Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

Hemiparese Sinatra e.c CVD SI


Hemineglected

Oleh :
Agitya Goesvie Ajie, S.Ked
I4061172055

Pembimbing :
dr. Hanartoadjie , Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR. ABDUL AZIZ
SINGKAWANG
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus dengan Judul:

Hemiparese Sinatra e.c CVD SI


Hemineglected

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Neurologi

Singkawang, Februari 2019,


Pembimbing,

dr. Hanartoadjie , Sp.S


BAB I
PENDAHULUA
N

A. Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit atau gangguan fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (deficit
neurologic) akibat terhambatnya aliran darah ke otak. Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda
dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat
(dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan
kematian, selain menyebabkan kematian stroke juga akan mengakibatkan dampak untuk kehidupan.
Dampak stroke diantaranya, ingatan jadi terganggu dan terjadi penurunan daya ingat, menurunkan
kualitas hidup penderita juga kehidupan keluarga dan orang-orang di sekelilingnya, mengalami
penurunan kualitas hidup yang lebih drastis, kecacatan fisik maupun mental pada usia produktif dan
usia lanjut dan kematian dalam waktu singkat (Junaidi, 2011).
Stroke masih menjadi masalah kesehatan yang utama karena merupakan penyebab kematian
kedua di dunia. Sementara itu, di Amerika Serikat stroke sebagai penyebab kematian ketiga
terbanyak setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Sekitar 795.000 orang di Amerika Serikat
mengalami stroke setiap tahunnya, sekitar 610.000 mengalami serangan stroke yang pertama.
Stroke juga merupakan penyebab 134.000 kematian pertahun (Goldstein dkk., 2011). Dalam
terbitan Journal of the American Heart (JAHA) 2016 menyatakan terjadi
peningkatan pada individu yang berusia 25 sampai 44 tahun menjadi (43,8%) (JAHA, 2016).
Meningkatnya jumlah penderita stroke diseluruh dunia dan juga meningkatkan penderita stroke
yang berusia dibawah 45 tahun. Pada konferensi ahli saraf international di Inggris dilaporkan bahwa
terdapat lebih dari 1000 penderita stroke yang berusia kurang dari 30 tahun (American Heart
Association, 2010).
Penyakit stroke juga menjadi penyebab kematian utama hampir seluruh Rumah Sakit di
Indonesia dengan angka kematian sekitar 15,4%. Tahun 2007 prevalensinya berkisar pada angka
8,3% sementara pada tahun 2013 meningkat menjadi 12,1%. Jadi, sebanyak 57,9% penyakit stroke
telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan (nakes). Prevalensi penyakit stroke meningkat seiring
bertambahnya umur, terlihat dari kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis tenaga kesehatan adalah
usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sebesar 0,2%
(Riskesdas, 2013). Menurut penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, prevalensi
penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis oleh nakes meningkat seiring dengan
bertambahnya umur. Prevalensi penyakit stroke pada umur ≥15 tahun 2013 di Sumatera Barat naik
dari 7,4% menjadi 12,2% diamana juga terjadi peningkatan pada usia 15-24 tahun (0,2 % menjadi
2,6%) usia 25-34 tahun (0,6% menjadi 3,9%) usia tahu 35-44 tahun (2,5% menjadi 6,4%) (Hasil
Riskesdas, 2013).
BAB II
PENYAJIAN KASUS

A. Anamnesa
1. Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 53 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik
Status Pernikahan : menikah
Tanggal Masuk : 12 APRIL 2019
Tanggal Keluar : 26 APRIL 2019
2. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kiri
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki, 56 tahun rujukan dari Puskesmas karangan dengan
keluhan kelemahan pada tangan dan kaki kiri sejak 5 hari smrs disertai bicara
pelo.
Kronologis:
Tahun 2016: pada tahun 2016 pasien pernah mengalami keluhan
kelemahan pada tangan dan kaki kiri secara tiba-tiba dan pasien tidak
sadarkan diri. Lalu pasien dibawa ke puskesmas, saat pasien sudah sadar
pasien mengeluh lemah pada tangan dan kaki kiri, mulut mencong ke kanan.
Pasien 2 hari dirawat di puskesmas dan di rujuk ke RS Abdul Aziz
Singkawang. Pasien di rawat di RS Abdul Aziz selama -/+ 3 minggu.
Keadaan pasien saat pulang pasien dapat berjalan walaupun Pelan, bisa
makan, bisa bicara tapi kurang jelas dan paham apa yang di bicarakan.
Selama pasien pulang hingga serangan stroke ke 2 pasien tidak pernah kontrol
ke poli maupun ke puskesmas. Pasien sering mengeluh sakit kepala dan hanya
berobat ke puskesmas.
7 hari SMRS: Pasien mengalami kelemahan pada tubuh sebelah kiri
secara tiba-tiba, pasien hanya bisa berbaring, dan tidak dapat duduk dan
mulut pasien mencong ke kanan bicara pelo, pasien tidak langsung dibawa ke
Rumah Sakit, hanya dirawat di rumah
2 hari SMRS:pasien tersedak saat minum dan badan semakin lemah.
1 hari SMRS : keluarga membawa pasien ke Puskesmas dan dari
puskemas langsung meujuk ke RS Abdul Aziz.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
stroke (-) trauma (-), hipertensi (+),tidak terkontrol DM (-), batuk lama (-).

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa. Riwayat
hipertensi (-), DM (-), asma (-).

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : Compos Mentis
Status gizi : Kesan gizi baik
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Frekuensi nadi : 88 x/menit
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu : 37,0˚C
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
isokor, diameter 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+)
Mulut : Mukosa bibir kering (-), lidah kotor (-)
THT : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), JVP 5+2
cmH2O, sekret (-)
Jantung : Bunyi jantung SI/SII reguler, murmur (-), gallop
(-) Paru : Sonor, suara napas vesikuler (+/+), rh (-/-), wh(-/-)
Abdomen : Bising usus normal, timpani, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CTR < 2 detik, edema (-)

2. Status Neurologis
 GCS E4VxM5
 Sikap tubuh : Dalam batas normal
 Gerakan abnormal : Tidak ada
 Kepala : Mesocephal, simetris, tidak ditemukan kelainan
 Pupil : Berbentuk bulat, isokor, 3mm/3mm, RCL
+/+, RCTL +/+
 Nervus kranialis : parese N VII
 Leher : Kaku Kuduk (-), Kernig’s sign (-/-), Lasegue
sign (-/-), Brudzunski I,II (-)

 Ekstremitas : Kekuatan 5555 1111 lema


Gerakanbebas
5555 2222 h
bebas
lema
Nlemah h
Tonus :
Nlemah

o Sensibilitas : (protopatik, proprioseptif) ++


++

o Refleks fisiologis : Bisep : +2/+2


Trisep : +2/+2
Patella : +2/+2
Achilles: +2/+2
o Refleks patologis : Babinsky ( -/-)
Hoffman-Tromner (-/-)

 Vegetatif : Inkontinensia alvi (-), Inkontinensia urin (-)


C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan 12/04/2019
Hemoglobin 14,0 g/dl
Leukosit 9.420 /uL
Trombosit 273.000/uL
Hematokrit 41,4,8%
Eritrosit 4,64 x 106/uL
Kolesterol total 192
SGOT 43 U/L
SGPT 47 U/L
Ureum 46 mg/dl
Kreatinin 0,89 mg/dl
HBsAg Nonreaktif
Anti HIV Nonreaktif
Natrium 136,46 mmol/L
Kalium 2,90 mmol/L
klorida 102,73 mmol/L
2. Radiologi
CT-scan kepala dengan kontras (12 April 2019)
Hasil expertise CT-scan kepala irisan axial dengan kontras:
 Tampak lesi hipodens batas tak tegas di kapsula eksterna kanan
dan korona radiata kanan.
 Tampak lesi hipodens batas tegas di kapsul intern kiri dan lobus
temporoparietal kiri
 Sulkus kortikalis dan gyrus tampak normal
 Ventrikel lateral, 3 dan 4 tidak tampak melebar
 Pons dan cerebellum baik
 Tidak tampak midline shifting
Kesan:
- Iskemik di kapsula eksterna kanan dan korana radiata kanan
- Infark di kapsula interna kiri dan lobus temporoparietal kiri.
Rontgen thorax AP (29 Januari 2019)
Hasil expertise:
 Trakea di sentral
 Cor: bentuk dan letak normal
 Pulmo: corakan vaskular kasar, tampak infiltrat di parakardial
kanan
 Diafragma kanan setnggi kosta 10 posterior
 Sinus kostofrenikus kanan kiri baik
Kesan:
Cor: bentuk dan letak normal
Pulmo: bronkopneumonia.
Rontgen Thorax AP

Brain CT-Scan (a) Sebelum Kontras, (b) Setelah Kontras


D. Diagnosis
1. Diagnonis klinis: hemiparese Sinistra et causa CVD SI
2. Diagnosis topis: Cerebrum
3. Diagnosis etiologi: Infark dan iskemik pada cerebrum

E. Tatalaksana
1. Non medikamentosa:
a. Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi, tata laksana, dan
prognosis penyakit yang sedang dialami pasien
b. Memberikan dukungan dan edukasi pasien

2. Medikamentosa (IGD):
a. Elevasi kepala 30o
b. Bed rest
c. IVFD NaCl 0,9% 15 tpm
d. Inj. Ranitidine 2 x 50 mg IV
e. Inj. Citicolin 2x1000 mg IV
f. Drip sohobion 1 amp /24 jam IV
g. Simvastatin 1x 20 mg (PO)
h. Asam folat 2x1 tab PO

F. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam
G. Follow Up

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


13/4/2019 Lemah KU: TSB HEMIPARESE - Elevasi kepala 300
(HP1) pada tangan HR: 84 x/menit (S) es CVD SI - IVFD NaCl 0,9 %
dan kaki RR: 20 x/menit (OH 7) 15 tpm
kiri, bicara T: 370 C - Inj Ranitidin 50 mg /
pelo TD: 150/100 12 jam
mmHg Mata: CA - Inj Citicolin 2x
(-/-) 1000mg
SI (-/-) - Dril sohobion
C/P: 1amp/24 jam
S1S2 reg, g(-) m(-)
Ves (+/+) sama, Wh (-/- - Simvastatin 1x20mg
). Rh (-/-) - Asam folat 2x1 tab
Abdomen: - + aspilet 1x 80 mg
- + amlodipin 1x5mg
datar, soepel,timpani,
BU (+),
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
GCS: E4M6Vx
Tanda Rangsang
Meningeal:
Kaku kuduk (-)
Laseq (-/-)
Kerniq (-/-)
Motorik:
Kesan hemiparesis (S)
15/4/2019 Lemah KU: TSS HEMIPARES - Elevasi kepala 300
(HP 3) pada tangan N : 87 x/menit E (S) es CVD - IVFD NaCl 0,9 %
dan kaki RR : 20 x/menit SI (OH 9) 15 tpm
kiri, bicara T : 370 C - Inj Ranitidin 50 mg /
pelo SPO2 : 97% 12 jam
TD:150/100 - Inj Citicolin 2x
mmHg Mata: CA 1000mg
(-/-) - Dril sohobion
SI (-/-) 1amp/24 jam
C/P: - Simvastatin 1x20mg
S1S2 reg, g(-) m(-) - Asam folat 2x1 tab
Ves (+/+) sama, Wh (-/- - aspilet 1x 80 mg
- amlodipin 1x5mg
). Rh (-/-)
Abdomen:
datar, soepel,timpani,
BU (+),
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
16/4/2019 Lemah pada KU: TSS HEMIPARES - Elevasi kepala 300
(HP 4) tangan dan N: 72 x/menit E (S) es CVD - IVFD NaCl 0,9 %
kaki kiri, RR: 20 x/menit SI (OH 10) 15 tpm
Batuk
T: 370 C - Inj Ranitidin 50 mg /
TD: 150/110 12 jam
mmHg Mata: CA - Inj Citicolin 2x
(-/-) 500mg
SI (-/-) - Dril sohobion
C/P: 1amp/24 jam
S1S2 reg, g(-) m(-) - Simvastatin 1x20mg
Ves (+/+) sama, Wh (-/- - Asam folat 2x1 tab
). Rh (-/-) - aspilet 1x 80 mg
- amlodipin 1x5mg
Abdomen: Fisioterapi di bangsal
datar, soepel,timpani,
BU (+),
18/4/2019 Lemah KU: TSS HEMIPARES - Elevasi kepala 300
(HP 6) pada tangan N: 88 x/menit E (S) es CVD - IVFD NaCl 0,9 %
dan kaki RR: 20 x/menit SI (OH 12) 15 tpm
kiri, Batuk, T: 370 C hemineglected - Inj Ranitidin 50 mg /
pasien tidak TD:150/100 12 jam
respons mmHg Mata: CA - Inj Citicolin 2x
saat di (-/-) 500mg
rangsang SI (-/-) - Dril sohobion
dari sebelah C/P: 1amp/24 jam
kiri S1S2 reg, g(-) m(-) - Simvastatin 1x20mg
Ves (+/+) sama, Wh (-/- - Asam folat 2x1 tab
). Rh (+/+) - aspilet 1x 80 mg
- amlodipin 1x10mg
Abdomen:
- Fisioterapi di bangsal
datar, soepel,timpani,
- Konsul ke Sp.Paru
BU (+)
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
20/4/2019 Lemah pada KU: TSS HEMIPARES - Elevasi kepala 300
(HP8) tangan dan N: 86 x/menit E (S) es CVD - IVFD NaCl 0,9 %
kaki kiri, RR: 20 x/menit SI (OH 13) 15 tpm
Batuk, pasien - Inj Ranitidin 50 mg /
T: 36,60 C hemineglected
tidak respons
TD:140/80 mmHg 12 jam
saat di
rangsang dari Mata: CA (-/-) - Inj Citicolin 2x
sebelah kiri, SI (-/-) 500mg
gelisah C/P: - Dril sohobion
S1S2 reg, g(-) m(-) 1amp/24 jam
Ves (+/+) sama, Wh (-/- - Simvastatin 1x20mg
). Rh (-/-) - Asam folat 2x1 tab
Abdomen: - aspilet 1x 80 mg
- amlodipin 1x10mg
datar, soepel,timpani,
- Fisioterapi di
BU (+),
bangsal
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)

22/4/2019 Lemah pada KU: TSS HEMIPARES - Elevasi kepala 300


(HP 10) tangan dan N: 64 x/menit E (S) es CVD - IVFD NaCl 0,9 %
kaki kiri, RR: 18 x/menit SI (OH 15) 15 tpm
Batuk, pasien - Inj Ranitidin 50 mg /
T: 36,60 C hemineglected
tidak respons
TD: 160/100 mmHg 12 jam
saat di
rangsang dari - Citicolin 2x 500mg
sebelah kiri, PO
tangan kanan - Dril sohobion
bergerak- 1amp/24 jam
gerak - Simvastatin 1x20mg
(involuntary ) - Asam folat 2x1 tab
- aspilet 1x 80 mg
- amlodipin 1x10mg
- + Candesartan1x8mg
- Fisioterapi di bangsal
Mata: CA (-/-)
SI (-/-)
C/P:
S1S2 reg, g(-) m(-)
Ves (+/+) sama, Wh (-/-
). Rh (-/-)
Abdomen:
datar, soepel,timpani,
BU (+), NTE (+)
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
23/4/2019 Lemah KU: TSS - - Elevasi kepala 300
(HP 11) pada tangan N: 94 x/menit HEMIPARES - IVFD NaCl 0,9 %
dan kaki RR : 18 x/menit E (S) es CVD 15 tpm
kiri, Batuk, T : 36,7 C
0
SI (OH 16) - Inj Ranitidin 50 mg /
pasien tidak TD: 140/90 mmHg hemineglect 12 jam
respons Mata: CA (-/-) - Citicolin 2x 500mg
saat di SI (-/-) PO
rangsang C/P: - Dril sohobion
dari sebelah S1S2 reg, g(-) m(-) 1amp/24 jam
kiri, tangan Ves (+/+) sama, Wh (-/- - Simvastatin 1x20mg
kanan ). Rh (-/-) - Asam folat 2x1 tab
Abdomen: - aspilet 1x 80 mg
bergerak-
- amlodipin 1x10mg
gerak datar, soepel,timpani,
- Candesartan 1x8mg
BU (+)
Fisioterapi di bangsal
Ekstremitas:
Belajar duduk
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
24/4/2019 Lemah pada KU: TSS HEMIPARES - Elevasi kepala 300
(HP 12) tangan dan N: 96 x/menit E (S) es CVD - IVFD NaCl 0,9 %
kaki kiri, RR: 20 x/menit SI (OH 17) 15 tpm
Batuk, T : 36,60 C hemineglect - Inj Ranitidin 50 mg /
pasien tidak TD: 150/100 mmHg 12 jam
respons saat
Mata: CA (-/-) - Citicolin 2x 500mg
di rangsang
dari sebelah SI (-/-) PO
kiri, tangan C/P: - Dril sohobion
kanan S1S2 reg, g(-) m(-) 1amp/24 jam
bergerak- Ves (+/+) sama, Wh (-/- - Simvastatin 1x20mg
gerak ). Rh (-/-) - Asam folat 2x1 tab
Abdomen: - aspilet 1x 80 mg
- amlodipin 1x10mg
datar, soepel,timpani,
- Candesartan 1x8mg
BU (+) - Haloperidol 3x0,5mg
Fisioterapi di bangsal
25/4/2019 Lemah pada KU: TSS HEMIPARES - Elevasi kepala 300
(HP 13) tangan dan N: 68 x/menit E (S) es CVD - IVFD NaCl 0,9 %
kaki kiri, RR: 18 x/menit SI (OH 18) 15 tpm
Batuk, T: 36,50 C hemineglect - Inj Ranitidin 50 mg /
pasien tidak TD: 120/70 mmHg 12 jam
respons saat
Mata: CA (-/-) - Citicolin 2x 500mg
di rangsang
dari sebelah SI (-/-) PO
kiri, tangan C/P: - Dril sohobion
kanan S1S2 reg, g(-) m(-) 1amp/24 jam
bergerak- Ves (+/+) sama, Wh (-/- - Simvastatin 1x20mg
gerak ). Rh (-/-) - Asam folat 2x1 tab
Abdomen: - aspilet 1x 80 mg
- amlodipin 1x10mg
datar, soepel,timpani, - Candesartan 1x8mg
BU (+) - Haloperidol 3x0,5mg
Ekstremitas: Fisioterapi di bangsal
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
26/4/2019 Lemah pada KU: TSS HEMIPARES Blpl, obat pulang
(HP14) tangan dan N: 72 x/menit E (S) es CVD - Simvastatin 1x20mg
kaki kiri, RR: 20 x/menit SI (OH 19) - Asam folat 2x1 tab
Batuk, T: 36,60 C hemineglect - aspilet 1x 80 mg
pasien tidak TD: 120/80 - amlodipin 1x10mg
respons saat - Candesartan 1x8mg
di rangsang mmHg Mata: CA - Haloperidol 3x1mg
dari sebelah (-/-)
kiri, tangan SI (-/-)
kanan C/P:
bergerak- S1S2 reg, g(-) m(-)
gerak Ves (+/+) sama, Wh (-/-
). Rh (-/-)
Abdomen:
datar, soepel,timpani,
BU (+)
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT <2”,
edema (-)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI CEREBRUM DAN MENINGEN


a. Cerebrum
Gambar: Bongkah otak besar, Lobi cerebri; tampak atas4

Gambar: Bongkah otak besar, Lobi cerebri; tampak lateral4

Otak besar terbagi terdiri dari 2 hemispherium cerebri, yaitu kiri dan kanan.
Masing-masing Hemispherium cerebri terbagi menjadi 4 lobi:4
 Lobus frontalis
 Lobus parietalis
 Lobus temporalis
 Lobus occipitalis

Gambar: Bongkah otak besar, Lobi cerebri; tampak bawah4


Selain empat lobi cerebri yang telah dipaparkan diatas, dari inferior dapat
juga dilihat Lobus limbicus (terutama tersusun atas Gyrus cinguli dan Gyrus
parahipocampalis beserta Uncus) serta Lobus insularis (insula, tidak tampak,
karena tertutup oleh opercula Lobi frontalis, parietalis et temporalis).4

Gambar 4. Bongkah otak besar, Lobi cerebri; tampak medial4


b. Meningen
Meningen (selaput otak) merupakan selaput yang membungkus otak dan
sumsum tulang belakang, melindungi struktur saraf halus yang membawa
pembuluh darah dan cairan sekresei (serebro spinal), memperkecil terjadinya
benturan atau getaran yang terdiri dari 3 lapisan.5
1) Durameter (Lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang
mengalirkan darah vena ke otak yang dinamakan sinus longitudinal
superior, terletak diantara kedua hemisfer otak.5
2) Arachnoid (Lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dan piameter
membentuk sebuah kantong atau balon yang berisi cairan orak yang
meliputi seluruh susunan saraf pusat..5
3) Piameter (Lapisan sebelah dalam )
Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur – struktur
jaringan ikat yang disebut trabekel.5

Adapun fungsi meningeal sebagai berikut:5


1. Menyelubungi dan melindungi susunan saraf pusat.
2. Melindungi pembuluh darah dan menutupi sinus venus
3. Berisi cairan serebrospinal.
1. STROKE ISKEMIK
a. Definisi
Stroke menyebabkan hilangnya fungsi neurologis secara tiba-tiba dengan
mengganggu suplai darah ke otak. Ini adalah penyebab terbesar cacat fisik di negara-negara
maju, dan penyebab utama kematian. Hal serupa juga terjadi di banyak negara berkembang.
Sebagian besar pukulan datang tanpa peringatan. Ini berarti bahwa bagi kebanyakan pasien,
tujuan dari manajemen adalah untuk membatasi kerusakan pada otak, mengoptimalkan
pemulihan dan mencegah kekambuhan. Strategi untuk mencegah stroke jelas penting.
Mereka berkonsentrasi untuk mengobati faktor-faktor risiko vaskular yang menjadi
predisposisi stroke, seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dan merokok. Dua proses
patologis utama yang menyebabkan stroke adalah oklusi arteri, menyebabkan iskemia atau
infark serebral, dan pecahnya arteri, menyebabkan perdarahan intrakranial (Gambar 2.1).
Perdarahan cenderung jauh lebih merusak dan berbahaya daripada stroke iskemik, dengan
tingkat kematian yang lebih tinggi dan insidensi kecacatan neurologis yang parah pada
orang yang selamat. Stroke iskemik jauh lebih umum, dan memiliki hasil yang jauh lebih
luas.

(a) CT scan menunjukkan oklusi arteri serebri kanan tengah sebagai irisan besar
dengan kepadatan rendah; arteri yang tersumbat itu sendiri cerah. (B) CT scan
menunjukkan perdarahan kapsul internal kiri besar.
b. Epidemiologi
Stroke adalah penyebab kematian kelima jika dipertimbangkan secara terpisah dari
penyakit kardiovaskular lainnya. Di Amerika Serikat, diperkirakan 795.000 stroke terjadi
setiap tahun, dan prevalensi stroke meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko seumur
hidup dari semua stroke lebih tinggi pada wanita; Namun, ini dikaitkan dengan harapan
hidup yang lebih lama.
Menurut Framingham Heart Study, kejadian stroke menurun dari waktu ke waktu.
Namun, kohort didominasi oleh populasi kulit putih.
Penyakit stroke juga menjadi penyebab kematian utama hampir seluruh Rumah Sakit
di Indonesia dengan angka kematian sekitar 15,4%. Tahun 2007 prevalensinya berkisar pada
angka 8,3% sementara pada tahun 2013 meningkat menjadi 12,1%. Jadi, sebanyak 57,9%
penyakit stroke telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan (nakes). Prevalensi penyakit stroke
meningkat seiring bertambahnya umur, terlihat dari kasus stroke tertinggi yang terdiagnosis
tenaga kesehatan adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan terendah pada kelompok usia 15-
24 tahun yaitu sebesar 0,2% (Riskesdas, 2013). Menurut penelitian Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2013, prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis oleh
nakes meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Prevalensi penyakit stroke pada umur
≥15 tahun 2013 di Sumatera Barat naik dari 7,4% menjadi 12,2% diamana juga terjadi
peningkatan pada usia 15-24 tahun (0,2 % menjadi 2,6%) usia 25-34 tahun (0,6% menjadi
3,9%) usia tahu 35-44 tahun (2,5% menjadi 6,4%) (Hasil Riskesdas, 2013).

c. Patofisiologi stroke iskemik


Penurunan aliran darah ke bagian otak mana pun pertama-tama menyebabkan
iskemia, hilangnya fungsi yang dapat dibalik, dan kemudian, jika reduksinya parah atau
berkepanjangan, infark dengan kematian sel yang tidak dapat diubah. Pasokan darah ke
bagian anterior otak (dan ke mata) berasal dari dua arteri karotis, yang bercabang di leher
untuk menimbulkan arteri karotis internal; cabang ini lagi di kepala untuk menimbulkan
arteri serebri anterior dan tengah. Bagian posterior otak dipasok oleh dua arteri vertebral,
yang bergabung di dalam kepala untuk membentuk arteri basilar, yang pada gilirannya
menimbulkan arteri serebri posterior (Gambar 2.2 dan 2.3). Arteri karotis dan basilar interna
terhubung di dasar otak melalui lingkaran Willis. Anastomosis ini memungkinkan beberapa
aliran silang jika salah satu dari arteri suplai tersumbat, tetapi luasnya ini sangat bervariasi
dari pasien ke pasien. Di luar lingkaran Willis, arteri serebral paling baik dianggap sebagai
arteri akhir. Pemulihan perfusi normal pada jaringan yang dibuat iskemik dengan menutup
salah satu dari arteri-akhir ini tidak dapat bergantung pada darah yang mencapai daerah
iskemik melalui saluran anastomosis. Pemulihan fungsi dalam jaringan iskemik lebih
tergantung pada lisis atau fragmentasi bahan trombo-emboli yang tersumbat.

Penyebab oklusi salah satu arteri serebral yang biasa adalah pembentukan trombus
akut di lokasi plak ateromatosa. Trombus dapat menyumbat pembuluh darah lokal atau
membuang emboli yang menyumbat pembuluh nadi yang lebih jauh. Proses ini sangat
umum pada asal arteri karotis interna, tetapi dapat terjadi di mana saja dari aorta ke arteri
serebral itu sendiri. Penyebab umum oklusi adalah emboli dari hati. Pada pasien yang lebih
muda, diseksi arteri karotis atau vertebralis (di mana bentuk split antara lapisan dinding
arteri, sering setelah trauma leher minor) dapat menyumbat pembuluh atau memungkinkan
trombus untuk membentuk dan embolisasi secara distal (Gbr. 2.3) . Pasien dengan hipertensi
atau diabetes dapat menyumbat arteri yang lebih kecil di dalam otak melalui proses
patologis yang mungkin lebih berkaitan dengan degenerasi di dinding arteri daripada
atheroma dan trombosis. Penyakit pembuluh darah kecil ini dapat menyebabkan infark
berdiameter beberapa milimeter, disebut stroke lacunar, atau penyakit yang lebih berbahaya
dengan demensia dan gangguan gaya berjalan. Jika pemulihan total dari peristiwa iskemik
terjadi dalam beberapa menit atau jam, itu disebut transient ischemic attack (TIA). Dimana
pemulihan memakan waktu lebih lama dari 24 jam diagnosis adalah stroke. Patofisiologi
kedua kondisi tersebut, dan implikasi untuk penyelidikan dan perawatan, adalah sama.
Dalam kedua situasi tersebut, riwayat dan pemeriksaan membantu menentukan
penyebabnya (dengan tujuan pencegahan sekunder) dan menilai tingkat kerusakannya
(untuk merencanakan rehabilitasi).

d. Sindrom Stroke Iskemik


Stroke iskemik dapat terjadi pada sindrom yang ditentukan sebelumnya karena efek
penurunan aliran darah ke area otak tertentu yang berkorelasi dengan temuan pemeriksaan.
Hal ini memungkinkan dokter untuk dapat memprediksi area pembuluh darah otak yang dapat
terpengaruh.
I. Infark Arteri Serebri Menengah (MCA)
Arteri serebral tengah (MCA) adalah arteri yang paling umum terlibat dalam stroke.
Ini memasok area besar permukaan lateral otak dan bagian dari ganglia basal dan kapsul
internal melalui empat segmen (M1, M2, M3, dan M4). Segmen M1 (horizontal)
memasok ganglia basal, yang terlibat dalam kontrol motorik, pembelajaran motorik,
fungsi eksekutif, dan emosi. Segmen M2 (Sylvian) memasok insula, lobus temporal
superior, lobus parietal, dan lobus frontal inferolateral.
Distribusi MCA melibatkan korteks serebral lateral. Sindrom MCA paling baik
dijelaskan dengan memahami korteks somatosensori, di mana bagian lateral
mengandung fungsi motorik dan sensorik yang melibatkan wajah dan ekstremitas atas.
Ini berkorelasi dengan presentasi klasik hemiparesis kontralateral, kelumpuhan wajah,
dan kehilangan sensorik pada wajah dan ekstremitas atas. Ekstremitas bawah mungkin
terlibat, tetapi gejala ekstremitas atas biasanya mendominasi. Preferensi tatapan terhadap
lesi yang terkena mungkin terlihat. Gejala tambahan termasuk:
o Disartria ditandai oleh kesulitan mengucapkan kata-kata karena kelemahan fisik
otot-otot wajah yang digunakan untuk fonasi.
o Kelalaian di mana pasien tampaknya "mengabaikan" belahan dunia mereka karena
ketidakmampuan untuk melihat area itu.
o Afasia atau ketidakmampuan untuk menghasilkan atau mengingat kata-kata karena
cedera pada pusat verbal otak

II. Anterior Cerebral Artery (ACA) Infarction


Arteri serebral anterior (ACA) menyediakan suplai darah ke frontal, pre-
frontal, motor primer, sensorik primer, dan korteks motorik tambahan. Infark ACA
murni jarang terjadi karena pasokan darah kolateral yang signifikan yang diberikan
oleh arteri sirkulasi anterior. Korteks sensorik dan motorik menerima informasi
sensorik dan mengontrol gerakan ekstremitas bawah kontralateral. Area motor
tambahan berisi area Broca, yang terlibat dalam inisiasi pembicaraan. Korteks pre-
frontal digunakan untuk mengatur dan merencanakan perilaku yang kompleks dan
dianggap mempengaruhi kepribadian.
Distribusi ACA melibatkan medial cerebral cortex. Korteks somatosensori di daerah
itu terdiri dari fungsi motorik dan sensorik tungkai dan kaki. Presentasi klinis dari
infark ACA termasuk sensorik kontralateral dan defisit motorik pada ekstremitas
bawah. Ekstremitas atas dan wajah terhindar. Kumral et al. memeriksa spektrum
klinis ACA dengan korelasi MRI / MRA dan menunjukkan lesi sisi kiri dengan
aphasia motor yang lebih transkortikal, di mana pasien mengalami kesulitan
merespons secara spontan dengan ucapan tetapi pengulangan tetap dipertahankan.
Lesi sisi kanan menunjukkan keadaan kebingungan yang lebih akut dan hemineglect
motorik (fungsi motorik unilateral hilang) [5]
III. Infark Serebral Arteri Posterior (PCA)
Arteri serebral posterior superfisialis (PCA) memasok lobus oksipital dan
bagian inferior lobus temporal, sedangkan PCA dalam memasok thalamus, dan
anggota posterior kapsul internal, serta struktur dalam otak lainnya. Lobus oksipital
adalah lokasi area visual primer dan sekunder, di mana input sensorik dari mata
ditafsirkan. Thalamus menyampaikan informasi antara neuron asendens dan
desendens, sedangkan kapsul internal berisi serabut desendens dari traktus
kortikospinalis lateral dan ventral.
Infark PCA dapat dibagi menjadi kategori yang dalam dan dangkal,
berdasarkan pada pasokan PCA. Jika segmen dalam PCA terlibat, gejalanya
mungkin termasuk hipersomnolensi, defisit kognitif, temuan okular, hipestesia, dan
ataksia. Temuan okuler mungkin termasuk hemianopsia homonim, di mana pasien
mengalami defisit bidang visual di setengah dari bidang visual mereka. Infark yang
lebih besar yang melibatkan struktur dalam dapat menyebabkan kehilangan
hemisensor dan hemiparesis karena keterlibatan talamus dan kapsul internal. Infark
superfisial disertai dengan defisit visual dan somatosensorik, yang dapat mencakup
stereognosis, sensasi sentuhan, dan propriosepsi. Jarang, infark PCA bilateral hadir
dengan amnesia dan kebutaan kortikal. Kebutaan kortikal disebabkan oleh lesi pada
radiasi optik yang menyebabkan kehilangan penglihatan. Sakit kepala unilateral
adalah temuan umum, yang dapat dikacaukan dengan migrain yang rumit [6] [7].
IV. Infark Vertebrobasilar
Wilayah vertebrobasilar otak disuplai oleh arteri vertebralis dan arteri basilar
yang berasal dari tulang belakang dan berakhir di Circle of Willis. Daerah-daerah ini
memasok otak kecil dan batang otak.
Presentasi klinis meliputi ataksia, vertigo, sakit kepala, muntah, disfungsi
orofaringeal, defisit bidang visual, dan temuan okulomotor yang abnormal. Pola
presentasi klinis bervariasi tergantung pada lokasi dan pola infark emboli atau
aterosklerosis [8] [9].
V. Infark serebelar
Pasien dapat mengalami gejala ataksia, mual, muntah, sakit kepala, disartria, dan
vertigo. Edema dan penurunan klinis yang cepat dapat mempersulit infark serebelar.
VI. Infark Lacunar
Infark lacunar terjadi akibat oklusi arteri kecil yang berlubang. Mekanisme yang
tepat sedang diperdebatkan, karena sifat infark dapat dihasilkan dari oklusi
pembuluh intrinsik atau emboli. Infark di wilayah ini dapat hadir dengan motorik
murni atau sensorik, sensorimotor, atau ataksia dengan hemiparesis [10] [11].
e. Gejala dan tanda
Gejala dan tanda-tanda penyebab iskemia dan infark serebral Kondisi umum yang
menimbulkan iskemia dan infark serebral tercantum di bawah ini.
1. Ateroma di arteri leher besar atau arteri serebral dekat dengan otak. Mungkin ada riwayat
penyakit atheromatous lainnya:
• angina pektoris atau serangan jantung sebelumnya;
• klaudikasio intermiten pada tungkai; • TIA sebelumnya atau stroke. Mungkin ada riwayat
faktor risiko vaskular:
• hipertensi;
• diabetes;
• hiperlipidemia;
• riwayat keluarga penyakit atheromatous;
• merokok.
Pemeriksaan dapat mengungkapkan bukti faktor-faktor risiko ini atau bukti atheroma,
dengan bruit di atas arteri karotis, subklavia atau femoralis, atau tidak ada denyut nadi kaki.
2. Penyakit jantung terkait dengan embolisasi:
• fibrilasi atrium; • mural trombus setelah infark miokard;
• penyakit katup aorta atau mitral;
• endokarditis bakteri.
f. Evaluasi
Protokol stroke terorganisir sangat dianjurkan untuk mempercepat evaluasi. Waktu
dari pintu ke jarum dalam 60 menit direkomendasikan untuk stroke iskemik akut untuk
pasien yang memenuhi syarat untuk trombolitik.
Evaluasi awal setiap pasien adalah jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan tanda-
tanda vital. Pasien dapat datang dengan kelainan pernapasan baik dari tekanan intrakranial
tinggi atau obstruksi fisik seperti muntah dan berisiko untuk aspirasi dan sesak napas.
Intubasi endotrakeal mungkin diperlukan untuk memastikan oksigenasi dan ventilasi yang
memadai.
Pemeriksaan glukosa stick jari harus dilakukan, karena ini merupakan cara mudah untuk
menyingkirkan hipoglikemia sebagai penyebab kelainan neurologis.
MRI kepala atau otak CT noncontrast direkomendasikan untuk pasien dalam waktu
20 menit setelah presentasi untuk menyingkirkan perdarahan. Di rumah sakit yang
merupakan pusat stroke atau mampu memberikan perawatan darurat, pencitraan vaskular
harus dipertimbangkan untuk kemungkinan intervensi endovaskular. Namun, ini tidak
boleh menunda pemberian trombolitik jika pencitraan vaskular tidak dilakukan.
Tes diagnostik lainnya termasuk elektrokardiogram (EKG), troponin, hitung darah
lengkap, elektrolit, nitrogen urea darah (BUN), kreatinin (Cr), dan faktor koagulasi. EKG
dan troponin disarankan karena stroke sering dikaitkan dengan penyakit arteri koroner.
Hitung darah lengkap dapat mencari anemia atau menyarankan infeksi. Kelainan elektrolit
harus diperbaiki. BUN dan Cr harus dipantau sebagai intervensi lebih lanjut dengan studi
kontras dapat memperburuk fungsi ginjal. Faktor koagulasi termasuk PTT, PT, dan INR.
Level yang tinggi dapat menyarankan penyebab stroke hemoragik. [14] [15].
g. Tata laksana
Penatalaksanaan iskemia dan infark serebral Ada tiga aspek penatalaksanaan, yang
dilakukan secara bersamaan.
Konfirmasi diagnosis ACT scan otak biasanya diperlukan untuk mengecualikan
dengan pasti diagnosis alternatif perdarahan intraserebral.
Optimalisasi pemulihan Terapi trombolitik, misalnya dengan aktivator plasminogen
jaringan, telah terbukti meningkatkan hasil jika diberikan dalam 3 jam setelah onset gejala.
Sebagian besar pasien datang ke rumah sakit lebih lambat dari ini, dan studi untuk
menentukan peran trombolisis dalam kelompok ini sedang berlangsung. Perawatan aspirin
akut adalah manfaat sederhana tetapi pasti, mungkin karena efeknya pada kekakuan
platelet.
Ada juga bukti yang baik bahwa hasil juga ditingkatkan oleh manajemen di unit
stroke khusus. Efek ini mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk:
• penjelasan yang cermat kepada pasien dan kerabatnya;
• penilaian sistematis menelan, untuk mencegah tersedak dan pneumonia aspirasi,
dengan pemberian gastrostomi perkutan jika perlu;
• mobilisasi dini untuk mencegah masalah sekunder pneumonia, trombosis vena
dalam, emboli paru, luka tekan, bahu beku dan kontraktur;
• sosialisasi awal untuk membantu mencegah depresi, dan membantu penerimaan
segala kecacatan; dan pengobatan depresi ketika ini terjadi;
• manajemen tekanan darah, menghindari pengobatan hipertensi yang terlalu
antusias dalam 2 minggu pertama atau lebih (ketika perfusi serebral dari area
iskemik tergantung pada tekanan darah karena gangguan autoregulasi), bergerak
menuju pengobatan aktif untuk mencapai tekanan darah normal setelahnya;
• Keterlibatan awal fisioterapis, terapis wicara dan terapis okupasi dengan
pendekatan tim multidisiplin;
• penghubung yang baik dengan layanan lokal untuk rehabilitasi berkelanjutan,
termasuk perhatian pada konsekuensi pekerjaan dan keuangan dari acara tersebut
dengan bantuan seorang pekerja sosial.

 Nutrisi
Pemberian enterik dini harus didorong. Untuk pasien dengan disfagia, gunakan
tabung nasogastrik untuk mempromosikan pemberian makanan enterik. Jika ada
kekhawatiran bahwa pasien mungkin mengalami kesulitan menelan untuk waktu
yang lama (lebih dari 2 hingga 3 minggu), disarankan untuk memasang tabung
gastrostomi perkutan. Pemberian makan dini telah terbukti memiliki pengurangan
absolut dalam risiko kematian [22]
 Evaluasi Jantung
 Pemantauan jantung untuk fibrilasi atrium atau aritmia lainnya direkomendasikan
dalam 24 jam pertama. Manfaat pemantauan lebih lanjut tidak jelas.
Troponin awal direkomendasikan karena ada hubungan antara stroke dan penyakit
arteri koroner.
 Perawatan Antiplatelet
Aspirin direkomendasikan dalam 24 hingga 48 jam setelah onset gejala.
Sebuah tinjauan Cochrane menyimpulkan bahwa aspirin yang diberikan dalam
waktu 48 jam setelah onset gejala untuk stroke iskemik mencegah terulangnya stroke
iskemik dan meningkatkan hasil jangka panjang seperti menjadi mandiri. Itu tidak
ada risiko utama perdarahan intrakranial dini dengan aspirin [26].
 Perawatan Antitrombotik
Penggunaan warfarin dalam pencegahan stroke sekunder tidak dianjurkan.
Pada pasien dengan atrial fibrilasi, pedoman menyatakan masuk akal untuk memulai
antikoagulasi oral dalam 4 sampai 14 hari setelah gejala neurologis timbul.
 Statin
Statin intensitas tinggi (atorvastatin 80 mg setiap hari atau rosuvastatin 20 mg
setiap hari) direkomendasikan untuk pasien berusia 75 tahun atau lebih muda yang
memiliki penyakit kardiovaskular aterosklerotik klinis. Selain itu, pasien dapat
diteruskan dengan statin jika mereka menggunakan statin sebelum stroke iskemik.
h. Pencegahan episode serupa selanjutnya
Ini berarti identifikasi dan perawatan faktor etiologi yang telah disebutkan. Risiko
stroke lebih lanjut secara signifikan berkurang oleh penurunan tekanan darah, dengan
diuretik thiazide dan penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACE), bahkan pada
pasien dengan tekanan darah normal, dan juga dengan terapi statin bahkan jika tingkat
kolesterol berada di dalam batas normal. jarak. Pemeriksaan penunjang harus mencakup
hitung darah lengkap, LED (jika dipertimbangkan pertimbangkan vaskulitis, endokarditis,
myxoma atrium atau infeksi sekunder), glukosa puasa dan lipid, dan pencarian sumber
emboli jantung. Ini dimulai dengan pemeriksaan jantung yang hati-hati, EKG dan rontgen
dada, dilengkapi dengan transthoracic atau transoesophageal echocardiography jika ada
kecurigaan sumber jantung. Jika stroke berada di wilayah karotis, dan terutama jika pasien
telah melakukan pemulihan yang wajar dan dinyatakan sehat, penyelidikan lebih lanjut
harus dilakukan untuk melihat apakah pasien dapat memperoleh manfaat dari
endarterektomi karotid. Pasien yang mendapat manfaat terbesar dari operasi tersebut adalah
mereka dengan ateroma terlokalisasi pada asal arteri karotis interna di leher, menghasilkan
stenosis lumen arteri yang signifikan (lebih dari 70%). Tingkat keparahan stenosis dapat
ditegakkan secara non-invasif dengan Doppler ultrasound atau MR angiografi, ditambah
jika perlu dengan kateter angiografi. Ada atau tidak adanya bruit karotis bukan panduan
yang dapat diandalkan untuk tingkat stenosis. Pasien yang dipilih dengan baik di tangan
bedah kelas pertama mencapai pengurangan yang pasti dalam kejadian stroke ipsilateral
berikutnya.
Obat antiplatelet (mis. Aspirin) mengurangi risiko stroke lebih lanjut (dan infark miokard).
Antikoagulasi dengan warfarin khususnya bermanfaat dalam fibrilasi atrium dan di mana sumber
embolisasi jantung telah ditemukan. Terlepas dari semua Pemulihan dari stroke

ini, beberapa pasien terus mengalami stroke dan mungkin


mengalami kecacatan yang kompleks. Pasien dengan •Trombolisis

penyakit pembuluh darah kecil biasanya mengalami • Aspirin

gangguan kognitif (disebut demensia multi-infark,) atau • Unit stroke

gangguan gaya berjalan dengan marche à petits pas • Perhatian untuk menelan

(berjalan dengan langkah-langkah shufling kecil, yang • Mobilisasi

mungkin keluar proporsi ke kelainan yang relatif kecil • Sosialisasi

dapat ditemukan di kaki pada pemeriksaan neurologis). • Perawatan BP yang cermat

Pasien dengan berbagai infark yang timbul dari pembuluh • Terapis paramedis

darah besar cenderung menumpuk defisit fisik yang • Rehabilitasi

memengaruhi penglihatan, bicara, gerakan anggota tubuh, dan keseimbangan. Beberapa derajat
pseudobulbar palsy (dengan bicara cadel, cepat dan emosional) adalah umum dalam kasus-kasus
seperti itu karena keterlibatan hemisfer serebri bilateral, yang mempengaruhi persarafan neuron
motorik atas nukleus saraf kranial bawah.
i. Prognosis
Prognosis untuk CVA sangat tergantung pada derajat, struktur yang terlibat, area yang terlibat,
waktu untuk identifikasi dan diagnosis, waktu untuk perawatan, lama dan intensitas terapi fisik dan
pekerjaan, dan fungsi awal sebelumnya, di antara kriteria [29] [30].
j. Perawatan Pasca Operasi dan Rehabilitasi
Rehabilitasi dini untuk pasien stroke bermanfaat dan harus dilakukan. Rehabilitasi yang sangat
awal, dalam waktu 24 jam, tidak boleh dilakukan. Uji coba AVERT mengacak pasien untuk
menerima rehabilitasi sangat awal dalam 24 jam setelah stroke dibandingkan dengan perawatan
unit-stroke biasa dan mobilisasi dini menunjukkan hasil yang kurang menguntungkan menggunakan
skor Rankin yang dimodifikasi [31].

2. Visuospatial neglect
Penelantaran visuospatial (mulai sekarang "diabaikan") adalah kelainan yang sering terjadi setelah
kerusakan otak. Pasien dengan kelalaian gagal - atau jauh lebih lambat - untuk mengarahkan,
merespons, dan melaporkan peristiwa di satu sisi ruang (biasanya sisi yang berlawanan dengan lesi
otak mereka; sisi contralesional) (Buxbaum et al., 2004; Heilman, Valenstein , & Watson, 2000).
Defisit perhatian yang teralisasi ini tidak dapat dikaitkan dengan defisit motorik atau sensorik
(Heilman & Valenstein, 1979). Setiap tahun, sekitar 45.000 orang di Belanda menderita stroke
(https://www.hersenstichting.nl). Dari semua pasien stroke, 20% hingga 80% menunjukkan pengabaian
(Chen, Chen, Hreha, Goedert, & Barrett, 2015). Angka-angka ini sangat bervariasi di antara penelitian,
karena mereka tergantung pada tugas-tugas khusus yang digunakan, sampel stroke yang dimasukkan,
dan waktu pasca-stroke di mana pasien dinilai. Secara umum, pemulihan neurobiologis spontan dari
pengabaian terjadi dalam 3 bulan pertama setelah serangan stroke (Gambar 1.1; Nijboer, Kollen, et al.,
2013). Pada sekitar 40% pasien dengan pengabaian, gangguan ini masih ada 1 tahun setelah onset
stroke (Nijboer, Kollen, et al., 2013). Kelalaian dapat mengakibatkan beberapa perilaku khas: pasien
hanya mencukur satu sisi wajah mereka, makan dari satu sisi piring mereka, atau mengabaikan orang-
orang yang berada di sisi contralesi mereka. Gangguan perhatian lateral sering juga ditunjukkan ketika
pasien diminta untuk menggambar atau menyalin gambar (Gambar 1.2). Selain itu, beberapa pasien
tidak menggunakan anggota badan contralesional mereka, walaupun secara fisik mereka mampu.
Meskipun perilaku mencolok ini, pasien sering tidak menyadari gangguan atau bahkan
menyangkalnya. Ini adalah hasil dari anosognosia (yaitu, kurangnya wawasan) yang sering terjadi
bersamaan dengan pengabaian (Appelros, Karlsson, Seiger, & Nydevik, 2002).
Manifestasi klinis dari pengabaian sering dikacaukan dengan kebutaan kortikal, seperti
hemianopia. Pada kedua gangguan, pasien kehilangan informasi tentang bidang visual yang
terpengaruh. Perbedaan antara gangguan berkaitan dengan mekanisme yang mendasarinya. Sedangkan
pasien dengan hemianopia tidak dapat memproses informasi visual dalam bidang visual yang
terpengaruh, pasien dengan pengabaian tidak memperhatikan informasi visual dalam bidang visual
yang terpengaruh. Kelalaian dikaitkan dengan banyak defisit kognitif, tetapi defisit inti adalah
gangguan dalam perhatian lateralisasi. Mengabaikan adalah gangguan heterogen, bervariasi dalam
modalitas sensorik (yaitu, visual, auditori dan taktil; Corbetta, 2014; Jacobs, Brozzoli, & Farnè, 2012),
wilayah ruang (yaitu, peripersonal dan ekstrapersonal; Aimola, Schindler, Simone, & Venneri, 2012;
Van der Stoep et al., 2013), dan kerangka acuan (yaitu egosentris dan alokentris; Chechlacz et al.,
2010). Saya akan fokus pada pengabaian visuospatial dalam tesis ini. Pasien stroke yang lalai
memerlukan lebih banyak bantuan dalam kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL), seperti berpakaian
dan makan, dibandingkan dengan pasien tanpa mengabaikan (Nijboer, van de Port, Schepers, Post, &
Visser-Meily, 2013; Nys et al., 2005 ). Ini menempatkan beban yang sangat besar pada kerabat
mereka, karena mereka harus mengalokasikan lebih banyak waktu untuk perawatan (Chen, Fyffe, &
Hreha, 2017). Sebagai akibatnya, pasien dengan kelalaian lebih kecil kemungkinannya untuk pulang
ke rumah (Wee & Hopman, 2008). Selain itu, pengabaian memiliki efek penekan pada pemulihan di
domain lain juga (Buxbaum et al., 2004). Sebagai contoh, pasien dengan kelalaian memiliki fungsi
motorik yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa kelalaian dan, di samping itu, pasien
dengan fungsi motor yang sebanding pulih lebih lambat (Gambar 1.3; Nijboer, Kollen, & Kwakkel,
2014; Nijboer, van de Port, et al. , 2013). Akhirnya, pasien dengan kelalaian mencapai tingkat fungsi
motorik yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa kelalaian (Nijboer, Kollen, et al., 2014).
Dalam penelantaran sisi kiri, setelah kerusakan otak kanan, defisit perhatian lateralisasi umumnya
lebih parah dan persisten dibandingkan dengan penelantaran sisi kanan (lihat Kotak 1.1 untuk
penjelasan teoretis; Chen, Hreha, Kong, & Barrett, 2015; Gainotti, Messerli , & Tissot, 1972; Ogden,
1985; Ringman, Saver, Woolson, Clarke, & Adams, 2004). Namun, tidak diketahui apakah
konsekuensi dalam domain lain sebanding antara pasien dengan pengabaian sisi kiri dan kanan. Dalam
Bab 2, kami mengeksplorasi perbedaan dan kesamaan yang ada antara pasien dengan pengabaian sisi
kiri dan kanan, mengenai tingkat keparahan defisit atensi lateral, kekhususan wilayah pengabaian,
fungsi kognitif, fungsi fisik dan kemandirian dalam mobilitas dan perawatan diri. Dalam Bab 3, kami
mengevaluasi bagaimana pengabaian peripersonal dan ekstrapersonal berbeda satu sama lain pada
tingkat anatomi
Diagnosa
Diagnosis kelalaian yang tepat dianggap sangat penting untuk penetapan tujuan yang
realistis dalam rehabilitasi dan untuk mengantisipasi kebutuhan akan dukungan, karena pasien
dengan pengabaian lebih tergantung pada lingkungan mereka dibandingkan dengan pasien tanpa
pengabaian (Buxbaum et al., 2004; Nijboer, van de Port, et al., 2013). Secara umum, tugas kertas
dan pensil neuropsikologis, seperti tugas pembatalan atau pembelahan, digunakan untuk diagnosis
pengabaian (Gambar 1.5). Tugas-tugas semacam itu dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, juga
pada pasien yang terikat tempat tidur atau pasien dengan gangguan bahasa (ringan). Namun, kadang-
kadang, pasien tidak menunjukkan kelalaian pada tugas kertas dan pensil ini, tetapi, misalnya,
menabrak tiang pintu tepat setelah menyelesaikan penilaian neuropsikologis (Azouvi, 2017;
Huisman, Visser-Meily, Eijsackers, & Nijboer, 2013; Klinke, Hjaltason, Hafsteinsdóttir, &
Jónsdóttir, 2016; Ten Brink et al., 2013). Perbedaan antara pengabaian yang diukur dengan tugas
kertas dan pensil dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar terlihat pada pasien yang
telah belajar menggunakan strategi kompensasi. Ada beberapa penjelasan untuk perbedaan ini.
Pertama, heterogenitas pengabaian tersebut dapat mendasari disosiasi yang ditemukan pada
tugas kertas dan pensil versus perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Tugas kertas dan pensil
dirancang untuk merealisasikan pengabaian visual dalam ruang peripersonal, dengan demikian, jenis
pengabaian lainnya akan terlewatkan. Kedua, situasi kehidupan sehari-hari lebih dinamis
dibandingkan dengan tugas kertas-dan-kertas statis. Stimulus yang relevan harus dideteksi dalam
lingkungan yang terus bergerak, sementara satu juga bergerak. Ketika dua peristiwa terjadi secara
bersamaan di sisi ipsilesional dan kontralesional, persaingan atensi antara peristiwa-peristiwa ini
terjadi. Dalam sebagian besar tugas yang diabaikan, sedikit persaingan dengan rangsangan
ipsilesional ada. Akhirnya, selama tugas kertas dan pensil, pasien biasanya memiliki satu tujuan
untuk fokus. Ketika pasien harus melakukan beberapa operasi pada saat yang sama, seperti berjalan,
mengobrol dan melihat, kapasitas perhatian terbatas dan pengabaian bisa tiba-tiba terwujud
(Chechlacz, Humphreys, & Cazzoli, 2016; Klinke et al., 2016). Pada bagian kedua dari tesis ini,
kami mempelajari tugas dinamis dan beberapa 'tindakan dinamis' pengabaian. Untuk dapat
merealisasikan diabaikan dalam pengaturan klinis itu.
Kotak 1.1 Dominasi hemisfer kanan
Kelalaian dapat disebabkan oleh kerusakan kortikal fokal (misalnya, sering pada lobulus
parietal inferior, gyrus frontal inferior atau gyrus temporal superior) atau kerusakan pada traktus
materi putih, yang mengakibatkan terputusnya area yang saling berhubungan (Carter et al., 2017;
Lunven & Bartolomeo, 2017). Fungsi visuospatial tidak terdistribusi secara simetris antara belahan
kiri dan kanan. Jaringan frontoparietal yang dihubungkan oleh fasciculus longitudinal superior di
belahan kanan, tampaknya sangat penting untuk fungsi atensi spasial. Lateralisasi ini dapat
diilustrasikan oleh model Heilman dan Mesulam, di mana dinyatakan bahwa belahan otak kiri
memproses informasi yang ada di bidang visual kanan, sedangkan belahan kanan memproses
informasi dari bidang visual kiri dan kanan (Gambar 1.4A; Mesulam, 1999). Dalam kasus lesi di
belahan kanan (Gambar 1.4B), pemrosesan informasi secara sadar di sisi kiri terganggu, yang
mengakibatkan pengabaian pada sisi kiri. Dalam kasus lesi di hemisfer kiri (Gambar 1.4C)
(beberapa) input di sisi kanan masih diproses secara sadar. Kelalaian akan, oleh karena itu, menjadi
kurang sering atau kurang parah setelah lesi di belahan otak kiri dibandingkan dengan lesi di belahan
kanan.

Gambar 1.4 Model perhatian (Mesulam, 1999). Pada orang sehat (A) belahan kiri mengarahkan
perhatian ke bidang visual kanan, sedangkan belahan kanan mengarahkan perhatian ke bidang visual kiri dan
kanan. Dalam kasus lesi di belahan kanan (B), perhatian tidak diarahkan ke kiri. Dalam kasus lesi di
hemisfer kiri (C), hemisfer kanan mengarahkan (sebagian) perhatian ke arah kanan.

Pengobatan
Pada abad yang lalu, beberapa perawatan untuk pengabaian telah dikembangkan. Saat ini, sebagian
besar pedoman untuk perawatan kelalaian merekomendasikan pelatihan kompensasi intensif (mis., Pelatihan
pemindaian visual) dan meningkatkan wawasan, misalnya dengan pendidikan psiko-pendidikan (misalnya,
lihat pedoman Belanda untuk rehabilitasi pengabaian: Ten Brink, van Kessel, & Nijboer , 2017). Pelatihan
pemindaian visual, bagaimanapun, sangat memakan waktu. Ada kesenjangan antara dosis pemindaian visual
yang diusulkan dalam protokol, dan protokol aktual yang digunakan dalam lingkungan rehabilitasi rawat
inap. Selain itu, strategi sadar top-down yang ditekankan selama pelatihan pemindaian visual mungkin tidak
efektif untuk semua pasien dengan pengabaian, karena beberapa pasien mengalami kesulitan mengarahkan
kepala dan mata menuju lokasi yang diinstruksikan (Barrett, Goedert, & Basso, 2012) . Bahkan
dihipotesiskan bahwa, pada beberapa pasien, perhatian tidak selalu menyertai gerakan mata, dengan
demikian, target yang terpaku mungkin tidak mencapai kesadaran (Khan et al., 2009). Pasien-pasien ini
mungkin mempertahankan defisit atensi bahkan ketika mereka belajar untuk membuat gerakan mata ke arah
sisi yang diabaikan, karena informasi tidak secara otomatis diperhatikan. Salah satu perawatan alternatif
yang paling banyak dipelajari adalah adaptasi prisma, pertama kali dijelaskan oleh Rossetti dan rekan
(1998). Adaptasi prisma mungkin jauh lebih sederhana dibandingkan dengan pelatihan pemindaian visual,
karena mudah untuk mengelola dan belajar secara sadar tidak diperlukan, karena perubahan bottom-up yang
lebih implisit (seperti kalibrasi ulang otomatis perhatian) diperkirakan terjadi (Saevarsson, Halsband, &
Kristjansson, 2011). Selama fase adaptasi, pasien memakai kacamata yang menghasilkan pergeseran lateral
bidang visual, sehingga target tampak tergeser (Gambar 1.6A). Pasien dapat disesuaikan dengan perubahan
ini dengan serangkaian gerakan pengarahan motor pengarah yang diarahkan pada tujuan (Gambar 1.6B).
Ketika prisma dilepas, perhatian secara otomatis dikalibrasi ulang dengan fokus lebih ke sisi contralesional
(Gambar 1.6C).
Gambar 1.6 Sesi adaptasi Prisma. Pasien adalah kacamata yang menghasilkan pergeseran lateral
bidang visual sehingga target tampak tergeser (A). Pasien dapat diadaptasikan pada perubahan ini dengan
serangkaian gerakan penunjuk visuo-motor (B). Ketika prisma dilepas, perhatian secara otomatis dialihkan
ke sisi contralesional (C). Gambar diambil dari Ten Brink, Visser-Meily, dan Nijboer (2014).
Rossetti dan rekan (1998) menunjukkan pengurangan signifikan dari pengabaian pada sisi kiri
setelah periode adaptasi prisma singkat dengan prisma kanan. Studi selanjutnya menunjukkan bahwa lebih
banyak sesi adaptasi prisma (misalnya, 10-20 sesi dalam 2-4 minggu) menyebabkan efek positif yang lebih
lama pada pengabaian (Barrett et al., 2012; Champod, Frank, Taylor, & Eskes, 2016; Nijboer, Nys, van der
Smagt, van der Stigchel, & Dijkerman, 2011; Yang, Zhou, Chung, Li-Tsang, & Fong, 2013). Meskipun
pengurangan kelalaian telah dilaporkan di berbagai domain, tidak semua pasien mendapat manfaat dan tidak
semua pasien membaik pada semua tindakan pengabaian. Tidak diketahui komponen atau sub proses
pengabaian tertentu mana yang dipengaruhi oleh adaptasi prisma. Dalam ulasan sistematis pada Bab 8, kami
mengevaluasi secara spesifik apakah adaptasi prisma memengaruhi pencarian visual pada pasien dengan
pengabaian, dan ukuran hasil pencarian visual mana yang paling sensitif untuk efek menguntungkan adaptasi
prisma.
Dalam beberapa uji acak terkontrol (RCT), pasien yang menerima adaptasi prisma berkinerja lebih
baik pada tugas pengabaian neuropsikologis (Yang et al., 2013) dan menunjukkan perilaku pengabaian yang
kurang di ADL (Champod et al., 2016) dibandingkan dengan pasien dalam kelompok kontrol (Ten Brink,
Visser-Meily, & Nijboer, 2014). Namun, hasil netral juga telah dilaporkan (Mancuso et al., 2012; Mizuno et
al., 2011; Priftis, Passarini, Pilosio, Meneghello, & Pitteri, 2013; Rode et al., 2015; Spaccavento, Cellamare,
Cafforio, Loverre , & Craca, 2016; Turton, O'Leary, Gabb, Woodward, & Gilchrist, 2010). Dengan
demikian, hasil bervariasi di antara studi, dan meskipun hasil positif, baik kelompok kecil pasien
dimasukkan, pengukuran pada tingkat ADL tidak selalu digunakan, atau pengukuran tindak lanjut tidak
dimasukkan. Selain itu, tidak ada penelitian yang melibatkan pasien dengan pengabaian pada sisi kanan.
Secara keseluruhan, tidak pasti apakah adaptasi prisma harus dilaksanakan sebagai perawatan rehabilitasi,
dan lebih banyak bukti diperlukan untuk mendukung keputusan ini. Dalam Bab 9 kami menggambarkan
protokol untuk studi "Adaptasi Prisma dalam Rehabilitasi" (PAiR), sebuah RCT di mana pengobatan dini
dengan adaptasi prisma dibandingkan dengan adaptasi palsu. Dalam bab ini, kriteria inklusi dan eksklusi
disebutkan, serta langkah-langkah yang digunakan dan waktu administrasi selama penelitian. Dalam Bab 10,
hasil longitudinal dari RCT PAiR dijelaskan.
BAB IV
PEMBAHASA
N

Pada kasus ini, berdasarkan alloanamnesis, diketahui pasien berinisial


Tn. A usia 53 tahun dengan keluhan Kelemahan anggota gerak kiri Pasien
laki-laki, 56 tahun rujukan dari Puskesmas karangan dengan keluhan
kelemahan pada tangan dan kaki kiri sejak 5 hari smrs disertai bicara pelo.
Awalnya pada tahun 2016 pasien pernah mengalami keluhan kelemahan pada
tangan dan kaki kiri secara tiba-tiba dan pasien tidak sadarkan diri. Lalu
pasien dibawa ke puskesmas, saat pasien sudah sadar pasien mengeluh lemah
pada tangan dan kaki kiri, mulut mencong ke kanan. Pasien 2 hari dirawat di
puskesmas dan di rujuk ke RS Abdul Aziz Singkawang. Pasien di rawat di RS
Abdul Aziz selama -/+ 3 minggu. Keadaan pasien saat pulang pasien dapat
berjalan walaupun Pelan, bisa makan, bisa bicara tapi kurang jelas dan paham
apa yang di bicarakan. Selama pasien pulang hingga serangan stroke ke 2
pasien tidak pernah kontrol ke poli maupun ke puskesmas. Pasien sering
mengeluh sakit kepala dan hanya berobat ke puskesmas.7 hari SMRS Pasien
mengalami kelemahan pada tubuh sebelah kiri secara tiba-tiba, pasien hanya
bisa berbaring, dan tidak dapat duduk dan mulut pasien mencong ke kanan
bicara pelo, pasien tidak langsung dibawa ke Rumah Sakit, hanya dirawat di
rumah. 2 hari SMRS pasien tersedak saat minum dan badan semakin lemah.
1 hari SMRS : keluarga membawa pasien ke Puskesmas dan dari puskemas
langsung meujuk ke RS Abdul Aziz.

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis hemiparese S ec CVD SI.


Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan dari anamnesis kelemahan anggota
gerak kiri secara tiba-tiba disertai bicara pelo dan sulit menelan. Pasien
memiliki riwayat penyakit yang sama sebelumnya dan mempunyai faktor
resiko yaitu hipertensi yang tidak terkontrol.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan dari kesadaran pasien masih


compos mentis, dan dari tanda vital tekanan darah pasien 150/100. Tanda
tanda defisit neurologis yang didapatkan adalah kelemahan pada ekstremitas
kiri dan parese N VII. Tanda rangsang meningeal negatif.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Pemeriksaan laboratorium berupa
darah rutin, fungsi hati dan fungsi ginjal menunjukkan nilai dalam batas
normal. Pada pasien dilakukan pemeriksaan brain CT scan dengan kontras,
dan didapatkan gambaran iskemik pada di kapsula eksterna kanan dan
korana radiata kanan dan Infark di kapsula interna kiri dan lobus
temporoparietal kiri
Terapi yang diberikan berupa terapi non-medika mentosa dan
medikamentosa. Terapi non-medika mentosa yang diberikan berupa
penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi, tata laksana, dan
prognosis penyakit yang sedang dialami pasien, memberikan dukungan dan
edukasi pasien. Edukasi dan penjelasan tentang penyakit penting untuk
dilakukan agar pasien dan keluarga mengerti dan memahami apa yang
seharusnya mereka lakukan. Support dari keluarga sangat dibutuhkan agar
penyembuhan pada pasien dapat berlangsung dengan baik. Terapi
medikamentosa yang diberikan yaitu IVFD NaCl 0,9% 15 tpm, Inj.
Ranitidine 2 x 50 mg IV, Inj. Citicolin 2x1000 mg IV, Drip sohobion 1
amp /24 jam IV, Simvastatin 1x 20 mg (PO) , Asam folat 2x1 tab PO, aspilet
1x80mg PO, Amlodipin 1x10mg.
Prognosis pada kasus ini, untuk vitam dubia ad dubia. Untuk ad
functionam adalah dubia ad malam karena penyakit pasien membuat pasien
sulit beraktivitas seperti saat sebelum sakit dan butuh waktu yang lama untuk
membuat fungsi motorik maupun fungsi luhur membaik dan tidak bisa seperti
saat sehat dulu.
BAB V
KESIMPULA
N

Pada laporan kasus ini, pasien yang bernama Nn. M dengan keluhansulit diajak
berkomunikasi sejak ±4 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan didahului dengan
nyeri kepala, demam dan sulit menelan. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien juga
mengalami kejang saat dirawat di RS. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis meningoensefalitis TB dan symptomatic
seizure. Pasien diberikan terapi medikamentosa dan non medikamentosa.
Meningoensefalitis merupakan infeksi pada hemisfer cerebri dan meningen
sehingga terjadi gangguan fungsi neurologis. Pada laporan kasus ini pasien dengan
meningoensefalitis mengalami gangguan kesadaran dan tanda rangsang meningeal
positif.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499997/

ten Brink AF. Visuospatial neglect after stroke: Heterogeneity, diagnosis and treatment (Doctoral
dissertation, Utrecht University).
DAFTAR PUSTAKA

1. Lindsay, Kenneth W, dkk. Headache.Neurology and Neurosurgery I llustrated.


London: Churchill Livingstone.2004.66-72.
2. ISH Classification ICHD II ( International Classification of Headache
Disorders) available at http://ihs-classification.org/_downloads/mixed/ICHD-
IIR1final.doc
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Database. Desember 2009
Diakses dari: http://www.who.int/research/en/
4. Pehlinanoglu F, Yasar KK, Sengoz G. Prognostic factors of neurological
sequel in adult patients with tuberculous meningitis. Neurosciences.
2010;15:262-7.
5. Chin JH. Tuberculous Meningitis: Diagnostic and theurapeutic challenges.
Neurol Clin Prac. 2014;4(3):199-205.
6. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of Anatomy, Head, Neck and
Neuroanatomy: Volume 3: Head, Neck and Neuroanatomy. 15 edition. Urban
& Fischer; 2013. 849 p.
7. Duus P. Meningen, ventrikel dan cairan serebrospinalis. Dalam: Suwono Wita
J, editor. Diagnosis topik neurologi: anatomi, fisiologi, tanda dan gejala. Edisi
kedua. Jakarta: EGC; 1994.
8. Baron, E. J., Peterson, L. R. & Finegold, S. M. (eds.) 2007. Diagnostic
microbiology, Missouri: Mosby. 590-632.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Infomedika Jakarta; 2007.
10. Bidstrup C, Andersen PH, Skinhøj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis
in a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a
diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4.
11. Rahajoe N,Basir D,Makmuri, Kartasamita CB. Tuberkulosis.Dalam:Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI,Jakarta.Th
:2005,hal 54
12. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous
meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric Sciences,
Università degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale
Maggiore Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis
2012: 92; 377-383
13. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology. 8th ed.
New York: McGraw-Hill; 2005.
14. DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis
guidelines of the Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases.
South Afr J Epidemiol Infect. 2009;24(3).
15. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag.
Philladelphia, Pennsylvania. 2006.
16. Brant WE, Helms CA. Fundamental of Diagnosis Radiology. Edisi 3.
Virginia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Hal 442.

Anda mungkin juga menyukai