulullah SAW Bagi Wanita.
nusyuz dalam pasal pasal KHI sudah (K. Suhardi, Trans.) Jakarta Timur.
seharusnya dikembalikan kepada Mulia, S. M. (2004). Muslimah Reformis.
bagaimana kondisi sosial pada keadaan saat Bandung: Mizan Pustaka.
ini, bagaimana relasi suami isteri dalam Mustaqim, A. (2008). Pergeseran
keluarga sekarang ini tentu jauh berbeda Epistimologi Tafsir. Yogyakarta:
dengan kondisi 30 tahun lalu saat KHI ini Pustaka Pelajar.
dirumuskan, intinya pemaknaan konsep Rahman, D. A. (2006). Mengembangkan
nusyuz harus berdasarkan asas kesetaraan Etika Berumah Tangga Menjaga
dan keadilan, tidak boleh menguntungkan Moralitas Bangsa Menurut al-Qur’an.
salah satu pihak dan merugikan pihak yang Bandung: Nuansa Aulia.
lain. Ridha, M. R. (1993). Jawaban Islam
Terhadap Berbagai Keraguan Seputar
V. SARAN Keberadaan Wanita. Surabaya:
Dalam hal ini, penafsiran maupun Pustaka Progresif.
pendapat lama terdahulu terbuka untuk Ridha, S. I. (1954). Tafsir al-Qur’an al-
didiskusikan guna mencari dan Hakim ( Tafsir Al-Manar ), Jilid V,
mendapatkan penafsiran dan pandangan (Vol. V). Bairut: Dar al-Fikr.
baru yang lebih sesuai dengan rasa keadilan

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 42


Vol. 1, No. 1 Oktober 2020
Law Journal (Lajour) p-ISSN : 2774-2628

Subhan, Z. (2008). Menggagas Fiqh


Pemberdayaan Perempuan. Jakarta:
El-Kahfi.
Syarifuddin, A. (2009). Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Wadud, A. (2006). Qur’an Menurut
Perempuan. (A. Ali, Trans.) Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta.

Online :

Mulia, S. M. (2009, Januari 21). dalam


artikel tentang Nusyuz
Pembangkangan Terhadap Perintah
Tuhan, Bukan terhadap Perintah
Suami. Retrieved from Majalah Tantri:
https://majalahtantri.wordpress.com/20
09/01/21/nusyuz-pembangkangan-
terhadap-perintah-tuhan-bukan-
terhadap-perintah-suami/
KBBI. (n.d.). Retrieved from
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nus
yuz

Universitas Bina Insan Lubuklinggau 43

Anda mungkin juga menyukai