Lapkas Belum Fix
Lapkas Belum Fix
Oleh :
Agitya Goesvie Ajie, S.Ked
I4061172055
Pembimbing :
dr. Hanartoadjie , Sp.S
A. Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit
neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda
dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat
(dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan
kematian, selain menyebabkan kematian stroke juga akan mengakibatkan dampak untuk kehidupan.
Dampak stroke diantaranya, ingatan jadi terganggu dan terjadi penurunan daya ingat, menurunkan
kualitas hidup penderita juga kehidupan keluarga dan orang-orang di sekelilingnya, mengalami
penurunan kualitas hidup yang lebih drastis, kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan
usia lanjut dan kematian dalam waktu singkat (Junaidi, 2011).
Stroke masih menjadi masalah kesehatan yang utama karena merupakan penyebab kematian
kedua di dunia. Sementara itu, di Amerika Serikat stroke sebagai penyebab kematian ketiga
terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat
mengalami stroke setiap tahunnya, sekitar 610.000 mengalami serangan stroke yang pertama.
Stroke juga merupakan penyebab 134.000 kematian pertahun (Goldstein dkk., 2011). Dalam
terbitan Journal of the American Heart (JAHA) 2016 menyatakan terjadi
peningkatan pada individu yang berusia 25 sampai 44 tahun menjadi (43,8%) (JAHA, 2016).
Meningkatnya jumlah penderita stroke diseluruh dunia dan juga meningkatkan penderita stroke
yang berusia dibawah 45 tahun. Pada konferensi ahli saraf international di Inggris dilaporkan bahwa
terdapat lebih dari 1000 penderita stroke yang berusia kurang dari 30 tahun (American Heart
Association, 2010).
Penyakit stroke juga menjadi penyebab kematian utama hampir seluruh Rumah Sakit di
Indonesia dengan angka kematian sekitar 15,4%. Tahun 2007 prevalensinya berkisar pada angka
8,3% sementara pada tahun 2013 meningkat menjadi 12,1%. Jadi, sebanyak 57,9% penyakit stroke
telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan (nakes). Prevalensi penyakit stroke meningkat seiring
bertambahnya umur, terlihat dari kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah
usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%
(Riskesdas, 2013). Menurut penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, prevalensi
penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis oleh nakes meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Prevalensi penyakit stroke pada umur ≥15 tahun 2013 di Sumatera Barat naik
dari 7,4% menjadi 12,2% diamana juga terjadi peningkatan pada usia 15-24 tahun (0,2 % menjadi
2,6%) usia 25-34 tahun (0,6% menjadi 3,9%) usia tahu 35-44 tahun (2,5% menjadi 6,4%) (Hasil
Riskesdas, 2013).
BAB II
PENYAJIAN KASUS
A. Anamnesa
1. Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik
Status Pernikahan : menikah
Tanggal Masuk : 12 APRIL 2019
Tanggal Keluar : 26 APRIL 2019
2. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kiri
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki, 56 tahun rujukan dari Puskesmas karangan dengan
keluhan kelemahan pada tangan dan kaki kiri sejak 5 hari smrs disertai bicara
pelo.
Kronologis:
Tahun 2016: pada tahun 2016 pasien pernah mengalami keluhan
kelemahan pada tangan dan kaki kiri secara tiba-tiba dan pasien tidak
sadarkan diri. Lalu pasien dibawa ke puskesmas, saat pasien sudah sadar
pasien mengeluh lemah pada tangan dan kaki kiri, mulut mencong ke kanan.
Pasien 2 hari dirawat di puskesmas dan di rujuk ke RS Abdul Aziz
Singkawang. Pasien di rawat di RS Abdul Aziz selama -/+ 3 minggu.
Keadaan pasien saat pulang pasien dapat berjalan walaupun Pelan, bisa
makan, bisa bicara tapi kurang jelas dan paham apa yang di bicarakan.
Selama pasien pulang hingga serangan stroke ke 2 pasien tidak pernah kontrol
ke poli maupun ke puskesmas. Pasien sering mengeluh sakit kepala dan hanya
berobat ke puskesmas.
7 hari SMRS: Pasien mengalami kelemahan pada tubuh sebelah kiri
secara tiba-tiba, pasien hanya bisa berbaring, dan tidak dapat duduk dan
mulut pasien mencong ke kanan bicara pelo, pasien tidak langsung dibawa ke
Rumah Sakit, hanya dirawat di rumah
2 hari SMRS:pasien tersedak saat minum dan badan semakin lemah.
1 hari SMRS : keluarga membawa pasien ke Puskesmas dan dari
puskemas langsung meujuk ke RS Abdul Aziz.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : Compos Mentis
Status gizi : Kesan gizi baik
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Frekuensi nadi : 88 x/menit
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu : 37,0˚C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
isokor, diameter 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Mulut : Mukosa bibir kering (-), lidah kotor (-)
THT : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), JVP 5+2
cmH2O, sekret (-)
Jantung : Bunyi jantung SI/SII reguler, murmur (-), gallop
(-) Paru : Sonor, suara napas vesikuler (+/+), rh (-/-), wh(-/-)
Abdomen : Bising usus normal, timpani, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CTR < 2 detik, edema (-)
2. Status Neurologis
GCS E4VxM5
Sikap tubuh : Dalam batas normal
Gerakan abnormal : Tidak ada
Kepala : Mesocephal, simetris, tidak ditemukan kelainan
Pupil : Berbentuk bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL
+/+, RCTL +/+
Nervus kranialis : parese N VII
Leher : Kaku Kuduk (-), Kernig’s sign (-/-), Lasegue
sign (-/-), Brudzunski I,II (-)
E. Tatalaksana
1. Non medikamentosa:
a. Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi, tata laksana, dan
prognosis penyakit yang sedang dialami pasien
b. Memberikan dukungan dan edukasi pasien
2. Medikamentosa (IGD):
a. Elevasi kepala 30o
b. Bed rest
c. IVFD NaCl 0,9% 15 tpm
d. Inj. Ranitidine 2 x 50 mg IV
e. Inj. Citicolin 2x1000 mg IV
f. Drip sohobion 1 amp /24 jam IV
g. Simvastatin 1x 20 mg (PO)
h. Asam folat 2x1 tab PO
F. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam
G. Follow Up
Otak besar terbagi terdiri dari 2 hemispherium cerebri, yaitu kiri dan kanan.
Masing-masing Hemispherium cerebri terbagi menjadi 4 lobi:4
Lobus frontalis
Lobus parietalis
Lobus temporalis
Lobus occipitalis
(a) CT scan menunjukkan oklusi arteri serebri kanan tengah sebagai irisan besar
dengan kepadatan rendah; arteri yang tersumbat itu sendiri cerah. (B) CT scan
menunjukkan perdarahan kapsul internal kiri besar.
b. Epidemiologi
Stroke adalah penyebab kematian kelima jika dipertimbangkan secara terpisah dari
penyakit kardiovaskular lainnya. Di Amerika Serikat, diperkirakan 795.000 stroke terjadi
setiap tahun, dan prevalensi stroke meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko seumur
hidup dari semua stroke lebih tinggi pada wanita; Namun, ini dikaitkan dengan harapan
hidup yang lebih lama.
Menurut Framingham Heart Study, kejadian stroke menurun dari waktu ke waktu.
Namun, kohort didominasi oleh populasi kulit putih.
Penyakit stroke juga menjadi penyebab kematian utama hampir seluruh Rumah Sakit
di Indonesia dengan angka kematian sekitar 15,4%. Tahun 2007 prevalensinya berkisar pada
angka 8,3% sementara pada tahun 2013 meningkat menjadi 12,1%. Jadi, sebanyak 57,9%
penyakit stroke telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan (nakes). Prevalensi penyakit stroke
meningkat seiring bertambahnya umur, terlihat dari kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis
tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-
24 tahun yaitu sebesar 0,2% (Riskesdas, 2013). Menurut penelitian Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2013, prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis oleh
nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi penyakit stroke pada umur
≥15 tahun 2013 di Sumatera Barat naik dari 7,4% menjadi 12,2% diamana juga terjadi
peningkatan pada usia 15-24 tahun (0,2 % menjadi 2,6%) usia 25-34 tahun (0,6% menjadi
3,9%) usia tahu 35-44 tahun (2,5% menjadi 6,4%) (Hasil Riskesdas, 2013).
Penyebab oklusi salah satu arteri serebral yang biasa adalah pembentukan trombus
akut di lokasi plak ateromatosa. Trombus dapat menyumbat pembuluh darah lokal atau
membuang emboli yang menyumbat pembuluh nadi yang lebih jauh. Proses ini sangat
umum pada asal arteri karotis interna, tetapi dapat terjadi di mana saja dari aorta ke arteri
serebral itu sendiri. Penyebab umum oklusi adalah emboli dari hati. Pada pasien yang lebih
muda, diseksi arteri karotis atau vertebralis (di mana bentuk split antara lapisan dinding
arteri, sering setelah trauma leher minor) dapat menyumbat pembuluh atau memungkinkan
trombus untuk membentuk dan embolisasi secara distal (Gbr. 2.3) . Pasien dengan hipertensi
atau diabetes dapat menyumbat arteri yang lebih kecil di dalam otak melalui proses
patologis yang mungkin lebih berkaitan dengan degenerasi di dinding arteri daripada
atheroma dan trombosis. Penyakit pembuluh darah kecil ini dapat menyebabkan infark
berdiameter beberapa milimeter, disebut stroke lacunar, atau penyakit yang lebih berbahaya
dengan demensia dan gangguan gaya berjalan. Jika pemulihan total dari peristiwa iskemik
terjadi dalam beberapa menit atau jam, itu disebut transient ischemic attack (TIA). Dimana
pemulihan memakan waktu lebih lama dari 24 jam diagnosis adalah stroke. Patofisiologi
kedua kondisi tersebut, dan implikasi untuk penyelidikan dan perawatan, adalah sama.
Dalam kedua situasi tersebut, riwayat dan pemeriksaan membantu menentukan
penyebabnya (dengan tujuan pencegahan sekunder) dan menilai tingkat kerusakannya
(untuk merencanakan rehabilitasi).
Nutrisi
Pemberian enterik dini harus didorong. Untuk pasien dengan disfagia, gunakan
tabung nasogastrik untuk mempromosikan pemberian makanan enterik. Jika ada
kekhawatiran bahwa pasien mungkin mengalami kesulitan menelan untuk waktu
yang lama (lebih dari 2 hingga 3 minggu), disarankan untuk memasang tabung
gastrostomi perkutan. Pemberian makan dini telah terbukti memiliki pengurangan
absolut dalam risiko kematian [22]
Evaluasi Jantung
Pemantauan jantung untuk fibrilasi atrium atau aritmia lainnya direkomendasikan
dalam 24 jam pertama. Manfaat pemantauan lebih lanjut tidak jelas.
Troponin awal direkomendasikan karena ada hubungan antara stroke dan penyakit
arteri koroner.
Perawatan Antiplatelet
Aspirin direkomendasikan dalam 24 hingga 48 jam setelah onset gejala.
Sebuah tinjauan Cochrane menyimpulkan bahwa aspirin yang diberikan dalam
waktu 48 jam setelah onset gejala untuk stroke iskemik mencegah terulangnya stroke
iskemik dan meningkatkan hasil jangka panjang seperti menjadi mandiri. Itu tidak
ada risiko utama perdarahan intrakranial dini dengan aspirin [26].
Perawatan Antitrombotik
Penggunaan warfarin dalam pencegahan stroke sekunder tidak dianjurkan.
Pada pasien dengan atrial fibrilasi, pedoman menyatakan masuk akal untuk memulai
antikoagulasi oral dalam 4 sampai 14 hari setelah gejala neurologis timbul.
Statin
Statin intensitas tinggi (atorvastatin 80 mg setiap hari atau rosuvastatin 20 mg
setiap hari) direkomendasikan untuk pasien berusia 75 tahun atau lebih muda yang
memiliki penyakit kardiovaskular aterosklerotik klinis. Selain itu, pasien dapat
diteruskan dengan statin jika mereka menggunakan statin sebelum stroke iskemik.
h. Pencegahan episode serupa selanjutnya
Ini berarti identifikasi dan perawatan faktor etiologi yang telah disebutkan. Risiko
stroke lebih lanjut secara signifikan berkurang oleh penurunan tekanan darah, dengan
diuretik thiazide dan penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACE), bahkan pada
pasien dengan tekanan darah normal, dan juga dengan terapi statin bahkan jika tingkat
kolesterol berada di dalam batas normal. jarak. Pemeriksaan penunjang harus mencakup
hitung darah lengkap, LED (jika dipertimbangkan pertimbangkan vaskulitis, endokarditis,
myxoma atrium atau infeksi sekunder), glukosa puasa dan lipid, dan pencarian sumber
emboli jantung. Ini dimulai dengan pemeriksaan jantung yang hati-hati, EKG dan rontgen
dada, dilengkapi dengan transthoracic atau transoesophageal echocardiography jika ada
kecurigaan sumber jantung. Jika stroke berada di wilayah karotis, dan terutama jika pasien
telah melakukan pemulihan yang wajar dan dinyatakan sehat, penyelidikan lebih lanjut
harus dilakukan untuk melihat apakah pasien dapat memperoleh manfaat dari
endarterektomi karotid. Pasien yang mendapat manfaat terbesar dari operasi tersebut adalah
mereka dengan ateroma terlokalisasi pada asal arteri karotis interna di leher, menghasilkan
stenosis lumen arteri yang signifikan (lebih dari 70%). Tingkat keparahan stenosis dapat
ditegakkan secara non-invasif dengan Doppler ultrasound atau MR angiografi, ditambah
jika perlu dengan kateter angiografi. Ada atau tidak adanya bruit karotis bukan panduan
yang dapat diandalkan untuk tingkat stenosis. Pasien yang dipilih dengan baik di tangan
bedah kelas pertama mencapai pengurangan yang pasti dalam kejadian stroke ipsilateral
berikutnya.
Obat antiplatelet (mis. Aspirin) mengurangi risiko stroke lebih lanjut (dan infark miokard).
Antikoagulasi dengan warfarin khususnya bermanfaat dalam fibrilasi atrium dan di mana sumber
embolisasi jantung telah ditemukan. Terlepas dari semua Pemulihan dari stroke
gangguan gaya berjalan dengan marche à petits pas • Perhatian untuk menelan
Pasien dengan berbagai infark yang timbul dari pembuluh • Terapis paramedis
memengaruhi penglihatan, bicara, gerakan anggota tubuh, dan keseimbangan. Beberapa derajat
pseudobulbar palsy (dengan bicara cadel, cepat dan emosional) adalah umum dalam kasus-kasus
seperti itu karena keterlibatan hemisfer serebri bilateral, yang mempengaruhi persarafan neuron
motorik atas nukleus saraf kranial bawah.
i. Prognosis
Prognosis untuk CVA sangat tergantung pada derajat, struktur yang terlibat, area yang terlibat,
waktu untuk identifikasi dan diagnosis, waktu untuk perawatan, lama dan intensitas terapi fisik dan
pekerjaan, dan fungsi awal sebelumnya, di antara kriteria [29] [30].
j. Perawatan Pasca Operasi dan Rehabilitasi
Rehabilitasi dini untuk pasien stroke bermanfaat dan harus dilakukan. Rehabilitasi yang sangat
awal, dalam waktu 24 jam, tidak boleh dilakukan. Uji coba AVERT mengacak pasien untuk
menerima rehabilitasi sangat awal dalam 24 jam setelah stroke dibandingkan dengan perawatan
unit-stroke biasa dan mobilisasi dini menunjukkan hasil yang kurang menguntungkan menggunakan
skor Rankin yang dimodifikasi [31].
2. Visuospatial neglect
Penelantaran visuospatial (mulai sekarang "diabaikan") adalah kelainan yang sering terjadi setelah
kerusakan otak. Pasien dengan kelalaian gagal - atau jauh lebih lambat - untuk mengarahkan,
merespons, dan melaporkan peristiwa di satu sisi ruang (biasanya sisi yang berlawanan dengan lesi
otak mereka; sisi contralesional) (Buxbaum et al., 2004; Heilman, Valenstein , & Watson, 2000).
Defisit perhatian yang teralisasi ini tidak dapat dikaitkan dengan defisit motorik atau sensorik
(Heilman & Valenstein, 1979). Setiap tahun, sekitar 45.000 orang di Belanda menderita stroke
(https://www.hersenstichting.nl). Dari semua pasien stroke, 20% hingga 80% menunjukkan pengabaian
(Chen, Chen, Hreha, Goedert, & Barrett, 2015). Angka-angka ini sangat bervariasi di antara penelitian,
karena mereka tergantung pada tugas-tugas khusus yang digunakan, sampel stroke yang dimasukkan,
dan waktu pasca-stroke di mana pasien dinilai. Secara umum, pemulihan neurobiologis spontan dari
pengabaian terjadi dalam 3 bulan pertama setelah serangan stroke (Gambar 1.1; Nijboer, Kollen, et al.,
2013). Pada sekitar 40% pasien dengan pengabaian, gangguan ini masih ada 1 tahun setelah onset
stroke (Nijboer, Kollen, et al., 2013). Kelalaian dapat mengakibatkan beberapa perilaku khas: pasien
hanya mencukur satu sisi wajah mereka, makan dari satu sisi piring mereka, atau mengabaikan orang-
orang yang berada di sisi contralesi mereka. Gangguan perhatian lateral sering juga ditunjukkan ketika
pasien diminta untuk menggambar atau menyalin gambar (Gambar 1.2). Selain itu, beberapa pasien
tidak menggunakan anggota badan contralesional mereka, walaupun secara fisik mereka mampu.
Meskipun perilaku mencolok ini, pasien sering tidak menyadari gangguan atau bahkan
menyangkalnya. Ini adalah hasil dari anosognosia (yaitu, kurangnya wawasan) yang sering terjadi
bersamaan dengan pengabaian (Appelros, Karlsson, Seiger, & Nydevik, 2002).
Manifestasi klinis dari pengabaian sering dikacaukan dengan kebutaan kortikal, seperti
hemianopia. Pada kedua gangguan, pasien kehilangan informasi tentang bidang visual yang
terpengaruh. Perbedaan antara gangguan berkaitan dengan mekanisme yang mendasarinya. Sedangkan
pasien dengan hemianopia tidak dapat memproses informasi visual dalam bidang visual yang
terpengaruh, pasien dengan pengabaian tidak memperhatikan informasi visual dalam bidang visual
yang terpengaruh. Kelalaian dikaitkan dengan banyak defisit kognitif, tetapi defisit inti adalah
gangguan dalam perhatian lateralisasi. Mengabaikan adalah gangguan heterogen, bervariasi dalam
modalitas sensorik (yaitu, visual, auditori dan taktil; Corbetta, 2014; Jacobs, Brozzoli, & Farnè, 2012),
wilayah ruang (yaitu, peripersonal dan ekstrapersonal; Aimola, Schindler, Simone, & Venneri, 2012;
Van der Stoep et al., 2013), dan kerangka acuan (yaitu egosentris dan alokentris; Chechlacz et al.,
2010). Saya akan fokus pada pengabaian visuospatial dalam tesis ini. Pasien stroke yang lalai
memerlukan lebih banyak bantuan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL), seperti berpakaian
dan makan, dibandingkan dengan pasien tanpa mengabaikan (Nijboer, van de Port, Schepers, Post, &
Visser-Meily, 2013; Nys et al., 2005 ). Ini menempatkan beban yang sangat besar pada kerabat
mereka, karena mereka harus mengalokasikan lebih banyak waktu untuk perawatan (Chen, Fyffe, &
Hreha, 2017). Sebagai akibatnya, pasien dengan kelalaian lebih kecil kemungkinannya untuk pulang
ke rumah (Wee & Hopman, 2008). Selain itu, pengabaian memiliki efek penekan pada pemulihan di
domain lain juga (Buxbaum et al., 2004). Sebagai contoh, pasien dengan kelalaian memiliki fungsi
motorik yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa kelalaian dan, di samping itu, pasien
dengan fungsi motor yang sebanding pulih lebih lambat (Gambar 1.3; Nijboer, Kollen, & Kwakkel,
2014; Nijboer, van de Port, et al. , 2013). Akhirnya, pasien dengan kelalaian mencapai tingkat fungsi
motorik yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa kelalaian (Nijboer, Kollen, et al., 2014).
Dalam penelantaran sisi kiri, setelah kerusakan otak kanan, defisit perhatian lateralisasi umumnya
lebih parah dan persisten dibandingkan dengan penelantaran sisi kanan (lihat Kotak 1.1 untuk
penjelasan teoretis; Chen, Hreha, Kong, & Barrett, 2015; Gainotti, Messerli , & Tissot, 1972; Ogden,
1985; Ringman, Saver, Woolson, Clarke, & Adams, 2004). Namun, tidak diketahui apakah
konsekuensi dalam domain lain sebanding antara pasien dengan pengabaian sisi kiri dan kanan. Dalam
Bab 2, kami mengeksplorasi perbedaan dan kesamaan yang ada antara pasien dengan pengabaian sisi
kiri dan kanan, mengenai tingkat keparahan defisit atensi lateral, kekhususan wilayah pengabaian,
fungsi kognitif, fungsi fisik dan kemandirian dalam mobilitas dan perawatan diri. Dalam Bab 3, kami
mengevaluasi bagaimana pengabaian peripersonal dan ekstrapersonal berbeda satu sama lain pada
tingkat anatomi
Diagnosa
Diagnosis kelalaian yang tepat dianggap sangat penting untuk penetapan tujuan yang
realistis dalam rehabilitasi dan untuk mengantisipasi kebutuhan akan dukungan, karena pasien
dengan pengabaian lebih tergantung pada lingkungan mereka dibandingkan dengan pasien tanpa
pengabaian (Buxbaum et al., 2004; Nijboer, van de Port, et al., 2013). Secara umum, tugas kertas
dan pensil neuropsikologis, seperti tugas pembatalan atau pembelahan, digunakan untuk diagnosis
pengabaian (Gambar 1.5). Tugas-tugas semacam itu dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, juga
pada pasien yang terikat tempat tidur atau pasien dengan gangguan bahasa (ringan). Namun, kadang-
kadang, pasien tidak menunjukkan kelalaian pada tugas kertas dan pensil ini, tetapi, misalnya,
menabrak tiang pintu tepat setelah menyelesaikan penilaian neuropsikologis (Azouvi, 2017;
Huisman, Visser-Meily, Eijsackers, & Nijboer, 2013; Klinke, Hjaltason, Hafsteinsdóttir, &
Jónsdóttir, 2016; Ten Brink et al., 2013). Perbedaan antara pengabaian yang diukur dengan tugas
kertas dan pensil dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar terlihat pada pasien yang
telah belajar menggunakan strategi kompensasi. Ada beberapa penjelasan untuk perbedaan ini.
Pertama, heterogenitas pengabaian tersebut dapat mendasari disosiasi yang ditemukan pada
tugas kertas dan pensil versus perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tugas kertas dan pensil
dirancang untuk merealisasikan pengabaian visual dalam ruang peripersonal, dengan demikian, jenis
pengabaian lainnya akan terlewatkan. Kedua, situasi kehidupan sehari-hari lebih dinamis
dibandingkan dengan tugas kertas-dan-kertas statis. Stimulus yang relevan harus dideteksi dalam
lingkungan yang terus bergerak, sementara satu juga bergerak. Ketika dua peristiwa terjadi secara
bersamaan di sisi ipsilesional dan kontralesional, persaingan atensi antara peristiwa-peristiwa ini
terjadi. Dalam sebagian besar tugas yang diabaikan, sedikit persaingan dengan rangsangan
ipsilesional ada. Akhirnya, selama tugas kertas dan pensil, pasien biasanya memiliki satu tujuan
untuk fokus. Ketika pasien harus melakukan beberapa operasi pada saat yang sama, seperti berjalan,
mengobrol dan melihat, kapasitas perhatian terbatas dan pengabaian bisa tiba-tiba terwujud
(Chechlacz, Humphreys, & Cazzoli, 2016; Klinke et al., 2016). Pada bagian kedua dari tesis ini,
kami mempelajari tugas dinamis dan beberapa 'tindakan dinamis' pengabaian. Untuk dapat
merealisasikan diabaikan dalam pengaturan klinis itu.
Kotak 1.1 Dominasi hemisfer kanan
Kelalaian dapat disebabkan oleh kerusakan kortikal fokal (misalnya, sering pada lobulus
parietal inferior, gyrus frontal inferior atau gyrus temporal superior) atau kerusakan pada traktus
materi putih, yang mengakibatkan terputusnya area yang saling berhubungan (Carter et al., 2017;
Lunven & Bartolomeo, 2017). Fungsi visuospatial tidak terdistribusi secara simetris antara belahan
kiri dan kanan. Jaringan frontoparietal yang dihubungkan oleh fasciculus longitudinal superior di
belahan kanan, tampaknya sangat penting untuk fungsi atensi spasial. Lateralisasi ini dapat
diilustrasikan oleh model Heilman dan Mesulam, di mana dinyatakan bahwa belahan otak kiri
memproses informasi yang ada di bidang visual kanan, sedangkan belahan kanan memproses
informasi dari bidang visual kiri dan kanan (Gambar 1.4A; Mesulam, 1999). Dalam kasus lesi di
belahan kanan (Gambar 1.4B), pemrosesan informasi secara sadar di sisi kiri terganggu, yang
mengakibatkan pengabaian pada sisi kiri. Dalam kasus lesi di hemisfer kiri (Gambar 1.4C)
(beberapa) input di sisi kanan masih diproses secara sadar. Kelalaian akan, oleh karena itu, menjadi
kurang sering atau kurang parah setelah lesi di belahan otak kiri dibandingkan dengan lesi di belahan
kanan.
Gambar 1.4 Model perhatian (Mesulam, 1999). Pada orang sehat (A) belahan kiri mengarahkan
perhatian ke bidang visual kanan, sedangkan belahan kanan mengarahkan perhatian ke bidang visual kiri dan
kanan. Dalam kasus lesi di belahan kanan (B), perhatian tidak diarahkan ke kiri. Dalam kasus lesi di
hemisfer kiri (C), hemisfer kanan mengarahkan (sebagian) perhatian ke arah kanan.
Pengobatan
Pada abad yang lalu, beberapa perawatan untuk pengabaian telah dikembangkan. Saat ini, sebagian
besar pedoman untuk perawatan kelalaian merekomendasikan pelatihan kompensasi intensif (mis., Pelatihan
pemindaian visual) dan meningkatkan wawasan, misalnya dengan pendidikan psiko-pendidikan (misalnya,
lihat pedoman Belanda untuk rehabilitasi pengabaian: Ten Brink, van Kessel, & Nijboer , 2017). Pelatihan
pemindaian visual, bagaimanapun, sangat memakan waktu. Ada kesenjangan antara dosis pemindaian visual
yang diusulkan dalam protokol, dan protokol aktual yang digunakan dalam lingkungan rehabilitasi rawat
inap. Selain itu, strategi sadar top-down yang ditekankan selama pelatihan pemindaian visual mungkin tidak
efektif untuk semua pasien dengan pengabaian, karena beberapa pasien mengalami kesulitan mengarahkan
kepala dan mata menuju lokasi yang diinstruksikan (Barrett, Goedert, & Basso, 2012) . Bahkan
dihipotesiskan bahwa, pada beberapa pasien, perhatian tidak selalu menyertai gerakan mata, dengan
demikian, target yang terpaku mungkin tidak mencapai kesadaran (Khan et al., 2009). Pasien-pasien ini
mungkin mempertahankan defisit atensi bahkan ketika mereka belajar untuk membuat gerakan mata ke arah
sisi yang diabaikan, karena informasi tidak secara otomatis diperhatikan. Salah satu perawatan alternatif
yang paling banyak dipelajari adalah adaptasi prisma, pertama kali dijelaskan oleh Rossetti dan rekan
(1998). Adaptasi prisma mungkin jauh lebih sederhana dibandingkan dengan pelatihan pemindaian visual,
karena mudah untuk mengelola dan belajar secara sadar tidak diperlukan, karena perubahan bottom-up yang
lebih implisit (seperti kalibrasi ulang otomatis perhatian) diperkirakan terjadi (Saevarsson, Halsband, &
Kristjansson, 2011). Selama fase adaptasi, pasien memakai kacamata yang menghasilkan pergeseran lateral
bidang visual, sehingga target tampak tergeser (Gambar 1.6A). Pasien dapat disesuaikan dengan perubahan
ini dengan serangkaian gerakan pengarahan motor pengarah yang diarahkan pada tujuan (Gambar 1.6B).
Ketika prisma dilepas, perhatian secara otomatis dikalibrasi ulang dengan fokus lebih ke sisi contralesional
(Gambar 1.6C).
Gambar 1.6 Sesi adaptasi Prisma. Pasien adalah kacamata yang menghasilkan pergeseran lateral
bidang visual sehingga target tampak tergeser (A). Pasien dapat diadaptasikan pada perubahan ini dengan
serangkaian gerakan penunjuk visuo-motor (B). Ketika prisma dilepas, perhatian secara otomatis dialihkan
ke sisi contralesional (C). Gambar diambil dari Ten Brink, Visser-Meily, dan Nijboer (2014).
Rossetti dan rekan (1998) menunjukkan pengurangan signifikan dari pengabaian pada sisi kiri
setelah periode adaptasi prisma singkat dengan prisma kanan. Studi selanjutnya menunjukkan bahwa lebih
banyak sesi adaptasi prisma (misalnya, 10-20 sesi dalam 2-4 minggu) menyebabkan efek positif yang lebih
lama pada pengabaian (Barrett et al., 2012; Champod, Frank, Taylor, & Eskes, 2016; Nijboer, Nys, van der
Smagt, van der Stigchel, & Dijkerman, 2011; Yang, Zhou, Chung, Li-Tsang, & Fong, 2013). Meskipun
pengurangan kelalaian telah dilaporkan di berbagai domain, tidak semua pasien mendapat manfaat dan tidak
semua pasien membaik pada semua tindakan pengabaian. Tidak diketahui komponen atau sub proses
pengabaian tertentu mana yang dipengaruhi oleh adaptasi prisma. Dalam ulasan sistematis pada Bab 8, kami
mengevaluasi secara spesifik apakah adaptasi prisma memengaruhi pencarian visual pada pasien dengan
pengabaian, dan ukuran hasil pencarian visual mana yang paling sensitif untuk efek menguntungkan adaptasi
prisma.
Dalam beberapa uji acak terkontrol (RCT), pasien yang menerima adaptasi prisma berkinerja lebih
baik pada tugas pengabaian neuropsikologis (Yang et al., 2013) dan menunjukkan perilaku pengabaian yang
kurang di ADL (Champod et al., 2016) dibandingkan dengan pasien dalam kelompok kontrol (Ten Brink,
Visser-Meily, & Nijboer, 2014). Namun, hasil netral juga telah dilaporkan (Mancuso et al., 2012; Mizuno et
al., 2011; Priftis, Passarini, Pilosio, Meneghello, & Pitteri, 2013; Rode et al., 2015; Spaccavento, Cellamare,
Cafforio, Loverre , & Craca, 2016; Turton, O'Leary, Gabb, Woodward, & Gilchrist, 2010). Dengan
demikian, hasil bervariasi di antara studi, dan meskipun hasil positif, baik kelompok kecil pasien
dimasukkan, pengukuran pada tingkat ADL tidak selalu digunakan, atau pengukuran tindak lanjut tidak
dimasukkan. Selain itu, tidak ada penelitian yang melibatkan pasien dengan pengabaian pada sisi kanan.
Secara keseluruhan, tidak pasti apakah adaptasi prisma harus dilaksanakan sebagai perawatan rehabilitasi,
dan lebih banyak bukti diperlukan untuk mendukung keputusan ini. Dalam Bab 9 kami menggambarkan
protokol untuk studi "Adaptasi Prisma dalam Rehabilitasi" (PAiR), sebuah RCT di mana pengobatan dini
dengan adaptasi prisma dibandingkan dengan adaptasi palsu. Dalam bab ini, kriteria inklusi dan eksklusi
disebutkan, serta langkah-langkah yang digunakan dan waktu administrasi selama penelitian. Dalam Bab 10,
hasil longitudinal dari RCT PAiR dijelaskan.
BAB IV
PEMBAHASA
N
Pada laporan kasus ini, pasien yang bernama Nn. M dengan keluhansulit diajak
berkomunikasi sejak ±4 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan didahului dengan
nyeri kepala, demam dan sulit menelan. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien juga
mengalami kejang saat dirawat di RS. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis meningoensefalitis TB dan symptomatic
seizure. Pasien diberikan terapi medikamentosa dan non medikamentosa.
Meningoensefalitis merupakan infeksi pada hemisfer cerebri dan meningen
sehingga terjadi gangguan fungsi neurologis. Pada laporan kasus ini pasien dengan
meningoensefalitis mengalami gangguan kesadaran dan tanda rangsang meningeal
positif.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499997/
ten Brink AF. Visuospatial neglect after stroke: Heterogeneity, diagnosis and treatment (Doctoral
dissertation, Utrecht University).
DAFTAR PUSTAKA