Anda di halaman 1dari 4

Menelisik Seni Marawis di Tasikmalaya

Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi Tugas untuk

Mata Kuliah Seni Budaya

Disusun Oleh :

Nama : Sidqi Muhammad Fauzi


NIM : 2203010371

UNIVERSITAS PERJUANGAN TASIKMALAYA


JL. Pos No.177 Kota Tasikmalaya, Kode Pos 46115

2023
Menelisik Seni Marawis di Tasikmalaya

Di antara perkembangan kesenian kasidah rebana dan nasyid, kesenian marawis mungkin
belum begitu populer di Tasikmalaya. Kesenian ini kini mulai berkembang di kecamatan
Manonjaya, Leuwisari dan Ciawi. Di Kota Tasikmalaya sendiri, kelompok marawis masih
bisa dihitung dengan jari, di antara yang eksistensinya mulai muncul ke permukaan adalah
kelompok marawis Cintapada, Kecamatan Cibeureum. Bagi sekelompok anak muda, kaum
santri sarungan di Mts dan MA Mathlaulkhair Cintapada,  bermain marawis tidaklah
sekedar memainkan alat musik. Marawis hadir dengan kreativitas baru yang berpadu
dengan sentuhan kesenian lokal, baik dalam proses kreatifnya, maupun fungsi
pementasannya.

Di Cintapada, sebuah konfigurasi tarian payung geulis bisa berpadu dengan alunan
shalawat diiringi tabuhan marawis. Menurut pembina kelompok nasyid Cintapada, Iip
Syamsul Borelak, kelompoknya juga pernah berkolaborasi dengan seni tradional beluk dari
Sanggar Candralijaya, Cikeusal. Kolaborasi ini memenangkan Festival Seni Unggulan
Wilayah IV Jabar tahun 2008 sebagai juara ke-3. Kelompok yang berdiri tahun 2005 ini
memang baru pentas di beberapa kota saja, di antaranya di Tasikmalaya, Ciamis, Garut dan
Bandung. Jika tarian samroh yang identik dengan marawis diganti dengan tarian payung
geulis, beberapa shalawat yang dilantunkan pun sebagian besar diambil dari puji-pujian
dari kitab al-Barjanji. “Kami mencoba memberi sentuhan kesenian lokal khas Tasikmalaya
pada kesenian marawis”, imbuh Iip. Kelompok marawis Mathlaulkhair yang kini
digawangi Akik dan Billah (vokal), Teja (kompang), Abdussukur (hajir), Anton (tamtam),
Nurul Huda (cymbal/kecrek), serta Ihab, Otong, Acep Rouf dan Agus (marwas) ini, juga
menjadikan marawis sebagai bentuk lain prosesi upacara adat pada wisuda ataupun
perkawinan. Berkolaborasi dengan tarian payung geulis dan genjring marawis,
pertujukannya juga dilengkapi dengan dua lengser, lengser Sunda (emang lengser) dan
lengser sunan (uwa lengser) dengan pakaian jubah ala sunan. Mungkin dengan cara seperti
ini perlahan-lahan kesenian marawis mulai mendapat tempat di dalam dan diluar pesantren.
Di antara tarik-menarik penafsiran atas seni musik di pesantren-pesantren salafiyah,
marawis rupanya mulai dilirik sebagai salah satu kesenian yang positif untuk media
ekspresi para santrinya.
Bagi Akik dan Teja, misalnya, bermain marawis merupakan kegemaran yang
menyenangkan. Kerja keras dan latihan secara rutin setiap hari Jum’at dan Minggu
merupakan semacam katarsis dari padatnya jadwal sekolah dan pesantren. Akik yang
semula vokalis dorban dan Teja yang sebelumnya pemain nasyid menemukan kenyamanan
dan dukungan pesantren yang positif terhadap kesenian marawis. Akik dan Teja berharap,
di kemudian hari marawis bisa lebih berkembang tak hanya di Cintapada, tapi di pesantren-
pesantren lainnya di Kota Tasikmalaya. Berkembangnya kesenian marawis Cintapada ini
tak lepas dari dukungan Kepala Madrasah Tsanawiyah Mathlaulkhoer, Hj. Imas Solihat,
M.Pd. ”Selain mendapat dukungan moril, juga dukungan materil, seperti pengadaan
properti, termasuk pengadaan kostum para pemainnya”, sambung Iip. Kelompok Marawis
Cintapada, berfoto sehabis acara Kemilau Nusantara 2008 di Lap. Gasibu Bandung.
Sejarah Perkembangan Marawis Marawis adalah salah satu jenis musik perkusi dengan
unsur religius yang kental. Dibawakan untuk mengiringi shalawat atau pujian kepada Allah
dan Rosul, disertai tari-tarian sufistik. Hingga kini belum ditemukan adanya penelitian
ilmiah-historis ataupun data yang memadai untuk dijadikan rujukan kapan sebetulnya
kesenian marawis ini berkembang dan siapa yang memeloporinya. Sumber-sumber yang
bisa menjadi rujukan histori marawis baru terbatas pada sumber-sumber lisan. Konon
marawis pertama kali dipopulerkan oleh para Habib (keturunan Rasulullah SAW) dan
merupakan produk kebudayaan bangsa Arab. Sumber lain menyatakan bahwa kesenian
marawis pada mulanya ditemukan di Kuwait sekitar abad 16. Pada awalnya hanya terdiri
dari 2 alat musik yaitu hajer dan marawis, semacam sebuah rebana dengan berukuran
cukup besar yang kedua sisinya dilapisi oleh kulit binatang. Namun kesenian ini kemudian
lebih berkembang dan populer di Yaman, alat musiknya di modifikasi agar lebih menarik.
Alat musik yang semula berukuran besar menjadi lebih kecil. Saat ini ukuran hajir lebih
besar (sejenis gendang) dan marwas atau marawis ukurannya lebih kecil. Hajir 
berdiameter 45cm dengan tinggi 60-70cm, marawis atau marwas berdiameter 20cm dengan
tinggi 19cm, dumbuk (sejenis gendang yang berbentuk seperti dandang, memiliki diameter
yang berbeda pada kedua sisinya), serta dua potong kayu bulat berdiameter sepuluh
sentimeter. Sebagian dilengkapi dengan tamborin atau krecek. Lagu-lagu yang berirama
gambus atau padang pasir dinyanyikan sambil diiringi jenis pukulan tertentu Sejarah
masuknya marawis ke Indonesia, pertama kali dibawa oleh para ulama Hadramout
(Yaman) yang berdakwah ke Indonesia dan dipentaskan pertama kali di Madura, sekitar
tahun 1892. selain di Madura kesenian ini juga dibawa ke Bondowoso dan kesenian ini
lebih popluer di kota Bondowoso. Di Bondowosolah terjadi penambahan alat musik
seruling, sehingga para penari yang ingin berzafin akan lebih menikmati gerakan yang di
iringi alunan suara seruling (berdiamter 2,5 -3 cm dan panjang 35 cm, kedua sisi suling ini
tidak ada penyumbat, dan lubang nada sendiri berjumlah 6).

Bisa dikatakan bahwa marawis pada awalnya merupakan inovasi cara berdakwah umat
Islam denga pencapuran kebudayaan (akultirasi). Cara-cara berdakwah yang juga pernah
diterapkan beberapa abad yang silam oleh wali songo sebagai penyebaran Islam di Jawa,
seperti Sunan Bonang yang terkenal dengan Bonang-nya, Sunan Kalijaga dengan lagu ilir-
ilirnya dan Sunan Ampel dengan lagu Tombo Ati-nya. Seiring perkembangan zaman,
kesenian marawis di beberapa daerah di Indonesia dikembangkan dan dilengkapi dengan
menggunakan alat musik modern seperti gitar elekrik, organ , cymbal, drum, suling, dan
lain-lain. Marawis plus alat-lat musik modern ini kemudian diistilahkan sebagai kesenian
gambus. Dalam katalog Pekan Musik Daerah, Dinas Kebudayaan DKI, 1997, pada
marawis terdapat tiga jenis pukulan, yaitu zapin, sarah, dan zahefah. Pukulan zapin
mengiringi lagu-lagu gembira pada saat pentas di panggung, seperti lagu berbalas pantun.
Pukulan zapin adalah nada yang sering digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pujian
kepada Nabi Muhammad SAW (shalawat). Tempo zafin lebih lambat dan tidak terlalu
menghentak, sehingga banyak juga digunakan dalam mengiringi lagu-lagu Melayu.
Pukulan sarah dipakai untuk mengarak pengantin. Sedangkan zahefah mengiringi lagu di
majlis. Kedua pukulan itu lebih banyak digunakan untuk irama yang menghentak dan
membangkitkan semangat. Dalam marawis juga dikenal istilah ngepang yang artinya
berbalasan memukul dan ngangkat. Selain mengiringi acara hajatan seperti sunatan dan
pesta perkawinan, marawis juga kerap dipentaskan dalam acara-acara seni-budaya Islam.
Seiiring perkembangannya, masuknya kesenian marawis ke Tasikmalaya menambah
khazanah baru dalam syiar dakwah di Priangan Timur. Selain pukulan zapin, sarah dan
zahefah, di Tasikmalaya dikenal juga pukulan bondowoso yang merupakan variasi pukulan
khas asal daerah Bondowoso.

Sarabunis  adalah santri & pemerhati seni Aktivis Sanggar Sastra Tasik (SST) dan
Komunitas Azan

Anda mungkin juga menyukai