Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Pemberian Imbalan Bunga

Pengertian pemberian Imbalan Bunga dalam peraturan perundang-

undangan perpajakan adalah apabila pengajuan keberatan, permohonan banding,

atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya,

selama pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat

Ketetapan Pajak baik Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak

Nihil (SPKN), dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat

Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang dikabulkan sebagian atau

seluruhnya baik yang telah dibayar atau sejak tanggal pembayaran yang

menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, dan kelebihan pembayaran dimaksud

dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga.

Khusus untuk Surat Tagihan Pajak dihitung sejak tanggal pembayaran

yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya

Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,

atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.

Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran lebih sanksi administrasi

berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).

9
10

Kelebihan pembayaran pajak yang diberikan imbalan bunga berdasarkan Surat

Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan

Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan,

Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian

atau seluruh permohonan Wajib Pajak.

Sedangkan dasar hukum pemberian imbalan bunga telah diatur pada

peraturan perundang-undangan perpajakan yaitu :

1. Undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara

perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang nomor

16 tahun 2009, yaitu :

Pasal 11 ayat (3) yang menyebutkan :

Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah

jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga

sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) berakhir sampai dengan saat dilakukan

pengembalian kelebihan.

Pasal 27A dan penjelasannya yang menyebutkan :

(1) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan

peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak

yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Surat


11

Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak

Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran

pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan

ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk

paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai

berikut :

a. untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dihitung sejak

tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran

pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan

Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan

Kembali; atau

Penjelasan pasal 27A :

Ayat (1)

Imbalan bunga diberikan berkenaan dengan Surat Keputusan Keberatan,

Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih

Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.


12

Ayat (1a)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan,

pengurangan, atau pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat

Tagihan Pajak yang keputusannya mengabulkan sebagian atau seluruhnya,

selama jumlah pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud

dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dibayar

menyebabkan kelebihan pembayaran pajak,  kelebihan pembayaran

dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua

persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

 Ayat (2)

Imbalan bunga juga diberikan terhadap pembayaran lebih Surat Tagihan

Pajak yang telah diterbitkan berdasarkan Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 19

ayat (1) sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang  Bayar Tambahan, yang

memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa

denda atau bunga.

Pengurangan atau penghapusan yang dimaksud merupakan akibat dari

adanya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan

Peninjauan Kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tersebut, yang mengabulkan

sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak.


13

2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa

Pajak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun

2002 tentang Pengadilan Pajak, pada Pasal 87 yang menyebutkan :

“Apabila Putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh

banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah

Imbalan Bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua

puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku”.

Sedangkan untuk jangka waktu pemberian imbalan bunga adalah setelah

jangka waktu 1 (satu) bulan kelebihan pembayaran pajak dilakukan

pengembaliannya sesuai pasal 11 Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan

tata cara perpajakan, dengan ketentuan jika ternyata wajib pajak mempunyai utang

pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu hutang pajak

tersebut.

Kelebihan pembayaran pajak dimaksud adalah sebagai akibat adanya

Surat Keputusan Keberatan dari Direktorat Jenderal Pajak, putusan banding atau

gugatan dari Pengadilan Pajak dan putusan peninjauan kembali dari Mahkamah

Agung.

Untuk besarnya pemberian imbalan bunga maka pemerintah dalam hal ini

memberikan imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) perbulan untuk paling lama

24 (dua puluh empat) bulan sesuai yang diatur pada pasal 27 Undang-undang

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan diatur pada pasal 87
14

Undang-undang tentang Pengadilan Pajak. Ini semata-mata karena untuk

menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban bagi wajib pajak melalui

pelayanan yang lebih baik.

B. Pengertian dan Dasar Hukum Pengadilan Pajak

Pengertian Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan

kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari

keadilan terhadap sengketa pajak. Sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan

antara penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding kepada pengadilan pajak

berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengadilan Pajak dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu peradilan murni dan

peradilan tidak murni. Peradilan Murni adalah peradilan yang melibatkan 3 (tiga)

pihak, yaitu : Wajib Pajak, Fiskus, dan Hakim yang mengadili. Wajib Pajak dan

fiskus merupakan pihak yang bersengketa, sedangkan hakim atau majelis hakim

merupakan pihak yang akan memutuskan sengketa tersebut. Sementara itu,

Peradilan Tidak Murni adalah peradilan yang hanya melibatkan 2 (dua) pihak,

yaitu pihak Wajib Pajak dan pihak Fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang

independen.6

Dasar Hukum Pengadilan Pajak yaitu :

1. Undang-undang Dasar 1945. Di dalam Pasal 24 Ayat (1) Undang-

undang Dasar 1945 berbunyi sebagai berikut.

6
Hariyasin. 2019. Praktik Beracara pada Pengadilan Pajak. 2. Daerah Istimewa
Yogyakarta. PT Kanisius. hlm. 11.
15

a. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum

dan keadilan.

b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

c. Badan-Badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman diatur dalam undang-undang.

2. Selanjutnya, Pasal 24 Ayat (2) Undang - undang Dasar 1945

berbunyi: “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,

lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

3. Sementara itu, Pasal 27 ayat (1) Undang - undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa pengadilan

khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan

peradilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 25 yang diatur dengan

undang-undang. Selanjutnya, Undang-undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah

diubah dengan Undang-undang No. 51 Tahun 2009, Pasal 9A


16

mengatur: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat

diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang.

Penjelasan: yang dimaksud dengan pengkhususan adalah

diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara, misalnya Pengadilan Pajak”.

4. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,

Pasal 33 ayat (1) mengatur tentang “Pengadilan Pajak merupakan

Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan

memutus tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan

memutus Sengketa pajak”. Penjelasannya : Sebagai pengadilan

tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas Sengketa Pajak

hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Karenanya, putusan

Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan Gugatan ke Peradilan lain,

kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang menyangkut

kewengan/kompetensi.

5. Pada 12 April 2002, Undang-undang tentang Pengadilan Pajak

disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai pelaksana

dari kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung yang sah.

Karena itu, Pengadilan pajak melaksanakan kekuasaan kehakiman

yang merdeka guna menegakkan hokum dan keadilan dalam

menyelesaikan sengketa pajak yang merupakan peradilan khusus


17

dan berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian, pengadilan pajak tidak boleh di invervensi, baik

dalam menjatuhkan putusan maupun regulasinya.

6. Pasal 27 ayat (2) undang-undang tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, menegaskan bahwa putusan Pengadilan

Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.

7. Adapun dasar untuk Menegaskan kedudukan Pengadilan Pajak

dalam lingkup peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung,

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor

004/PUU-11/2004 yang diputuskan pada 8 Desember 2004 dan di

ucapkan dalam siding Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka

untuk umum pada 13 Desember 2004.

8. Kemudian, halaman 47 putusan Mahkamah Konstitusi berbunyi

sebagai berikut

“Pasal 77 ayat (3), bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat

mengajukanpeninjauankembali atas putusan Pengadilan Pajak

kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A Undang-undang tentang

Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan

Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang

diatur dengan Undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa

Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada

dibawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24


18

ayat (2) UUD 1945. Alasan Mahkamah tersebut diatas sekaligus

dapat digunakan dasar untuk mempertimbangkan dalil pemohon,

bahwa Pasal 80 ayat (2) yang menyatakan bahwa terhadap putusan

Pengadilan Pajak tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, dan

kasasi”. 7

C. Pengertian dan Dasar Hukum Sengketa Pajak

Pengertian dan Dasar Hukum mengenai sengketa pajak telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa

Pajak, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002

tentang Pengadilan Pajak, termasuk dalam Pasal 1 angka 5 yang berbunyi :

”Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan

antara Wajib Pajak atau Pemegang pajak dengan pejabat yang berwenang

sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding

atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-

undangan perpajakan, termasuk Gugatan kepada Pengadilan Pajak

berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan

atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak

dengan Surat Paksa.”8

Berdasarkan pengertian sengketa pajak tersebut diatas ternyata segketa

pajak hanya tertuju kepada banding dan gugatan sebagai kewenangan Pengadilan

Pajak. Sengketa pajak dalam bentuk banding dan gugatan hanya merupakan

7
Hariyasin. 2019. Praktik Beracara pada Pengadilan Pajak. 2. Daerah Istimewa
Yogyakarta. PT Kanisius. hlm. 8.
8 ?
Wirawan B. Ilyas Richard Burton. Hukum Pajak. 3. Jakarta. Salemba Empat. hlm. 74.
19

sengketa pajak dalam arti sempit karena masih ada sengketa pajak tidak termasuk

didalamnya. Sengketa pajak dalam arti luas meliputi sengketa yang diajukan

keberatan, banding, dan gugatan pada peradilan pajak. 9

D. Pengertian dan Dasar Hukum Upaya Hukum di Dalam Perpajakan

Badan Peradilan Pajak untuk melaksanakan kekuasaan yudikatif untuk

memeriksa, memutus dan mengadili perkara bagi pencari keadilan terhadap

sengketa pajak untuk mencapai suatu kepastian hokum. Bahwa berdasarkan

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak perubahan dari

Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa

Pajak (selanjutnya disebut dan disingkat sebagai UU Pengadilan Pajak) pada Pasal

33 yang isinya berbunyi :

1. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan

terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

2. Untuk keperluan pemeriksaan sengketa pajak, pengadilan pajak

dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang

berkaitan dengan sengketa pajak dari pihak ketiga sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan:

Sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas

Sengketa Pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Oleh

karenanya, putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan Gugatan

ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau Badan

9 ?
Muhammad Djafar Saidi. 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak. 4. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. hlm 90.
20

Peradilan lain, Kecuali putusan berupa “tidak dapat diterima” yang

menyangkut kewenangan atau kompetensi.10

E. Penyelesaian Sengketa Perpajakan

Untuk Pengajuan dan Penyelesaian Sengketa Perpajakan diatur dalam :

1. Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur

Gugatan :

Pasal 40 sebagai berikut:

(1) Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada

Pengadilan Pajak

(2) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan

penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal

pelaksanaan penagihan.

(3) Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan

selain Gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah 30

(tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.

(4) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)

tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat

dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.

(5) Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)

adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di

luar kekuasaan penggugat.

10
Hariyasin. 2020. “Seputar Perpajakan,Kepabeanan&Hukum Menuju Indonesia Emas
(1945-2045). Disertasi. Banjarmasin. Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945. hlm. 28
21

(6) Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan

diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.

Pasal 41 sebagai berikut:

(1) Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang

pengurus, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang

jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau

Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang

digugat.

(2) Apabila selama proses Gugatan, penggugat meninggal dunia,

Gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari

ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit.

(3) Apabila selama proses Gugatan, penggugat melakukan

penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau

likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang

menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,

pemecahan/pemekaran usaha atau likuidasi dimaksud.

Pasal 42 sebagai berikut:

(1) Terhadap Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1),

dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan

Pajak.

(2) Gugatan yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dihapus dari daftar sengketa dengan:


22

a. Penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan

diajukan sebelum sidang;

b. Putusan Majelis Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam

hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas

persetujuan tergugat.

(3) Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diajukan

kembali.

Pasal 43 sebagai berikut:

(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya

penagihan Pajak atau kewajiban perpajakan.

(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut

pelaksanaan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan,

sampai ada putusan Pengadilan Pajak.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan

sekaligus dalam dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok

sengketanya.

(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat

mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat

dirugikan jika pelaksanaan penagihan Pajak yang digugat itu

dilaksanakan.
23

Gugatan sebagai upaya hokum biasa berbeda dengan banding, karena

banding dapat menangguhkan keputusan keberatan sehingga tidak memiliki

kekuatan hukum yang mengikat. Sementara itu, gugatan tidak demikian halnya

karena yang digugat bukan surat keputusan keberatan dari lembaga keberatan

melainkan keputusan pejabat pajak yang terkait dengan penagihan pajak. Gugatan

hanya diperuntukkan bagi wajib pajak atau penanggung pajak untuk melawan

surat tagihan pajak maupun keputusan yang terkait dengan pelaksanaan penagihan

pajak secara paksa yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hokum pajak.

Dalam arti, pejabat pajak dalam proses gugatan selalu dalam kedudukan sebagai

pihak tergugat dan wajib pajak atau penanggung pajak selalu berada dalam

kedudukan sebagai penggugat. Dalam arti, pejabat pajak tidak boleh mengajukan

gugatan kepada Pengadilan pajak sebagai penggugat melawan wajib pajak atau

penanggung pajak. Mengingat pejabat pajak yang menerbitkan surat tagihan pajak

atau keputusan dalam rangka melakukan penagihan pajak secara paksa, digugat

oleh wajib pajak atau penanggung pajak melalui pengadilan pajak. 11

2. Undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur

Banding :

Pasal 35 sebagai berikut:

(1) Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia

kepada Pengadilan Pajak.

11 ?
Muhammad Djafar Saidi. 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak. 4. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. hlm 184.
24

(2) Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal

diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan.

(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak

mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi

karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding.

Pasal 36 sebagai berikut:

(1) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

(2) Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan

dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.

(3) Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang

dibanding.

(4) Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat

(2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan

terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya

dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah

dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Pasal 37 sebagai berikut:

(1) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang

pengurus, atau kuasa hukumnya.

(2) Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal

dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum


25

dari ahli warisnya, atau pengampunya dalamhal pemohon Banding

pailit.

(3) Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan

penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau

likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang

menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan,

pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

Pasal 38 sebagai berikut:

(1) Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk

memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka

waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).

Pasal 39 sebagai berikut:

(1) Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan

kepada Pengadilan Pajak.

(2) Banding yang dicabut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dihapus dari daftar sengketa dengan:

a. Penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan

diajukan sebelum sidang dilaksanakan;

b. Putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam

hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas

persetujuan terbanding.
26

(3) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak dapat diajukan

kembali.

Selain itu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir

diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan yang mengatur Banding yaitu :

Pasal 27 sebagai berikut :

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada

badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).

(2) Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di

lingkungan peradilan tata usaha negara.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara

tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling

lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan

dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.

(4) Dihapus.

(4a) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan

permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan

keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat

Keputusan Keberatan yang diterbitkan.

(5) Dihapus.
27

(5a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu

pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3),

ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum

dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan

1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

(5b) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan

permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a)

tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).

(5c) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan

permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang

sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.

(5d) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian,

Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar

100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan

Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar

sebelum mengajukan keberatan.

(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.

Kalau dikaji secara yuridis, yang berhak mengajukan banding hanya wajib

pajak atau penanggung pajak, tidak termasuk pejabat pajak sebagai pihak yang

bersengketa di tingkat lembaga keberatan. Dicantumkannya penanggung pajak


28

yang berhak mengajukan banding merupakan suatu kekeliruan yang tidak boleh

dibenarkan secara yuridis. 12

12 ?
Muhammad Djafar Saidi. 2007 Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak. 4. Jakarta. PT. Rajagrafindo Persada. hlm 173.

Anda mungkin juga menyukai