Anda di halaman 1dari 24

REFRESHING

CORONARY ARTERY DISEASE (CAD)

Disusun Oleh :
Elsa Nadia Wahyuningsih
2018730027

Pembimbing :
dr.Indra Budi Perkasa,Sp.JP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada kami. Tak lupa salawat serta salam kepada junjungan besar
Rasulullah SAW beserta para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Refreshing
“Coronary Artery Disease” dalam rangka mengikuti kepanitraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:

1. dr. Indra Budi Perkasa, Sp. JP selaku dokter pembimbing


2. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan
bantuan dandukungannya.
Penulis menyadari bahwa laporan tugas ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga laporan refreshing ini dapat
memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada
pembaca. Terimakasih

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, Juli 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................... 3
BAB II ISI ........................................................................................................................................... 4
2.1 Coronary Artery Disease (CAD) ........................................................................................ 4
2.1.1. Angina Pektoris Stabil ................................................................................................ 6
2.1.2. Acute Coronary Syndrome (ACS) ............................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Coronary Artery Disease (CAD) atau Penyeakit jantung coroner merupakan suatu
gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena otot miokard kekurangan suplai darah
akibat adanya penyempitan arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung. Pasien
dengan resiko tinggi penyakit jantung koroner (PJK) menurut skor risiko Framingham atau
terdapat salah satu faktor resiko mayor PJK antara lain: diabetes, hipertensi, dislipidemia,
menopause, perokok, pria usia >40 tahun, dan factor keturunan PJK.
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh
penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung
dan merupakan kelainan mikroardium yang disebabkan oleh insufisiensi aliran darah
koroner. Penyebab paling utama PJK adalah dislipidemia. Dislipidemia merupakan faktor
resiko yang utama penyakit jantung. Perubahan gaya hidup masyarakat erat hubungannya
dengan peningkatan kadar lipid. Aterosklerosis adalah proses penyakit yang dimulai sejak
awal kehidupan dan perkembangannya tanpa gejala yang menyebabkan penyempitan arteri
koronaria dengan atau tanpa penyulit. Pengerasan dinding pembuluh darah atau
aterosklerosis terjadi ketika adanya penumpukan lemak yang terdiri dari lipoprotein atau zat
yang didapatkan dari protein dan lemak, kolesterol, dan sisa sel limbah lainnya di dalam
dinding arteri bagian dalam. Prosesnya menyebar dengan serabut otot dan lapisan endotel
dinding arteri kecil dan arteriol mengalami penebalan. Hal ini akan menyebabkan
penyumbatan pada arteri yang membuat otot jantung sulit berkontraksi karena pasokan
oksigen berkurang dan bahkan dapat menyebabkan pembusukan pada otot jantung atau
nekrosis

3
BAB II
ISI
2.1 Coronary Artery Disease (CAD)
Coronary Artery Disease (CAD) atau Penyeakit jantung coroner merupakan suatu
gangguan fungsi jantung yang disebabkan karena otot miokard kekurangan suplai darah
akibat adanya penyempitan arteri koroner dan tersumbatnya pembuluh darah jantung. Pasien
dengan resiko tinggi penyakit jantung koroner (PJK) menurut skor risiko Framingham atau
terdapat salah satu faktor resiko mayor PJK antara lain: diabetes, hipertensi, dislipidemia,
menopause, perokok, pria usia >40 tahun, dan factor keturunan PJK.

Terdapat beberapa factor resiko yang dapat menyebabkan CAD yaitu konstrasi
kolestrol yang tinggi,obesitas, usia,merokok ,tortuositas atau cedera dari dinding arteri yang
dapat menyebabkan retensi dari dinding pembuluh darah arteri. Konsentrasi lipoprotein dapat
meningkat karena hal tersebut dan menyebabkan retensi pada pembuluh darah sehingga
terjadi aterosklerosis. Dari beberapa factor resiko tersebut terdapat factor resiko yang dapat
dimodifikasi yaitu umur, jenis kelamin laki-laki, keturunan/ras. Sedangkan factor resiko yang
dapat dimodifikasi yaitu merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes melutus, kurangnya
aktivitas fisik , berat badan berlebih, diet yang tidak sehat, stress, dan konsumsi alcohol
4
berlebih.
A. Faktor Resiko yang tidak dapat diubah :

1. Usia
Kerentanan terhadap aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya
usia. Namun demikian jarang timbul penyakit serius sebelum umur 40 tahun,
sedangkan mulai usia 40-60 tahun insiden miokard infark meningkat 5 kali lipat.
2. Jenis kelamin laki-laki
Laki-laki usia 35-44 tahun memiliki kecenderungan 5-6 kali dibanding
perempuan untuk terkena penyakit jantung koroner. Morbiditas lebih besar pada
laki- laki 10 tahun lebih awal daripada wanita. Estrogen bersifat protektif pada
wanita tetapi pada masa menopause insidensi meningkat dengan cepat sebanding
dengan laki-laki. Esterogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan
menurunkan kadar LDL, meningkatkan HDL serta trigliserida.
3. Riwayat penyakit penyakit jantung koroner pada keluarga

B. Faktor yang dapat diubah, antara lain :

1. Hiperlipidemia
Peningkatan kadar lemak berhubungan dengan proses aterosklerosis. Faktor
resiko dari faktor lipid darah apabila total kolesterol plasma lebih dari 200 mg/dL,
trigliserida lebih dari 150 mg/dL. Resiko aterogenik yaitu kadar tinggi kolesterol
LDL yang dapat teroksidasi dan menimbulkan deposisi di sirkulasi pembuluh
darah. Sedangkan kadar kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan resiko
karena faktor protektif dari HDL yang rendah seiring dengan kadarnya yang
kurang.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah menjadi resiko independen dalam penyakit jantung
coroner. Framingham menyatakan bahwa terdapat peningkatan resiko dua kali
lipat pada orang dengan tekanan darah lebih dari 160/95 mmHg dibandingkan
dengan orang yang tekanan darahnya normal.
3. Merokok
Rokok menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung, peningkatan tekanan
darah dan denyut nadi, penurunan kadar HDL dan kerusakan endotel pembuluh
darah.
4. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia memungkinan timbulnya
aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi sel otot polos pembuluh darah
arteri koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadar LDL
dan kadar HDL yang rendah. Pada penderita Diabetes melitus mengalami
kerusakan pada pembuluh darah. Timbul penebalan pada membran basalis dari
kapiler dan pembuluh darah arteri koronaria sehingga terjadi penyempitan aliran
darah ke jantung.
5. Obesitas
Makanan dengan kalori yang tinggi kalori, lemak total, lemak jenuh, gula dan
garan berperan dalam terjadinya hyperlipidemia dan obesitas yang secara
5
langsung meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen.

2.1.1.Angina Pektoris Stabil

Angina pektoris stabil adalah nyeri dada yang disebabkan oleh iskemia miokard yang
dipicu oleh aktivitas atau stress emosional dan nyeri dapat berkurang dengan istirahat atau
pemberian nitrogliserin sublingual.

Klasifikasi angina pektoris stabil berdasarkan Canadian Cardiovascular Society (CCS) :

Kelas Klasifikasi CCS


I Aktivitas sehari-hari seperti berjalan atau menaiki tangga tidak menyebabkan
angina. Angina muncul jika melakukan aktivitas berat terus-menerus saat
bekerja ataupun rekreasi
II Keterbatasan ringan saat melakukan aktivitas sehari-hari. Berjalan atau menaiki
tangga dengan cepat atau setelah makan, berjalan menanjak , dalam kedinginan,
atau dalam kondisi stress. Berjalan sebanyak lebih dari 2 blok dan menaiki
tangga lebih dari 1 lantai dengan kecepatan normal
III Keterbatasan bermakna dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berjalan
sebanyak satu atau dua blok dan menaiki tangga 1 lantai dalam kondisi normal
IV Ketidakmampuan beraktivitas tanpa ketidaknyamanan. Angina dapat timbul saat
beristirahat.

Anamnesis

Nyeri dada yang khas memiliki empat gambaran utama yaitu :


− Lokasi nyeri dada tersering dirasakan di daerah substernal kiri dan dapat menjalar dari
epigastrium hingga ke rahang bawah atau gigi, bahu punggung, lengan, sampai
pergelangan tangan dan jari-jari
− Durasi nyeri dada berlangsung singkat namun bisa mencapai kurang dari 20 menit.
Apabila nyeri berlangsung lebih dari 20 menit , kemungkinan besar disebabkan oleh
angina pektoris tidak stabil atau infark miokard.
− Karakteristik nyeri dada berupa rasa yang tidak nyaman seperti tertekan, tertindih,
tercekik atau rasa panas. Intensitas nyeri dapat bervariasi dari rasa tidak nyaman
hingga rasa nyeri yang hebat
− Nyeri dada muncul Ketika beraktivitas terutama aktivitas pertama di pagi hari atau
stress emosional. Hal ini dipicu oleh peningkatan oksigen selama Latihan atau stress
dan dengan cepat dapat pulih Kembali dengan istirahat atau pemberian nitrogliserin
sublingual . keluhan dapat disertai sesak napas, mual, muntah dan gelisah.
Berdasarkan keempat gambaran diatas dapat dikategorikan dengan :
− Nyeri dada tipikal : jika keempat gambaran klinis diatas muncul
− Nyeri dada atipikal : jika hanya memenuhi dua gambaran klinis saja. Nyeri dada
atipikal dapat berupa rasa tercekik, gangguan pencernaan , sesak napas yang tidak

6
dapat dijelaskan, maupun perasaan lemah yang tidak dapat dideskripsikan.
− Nyeri dada nonkardiak : jika hanya memenuhi satu gambaran klinis saja atau tidak
sama sekali.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya dalam batas normal, kecuali terdapat komplikasi atau
komorbid. Beberapa factor komorbid dan komplikasi yang dijumpai pada saat pemeriksaan fisik
antara lain :

− Faktor Risiko : Hipertensi, PPOK akibat rokok, sindrom metabolic, obesitas, dan lain-lain
− Komplikasi aterosklerosis pembuluh darah coroner, yaitu murmur yang disebabkan oleh
penyakit jantung katup dan tanda-tanda pembesaran jantung (kardiomegali) . Suara tambahan
jantung berupa S3 atau S4 juga dapat terdengar dari pemeriksaan auskultasi Ketika nyeri dada
sedang berlangsung. Hal ini dapat terjadi Ketika ventrikel kiri mengalami disfungsi ventrikel
sementara.
− Komplikasi aterosklerosis non coroner : bruit karotis, penyakit vascular perifer, aneurisma
aorta abdominalis.

Pemeriksaan Penunjang
− Pemeriksaan EKG : sering tidak ditemukan perubahan berarti pada EKG. Tetapi pemeriksaan
EKG harus dilakukan secara serial untuk melihat perkembangan angina pektoris.
− Angina pektoris CCS I-II : pemeriksaan ischemic stress test meliputi treadmill test, atau
echocardiography stress test.
− Angina Pektoris CCS III-IV (simptomatik) atau Riwayat infark miokard lama : pemeriksaan
angiografi coroner perkutan
− Pemeriksaan rontgen thorax tidak memberikan temuan yang spesifik. Namun pemeriksaan
ini tetap harus dilakukan jika ditemukan adanya tanda gagal jantung kongestif, kardiomegali
atau kongestif pulmonal
− Pemeriksaan laboratorium darah : untuk melihat adanya factor yang memperberat seperti
DM, dislipidemia, gangguan ginjal, dan lain-lain.

Tatalaksana Angina Pektoris Stabil


1. Non Farmakologi
Mencakup perbaikan pola hidup melalui penanganan masing-masing faktor resiko
penyakit Jantung coroner
− Berhenti merokok dan hindari paparan asap rokok
− Tingkatkan konsumsi buah, serat, sayuran , sereal, dan makanan yang
mengandung lemak tak jenuh atau minyak ikan.
− Kurangi konsumsi makanan tinggi karbohidrat dan garam
− Hindari konsumsi alcohol
− Olahraga, terutama aerobic dengan durasi 20-30 menit , frekuensi 3-5x dalam
seminggu
− Kurangi berat badan (target BMI < 25 dan lingkar pinggang < 80 cm untuk
perempuan dan < 90 cm untuk laki-laki)
7
− Control target LDL < 70 mg/dl
− Pada pasien dengan diabetes gula darah harus selalu terkontrol dengan target
HbA1C < 7%
− Control tekanan darah dengan target < 140/90 mmHg . untuk pasien dengan
penyakit ginjal kronis , target tekanan darah < 130/80 mmHg.
2. Farmakologi
a) Nitrogliserin
Berfungsi untuk relaksasi dan dilatasi arteri coroner dan membantu menurunkan
tekanan preload jantung. Obat ini diberikan Ketika keluhan nyeri dada muncul, dapat
juga digunakan sebelum melakukan aktivitas yang mungkin bisa menimbulkan gejala
nyeri dada. Kontraindikasi : pasien hipotensi
b) Antiplatelet
Pemberian obat antiplatelet terbukti dapat menurunkan kejadian penyakit
kardiovaskular di masa depan.
− Lini pertama obat antiplatelet adalah aspirin . Dosis : 1x80-160 mg/hari, diberikan
seumur hidup
− Pasien yang tidak toleran terhadap aspirin dapat diganti dengan terapi lini kedua yaitu
clopidogrel. Dosis clopidogrel : 1x 75 mg/ hari,diberikan seumur hidup
c) Statin
Statin dapat menstabilasi plak aterosklerosis di arteri coroner . contoh golongan statin
yang dapat diberikan yaitu simvastatin 1x20-40 mg , atau atorvastatin 1x20-40 mg ,
atau rosuvastatin 1x10-20 mg
d) ACE Inhibitor
Obat ini hanya diberikan bila angina pektoris stabil disertai dengan penyakit penyerta
seperti hipertensi, diabetes, penyakit ginjal kronik, atau pada pasien dengan
komplikasi seperti gagal jantung, pasca infark miokard
e) Beta blocker
Bekerja dengan cara menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas, sehingga
kebutuhan oksigen pada miokard juga berkurang. Obat ini tidak secara spesifik
menurunkan kejadian penyakit jantung coroner atau angka kematian akibat infark
mmiokard, namun terbukti dapat meningkatkan prognosis pada pasien pasca infark
miokard dan pasien gagal jantung . kontraindikasi pasien ini adalah pada pasien
bradikardi , blok AV , atau memiliki Riwayat asma berat. Contoh beta blocker yang
biasa digunakan seperti bisoprolol 1x5-10 mg atau carvedilol 2x25 mg atau
metoprolol 2x 50 mg
f) Antagonis kalsium
Merupakan lini kedua dari beta blocker. Obat ini dapat diberikan pada pasien yang
kontraindikasi dengan pemberian beta blocker atau pada pasien dengan konsumsi beta
blocker itu sendiri belum memberikan hasil terapi yang maksimal

3. PCI atau CABG


Intervensi coroner perkutan (PCI) atau CABG elektif dilakukan jika ditemukan bukti iskemik
dari pemeriksaan penunjang diatas disertai lesi signifikan berdasarkan pemeriksaan
angiografi coroner.

8
2.1.2. Acute Coronary Syndrome (ACS)

Sindrom coroner akut (Acute Coronary Syndrome) adalah sekumpulan keluhan dan
tanda klinis yang sesuai dengan iskemia miokard akut. Sindrom coroner akut dapat berupa
angina pektoris tidak stabil (Unstable Angina Pectoris /UAP), infark miokard dengan ST
elevasi (ST Elevation Myocardial Infarction / STEMI) , dan infark miokard tanpa ST elevasi
(Non ST Elevation Myocardial Infarction/NSTTEMI).

Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung ibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit
(white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara
total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang
lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi
sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner
menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20
menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya
iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis,
adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah
iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi
ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas.
Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria
epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun
trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis,
hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah
mempunyai plak aterosklerosis.

Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan
nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA,
dan Deinitif SKA
Infark Miokard Akut (IMA)
Berdasarkan consensus internasional, infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai adanya
bukti dari nekrosis sel otot jantung pada kondisi klinis yang konsisten dengan gejala iskemik
miokard akut.
Diagnosis infark miokard akut dapat ditegakkan jika memenuhi kombinasi dari kriteria berikut :

9
Adanya peningkatan dan/atau penurunan nilai biomarker jantung (troponin lebih disukai)
dengan minimal satu nilai diatas persentil 99 referensi batas atas serta minimal memiliki satu
kriteria berikut :

− Gejala iskemia
− Perubahan ST segmen- gelombang T (ST-T) varu atau diduga baru atau left bundle branch block
(LBBB) baru
− Terbentuknya gelombang Q patologis pada EKG
− Bukti pencitraan adanya miokard nonviable yang baru atau abnormalitas pergerakan dinding
regional yang baru
− Identifikasi thrombus intrakoroner dengan angiografi atau autopsy

ST Elevation acute coronary syndrome (STE-ACS)


Karakteristik utama STEMI adalah angina tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran ST
elevasi yang diagnostic untuk STEMI.
STEMI merupakan bagian dari spektrum sindrom coroner akut yang memiliki gejala angina
tipikal selama lebih dari 20 menit dan disertai gambaran elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan berpasangan pada EKG. Pada umumnya, kondisi ini merupakan refleksi dari oklusi total
pembuluh darah coroner yang terjadi secara akut . pada keadaan ini diperlukan Tindakan
revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah yang tersumbat secepatnya, secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanik menggunakan PCI. Pasien
dengan EKG yang diagnostic untuk STEMI harus segera mendapat terapi perfusi sebelum hasil
pemeriksaan biomarker jantung tersedia.

Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal)
atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah
retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina
tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering
dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita
diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat
istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina
setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. Diagnosis SKA menjadi lebih
kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut :

10
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas
koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat
PJK dini dalam keluarga, yang diklasiikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah
menurut NCEP (National Cholesterol Education Program).
Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area
interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit); sering
disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel kiri atau
pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA, maka
terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal. Selain untuk
tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan untuk menapis indikasi kontra terapi
ibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar
ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit
serebrovaskular.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan isik dilakukan untuk mengidentiikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi
iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut,
suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk
mengidentiikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut,
hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta
akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA.
Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada iskemia
harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat
darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua
pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu,
sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal

11
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu:
normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru, elevasi segmen
ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan
pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik
beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-
3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV.
Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV,
kecuali pria usia < 30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan
V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi
di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama
dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien dengan LBBB
baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan
kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini
disebut sebagai perubahan konkordan yang mempunyai spesiisitas tinggi dan sensitivitas rendah
untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks
QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesiisitas sangat rendah.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah
sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi
segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (2 sadapan berdekatan.
Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesiitas tinggi untuk untuk iskemia akut.
12
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik dikategorikan
sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.

Pemeriksaan marka Jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit jantung
dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung
mempunyai sensitivitas dan spesiisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab
nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh
sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertroi
ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin
I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insuisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal.
Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesiisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

13
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T menunjukkan
kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesiisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih
terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural. (lihat
gambar 2).
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral. Pemeriksaan di
ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing) pada umumnya berupa tes
kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing
sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif
maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda :
1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal pada
saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda :

1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau inversi T yang
diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu
menjalani observasi di ruang gawat-darurat. Deinitif SKA dan angina tipikal dengan
gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive
cardiovascular care (ICVCU/ICCU).

Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang


gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah,
tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.

Pemeriksaan foto polos dada

Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat


untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat darurat
dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding,
identiikasi komplikasi dan penyakit penyerta.

14
Tindakan umum dan Langkah awal

Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan


diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud
dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada
hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morin,
Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau
bersamaan.
1. Tirah baring (Kelas I-C)
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri < 95 % atau
yang mengalami distress respirasi (Kelas I-C)
3. Suplemen oksigendapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama , tanpa
mempertimbangkan saturasi O2 arteri (kelas IIa-C)
4. Aspirin 160 320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya
terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat absorpsi
sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen ibrinolitik (Kelas I-B) atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari
(pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen ibrinolitik,
penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak hilang dengan
satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin
intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
(kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti
7. Morin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).

15
Anti Iskemia
Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang
mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada
pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi
akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.

Nitrat
16
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload
dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek
lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.

Calcium Channel Blocker (CCB)


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada
SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node
dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas
mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan
dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan
CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat
beta dalam mengatasi keluhan angina.

Antiplatelet

17
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan dosis loading 150-300
mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang
strategi pengobatan yang diberikan (Kelas I-A)

Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dan
antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan
Antikogulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat mungkin

1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko perdarahan


dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan
bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih
efektif. (Kelas IIa-C).
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua
atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih (Kelas IIb-B).

Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai
18
gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. Penggunaannya
terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada penderita dengan faktor
risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan
adanya efek antiaterogenik.

Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua
penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika
tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai
sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol
LDL

Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI


Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
− Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan tanda dan
gejala iskemik)
− Risiko ibrinolisis dan indikasi kontra ibrinolisis
− Waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP ( <120 menit)

Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara ibrinolisis atau strategi invasif untuk kasus
tersebut. Bila pasien < 3 jam sejak serangan dan IKP dapat dilakukan tanpa penundaan, tidak ada
preferensi untuk satu strategi tertentu.

Keadaan di mana ibrinolisis lebih baik:


− Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan untuk strategi invasif
− Strategi invasif tidak dapat dilakukan
* Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
* Kesulitan mendapatkan akses vaskular
* Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP dalam waktu <
120 menit
− Halangan untuk strategi invasif
* Transportasi bermasalah
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit
19
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon lebih dari 90 menit

Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:


− Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang dari 90 menit
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
− Risiko tinggi STEMI
* Syok kardiogenik
* Kelas Killip ≥ 3
− Indikasi kontra untuk ibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan dan perdarahan
intrakranial
− Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
− Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

Tatalaksana STEMI
• Terapi Reperfusi
Pilihan terapi reperfusi pada STEMI adalah Primary percutaneous coronary intervention (PCI) dan
fibrinolitik. PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan kateter untuk
melebarkan atau membuka pembuluh darah koroner yang menyempit dengan menggunakan balon
atau stent.
Rekomendasi pemilihan terapi reperfusi pada STEMI :
− Terapi reperfusi diindikasikan pada semua pasien dengan gejala iskemia ≤ 12 jam dengan elevasi
segmen ST persisten.
− Primary PCI adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan diabndingkan fibrinolisis apabila
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
− Jika Primary PCI tidak dapat dilakukan karena waktu yang lama, terapi fibrinolotik diindikasikan

20
pada pasien dengan gejala iskemia < 12 jam dengan elevasi segmen ST persisten dan tanpa
kontraindikasi.

Target Waktu Penanganan STEMI :


− Waktu maksimum dari kontak medis pertama hingga EKG dan diagnosis : ≤ 10 menit.
− Waktu maksimum dari diagnosis STEMI hingga Primary PCI (wire crossing) pada pasien yang
datang ke rumah sakit yang memiliki fasilitas PCI : ≤ 60 menit.
− Waktu maksimum dari diagnosis STEMI hingga Primary PCI (wire crossing) pada pasien yang
awalnya datang ke rumah sakit yang tidak memiliki PCI kemudian ditransfer ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas PCI : ≤ 90 menit.
− Waktu maksimum dari diagnosis STEMI hingga bolus fibrinolitik pada pasien yang tidak memenuhi
target waktu untuk PCI : ≤ 10 menit.
− Waktu untuk menilai keberhasilan fibrinolitik sejak awal dimulainya terapi fibrinolitik : 60 – 90
menit.

Pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian ke RS dengan fasilitas PCI apakah kurang atau lebih
dari 2 jam. Jika membutuhkan waktu < 2 jam, maka dipilih PCI. Sedangkan bila membutuhkan
waktu > 2 jam, maka dipilih fibrinolitik.
Jika strategi reperfusi yang dipilih adalah fibrinolitik, maka terpai fibrinolitik sebaiknya dimulai
dalam waktu 10 menit dari diagnosis STEMI ditegakkan. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, bila
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas PCI. Jika fibrinolitik gagal (resolusi
segmen ST < 50% dalam waktu 60-90 menit setelah pemberian fibrinolitik) atau terjadi
ketidakstabilan hemodinamik/elektrolit, perburukan iskemia, nyeri dada persisten, maka hal ini
merupakan indikasi untuk dilakukan Rescue PCI.

21
22
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuniadi Y, Hermanto DY, Rajahoe AU. Buku Ajar Kardiovaskular Jilid I dan
II oleh Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Jakarta:
Sagung Seto. 2017.
2. PERKI. Pedoman Tata Laksanan Sindrom Koroner Akut Edisi Keempat.
Jakarta: PERKI.2018
3. PERKI.Panduan Praktik klinis (PPK) dan clinical pathway (CP) Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah Edisi Pertama. Jakarta : PERKI.2016.
4. Menon V and Sengupta JP, 2010. Chronic Coronary Artery Disease. In: Runge
MS, Stouffer GA, Patterson C (Editors). Netter’s Cardiology, Second Edition.
Elsevier Saunders, Philadelphia.

23

Anda mungkin juga menyukai