Skabies - Firman Sandiyah Budi
Skabies - Firman Sandiyah Budi
DISUSUN OLEH:
Firman Sandiyah Budi Cardi XC064202003
RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Firyal Maulia
DOSEN PEMBIMBING:
dr. Asvina Anis Anwar, Sp.DV
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Refarat:
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SKABIES
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Konsulen, Pembimbing,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................2
2.1 Definisi..............................................................................................2
2.2 Epidemiologi.....................................................................................2
2.3 Etiopatogenesis..................................................................................3
2.4 Gambaran Klinis ...............................................................................6
2.5 Diagnosis ..........................................................................................6
2.6 Diagnosis Banding...........................................................................11
2.7 Tatalaksana......................................................................................16
2.8 Prognosis.........................................................................................18
BAB III KESIMPULAN..............................................................................19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
kesalahan diagnosis dapat menyebabkan wabah, morbiditas, dan peningkatan
beban ekonomi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Nama sarcoptes scabiei berasal dari bahasa Yunani yaitu "sarx" yang
berarti daging dan "koptein" yang berarti memotong, dan bahasa Latin
"scabere" yang berarti menggaruk. Skabies adalah infestasi dan sensitasi
ektoparasit. Skabies atau dikenal juga dengan kudis adalah penyakit kulit
yang disebabkan oleh infeksi kutu Sarcoptes scabiei varietas hominis. 1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Skabies merupakan masalah di seluruh dunia yang mempengaruhi
semua usia, ras, dan tingkat sosial ekonomi.4 Prevalensi skabies di seluruh
dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun. 1 Anak-anak dan orang tua
sangat rentan terinfeksi terhadap skabies dan komplikasi sekunder dari
infestasi. Tingkat infestasi tertinggi terjadi di negara-negara dengan iklim
tropis yang panas, terutama di masyarakat dengan penduduk yang padat dan
angka kemiskinan tinggi, dan akses pengobatan terbatas.6
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain sosial
ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual bersifat
promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik serta
ekologik.3 Wabah skabies di negara-negara industri dapat terjadi secara
sporadis atau sebagai wabah institusional di sekolah, panti jompo, fasilitas
perawatan akut jangka panjang, rumah sakit, penjara, dan area kepadatan
penduduk. Rute penularan dapat melalui puing-puing tungau yang terdapat
pada seprei, lantai, tirai jendela, dan tempat duduk yang telah terkontaminasi
oleh pasien skabies.4 Beberapa orang dengan gangguan sistem imun, lanjut
usia, cacat, atau lemah memiliki risiko terkena skabies parah yang disebut
skabies berkrusta, atau skabies Norwegia.
2
2.3 ETIOPATOGENESIS
Sarcoptes scabei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarima, super family Sarcoptes, penemunya adalah seorang ahli biologi
Diacinto Cestoni (1637-1718). Pada manusia disebut Sarcoptes scabei var.
hominis yang merupakan tungau khusus berkaki delapan yang menyebabkan
skabies pada manusia. Selain itu, terdapat S. scabei yang lain, misalnya
tungau Sarcoptes yang menyebabkan infestasi pada hewan (misalnya S.
scabiei var. canis pada anjing, kambing dan babi) dan bukanlah sumber
infestasi pada manusia, tetapi mereka dapat menghasilkan reaksi gigitan.3,8
Secara morfologi merupakan tungau kecil berbentuk seperti mutiara,
tembus cahaya, putih, tidak bermata, dan berbentuk lonjong dengan 4 pasang
kaki pendek yang gemuk.4 Tungau skabies berukuran 0,35 × 0,3 mm dan
terlalu kecil untuk dilihat dengan mata telanjang, tungau tidak bisa terbang
atau melompat.8 Tungau betina dewasa berukuran 0,4 × 0,3 mm dengan
tungau jantan sedikit berukuran lebih kecil. Bentuk dewasa mempunyai 4
pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang
kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada yang jantan
pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan
alat perekat.3
Siklus hidup tungau scabies yaitu setelah kopulasi (perkawinan) yang
terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat
hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina.
Tungau betina, dengan kombinasi gerakan mengunyah dan pergerakan tubuh
mampu menggali liang landai 0,5-5 mm/hari di stratum korneum sampai
batas stratum granulosum. Sepanjang jalur ini, yang panjangnya bisa 1 cm, ia
bertelur dari 0 hingga 4 telur sehari atau hingga 50 telur selama rentang
hidupnya selama 30 hari. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan
lamanya di dalam epidermis. Telur menetas dalam 10 sampai 12 hari dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki lalu meninggalkan liang untuk
3
matur di permukaan kulit. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan, tetapi
dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva berganti kulit, mereka menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Tungau
jantan hidup di permukaan kulit dan memasuki liang untuk berkembang biak.
Seluruh siklus hidup tungau dimulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-12 hari.3,4
4
menetap. Individu yang terinfeksi skabies asimtomatik tidak jarang, dan
mereka dapat dianggap sebagai “pembawa”.7,8
Scabies sangat menular, transmisi melalui kontak langsung dari kulit
ke kulit, dan tidak langsung melalui berbagai benda yang terkontaminasi
(seprei, sarung bantal, handuk dsb). Tungau scabies dapat hidup di luar tubuh
manusia selama 24-36 jam. Tungau dapat ditransmisi melalui kontak seksual,
walaupun menggunakan kondom, karena kontak melalui kulit di luar
kondom. Kelainan kulit dapat tidak hanya disebabkan oleh tungau scabies,
tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi
disebabkan oleh sensitasi terhadap sekreta dan eksreta tungau memerlukan
waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu, kelainan kulit
menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-
lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi
sekunder.3
Sensitivitas alergi terhadap tungau atau produknya tampaknya
memainkan peran penting dalam menentukan perkembangan lesi selain liang
yang terbentuk dan dalam menghasilkan pruritus pada pasien. Namun, urutan
kejadian imunologis skabies tidak jelas dan membutuhkan penjelasan lebih
lanjut. Bukti menunjukkan bahwa hipersensitivitas tipe langsung dan tipe
lambat terlibat.1
5
hanya dapat diamati pada sebagian kecil kasus terjadi. Distribusi khas dari
tanda-tanda infestasi meliputi: daerah antara jari, pergelangan tangan, aksila,
selangkangan, bokong, alat kelamin, dan payudara pada wanita.10
Skabies nodular merupakan skabies yang berbentuk nodular bila
lama tidak mendapat terapi, sering terjadi pada bayi dan anak di telapak
tangan, telapak kaki dan kepala (wajah, leher dan kulit kepala), atau pada
pasien imunokompromais.3 Sedangkan skabies berkrusta atau skabies
norwegia melibatkan infestasi berat dengan ratusan hingga jutaan dari tungau
yang ditandai dengan lesi kulit hiperkeratosis, eritematosa, dan plak krusta
kuning kecoklatan pada daerah tangan, kaki, kuku yang distrofik, serta
skuama yang generalisata dan Lesi bentuk psoriasis atau verukosa mungkin
juga dapat terlihat. Tidak seperti skabies klasik, Bentuk ini sangat menular,
tetapi rasa gatalnya sangat sedikit.11,12 Jumlah tungau yang sangat tinggi dari
skabies berkrusta dapat memicu wabah nosokomial.12 Penyakit ini terdapat
pada pasien yang mengalami reterdasi mental, kelemahan fisis, gangguan
imunologik dan psikosis atau umumnya pada mereka yang mengalami
imunokompremais karena di dasari penyakit atau obatnya.3
2.6 DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis penderita dengan penyakit skabies
dibutuhkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dibutuhkan minimal 2 dari 4 cardinal sign penyakit skabies yaitu: 3
1. Adanya rasa gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturnal).
2. Penyakit ini mnyerang manusia secara kelompok sehingga terdapat
riwayat sakit serupa dalam satu rumah/kontak.
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat predileksi yang berbentuk
garis lurus atau berkelok berwarna putih atau abu-abu, rata-rata
sepanjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel.
Jika timbul infeksi sekunder ruam kulit menjadi polimorf (pustul,
ekskoriasi, dan lain-lain)
4. Ditemukannya satu atau lebih stadium tungau dan kotorannya melalui
pemeriksaan mikroskopik.
6
2.6.1 Anamnesis
Keluhan utama yang perlu ditanyakan kepada pasien yang
dicurigai menderita skabies yaitu rasa gatal. Perlu ditanyakan dimana
lokasi awal dari gatal tersebut dan apakah gatal menyebar ke tempat lain.
Tungau skabies biasanya menyerang pada daerah dengan stratum korneum
yang tipis seperti di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar,
siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mame (perempuan),
umbilikus, bokong, genitalia eksterna (laki-laki) dan perut bagian
belakang. Pada bayi, dapat menyerang telapak tangan, telapak kaki, wajah
dan kepala. Perlu ditanyakan apakah gatal tersebut dirasakan sepanjang
hari atau hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Biasanya penderita dengan
skabies merasakan gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturnal)
karena aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan
panas.3 Tanyakan lama waktu menderita gatal tersebut. Biasanya rasa gatal
terjadi 3-4 minggu pasca terinfeksi tungau scabies. 4 Penting untuk
ditanyakan lokasi tempat tinggal pasien apakah tinggal di asrama,
pondokan, panti asuhan, ataupun di tempat dengan banyak penghuninya.
Hal ini dikarenakan penularan skabies terjadi sangat cepat dalam
lingkungan yang padat, melalui kontak secara langsung maupun tidak
langsung. Kontak secara langsung dapat terjadi melalui jabat tangan, tidur
bersama, ataupun melalui hubungan seksual, sedangkan kontak tidak
langsung terjadi melalui benda yang telah terkontaminasi oleh tungau
skabies seperti handuk, seprei, bantal, pakaian, dll. Tanyakan apakah
anggota keluarga atau teman-teman disekitarnya mengalami keluhan yang
sama, karena penyakit ini menyerang sekelompok orang.3
Hal penting yang perlu ditanyakan terkait riwayat penyakit
penderita. Tanyakan apakah penyakit ini baru pertama kali dialami atau
sudah pernah dialami sebelumnya. Tujuannya adalah untuk menentukan
kasus infeksi primer atau reinfeksi. Karena gejala dapat timbul dalam 4-6
hari karena telah ada reaksi sensitisasi sebelumnya. Bisa ditanyakan
riwayat pengobatan yang telah digunakan untuk atasi 9 keluhan saat ini;
7
jenis obat, durasi penggunaan, lokasi pemakaian obat, keteraturan
pemakaian obat, serta ada tidaknya perbaikan keluhan pasca diberikan
pengobatan tersebut. Riwayat penyakit kulit lain yang sedang diderita oleh
pasien juga perlu ditanyakan. Hal ini penting untuk menyingkirkan
penyebab rasa gatal oleh sebab lain dan menentukan tingkat keparahan
penyakit kulit. Riwayat alergi juga perlu ditanyakan untuk mengetahui ada
tidaknya stigmata atopi. Riwayat mencuci tangan setelah beraktivitas serta
tata cara menjaga kebersihan juga dapat ditanyakan karena penyakit ini
suka menyerang di tempat-tempat dengan higenitas yang buruk. Hal-hal
yang dapat memperberat dan memperingan penyakit juga penting untuk
ditanyakan.
8
Gambar 2. Tempat predileksi penyakit skabies. Lokasi tersering
adalah di pergelangan tangan dan alat kelamin, serta daerah
bokong.4
9
Gambar 5. Skabies pada putting dan areola mammae11
10
Gambar 7. Hasil pemeriksaan dermoskopi pada penderita
skabies.4
11
Sebuah pendapat menyatakan bahwa penyakit skabies merupakan the
greatest imitator, karena dapat menyerupai banyak penyakit kulit dengan
keluhan gatal. Sebagai diagnosis banding ialah kontak alergi, dermatitis
atopic, dan pioderma.3,14
2.7.1. Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi terjadi akibat sensitisasi terhadap suatu
bahan penyebab/alergen. Pasien umumnya mengeluh gatal. Kelainan
kulit yang timbul bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi
dermatitisnya. Pada stadium akut dimulai dengan bercak eritematosa
berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau
bula. Pada dermatitis kontak alergi kronis terlihat kering berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, berbatas tidak tegas.15
12
Gambar 11. Vesikel multipel dan bula dengan pola mengikuti pola
gambar tato hena, di atas makula eritematus dengan batas tidak jelas.17
Gambar 12. Papula, vesikel, dan erosi yang khas terlihat pada
dermatitis atopik pada tanngan.18
13
Gambar 13. Gatal pada bayi dengan dermatitis atopik.18
2.7.3. Pioderma
Pioderma merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus, atau oleh kedua-duanya. Pioderma terbagi
atas pioderma primer dan sekunder. Pada pioderma primer, infeksi terjadi
pada kulit yang normal. Biasanya disebabkan oleh satu macam
mikroorganisme. Pada pioderma sekunder, pada kulit telah ada penyakit
kulit lain.3 Gambaran klinisnya tidak khas dan mengikuti penyakit yang
telah ada. Penyakit kulit disertai dengan pioderma sekunder disebut
impetigenisata. Tanda impetigenisata ialah jika terdapat pus, pustul, bula
14
purulen, krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah
bening regional, leukositosis, dapat pula disertai demam.19
2.8 TATALAKSANA
2.8.1. Tatalaksana non medikamentosa
15
Penatalaksanaan non medikamentosa pada skabies meliputi edukasi
kepada pasien tentang penyakit scabies, perjalanan penyakit, penularan,
cara eradikasi tungau scabies, menjaga kebersihan pribadi, dan tata cara
pengolesan obat yang benar.3
Pada pasien scabies, pengobatan topikal diberikan pada seluruh
bagian dari kulit tanpa terkecuali, terutama pada sela jari tangan dan kaki,
celah bokong, pusar, dan di bawah kuku jari tangan dan kaki. Pengobatan
topikal sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur, hindari
menyentuh mata dan mulut dengan tangan, rutin mencuci tangan dan
mengganti pakaian, handuk, sprei yang digunakan bila perlu direndam
dengan menggunakan air panas, hindari penggunaan pakaian, handuk,
sprei bersama anggota keluarga serumah.20
Skabies dapat dicegah dengan menghindari kontak kulit langsung
dengan orang yang terinfeksi atau dengan barang-barang seperti pakaian
atau tempat tidur yang digunakan oleh orang yang terinfeksi. Pengobatan
skabies biasanya direkomendasikan untuk anggota keluarga atau orang
serumah, terutama bagi mereka yang telah lama melakukan kontak kulit-
ke-kulit. Semua anggota keluarga atau orang serumah yang berpotensi
terpapar harus diperlakukan pada waktu yang sama dengan orang yang
terinfeksi untuk mencegah kemungkinan paparan ulang dan infeksi
ulang.5,21
2.8.2.Tatalaksana Medikamentosa
2.8.2.1. Terapi Topikal (Scabisid)
Scabisid topikal memiliki efek neurotoksik pada tungau. Terapi
topical ini diberikan malam hari pada seluruh permukaan tubuh, khususnya
pada sela jari tangan dan kaki, celah bokong, pusar, dan di bawah kuku jari
tangan dan kaki. Beberapa jenis obat topikal yang digunakan pada
pengobatan scabies, yaitu:
1) Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, merupakan terapi lini pertama
untuk scabies. Permetrin adalah piretroid sintetik neurotoksik yang
16
efektif terhadap telur, kutu, dan tungau. Permetrin mepengaruhi
transpor natrium membran saraf pada artropoda, sehingga
menyebabkan depolarisasi. Pengaplikasian preparat ini dilakukan
hanya sekali, dan dibersihkan dengan mandi setelah 8-10 jam, lalu
pengobatan diulangi setelah seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi di
bawah umur 2 bulan.3, 22, 23
2) Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam
bentuk salap atau krim. Preparat ini memiliki beberapa kekurangan
yaitu berbau dan mengotori pakaian serta kadang-kadang
menimbulkan iritasi. Diberikan selama 3 hari berturut-turut selama 8
jam karena preparat ini tidak efektif terhadap stadium telur. Efikasi
dan toksisitas belerang endap ini belum dievaluasi dalam beberapa
tahun terakhir, namun menjadi pilihan paling aman untuk neonatuss
dan wanita hamil.1,3
3) Emulsi benzil-benzoas (20-25%). Preparat ini efektif terhadap semua
stadium, dengan aturan penggunaan diberikan setiap malam selama 3
hari, dibersihkan setelah 24 jam. Obat ini sulit diperoleh, sering
memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal dan panas setelah
dipakai.1,3
4) Gama benzena heksa klorida (gemeksan = gammexane) kadarnya 1 %
dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap
semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini
tidak dianjurkan pada anak di bawah 6 tahun dan ibu hamil karena
toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali
jika masih ada gejala, diulangi seminggu kemudian.1,3
5) Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal; harus
dijauhkan dari mata, mulut dan uretra. Digunakan selama 8 jam pada
hari 1, 2, 3, dan 8.1,4
17
2.8.2.2. Terapi Oral
1) Ivermectin
Ivermectin adalah agen anti-helmintik yang berasal dari kelas senyawa
yang dikenal sebagai avermectin. Menurut CDC, pengobatan dengan
ivermectin (200 μg/kg) per oral merupakan terapi pilihan jika pengobatan
dengan permethrin topical tidak berhasil. Dosis yang dianjurkan untuk scabies
pada pasien > 2 tahun dan BB > 15 kg adalah 200 μg/kg/hari dibagi dalam 2
dosis, dengan pengulangan dosis 1 kali setelah 7-14 hari setelah dosis pertama.
Pada tipe skabies berkrusta, dianjurkan terapi kombinasi ivermectin oral
dengan agen topikal seperti permethrin, karena kandungan terapi oral saja tidak
dapat berpenetrasi pada area kulit yang mengalami hiperkeratosis.4,5,24
Sebelumnya, ivermectin telah disetujui sejak tahun 1996 oleh FDA
untuk pengobatan penyakit akibat parasit, yaitu onchocerciasis, strongyloides,
dan saat ini juga digunakan untuk filariasis. Beberapa literatur telah
menyebutkan bahwa ivermectin dapat mengganggu neurotransmisi asam γ–
aminobutirat pada parasit termasuk tungau. Namun, obat ini masih belum
diizinkan untuk digunakan sebagai terapi skabies pada sebagian besar negara,
termasuk Indonesia. Obat ini bekerja pada sinpas saraf, sedangkan sawar darah
otak belum sepenuhnya berkembang pada anak kecil, sehingga obat ini tidak
direkomendasikan pada anak dengan berat kurang dari 15 kg atau pada wanita
hamil atau menyusui.1,4
2) Antihistamin
Antihistamin diberikan dengan tujuan untuk mengurangi rasa gatal yang
timbul akibat proses alergi terhadap skabies dan untuk mengurangi gejala
nokturnal pruritus pada pasien skabies. Antihistamin adalah zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan
memblok reseptor histamin. Antihistamin berbeda-beda dalam lama kerja serta
dalam derajat efek sedatif dan antimuskarinik. Pada pasien skabies dengan
keluhan gatal terutama pada malam hari hingga pasien kesulitan untuk tidur,
keluhan ini kemudian dapat ditatalaksana dengan pemberian Cetirizine dosis 5-
18
10 mg/hari pada malam hari, diminum bersama makanan dengan masa kerja
12-24jam.3, 25, 26
2.9 PROGNOSIS
Prognosis dari pasien dengan diagnosis skabies tergolong baik,
dengan catatan pasien perlu memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian
obat, serta syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, antara
lain higiene, serta semua orang yang berkontak erat dengan pasien harus
diobati.3
BAB 3
KESIMPULAN
19
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan gejala klinik utama yang
dialami pasien yaitu adanya pruritus nokturna, menyerang sekelompok orang,
adanya terowongan, serta ditemukan skabies pada pemeriksaan mikroskopik.
Untuk mengatasi penyakit tersebut diperlukan penatalaksanaan secara non
medikamentosa dan medikamentosa.
Untuk tatalaksana non medikamentosa kita dapat memberikan edukasi
kepada pasien untuk menjaga higenitas tubuh dan lingkungan, serta menghindari
penggunaan barang bersama dengan orang lain. Untuk tatalaksana medikamentosa
dapat diberikan terapi topikal untuk membasmi parasit dan terapi sistemik untuk
atasi rasa gatal.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Kurniawan. Diagnosis dan Terapi Skabies. Cermin Dunia Kedokteran.
2020;47(2):104.
2. Mutiara H, Syailindra F, Parasitologi B, Kedokteran F, Lampung U. Infeksi
Pada Skabies Melalui Jalur Kulit. J Kedokt Unila. 2016;5(April):37-42.
3. Boerdiardja, S.A., & Handoko, R. P. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7 ed.
Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016.
4. Wheat C, Burkhart C, Cohen B. Fitzpatrick's Dermatology. 9 Ed. New York:
McGrawHill Education, 2019
5. CDC. About Scabies. Centers for Disease Control and Prevention.
https://www.cdc.gov/parasites/scabies/epi.html
6. World Health Organization. Scabies. 2021.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/scabies
7. James W.D., Elston D.M., 2011. Andrews' Diseases of the Skin: Clinical
Dermatology. 11th ed. Saunders/Elsevier; London UK
8. Meinking TL BC. Infestations. In: Jean L, Bolognia, Joseph L, Jorizzo,
Ronald P. Rapini eds. Dermatology 2008.
9. Sánchez-Borges M, González-Aveledo L, Capriles-Hulett A, Caballero-
Fonseca F. Scabies, crusted (Norwegian) scabies and the diagnosis of mite
sensitisation. Allergol Immunopathol (Madr). 2018;46(3):276–80
10. Chandler DJ, Fuller LC. A Review of Scabies: An Infestation More than Skin
Deep. Dermatology. 2019;235(2):79–80
11. Scabies Prevention and Control Guidelines for Healthcare Settings [Internet].
revised ju. 2019. Available from:
http://publichealth.lacounty.gov/acd/Diseases/Scabies.htm
12. Palaniappan V, Gopinath H, Kaliaperumal K. Crusted Scabies. Am J Trop
Med Hyg [Internet]. 2021 Mar 3;104(3):787–8. Available from:
https://www.ajtmh.org/view/journals/tpmd/104/3/article-p787.xml
13. Anderson KL, Strowd LC. Epidemiology, Diagnosis, and Treatment of
Scabies in a Dermatology Office. J Am Board Fam Med. 2017 Jan
02;30(1):78-84
21
14. Kurniawan M, Ling MSS, Franklind. Diagnos dan Terapi Skabies. Jurnal
Cermin Dunia Kedokteran Jurnal. 2020; 47(2): 283-104
15. Soebaryo RW. & Sularsito SA. Dermatitis Kontak. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 7. Menaldi SLSW, Bramono K, & Indriatmi W. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2018. 20-157 p.
16. Yusuf RS, Qurratuaini BPA, Hidajat D. Efek Hand Hygiene Terhadap
Dermatitis Tangan. Jurnal Kedokteran Unram. 2021; 10(2): 480-486 p.
17. Jake, E Turrentine; Sheehan, Michael P; Jr, Ponciano D Cruz. Allergic
Contact Dermatitis. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th Ed. Mc Graw Hill
education. 2019. 24-395 p.
18. Simpson EL, Leung DYM, Eichen_eld LF, Boguniewicz M. Atopic
Dermatitis. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th Ed. Mc Graw Hill education.
2019. 24-363 p.
19. Djuanda, A. Pioderma. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Menaldi
SLSW, Bramono K, & Indriatmi W. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2018. 9-71 p.
20. Mutiara, H. & Syailindra, F. Skabies. Majority J. 2016;5 : 37 – 42
21. Gilson R, Crane J. Scabies. StatPearls Publishing; Treasure Island (FL): July
18, 2021
22. Khalil S, Abbas O, Kibbi AG, Kurban M. Scabies in the age of increasing
drug resistance. PLoS Negl Trop Dis. 2017;11(11):e0005920.
23. Nanda J, Juergens AL. Permethrin. [Updated 2021 Jul 30]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553150/
24. Salavastru CM, Chosidow O, Boffa MJ, Janier M, Tiplica GS. European
guideline for the management of scabies. J Eur Acad Dermatol Venereol.
2017;31(8):1248–1253.
25. Kumarayanti NKD, Hapsari Y, Kusuma DR. Penatalaksanaan Skabies
Dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga Pada Pasien Dewasa. Jurnal
Kedokteran Unram. 2020; 9(2): 220-228 p
22
26. Dewoto HR. Histamin dan Antialergi. Farmakologi dan Terapi Edisi 6.
Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdy, Instiaty. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. 17-278 p.
23