Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MANDIRI

MATA KULIAH AGROEKOLOGI


TENTANG
PRODUKSI DAN DEKOMPOSISI

Dosen Pengampu :
Titis Pury Purboningtyas, SP.,M.Si

Disusun Oleh :
Meriani Yerenia
NIRM : 02.01.21.229
PPB B

PROGRAM STUDI PENYULUHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN


POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR
BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA
MANUSIA PERTANIAN
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan kasih dan karunia-Nyalah, penulis dapat menyelesaikan laporan Makalah
ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas mata
kuliah Agroekologi. Selain itu juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Produksi dan Dekomposisi.
Pada kesempatan ini saya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Titis Pury Purboningtyas, SP.,M.Si selaku Dosen Agroekologi yang telah
memberikan tugas Makalah ini sehingga dapat menambah wawasan saya. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari, dalam penulisan ini masih terdapat ketidaksempurnaan
oleh karena itu dengan senang hati penulis menerima kritik maupun saran yang
bersifat membangun dari para pembaca. Akhir kata, penulis berharap semoga
laporan ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Bogor, April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
COVER....................................................................................................1
KATA PENGANTAR.............................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................3
DAFTAR GAMBAR...............................................................................4
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................5
BAB I PENDAHULUAN........................................................................6
A. Latar Belakang Masalah......................................................6-7
B. Tujuan.......................................................................................8
C. Kegunaan...................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................9-11
BAB III PEMBAHASAN.......................................................................12
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN................................................13
A. Kesimpulan...............................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................15
LAMPIRAN.............................................................................................16

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Magrove.............................................................................13

4
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambar Wisata Magrove..............................................................16

5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian telah


melahirkan petani yang sangat tergantung pada pupuk kimia. Di lain
pihak, penggunaan lahan secara terus menerus berakibat pada penurunan
bahan organik tanah dan bahkan sebagian besar lahan pertanian
mengandung bahan organik rendah (< 2 %), padahal kandungan yang ideal
adalah > 3 %. Tanah dengan kandungan bahan organik rendah akan
berkurang kemampuannya dalam mengikat pupuk kimia, sehingga
efektivitas dan efisiensinya menurun akibat pencucian dan fiksasi.
Perbaikan kesuburan tanah dan peningkatan bahan organik tanah
dapat dilakukan melalui penambahan bahan organik atau kompos. Namun
demikian, kandungan hara pupuk organik tergolong rendah dan sifatnya
slow release, sehingga diperlukan dalam jumlah yang banyak (Anonim,
2014b). Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya
terdiri dari bahan organik yang berasal dari tanaman dan atau hewan yang
telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang
digunakan untuk mensuplai bahan organik serta memperbaiki sifat fisik,
kimia dan biologi tanah (Djuarnani dkk, 2004).
Saat ini beberapa pelaku wirausaha Jamur Tiram, memanfaatkan
sisa Baglog untuk budidaya cacing tanah (lumbricus) dan ada pemanfaat
limbah Baglog budidayaJamur Tiram untuk dikomposisikan kembali
sebagai pupuk organik tanaman. Selama proses dekomposisi bahan
organik, diperlukan mikrobia yang berperan sebagai dekomposer.
Dekompose adalah organisme yang mengurai atau memecah organisme
yang sudah mati, proses penguraian yang dilakukannya disebut
dekomposisi. Organisme tersebut adalah heterotrofik yang menggunakan
substrat organik untuk mendapatkan energi, serta karbon dan nutrisi untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Dekomposer dapat memecah sel-sel dari
organime lain menggunakan reaksi biokimia yang mengkonversi jaringan
organisme mati menjadi senyawa kimia metabolik, tanpa menggunakan
pencernaan internal. Dekomposer menggunakan organisme yang sudah
mati sebagai sumber nutrisi mereka (Balittanah, 2006).
Pemanfaatan dekomposer sebagai pengurai bahan baku pembuatan
pupuk organik telah banyak di produksi secara komersial, seperti Biodec,
Promi dan EM-4. Produk-produk tersebut berisi bakteri dan jamur
dekomposer yang dapat mempercepat pengomposan bahan organik (Suhud
dan Salundik, 2006). Laju dekomposisi bahan organik sisa tanaman juga
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain;kandungan bahan
organik, kondisi lingkungan dan organisme dekomposer. Organisme

6
dekomposer menunjukkan peran penting dalam proses penghancuran serta
katabolisme (Tian, 1992). Aktivitas organisme tanah bervariasi, mulai dari
sebagian besar penghancuran sisa tumbuhan oleh insekta dan uret sampai
dekomposisi total sisa tumbuhan oleh organisme yang lebih kecil seperti
bakteri, fungi dan actinomycetes. Keberadaan makrofauna tanah, yaitu uret
yang berperan sebagai dekomposer diduga berhubungan erat dengan
kandungan bahan organik tanaman. Komposisi kimia bahan organik
tanaman yang berbeda menyebabkan laju dekomposisi yang berbeda pula.
Hal ini disebabkan, antara lain oleh perbedaan tingkat kesukaan
dekomposer terhadap bahan organik tanaman dalam menguraikannya
(Tian, 1992). Sedang pada rayap terdapat protozoa dan bakteri
dekomposer yang dapat mengancurkan bahan organik, sekalipun pohon
tanaman. Rayap pekerja memakan serat kayu yang kaya akan selulosa
karena pada pencernaan rayap dibantu oleh suatu enzim dan bakteri yang
bisa membantu untuk mencerna serat kayu. Dengan demikian, rayap dan
enzim pada pencernaan saling menguntungkan. Namun belum ada yang
menggunakan mikrobia tanah rayap sebagai bioaktivator pengkomposan
sisa Baglog jamur Tiram (Fulkiadi,2008).

B. Tujuan

Tujuan Makalah ini adalah :

Mengidentifikasi proses produksi dan dekomposisi baik secara


fisik maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah.

C. Manfaat dan Kegunaan

Mampu menjelaskan dan mengidentifikasi terjadinya proses


produksi dan dekomposisi bagi makhluk hidup.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan tentang Dekomposisi


Dekomposisi menurut Dephut dalam Haneda (2012) adalah
penghancuran secara metabolik bahan organik dengan hasil sampingan
berupa energi, materi anorganik dan bahan organik lain yang lebih
sederhana. Menurut Parr dalam Hanafiah (2007), secara umum faktor-
faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi ini meliputi faktor bahan
organik dan faktor tanah. Faktor bahan organik meliputi komposisi
kimiawi, nisbah C/N, kadar lignin dan ukuran bahan, sedangkan faktor
tanah meliputi temperatur, kelembaban, tekstur, struktur dan suplai
oksigen, serta reaksi tanah, ketersediaan hara terutama N, P, K, dan S.

2.2 Bahan Organik


TanahSumber utama bahan organik tanah ialah jaringan tanaman,
baik yang berupa serasah atau sisa-sisa tanaan, yang setiap tahunnya dapat
tersedia dalam jumlah yang besar sekali. Batang dan akar tanaman
misalnya akan terombak oleh jasad-jasad renik dan akhirnya akan menjadi
komponen tanah, dengan demikian maka jaringan tanaman tingkat tinggi
itu merupakan makanan bagi berbagai jasad tanah. Secara kenyataannya
kadar bahan organik dalam tanah pada suatu tempat dan tempat lainnya
dalah berlainan atau cukup beragam (Sutedjo, 2005).Bahan organik
tersusun atas bahan-bahan yang sangat beraneka berupa zat yang ada
dalam jaringan tumbuhan dan hewan, sisa organik yang sedang menjalani
perombakan, hasil metabolisme mikroorganisme yang menggunakan sisa
organik sebagai sumber energi, hasil sintesis mikrobia berupa plasma sel
dan
zat-zat humus, dan sederet panjang derivat zat-zat tersebut yang
merupakan kesudahan kegiatan mikrobia (Notohadiprawiro, 2000).

2.3 Tinjauan tentang Kesuburan Tanah

2.3.1 Pengertian Kesuburan Tanah


Kesuburan tanah merupakan kemampuan atau kualitas suatu tanah
yang menyediakan unsur-unsur hara tanaman dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk senyawa yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman, dan dalam perimbangan yang sesuai untuk
pertumbuhan tanaman tertentu apabila suhu dan faktor-faktor pertumbuhan
lainnya mendukung pertumbuhan tanaman (Roidah, 2013). Kesuburan
tanah didefinisikan sebagai kualitas yang memungkinkan suatu tanah
untuk menyedikan unsur-unsur hara yang memadai, baik dalam jumlah
maupun imbangannya untuk pertumbuahan spesies tanaman bila
temperatur dan faktor lain mendukungnya (Foth, 1998).

8
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesuburan Tanah
Tanah memiliki kesuburan yang berbeda-beda tergantung faktor
pembentuk tanah yang merajai lokasi tersebut, yaitu : bahan induk, iklim,
relief, organisme, atau waktu. Tanah merupakan fokus utama dalam
pembahasan kesuburan tanah, sedangkan tanaman dan fauna merupakan
indikator utama kesuburan tanah (Yuwono, 2007).

2.3.2.1 Iklim
Iklim merupakan rerata cuaca pada jangka panjang, minimal
permusim atau per periode atau per tahun, dan seterusnya, sedangkan
cuaca adalah kondisi iklim pada suatu waktu berjangka pendek, misalnya
harian, mingguan bulanan, dan maksimal semusim atau seperiode. Jumlah
energi yang sampai ke permukaan bumi tergantung pada kondisi bumi atau
cuaca. Cuaca bertanggung jawab dalam mengubah energi matahari
menjadi energi mekanik menimbulkan gerakan udara atau angin yang
memicu proses penguapan ataupun evaporasi pada tanaman maka energi
panas ditransformasi oleh tanaman menjadi energi kimiawi melalui
mekanisme fotosintesis, yang kemudian akan digunakan oleh semua
makhluk hidup untuk aktivitasnya melalui mekanisme dekomposisi
(Hanafiah, 2007).

2.3.2.2 Pengaruh Curah Hujan


Curah hujan berkorelasi erat dengan pembentukan biomass (bahan
organik) tanah, karena air merupakan komponen utama tetanaman maka
kurangnya curah hujan akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya. Hal tersebut dapat mengakibatkan rendahnya BOT dan
N sehingga menhambat proses mineralisasi dalam proses dekomposisi
biomass (Hanafiah, 2007).

2.3.2.3 Pengaruh Temperatur


Tanah yang terbentuk pada temperatur tinggi (daerah arid) juga
berkadar biomass rendah tetapi matang (sparik) karena cepatnya proses
mineralisasi kimiawi terhadap sisa-sisa tanaman. Tanah-tanah yang
terbentuk pada daerah humid (temperatur sedang) akan mempunyai jenis
dan populasi mikrobia yang ideal, maka aktivitas biologisnya dalam
dekomposisi biomas juga akan ideal (Hanafiah, 2007).

2.3.2.4 Jasad Hidup


Diantara berbagai jasad hidup, vegetasi atau makroflora
merupakan yang paling berperan dalam mempengaruhi proses genesis dan
perkembangan profil tanah, karena merupakan sumber utama biomass atau
bahan organik tanah (BOT). BOT ini apabila terdekomposisi oleh
mikrobia heterotrofik akan menjadi sumber energi dan hara bagi mikrobia
sendiri, juga merupakan senyawa-senyawa organik dan anorganik
(Hanafiah, 2007).

9
2.4 Tinjauan tentang Bioindikator Tanah
Bioindikator tanah adalah sifat atau proses biologis dalam
komponen tanah dari suatu ekosistem yang menggambarkan kondisi
ekosistem sebagai suatu sebab tertentu. Indikator biologi memiliki
keunggulan dalam menilai ekologi tanah yang sehat karena dapat
digunakan untuk menilai status saat ini dan perubahan prosesnya pada
suatu rentang waktu, mampu mencerminkan struktur dan atau fungsi
proses ekologi dan respon terhadap perubahan kondisi tanah akibat praktek
pengelolaan lahan (Sarifuddin, 2004). Organisme tanah cukup baik
sebagai bioindikator tanah karena memiliki respon yang sensitip terhadap
praktek pengelolaan lahan dan iklim, berkorelasi baik terhadap sifat tanah
yang menguntungkan dan fungsi ekologis seperti penyimpanan air,
dekomposisi dan siklus hara, netralisasi bahan beracun dan penekanan
organisme patogen dan berbahaya (Sarifuddin, 2004). Organisme tanah
juga dapat menggambarkan rantai sebab-akibat yang menghubungkan
keputusan pengelolaan lahan terhadap produktivitas akhir dan kesehatan
tanaman
dan hewan (Doran dan Zeiss, 2000).
Fauna tanah memiliki keuntungan sebagai bioindikator tanah
karena satu atau dua tingkat lebih tinggi dalam rantai makanan, dimana
mereka berperan sebagai pemadu sifat kimia dan biologi yang
berhubungan dengan sumber makanannya (Sarifuddin, 2004). Kemudian
waktu regenerasinya lebih panjang (hari hingga tahun) dibanding mikrobia
metabolik aktif lainnya (jam hingga hari) sehingga membuat mereka lebih
stabil dan tidak mudah berfluktuasi akibat perubahan hara yang sesaat dan
tiba-tiba (Neher, 2001).

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keanekaragaman Fauna


Tanah
Keberadaan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yaitu faktor biotik dan faktor abiotik. Faktor lingkungan
abiotik yang mempengaruhi adalah faktor fisika antara lain tekstur tanah,
struktur tanah, dan faktor kimia antara lain pH, salinitas, kadar bahan
organik dan unsur mineral tanah. Sedangkan faktor biotik yang
mempengaruhi antara lain mikroflora dan tanaman. Tanaman dapat
meningkatkan kelembaban tanah dan sebagai penghasil seresah yang
disukai fauna tanah (Nusroh, 2007). Dijelaskan juga bahwa, Keragaman
fungsional dan aktivitas organisme tanah sangat dipengaruhi oleh faktor
biotik danabiotik setempat. Faktor biotik meliputi kondisi vegetasi,
sedangkan faktor abiotik meliputi kondisi iklimdan kondisi tanah,pola
penggunaan lahan merupakanbentuk interfensi manusia terhadap
keragaman fungsional dalam tanah (Breure dalam Widyati, 2013).

10
BAB III

PEMBAHASAN

Tingkat kerapatan mangrove berdasarkan stasiun sampling


dibedaan menjadi 3 katerogi yaitu : stasiun I dengan kategori rendah,
stasiun II dengan kategori sedang, dan kategori tinggi pada stasiun III.
Berdasarkan hasil yang didapat bahwa pada tingkat produksi serasah
mangrove paling tinggi adalah pada stasiun III hal ini dikarenakan bahwa
stasiun III memiliki tingkat kerapatan mangrove yang tinggi yaitu 81
pohon per 100 m2. Menurut Soedarti (2012) bahwa perbedaan hasil yang
sangat jelas membuktikan bahwa kerapatan pohon mangrove
mempengaruhi produksi serasah, semakin tinggi kerapatan pohon, maka
semakin tinggi pula produksi serasahnya. Begitu pula sebaliknya semakin
rendah kerapatan pohon mangrove maka semakin rendah produksi
serasahnya.
Produksi serasah dalam ekosistem memiliki kegunaan yang sangat
penting dikarenakan serasah yang didominasi oleh guguran daun akan
jatuh ke tanah mangrove dan akan terurai atau terdekomposisi secara
alami, dimana hasil dari dekomposisi tersebut dapat berguna untuk rantai
makanan dari ekosistem mangrove. Menurut Mahmudi (2010) bahwa
produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan
organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari
proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangatpenting dalam
pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem
laut dan estuari dalammenyokong kehidupan berbagai organisme akuatik.
Hal ini juga diperkuat oleh Siregar (2014) bahwa serasah yang masuk ke
perairan mengalami penguraian atau proses dekomposisi, serasah menjadi
senyawa organiksederhana dan menghasilkan hara, sehingga dapat
langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Peran serasah dalamproses
penyuburan tanah dan tanaman sangat tergantung pada laju produksi dan
laju dekomposisinya. Serasah mangrove yang jatuh ke dalam tanah
didominasi oleh guguran daun – daun dibandingkandengan ranting,
bunga atau buah dari mangrove, hal ini disebabkan karena massa jenis
daun yang lebih ringandibandingkan dengan ranting, buah dan bunga
dari mangrove yang menyebabkan mudah gugurnya daun mangrove ke
tanah. Menurut Soedarti (2011) bahwa komponen serasah daun
lebih sering jatuh dibandingkandengan komponen
serasah yang lain, dikarenakan bentuk dan ukuran daun yang lebar dan
tipis sehingga mudahdigugurkan oleh hembusan angin dan terpaan air
hujan.Serasah mangrove merupakan hal penting yang dapat digunakan
oleh ekosisten untuk menciptakansuatu rantai makan dimana hal ini
dimulai dari proses dekomposisi serasah mangrove, serasah mangrove
yangterdekomposisi kemudian akan digunakan oleh mikroorganisme yang
menggunakan serasah tersebut untukbahan makanan. Menurut Nurgaya
(2013) bahwa mangrove sebagai salah satu produsen pada kehidupan

11
perairantelah memberikan sumbangan yang sangat berarti

12
terhadap biota perairan, salah satunya sebagai penyuplai unsurhara untuk
pertumbuhan plankton Unsur hara yang dimaksud berupa daun-daun
kering, patahan-patahan rantingyang kemudian mengalami dekomposisi
serasah yang mengalami mineralisasi dan menghasilkan hara nantinya
dimanfaatkan oleh plankton sebagai bahan dalam proses fotosintesis.
Serasah mangrove merupakan sumber utama nutrisi dan bahan
organik ke sistem perairan pesisir Ngaet. al. (2006) dalam Nurgaya (2013).
Serasah pada suatu ekosistem mangrove setelah mengalami dekomposisi
sangat penting artinya untuk perikanan pantai karena ekosistem mangrove
menyediakan bahan makanan bagispesies ikan nantinya dijadikan tempat
berlindung larva ikan-ikan lokal Acosta et. al. (1999) dalam
Nurgaya(2013).Lingkungan yang mempengaruhi dari produksi dan laju
dekomposisi terdapat beberapa faktordiantaranya curah hujan dan
kecepatan angin, temperature, salinitas dan pH tanah, tekstur sedimen,
bahanorgani. Hal ini Menurut Siregar (2014) bahwa dekomposisi serasah
terjadi karena beberapa faktor seperti jenistanah, tingkat salinitas, pH
tanah, temperature lingkungan, kandungan dalam bahan tanaman dan lain-
lain.

Gambar 3.1 Magrove

13
BAB IV

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian produksi dan laju dekomposisi serasah


mangrove berdasarkan tingkat kerapatan di delta sungai wulan demak
Jawa Tengah dapat disimpulkan Sebagai berikut :

1. Jumlah produksi serasah mangrove berbeda pada wilayah


kerapatannya pada setiap stasiun memiliki nilai yang berbeda hal
ini diakibatkan oleh adanya pengaruh dari tingkat kerapatan.
Produksi serasah tertinggi berada pada Stasiun III dengan
kerapatan tinggi yaitu dengan 1276.85 gram, diikuti Stasiun II
dengan kerapatan sedang 837.94 gram dan Stasiun I dengan
kerapatan rendah 701.51 gram.
2. Laju dekomposisi serasah mangrove berbeda antar kerapatan. Pada
stasiun III dengan mangrove rapatsebesar 30.42%, diikuti stasiun I
dengan mangrove yang jarang sebesar 29.47% sama dengan stasiun
II dengan mangrove sedang sebanyak 29.45%.
3. Kerapatan pada mangrove mempengaruhi dari hasil produksi
serasah dan laju dekomposisi, dimanastasiun III dengan mangrove
rapat memiliki hasil produksi tertinggi dan terendah pada stasiun I
dengan mangrove yang jarang sedangkan pada laju dekomposisi
stasiun III mengalami dekomposisi tertinggi dan terendah tasiun I
dan II.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asthon, E. C. et al. 1999. Breakdown of Mangrove Leaf Litter in a


Managed Mangrove
Forest in Peninnsular Malaysia. In Hydrobiologia 413: 77-88 p.
Aprianis, Y. 2011. Produksi dan laju dekomposisi serasah Acacia
crassicarpa A.Cunn. di
PT. Arara Abadi. Jurnal Tekno Hutan Tanaman. 4 (1): 41 – 47 p.
Boonruang, P. 1984. The rate of degradation of mangrove leaves,
Rhizhophora apiculata bland Avicennia marina (forsk) vierh at
Phuket Island, Western Peninsula of Thailand. In Soepadmo, E.,
A.N. Rao and D.J. Macintosh. 1984. Proceedings of The Asian
Symposium on Mangrove Environment Research and
Management. University of Malaya and UNESCO. Kuala Lumpur.
200-208 p.
Handayani,T. 2004. Laju dekomposisi sersah mangrove Rhizophora
mucronata Lamk di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu Jakarta.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. Hanafiah, A.K. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Buku. PT
Rajagrafindo Persada. Jakarta.170-179 p
Lekatompessy, S. T. A. Dan Tutuhatunewa, A. 2010. Kajian konstruksi
model peredamgelombang dengan menggunakan mangrove di
Pesisir Lateri – Kota Ambon. Jurnal. ARIKA, 4(1). Lestarina, M.
P. 2011. Produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove dan
potensi kontribusi unsur hara di perairan mangrove Pulau Panjang
Banten. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pribadi, R. 1998. The ecology of mangrove vegetation in Bintuni Bay,
Irian Jaya, Indonesia. Departement of Biological and Molecular
Sciences University of Stirling. Scotland. Page 53-54 p. Sopana,
A.G. 2011.
Produktivitas serasah mangrove di Kawasan Wonorejo Pantai Timur
Surabaya. Universitas Airlangga. Surabaya. Sulistiyanto. 2005.
Laju dekomposisi dan pelepasan hara dari serasah pada dua sub
tipe hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika XI (2) :1-14 p. Syamsurisal. 2011. Studi beberapa indeks
komunitas makrozoobenthos di hutan mangrove Kelurahan
Coppo Kabupaten Barru. Skripsi. Universitas Hassanudin.
Makassar. Wibisana, Bambang Tresna. 2004. Produksi dan laju
dekomposisi serasah
mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Berau, Propinsi
Kalimantan Timur.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wulan, Praswati P.D.K., dkk. 2011. Penentuan rasio optimum C:N:P
sebagai nutrisi padaproses biodegradasi benzena-toluena dan
scale up kolom bioregenerator. FakultasTeknik. Universitas
Indonesia.

15
Depok. Zamroni, Yuliadi. 2008. Produksi Serasah Hutan
Mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. Jurna
BIODIVERSITAS 9 (4) : 284-287 p.

16
LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambar Wisata Magrove

17

Anda mungkin juga menyukai