Anda di halaman 1dari 3

Nama: Catur Alfath Satriya

Seorang pembelajar yang berusaha memahami cinta melalui sastra

Facebook: alfath satriya

Twitter: @alfathsatriya

Instagram: @alfathsatriya

Tumblr: alfathsatriya.tumblr.com
Jenis: Narasi/Cerita

Kenangan

Oleh: Catur Alfath Satriya

Tak ada yang lebih menyakitkan selain kenangan yang menyayat, ia menggoreskan luka dan
meninggalkan darah penyesalan

Pilihannya hanya 2 senyum sembari mengucapkan selamat atau diam mengakui bahwa
ketentuanNya adalah yang terbaik. Setidaknya itu yang terjadi padaku ketika kau
memperlihatkan cincin di jari manis tangan kirimu. Walaupun aku tahu kau sudah menarik garis
demarkasi yang jelas bahwa aku tidak berada dan tidak akan pernah berada dalam strata
kelasmu. Ini memang bukan perkara yang mudah, sejarah membuat cinta kita tidak akan bisa
bertemu. Kau lahir dari garis keturunan para nabi sedangkan aku hanya lahir dari rahim seorang
pribumi. Aku tidak pernah menyesal karena itu adalah takdir, yang kusesali mengapa itu harus
dijadikan alasan kenapa cinta kita tidak bisa bertemu

Tuhan menciptakan manusia setara tetapi manusia yang membuatnya berbeda. Manusia
berlaku superior lebih dari tuhan. Ini yang aku tidak suka, mereka melihat cinta dari strata,
keturunan, dan kelas sosial bukan dari kejernihan dan ketulusan yang ada di dalamnya. Cinta
hanya dimaknai secara superfisial hanya dilihat sebagai upaya melanjutkan keturunan dan
mempertahankan ras, ia tidak dimaknai secara filsafat yang di dalamnya terkandung harapan dan
cita-cita.

Aku coba kembali mengingat ketika kita bertemu di reuni angkatan. Ketika itu,
sejujurnya aku sudah mengubur dalam perasaanku padamu karena yang bisa diingat hanyalah
luka dan kekecewaan. Namun waktu sepertinya membuatku sedikit lebih bijak bahwa tidak baik
bagi batinku jikala terus mengingat luka dan kekecewaan. Aku memberanikan diri menyapamu
terlebih dahulu mencoba menanyakan kabar dan kau balas dengan jawaban dan senyuman lesung
pipitmu yang khas yang bahkan bidadari pun tak memilikinya. Tanpa ada isyarat, perasaan ini
pun bersemi lagi. Aku pun terheran-heran mengapa aku bisa jatuh hati lagi denganmu padahal
sudah jelas secara keturunan kita berbeda. Pada titik ini antara logika dan perasaan saling
bertentangan, polarisasi dua kekuatan ini membuatku terjebak apakah aku harus maju atau status
quo. Sepertinya aku harus memilih yang pertama karena perasaan ini masih layak untuk
diperjuangkan.

Waktu berjalan, hari demi hari berlalu dan semuanya hanya jalan buntu. Ternyata garis
keturunan itu lebih kuat. Perasaanku terhadapnya tidak lebih dari debu berlalu begitu saja tanpa
dihiraukan. Buktinya jelas, kau akhirnya memilih yang lain yang sekufu menurut orang tuamu.
Sekilas aku pun menyesal, namun apa guna berharap tuhan menenangkan hatiku di saat seperti
ini. Setidaknya aku sudah berjuang mencoba melawan gagasan konservatif yang aku pun tidak
tahu pembenarannya. Dalam khutbah terakhirnya nabi pun berkata bahwa tidak ada superioritas
di antara manusia, diciptakannya berbagai suku bangsa agar kita saling mengenal. Perbedaan
bukan untuk menjauhkan tapi mendekatkan, kita punya identitas yang sama yaitu manusia.

Itulah idealita yang selama ini aku yakini, sedikit naif memang berlagak seperti Plato tapi
inilah yang menjaga semangat hidupku dan tak selamanya menjadi seorang idealis itu buruk.

Kenangan ini mengajarkan aku satu hal:

Kesalahanku adalah aku menganggapmu sebagai realita namun kau menganggapku hanyalah
imaji

Anda mungkin juga menyukai