Anda di halaman 1dari 14

HAMZAH FANSURI

1. Biografi Hamzah Fansuri


Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan
terkemuka yang diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Nama
gelar atau takhallus yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar
puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang
sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel. Sampai abad
ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari
negeri-negeri jauh.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Syeikh Hamzah Fansuri
lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak
dijumpai sampai sekarang. Walaupun demikian, sebuah teori yang dikemukakan oleh Karel A.
Steenbrink menyebutkan bahwa usaha untuk menemukan gambaran seorang tokoh dapat ditelusuri
melalui dua cara. Cara pertama melalui sumber intern, yaitu mencari informasi dari karya yang
ditulis tokoh itu sendiri. Cara yang kedua melalui sumber ekstern, yaitu mencari data dari cerita atau
tulisan keturunannya dan orang yang datang kemudian. Setelah ditelusuri dengan cara yang pertama,
yaitu dalam syair-syair Hamzah Fansuri ditemukan bahwa ia dilahirkan di kota Barus, kota yang
dinamai Fansur oleh orang Arab zaman dahulu. Itulah sebabnya, di belakang namanya disebut
“Fansuri”. Kota Barus atau Fansur, tempat yang diduga sebagai tempat kelahirannya itu, terletak di
pantai barat Sumatera Utara, di antara Singkel dan Sibolga. Dugaan Hamzah Fansuri berasal dari
Fansur berdasarkan pada sebuah syairnya:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi
Syair di atas memberi isyarat bahwa Hamzah Fansuri adalah murid Abd Al-Qadir Jailani,
dapat pula dikatakan bahwa ia adalah penganut Tarikat Qadiriyah. Tarikat Qadiriyah merupakan
nama tarikat yang diambil dari nama Pendirinya, yaitu Syaikh Abd al-Qadir Jailani15 (w. 561
H/1166 M). Hamzah Fansuri menerima tarikat ini ketika beliau menuntut ilmu di kota Baghdad,
pusat Penyebaran Tarikat Qadiriyah. Di kota inilah ia menerima baiat (bai’at16) dan Ijazah17 dari
tokoh sufi Qadiriyah untuk mengajarkan Tarikat Qadiriyah, bahkan Pernah diangkat menjadi
mursyid (pembimbing spiritual) dalam tarikat ini.
Dengan demikian, Hamzah Fansuri dapat dianggap sebagai orang Indonesia pertama yang
diketahui secara pasti menganut Tarikat Qadiriyah. Setelah mengembara ke berbagai pusat Islam
seperti Baghdad, Mekkah, Madinah dan Yerusalem, dia kembali ke tanah airnya serta
mengembangkan ajaran tasawuf sendiri.
Ajaran tasawuf yang dikembangkan Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi Pemikiran
wujudiyah Ibn al-Arabi, Sadrudin al-Qunawi dan Fakhrudin ‘Iraqi. Sedangkan karangan-karangan
syairnya banyak dipengaruhi Fariduddin al-Athar (w. 607 H/1220 M), Jalaludin Rumi (w. 672
H/1273 M) dan Abdur Rahman al-Jami (w. 898 H/1494 M).
Drewes berpendapat bahwa Hamzah Fansuri hidup sebelum masa Sultan Iskandar Muda dan
diperkirakan wafat pada akhir abad ke-16 M, yakni sekitar tahun 1590 M.26 Menurut Drewes bahwa
pada masa itu ajaran tasawuf yang berpengaruh di Aceh ialah ajaran martabat tujuh yang diajarkan
oleh Syamsuddin Pasai (w. 1040 H/1630 M), sedangkan Hamzah Fansuri tidak pernah mengajarkan
ajaran tasawuf martabat tujuh, dia mengajarkan ajaran tasawuf ajaran martabat lima. Ajaran martabat
tujuh berasal dari India yang merupakan penafsiran lebih lanjut terhadap ajaran wujudiyah Ibn al-
Arabi dan al-Jilli. Pendiri ajaran martabat tujuh adalah Muhammad Fadl Allah al-Burhanpuri29 (w.
1020 H/1620 M). Salah satu kitab karangan al-Burhanpuri yang berjudul al-Tuhfah al-Mursalah ila
Ruhal-Nabi, di tulis pada tahun 1590 M berisi ajaran martabat tujuh. Atas permohonan Syamsuddin
Pasai salinan kitab tersebut dikirim ke Aceh untuk dipelajari. Tidak lama sesudah sampai di Aceh
pada akhir abad ke-16 M, kitab ini disebarkan oleh Syamsuddin Pasai dan banyak masyarakat Aceh
yang mempelajarinya. Dengan demikian Syamsuddin Pasai sudah mengambil peran aktif di Kerajaan
Aceh sejak akhir abad ke-16 M atau awal abad ke-17 M, selama Kerajaan Aceh dibawah
pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah yang wafat pada tahun 1604 M.
Berdasarkan pengaruh kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi yang Luas di kalangan
ahli tasawuf di Aceh, Drewes mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri kemungkinan besar wafat
sebelum tahun 1590 M atau akhir abad ke-16 M, tahun penulisan kitab tersebut atau beberapa tahun
sesudahnya. Drewes Berpendapat bahwa pemimpin keruhanian di Kerajaan Aceh pada masa akhir
abad Ke-16 sampai awal abad ke-17 M ialah Syamsuddin Pasai. Nama Hamzah Fansuri Disebut
hanya sebagai tokoh terkemuka masa silam. Berdasarkan anggapan ini, Berarti Hamzah Fansuri
kemungkina sudah wafat pada akhir abad ke-16 M dan Pengaruh keruhaniannya telah digantikan
oleh muridnya sendiri yaitu Syamsuddin Pasai.
Pendapat Drewes di atas disanggah oleh Syed Muhammad Naguib al-Attas, Brakel, dan
Braginsky. Mereka mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri Hidup sampai masa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda, yaitu awal abad ke-17 M. Menurut al-Attas dan Brakel, walaupun ajaran martabat
tujuh berkembang Secara pesat pada akhir abad ke-16 M (tahun 1590 M) dan mendorong
Tersebarnya ajaran martabat tujuh tersebut tersebar luas di Aceh, hal itu tidak Berarti bahwa peranan
Hamzah Fansuri dan pengaruh ajaran tasawufnya Berkurang, apalagi menandakan bahwa dia sudah
wafat. Menurut al-Attas pada Dasarnya tidak ada perbedaan yang berarti dan penting antara ajaran
martabat Tujuh yang disebarkan oleh Syamsuddin Pasai dengan martabat lima yang Diajarkan
Hamzah Fansuri. Dua ajaran tasawuf ini, dalam banyak aspek tetap Berpedoman pada sumber
asalnya, yaitu ajaran Ibn al-‘Arabi maupun al-Jilli. Pendapat kedua ini setidaknya dapat lebih
diterima oleh akal dibandingkan dengan pendapat yang pertama.
Sebagai landasan untuk memperkuat argumennya. Al-Attas Mengemukakan beberapa alasan
tambahan. Ia mengambil bait terakhir syair Bahr Al-Nisā’, salah satu syair karya Hamzah Fansuri
untuk menyatakan pendapatnya Bahwa Hamzah Fansuri masih hidup pada awal abad ke-17 M,
setidaknya sampai Periode awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Hal ini dapat dilihat dalam
Syair Hamzah Fansuri sebagi berikut:

Hamba mengikat syair ini


Di bawah hadlarat raja wali

Syah Alam raja yang adil


Raja qutub sempurna kamil
Wali Allah sempurna wasil
Raja arif lagi mukamil

Bertambah daulat Syah ‘Alam


Mahkota pada sekalian ‘alam
Karunia Ilahi Rabb al-‘alam
Menjadi raja kedua ‘alam

Dalam dunya dan dalam akhirat


Karunia Allah akan hadarat
Dengan sempurna ‘ilmu dan marifat
Telah ma’lum kepada Johan Berdaulat

Berdasarkan syair di atas, al-Attas berpendapat bahwa kata “Syah Alam”, Mengarah kepada
Sultan Alaudin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil, yang tidak Lain adalah kakek dari Sultan Iskandar
Muda. Syair ini ditulis sebagai Persembahan kepada Sultan Alaudin Riayat Syah. Kemudian ditulis
ulang sebagai Persembahan kepada Sultan Iskandar Muda, sebagaimana diisyaratkan pada bait
Keempat syair di atas, dalam ungkapan “kepada Johan Berdaulat”, Johan Berdaulat yang disebutkan
dalam syair tersebut tidak lain adalah Sultan Iskandar Muda.
Senada dengan al-Attas, Braginsky berpendapat bahwa Hamzah Fansuri Hidup sampai masa
Sultan Iskandar Muda. Braginsky menyatakan bahwa Hamzah Fansuri melalui syairnya sering
mengkritik gaya hidup sufistik yang menyimpang Dikalangan masyarakat Aceh ataupun dalam
lingkungan Kerajaan Aceh yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Sebagai contoh,
banyak orang yang ingin menjadi sufi, pergi ke hutan-hutan untuk bertapa dengan harapan
memperoleh karamah36 dari Tuhan, sehingga mampu melakukan sesuatu di luar kebiasaan orang
pada umumnya, dan mendapatkan kekuatan supranatural dalam menghadapi hidup. Kemampuan
supranatural ini dapat meningkatkan status sosial seseorang dalam masyarakat.37 Dalam kalangan
istana Kerajaan Aceh, pemahaman terhadap ajaran dan pandangan hidup tasawuf terlihat dari
penamaan berbagai kelengkapan istana dengan istilah-istilah tasawuf. Istana sultan disebut Dār al-
Dunyā (kediaman dunia), tahta kerajaan disebut Dār al-Kamāl (kediaman sempurna), sebuah tempat
di Aceh Besar disebut Dār al-Shafā (kediaman suci), benteng disebut Kota Khalwat, sebuah pulau
disebut Pulau Rahmat, dan bahkan kapal kerajaan yang digunakan sultan untuk mengunjungi daerah
yang jauh dinamakan Mir’at al-Shafā (cermin kesucian), dan masih banyak lagi lainnya yang disebut
dengan nama-nama yang berhubungan dengan istilah tasawuf.
Kritikan Hamzah Fansuri dapat terlihat dari kutipan syair berikut:

Segala muda dan sopan


Segala tua beruban
‘uzlatnya berbulan-bulan
Mencari Tuhan ke dalam hutan

Segala menjadi Shūfi


Segala menjadi Syawqī
Segala menjadi Rūh
Gusar dan masam di atas bumi

Maksud dari kritikan Hamzah Fansuri dalam syair di atas, bukan membatasi orang untuk
menempuh jalan sufi, sebab itu bertentangan dengan apa yang diyakininya. Ia sangat tidak setuju
kalau jalan menuju pendekatan diri kepada Tuhan dilakukan dengan jalan yang salah dan tidak sesuai
dengan tuntunan syariat yang benar. Dalam Islam usaha untuk mencari Tuhan dan menjadi seorang
sufi tidak harus pergi ke hutan, usaha mendekatkan diri kepada Tuhan dapat dilakukan di mana saja
asal seseorang sanggup menjalani disiplin keruhanian dan ibadah dengan sungguh-sungguh.
Melihat berbagai pendapat dan syair-syair di atas, dapat disimpulkan bahwa Hamzah Fansuri
diperkirakan hidup antara akhir abad ke-16 M Hingga awal abad ke-17 M. Dengan perkiraan ini,
berarti Hamzah Fansuri hidup Pada masa Kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin
Riayat Syah Sayid al-Mukammil (1589-1604 M) sampai periode awal kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M). Jika benar Hamzah Fansuri wafat pada tahun 1630 atau 1636 M,
sebagaimana diduga oleh beberapa sarjana, berarti dapat pula Dipastikan bahwa ia mengalami masa
keemasan dan kejayaan pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam dan memberikan andil besar dalam
perkembangan pemikiran dan praktek keagamaan, khususnya tasawuf pada masa itu.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai
ilmu yang memakan waktu lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai
tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau
pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab.
Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fikih, tasawuf, falsafah,
mantiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai
dengan kemas seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, berkebolehan berbahasa
Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
2. Karya-karya Hamzah Fansuri
a) Karya Hamzah Fansuri tentang Tasawuf
Pengalaman kesufian yang diperoleh dari pengembaraan ke berbagai negeri dan
daerah di Nusantara memungkinkan Hamzah Fansuri menuangkan pengetahuan dan
pengalamannya dalam banyak karangan. Karangan Hamzah Fansuri terbagi menjadi dua
bentuk, yakni karya yang berbentuk prosa dan karya yang berbentuk syair. Saat ini ada tiga
risalah tasawuf dan tiga puluh dua kumpulan syair Hamzah Fansuri yang dianggap asli oleh
Abdul Hadi dan Drewes. Namun, masih ada kemungkinan karya Hamzah Fansuri yang belum
ditemukan dan tidak teridentifikasi. Karya-karya tersebut sempat dibakar di depan Masjid
Raya Aceh (Masjid Raya Baiturrahman) oleh Nuruddin al-Raniry dan murid-muridnya yang
tidak menyukai ajaran wujudiyah yang diajarkan Hamzah Fansuri.

b) Karya Hamzah Fansuri dalam Bentuk Prosa


Berkat usaha Doorenbos dan Syed Muhammad Naguib al-Attas, tiga karya prosa Hamzah
Fansuri sudah terkumpul dan ditransliterasi untuk kemudian diterbitkan. Ketiga karya prosa
yang dimaksud adalah
 Syarab al-Asyiqin (Minuman Orang Berahi)
Kandungan kitab Syarab al-Asyiqin dianggap sebagai kitab yang paling
“ringan” dibandingkan dengan dua kitab yang lainnya, karena kitab Syarab al-Asyiqin
merupakan petunjuk ringkas mengenai jalan-jalan kesufian dan cara mencapai
makrifat, mungkin mengikuti amalan tarikat Qadiriyah yang dianut Hamzah Fansuri.
 Asrar al-Arifin (Rahasia Ahli Makrifat)
Kitab kedua adalah Asrar al-Arifin atau judul lengkapnya Asrar al-‘Arifin fi
Bayan ‘Ilm al-Suluk wal-Tawhid yang mengandung ajaran wujudiyah. Kitab ini
merupakan karya Hamzah Fansuri yang terpanjang dan terunik sehingga diasumsikan
sebagai karya yang tidak ada tandingannya dalam khazanah Melayu. Kitab Asrar al-
Arifin dilengkapi lima belas bait syair disertai penjelasan baris demi baris sehingga
menjadi uraian metafisika atau onotologi wujudiyah yang sangat panjang dan rinci. Di
dalam karya ini, Hamzah Fansuri menerangkan bahwa hanya Tuhan yang-lah yang
mempunyai zat, dan zat itu tidak terpisah dengan sifat-Nya. Di antara sifat-Nya yang
disebut ialah Hayy (Hidup), ‘Ilm (Ilmu dan Pengetahuan), Murid (Berkehendak),
Qadir (Maha Kuasa), Kalam (Berkata), Sami (Maha Mendengar), Bashir (Maha
Melihat).
 Al-Muntahi (Orang yang Mahir atau Pakar)
Al-Munathi adalah karangan Hamzah Fansuri yang paling ringkas, padat, dan
mendalam. Risalah ini mempunyai dua versi yaitu Melayu dan Jawa. Menurut al-
Attas yang dikutip dari Zulkifli, risalah ketiga ini mengulas lima hal, yaitu (1) tentang
kejadian atau penciptaan alam semesta sebagai manifestasi Tuhan dan
kemahakuasaan-Nya, (2) tentang bagaimana Tuhan memanifestasikan diri-Nya, (3)
bagaimana alam semesta dipandang dari sudut pemikiran ahli makrifat, (4) mengenai
penyebab pertama atas segala kejadian, dan (5) bagaimana sesorang dapat kembali ke
asalnya. Nuruddin al-Raniry melancarkan serangan terhadap ajaran wujudiyah yang
dipelopori oleh Hamzah Fansuri. Serangan itu lebih banyak terarah pada kitab ini
yang salah satu naskahnya telah ditransliterasi dan diterbitkan oleh al-Attas dengan
terjemahannya dalam bahasa Inggris. Menurut Drewes, naskah ini tidak lengkap,
namun al-Attas dapat melengkapinya dengan terjemahan yang terdapat dalam kitab
versi bahasa Jawa.

c) Karya Hamzah Fansuri dalam Bentuk Syair


Drewes bersama dengan Brakel mengumpulkan 32 buah syair karya Hamzah Fansuri di
dalam bukunya yang berjudul The Poems of Hamzah Fansuri. Menurut Drewe, naskah syair
Hamzah Fansuri jumlahnya sedikit sekali. Hal ini mungkin terjadi karena syair-syair Hamzah
Fansuri telah habis dibakar Nuruddin al-Raniry pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Mungkin
juga disebabkan oleh sifat syairnya yang yang penuh dengan kata dan ungkapan Arab,
sehingga sulit untuk dipahami, hal itulah yang menyebabkan murid Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Pasai, memutuskan untuk menulis syarah (keterangan) tentang beberapa buah
syair Hamzah Fansuri yang disitilahkan oleh Syamsuddin Pasai dengan Ruba’i Hamzah
Fansuri.
Menurut Abdul Hadi, Hamzah Fansuri memiliki ciri yang khas untuk mengungkapkan
ide-ide tasawuf dalam syair-syairnya, yaitu :
1) Dilihat dari struktur lahirnya sajak Hamzah Fansuri ialah sajak empat baris
dengan skema akhir berpola A-A-A-A
2) Dilihat dari maknanya, syair-syair Hamzah Fansuri merupakan ungkapan perasaan
fana’, cinta Ilahi, kemabukan mistis, pengalaman batin yang diperoleh Hamzah
Fansuri dalam melakukan perjalanan kerohanian atau pengetahuan rohani tentang
ilmu tasawuf yang di dapat melalui tersingkapnya mata batin.
3) Terdapat banyak kutipan ayat-ayat mutasyabihar al-Qur’an di dalam syair-syair
tersebut dengan fungsi religius dan estetis.
4) Terdapat beberapa penanda kesufian seperti anak dagang, anak jamu, anak datu,
anak ratu, faqir, thalib, asyiq, dan lain-lain.
5) Di dalam syairnya ditemukan ungkapan-ungkapan dan citra-citra paradoks, suatu
hal yang biasa dalam kesusastraan sufistik.
6) Terdapat sejumlah baris syair Hamzah Fansuri yang memiliki kesamaan dengan
baris-baris syair sufi dari Parsi seperti ‘Iraqi Rumi, ‘Aththar, dan Jami.
7) Terdapat banyak kata yang berasal dari bahasa Arab dan sejumlah kata dari
bahasa Jawa di dalam syair-syairnya.
Karya Hamzah Fansuri yang berbentuk syair antara lain, yaitu:
 Syair Perahu
Syair ini membandingkan kehidupan manusia dengan sebuah perahu yang
berlayar di lautan yang sangat dalam. Dalam karya ini, Hamzah Fansuri
melambangkan kehidupan manusia saat ini bagaikan sebuah perahu yang sedang
berlayar di lautan. Pelayaran itu menuju ke sebuah alam lain dari kehidupan manusia.
Oleh sebab itu, diperlukan persiapan yang matang untuk menuju ke sana. Hal ini
dapat dilihat di dalam bait syairnya, yakni :
Wahai muda, kenali dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda arif Budiman


Hasilkan kemudi dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Itulah jalan membetuli insan

Dapat disimpulkan bahwa persiapan yang baik bagi sebuah pelayaran


diperlukan untuk menjamin keselamatan, agar sampai ke tujuan yang diinginkan,
yaitu tujuan yang akan menjadi tempat kembali yang kekal. Ilmu bagaikan kemudi
yang akan melahirkan sebuah pedoman hidup yang dapat dikerjakan dan dilaksanakan
manusia untuk memperbaiki dan menyempurnakan perilaku diri. Hanya diri yang
sempurna yang siap berlayar dengan perahu kehidupan yang akan mengarungi lautan
luas yang penuh dengan halangan dan cobaan.

 Syair Dagang
Syair dagang mengisahkan nasib seorang pedagang kecil yang mencari emas
di rantau orang, mengungkapkan berbagai kesengsaraan seorang anak yang hidup di
perantauan. Kary aini sedikit berbeda dari karya Hamzah Fansuri lainnya sehingga
memunculkan keraguan banyak sarjana terhadap syair dagang ini. Menurut Abdul
Hadi, keraguan tersebut disebabkan beberapa alasan. Pertama, terdapat beberapa kata
dari bahasa Minang yang tidak ada dalam karangan Hamzah Fansuri lainnya. Kedua,
isinya tidak mencerminkan karangan Hamzah Fansuri lainnya. Ketiga, dalam syair
dagang. Syair diposisikan sebagai pelipur lara. Bait-bait yang mengandung kata-kata
dari bahasa Minangkabau di dalam syair dagang antara lain :

Jikalau berjalan, ingatlah handai


Dengan orang kaya jangan sebanyak
Rupanya elok seperti mempelai
Rupanya kecik seperti sakai

Inilah karangan si tukar yang hina


Sambil mengarang berhati hiba
Utanglah banyak tiada terhingga
Tunggulah datang batimpo-timpo

Dalam dua bait syair tersebut, Hamzah Fansuri memposisikan dirinya sebagai
“anak dagang” yang mengalami penderitaan di tempat menuntut ilmu. Hal ini bisa
terjadi dalam kehidupan Hamzah Fansuri Ketika ia mengembara untuk menuntut
ilmu. Kelemahan dan kedangkalan isinya mingkin terjadi karena syair ini dikarang
sebelum Hamzah Fansuri “matang” secara spiritual dan pengetahuan, sehingga belum
mampu mengungkapkan keseluruhan pemikiran tasawufnya. Masuknya kata-kata dari
bahasa Minang, yaitu “sakai” dan “batimpo-timpo” dapat saja terjadi pada pencatatan
ulang syair-syair Hamzah Fansuri.

 Syair Bahr an-Nisa’


Syair ini mengumpamakan orang yang memasuki perkawinan seperti orang
yang berlayar di Bahr an-Nisa’ (lautan perempuan). Dengan kata lain, syair ini
mengatakan bahwa orang yang akan melangsungkan pernikahan perlu adanya
pedoman dari guru yang bijaksana dan perempuan yang dinikahi juga harus yang kuat
imannya. Berikut adalah beberapa bait syair Bahr an-Nisa’ :

Bahr al-Nisa’ yang sempurna ni’mat


Dalamnya lengkap dengan sekalian alat
Airnya bernama zamzam yang amat ladzat
Membuat cita hati dan fu’ad

Ombaknya nyala tiada akan padam


Gelombangnya sangat timbul tenggelam
Riaknya syadid mengguncang ‘alam
Banyaklah kapal di sana karam
al-Attas mengatakan bahwa syair ini merupakan karya Hamzah Fansuri,
karena didasarkan pada dua alasan. Pertama, makna konseptual dari tamsil laut di
dalam syair ini, memiliki persamaan dengan makna konseptual dari tamsil lait. Kedua,
struktur lahir serta gaya penulisan syair ini sama dengan syair-syair Hamzah Fansuri
lainnya. Abdul Hadi mengartikan pemakaian tamsil (perumpamaan) perempuan
dimaksudkan untuk menggambarkan rahasia keindahan Tuhan, yang harus disingkap
oleh para sufi melalui makrifat.

 Syair Burung Pingai


Syair Burung Pingai bercerita tentang burung Pingai sebagai simbol
Kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan. Di dalamnya, dijelaskan hakikat
Keberadaan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Dengan pendekatan Sufistik
tasawuf falsafi, syair ini mendeskripsikan bagaimana wujud makhluk Dalam
kebersatuannya dengan Tuhan sehingga Tuhan berada dalam Keseluruhan wujud
ciptaan-Nya. Hal ini terlihat dalam syair berikut:

Mazhar Allah akan rupanya


Asma Allah akan namanya
Malaikat akan tentaranya
Akulah wasil akan katanya

Sayapnya bernama furqan


Tubuhnya bersurat Qur’an
Kakiknya Hannan dan Mannan
Da’im bertengger di tangan Rahman

Ruh Allah akan nyawanya


Sirr Allah akan angganya
Nur Allah akan matanya
Nur Muhammad da’im sertanya

Pemikiran yang diungkapkan Hamzah Fansuri dalam syair di atas Tampaknya


mendapat pengaruh pemikiran wujudiyah Ibn al-‘Arabi. Dalam Karya-karya Hamzah
Fansuri sering terlihat pemikiran Ibn al-Arabi, sering pula terlihat pemikiran para sufi
periode awal, seperti Abu Yazid al-Bustami (w. 261 H/874 M), al-Hallaj, dan lainnya.

3. Pengaruh Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri


Doktrin wahdat al-wujūd dianggap sebagai salah satu doktrin tasawuf yang dipengaruhi oleh
filsafat dan berbagai sumber non-dogmatik lain.69 Doktrin wahdat al-wujūd adalah bagian dari
silsilah intelektual yang dikembangkan dari teks-teks Yunani, Persia, dan India yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab. Namun, sumber-sumber yang menggambarkan bahwa wahdat al-wujūd
bukan berasal dari ajaran Islam, biasanya berasal dari Orientalis Barat. Hal ini disebabkan karena
mereka mengidentikkan ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam, yaitu ajaran yang dibangun
berdasarkan hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial. Usaha mengidentikan Islam
dengan agama-agama atau pemikiran di luar Islam tidak sepenuhnya tepat. Karena ajaran Islam
sebagaimana diketahui bersumber pada wahyu al-Quran dan Sunah. Al-Quran merupakan sumber
yang bukan berasal dari produk pemikiran manusia, melainkan wahyu dari Allah Swt.
Bersamaan dengan itu, al-Quran dan Sunah terkadang tampil dalam format yang belum bisa
digunakan begitu saja dalam aplikasinya, sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan dikembangkan
operasionalisasinya oleh akal pikiran. hubungan inilah ajaran Islam dapat dimasuki, unsur pemikiran
yang pada hakikatnya bukan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian bagian dari ajaran Islam ada
yang bersifat ajaran normatif, yaitu yang bersumber pada al-Quran dan Sunah yang tidak akan
mengalami perubahan, dan ada juga yang bersifat non-normatif, yaitu bersumber pada akal pikiran
yang dapat dikembangkan bahkan bisa berubah.
Doktrin wahdat al-wujūd dianggap sebagai salah satu doktrin tasawuf yang dipengaruhi oleh
filsafat dan berbagai sumber non-dogmatik lain.69 Doktrin wahdat al-wujūd adalah bagian dari
silsilah intelektual yang dikembangkan dari teks-teks Yunani, Persia, dan India yang diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab.
Namun, sumber-sumber yang menggambarkan bahwa wahdat al-wujūd bukan berasal dari
ajaran Islam, biasanya berasal dari Orientalis Barat. Hal ini disebabkan karena mereka
mengidentikkan ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam, yaitu ajaran yang dibangun berdasarkan
hasil pemikiran logika yang dipengaruhi oleh situasi sosial. Usaha mengidentikan Islam dengan
agama-agama atau pemikiran di luar Islam tidak sepenuhnya tepat. Karena ajaran Islam sebagaimana
diketahui bersumber pada wahyu al-Quran dan Sunah. Al-Quran merupakan sumber yang bukan
berasal dari produk pemikiran manusia, melainkan wahyu dari Allah Swt.
Bersamaan dengan itu, al-Quran dan Sunah terkadang tampil dalam format yang belum bisa
digunakan begitu saja dalam aplikasinya, sebelum terlebih dahulu dijabarkan dan dikembangkan
operasionalisasinya oleh akal pikiran.

Dalam hubungan inilah ajaran Islam dapat dimasuki, unsur pemikiran yang pada hakikatnya
bukan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian bagian dari ajaran Islam ada yang bersifat ajaran
normatif, yaitu yang bersumber pada al-Quran dan Sunah yang tidak akan mengalami perubahan,
dan ada juga yang bersifat non-normatif, yaitu bersumber pada akal pikiran yang dapat
dikembangkan bahkan bisa berubah.
Doktrin wahdat al-wujūd juga mempunyai hubungan dengan tipe mistisisme Islam yang
dapat ditemukan dalam studi-studi mistik oleh Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj. Pengaruh
terbesar datang dari Ibn al-Arabi, terutama di dalam kitabnya yang berjudul Futūhat al-Makiyyah dan
Fusūsal-Hikam. Doktrin wahdat al-wujūd Ibn al-‘Arabi sangat populer pada akhir abad ke-16 dan
awal abad ke-17 M di berbagai daerah, khususnya Aceh. Pemikiran wahdah al-wujūd ini telah
mendominasi pemikiran dan penghayatan keagamaan dalam kalangan masyarakat umum, terutama
karena ajaran itu telah dianut dan disebarkan pertama kali oleh pemuka tasawuf Aceh yang sangat
dihormati, yaitu Hamzah Fansuri.
Pada pertengahan abad ke-17 M di Aceh, setelah wafatnya Hamzah Fansuri, ajaran
wujudiyah ini pernah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama sufi. Selain karena adanya
faktor sosial dan politik saat itu yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih,
kontroversi seputar ajaran wujudiyah ini juga diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menafsirkan
ajaran tasawuf tersebut. Demikian sengitnya kontroversi, hingga mengakibatkan terjadinya sebuah
tragedi di Aceh, yakni pembakaran karya-karya mistis Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang
memuat ajaran wujudiyah, oleh Nuruddin al-Raniry (w. 1068 H/1658 M) dan para pengikutnya, serta
pengejaran dan pembunuhan terhadap mereka yang tidak mau menanggalkan ajaran tersebut.
Pengaruh ajaran tasawuf Hamzah Fansuri cukup luas bukan hanya di Aceh, tapi juga di wilayah-
wilayah lain di Nusantara.
Di Jawa, misalnya, karya-karya Hamzah Fansuri disebarkan hingga ke Banten, Cirebon,
Pajang, Mataram, dan bahkan pengaruh Hamzah Fansuri sampai ke Buton-Sulawesi Tenggara, lewat
dua karyanya, yaitu Syarāb al-‘Āsyiqīn dan Asrār al-‘Ārifīn. Keberadaan dua naskah itu di Buton
merupakan indikasi bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri ada yang mempelajarinya di daerah itu.
Sejak abad ke-17 M, mistik dan ajaran wahdat al-wujūd yang ada di Jawa, terwujud dalam bentuk
manunggaling kawulo gusti (menyatunya manusia dengan Tuhan), yang diajarkan oleh Syaikh Siti
Jenar, dalam berbagai bentuk tetap hadir dalam sejarah agama Islam di Jawa. Pada akhir abad ke- 17
M naskah Syarāb al-‘Āsyiqīn diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa bersamaan dengan tersebarnya
paham wujudiyah di pulau Jawa.
Naskah ini dijumpai di Banten, tepatnya di dalam perpustakaan pribadi Sultan Abu al-
Mahasin Zayn al-‘Abidin raja Banten dari tahun 1690-1733 M. Sultan ini adalah seorang pecinta
tasawuf dan murid dari seorang sufi terkemuka yang berasal dari Makassar, bernama Syaikh Yusuf
al-Makasari (w. 1114 H/1699 M). Melalui karya tulis Syarāb al-‘Āsyiqīn, dan karya lainnya, ajaran
tasawuf Hamzah Fansuri pun dikenal oleh kaum muslim di Nusantara. Hamzah Fansuri adalah
seorang penganut mazhab tasawuf falsafi yaitu, wahdat al-wujūd atau wujudiyah.
Keyakinannya itu terungkap baik dalam prosa maupun syair-syair beliau. Kitab keagamaan
Melayu pada masa Hamzah Fansuri memang berkembang pesat, seiring dengan penyebaran agama
Islam di seluruh kepulauan Nusantara dan pendirian berbagai kerajaan Melayu-Islam di beberapa
tempat, yaitu di Pasai, Malaka, dan Aceh. Kitab keagamaan jenis ini berisi yurisprudensi, doktrin,
mistisisme dan sebagainya. Dalam hal ini, Hamzah Fansuri adalah salah seorang penulis kitab
keagamaan yang termasyhur dan sejajar dengan Abdul Samad al-Palimbani77 (w. 1203 H/1788 M),
dan Syaikh Muhammad Nafis78 (w. 1225 H/1812 M). Kajian yang telah dilakukan oleh banyak ahli
yang meneliti tentang Hamzah Fansuri, mengemukakan bahwa Hamzah Fansuri merupakan orang
pertama di Nusantara yang menulis pemikiran tasawufnya dalam bentuk yang sistematis dan berakar
pada studi keilmuan yang kuat. Dari karya Hamzah Fansuri yang ada saat ini, dapat dilihat gaya
penulisan ilmu tasawuf yang kemudian memiliki karakter yang khas, berbeda dengan sufi Islam lain
yang hidup pada masa sebelumnya. Meskipun masih terlihat pengaruh kuat dari pemikiran wahdat
al-wujūd Ibn al-Arabi, namun Hamzah Fansuri mampu mentransformasikan istilah tasawuf dalam
bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu, sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat yang tidak
mampu berbahasa Arab. Hamzah Fansuri sendiri dalam pengantar kitabnya, Syarāb al-‘Āsyiqīn,
mengatakan bahwa ia sengaja menulis syairnya dalam bahasa Arab-Melayu agar masyarakat yang
tidak mengerti bahasa Arab maupun Parsi dapat mempelajari ilmu tasawuf.

Apa yang telah dilakukan Hamzah Fansuri ini tidak hanya dapat dipandang sebagai sebuah
usaha untuk menyebarkan pemikiran tentang tasawuf saja, melainkan juga sebagai langkah awal
lahirnya sastra melayu, khusunya dalam bidang prosa dan syair. Hamzah Fansuri membawa dan
mengembangkan pemikiran tasawuf falsafi yang berbeda dengan yang sebelumnya di Nusantara.
Dia merupakan orang pertama yang memunculkan tasawuf falsafi di Nusantara yang bersih
dan murni dari penyimpangan, bahkan seakan-akan sempurna dalam rujukannya terhadap sumber-
sumber Arab.Lebih jauh lagi apa yang telah dilakukan oleh Hamzah Fansuri dengan karya-karyanya
memberikan konsep-konsep teknis yang baru dalam bahasa Melayu, ia telah membuat bahasa
tersebut memadai sepenuhnya untuk membahas doktrin-doktrin filosofis dan metafisis yang sangat
mendalam yang telah diformulasikan oleh para sufi terdahulu.

4. Pandangan Tasawuf Hamzah Fansuri


Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dikategorikan dalam arus pemikiran sufistik
keagamaan yang sama. Keduanya merupakan tokoh utama penafsiran sufisme wahdat al-wujud yang
bersifat sufistik-filosofis. Secara khusus ia dipengaruhi oleh Ibn „Arabi dan al-Jilli.11 Gagasan
monistik Hamzah Fansuri diperluas dan membentuk inti pokok ajaran dan tulisan Syamsuddin al-
Sumaterani yang menjadi Syaikh al-Islam, selama masa pemerintahan Iskandar Muda. Hamzah
sendiri semula masuk anggota tarekat Qadiriyah di Arabiya yang kemudian diikuti oleh banyak
sarjana di Melayu-Indonesia. Hamzah Fansuri langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran para sufi
Arab dan Persia lainnya yaitu Abu Yazid al-Busthami, Mansur al-Hallaj, Fariduddin „Attar, Junayd
al-Baghdadi, Ahmad al-Ghazali, Jalal al-Din al-Rumi, al-Maghribi, Mahmud Shabistari, al-„Iraqi
dan al-Jami. Di antara mereka alBusthami dan al-Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah Fansuri
dalam hal cinta (‘isyq) dan ma’rifat. Ia juga sering mengutip pernyataan dan syair-syair Ibn „Arabi
dan al-„Iraqi untuk menopang pemikiran tasawufnya.
Pokok pemikiran Hamzah yang paling dikenal adalah wujudiyah. Wujudiyah adalah suatu
paham tasawuf yang berasal dari paham wahdah al-wujud Ibnu „Arabi yang memandang bahwa
alam adalah penampakan (tajalli) Tuhan, yang berarti bahwa yang ada hanya satu wujud, yaitu wujud
Tuhan, yang diciptakan Tuhan (termasuk alam dan segala isinya) pada hakekatnya tidak mempunyai
wujud. Paham ini mendapat tantangan keras dari Nuruddin Ar-Raniry karena menurutnya membawa
kepada pemahaman bahwa alam sama dengan Tuhan (pantheisme).
Hamzah Fansuri dipandang sebagai kaum sufi wujudiyah (gagasan panteistik tentang Tuhan)
yang berbeda dengan kaum sufi ortodoks dan praktik sufistik kaum muslim umumnya. Gagasan
sufistik Hamzah Fansuri lebih menekankan pada sifat imanensi Tuhan dalam makhluk-Nya daripada
sifat transendensi-Nya. Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkaskan sebagai berikut:
1. Pada hakekatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan zat dan wujud alam
2. Tajalli alam dari zat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad yang pada
hakekatnya adalah Nur Tuhan.
3. Nur Muhammad adalah sumber segala khalq Allah (ciptaan Tuhan ), yang pada hakekatnya
khalq Allah itu juga zat dan wujud Allah.
4. Manusia sebagai mikrokosmos harus berusaha mencapai kebersamaan dengan Tuhan dengan
jalan tark al-dunya, yaitu menghilangkan keterikatannya dengan dunia dan meningkatkan
kerinduan kepada mati.
5. Usaha manusia tersebut harus dipimpin oleh guru yang berilmu sempurna
6. Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan Tuhan adalah manusia yang telah
mencapai ma’rifat yang sebenar-benarnya, yang telah berhasil mencapai taraf ketiadaan diri
(fana’ fi Allah).
Konsep-konsep seperti itulah yang membuat lawan-lawan Hamzah Fansuri menuduhnya dan
pengikutnya sebagai kaum panteis, dan karenanya telah menyimpang dan sesat dari Islam yang
sebenarnya. Oleh karena itu ajaran dan doktrin Hamzah Fansuri sering dianggap sebagai ajaran
sufistik bid’ah atau sesat (heterodoks) yang bertentangan dengan ajaran dan doktrin kaum sufi sunni
(ortodoks). Terdapat asumsi bahwa Islam sufistik terutama wujudiyah Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumaterani tidak hanya tersebar di lingkungan istana Aceh, tetapi juga berkembang
di berbagai daerah Nusantara.
Doktrin dan praktik sufistik-filosofis wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat oposisi kuat dari
Nur al-Din Muhammad bin „Ali bin Hasanji alHumaidi al-„Aidarusi, yang lebih dikenal dengan al-
Raniri (w.1068H/1658M). Ayahnya seorang keturunan Hadramaut dan ibunya seorang perempuan
Melayu. Walaupun dia dilahirkan di Ranir, India, tapi dia dianggap sebagai seorang „alim Melayu-
Indonesia. Dia pun mencapai puncak kariernya di Kerajaan Aceh Darussalam.
Nur al-Din al-Raniri datang di Aceh pada 6 Muharram 1407H/31 Mei 1637M,19 pada masa
pemerintahan Iskandar Tsani (1637-1641). Dia ditunjuk oleh Sultan untuk menduduki posisi
keagamaan tertinggi sebagai syaikh al-Islam di bawah kekuasaan Sultan sendiri. Untuk
memantapkan kedudukannya di istana kesultanan Aceh, dia mulai menyatakan perlawanannya yang
kuat terhadap paham wujudiyah. Dalam pandangan al-Raniri Islam di wilayah ini telah dirusak oleh
paham sufisme wujudiyah sehingga ia sering berdebat dengan penganut ajaran Hamzah Fansuri dan
al-Sumaterani di hadapan Sultan. Di bawah pengaruh alRaniri Sultan berkali-kali memerintahkan
para pengikut faham wujudiyah untuk bertaubat, namun usaha Sultan tidak berhasil.
Al-Raniry menolak ajaran dan ide-ide Hamzah Fansuri yang dipandangnya sesat atau bid’ah.
Dia mengajukan beberapa bukti untuk mencap Hamzah sesat atau menyimpang sebagai berikut:
1. Ide-ide Hamzah yang menganggap Tuhan, alam, manusia dan hubungan di antara ketiganya
adalah identik dengan pemikiran para filosof, orangorang Zoroaster, ajaran inkarnasi, dan
Brahmana Hindu.
2. Ajaran Hamzah adalah panteis dalam pengertian bahwa esensi Tuhan adalah imanen secara
sempurna dalam alam, bahwa Tuhan melebur dalam sesuatu yang tampak
3. Sebagaimana para filosof, Hamzah percaya bahwa adalah wujud (being) yang sederhana
(simple)
4. Hamzah, seperti kaum qadariyah dan mu‟tazilah, yakin bahwa al-Quran itu diciptakan
(makhluk)
5. Hamzah juga percaya, sebagaimana filosof, akan kekekalan alam.
Sejumlah tulisan penting karya al-Raniri dicurahkan sepenuhnya pada polemik ini dan menolak apa
yang dipandangnya sebagai tulisan-tulisan syirik Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Di antara karya
al-Raniri adalah Jawahir al- ‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum yang di dalamnya ditegaskan secara jelas
posisi alRaniry dan sebuah kritik tajam terhadap ajaran-ajaran pendahulunya. Al-Raniri memusatkan
perhatiannya untuk menegakkan suatu kerangka referensi dalam tulisannya yang dapat dipandang
sebagai ortodoks. Dalam tulisan-tulisannya Al-Raniri mengidentifikasi sumber-sumber tertulis
penting yang digunakan oleh Hamzah Fansuri dan pengikutnya. Di antara karya tertulis yang
mempengaruhi pemikiran Hamzah adalah Fushush al-Hikam karya Muhyi al-Din Ibn „Arabi, Syarh
al-Miskat al-Futuhat karya „Abd al-Karim al-Jilli, dan tulisan-tulisan Muhammad Fadl Allah al-
Burhanpuri. Selain itu, alRaniry juga menceritakan secara metodologis beberapa pernyataan inti
yang dibuat dalam sumber-sumber mereka, dan menunjukkan bagaimana Hamzah telah salah
menafsirkan sumber-sumber ini.
Sebenarnya al-Raniri tidak menentang semua bentuk penafsiran doktrin wahdat al-wujud. Dia
membedakan doktrin ini menjadi dua macam, yaitu wujudiyyah mulhid dan wujudiyyah muwahhid.
wujudiyyah mulhid yaitu kesatuan wujud ateistik yang dipandang sebagai ajaran sufisme yag bathil.
wujudiyyah muwahhid yaitu kesatuan wujud unitarianistik yang dipandangnya ajaran sufisme yang
baik dan benar. Dalam beberapa karyanya al-Raniri dengan terus terang menuduh penganut
wujudiyyah mulhid telah berbuat syirik sehingga dia menganjurkan kepada sultan agar para pengikut
sufisme wujudiyyah dihukum dan buku-bukunya dibakar.
Dalam karyanya Tibyan fi Ma’rifati al-Adyan al-Raniry menulis dalam Bahasa Melayu yang
sangat kental sebagai berikut: “Maka tatkala zahirlah qaum wujudiyyah yang zindiq mulhid lagi
sesat daripada murid Syamsuddin al-Sumattrani yang sesat...” Al-Raniry menambahkan “... serta
kata mereka itu: Bahwasanya Allah ta‟ala diri kami wujud kami, dan kami dariNya dan wujudNya”.
Kata al-Raniry, “...Maka telah kukarang pada membatalkan kata mereka itu yang salah dan i‟tiqad
mereka itu yang sia-sia itu suatu risalah pada menyatakan da‟wah bayang-bayang dengan empunya
bayangbayang... dan kukatakan pada mereka itu bahwasanya kamu mendakwah diri kamu ketuhanan
seperti da‟wah fir‟aun katanya: Akulah Tuhan kamu yang maha tinggi, tetapi bahwasanya adalah
kamu kaum yang kafir”. Maka masamlah muka mereka itu, serta ditundukkan mereka itulah
kepalanya, dan adalah mereka itu musyrik, maka memberi fatwalah segala Islam atas kufur mereka
itu dan akan membunuh dia... Dan setengah daripada mereka itu memberi fatwa akan kufur dirinya
maka setengahnya taubat dan setengahnya tidak mau taubat. Dan setengah daripada mereka itu yang
taubat itu murtad pula ia, kembali ia kepada i‟tiqadnya yang dahulu itu jua”.
Dalam bukunya ini al-Raniry tidak menyebut secara terus terang nama Hamzah al-Fansuri
tetapi ia hanya menyebut murid Syamsuddin al-Sumattrani. Dari sini juga dapat diketahui bahwa al-
Raniry tidak begitu sukses dalam menghancurkan semua golongan yang difonishnya kufur itu. Ia
katakan sendiri sebagian bertaubat dan sebagian menentang, dan sebagian yang lain sesudah
bertaubat kembali lagi kepada ajaran Syamsuddin al-Sumatrani.
Al-Raniri berada dalam kekuasaan selama lebih kurang tujuh tahun saat para pengikut
wujudiyyah mulhid menerima berbagai bentuk hukuman berat. Dia mampu mempertahankan
dukungan istana Aceh sampai 1054H/1644M dan kembali ke kota kelahirannya di Ranir secara
mendadak.
Al-Raniry berada di Aceh hingga tahun 1644, sekitar lebih kurang tiga tahun setelah
Iskandar Tsani wafat. Baik di masa Iskandar Tsani maupun di masa Sultanah Tsafiatuddin ia selalu
menempati posisi penting menjadi pendamping sultan dalam bidang agama. Masa Iskandar Tsani
posisi al-Raniry tampak begitu penting dengan dukungan Sultan terhadap keputusan al-Raniry
menentang dan membakar karya-karya Syamsuddin al-Sumatrani dan Hamzah Fansuri dalam sebuah
upacara di depan masjid Baiturrahman.
Al-Raniry kembali ke negara asalnya Ranir Gujarat dengan tiba-tiba sehingga karya besar
Bustanul Salatin belum selesai ditulisnya. Hal ini dicatat oleh salah seorang muridnya dalam kolofon
karya al-Raniry, jawahir al-„Ulum fi Kasyf al-Ma‟lum sebagai berikut:
Maka kitab ini selesai dikarang pada hari Senin, waktu zhuhur, 20 Zulhijjah 1076...kitab ini
telah dikarang pengarangnya dari awal sampai akhir bab kelima. Setelah selesai bagian ini
datanglah takdir yang tak dapat ditolak. Ia berlayar (kembali) ke tanah airnya Ranir pada
tahun 1054H, dan menyuruh salah seorang muridnya untuk menyelesaikannya.
Kejadian ini menarik perhatian di kalangan penulis sejarah Aceh di mana diketahui bahwa
Sultanah safiatuddin masih menghargainya dan masih mempercayakan jabatan penting kepadanya.
Salah seorang sarjana Jepang bernama Takeshi Ito membuat tanda tanya pada judul sebuah karangan
singkatnya Why did Nuruddin al-Raniry Leave Aceh in 1054H?. Ia mengungkapkan sebuah catatan
yang dijumpainya berupa diary dari seorang pembesar perniagaan Belanda bernama Pieter Sourij,
yang pernah menjadi Komisaris Kompeni Hindia Timur ke Jambi dan Aceh dalam tahun 1643.
Catatan tersebut disimpan dalam Algemeene Rijksarchief Belanda di Den Haag bertanggal 8 Agustus
1643. Dalam catatan itu lebih kurang disebutkan ada seorang ulama yang baru datang dari Surat
(India) setiap hari membuka pembahasan dalam menghadapi serangan Nuruddin alRaniry yang telah
mencap pahamnya sesat, yang telah dilontarkan oleh tokoh baru ini di masa sikap al-Raniry tersebut
didukung oleh Sultan Iskandar Tsani, tapi rupanya tidak lagi didukung oleh isterinya Sultanah
Safiatuddin. Ulama baru itu sudah banyak mendapat pengikut sehingga pengaruh al-Raniry mulai
menurun.
Pada tanggal 22 Agustus 1643 majelis orang-orang besar dan para bentara telah mengajukan
permohonan kepada Ratu Tsafiatuddin supaya menyelesaikan pertikaian antara dua ulama besar
tersebut, tapi sultanah menjawab bahwa ia tidak berwenang bahkan ia tidak memahami soal-soal
pelik keagamaan. Sultanah menyerahkan persoalannya supaya ditangani oleh Ulee Balang,
nampaknya ada juga efek bagi kelancaran perdagangan. Pada tanggal 27 agustus 1643 dicatat lagi
bahwa ulama besar yang baru dan pribumi itu bernama Suffel Rajal (Baca Saiful Rijal), telah
diterima menghadap oleh Ratu Safiatuddin dengan penuh kehormatan, yang sekaligus berakibat
menurunnya pamor dari kedudukan tertinggi keagamaan yang selama ini diduduki oleh Syekh
Nuruddin al-Raniry. Ito menunjukkan dari catatan Pieter Sourij bahwa setelah dua setengah tahun
pemerintahun Ratu Safiatuddin muncullah dari pengikut-pengikut Syamsuddin seorang
Minangkabau yang baru datang dari Surat, dan dengan serta merta menghunjamkan serangan balasan
terhadap lawannya.
Reaksi radikal al-Raniri terhadap ajaran al-Fansuri dan pengikutnya tidak hanya terbatas pada
masalah reaksi ortodoks terhadap sufisme filosofis yang tidak ortodoks, tetapi lebih dari itu doktrin
wujudiyyah mendapat reaksi dari banyak ulama Timur Tengah dengan cara yang lebih ketat
sehingga lebih sesuai dengan pandangan syariat. Kecenderungan radikal al-Raniri sangat dipengaruhi
oleh afiliasinya dengan tarekat „Aidarusiyah. Tarekat ini didukung oleh para ulama „Aidarus yang
secara umum sangat berorientasi pada syariat. Tarekat ini dengan akar Arabnya sangat kuat dikenal
sebagai salah satu tarekat yang paling ortodoks. Tarekat ini bersikukuh pada keharmonisan antara
ajaran dan pengalaman sufistik serta ketundukan total terhadap syariat. Selain itu, tarekat ini juga
dikenal dengan sikapnya yang non asketis dan aktivis.
Ulama lain yang mendominasi Kesultanan Aceh selama paruh terakhir abad ke-17 adalah
„Abd al-Rauf bin „Ali al-Fansuri al-Sinkili (1024-1105H/1615- 1693M), lebih dikenal dengan „Abd
al-Rauf al-Sinkili. Al-Sinkili berbeda dengan al-Raniri dalam menegakkan keharmonisan antara
haqiqah dan syariat. Al-Raniri cenderung bersikap radikal dalam menghadapi ajaran dan doktrin
wujudiyyah Hamzah Fansuri, sedangkan al-Sinkili merupakan tipe ulama yang moderat, pendamai,
dan menjauhi sikap-sikap radikal. Dia lebih memilih untuk merekonsiliasi berbagai pandangan yang
berbeda daripada melawannya. Ini dapat dilihat dalam pandangan-pandangannya terhadap
wujudiyyah yang lebih bersifat tersirat daripada tersurat, begitu juga sikapnya yang tidak suka
dengan sikap alRaniri yang radikal ditunjukkan dengan cara yang tidak terlalu eksplisit. Tanpa
menyebut nama al-Raniry, al-Sinkili secara arif mengingatkan kaum muslim dalam bukunya Daqaiq
al-Huruf tentang bahaya menuduh orang lain kafir dengan menyebut sebuah hadits Nabi Muhammad
sebagai berikut: “Tidak boleh seorang muslim menuduh muslim lain kafir, sebab tuduhan itu bisa
berbalik kepadanya jika tidak benar”.
Sebagaimana disebutkan di atas para sarjana dan peneliti menaruh perhatian yang besar
terhadap catatan sejarah mengenai pertentangan ar-Raniry terhadap ajaran tasawuf Hamzah Fansuri.
Selain sarjana tersebut di atas, ada dua sarjana lain yang mencoba analisa mengenai latar belakang
sanggahan ar-Raniry terhadap ajaran Hamzah Fansuri yaitu Syed Muhammad Naquib al-Attas dan
Drewes.
Menurut al-Attas ar-Raniry mempunyai motivasi yang murni untuk mencapai politik bukan
untuk pembaharuan agama. Sebagai bukti ar-Raniry sering memutarbalikkan ajaran al-Fansuri atau
dia sendiri salah mengerti terhadap ajaran tersebut, tapi walaupun demikian al-Attas tidak menuduh
ar-Raniry menyalahgunakan ajaran al-Fansuri walaupun dengan menunjuk murid-muridmya yang
mendistorsi ajaran-ajaran Hamzah Fansuri.
Menurut al-Attas ada ketidakjujuran ar-Raniry terbukti ia masuk ke istana Aceh setelah
meninggalnya Syamsuddin al-Sumatrani dan ia mencari kekurangankekurangan lawannya. Ar-
Raniry memasuki istana Aceh pada saat pemerintahan Iskandar Tsani. Al-Attas menagatakn ar-
Raniry tidak cukup pintar dalam bahasa Melayu dan karena itu ia tidak cukup memiliki kemampuan
dalam memahami halhal yan bersifat mistik dan bahasa yang berlawanan (paradoksial).
Sedangkan Drewes menginterpretasikan penolakan al-Raniry dari perspektif interminus keagamaan
dan perkembangan politik di Mughal, India. Drewes mengikuti penulis pendahulu lainnya seperti
A.H. John yang menganggap al-Raniry melakukan tindakan represif sebagai konsekuensi
perkembangan di India walaupun tidak berhubungan langsung. Drewes menyatakan bahwa
perkembangan sebelumnya di Aceh dihubungkan dengan tokoh Hamzah alFansuri dapat mewakili
transmisi doktrin sufi wujudiyah yang merupakan doktrin agama spiritual di India sebelum Ahmad
Sirhindi.
Al-Attas dan Drewes melakukan pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan sejarah
(historical approach) yang mendeskripsikan kondisi sosial di Aceh. Kontroversial dipahami sebagai
motif dan tendensi politis. Dalam kajian teks keduanya melakukan pendekatan filologi yang tersebar
di berbagai negara untuk mendapatkan teks yang akurat sesuai naskah aslinya. Hasil kajian teks ini
tidak mengalami perbedaan yang berarti antara kajian yang dilakukan al-Attas dan Drewes. Namun
demikian terdapat kelebihan kajian Drewes dibandingkan alAttas yaitu dalam sisi kontinuitas
pemikiran seorang tokoh, di mana ia mampu menarik benang merah antara pemikiran wujudiyah
yang menjadi trend di Aceh sebelum al-Raniry dengan pemikiran Ahmad Sirhindi di India, sehingga
dalam kajiannya terlihat adanya interplay antara pemikiran al-Raniry dan pemikiran Ahmad Sirhindi.
Dari berbagai catatan sejarah yang ditemukan oleh para sarjana dapat ditarik benang merah
bahwa kedatangan al-Raniry ke istana Aceh dan keluar dari istana Aceh ada hubungannya dengan
situasi politik yang terjadi di Aceh, begitu juga sanggahannya terhadap paham wujudiyah Hamzah
Fansuri sangat erat kaitannya dengan politik dalam rangka memperebutkan perhatian sultan Aceh,
terbukti ketika datang ulama lain yang bernama Saiful Rijal ke dalam pemerintahan Aceh, al-Raniry
keluar dari Aceh secara tiba-tiba sehingga menjadi tanda tanya besar dari masyarakat ketika itu.

5. Kesimpulan
Syeikh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, dan budayawan
terkemuka yang lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di
tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Dari berbagai pendapat dan syair-syair yang ada, dapat
disimpulkan bahwa Hamzah Fansuri diperkirakan hidup antara akhir abad ke-16 M Hingga awal
abad ke-17 M.
Karya-karya hamzah fansuri tentang tasawuf terdiri dalam bentuk prosa dan bentuk syair.
Saat ini ada tiga risalah tasawuf dan tiga puluh dua kumpulan syair Hamzah Fansuri yang dianggap
asli oleh Abdul Hadi dan Drewes. Namun, masih ada kemungkinan karya Hamzah Fansuri yang
belum ditemukan dan tidak teridentifikasi. Karya-karya tersebut sempat dibakar di depan Masjid
Raya Aceh (Masjid Raya Baiturrahman) oleh Nuruddin al-Raniry dan murid-muridnya yang tidak
menyukai ajaran wujudiyah yang diajarkan Hamzah Fansuri.

Anda mungkin juga menyukai