Anda di halaman 1dari 2

Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama belajar

kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat baginya untuk
tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal
dari keluarga yang dari segi perekonomian cukup berada. Akan tetapi, Mbah
Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau
merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil
tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil
menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sewaktu
menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan kitab,
seperti Matan Alfiyah Ibnu    Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau
juga seorang Hafidz al-Quran. Beliau mampu membaca al-Qur’an
dalam Qira’at Sab’ah (tujuh model membaca al-Quran).

Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk
menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah
merupakan citacita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya itu, lagi-
lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi
meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan keluar,
akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi.
Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang
cukup luas. Selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi
“buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat
upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk
makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan
melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-
temannya.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 39 tahun, Mbah Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil
menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Anda mungkin juga menyukai