Anda di halaman 1dari 21

“USULAN PENETAPAN PERISTIWA PETA BLITAR

TGL. 14 FEBRUARI 1945 SEBAGAI


HARI KEBANGKITAN PETA
SERTA STRATEGI PERANG GERILYA DIBAWAH
PIMPINAN JENDERAL SOEDIRMAN YANG DIAKUI
OLEH DUNIA INTERNASIONAL”

Sentul, 27 Juli 2022


KETUA YAPETA
H. TINTON SOEPRAPTO
• Perlawanan tentara PETA kepada penguasa pendudukan Jepang sesungguhnya terjadi dibeberapa tempat,
diantaranya di Blitar, di Cileunca, Rengasdengklok, dan juga Sumatera. Meskipun semangatnya sama, tetapi pola dan
bentuknya berbeda-beda. Namun, perlawanan-perlawanan tersebut dapat dengan mudah dipatahkan oleh tentara
Jepang, karena gerakannya yang parsial, tidak dalam satu kendali dan koordinasi, yang demikian ini karena diduga
Jepang sengaja memutuskan rantai kendali dan koordinasi tersebut untuk mencegah terjadinya komunikasi dan
koordinasi antara satuan PETA di daerah yang satu dengan yang lain.

• Oleh karena itu banyak ragam dinamika dari gerakan perlawanan Tentara PETA kepada Tentara Pendudukan Jepang
yang terjadi di berbagai daerah. Sesuai tujuan utama dan keperluannya, tulisan ini lebih focus berbicara tentang
Pemberontakan Tentara PETA di Blitar. Dengan beberapa catatan yang ada, Perlawanan PETA di Blitar meninggalkan
semangat kejuangan tersendiri bagi generasi penerus perjuangan bangsa berikutnya. Dalam tulisannya tentara PETA,
Pamoe Rahardjo mengatakan bahwa Pemberontakan yang dilakukan PETA di Blitar merupakan suatu bukti historis
perlawanan rakyat yang tidak dapat disangkal. Tujuannya untuk membela rakyat yang tertindas. (Pamoe Rahardjo
1993, 16).
Setelah tentara Jepang menduduki Kota Blitar (1942), Komandan Tentara Jepang
menemui Soerachmad, Wedana/Sipil (Guncho) Kewedanan Blitar. Selanjutnya ketika
Jepang mulai membentuk dan melatih perwira-perwira PETA, wedana (Guncho)
Soerachmad dimasukan sebagai Calon Perwira Tentara PETA dengan pangkat
Daidancho (Komandan Batalyon) karena pengalamannya dan usianya dipandang
cukup senior (39 tahun).

Pada bulan Oktober 1943, Soerachmad dengan para calon perwira lainnya dilatih dan dididik
di Bogor Renseitai (kini dijadikan Monumen & Museum PETA di Bogor). Selesai pendidikan
di Renseitai Bogor Soerachmad diangkat sebagai Daidancho Ni Daidan PETA Blitar.
Soerachmad adalah Daidancho Blitar pertama, seangkatan dengan Kasman Singodimedjo
dan lain-lain. Sebagai Daidancho PETA Blitar, Soerachmad bersama-sama perwira PETA
lainnya yang baru selesai mengikuti pendidikan dan latihan “Spartan” (sebutan untuk tentara
yang mendapat latihan keras) ala Jepang, ditugaskan untuk merekrut, menyusun dan
mendidik prajurit Batalyon PETA Blitar.
Beberapa orang perwira PETA Blitar dibawah pimpinan Daidancho Soerachmad inilah
terjadi Pemberontakan Tentara PETA Blitar yang cukup fenomenal dalam sejarah PETA.
terdiri dari 5 orang Chudancho, yaitu :

1. Chudancho Soehoed

2. Chudancho Tjipto Harsono

3. Chudancho Hasan Nawawi

4. Chudancho Soejatmo (ayah dari Ketua YAPETA, Bpk. H.Tinton Soeprapto)

5. Chudancho dr. Ismangil

(Nina Lubis. 2009 PETA cikal bakal TNI hal. 122)


Ketika Pemerintah Penduduk Jepang membentuk Tentara PETA (Pembela Tanah Air)
dalam rangka menghadapi serangan dari Sekutu, Soeprijadi menjadi salah satu pemuda
yang turut masuk dalam pendidikan dasar PETA. Soeprijadi dan rekan-rekannya adalah
lulusan angkatan 1 pendidikan PETA di Bogor. Setelah bergabung dengan PETA
dengan pangkat Shodancho (Komandan Peleton), ia bersama teman seangkatannya
kemudian bertugas di daerah asalnya dibawah Daidan (Batalyon) Blitar. Disana diberi
tanggung jawab untuk mengawasi para pekerja romusha. Karena Soeprijadi selalu
melihat penderitaan para pekerja romusha, ia pun tergerak untuk mengajak teman-
temannya memberontak melawan Jepang. Para Perwira muda PETA Blitar yang sangat
bersemangat untuk melakukan pemberontakan, antara lain Shodancho Soeprijadi,
Shodancho Moeradi, Shodancho Soeparyono, Shodancho Soenanto, Bundancho Halir
Mangkoedidjaja.
Sewaktu Soekarno sedang berkunjung ke rumah orang tua Soeprijadi di Blitar, pasukan

PETA memberitahukan bahwa mereka sedang merencanakan aksi pemberontakan.

Mengetahui hal itu, Soekarno meminta mereka untuk mempertimbangkan apa akibat yang

akan terjadi nantinya, tetapi Soeprijadi tetap yakin pemberontakan ini akan berhasil. Orang

pertama yang mengemukakan gagasan pemberontakan itu adalah Shodancho Soeprijadi.

Maka pada tanggal 14 Februari 1945, tentara PETA mulai melancarkan aksi pemberontakan

mereka. Sekitar 360 orang terlibat dalam Pemberontakan PETA Blitar.. Namun dalam waktu

singkat, Jepang berhasil menghentikan Pemberontakan tersebut. Mereka tertangkap, ada

yang dihukum mati, dipenjara dan ada pula yang dibebaskan. Sementara nasib Soeprijadi

sampai saat ini masih misteri, belum diketahui pasti keberadaannya. Untuk menghargai

semangat perjuangannya, Negara telah memberikan penghargaan sebagai Pahlawan

Nasional Indonesia.
“TAHAP PELAKSANAAN PEMBERONTAKAN”

Rapat Hasil Rapat


Rapat Pertama Rapat resmi pertama untuk membicarakan rencana pemberontakan, dilakukan pada waktu malam
pertengahan September 1944 dan penyelenggaranya Shodancho Moeradi.

Rapat Kedua Setelah 2 bulan dari rapat pertama, dilanjutkan rapat kedua dengan agenda mendengarkan laporan dari
pelaksanaan tugasnya masing-masing

Rapat Ketiga Pertemuan ke tiga diadakan pada pertengahan Januari 1945, ketika seluruh Daidan dikumpulkan di Blitar
untuk dikirimkan ke Tuban guna melakukan Latihan dengan sepuluh Daidan lain. Dalam rapat tersebut
disusun rencana untuk melibatkan daidan-daidan lain dalam suatu pemberontakan umum.

Beberapa kali pertemuan dan Rapat Keempat Pada 1 Februari 1945, Soeprijadi mendesak rekan-rekannya untuk segera mencetuskan pemberontakan
karena beranggapan bahwa rencananya telah diketahui Jepang.

rapat dilaksanakan sejak


Rapat Kelima Dalam pertemuan tersebut Bundancho Halir Mangkoedidjaja mengusulkan dibentuknya susunan
organisasi pemberontakan tentara PETA Blitar, sbb :
september 1944 sampai Pimpinan Pemberontakan : Shodancho Soeprijadi
Komandan Pertempuran : Shodancho Moeradi
Komandan Pasukan : Shodancho Soenarjo, Shodancho Soeprajono, Shodancho S. Jono, Shodancho
dengan meletusnya Dasrip dan Bundancho Soenanto.
Bidang Perbekalan : Shodancho Soemardi dan Bundancho Halim Mangkoedidjaja.
Bidang Keuangan : Bundancho Pracojo
Pemberontakan 14 Februari Bidang Peralatan : Bundancho Soengkono
Bidang Angkutan : Bundancho Atmaja
Bidang Pergudang : Bundancho Tarmoedji
1945 : Bidang Penasehat : Chudancho dr. Ismangil dan Bundancho Halir
Mangkoedidjaja (Sagimun 1985 : 122)

Rapat Keenam Pada tanggal 13 Februari 1945, sekali lagi Soeprijadi mengadakan rapat keenam dengan teman-temannya
dalam rangkaian pertemuan yang bersifat rahasia. Ia mendesak rekan-rekannya untuk memulai
pemberontakan seketika itu juga. Atas desakan Soeprijadi tersebut, akhirnya disetujui maka disusunlah
rencana pemberontakan tersebut.
LANGKAH JEPANG MENINDAS PEMBERONTAKAN PETA

Berikut taktik dan tipu daya yang dilakukan


penguasa jepang :
 Setelah tiba waktunya tepatnya tanggal 14 Februari 1945
pukul 03.30 dini hari Pemberontakan itu dimulai. Setelah
Pertama Pihak Jepang mengetahui benar bahwa tidak semua prajurit PETA
menerima laporan kesiapan dari Shodancho Moeradi, ikut
memberontak.
Shodancho Soeprijadi pergi ke kantor Honbu untuk Kedua Pihak Jepang mengetahui bahwa Pemberontakan PETA Blitar tidak
terkoordinasi dan juga tidak diketahui dengan baik oleh Tentara atau
satuan- satuan PETA maupun Heiho dari tempat dan kota lain.
menelpon Bupati Blitar (Samadikun) dan Kepala
Ketiga Untuk melemahkan kemauan dan semangat Pemberontakan Tentara
Kepolisian Blitar (Komisaris Sirad). PETA,
penguasa Jepang melakukan upaya pendekatan dengan membujuk
kaum
pemberontak untuk menghentikan perlawannya.

Keempat Dengan berbagai upaya tersebut Jepang berhasil melumpuhkan


 Setelah mengetahui adanya pemberontakan Tentara pemberontakan PETA.

PETA di Blitar, penguasa Pendudukan Jepang segera


melakukan upaya-upaya penumpasannya, maka
beberapa taktik dan tipu daya dilakukan penguasa Jepang
untuk melumpuhkan Pemberontakan PETA.
Dalam situasi yang kritis itu, Kelompok Moeradi, yang merupakan kelompok terbesar,
mengadakan perundingan dengan Kolonel Katagiri, Komandan Batalyon Jepang di
Malang. Antara kedua pimpinan itu telah diajukan dua syarat untuk berdamai, yaitu :

1) Pihak tentara Jepang tidak akan mengambil tindakan hukum kepada anggota-
anggota PETA Blitar yang kembali kepada Daidannya.

2) Senjata-senjata anggota PETA tidak akan dilucuti. (Soewondo ed. 1996 : 172)

Syarat yang diajukan oleh Shodancho Moeradi tersebut telah diterima baik oleh Kolonel
Katagiri. Sebagai tanda bahwa pihak Jepang tidak akan mengingkari janji, maka Kolonel
Katagiri menyerahkan pedang samurainya kepada Moeradi.
“JEPANG TIDAK MENEPATI JANJI”

 Dalam kenyataannya, Jepang tidak menepati janji, Jepang mengingkari Perjanjian yang dibangun antara Kolonel
Katagiri dan Shodancho Moeradi.

 Setelah semua anggota yang terlibat pemberontakan ditangkap dan yang kembali sendiri di Kesatrian PETA di
Blitar, mereka pun di interogasi.

 Sebagai Komandan PETA Daidancho Soerachmad juga diperiksa dan mengalami siksaan dari Kempetai. Perwira
lain yang ikut diperiksa adalah Chudancho Soejatmo karena dianggap ikut bertanggung jawab atas terjadinya
pemberontakan anak buahnya.

 Pada 12 Maret 1945, sebanyak 71 orang terdiri dari perwira, bintara dan prajurit-prajurit Tentara PETA diangkut ke
Jakarta untuk pemeriksaan lebih lanjut. Tangan mereka diborgol dan dikawal oleh tentara Jepang. Sehari kemudian
sekitar pukul 17.00 mereka tiba di Jakarta menuju Gedung Pengadilan Tentara (Gumpokai) di jalan Merdeka Barat .
Setibanya mereka menjalani pemeriksaan yang ketat disertai dengan penyiksaan-penyiksaan yang kejam
• Sidang pengadilan militer Jepang yang mengadili para pelaku peristiwa Blitar digelar pada tanggal 13, 14 dan
16 April 1945. Pelaku yang diadili seluruhnya berjumlah 55 orang (2 Chudancho, 8 Shodancho, 33 Bundancho
dan 12 Gyuhei). Diakhir persidangan dibacakan tuntutan hukum kepada para terdakwa yaitu :

 Pidana mati : 6 orang 1. Chudancho dr. Ismangil


2. Syodancho Moeradi
 Pidana seumur hidup : 3 orang 3. Syodancho Soeparjono
4. Bundancho Halir Mangkoedidjaja
 Pidana 15 tahun : 6 orang 5. Bundancho Soenanto
6. Bundancho Soedarmo
 Pidana 10 tahun : 6 orang

 Pidana 7 tahun : 7 orang

• Mereka yang menjalani hukuman mati, dilaksanakan di Ereveld Ancol Jakarta pada 16 Mei 1945. 6 orang
anggota PETA Blitar itu harus menghadapi eksekusi maut yang dilakukan oleh algojo-algojo Nippon. Mereka
gugur sebagai kusuma bangsa, berkorban demi cita-cita Kemerdekaan Indonesia. Tanggal 19 Mei 1945,
Jepang baru berani mengeluarkan pengumuman resmi tentang perlawanan PETA Blitar yang dimuat dalam
Kanpo (Lembaga Negara) No. 67 tanggal 27 Mei 1945.
• Suatu hal yang memprihatinkan, penguburan para pahlawan perlawanan PETA
Blitar ini disatukan dengan tempat penguburan interniran Belanda yang dibunuh
oleh Jepang di Ancol. Mereka semua dikubur dalam satu lubang dan ditulis
dengan nomor regristrasi khusus.
• Kemudian pada 14 Februari 1970 kerangka-kerangka tersebut dipindahkan ke
TMP Kalibata, bertepatan dengan Peringatan Perlawanan PETA Blitar ke 25
tahun*.
• Berdasarkan penelitian yang berjudul Pemberontakan PETA di Blitar (1942-1945)
disimpulkan bahwa Pemberontakan PETA di Blitar adalah Pemberontakan
pertama yang mampu menggoyahkan pemerintahan Jepang. Disamping itu
pemberontakan tersebut juga dapat mempengaruhi proses kemerdekaan bangsa
Indonesia dikemudian hari, salah satunya dengan terbentuknya BPUPKI.
• Pemerintah Indonesia telah memberikan penghargaan yang sangat besar kepada para perlawanan
PETA Blitar. Khusunya kepada Soeprijadi sebagai seorang leader dan motivator perlawanan.

• Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan UU No. 5/PRPS/Tahun 1964, para partisan
perlawanan PETA Blitar dibawah Pimpinan Soeprijadi, telah diakui oleh Pemerintah Indonesia
Sebagai Pahlawan Nasional Kemerdekaan. Sedangkan Pimpinan perlawanan yaitu Soeprijadi
ditunjuk untuk duduk di kabinet Presidensial yang pertama (9 agustus 1945 – 4 November 1945),
yaitu pada 20 Oktober 1945 menjadi Menteri Keamanan Rakyat . Atas perjuangannya itu terbit
keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 063/TK/Tahun 1975 tanggal 19 Agustus 1945
Soeprijadi Pemimpin Perlawanan tentara PETA Blitar dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.
(Disjarah 2009. Perlawanan Superiyadi terhadap penjajahan jepang di blitar Hal 241).
• Berdasarkan perjalanan peristiwa perlawanan PETA Blitar pada
14 Februari 1945 dibawah pimpinan Syodancho Soeprijadi dan
untuk melestarikan nilai-nilai kepahlawanannya serta keinginan
Pengurus Yapeta yang sudah pernah diutarakan dalam
ceramah Kuliah Umum pertama di Universitas Pertahanan RI
tgl. 17 November 2021, mengusulkan penetapan tanggal
tersebut diperingati sebagai "Hari Kebangkitan PETA".
“PERAN SERTA KEMENSOS RI DAN KEMENHAN RI TERKAIT
DENGAN PROSES GELAR PERINTIS KEMERDEKAAN MANTAN
TENTARA PETA, TERKAIT PERSYARATAN ADMINISTRASI PERLU
ADANYA TOLERANSI UNTUK KESAKSIAN MENGINGAT SAAT INI
PARA PELAKU/MANTAN TENTARA PETA SUDAH TIDAK ADA.”
• YAPETA sampai saat ini sudah memperjuangkan Tanda Kehormatan Perintis
Kemerdekaan bagi seluruh Mantan Tentara PETA sebagai Cikal Bakal TNI atas jasa-jasa
dan pengabdiannya dalam mengawal dan mempertahankan kemerdekaan NKRI dalam
perjuangan melalui Sayap Militer.
• Untuk mendapatkan pengakuan tersebut, YAPETA sudah melewati beberapa proses
pengumpulan data calon perintis kemerdekaan, diantaranya:
1. Melalui Dirajenad
2. Ahli waris/keluarga
3. Surat kesaksian dari mantan PETA yang masih ada
4. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD)
5. Surat Rekomendasi dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta
6. Surat usulan tanda kehormatan Satyalanca Perintis Kemerdekaan dari Menteri
sosial RI kepada Presiden RI.
Tahap 1 Tahap 2
 Dari usulan sejumlah 73 orang saat ini baru disetujui
:

 Tahap 1 sejumlah : 13 orang

 Tahap 2 sejumlah : 22 orang

Tahap 3 sejumlah : 30 orang dalam proses


usulan

 (Diantaranya Mayjen TNI (Purn) DR. Soetjipto


Gondoamidjojo dari Blitar dan Shodancho Soewarno
Hardjokartono, ayah dari Mantan Kasad Bapak
Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo.
PIAGAM PERINTIS KEMERDEKAAN
YANG DIKELUARKAN OLEH YAPETA
PIAGAM PERINTIS KEMERDEKAAN YANG DIKELUARKAN
OLEH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
• Dilihat dari sejarah perjalanan tentara PETA yang merupakan Cikal Bakal TNI dan jasa serta
pengabdiannya dalam mengawal dan mempertahankan kemerdekaan NKRI, yang dalam
perjuangannya merupakan Sayap Militer.

• Harapan YAPETA bahwa melalui KEMENHAN RI dapat membantu para mantan tentara PETA yang
telah tiada untuk mendapatkan gelar perintis kemerdekaan.

• Dalam surat YAPETA Nomor: 125/K-YAPETA/XI/2021 Tanggal 19 November 2021, Telah mendapat
tanggapan mengenai : usulan proses menerima Gelar Perintis Kemerdekaan mantan tentara PETA
yang selama ini ditangani oleh KEMENSOS, untuk kedepannya ditangani bersama-sama oleh
KEMENHAN, mendapatkan tanggapan penjelasan sebagai berikut :

a) Mekanisme penanganan penerima gelar perintis kemerdekaan bagi mantan tentara PETA
selama ini ditangani oleh KEMENSOS RI dengan berpedoman pada UU nomor 20 tahun
2009 tentang gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan serta pelaksanaanya sudah diatur
dalam PP nomor 35 tahun 2010 pasal 7 ayat (1) dan (2). Sedangkan syarat khusus
penerima tanda kehormatan berupa Satylancana Perintis Kemerdekaan diatur dalam PP
Nomor 35 Tahun Pasal 16.
a) Merubah atau mengalihkan penanganan penerima Gelar Perintis Kemerdekaan bagi
mantan tentara PETA yang selama ini telah ditangani oleh KEMENSOS diperlukan revisi
atau perubahan UU nomor 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda
kehormatan. Kewenangan merubah UU nomor 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa
dan tanda kehormatan adalah KEMENSOS RI.

b) Kementerian Pertahanan RI menangani para pejuang yang berperan aktif dalam peristiwa
keveteranan pasca diproklamasikan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, sedangkan
para Pejuang Perintis Kemerdekaan yang berperan aktif sebelumnya diProklamasikan
Kemerdekaan RI ditangani oleh kementerian sosial RI.

 Mengingat terbentur pada UUD yang telah berlaku, sehingga untuk usulan tahap 3 YAPETA
kembali mengajukan kepada KEMENSOS RI, yang saat ini sudah dalam tahap proses.

Anda mungkin juga menyukai