Anda di halaman 1dari 4

Review Buku

Muhammad Fakhriansyah dan Niken Nurul Aini

FIKSI PENGGUGAH KOLONIALISME?!


Judul Buku : Max Havelaar
Penulis : Multatuli
Tebal : 480 halaman.
Penerbit : Qanita, cetakan IV. 2019

Salah satu episode kolonialisme yang menuai kritik adalah ketika pemerintah
melakukan usaha eksploitasi negara kolonial terhadap masyarakat bumiputra melalui sistem
tanam komoditas ekspor. Sistem yang lazim disebut sebagai cultuurstelsel atau tanam paksa
(1830—1870) ini menuai reaksi keras dari pegawai pemerintah Hindia Belanda bernama
Eduard Douwes Dekker (1820—1887). Douwes Dekker mengkritik kebijakan tanam paksa
yang sangat menyengsarakan bumiputra melalui novel Max Havelaar dengan nama samaran
Multatuli pada tahun 1860.

Novel Max Havelaar (1860) yang sedang diulas ini memberikan gambaran menarik
tentang bagaimana sebuah karya sastra dapat menyatakan pandangan ideologi dengan cara
khas, implisit, dan imajinatif. Meskipun termasuk dalam karya sastra—yang dipandang
sebagai tulisan fiksi dan bualan belaka—roman tersebut rupanya menimbulkan kegelisahan di
kalangan kolonialis semenjak pertama kali terbit pada 1860 dan memuncak ketika terdapat
versi bahasa Inggrisnya pada 1868. Penyebab “meledaknya” novel tersebut di pasaran pada
masa itu dikarenakan dua hal, yaitu gelombang liberalisme di Eropa yang sedang mengemuka
dan ketidaktahuan orang Eropa terhadap situasi di negeri koloni. Pada tahun terbitnya novel
tersebut, orang Eropa—khususnya orang Belanda—tidak memiliki pemikiran apapun terhadap
negeri koloni. Mereka hanya menikmati hidup enak di Eropa tanpa pernah memikirkan
datangnya keenakan yang ia rasakan tersebut; tanpa pernah memikirkan peluh keringat orang
negeri koloni. Apalagi buku tersebut ditulis berdasarkan pengalaman langsung Dekker dan
menjadi buku pertama yang menggambarkan praktik kolonial, sehingga hadirnya buku tersebut
seakan menggerakkan hati dan menggugah kenikmatan yang dirasakan orang Eropa bahwa
terdapat ketidaknormalan di koloni—wilayah nan jauh dimata dan tidak pernah mereka
bayangkan.
Ide penulisan novel ini berawal ketika Douwes Dekker melihat langsung bagaimana
situasi koloni serta perilaku pejabat Belanda dan lokal yang abai terhadap taraf hidup
masyarakat bumiputra. Dengan berapi-api dan sangat antusias, penulisnya mempersembahkan
kisah ini kepada saudara-saudara sebangsanya dalam bentuk novel—buku yang
Review Buku
Muhammad Fakhriansyah dan Niken Nurul Aini

memperkenalkan bangsa Belanda pada pemerasan dan tirani luar biasa yang diderita oleh
penduduk asli Hindia Belanda (hlm. 7).

Max Havelaar: Sebuah Catatan Sistematis.

Karya Max Havelaar dari Multatuli ini berupaya membongkar skandal berupa tindakan
memalukan yang dilakukan pemerintah untuk melanggengkan tindakan eksploitatifnya (Baca:
sistem kolonial Belanda). Tindakan tersebut berupa pemanfaatan tradisi feodal—perilaku
ketika rakyat memberikan “hadiah” kepada para raja—yang sudah terjadi di Hindia Belanda
bertahun-tahun lamanya. Alih-alih berupaya membebaskan rakyat dari tindakan tersebut,
pemerintah justru malah memanfaatkan tindakan sistem feodal untuk meraup untung sebanyak-
banyaknya dari rakyat. Dengan kata lain, pemerintah kolonial malahan semakin memperkuat
struktur penindasan itu melalui kebijakan pemerintah tidak langsung, yang menggunakan
pimpinan tradisional dalam menjalankan birokrasi kolonial untuk meraup untung. Kedudukan-
kedudukan tradisional yang dinikmati oleh penguasa pribumi menjadi landasan penindasan
rakyat di dalam struktur feodal yang digambarkannya dan menjadi dasar legitimasi kekuasan
kolonialisme Belanda di Hindia Belanda (hlm. 65). Oleh sebab itu, Multatuli menyayangkan
tindakan tersebut dan menggambarkan relasi antara rakyat-raja-negara yang menurut kacamata
Eropanya adalah sebuah ketidaknormalan.

Secara umum sistematika penulisan novel ini dibagi ke dalam 20 bagian. Ulasan novel
ini ditulis berdasarkan sudut pandang penulisan yang dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian
pertama, dimulai dari bab 1-bab 4, sudut pandang penulisan berasal dari seorang makelar kopi
bernama Droogstoppel. Penulis memunculkan tiga tokoh utama pada bagian pertama ini, antara
lain Droogstoppel, Sjaalman (Kawan Droogstoppel dari Hindia Belanda), dan Ernest Stern
(Anak buah Droogstoppel). Penulis menceritakan pertemuan Droogstoppel dengan Sjaalman
yang kemudian meminta Droogstopel menerbitkan draft tulisannya. Seiring berjalannya waktu,
meski sempat ditolak, draft tulisannya disetujui untuk diterbitkan. Dalam bayangan
Droogstoppel, karya tersebut nantinya akan berkisah mengenai perdagangan kopi dan sangat
berguna untuk kelancaran usahanya. Namun, dalam proses penulisan dan penerbitan, naskah
tersebut ditulis oleh Ernest Stern—pegawai Droogstoppel—dan menghasilkan judul yang tidak
dibayangkan sebelumnya oleh Droogstoppel, yaitu lelang kopi maskapai dagang Belanda.
Dari sinilah babak baru penulisan novel ini dimulai. Berawal dari bab 5-bab 20,
Multatuli memulai tulisan dengan sudut pandang Stern yang mengisahkan kisah hidup seorang
Max Havelaar, Asisten Residen Lebak, yang menjadi saksi mata atas perlakuan pemerintah
Review Buku
Muhammad Fakhriansyah dan Niken Nurul Aini

Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi. Kemiskinan, kelaparan, dan kesengsaraan


menjadi penggambaran Havelaar terhadap kondisi di Hindia Belanda atas tindakan eksploitatif
di koloni. Dalam pengamatan lebih lanjut, rupanya, tindakan keji itu tidak hanya dilakukan
oleh orang Belanda saja, tetapi terdapat orang pribumi di dalamnya. Setelah menyurati—
sebagai bentuk protes—kepada Gubernur Jenderal dan tidak ditanggapi, pada akhirnya,
Havelaar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk protesnya terhadap, perampasan,
penganiayaan, dan diskriminasi.

Sebuah Novel Antikolonial?

Menelisik lebih lanjut, buku ini boleh dikatakan menarik karena memberikan
pendekatan berbeda dalam menyajikan keadaan di Hindia Belanda. Alih-alih menyajikannya
melalui monograf dengan pendekatan ilmu pengetahuan nan rumit, buku ini menyajikannya
dalam karya sastra sehingga mampu menembus kenyataan yang tidak nampak dipermukaan
dan memungkinkan kritik lebih lanjut melalui paparan dari segi gaya bahasa, diksi, dan
penokohan sembari menampilkan debat tentang kolonialisme di Hindia Belanda melalui opini
dan sudut pandang tokoh.

Tidaklah mengherankan, ketika novel ini terbit dalam versi bahasa Indonesia pada
medium 1970-an, Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa novel ini membunuh
kolonialisme (1999). Namun, pendapat Pram harus kita kritisi dengan mengajukan pertanyaan
berupa: apakah Dekker menyebutkan kolonialisme itu jahat? Apakah Dekker justru menikmati
kolonialisme? Atau siapa sasaran kritik Dekker, kolonialisme atau birokrasi kolonial?
Pertanyaan ini cukup menarik karena cenderung mematahkan pandangan “novel pembunuh
kolonialisme”.
Sejatinya pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah dijawab Rob Nieuwenhuys dalam
Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli (2019). Sejalan dengan Rob,
meski menggambarkan “citra antikolonial”, novel dengan hampir 500 halaman tersebut tidak
pernah menyarankan, menghentikan dan tidak menyerang, apalagi memberikan solusi atas
persoalan kolonialisme—seperti yang biasa kita pahami sebagai novel pembunuh
kolonialisme. Multatuli justru mengkritik sistem birokrasi tradisional (Bupati Lebak) yang
dianggap olehnya sebagai tindakan tidak terpuji. Salah satunya bisa dilihat dalam kasus Saidja
dan Adinda di bab 17 ketika terjadi pemberian hewan kepada pemerintah, padahal kalau
ditelaah perilaku tersebut adalah wajar sebagai bentuk penghormatan kepada pemimpin, bukan
Review Buku
Muhammad Fakhriansyah dan Niken Nurul Aini

tindakan tidak terpuji sebagaimana yang diserang Dekker. Meminjam istilah Rob, bahwa
Multatuli tidak memahami Jawa.

Akibat kepiawaiannya menggambarkan situasi pada masa itu, banyak pendapat yang
menyebutkan bahwa novel Max Havelaar menjadi faktor besar dalam membuahi kebijakan
manusiawi Hindia Belanda di tahun 1901, yakni Politik Etis. Kiranya pendapat frasa ‘faktor
besar dan membuahi’ tersebut kurang tepat. Penggambaran oleh Multatuli terhadap praktik
kolonial memang benar menimbulkan kritik, tetapi kritik tersebut tidak membawa
kesejahteraan lebih baik justru semakin mengurangi taraf hidup masyarakat pribumi dengan
lahirnya politik pintu terbuka. Frasa yang lebih tepat adalah ‘memiliki pengaruh tetapi tidak
membuahkan dan tidak menjadi faktor tunggal’. Apabila melihat pada artikel dan argumentasi
Deventer atas tuntutan balas budinya, ia mengkritisi tindakan tanam paksa dan praktik ekonomi
liberal yang menghasilkan kas selama bertahun-tahun. Atas tulisan tersebut, kaum liberal dan
religius di Negeri Belanda memaksa pemerintah negeri induk melaksanakan politik balas budi
atau Politik Etis. Lagipula, perlu diketahui, tidak semua orang etis di parlemen setuju dengan
Multatuli, termasuk Rob Niewenhuis, dan semakin mematahkan frasa ‘faktor besar dan
membuahi’.

Sebagai penutup, sejak Max Havelaar terbit sampai saat ini, perdebatan masih dalam
kontestasi: novel antikolonial atau prokolonial; Multatuli atau Anti-Multatuli. Terlepas dari hal
tersebut, karya berharga dari Multatuli adalah perjuangannya menuntut keadilan atas
ketimpangan yang disebabkan oleh tindakan penjajahan. Rasa solidaritas yang ditunjukkannya
menandai semangat perjuangannya membela keadilan tanpa melihat perbedaan di antara
masyarakat yang terkadang cenderung rasialis. Ia memandang penjajah adalah siapapun
mereka yang melakukan penindasan terhadap yang lemah baik dilakukan oleh pejabat kolonial
ataupun pribumi feodal. “Justru inilah kehebatan bukuku: gagasan-gagasan utamanya mustahil
runtuh dibantah. Dan, semakin besar ketidaksukaan orang terhadap bukuku, semakin aku
merasa senang, karena kesempatan untuk didengarkan akan jauh lebih besar lagi” (Hlm 462)

Daftar Pustaka:

 Multatuli. (2019). Max Havelaar. Jakarta: Qanita [Edisi asli buku ini berjudul Max
Havelaar (1860)]
 Niuewnhuys, Rob. (2019). Mitos dari Lebak: Telaah Kritis Peran Revolusioner
Multatuli. Depok: Komunitas Bambu. [Edisi asli buku ini berjudul De Mythe Van Lebak
(1989). Van Oorschot: Amsterdam

Anda mungkin juga menyukai