Anda di halaman 1dari 267

Accelerat ing t he world's research.

Model Pengelolaan Tempat


Pemrosesan Akhir (Tpa) Sampah
secara Berkelanjutan di Tpa Cipayung
Kota Depok-Jawa Barat
Arif Hakim

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

PENINGKATAN PELAYANAN PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA BREBES MELALUI PENINGKATAN …


Lemariku Penuh

SSK BAB II 0916.doc


Yuberson Giay

Percik26
Rian Sugandi
MODEL PENGELOLAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA)
SAMPAH SECARA BERKELANJUTAN
DI TPA CIPAYUNG KOTA DEPOK-JAWA BARAT

MULYO HANDONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang
berjudul: Model Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah
secara Berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok- Jawa Barat adalah
karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Januari 2010

Mulyo Handono
P062059474

ii
ABSTRACT

Mulyo Handono, 2009. Management of TPA Cipayung for Developing


Sustainability of the Resources. Under a supervisory team of H.M.H. Bintoro
Djoefrie as chairman, Etty Riani, and Siti Amanah as members.

TPA Cipayung has been operated since 1992, at Cipayung, Pancoran Mas, Kota
Depok. To face the problem around TPA Cipayung, it is important to
development management some analysis. The research purpose of this research
were: 1) to explain environmental quality, social, economic and health condition
around Cipayung garbage’s TPA area at Depok city. 2) to analyse policy strategy
that related to effort of managemant of Cipayung garbage’s TPA at Depok city. 3)
to design alternative policy of management of Cipayung garebage’s TPA at
Depok city. The research methods used descriptive analysis to analyze the quality
of up down wells, BAP, lindi water, and microbiology. Then, the results were
compared with Permenkes RI No. 416/MenKes//Per/IX/1990, Kriteria Mutu Air
PPRI No.28/2001. Gol. III, Baku Mutu: SK Gubernur Jawa Barat No. 6/1999.
Sampel water analysis was conducted in laboratory of PT. Mutu Agung Lestari.
The condition of social economy and health in location around of TPA Cipayung
were analyzed by descriptive analyzed. Data of interview result with profesional
about policy of management TPA Cipayung was analyzed with AHP method,
using expert choice 2000 program. Analysis of garbage management model in
TPA Cipayung using Microsoft Office Excel and Stimulation model analysis of
dinamic system using Stella software vertion 8.0. The result of this analysis show
the physical variabel of water quality in three location still under NAB that were
permitted. Except the temperatur variabel have rather high than NAB. The result
of many chemical variabel in three location sampel have high then NAB that
permitted, such as Fe, Mn, NO2-N, BOD5, COD, DO, Zn, and Fenol. The result of
social economy aspect are there is some problems around TPA Cipayung and the
benefiit of economy that TPA Cipayung’s society can get. Health of society in
location around TPA Cipayung in general, suffering diare, fever, skin infection
and ispa.The result of Analysis Hierarchy Process (AHP) showed that (1)
alternative of policy is the optimalization of garbage management, (2) the
optimalization of cleaning service, (3) third priority is the increase of
stakeholder’s participation. (4) law enforcement. The result of garbage
management strategy analisys in TPA Cipayung recomendation program 3R+1P,
start from the garbage source, until the garbage that throw in to TPA getting low
and can minimalize the garbage transportation cost to TPA.

Key words : TPA, pollution, standard quality, policy, garbage

iii
RINGKASAN

Mulyo Handono, 2009. Model Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)


Sampah secara Berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok-Jawa Barat.
Dibawah bimbingan H.M.H. Bintoro Djoefrie sebagai ketua, Etty Riani, dan Siti
Amanah sebagai anggota.

Kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan


Pertamanan Kota Depok dimulai dari tahap pengumpulan sampah dari sumber-
sumber sampah, pengangkutan, dan proses pengolahan sampah di TPA Cipayung.
Kegiatan tersebut dilakukan untuk mewujudkan Kota Depok yang bersih, sehat,
dan nyaman. Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah 1) Mendapatkan
informasi tentang kualitas lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat
di sekitar kawasan TPA Sampah Cipayung, 2) Mendapatkan rancangan strategi
kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan TPA Sampah Cipayung di
Kota Depok, 3) Mendapatkan rancangan model kebijakan pengelolaan TPA
Sampah Cipayung secara berkelanjutan.
Penelitian dilakukan dengan metode survei yang bertujuan untuk
mengetahui permasalahan dan proses pengelolaan sampah di TPA Cipayung.
Selain itu, penelitian dilakukan dengan menganalisis kualitas air sumur, badan air
permukaan (BAP), air lindi, dan mikrobiologi, yang kemudian dibandingkan
dengan peraturan Permenkes RI No. 416/MenKes//Per/IX/1990, Kriteria Mutu Air
PPRI No.28/2001. Gol. III, Baku Mutu: SK Gubernur Jawa Barat No. 6/1999.
Sampel air dianalisis di Laboratorium PT. Mutu Agung Lestari. Kondisi sosial
ekonomi dan kesehatan di sekitar kawasan TPA Cipayung dianalisi secara
deskriptif. Data hasil wawancara dengan pakar mengenai kebijakan pengelolaan
TPA Cipayung diolah dengan menggunakan metode AHP, dengan program expert
choice 2000. Sementara itu, analisis model menggunakan Microsoft Office Excel
dan analisis simulasi model sistem dinamik dengan menggunakan software Stella
versi 8.0.
Hasil analisis menunjukkan kualitas air pada tiga lokasi sampel variabel
fisik masih di bawah NAB yang diizinkan, kecuali variabel suhu sudah di atas
NAB. Hasil pengukuran beberapa variabel kimia pada tiga lokasi sampel sudah di
atas NAB yang diizinkan, di antaranya adalah Fe, Mn, NO2-N, BOD5, COD, DO,
Zn, dan Fenol. Hasil analisis pemeriksaan coliform pada kualitas air sumur dan
BAP masih di bawah nilai NAB. Dilihat dari aspek sosial ekonomi, keberadaan
TPA Cipayung menimbulkan dampak positif dan negatif bagi kehidupan
masyarakat sekitar. Salah satu dampak yang dapat dirasakan secara langsung
adalah adanya gangguan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kurang
terkoordinasinya pengelolaan sampah di TPA Cipayung. Selain itu, jika dilihat
dari segi kesehatan, pada umumnya masyarakat di sekitar kawasan TPA Cipayung
menderita penyakit diare, demam, infeksi kulit, dan ispa.
Hasil analisis AHP terhadap alternatif prioritas kebijakan yang harus
dilakukan adalah a). Optimalisasi pengelolaan sampah. Peningkatan laju timbulan
sampah perkotaan (2–4%/tahun) yang tidak diikuti dengan ketersediaan sarana
dan prasarana persampahan yang memadai. Hal tersebut pada akhirnya akan

iv
berdampak pada pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke
tahun. Dengan selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban
pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA (tempat pemrosesan akhir). b).
Optimalisasi petugas kebersihan. Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah
satu masalah yang dihadapi DKP Kota Depok. Lemahnya sumberdaya manusia
membuat fungsi perencanaan dan pengendalian pengelolaan sampah menjadi
sangat lemah. c). Peningkatan partisipasi pemangku kepentingan. Hasil analisis
tersebut menunjukkan bahwa partisipasi dari semua pemangku kepentingan dalam
pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok sangat penting. Bentuk
partisipasi dapat dimulai dengan peran aktif masyarakat dan swasta sebagai
pengelola sampah. Kegiatan pengurangan sampah dari sumbernya dengan
melakukan peningkatan pola-pola penanganan sampah berbasis masyarakat. d).
Penegakan hukum. Hukum adalah pegangan yang pasti, positif dan pengarah bagi
tujuan-tujuan program yang akan dicapai. Semua peri kehidupan diatur dan harus
tunduk pada prinsip-prinsip hukum, sehingga dapat tercipta masyarakat yang
teratur, tertib dan berbudaya disiplin. Selain sebagai sarana pengatur ketertiban,
hukum juga dipandang sebagai sarana untuk memperbaharui dan mengubah
masyarakat ke arah hidup yang lebih baik. Peraturan perundang-undangan di
antaranya PP/Kepres/Kepmen/Perda mengatur tata cara pengelolaan sampah
mulai dari sumber sampah sampai ke TPA, mengatur posisi, hak, dan kewajiban
masing-masing pemangku kepentingan serta mengatur sanksi jika terjadi
pelanggaran dalam pengelolaan sampah.
Hasil analisis strategi kebijakan pengelolaan sampah di TPA Cipayung
adalah terjadinya peningkatan usia TPA dengan menggunakan pola 3R+1P, jika
dibandingkan dengan pemilihan dimulai dari rumah tangga dan TPS. Berkaitan
dengan hal tersebut di atas, untuk meningkatkan usia TPA, maka program
pengelolaan sampah 3R+1P dimulai dari sumber sampah direkomendasikan.
Dengan program tersebut sampah yang masuk ke TPA semakin rendah dan dapat
meminimalkan biaya pengangkutan sampah ke TPA.

v
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010
Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

vi
MODEL PENGELOLAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR (TPA)
SAMPAH SECARA BERKELANJUTAN
DI TPA CIPAYUNG KOTA DEPOK-JAWA BARAT

Oleh:
MULYO HANDONO
P062059474

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010

vii
Judul Disertasi : Model Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah
secara Berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok-Jawa Barat
Nama : Mulyo Handono
NRP : P062059474
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H.M. H. Bintoro Djoefrie, M.Agr


Ketua

Dr. Ir. Etty Riani, MS Dr. Ir. Siti Amanah, MSc


Anggota Anggota

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal ujian: 29 Mei 2009 Tanggal lulus:

viii
Penguji Luar Ujian Tertutup :

1. Prof. Dr. Ir. Soemardjo. M.S


2. Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo. M.S

Penguji Luar Ujian Terbuka :

1. Prof. Dr.Ir. Bambang Pramudya. M.Eng


2. Dr. Ir. Nonon Saribanon. M.Si
KATA PENGANTAR

Assalamu ’Alaikum Wr. Wbr.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas rahmat dan
karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini
dengan judul Model Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah
secara Berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok Jawa Barat.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus
kepada bapak Prof. Dr. Ir. H.M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr sebagai Ketua Komisi
Pembimbing, Dr. Ir. Etty Riani, MS dan Dr. Ir. Siti Amanah, MSc sebagai
Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan mulai
dari penyusunan rencana penelitian, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan
disertasi ini. Semoga ilmu yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada bapak Prof. Dr. Ir. Surjono
H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi, dan kepada Prof. Dr Ir. Khairil
Anwar Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarajan IPB yang
memberikan arahan dan motivasi dalam menyelesaikan perkuliahan di IPB.
Ucapan terima kasih kepada seluruh anggota keluarga, khususnya istri
yang tercinta Rusmalia dan anakku yang tersayang Muliawan dan Rizky Mulia
yang senantiasa mewarnai kehidupan penulis, atas kesabarannya menemani dalam
suka dan duka selama mengikuti pendidikan dan doa yang telah diberikan.
Ucapan terima kasih juga kepada ayahanda S. Hardjomartono (alm.) dan ibunda
Askinah (alm.) atas bimbingan dan curahan kasih sayang semasa hidupnya.
Terima kasih kepada rekan-rekan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Depok, Dhona dan semua pihak yang telah membantu penyusunan penelitian ini.
Penulis mengharapkan semoga karya ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota
Depok dan pihak yang membutuhkan.

Wassalamu ’Alaikum Wr. Wbr.


Bogor, Januari 2010
Mulyo Handono

ix
RIWAYAT HIDUP

Mulyo Handono lahir di Pati 14 November 1963 dari pasangan S. Hardjo


Martono dan Askinah. Penulis telah menamatkan pendidikan SDK 1 Pati Jawa
Tengah lulus tahun 1975. SMPN 1 Pati Jawa Tengah lulus tahun 1979, SMAN 1
Pati Jawa Tengah lulus tahun 1982. Penulis mengikuti pendidikan sarjana (S1)
Jurusan Manajemen Informatika di Universitas Budi Luhur lulus tahun 1994,
Pendidikan Magister Manajemen (S2) Jurusan SDM di STIE IPWI Jakarta lulus
tahun 1998. Sejak tahun 2005 mengikuti Program Doktor (Dr) pada Institut
Pertanian Bogor, program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Penulis juga mengikuti kursus tentang Environmental Technology
Assessment for Waste Water Treatment and Collection System di United States
Environmental Training Institue tahun 1996, Introduction to Construction Project
Management di National University of Singapore tahun 1996, Jica Training
Course in the Field of Operation and Maintenance Sewerage Facilities pada tahun
1998 di Sapporo, Jepang.
Riwayat pekerjaan yang pernah dilakukan di antaranya Departemen
Pekerjaan Umum tahun 1991-1999, Bappeda Kota Depok tahun 1999-2002, Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok tahun 2002-2005, Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Keluarga Sejahtera Kota Depok tahun 2005-2007, Dinas
Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok tahun 2007- 2009, tahun 2009
sampai sekarang di Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok.

x
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xviii

I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Kerangka Pemikiran ................................................................. 3
1.3. Perumusan Masalah.................................................................. 5
1.4. Tujuan Penelitian .................................................................... 7
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................... 7
1.6. Novelty/Kebaruan ..................................................................... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 8


2.1. Klasifikasi Sampah.................................................................. 8
2.1.1. Penggolongan Sampah.................................................... 8
2.1.2. Komposisi Sampah......................................................... 10
2.1.3. Manfaat Sampah ............................................................ 12
2.2. Pengelolaan Sampah................................................................ 14
2.3. Tempat Pembuangan Akhir ...................................................... 18
2.4. Pencemaran Lingkungan .......................................................... 19
2.5. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah .................... 20
2.6. Pembangunan Berwawasan Lingkungan ................................... 22
2.7. Analisis Kebijakan ................................................................. 23
2.8. Analisis AHP ......................................................................... 26
2.9. Pemodelan.............................................................................. 28
2.10. Kajian Penelitian Terdahulu ..................................................... 36

III. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN


3.1. Letak, Luas, dan Batas Administrasi .......................................... 38
3.2. Kondisi Geografis, Geologi, Topografi, Hidrologi, dan Iklim ....... 38
3.2.1. Kondisi Geografis ........................................................... 38
3.2.2. Kondisi Geologi dan Jenis Tanah ...................................... 39
3.2.3. Kondisi Topografi ........................................................... 40
3.2.4. Klimatologi dan Curah Hujan ........................................... 40
3.3. Kesesuaian Lokasi dengan Tata Ruang ....................................... 40
3.4. Penggunaan Lahan di Kota Depok ............................................. 41
3.5. Kondisi Demografi................................................................... 42
3.5.1. Penduduk ....................................................................... 42
3.5.2. Tenaga Kerja .................................................................. 43
3.5.3. Pendidikan...................................................................... 44
3.5.4. Agama ........................................................................... 44
3.5.5. Kesehatan ....................................................................... 45
3.5.6. Fasilitas Transportasi....................................................... 45
3.6. Gambaran Umum TPA Cipayung Kota Depok ............................ 45
3.7. Infrastruktur TPA Cipayung ..................................................... 46
3.8. Tahap Pengoperasian TPA dengan Cara Sanitary Landfill ........... 47
3.9. Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM)....................................... 57
3.10. Kesimpulan ............................................................................ 59
3.11. Daftar Pustaka......................................................................... 60

IV. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 61


4.1. Lokasi dan Waktu dan Penelitian .............................................. 61
4.2. Rancangan Penelitian................................................................ 61
4.3. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 62
4.3.1. Keadaan Kualitas Lingkungan, Sosial, Ekonomi, dan Kesehatan
Masyarakat di Sekitar TPA Cipayung................................ 62
4.3.2. Kebijakan Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung ............. 62
4.3.3. Sistem Pengelolaan Sampah ............................................ 63
4.4. Metode Analisis ...................................................................... 63
4.4.1. Analisis Keadaan Kualitas Lingkungan, Sosial, Ekonomi, dan
Kesehatan Masyarakat di Sekitar TPA Cipayung ............ 63
4.4.2. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung 63
4.4.3. Analisis Sistem Pengelolaan Sampah ............................... 64
4.4.3.1. Tahapan Pemodelan Sistem Dinamik.................... 64
4.4.3.2. Pemilihan Tema dan Identifikasi Variabel Kunci... 65
4.4.3.3. Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir .... 65
4.4.3.4. Formulasi Model Simulasi................................... 65
4.4.3.5. Verifikasi dan Validasi Model ............................. 66
4.4.3.6. Sensitivitas ........................................................ 67
4.4.3.7. Sekenario Kebijakan ........................................... 67
4.5. Tahap Penelitian ...................................................................... 68
4.6. Jenis dan Sumber Data.............................................................. 68

V. KEADAAN KUALITAS LINGKUNGAN, SOSIAL, EKONOMI,


DAN KESEHATAN MASYARAKAT DI SEKITAR TPA
CIPAYUNG .................................................................................. 70
5.1. Pendahuluan ........................................................................... 70
5.2. Metode Evaluasi Kualitas Lingkungan ....................................... 71
5.2.1. Data Primer ................................................................... 72
5.2.1.1. Fisik dan Kimia .................................................. 72
5.2.1.2. Mikrobiologi Lingkungan.................................... 74
5.2.1.3 Sosial Ekonomi Masyarakat................................. 75
5.2.2. Data Sekunder ................................................................ 77
5.3. Kondisi Kualitas Lingkungan ..................................................... 77
5.3.1. Fisik dan Kimia Air ......................................................... 77
5.3.1.1. Kualitas Air Sumur .............................................. 77
5.3.1.2. Kualitas badan air penerima (BAP) ....................... 91
5.3.1.3. Kualitas Air Lindi................................................ 96
5.3.2. Mikrobiologi Air ............................................................. 100
5.4 Keadaan Responden di Kawasan TPA Cipayung.......................... 101
5.4.1. Jarak Rumah Responden dengan TPA Cipayung ................. 101
5.4.2. Tanggap Responden Terhadap TPA Cipayung .................... 102

xii
5.4.3. Keadaan Sosial-Ekonomi Responden di TPA Cipayung ....... 105
5.4.4. Manfaat TPA bagi Masyarakat di Sekitar TPA Cipayung ..... 111
5.4.4.1. Kesempatan Kerja ................................................ 111
5.4.4.2. Pemasaran dan Analisis Finansial........................... 114
5.4.4.2.1. Analisis Finansial Aerobik Komposting ... 116
5.4.4.2.2. Analisis Finansial Anaerobik Komposting 118
5.5. Kondisi Sosial Budaya............................................................... 121
5.6. Kesehatan Masyarakat ............................................................... 122
5.7. Kesimpulan .............................................................................. 124
5.8. Daftar Pustaka .......................................................................... 125

VI. KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH....................................... 127


6.1. Latar Belakang ........................................................................ 127
6.2. Metode Analisis AHP ............................................................... 128
6.3. Hasil Analisis Data Penilaian Tingkat Kepentingan ..................... 129
6.4. Alternatif Kebijakan Pengelolaan TPA Cipayung ........................ 133
6.5. Kesimpulan ............................................................................. 147
6.6. Daftar Pustaka ......................................................................... 148

VII. SISTEM PENGELOLAAN TPA SAMPAH ...................................... 150


7.1. Latar Belakang ........................................................................ 150
7.2. Metode Analisis ...................................................................... 151
7.3. Kondisi Eksisting Pengelolaan Persampahan Kota Depok ............ 151
7.3.1. Sub Sistem Kelembagaan dan Organisasi........................... 152
7.3.1.1. Bentuk dan Struktur Organisasi............................. 152
7.3.1.2. Koordinator Kecamatan (KORCAM)..................... 153
7.3.2. Sistem Tekhnik Operasional............................................. 153
7.3.2.1. Timbulan Sampah di Kota Depok.......................... 153
7.3.2.2. Tingkat Pelayanan ............................................... 154
7.3.2.3. Pola Pelayanan .................................................... 154
7.3.2.4. Penggunaan Pewadahan ....................................... 155
7.3.2.5. Pengumpulan Sampah .......................................... 155
7.3.2.6. Tempat Pemindahan Sampah ................................ 156
7.3.2.7. Pengangkutan...................................................... 156
7.3.2.8. Daur Ulang dan Pengomposan .............................. 156
7.3.3. Sub Sistem Pembiayaan ................................................... 157
7.3.3.1. Sumber Dana ...................................................... 157
7.3.3.2. Retribusi............................................................. 158
7.3.3.3. Biaya Satuan Pengelolaan..................................... 160
7.3.4. Sub Sistem Hukum/Peraturan Perundangan ....................... 160
7.3.4.1. Dasar Hukum Pengelolaan
Persampahan/Kebersihan...................................... 160
7.3.4.2. Dasar Hukum Retribusi Persampahan .................... 160
7.4. Model Sistem Pengelolaan Sampah ........................................... 161
7.4.1. Parameter dan Variabel Model Sistem Pengelolaan
Sampah ......................................................................... 161
7.4.2. Diagram Input-Output..................................................... 161
7.4.3. Diagram Struktur Model Sistem Pengelolaan Sampah ........ 163

xiii
7.5. Partisipasi Masyarakat ............................................................. 175
7.5.1. Aspek Partisipasi Masyarakat Sebagai Sub Sistem ............. 175
7.5.2. Program Partisipasi Masyarakat ....................................... 176
7.5.2.1. Peran serta pada pembiayaan ............................... 178
7.5.2.2. Peran serta pengelolaan ....................................... 178
7.6. Implementasi Pengelolaan dan Pengolahan Sampah.................... 180
7.6.1. Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skala Kawasan................ 180
7.6.1.1. Pengumpulan Sampah Skala Kawasan ................. 181
7.6.1.2. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Skala
Kawasan ........................................................... 181
7.6.2. Unit Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga................. 183
7.6.3. Tempat Pemrosesan/Pembuangan Akhir (TPA) ................. 184
7.7. Alternatif Pengolahan Sampah .................................................. 189
7.7.1. Konseps i Penanganan Sampah dari Sumber ...................... 189
7.7.2. Skenario Pemilahan Sampah Non Organik ........................ 190
7.7.3. Skenario Pembuatan Kompos .......................................... 190
7.7.4. Metode Pembuatan Kompos Takakura.............................. 191
7.7.5. Komponen Sarana/Prasarana 3R pada Sumber Sampah ...... 191
7.7.6. Proses Sosialisasi ........................................................... 191
7.7.7. Pembiayaan dan Insentif ................................................. 192
7.8. Pengelolaan Sampah dengan Memanfaatkan Teknologi............... 192
7.9. Konsep Penanganan Sampah Berbasis Masyarakat ..................... 193
7.10. Rekomendasi Pengelolaan dan Pengolahan Sampah
Kota Depok ............................................................................ 197
7.10.1. Strategi Pengembangan ................................................. 197
7.10.1.1. Kepadatan Daerah Terbangun .......................... 198
7.10.1.2. Potensi Ekonomi............................................. 198
7.10.1.3. Kesesuaian dengan Rencana Induk Kota ........... 198
7.10.2. Aspek Tekhnik Operasional........................................... 199
7.10.2.1. Rencana Daerah dan Tingkat Pelayanan ............ 199
7.10.2.2. Rencana Pola Pelayanan .................................. 199
7.10.2.3. Rencana Tekhnik Operasional .......................... 202
7.10.3. Aspek Peraturan ........................................................... 204
7.10.3.1. Tahap Mendesak ............................................. 204
7.10.3.2. Tahap Jangka Menengah.................................. 204
7.10.4. Aspek Kelembagaan dan Organisasi............................... 204
7.10.4.1. Tahap Mendesak ............................................. 204
7.10.4.2. Tahap Jangka Menengah.................................. 205
7.10.5. Aspek Partisipasi Masyarakat ........................................ 205
7.10.5.1. Tahap Mendesak ............................................. 205
7.10.5.2. Tahap Jangka Menengah.................................. 206
7.10.6. Pengelolaan Sampah Terpadu ........................................ 206
7.11. Kesimpula n ............................................................................ 207
7.12. Daftar Pustaka......................................................................... 208

VIII. PEMBAHASAN UMUM ................................................................ 210

IX. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 219

xiv
9.1 Kesimpulan ............................................................................. 219
9.2 Saran ....................................................................................... 221

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 222


LAMPIRAN ........................................................................................... 229

xv
DAFTAR TABEL
Halaman

1 Komposisi sampah .......................................................................... 11


2 Skala banding secara berpasangan dalam AHP .................................. 27
3 Rencana pemanfaatan ruang Kota Depok tahun 2010 ......................... 41
4. Keadaan penduduk di Kota Depok .................................................... 43
5. Banyaknya tempat ibadah menurut jenisnya di Kota Depok ................. 44
6. Pola pembongkaran sampah di TPA Cipayung ................................... 52
7. Komposisi kepegawaian DKP Kota Depok ........................................ 58
8. Jumlah sukwan DKP Kota Depok menurut jabatan ............................. 59
9. Kualitas air sumur yang akan dianalisis di TPA Cipayung ................... 72
10. Kualitas badan air penerima (BAP) yang akan dianalisis di TPA
Cipayung ........................................................................................ 73
11. Kualitas air lindi yang akan dianalisis di TPA Cipayung ..................... 74
12. Mikrobiologi yang akan dianalisis di air sumur dan BAP TPA
Cipayung ....................................................................................... 75
13. Pengambilan jumlah responden......................................................... 76
14. Badan air penerima (BAP) di TPA Cipayung .................................... 92
15. Kualitas air lindi di TPA Cipayung.................................................... 97
16. Dampak ekologis berbagai limbah yang potensial masuk ke perairan.... 99
17. Hasil pengujian terhadap mikrobiologi di TPA Cipayung .................... 101
18. Biaya pembuatan kompos 5 tahun ..................................................... 117
19. Biaya produksi Dranco per tahun ...................................................... 119
20. Nilai prioritas kelompk pemangku kepentingan .................................. 129
21. Nilai pembobotan pada aspek (level 3) masing-masing kelompok
pemangku kepentingan..................................................................... 132
22. Nilai gabungan pembobotan pada level aspek .................................... 132
23. Nilai prioritas alternatif kebijakan pengelolaan TPA Cipayung ............ 134
24. Karakteristik sampah yang masuk ke TPA Cipayung .......................... 157
25. Target dan realisasi retribusi persampahan Kota Depok 2001-2005 ...... 178
26. Pengelolaan sampah terpadu ............................................................. 207

xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran model pengelolaan lingkungan TPA sampah
secara berkelanjutan ..................................................................... 5
2. Tiga elemen sistem kebijakan ........................................................ 24
3. Mencari pengungkit tertinggi ......................................................... 30
4. Pemodelan sistem dinamik ............................................................ 35
5. Stock flow diagram ...................................................................... 36
6. Pembagian lahan TPA Cipayung .................................................... 49
7. Struktur hirarki perumusan strategi pengelolaan TPAS ..................... 62
8. Alur tahapan pemodelan ................................................................ 64
9. Jarak tempat tinggal responden ke TPA .......................................... 101
10. Tanggapan responden di sekitar TPA Cipayung ............................... 102
11. Tingkat pendidikan responden di TPA Cipayung ............................ 105
12. Model pengelolaan sampah............................................................ 107
13. Jenis pekerjaan responden ............................................................. 110
14. Grafik hubungan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial........................ 133
15. Sistem peraturan perundangan pengelolaan sampah ......................... 145
16 Struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok ... 152
17. Diagram input-output sistem pengelo laan sampah di TPA Cipayung.. 162
18. Causal loop model pengelolaan sampah .......................................... 164
19. Diagram model pengelolaan sampah berkelanjutan .......................... 165
20. Grafik prediksi perkembangan jumlah sampah di TPS dan sampah
di TPA, sampah rumah tangga, sampah yang tidak terangkut dan
sampah yang tidak tertampung di TPA............................................ 168
21. Grafik prediksi usia TPA pada berbagai pola (%)............................. 170
22. Grafik prediksi usia TPA dengan pola 3R+1P pada berbagai skenario
(%) ............................................................................................. 171
23. Grafik prediksi jumlah sampah di TPA pada berbagai skenario
recycle ......................................................................................... 172
24. Grafik prediksi jumlah sampah yang tidak tertampung di TPA pada
berbagai skenario (m3) .................................................................. 173
25. Sistem mekanisme peran serta masyarakat ...................................... 176
26. Sistem pemanfaatan teknologi........................................................ 193
27. Kerjasama pemangku kepentingan.................................................. 194
28. Sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat ............................. 195

xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Foto lokasi penelitian ....................................................................... 229
2 Hasil analisis AHP ........................................................................... 230
3 Rumah tangga responden yang mendapat pelayanan angkutan sampah
dan Penerapan 3R per Kecamatan ..................................................... 231
4 Cara pengolahan pada rumah tangga yang tidak mendapat Pelayanan
angkutan sampah ............................................................................. 234
5 Pengelolaan sampah yang dilakukan di Kota Depok............................ 237
6 Pengelolaan sampah takakura ........................................................... 242
7 Kegiatan di kawasan TPA Cipayung ................................................. 243

xviii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kota Depok merupakan salah satu kota yang sedang berkembang di
Propinsi Jawa Barat. Sebagaimana umumnya kota yang sedang berkembang,
cukup banyak kegiatan yang dilakukan tanpa memperhitungkan keseimbangan
lingkungan seperti kondisi fisik tanah, air, udara, kelestarian flora dan fauna, serta
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Salah satu dampak perkembangan pembangunan yang paling menonjol
dan memerlukan perhatian yang sangat besar adalah masalah persampahan.
Hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya tumpukan sampah di berbagai
sudut Kota sebagai potret buram buruknya penanganan sampah di negeri ini.
Berdasarkan data DKLH Kota Depok (2008), timbulan sampah yang dihasilkan
Kota Depok semakin meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduknya
yang telah mencapai lebih dari 1,3 juta jiwa. Pada tahun 2006 timbunan sampah di
Kota Depok mengalami kenaikan sebesar 43% dari tahun 2005, yaitu dari ± 2,409
m3/hari (879.318 m3/tahun) menjadi ± 3,445 m3/hari (1,257,425 m3/tahun).
Hal ini terjadi di karenakan pola hidup masyarakat yang semakin
konsumtif sehingga mengakibatkan bertambahnya jumlah timbulan sampah yang
pada akhirnya meningkatkan beban TPA karena adanya ketidaksanggupan TPA
menampung jumlah timbulan sampah yang semakin hari semakin bertambah.
Keterbatasan sarana dan prasarana pengolahan serta lemahnya manajemen
pengelolaan mengakibatkan tidak terurusnya tumpukan sampah yang meng-
gunung di TPA. Kondisi tersebut pada akhirnya memicu timbulnya konflik antara
TPA dan masyarakat yang tidak dapat terelakkan lagi. Tingkat penolakan
masyarakat terhadap keberadaan TPA semakin meningkat, begitu pula yang
terjadi pada TPA Cipayung di Kota Depok.
Menurut Hidayat (2008) pada awal pengoperasiannya, sampah yang
masuk ke TPA langsung diolah sehingga tidak menimbulkan permasalahan bagi
masyarakat sekitar. Namun dalam perkembangannya, pengelolaan TPA menjadi
semakin buruk. Sampah yang sebelumnya ditimbun dari waktu ke waktu berubah
2

menjadi hanya ditumpuk dan dibiarkan saja. Hal ini menimbulkan protes dari
warga sekitar TPA.
Semakin meningkatnya volume timbulan sampah tersebut dikhawatirkan
akan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan, baik langsung maupun
tidak langsung bagi penduduk Kota Depok. Dampak langsung dari penanganan
sampah yang kurang terkelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan, timbulnya berbagai penyakit menular maupun penyakit
kulit serta gangguan pada pernapasan, dan menurunnya nilai estetika lingkungan.
Sedangkan dampak tidak langsung yang dapat terjadi di antaranya adalah bahaya
banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air sungai karena terhalang
timbunan sampah yang dibuang ke sungai.
Mengatasai permasalahan tersebut di atas, perlu dilakukan usaha pengu-
rangan sampah mulai dari sumbernya. Saat ini Pemerintah Kota Depok telah
menetapkan pengelolaan persampahan menjadi program utama yang termasuk
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam
RPJMD tersebut Pemerintah Kota Depok berinisiatif membuat suatu pengolahan
sampah pada tingkat kawasan Kelurahan yang sekarang dikenal dengan Unit
Pengolahan Sampah (UPS). Pembangunan UPS tersebut juga merupakan bentuk
implementasi dari UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Melalui
UPS tersebut sampah yang dihasilkan oleh warga akan diolah seluruhnya.
Penanganan masalah sampah tidak hanya menjadi tanggungjawab Dinas
Kebersihan Pertamanan Kota Depok saja, akan tetapi menjadi tanggungjawab
bersama. Masyarakat sebagai produsen sampah diharapkan mampu mengelola dan
mengurangi jumlah sampah yang ada. Kegiatan yang telah dilakukan di antaranya
memilah sampah dan mengolahnya kembali menjadi barang yang berguna.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat membantu Pemerintah
dalam mewujudkan kota yang bersih dan teratur.
Padmowihardjo (2001) mengatakan partisipasi merupakan suatu bentuk
kegiatan yang dilakukan baik sendiri (individu) maupun secara kolektif untuk
mencapai tujuan. Partisipasi dalam penanganan sampah dapat menyebabkan
3

perubahan dalam pemikiran dan tindakan setiap individu dalam meningkatkan


kebersihan di lingkungan tempat tinggal mereka masing-masing.
Meskipun upaya pengelolaan sampah telah dilakukan dengan sebaik-
baiknya, namun masih banyak permasalahan yang timbul seperti rendahnya
kepedulian dan peran serta masyarakat serta kurangnya dukungan kebijakan
perundangan yang proporsional yang dapat diterapkan, khususnya di lingkungan
TPA Sampah Cipayung, Kota Depok. Menindak lanjuti hal tersebut di atas, perlu
diciptakan suatu model pengelola an tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah
secara berkelanjutan di TPA Cipayung Kota Depok.

1.2. Kerangka Pemikiran


Pesatnya pembangunan di berbagai bidang mempengaruhi laju per-
tumbuhan penduduk Kota Depok. Berdasarkan data BPS Kota Depok (2007),
jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2007 mencapai 1.470.002 jiwa.
Pertambahan jumlah penduduk tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan
kebutuhan hidup yang berdampak terhadap peningkatan sisa-sisa buangan atau
sampah dari aktivitas yang dilakukan. Di wilayah Kota Depok juga terdapat
fasilitas umum seperti pasar, terminal, pertokoan, jalan raya serta industri yang
semua aktivitasnya menghasilkan sampah. Jika tidak dikelola dengan baik,
sampah akan menjadi sumber masalah dalam kehidupan di antaranya menjadi
sumber pencemar lingkungan hidup. Untuk itu, perlu dilakukan analisis kualitas
air sumur, badan air penerima (BAP), dan kualitas air lindi serta mikrobiologi
di kawasan TPA Cipayung.
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok telah mengkonsolidasikan
kegiatan pengolahan sampah dengan tujuan untuk mewujudkan kota yang bersih,
sehat, dan nyaman. Kegiatan pengolahan sampah tersebut dilakukan dengan me-
libatkan peranserta masyarakat dimulai dari tingkat rumah tangga yang di-
lanjutkan pada tahap pengumpulan, pengangkutan, dan pengolahan yang di-
lakukan di TPA Cipayung. Pengolahan untuk limbah industri, terutama limbah B3
(bahan bahaya dan beracun) pada umumnya dilakukan sendiri oleh industri yang
4

bersangkutan atau bekerjasama dengan pihak lain (Dinas Kebersihan dan


Lingkungan Hidup, 2008).
Pemerintah Kota Depok telah menerapkan sistem pengelolaan sampah
dengan berbagai aplikasi teknologi, akan tetapi pada kenyataannya masih ada
timbulan sampah yang tidak terangkut ke TPA Cipayung. Timbulnya per-
masalahan tersebut karena masih banyak masyarakat Kota Depok yang belum
perduli dan menyadari akan permasalahan yang timbul sebagai akibat dari
timbulan sampah yang dihasilkan.
Dikarenakan adanya keterbatasan tenaga kerja dan biaya operasional
pengangkutan sampah, permasalahan sampah tidak hanya menjadi tanggungjawab
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok (DKP). Oleh sebab itu, diperlukan
adanya partisipasi masyarakat dalam upaya mengurangi jumlah timbulan sampah
yang ada di Kota Depok. Selain itu, partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan
untuk menanggulangi permasalahan sampah perkotaan yang semakin komplek,
sehingga diperlukan adanya kebijakan untuk pengelolaan sampah, mengingat
kontribusi penyumbang sampah yang paling besar adalah sektor pemu-
kiman/perumahan. Sampah yang paling dominan dihasilkan dari kegiatan rumah
tangga adalah jenis sampah organik. Pengelolaan sampah organik seharusnya
dapat ditangani lebih mudah dari tingkat rumah tangga. Dengan mereduksi
sampah dari sumbernya, diharapkan volume sampah yang dihasilkan dapat
berkurang sedikit demi sedikit.
Hingga saat ini sudah ada kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang
pengelolaan sampah, di antaranya UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Kebijakan
penataan terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah
sangat diperlukan. Kebijakan tersebut di antaranya adalah dengan melakukan
peningkatan manajemen pelayanan umum agar dapat berjalan secara efisien,
efektif, ekonomis dan akuntabel. Namun pada kenyataannya, kebijakan tersebut
diduga masih belum diimplementasikan dengan baik, karena sistem
pengelolaannya belum bersifat holistik dan operasional. Oleh karena itu, perlu
5

dibuat kebijakan yang baru atau mengembangkan kebijakan-kebijakan yang telah


ada, sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi.
Kebijakan yang sudah ditetapkan harus dapat dilaksanakan dan perlu
adanya pemantauan yang ketat agar kualitas lingkungan tetap terjaga, tidak terjadi
konflik, dan mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat di sekitar kawasan
TPA Cipayung, Kota Depok. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian dapat
dilihat pada Gambar 1.

Perumahan sampah Fasilitas Umum

Pencemaran lingkungan : Pengelolaan TPA sampah Masalah sosial, kesehatan


pembentukan air lindi, Cipayung
degradasi, limpasan serta
peresapan, gas metan

Ekologi Sosial Ekonomi

- kualitas air sungai, - persepsi - pendapatan


sumur dan lindi - kesehatan - peluang bekerja
- mikrobiologi - Partisipasi
- Pendidikan lingkungan
- Budaya

MODEL PENGELOLAAN TPA SAMPAH


SECARA BERKELANJUTAN

Gambar 1. Kerangka pemikiran model pengelolaan TPA sampah secara


berkelanjutan.

1.3. Perumusan Masalah


Sampah telah menjadi permasalahan nasional, seiring dengan pertumbuhan
yang terjadi di segala bidang yang berdampak pada pertumbuhan jumlah produksi
6

sampah yang dihasilkan. Jumlah sampah yang terus meningkat dari tahun ke
tahun membuat masalah sampah menjadi salah satu prioritas yang sangat penting
untuk ditangani oleh semua pihak khususnya Pemerintah Kota Depok.
Penanganan sampah pada dasarnya adalah tanggungjawab seluruh pihak termasuk
masyarakat, dunia usaha, lembaga pendidikan, swasta, LSM, dan Pemerintah.
Organisasi pengelolaan sampah di Kota Depok secara formal termasuk
dalam Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Secara operasional Dinas Kebersihan
dan Pertamanan bekerjasama dengan Dinas Pengelolaan Pasar dengan mengikut
sertakan masyarakat, baik di tingkat Kecamatan, RT/RW, Kelurahan maupun di
tingkat swasta yang perduli terhadap lingkungan. Tugas utama Dinas Kebersihan
dan Pertamanan Kota Depok adalah menyelenggarakan kebersihan dengan cara
memberikan pelayanan secara maksimal melalui mekanisme pengangkutan,
pembuangan, dan pemrosesan sampah ke TPA Cipayung.
Pembangunan TPA Sampah Cipayung diharapkan akan membawa dampak
positif bagi masyarakat sekitar maupun bagi warga Kota Depok secara umum,
sehingga permasalahan persampahan di Kota Depok dapat ditangani dengan baik.
Selain dampak positif terhadap masyarakat sekitar, keberadaan TPA Sampah
Cipayung juga menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem di kawasan
tersebut. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain terjadinya penurunan
kualitas lingkungan, baik fisik, kimiawi maupun penurunan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas yang menjadi fokus utama dalam
penelitian ini adalah:
1. Kondisi kualitas lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat di
sekitar kawasan TPA Sampah Cipayung Kota Depok;
2. Rancangan strategi kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan
kawasan TPA Sampah Cipayung di Kota Depok;
3. Rencana model kebijakan pengelolaan TPA Sampah Cipayung secara
berkelanjutan.
7

1.4. Tujuan Penelitian


Tujuan umum penelitian ini adalah membuat rumusan model pengelolaan
sampah berkelanjutan di Kota Depok agar dapat dijadikan pedoman dalam
kegiatan pengelolaan sampah yang selama ini telah dilaksanakan oleh
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok. Selain itu, penelitian ini bertujuan
untuk (1) mendapat informasi tentang kualitas lingkungan, sosial ekonomi, dan
kesehatan masyarakat di sekitar kawasan TPA Sampah Cipayung, (2) mendapat
rancangan strategi kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan TPA
Sampah Cipayung di Kota Depok, (3) mendapat rancangan model kebijakan
pengelolaan TPA Sampah Cipayung secara berkelanjutan.

1.5. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penentu
kebijakan dan pelaksana pengelola persampahan agar pelaksanaan pengelolaan
sampah dapat berjalan dengan baik dan dapat menuntaskan atau meminimalisir
permasalahan persampahan yang selalu muncul di perkotaan di Indonesia.

1.6. Novelty (Kebaruan)


Novelty (kebaruan) penelitian yang dilakukan adalah penyusunan model
pengelolaan lingkungan TPA Sampah secara holistik, sehingga dapat mencegah
timbulnya dampak negatif terhadap aspek ekologi, ekonomi, dan sosial di sekitar
kawasan TPA Sampah Cipayung Kota Depok. Sistem dinamis dapat
memprediksikan usia TPA dengan berbagai skenario dan pola pemilahan sampah
sehingga dapat dilakukan pengelolaan sampah secara terpadu dengan sistem
sanitary landfill.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Sampah

2.1.1. Penggolongan Sampah


Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan
limbah padat. Limbah itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang
atau dibuang dari suatu hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan
tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai
ekonomi yang negatif. Sampah mempunyai nilai negatif karena penanganan untuk
membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar, di
samping itu juga mencemari lingkungan (Sa’id, 1998). Dewi (2008)
mengemukakan sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah
berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas
manusia, namun pada prinsipnya sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau
dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki
nilai ekonomis. Sampah lebih rinci dibagi menjadi:
1. Sampah manusia, merupakan buangan yang dikeluarkan oleh tubuh manusia
sebagai hasil pencernaan. Tin ja dan air seni adalah hasilnya.
Sampah manusia tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan karena bisa
menjadi vektor penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus;
2. Limbah, merupakan buangan yang berasal dari rumah tangga maupun pabrik.
Limbah cair rumah tangga umumnya dialirkan ke saluran tanpa proses
penyaringan seperti sisa air mandi, bekas cucian, dan limbah dapur.
Sementara itu, limbah pabrik perlu diolah secara khusus sebelum dilepas ke
alam bebas agar lebih aman. Namun tidak jarang limbah bahaya tersebut
disalurkan ke sungai atau laut tanpa penyaringan;
3. Refuse (sampah), diartikan sebagai bahan sisa proses industri atau hasil
sampingan kegiatan rumah tangga. Sampah tersebut dibagi menjadi sampah
lapuk, sampah tidak lapuk, dan tidak mudah lapuk;
4. Bahan sisa industri, umumnya dihasilkan dalam skala besar dan merupakan
bahan buangan dari sisa proses industri.
9

Menurut Suriawiria (2003) sampah berdasarkan sumbernya digolongkan


dalam dua kelompok besar yaitu:
1. Sampah domestik, yaitu sampah yang sehari-hari dihasilkan yang bersumber
dari aktivitas manusia secara langsung, baik dari rumah tangga, pasar, sekolah,
pusat keramaian, pemukiman, dan rumah sakit;
2. Sampah non-domestik, yaitu sampah yang sehari-hari dihasilkan yang
bersumber dari aktivitas manusia secara tidak langsung, baik dari pabrik,
industri, pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan transportasi.
Berdasarkan bentuknya, sampah digolongkan ke dalam tiga kelompok besar
yaitu:
1. Sampah padat, yaitu sampah yang berasal dari sisa tanaman, hewan, kotoran
ataupun benda-benda lainnya yang bentuknya padat;
2. Sampah cair, yaitu sampah yang berasal dari buangan pabrik, industri,
pertanian, perikanan, peternakan atau pun manusia yang berbentuk cair,
misalnya air buangan dan air seni;
3. Sampah gas, yaitu sampah yang berasal dari knalpot kendaraan bermotor, dan
cerobong pabrik yang semuanya berbentuk gas atau asap.
Berdasarkan jenisnya, sampah dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
1. Sampah organik, yaitu jenis sampah yang sebagian besar tersusun oleh
senyawa organik (sisa tanaman, hewan atau kotoran);
2. Sampah anorganik, yaitu jenis sampah yang tersusun oleh senyawa anorganik
(plastik, botol, logam).
Berdasarkan jenisnya, sampah memiliki dua sifat yang berbeda, yaitu:
1. Sampah yang bersifat degradabel, yaitu sifat sampah yang secara alami
dapat/mudah diuraikan oleh jasad hidup (khususnya mikroorganisme),
contohnya sampah organik;
2. Sampah yang bersifat non-degradabel, yaitu sifat sampah yang secara alami
sukar atau sangat sukar untuk diuraikan oleh jasad hidup, contohnya sampah
anorganik.
10

2.1.2. Komposisi Sampah


Suriawiria (2003) mengemukakan sampah mengandung senyawa kimia
yang terdiri atas air, organik, dan anorganik yang persentasenya tergantung
kepada sifat dan jenisnya, dari beberapa data analisis yang telah dilakukan di
lingkungan ITB, kandungan kimia sampah antara lain sebagai berikut:
1. Sampah berbentuk sisa tanaman terdiri atas air, senyawa organik, nitrogen,
fosfor, kalium, kapur, dan karbon;
2. Sampah berbentuk kotoran manusia terdiri atas tinja dan air seni.
Senyawa kimia yang terkandung di dalam sampah, merupakan sumber
senyawa bagi kehidupan makhluk hidup, khususnya mikroorganisme,
sehingga di dalam sampah terkandung pula kehidupan yang tersusun oleh
bakteri dan jamur (paling besar), protozoa, cacing, virus, mikroalge serta
serangga. Pada umumnya kelompok kehidupan yang didapatkan di dalam
sampah tersusun oleh:
1. Kelompok pengurai adalah bakteri dan jamur yang mampu untuk
mengurai senyawa organik menjadi senyawa atau unsur lain yang lebih
sederhana;.
2. Kelompok patogen penyebab penyakit adalah bakteria, jamur, virus dan
protozoa penyebab penyakit perut, kulit dan pernapasan;
3. Kelompok penghasil racun adalah bakteri dan jamur yang dapat
menyebabkan keracunan pada air ataupun bahan kimia;
4. Kelompok pencemar, umumnya kalau pada sampah tersebut dikenai oleh
kotoran manusia ataupun hewan, atau oleh kehadiran lumpur/ air selokan.
Kelompok pengurai di dalam sampah sangat menguntungkan, karena
berfungsi antara lain di dalam penurunan volume atau bobot sampah dalam proses
pengomposan. Sudrajat (2006) mengemukakan sumber sampah yang terbanyak
berasal dari pemukiman dan pasar tradisional. Sampah pasar khusus seperti sayur
mayur, pasar buah, dan pasar ikan, jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%)
berupa sampah organik sehingga lebih mudah ditangani. Sampah dari pemukiman
umumnya sangat beragam, tetapi secara umum minimal 75% terdiri atas sampah
11

organik dan sisanya anorganik. Hasil survei di Jakarta, Bogor, Bandung dan
Surabaya dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi sampah
No Komposisi Jumlah
1 Volume sampah 2-2,5 lt/kapita/hari
2 Bobot sampah 0,5 kg/kapita/hari
3 Kerapatan 200-300 kg/m3
4 Kadar air 65-75 %
5 Sampah organik 75-95 %
6 Komponen lain :
- Kertas 6%
- Kayu 3%
- Plastik 2%
- Gelas 1%
- Lian-lain 4%
Sumber : Sudrajat (2006)

Dewi (2008) mengemukakan volume tumpukan sampah memiliki nilai


sebanding dengan tingkat konsumsi masyarakat sehari-hari. Jenis sampah yang
dihasilkan sangat tergantung pada jenis material yang dikonsumsi. Peningkatan
jumlah penduduk dan gaya hidup masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap
volume sampah beserta komposisinya.
Sampah selalu timbul menjadi persoalan rumit dalam masyarakat yang
kurang memiliki kepekaan terhadap lingkungan. Ketidakdisiplinan mengenai
kebersihan dapat menciptakan suasana kotor akibat timbunan sampah. Kondisi
tersebut menyebabkan timbulnya bau tidak sedap, lalat berterbangan, gangguan
berbagai penyakit, pencemaran lingkungan, serta penurunan kualitas estetika
(Dewi, 2008).
Kerugian yang diakibatkan oleh sampah, di antaranya dalam bentuk korosi
(pengkaratan) benda-benda logam, pelapukan bambu atau kayu, kemungkinan
terjadinya proses blooming (pertumbuhan massa mikroalgae yang merugikan pada
permukaan air) baik pada kolam ikan ataupun tempat-tempat penyimpanan air,
ataupun terhadap proses kecepatan eutrofikasi/pendangkalan (danau, kolam,
reservoir) (Suriawiria, 2003).
12

2.1.3. Manfaat Sampah


Suriawiria (2003) mengemukakan bahwa sampah, apapun jenis dan
sifatnya, mengandung senyawa kimia yang sangat diperlukan oleh manusia secara
langsung atau tidak langsung, yang terpenting sampai berapa jauh manusia, dapat
menggunakan dan memanfaatkannya. Penggunaan dan pemanfaatan sampah
untuk kesejahteraan manusia, sudah sejak lama dilakukan, antara lain yaitu:
1. Pengisi tanah
Di Jakarta sekarang pertumbuhan tempat-tempat pemukiman baru yang
asalnya rawa ataupun tanah berair lainnya. Akibat adanya timbunan
sampah yang kemudian digunakan untuk menimbun rawa yang berlubang
akhirnya menjadi tempat permukiman.
2. Sumber pupuk organik
Kompos adalah sejenis pupuk organik yang sangat dibutuhkan khususnya
oleh petani sayuran. Kompos banyak dibuat dari sampah, walaupun
akhir-akhir ini kehadiran plastik merupakan masalah yang belum
sepenuhnya teratasi.
3. Sumber humus
Bahan dari galian dapat meningkatkan kerekahan, kimia, hidrologi dalam
fisik tanah. Hal tersebut menjadi tujuan utama para petani.
Kehadiran bahan organik dalam bentuk humus di dalam tanah, dapat
meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap dan mempertahankan air,
serta lebih effisiensi dalam menggunakan pupuk, menggunakan sampah
sebagai sumber humus telah sejak lama digunakan.
4. Media penanaman jamur
Sampah dapat digunakan sebagai media/tempat penanaman jamur.
5. Penyubur plankton
Jumlah sampah organik yang tinggi dalam perairan mengakibatkan
plankton tumbuh dengan subur, dengan suburnya plankton maka subur
pula pertumbuhan dan perkembangan ikan yang ada di dalamnya, karena
plankton sumber makanan utama ikan. Dengan menambahkan kompos ke
13

dalam kolam ikan akan meningkatkan hasil ikan di India dan Pakistan
(Suriawiria, 2003).
6. Bahan pembuat biogas
Sampah merupakan sumber energi baru yang saat ini telah dicoba di-
gunakan. Peranan sampah di dalam program penyediaan energi telah lama
diketahui yaitu:
a. Bahan bakar untuk penggerak mesin pembangkit listrik;
b. Bahan baku untuk proses fermentasi dalam pembuatan biogas.
7. Bahan baku pembuat bata
Jepang dan Jerman Barat merupakan negara pelopor penggunaan sampah
sebagai bahan baku di dalam pembuatan bata (briket). Ternyata tanah
bahan yang dic ampur dengan hancuran sampah mempunyai nilai bata yang
lebih baik kalau dibandingkan dengan hanya tanah atau sampah saja
(Suriawiria, 2003).
8. Media produksi vitamin
Salah satu jenis mikroorganisme penghasil vitamin (Vitamin B12) ternyata
sangat subur pertumbuhannya di dalam media yang dicampur dengan
ekstrak sampah. Untuk hal ini telah banyak lembaga peneliti yang
mencoba meneliti lebih lanjut peranan sampah sebagai bahan media
pertumbuhan jasad penghasil vitamin tersebut, antara lain yang sudah
berhasil adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat dan Swedia
(Suriawiria, 2003).
9. Bahan makanan ternak
Sampah dapat disamakan sebagai bahan makanan ternak baik secara
langsung maupun melalui proses fermentasi.
10. Media produksi PST (protein sel tunggal)
PST adalah jenis protein baru yang dibuat melalui aktivitas mi-
kroorganisme (mikroalgae, jamur dan bakteri). PST akan menjadi sumber
protein penyelamat masa mendatang kalau produksi protein secara
konvensional (melalui pertanian, peternakan dan perikanan) tidak
mencukupi. Mikroorganisme penghasil PST sangat subur pertumbuhannya
14

di dalam media yang terbuat dari sampah, seperti yang dibuktikan di


Jepang dan Amerika Serikat (Suriawiria, 2003).

2.2. Pengelolaan Sampah


Dewi (2008) mengemukakan tahap distribusi mempunyai peranan penting
dalam proses pengelolaan sampah. Hierarki lalu lintas sampah dimulai dari tingkat
terendah, yaitu rumah tangga hingga tempat pembuangan akhir (TPA). Sebelum
diolah, sampah menyusuri tiga alur pendistribusian yang saling berkaitan, yaitu:
1. Penampungan sampah
Penampungan sampah di tingkat rumah tangga memegang posisi terdepan.
Sejak awal pengelolaan sampah telah dipilah berdasarkan jenisnya, yaitu
sampah organik atau anorganik. Selain itu, sampah yang hendak dibuang
harus dikemas rapih dalam kantong khusus (bioplastik) atau kantong plastik
biasa. Di beberapa taman lingkungan dan lokasi publik strategis, pemisahan
sampah dapat dilakukan dengan menyediakan dua tempat sampah kering
dan basah sekaligus. Sebelum diangkut oleh petugas kebersihan, sampah
ditampung sementara dalam wadah. Agar lebih efisien dan efektif, tempat
sampah dapat pula dibuat dengan pemanfaatan barang bekas seperti karung
plastik, drum, kotak kayu, dan ember. Wadah yang digunakan untuk
penampungan sampah haruslah memiliki empat kriteria utama, yaitu: (a)
mudah dibersihkan; (b) tidak mudah rusak; (c) dapat ditutup rapat; (d)
ditempatkan di luar rumah.
2. Pengumpulan dan pembuangan sampah
Sampah yang telah dibuang pada tingkat rumah tangga sudah mulai diserbu
oleh pemulung. Pada tahap pengumpulan oleh para pemulung atau pengepul,
sampah biasanya dipilah secara sederhana menjadi tiga jenis, yaitu: (a)
sampah layak kompos dengan jumlah terbesar 50%; (b) sampah layak jual
sebanyak 16% dan; (c) sampah layak buang sebesar 34%. Sampah yang
sudah ada setiap beberapa waktu tertentu akan dikumpulkan oleh petugas
kebersihan tingkat RT/RW atau Kotamadya. Umumnya tahap pengumpulan
sampah di daerah padat penduduk dilakukan instansi terkait sekitar 2-3 hari
15

sekali. Sementara itu, jadwal pengambilan sampah di lokasi rumah yang


terpencar-pencar dilaksanakan sekitar satu kali perminggu sampai sampah
terkumpul agak banyak. Sampah diangkut dengan menggunakan truk
sampah atau gerobak tarik menuju lokasi yang telah disepakati.
3. Pengolahan sampah
Proses pengolahan sampah terpadu dilakukan dengan menerapkan upaya
cegah (reduce) dan upaya pakai ulang (reuse) dengan tujuan agar sampah
tidak sampai terbentuk. Upaya tersebut dilakukan pada tingkat terendah,
yaitu pada pemakaian barang, dan proses daur ulang sampah dilakukan
dengan sangat sederhana. Setelah dicacah dan dilelehkan, materi tersebut
dicetak menjadi bahan siap pakai. Metode untuk memusnahkan dan
pemanfaatan sampah dilakukan dengan beberapa cara di antaranya: (1)
membuang dalam lubang dan ditutup dengan selapis tanah, yang dilakukan
lapis demi lapis, sehingga sampah tidak di ruang terbuka; (2) sampah
dibuang ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan tanah; (3) membuka
dan membuang sampah di atas permukaan tanah; (4) membuang sampah di
perairan, misalnya di sungai atau di laut; (5) pembakaran sampah secara
besar-besaran dan tertutup dengan menggunakan insinerator; (6)
pembakaran sampah dengan insinerator yang dilakukan oleh perorangan
dalam rumah tangga; (7) sampah sayuran diolah untuk pakan ternak; (8)
pengelolaan sampah organik menjadi pupuk yang bermanfaat untuk
menyuburkan tanah; (9) sampah dihaluskan kemudian dibuang ke dalam
saluran air; (10) pendaur ulang sampah dengan cara memanfaatkan kembali
barang-barang yang masih bisa dipakai; (11) reduksi, menghancurkan
sampah menjadi bagian kecil-kecil dan hasilnya dimanfaatkan.
Suriawiria (2003) pengumpulan sampah merupakan berbagai cara dan
usaha untuk mengelola sampah agar lingkungan menjadi bersih, sehat dan nyaman.
Pengelolaan sampah di TPA terdiri atas membuka membuang sampah di
permukaan, membuang sampah ke dalam lubang tanpa ditimbun oleh lapisan
tanah, insinerator, pembuatan kompos dan teknologi baru (menggunakan kembali,
mengurangi, dan mendaur ulang). Partisipasi masyarakat dalam hal pengelolaan
16

sampah harus diperhatikan ketersediaan tempat sampah di rumah, ketersediaan


TPS, ketaatan pembayaran iuran, dan ketaatan membuang sampah di tempat yang
telah ditentukan.
Sudradjat (2006) mengemukakan model pengelolaan sampah di Indonesia
ada dua macam, yaitu: urugan dan tumpukan. Model pertama merupakan cara
yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa
memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini bisa dilakukan
pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman di bawahnya, tidak
menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor, atau penurunan
estetika lingkungan. Urugan merupakan model pengelolaan sampah yang umum
dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar.
Pengelolaan sampah yang kedua yaitu tumpukan. Model tersebut dilaksanakan
secara lengkap, sama dengan tekhnologi aerobik. Pada model tersebut dilengkapi
dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachate), dan
pembakaran akses gas metan (flare). Model tersebut banyak diterapkan di kota-
kota besar. Namun pada kenyataannya di lapangan model tumpukan umumnya
tidak lengkap, tergantung dari kondisi keuangan dan keperdulian pejabat daerah
setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Berikut ini beberapa model
pengolahan sampah di beberapa Kota di Pulau Jawa:
a. DKI Jakarta
TPA Bantar Gebang dikelola dengan cara menerapankan sistem tumpukan
yang dilengkapi dengan IPAS (Instalasi Pengelolaan Air Sampah) dan
sistem drainase. Sistem Drainase menampung air buangan atau lindi ke dalam
IPAS dan membuangnya ke sungai terdekat. Penggunaan sistem activated
sludge system, yaitu danau yang diberi aerasi dengan agitator (pengaduk
bertenaga besar). Operasional IPAS dan kebersihan drainase perlu dikontrol
dengan baik setiap hari agar tidak terjadi klaim dari masyarakat. Jalan yang
dilalui truk perlu dijaga kebersihannya dari tetes air yang keluar dari truk dan
sampah yang berserakan di sepanjang jalan. Tujuannya agar terhindar dari bau,
pemandangan yang tidak sedap, serta munculnya penyakit yang berhubungan
dengan kesehatan kulit dan paru-paru. Namun pada kenyataannya, pada tahun
17

2005 penduduk sekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710


orang. Permasalahan sampah DKI Jakarta saat ini adalah volume sampah yang
sudah tidak bisa ditampung lagi oleh areal yang ada. Perluasan areal ke daerah
lain, terutama lintas propinsi tidak akan memecahkan persoalan, tetapi akan
memindahkan persoalan. Dengan pendekatan ilmiah diharapkan akan ada
jalan keluar yang lebih arif dan efektif.
b. Surabaya
Model TPA di Surabaya sama dengan DKI Jakarta. Pada tahun 1980 TPA
Sukolilo mendapat protes oleh masyarakat setempat karena menimbulkan
polusi bau, padahal masyarakat datang ke lokasi setelah TPA tersebut berjalan
beberapa tahun. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Kota (Pemkot)
Surabaya mengimpor 1 unit pembakar sampah dari Inggris. Alat tersebut tidak
efektif karena biaya pembakaran sangat besar dan polusi bau berubah menjadi
asap dan debu, bahkan partikulat. Aplikasi pembakar sampah di Indonesia
kurang sesuai karena kadar air sampah yang sangat tinggi (>80%) sehingga
sebagian besar energi yang digunakan untuk membakar adalah untuk
menguapkan air. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasional alat tersebut
menjadi sangat tinggi.
c. Solo
Model pengolahan di Kota Solo seperti daerah lain yaitu dengan cara
tumpukan, kelebihannya, sampah pada gundukan yang telah menjadi kompos
dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat. Masyarakat menyaring
kompos dari bahan organik yang tidak terurai serta kotoran kasar, kemudian
dijual. Dengan cara tersebut ada sistem input dan sistem output sehingga
luasan areal TPA untuk timbunan sampah akan lebih lama penuh karena
output berupa kompos keluar areal tersebut.
Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena adanya penghasilan tambahan
yang cukup besar. Sistem tersebut berhasil memacu tumbuh kembangnya
pertanian organik di wilayah tersebut. Hal lain yang menarik adalah adanya
hewan ternak sapi yang dipelihara oleh penduduk sekitar dengan cara dilepas
secara liar di areal TPA untuk mencari makanan sendiri.
18

d. Daerah lain
Beberapa Kota di Jawa Barat yang penduduknya tidak begitu padat dan
memiliki topografi lembah dan pegunungan seperti di Kota Kuningan,
Sumedang, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya, sampah dibuang ke lembah.
Cara tersebut juga dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena cukup
efektif dan murah.
Pengelolaan sampah di Yogyakarta dilakukan dengan cara tumpukan dan
dilengkapi dengan unit pengolahan sampah masinal (mesin) yang dikelola oleh
Pemda setempat. Cara tumpukan telah dilakukan secara profesional. Di Malang
pengelolaan cara tumpukan dibangun dengan bantuan dana asing dan dirancang
secara modern dengan mengambil lokasi di suatu lembah. Pengelolaan sampah di
TPA daerah Gunung Galuga, Leuwiliang Bogor, juga menggunakan cara
tumpukan, tetapi karena tingginya curah hujan maka sampah kota memerlukan
waktu cukup lama untuk pembusukannya. Model pembakar sampah yang diimpor
dari Perancis pernah dicoba, tetapi akhirnya kembali gagal seperti di Surabaya.
Kasus di Bandung sama dengan DKI Jakarta, yaitu kemampuan TPA di daerah
Lembang sudah tidak bisa mengatasi volume sampah yang begitu besar,
disamping cuaca yang sangat dingin mempengaruhi pembusukan yang akan
berjalan sangat lambat.

2.3. Tempat Pembuangan Akhir


Widyatmoko (2001) mengatakan tempat pemrosesan akhir (TPA) yang
dikenal dengan sanitary landfill adalah sistem pembuangan sampah dengan cara
dipadatkan dan ditutupi serta dilapisi tanah setiap hari. Dalam sistem TPA akan
terjadi proses dekomposisi sampah secara kimia, biologi, dan fisik yang
menghasilkan gas-gas dan bahan organik. Air hujan yang jatuh pada lokasi TPA
akan berinfiltrasi ke dalam sistem sampah dan melarutkan hasil dekomposisi
berupa cairan yang disebut air lindi. Komposisi air lindi bervariasi antara satu
lokasi dengan lokasi lainnya.
Proses daur ulang, produksi kompos dan pembakaran bertujuan untuk
memperkecil volume sampah yang dihasilkan, sehingga pembuangan sampah
19

pada kolam sanitary landfill dapat diperkecil dan akhirnya dapat menghemat
penggunaan lahan TPA. Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan beberapa
macam teknologi, di antaranya menggunakan salah satu metodologi aerasi,
turning over bahan kompos (membolak balik bahan kompos) dan open air atau
reactor based.
Pemilihan jenis metodologi yang tepat perlu mempertimbangkan beberapa
hal yaitu: 1) proses yang digunakan haruslah ramah terhadap lingkungan;
2) biaya investasi tidak terlalu tinggi/ terjangkau; 3) biaya operasional dan
perawatan pembuatan kompos cukup murah; 4) kualitas kompos yang dihasilkan
cukup baik; 5) harga kompos dapat terjangkau oleh masyarakat dan
penggunaannya dapat bersaing dengan pupuk kimia buatan; dan
6) menggunakan tenaga kerja yang bersifat padat karya.

2.4. Pencemaran Lingkungan


Tempat pemprosesan akhir (TPA) sampah merupakan sarana untuk
penampungan dan pengolahan sampah yang pemilihan lokasi dan konstruksinya
dilakukan sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan dampak kesehatan dan
lingkungan, namun tetap saja menimbulkan pencemaran. Definisi pencemaran air
menurut Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
No. KEP-02/MENKLH/I/1988 Tentang Penetapan Baku Mutu Lingkungan
adalah: masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan air menjadi kurang atau sudah tidak berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukkannya (Achmad, 2004). Menurut Manahan (2002)
polutan adalah substansi yang melebihi konsentrasi alami yang memiliki pengaruh
merugikan terhadap lingkungannya yaitu berupa polutan alami yang dihasilkan
dari aktivitas manusia. Polutan alami adalah polutan yang memasuki suatu
lingkungan secara alami misalnya akibat gunung berapi, tanah longsor, banjir, dan
fenomena alam lainnya. Notodarmojo (2005) mengemukakan bahwa polutan
antropogenik berasal dari aktivitas manusia misalnya kegiatan domestik,
20

perkotaan, dan kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat


dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang disebabkan oleh polutan
tersebut.
Tchobanoglous et al. (1993) mengatakan pencemaran tersebut umumnya
akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, sebagai contoh di sekeliling
TPA akan terjadi pencemaran oleh gas yang berasal dari sampah dan lindi.
Pencemaran oleh lindi akan terus berlangsung selama 30-50 tahun walaupun TPA
tersebut sudah ditutup. Gas di TPA mempunyai resiko yang signifikan dan
berdampak negatif terhadap lingkungan. Gas metan merupakan 50% gas yang ada
di TPA yang akan masuk ke atmosfer dan menyumbangkan 2-4% dari pemanasan
global gas rumah kaca.
Zat pencemar secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian.
Pertama pencemar yang tidak dapat terurai (nondegredable pollutan) antara lain
kaleng aluminium, garam merkuri, bahan kimia yang berantai panjang, DDT,
yang tak dapat dikurangi kadarnya di alam atau penurunan kadarnya di alam
lamban sekali. Ke dua adalah pencemar mudah terurai (degradable pollutan)
antara lain limbah rumah tangga, yang dapat mengalami penguraian secara cepat,
secara alamiah atau melalui rekayasa seperti di pengolahan limbah. Limbah rumah
tangga umumnya merupakan limbah pangan dan tidak membahayakan bagi
kesehatan. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah rumah tangga
dapat menjadi sumber makanan bagi mikroba untuk tumbuh dan berkembang.
Apabila perkembangannya signifikan, akan mereduksi oksigen terlarut dalam air
(Betty dan Rahayu, 1990). Keadaan tersebut mengurangi oks igen terlarut dan
selanjutnya mengganggu kehidupan mikroba.

2.5. Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah


Partisipasi berasal dari Bahasa Inggris “participation” yang berarti ambil
bagian atau melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain.
Kamus Webster, menyebutkan arti partisipasi “ adalah mengambil bagian atau
ikut menanggung bersama orang lain” Natsir (1986). Partisipasi apabila
dihubungkan dengan masalah sosial mempunyai arti, suatu keadaan seseorang
21

akan ikut merasakan sesuatu bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat
adanya interaksi sosial. Secara harfiah, partisipasi berarti “ turut berperan serta
dalam suatu kegiatan “, “ keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”,
“peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat
didefenisikan secara luas sebagai “ bentuk keterlibatan dan keikutsertaan
masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam
dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan proses kegiatan yang
bersangkutan” (Moeliono, 2004).
Tjokroamidjojo et al. (1980) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat
adalah keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah, strategi dalam kebijakan
kegiatan, memikul beban dan pelaksanaan kegiatan, memetik hasil serta manfaat
kegiatan secara adil. Partisipasi berarti memberi sumbangan dan turut serta
menentukan arah atau tujuan pembangunan, yang ditekankan adalah hak dan
kewajiban setiap orang. Koentjaraningrat (1984) berpendapat bahwa partisipasi
mempunyai arti memberi sumbangan dan turut menentukan arah tujuan
pembangunan, ditekankan bahwa partisipasi itu adalah hak dan kewajiban bagi
setiap masyarakat.
Seseorang dengan kemampuan ekonomi yang tinggi mampu berpartisipasi
dalam berbagai bentuk, misalnya tenaga, uang, ide atau pemikiran. Hal ini berarti
bahwa tingkat partisipasinya juga lebih tinggi dibandingkan seseorang yang
kemampuan ekonominya lebih rendah. Selain itu, partisipasi bersifat murni tanpa
pamrih, dan tanpa motif ekonomi. Sebaliknya seseorang yang kemampuan
ekonomi rendah akan berpartisipasi atas dasar pamrih, yakni untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Menurut GTZ (1997) pendekatan partisipatif diperlukan
untuk melibatkan semua pihak sejak langkah awal, mulai tahapan analisis
masalah, penetapan rencana kerja sampai pelaksanaan dan evaluasinya.
Kegiatan partisipatif dapat dikelompokkan pada dua kelompok sasaran yaitu
partisipasi para pengambil keputusan, dan partisipasi kelompok setempat yang
terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup.
22

2.6. Pembangunan Berwawasan Lingkungan


Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian
lingkungan hidup adalah agar manusia hidup lebih nyaman, sehat, tenteram, dan
bebas beraktiv itas. Sumber daya alam sering dieksploitasi secara berlebihan,
sehingga menyebabkan lingkungan tidak seimbang.
Menurut Salim (1985) mengatakan bahwa hal-hal yang dapat menggangu
keseimbangan lingkungan hidup adalah: (1) perkembangan teknologi yang
berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia dan; (2) adanya pertambahan
jumlah penduduk. Selama pertambahan jumlah penduduk dalam batas kewajaran
maka, pertambahan relatif tidak akan mengganggu keseimbangan lingkungan.
UU No. 23 tahun 1997 menyatakan bahwa salah satu sasaran pengelolaan
lingkungan hidup adalah terjaminnya kepentingan antara generasi masa kini dan
generasi masa depan. Wawasan lingkungan yang berkelanjutan merupakan suatu
pandangan, dalam arti pandangan terhadap lingkungan yang merupakan suatu
usaha tentang pendayagunaan lingkungan dengan tetap memperhatikan
keseimbangan lingkungan, serta kelestarian fungsi dan kemampuannya sehingga
dapat menunjang prinsip keadilan antar generasi sekarang dan generas i masa
datang. Soemarwoto (2006) mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan
adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi
dan sosial masyarakat. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan,
perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilita politiknya
tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahnya,
kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Menurut Susilo (2008) laju
pembangunan harus dikendalikan sebab jika tidak, tidak lagi sebagai cara untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun justru memproduksi kerusakan-
kerusakan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
23

2.7. Analisis Kebijakan


Kebijakan adalah peraturan yang sudah lama dirumuskan dan disetujukan
untuk dila ksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (mempengaruhi
pertumbuhan) baik besaran maupun arahnya melingkupi kehidupan masyarakat
umum. Kebijakan dihasilkan karena adanya kebutuhan untuk pengaturan sesuai
dengan kewenangan dan lingkup kerangka kebutuhan sosial kelompoknya.
Pengaturan tersebut merupakan bentuk intervesi atau aplikasi tindakan umum
yang dapat dilakukan oleh Pemerintah (Ress, 1990). Kebijakan merupakan
pengaturan yang sifatnya berlakunya umum, kalau diartikan dengan pengertian
“publik” hal itu akan mencakup upaya pengaturan bagi semua dimensi kegiatan
manusia dalam suatu wilayah (Tangkilisan, 2004).
Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari
para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade dalam Dunn, 2003).
Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2004) kebijakan adalah arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor
dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.
Banyak faktor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan Pemerintah.
Proses pembentukan kebijakan Pemerintah yang rumit dan sulit harus diantisipasi
sehingga akan mudah dan berhasil sewaktu diimplementasikan. Para pembuat
kebijakan harus menentukan identitas permasalahan kebijakan. Mengidentifikasi
masalah yang timbul, kemudian merumuskannya. Perumusan kebijakan
Pemerintah, yaitu kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan
untuk memecahkan masalah.
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang
tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan prospektif. Analisis kebijakan
merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan dengan menggunakan berbagai
metode penelitian serta argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi
yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka me-
mecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 2003). Davis et al. (1993)
mengatakan bahwa kebijakan bukanlah berdiri sendiri (singel decision) dalam
24

proses kebijakan sistem politik, akan tetapi merupakan bagian dari proses antar
hubungan, sehingga kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu alat Pemerintah
untuk mencapai tujuan dan sasaran.
Analisis kebijakan merupakan sejumlah faktor di dalam suatu sistem
kebijakan. Sistem kebijakan (policy system) merupakan pola institusional yang
terdiri atas hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pelaku
kebijakan, dan lingkungan kebijakan (Gambar 2).
Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan
melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Gambar hubungan
tiga elemen penting di dalam suatu sistem kebijakan (Dye dalam Dunn, 2003)
dapat dilihat pada Gambar 2.

PELAKU
KEBIJAKAN

LINGKUNGAN KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PUBLIK

Gambar 2. Tiga Elemen Sistem Kebijakan (Dyen dalam Dunn, 2003)

Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang


kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak
bertindak) yang dibuat oleh badan dan Pejabat Pemerintah, yang diformulasikan
di dalam berbagai bidang, termasuk lingkungan hidup (Dunn, 2003).
Definisi dari masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan
pengambil kebijakan yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai
andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
keputusan pemerintah (Dun, 2003).
Selanjutnya lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks
khusus kejadian-kejadian disekelilingi isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan
25

dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Kebijakan operasional


dari suatu lembaga didasarkan pada suatu pijakan landasan kerja. Landasan kerja
tersebut merupakan dasar dari kebijakan yang ditempuh atau dengan kata lain
kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan
keputusan. Menurut Wahab dalam Tangkilisan (2004) faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja kebijakan adalah (a) organisasi atau kelembagaan;
(b) kemampuan politik dari penguasa; (c) pembagian tugas, tanggungjawab dan
wewenang; (d) kebijakan Pemerintah yang bersifat tak remental; (e) proses
perumusan kebijakan Pemerintah yang baik; (f) aparatur evaluasi yang bersih dan
berwibawa serta profesional; (g) biaya untuk melakukan evaluasi; (h) tersedianya
data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai kebijakan
(Dunn, 2003).
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan formal sangat tergantung pada
bagaimana kebijakan diimplementasikan dan diberlakukan kepada masyarakat.
Pengimplementasian penyusunan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya adalah (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan
oleh badan eksekutif; (2) karakteristik dan badan eksekutif; (3) metode dan
peraturan yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut.
Dengan adanya faktor-faktor tersebut membuat kebijakan menjadi dinamis.
Pemilihan dalam pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat
dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin
(2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan di antaranya adalah:
(1) Efektifitas (efectiveness). Apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai
dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
Satu strategi kebijakan dipilih dan dilihat dari kapasitasnya untuk memenuhi
tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan. (2) Efisiensi (economic
rationality). Besarnya efektifitas biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai
tujuan. (3) Cukup (adequacy). Pencapaian hasil sesuai dengan harapan dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada. (4) Adil (equity). Berhubungan dengan
pembagian hasil dan biaya di antara berbagai pihak dalam masyarakat.
(5) Terjawab (responsiveness). Dapat menjawab permasalahan tertentu dalam
26

masyarakat. (6) Tepat (apropriateness). Merupakan kombinasi dari kriteria-


kriteria di atas.

2.8. Analisis AHP


Salah satu tekhnik yang digunakan dalam pengambilan suatu keputusan
adalah analisis hirarki proses (AHP), yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty
dari Wharton School of Business pada tahun 1970-an. Analisis AHP merupakan
analisis yang digunakan untuk memformulasikan masalah-masalah yang tidak
terstruktur, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun ilmu pengetahuan, dan
manajemen, serta masalah yang memerlukan pendapat (judgment) pada situasi
yang kompleks atau tidak terkerangka, pada situasi di mana data dan informasi
sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang
didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP juga banyak digunakan pada
pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya,
dan penentuan prioritas dari strategi-strategi dalam situasi konflik (Saaty, 1993).
Marimin (2004) mengemukakan bahwa metode AHP juga memodelkan
masalah dan pendapat-pendapat sedemikian rupa sehingga dapat dinyatakan
secara jelas, yang selanjutnya akan dievaluasi, dan dikaji.
Menurut Eriyatno (2007) metode AHP digunakan untuk memecahkan
masalah kualitatif yang kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif,
melalui proses pengekspresian masalah dimaksud dalam kerangka berpikir yang
terarah, sehingga memungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan
secara efektif. Metode tersebut mempunyai keunggulan karena mampu
menyederhanakan persoalan yang kompleks menjadi persoalan yang terstruktur,
sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan yang terkait.
Saaty (1993) menyatakan bahwa analisis hirarki proses adalah model
luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk
membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara
membuat asumsi dan memperoleh pemecahan yang diinginkan dengan
memasukkan faktor kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia. Aspek kualitatif
mendefinisik an persoalan dan hirarkinya, aspek kuantitatif mengekspresikan
27

penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Proses tersebut dengan jelas
menunjukkan bahwa demi pengambilan keputusan yang sehat dalam situasi yang
komplek diperlukan penetapan prioritas dan melakukan perimbangan.
AHP mengidentifikasi, memahami, dan menilai interaksi- interaksi suatu sistem
sebagai suatu keseluruhan.

Tabel 2. Skala Banding Secara Berpasangan Dalam AHP

Tingkat Keterangan Penjelasan


Kepentingan
1 §Kedua elemen sama §Dua elemen mempunyai pengaruh
pentingnya yang sama terhadap tujuan

3 §Elemen yang satu sedikit §Pengalaman dan penilaian sedikit


lebih penting dari pada mendukung satu elemen
elemen yang lain dibandingkan elemen lainnya

§Pengalaman dan penilaian sangat


5 §Ele men yang satu lebih kuat mendukung satu elemen
penting daripada elemen dibandingkan elemen lainnya
yang lain
§Pengalaman dan penilaian sangat
kuat mendukung satu elemen
7 § Elemen yang satu jelas lebih dibandingkan dengan elemen
penting lainnya

§Satu elemen dengan kuat didukung


dan dominan terlihat dalam
9 § Penting dari pada elemen praktek
yang lain §Bukti yang mendukung elemen
§Elemen yang satu mutlak yang satu terhadap elemen yang
lebih penting dari pada lain memiliki tingkat penegasan
elemen yang lain tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 § Nilai-nilai antara dua nilai
Kebalikan pertimbangan yang §Nilai ini diberikan bila ada dua
berdekatan kompromi diantara dua pilihan
§Jika untuk aktivitas i
mendapat satu angka bila
dibandingkan dengan
aktifitas j, maka j
mempunyai nilai
kebalikannya bila
dibandingkan dengan i.
Sumber : Saaty (1993)
28

Data hasil keputusan dari struktur hirarki berdasarkan hasil wawancara


dengan kuisioner AHP menggunakan pendekatan komparasi berpasangan,
sehingga menghasilkan gambar an perbandingan berpasangan berpengaruh relatif
atau berpengaruh pada setiap elemen terhadap masing-masing tujuan. Tujuan di
atas didasarkan pada perbandingan pemutusan dari para pengambil keputusan
terhadap penilaian yang dilakukan pada tingkat kepentingan antara satu elemen
dibandingkan dengan elemen lainnya dengan menggunakan pembobotan
berdasarkan skala prioritas AHP.
Untuk mendapatkan skenario optimal dalam pengelolaan TPAS di Cipayung
digunakan pendekatan AHP yang dirancang untuk menangkap secara rasional
persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu yang
tidak terstruktur seperti dalam bidang ekologi, ekonomi, dan sosial, melalui suatu
prosedur yang dirancang untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara
berbagai set alternatif.
Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai
dengan 9. Jika nilai hasil perhitungan menunjukkan consistency ratio (CR) <
0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga
nilai bobotnya dapat digunakan. Untuk menganalisis data tersebut digunakan
komputer dengan bantuan program expert choice 2000.

2.9 Pemodelan
A. Sistem Dinamik
Sistem dinamik adalah pendekatan yang membantu manajemen puncak
dalam memecahkan permasalahan kecil dan dianggap sukar untuk dipecahkan.
Kebanyakan orang dalam menetapkan tujuan yang hendak dicapai pada awalnya
terlalu rendah. Hal yang diinginkan adalah sebuah peningkatan dengan sikap
umum yang dilakukan dalam lingkungan akademis, yaitu dengan menjelaskan
perilakunya setelah itu menemukan struktur dan kebijakan untuk hasil yang lebih
baik (Forrester, 1961 dalam Sterman, 2000). Sistem dinamik menurut MIT
(Massachusetts Institute of Technology) adalah metodologi untuk mempelajari
permasalahan di sekitar kita yang melihat permasalahan secara keseluruhan
29

(holistik). Tidak seperti metodologi lain yang mengkaji permasalahan dengan


memilahnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan saling membatasi.
Konsep utama sistem dinamik adalah pemahaman tentang bagaimana semua objek
dalam suatu sistem saling berinteraksi satu sama lain. Sistem dinamik menurut
masyarakat sistem dinamik (system dynamics society) adalah metodologi untuk
mempelajari dan mengelola sistem umpan balik yang kompleks, seperti yang
biasa ditemui dalam dunia bisnis dan sistem sosial lainnya.
Sterman (2000) mendefinisikan sistem dinamik adalah metode untuk
meningkatkan pembelajaran dalam sistem yang kompleks. Lebih lanjut, metode
tersebut diilustrasikan seperti sebuah simulasi dalam kokpit pesawat bagi
manajemen untuk memahami dalam belajar dinamika yang kompleks, memahami
sumber resistensi (hambatan) dalam kebijakan, dan merancang kebijakan yang
lebih efektif. Untuk memahami kekomplekan tersebut, maka sistem dinamik
didasarkan atas teori dinamika non-linier dan kontrol umpan balik yang
dikembangkan dalam disiplin ilmu matematika, fisika, dan kerekayasaan.

B. Berpikir Sistem
Berpikir sistem adalah paradigma sistem dinamik. Berpikir secara sistemik
yang mempelajari keterkaitan objek dari pengamatan dan penyelidikan dalam
dunia nyata. Berpikir sistem telah ada pada proses berpikir manusia dalam
memecahkan permasalahan hidupnya dengan mencari tahu (know) terhadap
realitas yang dihadapinya. Dalam menyelidiki dan mengamati realitas, manusia
senantiasa melihat keterkaitan antara faktor-faktor yang diamatinya dengan
memilah-milah (analisis) kemudian merangkainya (sintesis). Dengan cara tersebut
akan dicapai sebuah solusi yang komprehensif (menyeluruh).
Berpikir sistemik dalam konteks organisasi merupakan alat untuk
memahami secara terbaik dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi.
Penerapan berpikir sistemik tidak mudah, karena memerlukan pergeseran
paradigma dari melihat kejadian sebagai suatu kegiatan yang terisolasi, menjadi
sistem suatu kegiatan yang terdiri atas kejadian yang saling berinteraksi untuk
mencapai suatu tujuan. Contoh sebuah kegiatan dalam hal penurunan kinerja
30

keuangan disebabkan oleh faktor kinerja non-keuangan (kekayaan intelektual,


kepuasan pelanggan, karyawan, R&D dan proses bisnis).
Berpikir sistem adalah upaya memahami sebuah sistem dengan cara
mengamati kemudian mempelajari pola prilaku untuk diambil sebuah kesimpulan
dari kejadian yang terjadi pada sistem tersebut. Beranjak atas pemahaman tersebut
dapat ditemukan pengungkit (leverage) yang mempengaruhi sistem yang terjadi
untuk dijadikan dasar proses perbaikan struktural (Gambar 3).

Struktur sistem
i ntuk

perubahanterakhr
i
i gg
n u

Pola perilaku
Pengunkiert
t

Kejadian

Gambar 3. Mencari pengungkit tertinggi (Kirkwood, 1998)

Menurut Senge (1995) menyatakan pengungkit merupakan sebuah pilar


dalam sistem dinamik. Menurutnya melihat aksi dan perubahan dalam struktur
yang menjadi pemicu signifikan, sehingga akan memperbaiki sebuah masalah.
Seringkali pengungkit mengikuti prinsip eknonomi, artinya hasil terbaik tidak
datang dari usaha berskala besar melainkan dari kegiatan kecil yang berfokus
dengan baik.
Menurut Balle (1994) dengan berpikir sistemik akan sangat berguna untuk
menghindari pembuatan kesalahan yang mendatangkan malapetaka, ketimbang
dalam menemukan kebijakan yang paling baik dan optimal. Pandangannya dapat
bertahan dalam jangka panjang, bukan mendapatkan keuntungan dalam jangka
pendek. Pendekatan sistem merupakan suatu kajian dari berbagai disiplin ilmu,
keberhasilan dalam pelaksanaannya sangat perlu didukung oleh sebuah tim yang
31

multidisipliner dan hal terpenting dari tim tersebut adalah adanya komunikasi
interpersonal dan pengorganisasian (Eriyatno, 1998).
Menurut Hartisari (2007) pendekatan sistem merupakan cara pandang
yang bersifat menyeluruh (holistic) yang memfokuskan pada integrasi dan
keterkaitan antar komponen. Pendekatan tersebut dapat mengubah cara pandang
dan pola berpikir dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model
yang merupakan penyederhanaan sebuah sistem. Menurut Aminullah (2004)
berpikir sistemik mempunyai corak sangat tergantung dari pelaku yang
menerapkannya, dan akan terkait pada kebiasaaan dan kebutuhannya.
Kebiasaan terkait dengan bidang pengetahuan yang dimiliki seseorang, akan tetapi
kebutuhan berpikir berhubungan dengan pembelajaran dari pengalaman dalam
pekerjaan yang membutuhkan corak berpikir tertentu, seperti bidang teknik dan
ekonomi memiliki corak berpikir yang berbeda. Masing-masing corak memiliki
kelebihan dan kekurangan, biasanya ada yang menggunakannya dengan
menggabungkan menjadi satu. Tiga corak yang dimaksud adalah berpikir sistem
masukan-keluaran, berpikir sistem umpan balik dan berpikir sistem umpan balik
adaptif. Corak pertama tidak menjadikan keluaran untuk mempengaruhi masukan.
Kedua, penyempurnaan corak pertama menghasilkan keluaran yang akan jadikan
sebagai umpan kembali untuk mempengaruhi masukan. Ketiga, seperti corak
kedua hanya saja pengaruh lingkungan luar turut dijadikan pertimbangan.

1. Umpan Balik
Kerangka kerja berpikir sistem menggunakan beberapa alat konseptual
untuk merepresentasikan dan menguraikan sebuah realita agar mudah dipahami.
Umpan balik sebagai konsep utama berpikir sistem yang lebih dari sekedar
berpikir. Untuk menggambarkan sebuah konsep umpan balik pada struktur sistem,
dalam sistem dinamik dikenal diagram kausal causal loop diagrams (CLD).
Menurut Sterman (2000) causal loop diagrams sangat baik untuk:
1. Menangkap secara cepat sebuah hipotesis tentang penyebab dinamika;
2. Menimbulkan dan menangkap model mental individu atau kelompok;
32

3. Komunikasi merupakan sebuah umpan balik yang sangat penting dianggap


sebagai penanggungjawab untuk sebuah masalah.

2. Pola Dasar Perilaku Sistem


Struktur sistem yang terbentuk dari beberapa gabungan simpul kausal dan
dengan kombinasi pengaruh yang diberikan memberi corak terhadap perilaku
sistem. Perilaku sistem berbeda-beda, sehingga menghasilkan kinerja sistem yang
berbeda pula seiring perubahan waktu. Terdapat empat pola dasar perilaku sistem
yang telah dipelajari dan diidentifikasi oleh para ahli sistem dinamik, yaitu:
pertumbuhan eksponensial, mencari tujuan, bergelombang, dan S-shaped growth.
Interaksi dari keempat pola dasar dapat membentuk pola lagi yang lebih kompleks
(Senge, 1995; Kirkwood, 1998; Balle, 1994; Muhammadi, et al., 2001).
Pola perilaku pertumbuhan eksponensial atau disebut juga pola bola salju
dibangkitkan oleh dominasi pengaruh positif. Umpan balik positif memberi efek
perubahan penguatan dengan kejadian perubahan. Perubahan pertumbuhan sering
dikenal dengan eksponensial. Tahap awal perubahan lambat kemudian bergerak
cepat. Pola perilaku mencari tujuan dibentuk oleh umpan balik negatif yang
simpulnya mencari tujuan keseimbangan dan statis. Simpul umpan balik negatif
bekerja memberikan keadaan terhadap sistem untuk mencapai tujuan atau keadaan
yang diinginkan.

C. Pemodelan Sistem Dinamik


Pemodelan adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau
situasi aktual (Eriyatno, 1998). Istilah lainnya disebut tiruan model dunia nyata
yang dibuat virtual (Sterman, 2000). Karena bentuknya tiruan, model tidak mesti
harus sama persis dengan aslinya, tetapi minimal memiliki keserupaan (mirip).
Pemodelan merupakan proses interaktif, hasil pada setiap langkah dikembalikan
lagi untuk diperbaiki agar didapatkan hasil yang mendekati model aslinya
(dunia nyata) yang cukup ideal untuk dapat dijadikan representasi
(Eriyatno, 1998; Sterman, 2000).
33

Sistem adalah serangkaian metode, prosedur atau teknik yang disatukan


oleh interaksi yang teratur, sehingga membentuk satu kesatuan yang terpadu
(Squire, 1992). Sistem dapat didefinisikan sebagai kumpulan dari bagian-bagian
yang saling berhubungan, bekerja untuk mencapai tujuan dalam lingkungan yang
kompleks. Keuntungan menggunakan sistem adalah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kinerja serta pengambilan keputusan (Winardi, 1999).
Eriyatno (1998) mendefinisikan sistem totalitas himpunan yang
mempunyai struktur dalam nilai posisional serta dimensional terutama dalam
dimensi ruang dan waktu. Pendekatan sistem merupakan suatu kerangka berfikir
yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) mencari semua faktor penting yang
ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah;
(2) menyusun suatu model untuk membantu pengambilan keputusan secara
rasional. Karakteristik pendekatan sistem adalah: kompleks karena adanya
interaksi antar komponen dan dinamis, menurut waktu dan ada pendugaan ke
masa depan.
Muhammadi et al. (2001) mengartikan sistem sebagai gugus atau
kumpulan elemen yang berinteraksi dan terorganisasi dalam batas lingkungan
tertentu yang bekerja untuk mencapai tujuan. Sebagai contoh jam adalah gugus
elemen yang terdiri atas gir, jarum petunjuk, per-per yang saling berinteraksi
untuk tujuan petunjuk waktu.
Suratmo (2001) mengemukakan bahwa model merupakan gambaran dari
suatu sistem yang ada di alam dan merupakan penyederhanaan dari interaksi
antara komponen di alam. Ford (1999) mengatakan bahwa model sebagai
pengganti sistem yang sebenarnya untuk memudahkan kerja. Model adalah
gambaran abstrak tentang suatu sistem. Hubungan antara peubah-peubah dalam
sistem digambarkan sebagai hubungan sebab akibat. Penggunaan model
bermanfaat bila menghadapi suatu sistem yang rumit karena model yang baik
harus dapat memprediksi perilaku sistem yang dikaji.
Menurut Winardi (1999) menyatakan bahwa model simulasi menitik
beratkan pada usaha meniru atau memodelkan sistem yang nyata setepat mungkin,
melaksanakan percobaan dengan model tersebut sehingga dapat dihasilkan
34

berbagai macam alternatif. Muhammad et al. (2001) menjelaskan bahwa simulasi


bertujuan untuk memahami gejala atau proses yang terjadi dan membuat
peramalan gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi model dilakukan
melalui tahapan (1) penyusunan konsep; (2) pembuatan model; (3) simulasi dan
(4) validasi hasil simulasi. Lebih lanjut disebutkan bahwa simulasi merupakan
salah satu kegiatan dalam analisis sistem yang secara garis besarnya meliputi tiga
kegiatan yaitu: (1) merumuskan model yang menggambarkan sistem dan proses
yang terjadi di dalamnya; (2) memanipulasi model atau melakukan
eksperimentasi; (3) mempergunakan model dan data untuk memecahkan
persoalan.
Proses pemodelan menurut (Sterman, 2000) (Gambar 4) terdiri atas
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah dan pemilihan batasan dunia nyata. Tahap ini meliputi
kegiatan pemilihan tema yang akan dikaji, penentuan variabel kunci, rencana
waktu untuk mempertimbangkan masa depan yang jadi pertimbangan serta
seberapa jauh kejadian masa lalu dari akar masalah tersebut dan selanjutnya
mendefinisikan masalah dinamisnya;

2. Penetapan formulasi hipotesis din amis berdasarkan teori perilaku terhadap


masalah dan bangun peta struktur kausal melalui gambaran model mental
pemodel dengan bantuan alat-alat seperti causal loop diagram (CLD), dan
stock flow diagram (SFD). Model mental adalah asumsi yang sangat dalam
melekat, umum atau bahkan suatu gambaran dari bayangan atau citra yang
berpengaruh pada bagaimana kita memahami dunia dan mengambil tindakan
(Senge, 1995);

3. Tahap formulasi model simulasi dengan membuat spesifikasi struktur, aturan


keputusan, estimasi parameter dan uji konsistensi dengan tujuan dan batasan
yang telah ditetapkan sebelumnya;

4. Pengujian meliputi perbandingan model yang dijadikan referensi, pengujian


kehandalan (robustness), dan uji sensitifitas;
35

5. Evaluasi dan perancangan kebijakan berdasarkan skenario yang telah


diujicobakan dari hasil simulasi. Perancangan kebijakan mempertimbangkan
analisis dampak yang ditimbulkan, kehandalan model pada skenario yang
berbeda dengan tingkat ketidakpastian yang berbeda pula serta keterkaitan
antar kebijakan agar dapat bersinergi.
Analisis model sistem dinamik menggunakan analisis model simulasi.
Simulasi sebagai teknik penunjang keputusan dalam pemodelan, misalnya
pemecahan masalah bisnis secara ekonomis dan tepat menghadapi perhitungan
rumit dan data yang banyak. Simulasi adalah aktiv itas pengkaji dapat menarik
kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem melalui penelaahan perilaku model
yang selaras, hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada
sistem yang sebenarnya (Eriyatno, 1998).
Perangkat lunak dalam pemodelan sistem dinamik seperti Vensim,
Powersim, Stella merupakan alat bantu yang dapat memudahkan pemodel dalam
menerjemahkan bahasa causal loop diagrams ke dalam stock flow diagram.
Stock flow diagram harus dilengkapi persamaan matematik dan nilai awal untuk
simulasi. Perangkat pemodelan sistem dinamik juga dilengkapi berbagai
kemudahan seperti tampilannya yang mudah dimengerti, sehingga memudahkan
bagi pemodel ataupun pemakai yang tidak mengerti secara teknis sekalipun.
Stella yang dipakai dalam penelitian ini merupakan suatu perangkat lunak yang
dibuat atas dasar model sistem dinamik dengan kemampuan tinggi dalam
melakukan simulasi.

D. Stock Flow Diagrams (SFD)


Konsep sentral dalam teori sistem dinamik adalah stock flow diagram.
Stock adalah akumulasi atau pengumpulan dan karakterstik keadaan sistem serta
pembangkit informasi. Stock digabungkan dengan rate atau flow sebagai aliran
informasi, sehingga stock menjadi sumber ketidakseimbangan dinamis dalam
sistem. Stock flow diagram (Gambar 5) secara umum dapat diilustrasikan dengan
sebuah sistem bak mandi yang dihubungkan dengan dua kran masukan dan
keluaran air. Kedua kran sebagai pengontrol akumulasi air dalam bak. Besar
36

kecilnya nilai dalam stock dan flow berdasarkan perhitungan persamaan


matematik integral dan diferensial. Persamaan matematik stock merupakan
integrasi dari nilai inflow dan outflow.

Gambar 5. Stock Flow Diagrams

2.10. Kajian Penelitian Terdahulu


Studi tentang pengelolaan TPA sampah telah banyak dilakukan oleh
berbagai lembaga baik pada tingkat nasional maupun internasional. Royadi (2006)
melakukan penelitian tentang analisis pemanfaatan TPA sampah pascaoperasi
berbasis masyarakat (Studi kasus TPA Bantar Gebang-Bekasi). Hasil penelitian
menunjukkan 1) Kualitas fisik, kimia dan biologi air sumur, air sungai, dan air
lindi masih dibawah ambang batas yang diperbolehkan, kecuali untuk kekeruhan
air sungai, kandungan nitrat, nitrit, BOD5, dan COD air lindi. 2) Alternatif
pemanfaatan adalah sebagai TPA terpadu, dengan kegiatan setiap zona sebagai
berikut: Zone I dan II sebagai hutan kota/penghijauan, Zone III, IV dan zone V
sebagai TPA sampah. 3) Pemanfaatan sebagai TPA Terpadu akan menimbulkan
multiplyer effect baik bagi lingkungan, masyarakat sekitar lokasi TPA dan
Pemerintah.
Ahadis (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh tempat pembuangan
akhir sampah terhadap perairan di sekitarnya: studi kasus TPA Bantar Gebang-
Bekasi. Hasil penelitia n menunjukkan beberapa variabel telah diatas baku mutu
lingkungan seperti kesadahan Ca, BOD, COD, nitrit, nitrat, coliform dan E.coli.
Namun logam berat seperti Cd, Hg, Pb masih di bawah baku mutu lingkungan.
Hal terpenting dalam analisis sistem tersebut setelah TPA ditutup apakah variabel
atau peubah pencemar tersebut di bawah baku mutu lingkungan hidup atau
37

sebaliknya, jarak tidak mempengaruhi pencemaran sebagaimana ditunjukkan oleh


sumur dekat dan jauh dari TPA.
Sarbi (2005) melakukan penelitian dengan judul pengembangan sistem
pengelolaan sampah di Kota Parepare. Hasil pengukuran sampel air sumur
dangkal menunjukkan tidak layak untuk dijadikan sebagai sumber air bersih untuk
air minum penggunaan langsung. Variabel yang telah melampaui ambang batas
baku mutu air bersih yakni : kekeruhan, fosfat, COD, total coliform dan E. coli
Sistem pengelolaan sampah saat ini belum optimal, hal ini disebabkan kurangnya
armada pengangkutan sampah, petugas lapang, dan sarana pengumpul sampah
sehingga hanya mampu mengangkut sampah ke TPA sebanyak 256 m3/hari.
Astuti (2005) melakukan penelitian dengan judul strategi pemberdayaan
masyarakat sekitar TPA Sampah Cipayung melalui penguatan kemampuan
masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan sehat. Hasil penelitian dapat
diketahui permasalahan utama yang muncul di Kelurahan Cipayung adalah
adanya dampak negatif TPAS terhadap gangguan kesehatan masyarakat.
Masyarakat membutuhkan penguatan kemampuan untuk mengetahui masalah
yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Program jangka panjang yang
dibutuhkan adalah pendidikan masyarakat dalam memperlakukan sampah dan
penetapan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah serta penelitian tentang
pengelolaan sampah serta penelitian tentang teknik pengelolaan sampah yang
efektif dan efisien.
III. DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

3.1. Letak, Luas dan Batas Administrasi


Kota Depok secara geografis terletak pada koordinat 6o 19’00” – 6o 28’00”
Lintang Selatan dan 106o43’00” – 106o55’30” Bujur Timur. Bentang alam
Kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah sampai
perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50 – 140 meter di atas
permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15 persen. Kota Depok
sebagai salah satu wilayah termuda di Propinsi Jawa Barat, mempunyai luas
wilayah sekitar 200.29 km2.
Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan dua Propinsi.
Secara lengkap wilayah ini mempunyai batas-batas sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang
dan Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi dan
Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan
Bojonggede, Kabupaten Bogor.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung
Sindur, Kabupaten Tangerang.
Letak Kota Depok sangat strategis, diapit oleh Kota Jakarta, Kabupaten
Bekasi, Ka bupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang. Dikarenakan letaknya yang
strategis, Kota Depok mengalami perkembangan yang pesat seiring dengan
meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara
regional dengan kota-kota lainnya.

3.2 Kondisi Geografis, Geologi, Topografi, Hidrologi dan Iklim

3.2.1. Kondisi Geografis


Kondisi geografis Kota Depok dialiri oleh sungai-sungai besar yaitu
Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sub satuan wilayah aliran sungai.
39

Di samping itu, terdapat pula 25 situ. Data luas situ pada tahun 2005 sebesar
169,68 ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar.

3.2.2. Kondisi Geologi dan Jenis Tanah


Berdasarkan peta geologi regional oleh Pusat Penelitian dan Pe-
ngembangan Geologi Bandung pada tahun 1992, stratifikasi wilayah Kota Depok
dari tua ke muda disusun oleh batuan perselingan, batu pasir, dan batu lempung
sebagai berikut:
Ø Formasi Bojongmanik (Tmb): perselingan konglomerat, batu pasir,
batu lanau, dan batu lempung.
Ø Formasi Serpong (Tpss): Breksi, lahar, tuf breksi, tuf batu apung.
Ø Satuan Batuan Gunung Api Muda (Qv): tuf halus berlapis, tuf pasiran
berselingan dengan konglomerat.
Ø Satuan Batuan Kipas Alluvium: Endapan lempung pasir, krikil, kerakal.
Ø Satuan Endapan Alluvial (Qa).
Struktur geologi di daerah tersebut merupakan lapisan horizontal atau
sayap lipatan dengan kemiringan lapisan yang hampir datar, dan sesar
mendatar yang dip erkirakan berarah Utara-Selatan. Secara umum keadaan
jenis tanah di Kota Depok adalah sebagai berikut:
Ø Tanah Alluvial, tanah endapan yang masih muda, terbentuk dari endapan
lempung, debu, dan pasir, umumnya tersikap di jalur-jalur sungai, tingkat
kesuburan sedang-tinggi.
Ø Tanah Latosol coklat kemerahan, tanah yang belum begitu lanjut
perkembangannya, terbentuk dari tufa vulkan andesitis-basaltis, tingkat
kesuburannya rendah-cukup, mudah meresapkan air, tanah mudah tererosi,
dan tekstur halus.
Ø Asosiasi Latosol merah dan laterit air tanah perkembangannya dipengaruhi
air tanah, tingkat kesuburannya sedang, kandungan air tanah cukup
banyak, sifat fisik tanah sedang-kurang baik.
40

3.2.3. Kondisi Topografi


Kondisi topografi Kota Depok berupa dataran rendah bergelombang
dengan kemiringan lereng yang landai yang menyebabkan masalah banjir di
beberapa wilayah, terutama kawasan cekungan antara beberapa sungai yang
mengalir dari Selatan menuju Utara yaitu ke Sungai Angke, Sungai Ciliwung,
Sungai Pesanggrahan, dan Sungai Cikeas.
Kondisi kemiringan lahan merupakan salah satu parameter yang
digunakan dalam menentukan kelayakan lokasi TPA. Semakin tinggi kemiringan
lahan yang ada, semakin kecil tingkat kelayakannya. TPA Cipayung terletak di
daerah dataran rendah dengan elevasi sekitar 110 m dari permukaan laut.
Kondisi topografi umumnya datar. Lahan TPA Cipayung merupakan daerah
persawahan, kebun dan permukiman dengan kepadatan sedang.

3.2.4. Klimatologi dan Curah Hujan


Wilayah Kota Depok termasuk dalam daerah beriklim tropis dengan
perbedaan curah hujan yang cukup kecil dan dipengaruhi oleh iklim musim.
Kemarau berlangsung antara April-September dan musim hujan antara
Oktober-Maret. Iklim Kota Depok yang tropis mendukung untuk pemanfaatan
lahan pertanian ditambah lagi dengan kadar curah hujan yang terus-menerus
terjadi di sepanjang tahun.
Kondisi curah hujan di seluruh wilayah Kota Depok relatif sama, dengan
rata-rata curah hujan sebesar 2684 mm/tahun. Kondisi curah hujan seperti di atas,
mendukung kegiatan di bidang pertanian terutama pertanian lahan basah di areal
irigasi teknis. Daerah tinggi tidak ada saluran irigasi teknis pada musim hujan
dapat berfungsi sebagai pertanian tadah hujan. Tanaman yang lebih sesuai adalah
tanaman palawija yang dikombinasikan dengan padi.

3.3. Kesesuaian Lokasi dengan Tata Ruang


Tata ruang merupakan salah satu instrumen bagi pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Tempat pemrosesan akhir (TPA)
sampah merupakan salah satu sarana dan prasarana kota yang harus ada sebagai
lokasi penimbunan, pengelolaan, dan pengolahan sampah yang berasal dari
41

berbagai tempat kegiatan dan tempat tinggal. Penetapan lokasi TPA sampah
Cipayung telah mengacu pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Depok.
Pembangunan TPA Cipayung di Kota Depok berlandaskan Perda Propinsi Daerah
Tingkat I Jawa Barat No. 3 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Perda Kota Depok No. 12 Tahun 2001
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok. Pembangunan TPA sampah
Cipayung direncanakan sebagai lokasi yang diperuntukkan sebagai sarana
pembuangan/pengolahan akhir sampah Kota Depok.

3.4. Penggunaan Lahan di Kota Depok


Rencana penggunaan lahan di Kota Depok bertujuan agar dapat
menentukan kawasan terbangun dan kawasan terbuka hijau. Rencana pemanfaatan
ruang Kota Depok dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rencana pemanfaatan ruang Kota Depok tahun 2010


No Jenis Penggunaan Lahan Luasan
Tahun 2005 Tahun 2010
Ha % Ha %
I Kawasan Tebangun 9,968.43 49.77 11,025.96 55.05
1 Perumahan + Kampung 8,874.85 44.31 9,111.19 45.49
2 Pendidikan tinggi 230.33 1.15 230.33 1.15
3 Jasa dan Perdagangan 300.44 1.50 799.16 3.99
4 Industri 308.45 1.54 632.92 3.16
5 Kawasan Strategis Nasional (Gandul, 254.37 1.27 254.37 1.27
Cilodong, Depo KRL, Brimob, Radar Auri)
II Ruang Terbuka Hijau 10,060.57 50.23 9,003.04 44.95
1 Sawah Tekins dan Non Teknis 967.40 4.83 1,153.67 5.76
2 Tegalan/Ladang/Kebun/Tanah Kosong 7,078.25 35.34 5,690.24 28.41
3 Situ dan Danau 168.24 0.84 168.24 0.84
4 Pariwisata, Lapangan Golf, Kuburan 388.56 1.94 514.75 2.57
5 Hutan 26.04 0.13 26.04 0.13
6 Kawasan Tertentu (TVRI, RRI) 176.26 0.88 176.26 0.88
7 Sungai 82.12 0.41 82.12 0.41
8 Garis Sempadan (Sungai, Tegangan Tinggi, 1,171.70 5.85 1,191.73 5.95
Pipa Gas)
Total 20,029.00 100.00 20,029.00 100.00
Sumber : Hasil Revisi RTRW 2000-2010
42

Jika dibandingkan antara penggunaan lahan eksisting dengan rencana


penggunaan lahan menurut RTRW Depok 2010, terlihat bahwa:
a. Pada penggunaan lahan eksisting yang seharusnya menjadi penggunaan
lahan sempadan, ternyata saat ini masih digunakan untuk penggunaan
perumahan.
b. Penggunaan lahan eksisting situ sebagai kawasan pariwisata, olah raga,
hutan kota, kawasan khusus dan garis sempadan yang mempunyai luas
679 ha. Penggunaan lahan eksisting untuk sawah teknis, non teknis,
tegalan, rumput, tanah kosong yang mempunyai luas 6.079 ha,
merupakan penggunaan lahan terbuka hijau tidak dapat dikendalikan
dalam rencana karena merupakan penggunaan lahan milik rakyat,
sehingga dalam rencana luasnya dapat berubah (pada RTRW 2010,
seluas 4.227 ha).

3.5. Kondisi Demografi


Sebagai Kota yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Negara, Kota
Depok sering kali menghadapi berbagai permasalahan perkotaan, termasuk
masalah kependudukan. Sebagai daerah penyangga Kota Jakarta, Kota Depok
mendapatkan tekanan migrasi penduduk yang cukup tinggi sebagai akibat dari
meningkatnya jumlah kawasan pemukiman, pendidikan, perdagangan, dan jasa.

3.5.1. Penduduk
Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2007 mencapai 1.470.002 jiwa,
yang terdiri atas laki-laki 761.382 jiwa dan perempuan 708.620 jiwa.
Laju pertumbuhan penduduk Kota Depok tahun 2007 sebanyak 3,43%,
perbandingan penduduk laki- laki dengan perempuan menunjukkan angka 102%.
Kecamatan Cimanggis memiliki jumlah penduduk yang paling banyak jika
dibandingkan dengan Kecamatan lain di Kota Depok, yaitu sebanyak
403.037 jiwa, sedangkan Kecamatan dengan penduduk terkecil adalah Ke-
camatan Beji yaitu sebanyak 139.888 jiwa.
Pada tahun 2007 kepadatan penduduk di Kota Depok mencapai 7.339
jiwa/km2. Kecamatan Sukmajaya merupakan Kecamatan terpadat di Kota Depok
43

dengan tingkat kepadatan 10.033 jiwa/km2, kemudian Kecamatan Beji dengan


tingkat kepadatan 9.782 jiwa/km2. Kecamatan dengan kepadatan penduduk
terendah adalah Kecamatan Sawangan yaitu sebesar 3.634 jiwa/km2, lebih
jelasnya keadaan penduduk dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Keadaan penduduk di Kota Depok

Luas Wilayah Kepadatan Penduduk


No Kecamatan Jumlah Penduduk
(Km2 ) (jiwa/km 2)
1 Sawangan 166.076 45,69 3.634
2 Pancoran Mas 269.144 29,83 9.022
3 Sukmajaya 342.447 34,13 10.033
4 Cimanggis 403.037 53,54 7.527
5 Beji 139.888 14,30 9.782
6 Limo 149.410 22,80 6.553
Kota Depok 1.470.002 200,29 7.339
Sumber: BPS Kota Depok Dalam Angka 2007

3.5.2. Tenaga Kerja


Penduduk usia kerja didefinisikan sebagai penduduk yang berumur
10 tahun ke atas. Penduduk usia kerja terdiri atas angkatan kerja dan bukan
angkatan kerja. Penduduk yang tergolong angkatan kerja adalah mereka yang
aktif dalam kegiatan ekonomi. Kesempatan kerja memberikan gambaran besarnya
tingkat penyerapan pasar kerja, sehingga angkatan kerja yang tidak terserap
dikatagorikan sebagai pengangguran.
Dari hasil survei sosial ekonomi nasional 2006 diperoleh gambaran bahwa
pada tahun 2006, penduduk Kota Depok yang bekerja sebanyak 44,63%
sedangkan yang menganggur sekitar 9,36%. Jadi penduduk Kota Depok yang
tergolong angkatan kerja sebanyak 53,98%, sisanya merupakan penduduk bukan
angkatan kerja. Penduduk yang bekerja masih didominasi laki-laki (laki-laki
63,59% dan perempuan 25,71%). Penduduk yang bekerja sebagian besar bekerja
di sektor jasa dan perdagangan dengan persentase masing-masing 27,98% dan
26,92%. Status pekerjaan didominasi sebagai buruh/karyawan/pegawai sebanyak
64,84%, kemudian berusaha sendiri 26,79%.
44

3.5.3. Pendidikan
Pada tahun ajaran 2006/2007 jumlah Taman Kanak-kanak (TK) di
Kota Depok sebanyak 314 sekolah, dengan jumlah murid 14.053 orang, dan
945 orang guru. Sekolah Dasar (SD) sebanyak 362 sekolah, dengan jumlah murid
125.581 orang, dan 4.656 orang guru. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
berjumlah 137 sekolah, dengan jumlah murid 44.601 orang dan 3.023 orang guru.
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) terdapat 51 sekolah dengan jumlah murid
14.937 orang, dan 1.183 orang guru. Selain itu, terdapat 55 Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dengan jumlah murid 18.726 orang, dan 1.371 orang guru.
Pada tahun 2006, penduduk Kota Depok yang berumur 10 tahun ke atas
yang memiliki ijazah tertinggi SLTA dan sederajat sebanyak 27,67%. Pemilik
ijazah SLTA merupakan persentase terbesar dibandingkan jenjang pendidikan
lainnya. Penduduk Kota Depok yang berumur 10 tahun ke atas yang bisa
membaca dan menulis huruf latin sebanyak 59,99% huruf lainnya sebanyak
1,07%. Huruf latin dan lainnya sebanyak 37,51%, dan yang buta huruf sebanyak
1,43%.

3.5.4. Agama
Tempat ibadah merupakan salah satu sarana yang penting untuk me-
ningkatkan derajat keimanan seseorang. Pada tahun 2007, di Kota Depok terdapat
554 mesjid, 129 langgar, 995 musholla, 6 gereja katolik, 62 gereja protestan, 1
vihara, dan 2 pura. Lebih jelas jumlah tempat ibadah di Kota Depok dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Banyaknya tempat ibadah menurut jenisnya di Kota Depok


No Kecamatan Mesjid Langgar Musholla Gereja Gereja Vihara Pura
Katolik Protestan
1 Sawangan 74 - 217 - 4 - -
2 Pancoran Mas 113 - 267 2 24 - -
3 Sukmajaya 138 - 151 2 20 - -
4 Cimanggis 140 - 255 1 5 - 1
5 Beji 44 - 72 - 6 - -
6 Limo 45 129 33 1 3 1 1
Kota Depok 554 129 995 6 62 1 2
Sumber:BPS Kota Depok Dalam Angka 2007
45

3.5.5. Kesehatan
Pembangunan kesehatan harus selalu dilakukan mengingat jumlah
penduduk yang selalu bertambah dari tahun ke tahun, upaya yang dilakukan
Pemerintah antara lain dengan meningkatkan fasilitas sarana dan prasarana
kesehatan, sehingga semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan
kesehatan secara mudah, merata, dan murah.
Kota Depok pada tahun 2007 memiliki puskesmas yang tersebar di
6 Kecamatan dan 10 puskesmas pembantu. Sarana pelayanan kesehatan antara
lain rumah sakit yang ada di Depok ada 10 buah, rumah sakit ibu dan anak ada
4 buah, balai pengobatan ada 142 buah, dan rumah bersalin ada 24 buah.

3.5.6. Fasilitas Transportasi


Salah satu potensi Kota Depok adalah di sektor perhubungan.
Jumlah angkutan, izin trayek, dan jumlah penumpang yang ada di Kota depok
merupakan potensi yang menunjang pembangunan di Kota Depok dan merupakan
salah satu aset dalam perhitungan PAD Kota Depok. Lalu lintas angkutan kereta
api merupakan alat transportasi yang banyak diminati karena biayanya yang relatif
murah dan cepat sampai di tujuan.
Sementara itu, kondisi jalan di Kota Depok sampai tahun 2005 yang sudah
dibeton sepanjang 27.227 meter, yang diaspal hotmixed 245.377 meter, yang
diaspal penetrasi 47.719 meter dan yang masih dalam tahap perkerasan 6.200
meter.

3.6. Gambaran Umum TPA Cipayung Kota Depok


TPA Cipayung dioperasionalkan sejak tahun 1992 dengan sistem open
dumping pada areal seluas 2,5 ha. Dikarenakan semakin meningkatnya volume
sampah di Kota Depok, TPA Cipayung diperluas kembali hingga 10,6 ha dengan
kapasitas direncanakan sekitar 4.000.000 m3 timbulan sampah. Sistem
pembuangan sampah ditingkatkan dari semula open dumping menjadi controlled
landfill. TPA Cipayung terletak pada Kelurahan Cipayung, Kecamatan Pancoran
Mas, Kota Depok, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Pemukiman Kampung Bulak, Kelurahan Cipayung
46

b. Sebelah Selatan : Sungai Pesanggarahan, Kelurahan Pasir Putih


c. Sebelah Timur : Kebun campuran di Kampung Bulak, Kelurahan Cipayung
d. Sebelah Barat : Kebun campuran, Sungai Pesanggrahan

3.7. Infrastruktur TPA Cipayung

Infrastruktur TPA Cipayung yang ada meliputi:

1. Permukaan landfill struktur tanah di lokasi TPA Cipayung sebagian besar


berupa tanah liat yang mempunyai permeabilitas 10-7 cm/dt, sehingga tidak
diperlukan pelapisan kembali. Fungsi lapisan tersebut untuk menahan
rembesan air lindi ke dalam tanah.

2. Pipa lindi pada lahan urug telah terpasang, yang berfungsi untuk mengalirkan
air lindi menuju bangunan pengolahan. Pipa penyalur lindi dipasang di atas
permukaan geomembran.

3. Pipa Gas. Pada lahan urug/landfill dipasang pipa gas setiap radius 50 m.
Fungsi dari pipa gas ini adalah untuk mengalirkan gas yang terbentuk dari
hasil dekomposisi sampah organik dan mencegah terakumulasi gas di dalam
landfill karena akan menimbulkan ledakan atau hal-hal lain yang tidak
diinginkan seperti kebakaran.

4. Drainase saluran pengering di TPA


a. Drainase lindi, terdapat di sepanjang pinggir landfill dan mengalir ke
kolam lindi.
b. Drainase air hujan, terdapat dip inggir jalan akses dan drainase sementara
pada lahan landfill diarahkan ke bak pengumpul.
5. Kolam Lindi
Kolam lindi merupakan tempat penampungan lindi dari seluruh area landfill.
Di kolam tersebut lindi diolah dengan tujuan untuk megurangi konsentrasi
pencemaran dalam leachate sampai ke tingkat yang aman untuk dibuang ke
badan air terdekat yaitu Sungai Pesanggrahan. Standar efluen dari bangunan
instalasi pengolahan leachate dibuang/dialirkan ke badan air penerima.
47

Sistem pengolahan leachate dibuat dengan maksud mengurangi zat pencemar


dalam leachate, tanpa menggunakan peralatan yang memerlukan investasi
tinggi serta pengoperasian dan perawatan yang rumit. Sistem pengolahan yang
diterapkan adalah dengan menggunakan kolam stabilisasi yang terdiri atas
kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi/ pematangan.

6. Fasilitas Jalan
Jalan satu arah menuju lahan TPA.

7. Fasilitas Alat Berat


Pada saat ini Kota Depok mempunyai 2 buah buldozer.

8. Kantor
Bangunan yang diperuntukkan sebagai tempat kegiatan petugas TPA.
a. Gudang
Bangunan yang diperuntukkan untuk menyimpan peralatan dan
bahan-bahan untuk pengoperasian TPA.
b. Rumah Jaga
Berfungsi sebagai tempat petugas jaga yang bertugas mengawasi kegiatan
di TPA.
c. Tempat cuci mobil
Fasilitas penunjang di TPA, berfungsi untuk melakukan pencucian
kendaraan operasional angkutan sampah dan juga kendaraan operasional
kantor.
d. Tempat parkir
Suatu area yang dipergunakan untuk memarkirkan kendaraan, baik itu
kendaraan operasional kantor maupun kendaraan operasional angkutan
sampah.

3.8. Tahap Pengoperasian TPA dengan cara Sanitary Landfill


1. Persiapan
Kegiatan persiapan yang harus dilakukan sebelum TPA dioperasikan
antara lain: jalan masuk ke lahan landfill sudah disiapkan, penyiapan rute, arah
48

dan manufer kendaraan, penentuan titik bongkar, penyiapan pembagian lahan


pembuangan sampah, kebutuhan tanah penutup, alat berat yang akan dioperasikan
dan kolam lindi sudah diaktifkan (start-up) serta sasaran lain seperti papan nama,
rambu-rambu (lalu lintas, peringatan, dan tanda bahaya) dan perlengkapan kerja
(sarung tangan, dan masker).
a. Jalan masuk ke lahan landfill
Jalan masuk ke lahan landfill berfungsi untuk mempermudah pengoperasian
alat berat dan truk masuk ke dalam lahan landfill sehingga pekerjaan menjadi
lebih efektif dan efisien.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan jalan masuk ke area
landfill:
1. Kemiringan ram tidak lebih dari 6%;
2. Konstruksi bisa menahan beban alat berat;
3. Luas area pembongkaran sampah pada dasar landfill cukup untuk manuver
kendaraan.
b. Penyiapan rute, arah dan manufer kendaraan
Penyiapan rute, arah, dan manufer kendaraan bertujuan agar transportasi
kendaraan yang masuk dan keluar TPA dapat berjalan lancar.

c. Penentuan titik bongkar


Penentuan titik bongkar bertujuan agar proses pembongkaran sampah dari
kendaraan pengangkut sampah menjadi lebih teratur dan terarah. Beberapa
pertimbangan yang harus diperhatikan dalam menentukan titik bongkar
sampah antara lain:
1. Lokasi pembongkaran harus lebih dekat dengan sel yang dioperasikan
(ujung atau tepi sel);
2. Kendaraan pengangkut sampah diupayakan agar dapat segera mencapai
titik bongkar;
3. Lokasi pembongkaran harus dilengkapi dengan papan petunjuk.
d. Penyiapan pembagian lahan pembuangan sampah
Penentuan batas pembagian lahan sangat diperlukan untuk menata dan
memantau pengoper asian TPA dengan baik. Lahan TPA Cipayung dibagi atas
49

4 zona, setiap blok terdiri atas sel-sel harian. Pembagian lahan TPA dapat
dilihat pada Gambar 6.

Garasi Kantor

2
Blok II Blok I
3 1

Gambar 6. Pembagian lahan TPA Cipayung

Contoh perhitungan penyiapan pembagian lahan:


1. Perhitungan sel jangka pendek (sel harian)
Volume sampah yang masuk TPA 450 m3/hari, jika persentase pemadatan
60%, maka volume sampah setelah pemadatan sebanyak 270 m3/hari.
Jika tinggi timbunan sampah 1,2 m dengan lebar timbunan 10 m, maka
panjang sel harian sebanyak 270 m3/hari/1,2 m x 10 m = 22,5 m.

2. Perhitungan jangka menengah (blok)


Jika lebar sel harian 10 m dengan panjang sel 22,5 m maka luas sel
225 m2 (tebal lapisan satu lapis). Bila direncanakan masa pakai jangka
menengah (1 bulan), maka luas blok operasi bulanan adalah
2
30 hari x 225 m = 6.750 m2.

3. Perhitungan perioda jangka panjang


Apabila direncanakan 1 zona untuk masa pakai 1 tahun, maka luas zona
operasi tahun adalah:
L Zona tahunan = 12 bulan x 6.750 m2 = 8,10 Ha
Bila luas lahan TPA Cipayung yang akan dibangun seluas 2 Ha, maka
masa pakai lahan adalah = 20.000 m2/6.750 m2/bln = 3 bulan
50

(untuk lapisan pertama). Masa akhir operasi direncanakan 7 lapis, jadi


masa pakai lahan = 7x3 bulan = 21 bulan (1,75 tahun).

e. Penentuan kebutuhan dan penempatan tanah penutup


Untuk menentukan besarnya kebutuhan tanah dilakukan perhitungan dengan
memperhatikan hal sebagai berikut:
Jika setiap lapisan timbunan sampah padat dengan ketebalan 1,5 m maka akan
diperlukan tanah penutup harian (setebal 20 cm) sebanyak 13,3 % dari volume
sampah setelah dipadatkan. Tanah penutup antara ketebalan 30 cm akan
dilakukan setelah timbunan mencapai 2 lapis. Penambahan tanah penutup
akhir dengan ketebalan 50 cm, dilakukan pada akhir operasi TPA
(TPA akan ditutup).

1. Kebutuhan tanah penutup harian (SLF)


Volume sampah dipadatkan = 450 m3/hari x 0,6 sebesar 270 m3/hari.
Tebal tanah penutup setelah dipadatkan = 15 cm. Persentase tanah penutup
15 cm/120 cm sebesar 12,5%. Tinggi timbunan sampah 1,2 m. Luas lahan
TPA yang digunakan sebanyak 20.000 m2. Luas sel harian sebanyak 225
m2. Jumlah sel dalam satu lapis sebanyak 20.000 m2 atau 89 buah.
Kebutuhan tanah penutup harian untuk satu sel sebanyak 270 m3/hari x
12,5% atau 33,75 m3/hari.

2. Kebutuhan tanah penutup antara


Luas lahan 20.000 m2. Tebal tanah penutup antara setelah pemadatan
sebanyak 30 cm dilakukan pada lapis ke dua. Kebutuhan tanah penutup
antara dilakukan setiap lapis ke dua. Maka kebutuhan volume tanah
penutup antara 0,3 m x 20.000 m2 x 2 = 12.000 m3.

3. Kebutuhan tanah penutup akhir


Luas lahan 20.000 m2. Tebal tanah penutup antara setelah pemadatan
setebal 50 cm. Dilakukan pada lapis akhir (tidak akan dioperasikan lagi),
maka kebutuhan volume tanah penutup akhir 0,5 m x 20.000 m2 = 10.000
m3. Tanah penutup akhir diambil dari stok tanah yang ada di TPA.
Diperlukan alat berat untuk mengoperasikan TPA dengan sistem sanitary
51

landfill. Pemilihan alat berat harus memperhatikan fungsinya, seperti (a)


Buldozer berfungsi menggusur sampah dan tanah dan meratakan,
memadatkan sampah dan tanah; (b) Exavator berfungsi untuk
memindahkan tanah, menggali tanah, dan pembuatan saluran; (c) Sarana-
sarana lain seperti papan nama, rambu-rambu lalu lintas serta rambu
peringatan harus terpampang; (d) Perlengkapan kerja, sebelum bekerja
perlengkapan kerja seperti sarung tangan, masker sudah harus tersedia dan
pada saat bekerja harus dipergunakan.

2. Pengoperasian TPA
Dalam pengoperasia n TPA tahapan-tahapannya adalah:
a. Penerimaan dan pendataan sampah
Kegiatan penerimaan dan pendataan sampah diperlukan untuk meng-
evaluasi dan merencanakan pengembangan TPA. Pengukuran dapat di-
lakukan secara manual dengan cara mengukur ketinggian muatan sampah
dalam kendaraan pengangkut. Data pengukuran selanjutnya dicatat oleh
petugas dan dibukukan. Pencatatan disusun dalam bentuk tabulasi,
meliputi: hari, bulan/tanggal/tahun, jam kedatangan, jam pergi, nomor
polisi truk, dan volume sampah.

b. Jadwal operasional penimbunan sampah


Jam kerja operasi penimbunan sampah sudah harus ditentukan waktunya
yaitu mulai pukul 7.00 sampai 17.00
c. Jadwal Pembongkaran sampah
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembongkaran sampah
yaitu waktu pembongkaran sampah , transportasi pembongkaran, dan pola
pembongkaran sampah.

1. Waktu Pembongkaran
Waktu pembongkaran sudah harus ditentukan pukul kerjanya, misalnya
sebelum pukul 15.00 pembongkaran sampah sudah harus selesai karena
pukul 15.00-17.00 akan dilakukan untuk perataan dan pemadatan tanah
penutup.
52

2. Transportasi pembongkaran
Transportasi pembongkaran merupakan kegiatan memindahkan sampah
dari dalam truk pengangkutan ke titik bongkar. Proses pengaturan
pembongkaran sampah sangat berkaitan dengan kebutuhan personil di
lapangan dan untuk mengantisipasi gundukan sampah yang lebih besar
serta antrian kendaraan yang panjang di lokasi TPA. Mengantisipasi hal
tersebut perlu dilakukan pengaturan antrian kendaraan dan jam kerja
pembuangan.

3. Pola pembongkaran
Pola pembongkaran sampah sangat dipengaruhi kondisi cuaca, seperti
pembongkaran pada musim kemarau dan musim hujan. Mengantisipasi
kondisi tersebut pembongkaran sampah di TPA Cipayung menerapkan
kedua pola tersebut, seperti pada Tabel 6.

Tabel 6. Pola pembongkaran sampah di TPA Cipayung

No Pembongkaran Sampah pada Pembongkaran Sampah pada


Musim Kemarau Musim Hujan
1. Kendaraan pengangkut sampah melakukan Pembongkaran dapat dilakukan dari
pembongkaran sampai ke titik yang di- atas jalan operasi dengan sistim curah.
rencanakan melalui jalan kerja di dalam
landfill sehingga memudahkan alat untuk
meratakan dan memadatkan.

2 Untuk melakukan pola tersebut, jalan kerja Alat berat hanya dapat bekerja dari
di dalam landfill harus memperhatikan ke- atas timbunan sampah sehingga
tebalan lining dan ke-dalaman saluran pemadatan tidak optimal.
drainase lindi.

3 Dengan melakukan pola seperti ini peng-


operasian akan lebih efektif.

d. Pembentukan sel harian


Pembentukan sel harian dilakukan dengan tinggi 1,2 m lebar 10 m dan
panjang 22,5 m.
53

e. Penggusuran sampah
Penggusuran dilakukan dengan menggunakan buldozer. Pola penggusuran
sampah sangat dipengaruhi kondisi cuaca, seperti penggusuran pada
musim kemarau dan musim hujan. Penggusuran sampah pada musim
kemarau dilakukan pada dasar landfill, sehingga alat berat bekerja lebih
optimal. Penggusuran sampah pada musim hujan dapat dilakukan dari atas
timbunan sampah. Alat berat hanya dapat bekerja dari atas timbunan
sampah sehingga pemadatan tidak optimal.

f. Perataan dan pemadatan sampah


Perataan dan pemadatan sampah dilakukan dengan menggunakan alat
berat yaitu truk loader. Perataan dan pemadatan sampah yang dilakukan
adalah:
Peralatan dilakukan lapis demi lapis, setiap lapis diratakan sampai setebal
20-60 cm dengan cara mengatur ketinggian blade alat berat. Pemadatan
sampah yang telah rata dilakukan dengan menggilas 3-5 kali. Perataan dan
pemadatan dilakukan sampai ketebalan sampah 1,5 m.
Langkah-langkah perataan dan pemadatan sampah dilakukan dengan
menyiapkan alat berat pada posisi berdekatan dengan titik bongkar yang
siap untuk dijalankan, namun tidak mengganggu manuver truk. Setelah
selesai dan meninggalkan lokasi pembongkaran, alat berat segera
diarahkan ke depan bongkaran sampah yang diratakan kearah sel yang
akan diisi

g. Operator alat berat tetap memperhatikan patok-patok pembatas sel, agar


perataan tidak menyebar ke luar sel

h. Perataan diulangi untuk bongkaran sampah berikutnya. Sampah di-


sebarkan keseluruh permukaan sel dengan ketebalan yang sama. Sampah
seluruh permukaan sel terisi satu lapisan
i. Bila kedatangan truk agak berkurang, maka gunakan waktu untuk
memadatkan sampah dengan menggilas 3-5 kali lintasan pulang pergi
54

j. Setelah seluruh sel tertutup dengan lapisan sampah dan telah dipadatkan,
maka pemadatan dilanjutkan ke sel berikutnya.

k. Kegiatan pemadatan dilakukan, sampai seluruh lahan ditutup dengan


tanah.

l. Penutupan sel sampah harian


Tanah penutup dibutuhkan untuk mencegah timbulnya bau, sampah
berserakan, bahaya kebakaran, berkembangbiaknya lalat atau binatang
pengerat dan mengurangi timbulan lindi serta untuk penstabilan
timbunan sampah. Proses penutupan sampah akan dilakukan dengan
menggunakan alat berat dengan cara meratakan dan pemadatan dengan
tanah penutup.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan peralatan dan


pemadatan tanah adalah sebagai berikut penutupan sampah persediaan
tanah penutup hendaknya dilakukan sedekat mungkin dengan lokasi
sel yang akan dioperasikan. Penutupan dilakukan dengan meratakan
tanah setebal 25 cm di atas permukaan sel sampah, kemudian
dilakukan penggilasan 2-3 kali lintasan hingga menjadi padat atau
mencapai ketebalan 20 cm dengan kemiringan tanah pada sisi-sisi
lahan TPA tidak lebih dari 30o.

2. Pelaksanaan penutupan tanah antara


Untuk mencapai sistem yang akan diterapkan dibutuhkan tambahan
alat berat 1 unit buldozer
a. Alat berat
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum alat berat dioperasikan
adalah tangki BBM jangan sampai kosong, air accu dan kondisi
accu, air radiator, kondisi rantai, pembersihan filter udara,
pemanasan mesin, dan sistem hidrolis semua harus dalam keadaan
baik. Sebelum alat berat dioperasikan, operator telah menyiapkan
dan mencatat kebutuhan bahan untuk operasi alat berat tersebut
dalam buku laporan harian.
55

b. Dump truk
Dump truk digunakan untuk mengangkut tanah penutup sel harian
maupun penutup akhir.

c. Peralatan khusus
TPA Cipayung dilengkapi dengan peralatan khusus:
1. Pemadaman kebakaran, yang berfungsi untuk pengendalian
kebakaran pada lahan timbunan sampah.
2. Kendaraan tangki penyiram air, yang berfungsi untuk pe-
nyiraman lahan TPA yang belum tertimbun sampah pada saat
musim kemarau sehingga tidak menimbulkan retakan tanah.

3. Pipa penangkap gas


Fungsi dari penangkap gas adalah untuk menyalurkan gas yang
terbentuk dalam timbunan sampah akibat proses degradasi sampah.
Sistem pengendalian gas menggunakan sistem perpipaan.
Dalam melakukan operasi sistem penangkap gas harus dikoordinasikan
dengan operator alat berat karena dalam penyebaran sampah di sekitar
pipa gas harus ada perlakuan khusus sehingga tidak mengganggu pipa
itu sendiri.
Pengoperasian pipa gas dilakukan dengan casing berdiameter 30 cm
yang dipasang pada pipa gas dan dimasukkan kerikil berdiameter 3-5
cm, setelah itu sampah disebar dan dipadatkan di sekitar selubung pipa
hingga lapis pertama. Setelah selesai lapis pertama casing tersebut
diangkat untuk tahap selanjutnya dilakukan secara berulang ulang.

4. Kegiatan pemulung
Kegiatan pemulung sebaiknya tidak diperkenankan karena dapat
mengganggu operasi lapangan di TPA.

5. Pengoperasian instalasi pengolahan lindi


Tujuan dan sasaran pengoperasian kolam lindi adalah untuk
mengurangi polutan-polutan pencemar yang terkandung dalam lindi,
sehingga tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Untuk itu,
56

instalasi pengolahan lindi ini harus dioperasikan dengan baik agar


berfungsi sebagaimana mestinya. Pengairan air lindi dari lahan
penimbunan sampah dialirkan ke bangunan pengolah secara gravitasi
melalui pipa inlet dan outlet dari setiap kolam kemudian diproses
secara alamiah. Pemeriksaan terhadap kualitas dan kuantitas air lindi
dilakukan terhadap:
a. Kuantitas lindi
Besaran debit air lindi sangat dipengaruhi oleh iklim dan pola
pengoperasian penimbunan sampah. Pengukuran debit lindi di-
lakukan menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Titik pengukuran
dilakukan sebelum masuk kolam lindi.
b. Kualitas lindi
Kualitas lindi diperiksa di laboratorium setiap beberapa bulan
sekali.
Titik pengambilan contoh meliputi:
1. Outlet dari lahan timbunan sampah.
2. Outlet dari kolam anaerob.
3. Outlet dari kolam fakultatif.
4. Outlet dari kolam maturasi.
5. Parameter kualitas lindi.
Variabel kualitas leachate meliputi sifat fisik, kimia dan biologi.
a. Desifeksi
Penambahan bahan kimia pada bak desifeksi berfungsi untuk
membunuh bakteri.
b. Pengujian kualitas lindi meliputi fisik, kimia, dan biologi.

6. Pengujian kolam anerobik


Lindi dimasukkan sampai ke ambang outlet, kemudian aliran air
dihentikan ke dalam kolam dengan cara menutup aliran kolam. Agar
terjadi pertumbuhan bakteri, lindi dibiarkan selama 2 minggu dan
kemudian setelah 2 minggu kadar BOD sudah dapat diperiksa. Apabila
penurunan BOD belum tercapai, maka proses pengujian tersebut
57

ditunggu kembali hingga 2 minggu lagi dan seterusnya. Apabila


efesiensi pengurangan BOD telah tercapai, secara bertahap dan setiap
hari aliran lindi akan mencapai debit rencana setelah 1 bulan. Kadar
BOD diperiksa secara periodik.

7. Pengujian kolam fakultatif


Pengujian dilakukan bersama dengan kolam anaerobik. Kolam diisi
dengan air sampai ambang outlet setelah itu ditambahkan air dari
kultur kolam yang mengandung kultur alga/ganggang sebanyak 1
liter/m3 kolam fakultatif dan biarkan selama 15 hari agar terjadi
pembibitan secara alamiah. Pemeriksaaan Kadar BOD dilakukan
secara periodik.

8. Pengujian kolam maturasi


Pengujian dilakukan bersamaan dengan kolam lainnya. Kolam diisi
dengan air sampai ambang pipa outlet, kemudian dimasukkan beberapa
ekor ikan sebagai indikator kondisi air. Air dimasukkan dari kolam
maturasi/aerasi alamiah secara bertahap sedikit demi sedikit, setelah itu
diamati kondisi yang ada. Kadar BOD diperiksa pada aliran kelur
secara periodik lalu ditambahkan debit aliran dari kolam aerasi bila
ikan tetap dapat hidup berarti kadar BOD tercapai sesuai rencana.

3.9. Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM)


Sebagaimana diketahui, kualitas sumberdaya manusia memberikan pe-
ranan yang sangat besar dalam menunjang berbagai kegiatan yang berkaitan
dengan kemajuan suatu bidang atau usaha. Berkaitan dengan hal tersebut di atas,
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Depok didukung oleh 65 orang karyawan yang terdiri atas 57 orang Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan 8 orang tenaga kontrak. Masing-masing karyawan tersebut
dibedakan dalam beberapa komposisi sesuai dengan tingkat pendidikan, golongan,
jabatan struktural, dan pendidikan/penjenjangan.
Selain yang berstatus PNS dan tenaga kontrak, terdapat pula karyawan
yang berstatus sukwan Dinas. Pada umumnya sukwan Dinas bekerja di lapangan,
58

baik yang ada di bidang kebersihan, UPTD IPLT-TPA, dan UPTD Pemakaman.
Jumlah keseluruhan sukwan Dinas yang ada di lingkungan Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Depok sebanyak 455 orang. Komposisi kepegawaian Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok dapat diihat pada Tabel 7 dan komposisi
tenaga sukwan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok dapat dilihat pada
Tabel 8.

Tabel 7. Komposisi kepegawaian DKP Kota Depok

A Berdasarkan Tingkat Pendidikan Jumlah


Pasca Sarjana/S2 8 orang
Sarjana/S1 20 orang
Sarjana Muda/D3 2 orang
SMU/SLTA 23 orang
SLTP 1 orang
SD 1 orang

B Berdasarkan Golongan
Golongan IV 5 orang
Golongan III 29 orang
Golongan II 22 orang
Golongan I 1 orang

C Berdasarkan Jabatan Struktural


Eselon II B 1 orang
Eselon III A 5 orang
Eselon IV A 12 orang

D Berdasarkan Pendidikan/Penjenjangan
Diklat Pim TK II 1 orang
Diklat Pim TK III 3 orang
Diklat Pim TK IV 15 orang

Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok 2007


59

Tabel 8. Jumlah sukwan DKP Kota Depok menurut jabatan


No. Jabatan Jumlah
Pengemudi truk sampah 50 orang
Pengemudi truk tinja 6 orang
Operator alat berat 6 orang
Kernet truk sampah 173 orang
Kernet truk tinja 12 orang
Kernet alat berat 5 orang
Satgas 16 orang
Mekanik 3 orang
Pesapon Pria 66 orang
Pesapon Wanita 74 orang
Pengawas pesapon 5 orang
Petugas retribusi 16 orang
Penjaga alat berat 1 orang
Petugas Keamanan TPA 4 orang
Petugas TPA 2 orang
Pengawas TPA 1 orang
Petugas IPLT 7 orang
Pengemudi mobil jenazah 1 orang
Kernet mobil jenazah 1 orang
Petugas makam 6 orang
JUMLAH 455 orang
Sumber: Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok 2007

3.10. Kesimpulan
TPA Cipayung terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Pancoran Mas,
Kota Depok. TPA Cipayung dioperasikan sejak tahun 1992 dengan sistem open
dumping pada areal seluas 2,5 ha. Dikarenakan semakin meningkatnya volume
sampah di Kota Depok, TPA Cipayung di perluas kembali hingga 10,6 ha dengan
kapasitas direncanakan sekitar 4.000.000 m3 timbulan sampah, dan sistem
pembuangan sampah ditingkatkan menjadi controlled landfill.
Infrastruktur pengelolaan sampah di Kota Depok mendukung dilakukan
pengelolaan sampah secara sanitary landfill. Sarana pendukung dan operasional
60

standar sudah ada. Sistem Sanitary landfill mudah dan cocok dilaksanakan untuk
sumberdaya manusia di Kota Depok khususnya di Kelurahan Cipayung.

3.11. Daftar Pustaka

Bappeda Kota Depok. 2000. RTRW Kota Depok 2000-2010. Bappeda Kota
Depok. Depok.
Badan Pusat Statistik Kotamadya Kota Depok [BPS]. 2007. Kota Depok dalam
Angka 2007. Bappeda Kota Depok. Depok..
IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di lokasi tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah,
Kota Depok di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.
Pengambilan data di lapangan dilakukan mulai bulan Januari 2008 sampai Mei
2008.

4.2. Rancangan Penelitian


Penelitian model pengelolaan tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah
secara berkelanjutan di TPA Cipayung di Kota Depok-Jawa Barat terdiri atas:
1. Penelitian 1 mengenai keadaan kualitas lingkungan, sosial, ekonomi, dan
kesehatan masyarakat di sekitar TPA Cipayung. Penelitian ini meliputi: a)
kondisi kualitas lingkungan; b) keadaan responden : kondisi sosial budaya dan
kesehatan masyarakat di kawasan TPA Cipayung
2. Penelitian 2 mengenai kebijakan pengelolaan sampah di TPA Cipayung.
Penelitian ini meliputi: a) metode analisis AHP; b) hasil analisis data penilaian
tingkat kepentingan; dan c) alternatif kebijakan pengelolaan TPA Cipayung.
3. Penelitian 3 mengenai sistem pengelolaan TPA Sampah. Penelitian ini
meliputi: a) kondisi eksisting pengelolaan persampahan Kota Depok ditinjau
dari sub sistem kelembagaan dan organisasi, sistem tekhnik operasional, sub
sistem pembiayaan, dan sub sistem hukum/peraturan perundangan; b) model
sistem pengelolaan sampah; c) partisipasi masyarakat; d) implementasi
pengelolaan dan pengolahan sampah; e) alternatif pengolahan sampah; f)
pengelolaan sampah dengan memanfaatkan teknologi; g) konsep penanganan
sampah berbasis masyarakat; dan h) rekomendasi pengelolaan dan pengolahan
sampah Kota Depok.

4.3. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa
cara diantaranya adalah :
62

4.3.1. Keadaan Kualitas Lingkungan, Sosial, Ekonomi, dan Kesehatan


Masyarakat di Sekitar TPA Cipayung
(a) Kondisi kualitas lingkungan : idenntifikasi sifat fisik, kimia, dan biologi
dilakukan pengambilan sampel air sumur, badan air penerima, dan air lindi di
lingkungan TPA Cipayung Kota Depok. (b) Keadaan responden : kondisi sosial
budaya dan kesehatan masyarakat di kawasan TPA Cipayung dengan
menggunakan kuisioner dan wawancara terhadap masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan TPA Cipayung. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode
survei, yaitu metode yang bertujuan untuk meminta tanggapan responden.

4.3.2. Kebijakan Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung


Beberapa pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah
diskusi dan wawancara dengan panduan kuisioner serta pengamatan langsung
terhadap kegiatan di TPA Cipayung. Penentuan responden dilakukan dengan
purposive sampling. Responden adalah pemangku kepentingan yang mengetahui
permasalahan dan kondisi TPA Cipayung dari berbagai lembaga/instansi terkait,
Pemda, swasta, LSM, perguruan tinggi, dan masyarakat di sekitar kawasan TPA
Cipayung.

Tingkat 1 Peningkatan kualitas Lingkungan di TPAS Cipayung


Fokus

Tingkat 2
Pemangku PEMDA LSM Lembaga Peneliti Swasta Masyarakat
kepentingan

Tingkat 3
Aspek Ekologi Sosial Ekonomi

Tingkat 4 Peningkatan Optimalisasi Optimalisasi Penegakan


Alternatif Partisipasi Kinerja Pengelolaan Hukum
Stakehoder Petugas Sampah
Kebersihan

Gambar 7. Struktur hirarki perumusan strategi pengelolaan TPAS


63

Struktur hirarki diawali dengan tujuan umum, kemudian dilanjutkan


dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada level paling
bawah. Untuk lebih jelasnya struktur hirarki dalam perumusan pengelolaan tempat
pembuangan akhir sampah di Cipayung dapat dilihat pada Gambar 7.

4.3.3. Sistem Pengelolaan TPA Sampah


Pengambilan data sistim pengelolaan sampah dengan mengamati data
jumlah penduduk, jumlah sampah, jumlah tempat pembuangan sampah selama 5
tahun terakhir.

4.4. Analisis Data


4.4.1. Analisis Keadaan Kualitas Lingkungan, Sosial, Ekonomi, dan
Kesehatan Masyarakat di Sekitar TPA Cipayung
(a) Analisis data kualitas lingkungan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara
menganalisis sampel air yang dilakukan di Laboratorium PT. Mutu Agung
Lestari. Sampel air yang diukur adalah kualitas air sumur, kualitas air badan air
penerima, dan kualitas air lindi. Kualitas air sumur yang telah diukur
dibandingkan dengan peraturan Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990,
Kualitas badan air penerima dibandingkan dengan Kriteria Mutu Air PPRI
No.28/2001. Gol. III. Kualitas air lindi dibandingkan dengan SK Gubernur Jawa
Barat No. 6/1999. (b) Keadaan responden : kondisi sosial budaya dan kesehatan
masyarakat di kawasan TPA Cipayung. hasil wawancara di tabulasi dan kompilasi
data, dan dianalisis secara deskriptif kualitatif berdasarkan hasil pengolahan data
wawancara kelompok dan observasi pada lokasi survey.

4.4.2. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sampah di TPA Cipayung


Strategi pengelolaan TPAS Cipayung dikelola dengan menggunakan
perumusan metode AHP dengan mengikut sertakan seluruh pemangku
kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan TPA Cipayung di Kota Depok.
Dalam AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun skala pengukuran
dalam bentuk indeks, skoring atau nilai numerik tertentu. Ha-hal yang harus
64

diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah


dekomposisi, pemutusan komparatif, sintesis prioritas dan konsistensi logika.
Untuk menganalisis data tersebut digunakan komputer dengan bantuan
program expert choice 2000. Keseluruhan proses tersebut diharapkan menjadi
model penyusunan kebijakan pengelolaan TPA Cipayung yang terpadu,
komprehensif, dan partisipatif.

4.4.3. Analisis Sistem Pengelolaan Sampah


4.4.3.1.Tahapan Pemodelan Sistem Dinamik
Tahapan pemodelan sistem dinamik (SD) dalam penelitian ini diuraikan
menjadi dua bagian, yaitu aspek konseptual dan aspek teknis. Bagian konseptual
merupakan masukan dari strukturisasi sistem yang telah difiltrasi. Alur pemodelan
dapat dilihat pada Gambar 8.

Persamaan
matematik,
Mulai Formulasi model simulasi estimasi
parameter,
nilai inisial

Verifikasi
Pemilihan tema

Uji struktur
Validasi
dan perilaku

Identifikasi variabel kunci


Sensitivitas
(leverage point)

Membangun peta model Analisis


CLD Skenario kebijakan sensitivitas &
mental
probabilistik

Rekomendasi kebijakan
SFD Membangun diagram alir
terbaik dan tepat

Selesai

Konseptual Teknis

Gambar 8. Alur tahapan model


65

4.4.3.2. Pemilihan Tema dan Identifikasi Variabel Kunci


Pemilihan tema dan penentuan variabel kunci merupakan bagian dari
perumusan masalah penelitian. Tahap ini merupakan tahapan penting agar
permasalahan yang dikaji dan batasan-batasan sistemnya jelas. Tema yang dipilih
adalah pengelolaan lingkungan TPA Cipayung yang bertujuan untuk mengetahui
jumlah dan jenis sampah yang terkelola, partisipasi masyarakat pada tahun
mendatang.

4.4.3.3. Membangun Diagram Kausal dan Diagram Alir


Perancangan konsep model dinamik berawal dari informasi historis atau
pola hipotesis setiap variabel kunci untuk menggambarkan perilaku persoalan
sebagai dasar rujukan. Dasar rujukan diwakili oleh pola perilaku suatu kumpulan
variabel-variabel mencakup beberapa aspek yang berhubungan dengan perilaku
persoalan. Pola perilaku rujukan membantu memperkuat hipotesis dinamis yang
dinyatakan sebelumnya berdasarkan pengamatan dunia nyata, penelitian
sebelumnya dan data-data terkait. Hipotesis dinamis adalah suatu pernyataan
mengenai struktur balik yang dianggap memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku masalah. Struktur model dibangun dengan menggunakan
alat CLD (causal loop diagram) sehingga memudahkan pengamatan secara visual
untuk memahami dan menangkap hipotesis dinamis. Struktur model dilanjutkan
dengan membangun diagram alir dengan alat SFD (stock flow diagram) sebagai
bahasa bersama pemodelan SD. Variabel ditetapkan sebagai stock (akumulasi)
dan flow (aliran yang dapat mengubah nilai stock).

4.4.3.4. Formulasi Model Simulasi


Tahap formulasi model simulasi menggunakan alat bantu program
komputer Powersim. Model simulasi agar dapat dijalankan harus dilengkapi
dengan persamaan matematis yang benar, parameter dan penentuan kondisi nilai
awal. Hipotesis dinamis adalah suatu pernyataan mengenai struktur balik yang
dianggap memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku masalah.
66

Penentuan variabel atau parameter yang akan dijadikan stock (akumulasi) dan
flow (aliran yang dapat mengubah nilai stock).

4.4.3.5.Verifikasi dan Validasi Model


Verifikasi model adalah pembuktian bahwa model komputer yang telah
disusun pada tahap sebelumnya mampu melakukan simulasi dari model abstrak
yang dikaji (Eriyatno, 1998). Dalam pengertian lain, verifikasi adalah sebuah
proses meyakinkan bahwa program komputer yang dibuat beserta penerapannya
adalah benar. Cara yang dilakukan adalah menguji sejauh mana program
komputer yang dibuat telah menunjukkan perilaku dan respon yang sesuai dengan
tujuan dari model (Schlesinger, et al. 1979 dalam Sargent, 1998).
Validasi adalah usaha penyimpulan apakah model sistem tersebut
merupakan perwakilan sah dari realitas yang dikaji, sehingga dapat menghasilkan
kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 1998), dalam proses pemodelan validasi
dan verifikasi dilakukan untuk setiap tahap pemodelan, yaitu validasi terhadap
model konseptual, verifikasi terhadap model komputer dan validasi operasional
serta validitas data.
Validasi merupakan proses interaktif sebagai proses penyempurnaan
model komputer (Muhammadi, et al., 2001; Eriyatno, 1998). Teknik validasi yang
digunakan pada studi ini meliputi validasi struktur dilihat dari bangunan teori dan
perilaku reproduksi. Validasi kinerja dilakukan dengan melihat kinerja keluaran
model dengan keluaran model dunia nyata, uji kondisi ekstrim, pemeriksaan
konsistensi unit analisis, dan pemeriksaan konsistensi data secara statistik
(Muhammadi, et al. 2001).
Uji validitas teoritis artinya model yang dibangun valid karena didukung
oleh teori yang diadopsi. Uji kondisi ekstrim, yaitu pengujian terhadap salah satu
variabel yang diubah nilainya secara ekstrim. Pemeriksaan konsistensi unit
analisis keseluruhan interaksi dari unsur-unsur yang menyusun sistem dengan
memeriksa persamaan Powersim. Pemeriksaan konsistensi keluaran model untuk
mengetahui sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem aslinya.
Prosedurnya dengan mengeluarkan nilai hasil simulasi variabel utama dan
67

membandingkan dengan pola perilaku data aktual. Uji statistik dilakukan setelah
secara visual meyakinkan dengan mengecek nilai error antara data simulasi dan
data aktual dalam batas penyimpangan yang diperkenankan yaitu antara 5-10%.
Ukuran relatif untuk menentukan nilai mean error dari nilai absolute percentage
error (APE) yang didefinisikan dengan persamaan sebagai berikut (Markidakis et
al., 1992):

n
X t − Ft

1
MAPE = x 100 % (1)
n t =1 Xt

dengan:

MAPE = mean absolute percentage error


Xt = nilai aktual
Ft = nilai simulasi atau peramalan

4.4.3.6.Sensitivitas
Sensitiv itas berarti respon model terhadap stimulus yang ditujukan dengan
perubahan atau kinerja model. Tujuan utama analisis ini adalah untuk mengetahui
variabel keputusan yang cukup penting (leverage point) untuk ditelaah lebih lanjut
pada aplikasi model. Metode umum yang digunakan adalah skenario terbaik-
terburuk (Sterman, 2000). Jenis uji sensitifitas yang dilakukan pada penelitian ini
berupa intervensi fungsional. Intervensi fungsional, yaitu intervensi terhadap
variabel tertentu atau kombinasinya. Intervensi setiap perubahan nilai variabel
(dinaikkan atau dikurangkan 10%) akan memperlihatkan kinerja model yang
berbeda terhadap nilai variabel utama.

4.4.3.7.Sekenario Kebijakan
Kebijakan adalah aturan umum bagaimana status keputusan dibuat
berdasar pada informasi yang tersedia. Setiap kebijakan memiliki empat
68

komponen, yaitu kondisi saat ini (aktual) dan yang diinginkan, kecepatan
tanggapan dan tindakan perbaikan (Forrester, 1961 dalam Lyneis, 1980).
Kecepatan tanggap dalam studi ini menggunakan matrik yang terdiri atas tiga
pilihan pengaturan variabel atau analisis sensitifitas, yaitu agresif, moderat dan
lambat (Lyneis, 1980). Skenario kebijakan juga mengggunakan analisis
probabilistik untuk penilaian resiko. Rentangan waktu yang digunakan adalah
periode lima tahun (tahun 2008-2013). Rentangan selama lima tahun merupakan
rujukan yang digunakan Pemerintah Kota Depok untuk bahan proyeksi kebijakan
(RKAP) setelah mengevaluasi kinerja pengelolaan sampah selama lima tahun
sebelumnya.

Pengolahan Data
Analisis perhitungan data menggunakan Microsoft Office Excel dan model
dinamik analisis simulasi sistem dinamik yang diolah menggunakan software
Stella versi 8.0.

4.5. Tahap Penelitian


Di dalam penelitian ini dilakukan tahapan pengumpulan data dengan
mengambil sampel air dan analisis laboratorium untuk mengetahui kualitas
perairan di kawasan TPA Cipayung, melakukan wawancara atau diskusi dengan
menggunakan panduan kuisioner terhadap pelaku utama yang dapat mewakili
pihak berkepentingan (pemangku kepentingan) dan melakukan penentuan titik
sampel serta variabel yang diukur.

4.6. Jenis dan Sumber Data


Pada penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan
sekunder. Data primer dilakukan dengan melihat secara langsung kondisi dan
keadaan sebenarnya di lapangan. Data primer kualitas air diambil langsung di
lokasi penelitian. Data primer kebijakan diperoleh dari kuisioner terhadap para
pemangku kepentingan yang terlib at langsung terhadap pemanfaatan kawasan
TPA Cipayung.
69

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui penelusuran data BPS,


Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok, dokumen hasil penelitian dari
berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian. Data penelitian yang
diambil antara lain jumlah sampah kumulatif, luas lahan TPA yang terpakai, lama
waktu atau umur TPA, data iklim rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir
(suhu, curah hujan, kelembaban nisbi, kecepatan angin, dan lama penyinaran
matahari) dari Badan Meterologi dan Geofisika Jakarta, data sosial ekonomi
penduduk dari Biro Statistik Kota Depok Jawa Barat, data kesehatan masyarakat
dari puskesmas di Kecamatan Cipayung Kota Depok.
V. KEADAAN KUALITAS LINGKUNGAN, SOSIAL, EKONOMI DAN
KESEHATAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN
TPA CIPAYUNG

Abstrak
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan sarana untuk penampungan dan
pengelolaan limbah. Akibat pengelolaan limbah di TPA yang kurang tepat
menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan di sekitar kawasan TPA.
Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan di TPA adalah penurunan kualitas
lingkungan sekitar TPA, konflik dengan masyarakat, dan terganggunya kesehatan
masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang
kualitas lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat di kawasan TPA
sampah Cipayung. Metode Penelitian dilakukan secara deskriptif dengan
menganalisis kualitas air sumur, badan air penerima (BAP), dan air lindi di
lingkungan TPA Cipayung Kota Depok, kualitas air yang telah diukur
dibandingkan dengan peraturan Permenkes RI No. 416/MenKes//Per/IX/1990,
Kriteria Mutu Air PPRI No. 28/2001. Gol. III, Baku Mutu: SK Gubernur Jawa
Barat No. 6/1999. Sampel air dianalisis di Laboratorium PT. Mutu Agung Lestari.
Penelitian terhadap dampak sosial ekonomi, dan kesehatan di sekitar kawasan
TPA Cipayung dilakukan secara deskriptif. Hasil analisis kualitas air di tiga lokasi
sampel air sumur menunjukkan beberapa peubah telah di atas NAB di antaranya
suhu di sumur pantau (26.00C), rumah penduduk (26.10C), rumah penduduk
seberang sungai (25.20C). Besi (1.50 mg/l) dan mangan (1.90 mg/l). Hasil analisis
kualitas air di badan air penerima (BAP) menunjukkan peubah kimia sudah di atas
NAB adalah nitrit (1.0 mg/l) di BAP (inlet). BOD5 di inlet (29.57 mg/l) dan outlet
(16.68 mg/l), seng (0.21 mg/l) di outlet. Hasil analisis kualitas air lindi di TPA
Cipayung telah di atas NAB di antaranya besi (5.95 mg/l) pada lokasi inlet,
mangan (0.46 mg/l) di inlet, kadar BOD5 di inlet (266.41 mg/l) dan di outlet
(250.30 mg/l). Kadar COD di inlet (541.20 mg/l), di outlet (514.40 mg/l) dan
fenol di bagian inlet (0.34 mg/l) dan di outlet (0.32 mg/l). Kadar fenol sudah di
atas NAB yang diizinkan untuk Golongan I. Hasil analisis pemeriksaan coliform
pada kualitas air sumur dan BAP masih di bawah nilai NAB. Sebagian masyarakat
merasakan adanya gangguan terhadap lingkungan sebagai akibat letak lokasi TPA
yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, et tapi jika ditinjau dari segi
ekonomi keberadaan TPA justru dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat
sekitar.

Kata kunci : Pencemaran, kualitas air, nilai baku mutu

5.1. Pendahuluan
Persampahan merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup yang
semakin meningkat dan komplek. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk,
timbulan sampah dengan akumulasi buangan padat yang bersumber dari berbagai
kegiatan masyarakat ikut meningkat. Penanganan pengelolaan sampah secara
71

cepat dan cermat sangat diperlukan, guna memelihara dan meningkatkan kualitas
lingkungan, sosial ekonomi dan kesehatan terutama terhadap masyarakat yang
bertempat tinggal dekat dengan lokasi TPA Cipayung.
Upaya melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan dengan
melakukan reduksi sampah dari sumbernya langsung merupakan implementasi
dari prinsip 3R+1P yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali),
recycle (mendaur ulang), dan partisipasi (pelib atan masyarakat). Program 3R+1P
merupakan kegiatan mengolah sampah untuk dijadikan bahan yang lebih
bermanfaat seperti kompos. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan
kualitas lingkungan, sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat di sekitar kawasan
TPA Sampah Cipayung.

5.2. Metode Evaluasi Kualitas Lingkungan


Dalam penelitian ini dikumpulkan data primer dan data sekunder. Pe-
ngumpulan data primer diperoleh dengan tekhnik survei dan wawancara langsung
di lokasi TPA dengan masyarakat di Kelurahan Cipayung, aparat Kecamatan
Pancoran Mas, para pakar, dan pemangku kepentingan yang terkait dengan
TPA.Tekhnik wawancara dilakukan untuk memperoleh data persepsi masyarakat
tentang pengaruh positif dan negatif yang dirasakan masyarakat di sekitar TPA
Cipayung. Data sekunder diperoleh melalui penulusuran data dari berbagai
lembaga terkait. Lembaga terkait tersebut meliputi Dinas Kebersihan dan
Pertamanan Kota Depok, BPS Kota Depok, Perguruan Tinggi IPB, dan UI.
Evaluasi kualitas lingkungan terhadap kualitas air pada lokasi sampel yaitu
sumur, badan air penerima (BAP), dan lindi. Nilai dari variabel hasil analisis
dibandingkan dengan baku mutu Permenkes No. 416/MENKES/PER/IX/1990,
kriteria mutu air PPR No.28/2001 Gol. III dan baku mutu limbah cair SK Gub.
Jawa Barat No. 6/1999. Data sosial ekonomi dan kesehatan responden diperoleh
dengan menggunakan kuisioner dan wawancara langsung dengan 83 responden
yang terlibat dalam pemanfaatan TPA dan bertempat tinggal di sekitar kawasan
TPA Cipayung. Hasil wawancara dikumpulkan dan disederhanakan dengan sistem
tabulasi dan kompilasi data. Selanjutnya data tersebut dianalisis secara deskriptif.
72

Analisis data secara deskriptif kualitatif diperoleh berdasarkan hasil pengolahan


data wawancara dan observasi pada lokasi survei.

5.2.1. Data Primer


5.2.1.1. Fisik dan Kimia
1) Air Sumur
Pengambilan sampel air bersih dilakukan di tiga titik di Kelurahan
Cipayung, yaitu di sumur pantau, sumur rumah penduduk, dan sumur rumah
penduduk seberang sungai.
Cara pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol
plastik berukuran 1,5 liter, kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam
color box untuk diawetkan. Contoh air kemudian dianalisis di PT. Mutu
Agung Lestari di Depok.

Tabel 9. Kualitas air sumur yang akan dianalisis di TPA Cipayung

No Parameter Satuan Peralatan Metode Analisis


Fisika :
o
1. Suhu C Termometer Pemuaian air
2. Bau - -
3. Rasa - -
4. Kekeruhan NTU Turbidimeter Turbidimeter
5. Warna PtCo Coloricmetric
6. Zat padatan terlarut (TDS) Mg/l Timbangan analitik Gravimetri

Kimia :
1. pH - pH-Meter
2. DO Mg/l DO-Meter Potensiometrik
3. BOD5 Mg/l Buret Potensiometrik
4. COD Mg/l Buret Titrimetrik
5. Amonia N-NH3 Mg/l Spektrofotometer Titrimetrik
6. Nitrat-N Mg/l Spektrofotometer Spektrofotometer
7. Nitrit-N Mg/l Spektrofotometer Spektrofotometer
8. Kesadahan (CaCO3) Mg/l Buret Spektrofotometer
9. Klorida Mg/l Buret Titrimetrik
10. Sulfida Mg/l Buret Titrimetrik
11. Fosfat Mg/l Spektrofot ometer Titrimetrik
12. Besi (Fe) Mg/l Spektrofotometer Spektrofotometer
13. Timbal (Pb) Mg/l Spektrofotometer Spektrofotometer

Sumber : Permenkes RI No.416/MenKes/Per/IX/1990


Keterangan : (-): Tidak ada satuan
73

2) Badan air penerima (BAP)


Untuk mengetahui kualitas air badan air penerima (BAP), sungai yang
dijadikan sampel adalah Sungai Pesanggrahan karena berbatasan langsung dengan
tapak proyek. Pengambilan sampel di inlet IPAL dan outlet IPAL. Contoh air
diambil dengan water sampler yang mewakili bagian permukaan sampai dasar
perairan. Selanjutnya dianalisis di laboratorium PT. Mutu Agung Lestari. Variabel
yang diamati dapat dilihat pada Tabel 10. Variabel kualitas air yang diukur
dibandingkan dengan Baku Mutu PPRI No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pengambilan contoh air perairan sungai
sebanyak 2 titik sampling yaitu: ± 100 m sebelum lokasi TPA dan ± 100 m dari
outlet IPAL.

Tabel 10. Kualitas badan air penerima (BAP) yang akan dianalisis di
TPA Cipayung

No Parameter Satuan Peralatan Metode Analisis


Fisik:
1. Bau Organoleptik
2. TDS Timbangan Analitik Gravimetrik
3. Kekeruhan Turbiditri&Titrimetri Gravimetrik
4. Rasa - Organolepti
0
5. Suhu C Termometer Pemuaian

1. Kimia
2. pH - pH-meter Potensiometer
3. DO mg/l Buret, DO meter Winkler (azide modified)
4. BOD mg/l Buret Winkler&Inkubasi 5 hari
5. COD mg/l Buret Reflux dengan K2Cr2O7 2 jam
6. Magnesium (Mg) mg/l Buret Titrasi EDTA
7. Khrom Heksavalen (Cr) mg/l AAS Spektrofotometrik
8. Kadmium (Cd) mg/l AAS Spektrofotometrik
9. Timbal (Pb) mg/l AAS Spektrofotometrik
10. Amoniak (NH3) mg/l Spektro fotometer Spektrofotometrik
11. Nitrat (NO3) mg/l Spektro fotometer Spektrofotometrik
12. Nitrit (NO2) mg/l Spektro fotometer Spektrofotometrik
13. MBAS mg/l Buret Methylene blue
14. Minyak dan Lemak Spektro fotometer Spektrofotometrik-Infra merah
15. Total Fosfat (PO 4) mg/l Spektro fotometer Molibdat

MIKROBIOLO GI
1. Fecal Coliform jml/100ml Tabel MPN MPN
2. Total Coliform jml/100ml Tabel MPN MPN

Sumber : Kriteria Mutu Air PPRI No.28/2001. Gol. III


74

3) Air Lindi
Sampel air lindi diambil pada inlet dan outlet kolam air lindi. Air lindi
disetarakan dengan air limbah cair yang baku mutunya diatur oleh Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Baku
Mutu Limbah Cair bagi kegiatan industri dan SK Gub. Jabar No. 6 tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Limbah Cair. Adapun variabel kualitas air lindi
yang akan diukur dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kualitas air lindi yang akan dianalisis di TPA Cipayung

No Parameter Satuan Metode Analisi


Fisik
1. Padatan terlarut Mg/l Gravimetrik
2. Warna PtCo
3. Kekeruhan FTU Turbidimetrik

Kimia -
1. pH mg/l pH meter
2. Besi (Fe) mg/l Potensiometrik
3. Mangan Terlarut (Mn) mg/l SNI-M -63-1990-03
4. Tembaga (Cu) mg/l SNI-M -73-1990-03
5. Seng (Zn) mg/l SNI-M -63-1990-03
6. Krom Heksavalen (Cr6+) mg/l AAS
7. Kadmium (Cd) mg/l SNI-M -35-1990-03
8. Air Raksa (Hg) mg/l AAS
9. Timbal (Pb) mg/l Spektrofotometrik
10. Sulfida mg/l Titrimetrik
11. Nitrat-N mg/l Spektrofotometrik
12. Nitrit-N mg/l Spektrofotometrik
13. BOD5 mg/l Titrimetrik
14. COD mg/l Titrimetrik

Baku Mutu: SK Gubernur Jawa Barat No. 6/1999

5.2.1.2. Mikrobiologi Lingkungan


Pengambilan sampel mikrobiologi lingkungan TPA dilakukan pada air
sumur sekitar TPA Cipayung dan di badan air penerima. Variabel mikrobiologi air
sumur mengacu pada Permenkes RI No. 416/MenKes/Per/IX/1990. Variabel di
badan air penerima mengacu pada peraturan Kriteria Mutu Air PPRI No. 28/2001.
Gol. III. Adapun mikrobiologi air sumur dan BAP dapat dilihat pada Tabel 12.
75

Tabel 12. Mikrobiologi yang akan dianalisis di air sumur dan


BAP TPA Cipayung
Parameter Metode
Tempat Satuan Peralatan
Analisis
Kualitas air Mikrobiologi
sumur dan badan Coliform jml/100ml Tabel MPN MPN
air penerima
(BAP)

Sumber : Permenkes RI No.416/MenKes/Per/IX/1990 dan Kriteria Mutu Air PPRI


No.28/2001. Gol. III

Jenis mikroorganisme yang terdapat dalam sampah adalah bakteri, virus,


protozoa, jamur, fungi, ganggang, dan cacing. Jenis-jenis mikroorganisme
yang dapat berkembang biak dengan cepat dalam sampah adalah bakteri,
jamur, dan cacing. Sampah merupakan sumber beberapa jenis penyakit
menular dan dapat menyebabkan keracunan. Bahan beracun, bahan kimia,
bakteri, virus, jamur yang ada dalam timbunan sampah, dapat berpindah
tempat ke tempat lain melalui air lindi. Apabil cairan dari sampah yang
mengandung bibit penyakit masuk ke dalam air badan air penerima (BAP) dan
sumur, maka akan berpengaruh terhadap penyebaran mikroba patogen atau
penyakit menular di dalam air.

5.2.1.3. Sosial Ekonomi Masyarakat


Pengambilan responden dilakukan di sekitar TPA Cipayung, Kecamatan
Pancoran Mas Kota Depok. Pengumpulan data yang dilakukan pada
penelitian ini sesuai dengan pernyataan Soehartono (1999) yang menyatakan
bahwa data yang diambil berdasarkan pertimbangan maksud dan tujuan
penelitian. Responden terdiri atas pemangku kepentingan yang mengetahui
permasalahan dan kondisi TPA Cipayung dari berbagai lembaga/instansi
terkait, swasta, LSM, masyarakat di sekitar TPA (non pemulung, pemulung),
aparat Kecamatan, Lurah, dan tokoh masyarakat (formal dan informal). Data
yang diamati yaitu karakteristik, sosial ekonomi dan tanggapan responden
terhadap keberadaan TPA Cipayung seperti dicantumkan pada Tabel 13.
76

Tabel 13. Pengambilan jumlah responden

No Sampel Jumlah

1. Dinas Kebersihan dan Pertamanan 2 orang

2. Pengusaha/Swasta 2 orang

3. Perguruan Tinggi (IPB dan UI) 2 orang

4. Organisasi non pemerintah (LSM) 2 orang

5. Masyarakat di sekitar TPA 83 orang

1). Karakteristik responden


Pemilihan responden dalam penelitian akan menggunakan metode
purposive sampling, untuk mendapatkan responden yang memahami isu yang
sedang diteliti. Wawancara dan penyebaran kuesioner dilakukan secara
stratified random sampling yakni dilakukan hanya pada orang terpilih yaitu
responden yang terkait langsung dengan kegiatan di TPA. Wawancara dengan
menggunakan daftar kuisioner terhadap 91 orang responden, yang terdiri atas
8 responden lembaga pemerintah, tokoh masyarakat di Kelurahan Cipayung,
sedangkan 83 responden merupakan masyarakat yang terlibat dalam
pemanfaatan di TPA. Responden yang diambil adalah masyarakat yang
tinggal di sekitar TPA yang jaraknya antara 0-1 km dan 1-10 km dari TPA.
Hal-hal yang ditanyakan adalah tingkat pendidikan responden, status dan
tanggung jawab, usia, alamat, profil tempat tinggal, jarak rumah dengan TPA,
jumlah penghuni, lama tinggal atau menetap, status kependudukan (untuk
kelompok pemulung).

2). Sosial ekonomi responden


Data sosial ekonomi diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan
responden di sekitar TPA Cipayung dengan menggunakan kuisioner yang ber-
isi tentang jenis pekerjaan responden, pendapatan, dan pengeluaran kebutuhan
hidup sehari-hari, biaya pendidikan, dan kesehatan.
77

3). Tanggapan responden terhadap TPA


Tanggapan terhadap keberadaan TPA diperoleh dari hasil wawancara
langsung dengan responden di sekitar TPA Cipayung dengan menggunakan
kuisioner. Hal yang ditanyakan meliputi dampak yang dirasakan terhadap
keberadaan TPA, keuntungan dan kerugian dari keberadaan TPA di sekitar
tempat tinggal responden serta penyakit yang diderita oleh responden di
sekitar kawasan TPA Cipayung.

5.2.2. Data Sekunder


Data sekunder berupa gambaran umum serta data pelengkap lain diperoleh
dari Pemda Kota Depok, BPS, Badan Meterolo gi dan Geofisika Jakarta, serta dari
instansi terkait lainnya. Data penelitian yang akan diambil antara lain jumlah
sampah kumulatif, luas lahan TPA yang terpakai, lama waktu atau umur TPA, dan
berbagai data pelengkap lainnya yang bersumber dari laporan, dokumen, dan hasil
penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan. Data yang diperoleh dari Badan Meterologi dan Geofisika Jakarta
berupa iklim rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir (suhu, curah hujan,
kelembaban nisbi, kecepatan angin, dan lama penyinaran matahari). Data sosial
ekonomi penduduk dicatat dari Biro Statistik Kota Depok Jawa Barat, dan data
kesehatan masyarakat diperoleh dari puskesmas di Kecamatan Cipayung Kota
Depok.

5.3. Kondisi Kualitas Lingkungan


5.3.1. Fisik dan Kimia Air
Hasil pengamatan kualitas air pada beberapa lokasi sampel seperti sumur
pantau, rumah penduduk, rumah penduduk seberang sungai dibandingkan dengan
Peraturan Permenkes No. 416/MENKES/PER/IX/1990, badan air penerima (BAP)
berdasarkan kriteria mutu air PPRI No. 28/2001 Gol. III, dan kualitas air lindi
menggunakan baku mutu limbah cair SK Gub. Jawa Barat No. 6/1999.

5.3.1.1. Kualitas Air Sumur


Hasil analisis beberapa variabel kualitas air sumur pada tiga lokasi sampel
di antaranya:
78

a. Kekeruhan
Hasil analisis kekeruhan pada 2 lokasi sumur pantau di rumah penduduk dan
rumah penduduk seberang sungai masing-masing sebesar 0,75; 0,30; 0,15 NTU
(nephelometric turbidity units). Hasil uji variabel kekeruhan air sumur pada ketiga
lokasi masih di bawah nilai ambang batas (NAB). Kekeruhan dalam perairan
dapat disebabkan oleh berbagai ukuran materi yang bervariasi dari bentuk koloid
ke dispersi kasar tergantung pada tingkat turbulensinya. Tingkat kekeruhan juga
dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan koloid yang terkandung di dalam
perairan. Produksi perairan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kekeruhan.
Nilai kekeruhan yang tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam
perairan, sehingga proses fotosintesis akan berlangsung pada lapisan air yang
lebih tipis, dengan demikian produks i perairan akan semakin menurun.
Kekeruhan juga dapat mempengaruhi kehidupan organisme air, derajat kekeruhan
yang tinggi akan mengganggu organ-organ pernapasan atau alat penyaring
makanan dari organisme air, sehingga dapat mengakibatkan kematian.
Kekeruhan merupakan suatu ukuran banyaknya bahan-bahan tersuspensi
yang terdapat di dalam air, seperti senyawa organik. Air yang keruh akan
memberi perlindungan pada kuman. Pada air yang mengandung zat organik dan
anorganik, mikroorganisme dapat berkembang dan hidup baik. Oleh karena itu,
bakteri terdapat pada semua sistem air yang dapat merugikan atau tidaknya
tergantung pada kondisi optimum yang menunjang pertumbuhannya. Pe-
nyimpangan terhadap standar kualitas yang telah ditetapkan yaitu 25 NTU
(nephelometric turbidity unit) akan menyebabkan gangguan estetika dan
mengurangi efektivitas desinfeksi air (Effendi, 2000). Hal serupa juga dinyatakan
oleh Slamet (2007) kekeruhan air disebabkan oleh zat padat yang tersuspensi, baik
yang bersifat anorganik maupun organik. Zat anorganik, biasanya berasal dari
lapukan batuan dan logam, sedangkan yang organik dapat berasal dari lapukan
tanaman atau hewan. Zat organik dapat menjadi makanan bakteri, sehingga
mendukung pertumbuhan bakteri tersebut. Bakteri juga merupakan zat organik
tersuspensi, sehingga pertambahannya akan menambah pula kekeruhan air.
79

Demikian pula dengan algae yang berkembang biak karena adanya zat hara N,P,K
akan menambah kekeruhan air.

b. Suhu
Hasil pengukuran suhu air di sumur pantau, rumah penduduk dan rumah
penduduk seberang sungai seperti yang tersaji pada Tabel 14, suhu masing-masing
pada tiga lokasi tersebut adalah 26,0 0C; 26,1 0C dan 25,2 0C, nilai-nilai suhu
tersebut di atas NAB. Suhu yang diizinkan berdasarkan Permenkes No.
416/MenKes/PER/IX/1990 sekitar ± 30C. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
hal yang serupa dengan penelitian Royadi pada tahun 2006 di sumur atas TPA
Bantar Gebang yang mempunyai suhu rata-rata 26,1oC dan sumur bawah TPA
o
Bantar Gebang mempunyai suhu rata-rata 25,46 C. Suhu pada dua lokasi
tersebut sudah di atas NAB. Tingginya suhu pada lokasi sampel tersebut
dipengaruhi pengambilan sampel air pada siang hari, sehingga menyebabkan suhu
air di sumur meningkat.
Suhu air merupakan faktor ekologis yang berperan di lingkungan perairan.
Sifat-sifat kimia seperti kelarutan oksigen (DO), kecepatan reaksi kimia dan daya
racun bahan pencemar dipengaruhi oleh suhu air. Suhu air mempengaruhi
proses-proses fisiologis, susunan jenis dan penyebaran organisme perairan.
Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi suhu air. Komposisi substrat,
kecerahan, kekeruhan, pertukaran panas air dengan panas udara akibat respirasi,
musim, cuaca, kedalaman perairan, kegiatan manusia di sekitar perairan maupun
kegiatan dalam badan perairan itu sendiri dapat mempengaruhi suhu perairan.
Menurut Pescod dalam Royadi (2006) untuk menjamin kehidupan ikan dan
organisme dalam air dengan baik, maka dianjurkan agar perubahan suhu air pada
perairan mengalir yang disebabkan oleh limbah bersuhu tinggi tidak lebih dari
2,8oC, sedangkan untuk perairan tergenang tidak lebih dari 1,7 o
C. Menurut
Khitoliya (2004) kenaikan suhu di atas normal akan mengakibatkan: (1) jumlah
oksigen terlarut akan menurun, (2) peningkatan nilai BOD, (3) terjadi eutropikasi,
(4) pengurangan nilai DO.
80

b. Bau
Bau merupakan salah satu dampak negatif yang timbul pada peng-
operasian TPA. Bau timbul mengikuti aktivitas penguraian sampah, yang
menghasilkan gas-gas tertentu penyebab bau. Manusia dapat menerima bau
melalui syaraf pembau. Bau dapat berasal dari bahan-bahan organik dari limbah
pemukiman, limbah industri ataupun sumber alami. Selain itu bau juga berasal
dari hasil kegiatan mikroorganisme. Air yang memenuhi kualitas standar harus
bebas dari bau (tidak berbau).
Bau akan menjadi dampak penting walaupun tidak menimbulkan penyakit
secara langsung. Dampak bau lebih ke arah estetika dan gangguan kenyamanan,
serta memberikan indikasi bahwa proses pengolahan sampah belum dilakukan
secara tepat. Diperkirakan jika tidak dilakukan penanganan, maka pengaruh bau
akan meningkat terutama pada musim hujan, karena proses pembusukan sampah
akan berlangsung secara cepat.
Wardhana (2004) mengemukakan bau yang keluar dari dalam air dapat
berasal langsung dari bahan buangan atau air limbah dari kegiatan industri, atau
dapat juga berasal dari hasil degradasi bahan buangan oleh mikroba yang hidup di
dalam air. Mikroba di dalam air akan mengubah bahan buangan organik, terutama
gugus protein, yang secara degradasi menjadi bahan yang mudah menguap dan
berbau. Timbulnya bau pada air lingkungan secara mutlak dapat dipakai sebagai
salah satu tanda terjadinya tingkat pencemaran air yang cukup tinggi.
Suriawiria (2003) mengemukakan bahwa air yang berbau dan mempunyai rasa
sangat tidak baik untuk dikonsumsi. Air yang mempunyai bau dan rasa
menunjukkan kemungkinan adanya organisme penghasil bau dan rasa yang tidak
enak serta adanya senyawa-senyawa asing yang mengganggu kesehatan. Selain itu
dapat pula menunjukkan kemungkinan timbulnya kondisi anaerobik sebagai hasil
kegiatan penguraian kelompok mikroorganisme terhadap senyawa-senyawa
organik.

c. Rasa
Hasil analisis sampel air sumur tidak berasa hal tersebut, masih di bawah
NAB yang diizinkan. Rasa merupakan variabel fisik air yang dirasa secara
81

langsung. Air bersih biasanya tidak memberikan rasa. Wardhana (2004)


mengemukakan apabila air mempunyai rasa (kecuali air laut) maka berarti telah
terjadi pelarutan garam-garaman. Air yang mempunyai rasa biasanya berasal dari
garam-garam yang terlarut. Bila hal ini terjadi diduga telah ada pelarutan ion-ion
logam yang dapat mengubah konsentrasi ion Hidrogen dalam air. Adanya rasa
dalam air pada umumnya diikuti pula dengan perubahan pH air.

d. Kemasaman (pH)
Hasil analisis pH pada tiga lokasi masih di bawah NAB yang diizinkan.
Kualitas air sumur ditentukan oleh kemasaman (pH). Nilai pH dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam air, oleh sebab itu menjadi penting
untuk mengetahui variabel pH air sumur di lokasi penelitian. Kemasaman (pH)
suatu perairan mencirikan keseimbangan antara kandungan asam dan basa dalam
air serta merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan.
Kemasaman dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan
perairan, serta mempengaruhi tersedianya unsur hara serta beracun dari unsur
renik. Derajat kemasaman (pH) berperan penting dalam menentukan nilai guna
perairan untuk kehidupan organisme, keperluan rumah tangga. Berubahnya nilai
pH menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbondioksida,
bikarbonat, dan karbonat di dalam air. Kemasaman (pH) juga akan mempengaruhi
rasa, korosivitas air dan efisiensi chlorinasi. Beberapa senyawa asam dan basa
lebih beracun dalam bentuk molekular, disosiasi senyawa-senyawa tersebut
dipengaruhi oleh pH. Logam-logam berat di dalam suasana asam lebih bersifat
racun (Suriawiria, 2003).
Wardhana (2004) mengemukakan air bersih seharusnya netral, tidak asam
atau basa. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai
pH berkisar antara 6,5-7,5. Apabila pH lebih kecil atau lebih besar dari kadar yang
ditentukan dapat berakibat (1) menimbulkan rasa tidak enak pada air;
(2) menyebabkan korosifitas pada pipa-pipa air yang terbuat dari logam dan;
(3) menyebabkan beberapa senyawa kimia berubah menjadi racun yang dapat
mengganggu kesehatan manusia.
82

d. Total Disolved Solid (TDS)


Hasil pengukuran TDS (total disolved solid) pada tiga lokasi tersebut
masing- masing nilainya sebesar 520 mg/l, 282 mg/l, dan 88 mg/l . Nilai TDS
tersebut di bawah NAB yang diizinkan. Baku mutu air bersih yang diizinkan
sebesar 1.500 mg/l.
Padatan terlarut total (TDS) merupakan bahan yang masih tetap tinggal
dalam air, padatan tersebut merupakan sisa dari lapukan selama penguapan dan
pemanasan. Effendi (2000) mengemukakan padatan terlarut (total dissoved
solid/TDS) adalah bahan-bahan terlarut dan koloid berupa senyawa-senyawa
kimia yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45µm. Endapan dan
koloid yang melayang di dalam air akan menghalangi masuknya sinar matahari ke
dalam lapisan air. Sinar matahari sangat diperlukan oleh mikroorganisme untuk
melakukan proses fotosintesis. Apabila sinar matahari terhalang masuk, maka
proses fotosintesis tidak akan berlangsung dan mengkibatkan terganggunya
kehidupan mikroorganisme (Wardhana, 2004).

e. Nitrat (NO 3-)


Hasil analisis nitrat pada tiga lokasi sampel tersebut sebesar 0,30 mg/l,
0,25 mg/l dan 1,82 mg/l. Nilai nitrat tersebut masih di bawah NAB yang diizinkan
yaitu 10 mg/l. Pencemaran intensif dari tempat pembuangan sampah, penimbunan
tinja, jarak sumur terhadap peresapan air limbah akan mempengaruhi konsentrasi
nitrat dalam sumur. Effendi (2000) mengemukakan nitrat adalah bentuk nitrogen
utama di perairan alami. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan
tanaman dan algae. Nitrat salah satu senyawa nitrogen yang paling stabil
dibandingkan dengan nitrit dan ammonia.
Nitrat dapat menjadi pupuk pada tanaman air. Bila terjadi hujan lebat air
akan membawa nitrat dari tanah masuk ke dalam aliran air sungai, danau dan
waduk, kemudian menuju lautan dalam kadar yang cukup tinggi. Hal ini akan
merangsang tumbuhnya algae dan tanaman air. Kelimpahan unsur nutrisi nitrat
dalam air disebut euthrophication. Pengaruh negatif eutropikasi adalah terjadinya
perubahan keseimbangan kehidupan antara tanaman air dengan hewan air,
83

sehingga beberapa spesies ikan akan musnah dan tanaman air akan dapat
menghambat laju arus air (Darmono, 2001).

f. Nitrit (NO 2)
Hasil analisis nitrit pada tiga lokasi sampel yaitu 0,05 mg/l, 0,004 mg/l dan
0,08 mg/l. Nilai nitrit masih di bawah NAB yang diizinkan 10 mg/l.
Nitrit merupakan salah satu ion nitrogen anorganik dalam air. Ion tersebut dapat
terjadi dari adanya reduksi nitrat ataupun oksidasi ammonia. Ion nitrit lebih
berbahaya dari pada ion nitrat. Effendi (2000) mengemukakan nitrit biasanya
ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih
kecil dari pada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen.
Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan
bahan organik dengan kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit pada
perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Konsumsi nitrit yang
berlebihan dapat mengakibatkan terganggunya proses pengikatan oksigen oleh
hemoglobin darah yang selanjutnya membentuk methemoglobin yang tak mampu
mengikat oksigen.
Darmono (2001) mengemukakan kandungan nitrit yang tinggi dalam air
minum akan menyebabkan gangguan sistem peredaran darah pada bayi berumur
di bawah 3 bulan. Penyakit ini disebut gejala “bayi biru” (blue baby syndrom),
dengan gejala yang khas yaitu terlihat warna kebiruan pada daerah sekitar bibir
dan pada beberapa bagian tubuh. Hal ini disebabkan oleh sejenis bakteri di dalam
lambung yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Hemoglobin darah dari bayi
mengambil nitrit yang seharusnya oksigen, akibatnya bayi mengalami kegagalan
dalam pernapasan. Beberapa peneliti melaporkan, nitrit dapat mengakibatkan
kanker pada lambung dan saluran pernapasan pada orang dewasa.

g. Kesadahan
Hasil analisis kesadahan di tiga lokasi sampel yaitu 130,40 mg/l, 115,20
mg/l, dan 25,60 mg/l. Nilai kesadahan pada tiga lokasi tersebut masih di bawah
NAB yang diizinkan yaitu sebesar 10 mg/l. Kesadahan air disebabkan oleh
banyaknya mineral dalam air yang berasal dari batuan dalam tanah, baik dalam
84

bentuk ion maupun ikatan molekul. Elemen terbesar yang terkandung di air adalah
kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), natrium (Na+) dan kalium (K+). Jenis hewan
budidaya di dalam air membutuhkan kesadahan tertentu, namun kebanyakan
menyukai di dalam air yang kurang sadah. Pertumbuhan dan perkembangan
hewan air secara umum lebih menyukai air dengan tingkat kesadahan 3-10o dH
(Kordi dan Tancung, 2007).
Suriawiria (2003) mengemukakan kesadahan air yang tinggi akan
mempengaruhi efektivitas pemakaian sabun, namun sebaliknya dapat memberikan
rasa yang segar. Air sadah tidak bisa digunakan dalam kegiatan industri (air ketel,
air pendingin atau pemanas). Achmad (2004) mengemukakan air sadah tidak
menguntungkan atau mengganggu proses pencucian menggunakan sabun.
Sabun digunakan pada air sadah, mula-mula sabun harus bereaksi lebih dahulu
dengan setiap ion kalsium dan magnesium yang terdapat dalam air sebelum sabun
dapat berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Hal ini bukan saja akan
memboroskan penggunaan sabun, tetapi gumpalan-gumpalan yang terjadi akan
mengendap sebagai lapisan tipis pada alat-alat yang dicuci sehingga mengganggu
proses pembersihan dan pembilasan oleh air.

h. Besi (Fe)
Hasil analisis besi pada tiga lokasi sumur pantau menunjukkan di atas
NAB yaitu 1.50 mg/l, sedangkan pada lokasi rumah penduduk dan rumah
penduduk seberang sungai, nilainya besi masih di bawah NAB yaitu <0.01 mg/l
yang diizinkan. Tingginya kandungan besi di sumur pantau diduga karena
kandungan bahan organik yang berlebihan yang bersifat anaerob akibat proses
dekomposisi bahan organik yang berlebihan. Jadi apabila perairan memiliki kadar
besi (Fe2+) yang tinggi maka berkolerasi dengan kadar bahan orgnik yang tinggi
atau air tersebut berasal dari air tanah dalam dengan suasana anaerob atau dari
lapisan dasar perairan yang sudah tak ada oksigen (Effendi, 2000).
Besi merupakan unsur penting dalam air permukaan dan air tanah. Perairan yang
mengandung besi sangat tidak diinginkan untuk keperluan rumah tangga, karena
dapat menyebabkan bekas karat pada pakaian, porselin serta menimbulkan rasa
yang tidak enak pada air minum (Achmad, 2004). Slamet (2007) mengemukakan
85

walaupun besi dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi dalam dosis yang tinggi dapat
merusak dinding usus.

i. Timbal (Pb)
Hasil analisis timbal pada tiga lokasi sampel menunjukkan masih di bawah
NAB sebesar 0,05 mg/l. Timbal/timah hitam (Pb) ditemukan dalam bentuk
terlarut dan tersuspensi pada perairan. Timbal terdapat dalam air yang dikeluarkan
oleh sejumlah industri dan pertambangan. Daya racun timbal yang akut pada
perairan alami menyebabkan kerusakan hebat pada ginjal, sistem reproduksi, hati,
otak, dan sistem syaraf pusat, sehingga menyebabkan kematian. Proses pelapisan
kertas-kertas timbal, dan cat-cat dengan kandungan timbal tinggi diperkirakan
menyebabkan hambatan perkembangan mental pada anak-anak. Timbal di-
gunakan sebagai bahan solder dan penyambung pipa air, sehingga air untuk rumah
tangga kemungkinan dapat kontak dengan timbal. Air yang tersimpan dalam alat-
alat yang dibuat dari hasil pematrian, untuk jangka waktu lama dapat
mengakumulasi sejumlah timbal yang sangat tinggi (Achmad, 2004).
Slamet (2007) mengemukakan Pb adalah racun sistemik. Keracunan Pb akan
menimbulkan gejala: rasa mual di mulut, garis hitam di gusi, anorexia,
muntah-muntah, kolik, enchepalitis, perubahan kepribadian, kelumpuhan dan
kebutaan.

j. Mangan (Mn)
Hasil analisis mangan di lokasi sumur pantau menunjukkan di atas NAB
yaitu 1,90 mg/l, sedangkan pada lokasi sumur rumah penduduk dan rumah
penduduk seberang sungai masih di bawah NAB 0,5 mg/l. Di lokasi sumur pantau
kandungan mangan tinggi, kemungkinan disebabkan karena keadaan perairan
dalam kondisi anaerob akibat dekomposisi bahan organik yang tinggi.
Menurut Effendi (2000) meskipun mangan tidak bersifat racun, tetapi
keberadannya dapat mengendalikan kadar unsur racun lainnya di perairan seperti
logam berat. Slamet (2007) mengemukakan bahwa mangan merupakan metal
kelabu-kemerahan. Keracunan mangan seringkali berakibat kronis sebagai akibat
menghirup debu dan uap logam. Gejala yang timbul berupa gangguan susunan
86

saraf dimulai dengan insomnia, kemudian lemah pada kaki dan otot muka
sehingga ekspresi muka menjadi beku. Bila pemaparan masih berlanjut
menyebabkan bicara melambat dan monoton sehingga terjadi hyperrefleksi,
clonus pada patella dan tumit menyebabkan berjalan seperti penderita parkinson.
Achmad (2004) mengemukakan toksisitas mangan (Mn), relatif sudah
tampak pada konsentrasi rendah. Tingkat kandungan mangan yang diizinkan
dalam air yang digunakan untuk keperluan domestik sangat rendah, yaitu di
bawah 0,05 mg/l, dalam kondisi aerob, mangan dalam perairan terdapat dalam
bentuk MnO2 dan pada dasar perairan tereduksi menjadi Mn2+ atau dalam air yang
berasal dari dasar sumber air, sering ditemukan mangan dalam konsentrasi tinggi.
Air yang berasal dari sumber tambang asam dapat mengandung mangan terlarut,
dan pada konsentrasi ± 1 mg/l dapat ditemukan pada perairan dengan aliran yang
berasal dari tambang asam. Pada pH yang agak tinggi dan kondisi aerob terbentuk
mangan yang tidak larut seperti, MnO2. Mn3O4, atau MnCO3 meskipun oksidasi
dari Mn2+ itu relatif lambat. Perairan yang diperuntukkan bagi irigasi pertanian
untuk tanah yang bersifat asam sebaiknya memiliki kadar mangan sekitar
0,2 mg/l, sedangkan untuk tanah yang bersifat netral dan alkalis sekitar 10 mg/l.

k. Tembaga (Cu)
Hasil analisis tembaga pada tiga lokasi sampel masih di bawah NAB yang
diizinkan yaitu 1.0 mg/l. Tembaga merupakan logam berat esensial, biasanya
menimbulkan keracunan pada ternak ruminansia terutama pada domba.
Keracunan terjadi apabila garam Cu langsung kontak dengan dinding usus domba,
sehingga menimbulkan radang (gastro-enteritis). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa hewan percobaan yang defesiensi Cu dapat menurunkan
jumlah sel T-limposit dan menghambat respon poliklonal sel T dan B mitogenesis
serta dapat menurunkan aktivitas sel pagosit untuk membunuh mikroba, sehingga
hewan menjadi lebih peka terhadap infeksi penyakit (Darmono, 2001).
Air tanah dapat mengandung tembaga sekitar 12 mg/l. Defisiensi tembaga
dapat mengakibatkan anemia. Kadar tembaga yang berlebihan di dalam air dapat
mengakibatkan air menjadi berasa jika diminum. Konsumsi air yang mengandung
tembaga yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. Keberadaan
87

tembaga yang tinggi dapat mengakibatkan korosi pada besi dan aluminium
(Effendi, 2000)

l. Kadmium (Cd)
Hasil analisis kadmium pada tiga lokasi sampel menunjukkan di bawah
NAB yang diizinkan yaitu 0,005 mg/l. Keberadaan kadmium (Cd) dalam air
sangat sedikit (renik) dan tidak larut dalam air. Garam-garam kadmium (klorida,
nitrat, dan sulfat) dapat berupa senyawa kompleks organik dan anorganik atau
terserap ke dalam bahan-bahan tersuspensi dan sedimen dasar. Pada pH yang
tinggi kadmium mengalami presipitasi/pengendapan. Achmad (2004) mengatakan
bahan pencemar kadmium dalam air berasal dari pembuangan limbah industri dan
limbah pertambangan. Kadmium secara luas digunakan dalam proses pelapisan
logam.
Slamet (2007) mengemukakan tubuh manusia tidak memerlukan kadmium
dalam fungsi dan pertumbuhannya, kadmium bersifat kumulatif dan sangat toksik
bagi manusia karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru,
meningkatkan tekanan darah dan mengakibatkan mandul pada pria dewasa.

m. Arsen (As)
Hasil analisis arsen pada tiga lokasi sampel menunjukkan di bawah NAB
yang diizinkan yaitu 0.05 mg/l. Arsen telah dikenal sebagai zat kimia yang
berbahaya. Keracunan arsen (warangan) yang akut dapat berasal dari makanan
yang jumlahnya lebih dari 100 mg/l. Pembakaran bahan bakar fosil terutama batu
bara, mengeluarkan sejumlah warangan (As 2O3) ke lingkungan dan akan masuk
ke dalam perairan alami (Achmad, 2004). Senyawa arsenit (Na3 AsO3) juga bisa
digunakan sebagai pestisida untuk membasmi tumbuhan pengganggu, jamur dan
tikus. Menurut Slamet (2007) keracunan arsen pada manusia menimbulkan gejala
muntaber disertai darah, disusul dengan koma, dan bila dibiarkan dapat
menyebabkan kematian.

n. Selenium (Se)
Hasil analisis selenium pada tiga lokasi sampel menunjukkan masih di
bawah NAB yang diizinkan yaitu 0.01 mg/l. Keberadaan selenium di perairan
88

diperkirakan dapat menurunkan toksisitas arsen dan merkuri. Selenium banyak


dipergunakan pada industri besi baja, cat, fotografi, pengolahan karet, elektronik
dan sebagai insektisida. Menurut Slamet (2007) selenium adalah logam yang
berbau bawang putih, didapat bersama-sama dengan senyawa Cu, Au, Ni dan Ag.
Selenium dalam dosis yang tinggi dapat menyebabkan gejala muntah dan diare.
Bila pemaparan berlanjut, maka akan terjadi gangguan susunan saraf seperti
hilangnya reflex, iritasi cerebral. Selenium merupakan racun sistemik, dan
mungkin juga bersifat karsinogenik.

o. Kromium 6 (Cr6+)
Hasil analisis kromium pada tiga lokasi sampel menunjukkan di bawah
NAB yang diizinkan yaitu 0.05 mg/l. Kromium termasuk unsur yang jarang
ditemukan pada perairan alami. Kromium yang ditemukan di perairan adalah
kromium trivalen (Cr 3+) dan kromium hexavalen (Cr6+). Kromium trivalen tidak
ditemukan pada perairan yang memiliki pH lebih besar dari 5. Apabila kromium
trivalen masuk ke parairan maka akan dioksidasi menjadi kromium hexavalen
yang lebih toksik (Effendi, 2000).
Slamet (2007) mengemukakan kromium sebetulnya tidak beracun, tetapi
senyawanya sangat iritan dan korosif sehingga dapat menimbulkan ulcus yang
dalam pada kulit dan selaput lendir. Menghirup kromium dapat menimbulkan
kerusakan pada tulang hidung, paru-paru bagian dalam, dan dapat menyebabkan
kanker.

p. Sianida (CN)
Hasil analisis sianida pada tiga lokasi sampel menunjukkan di bawah NAB
yang diizinkan yaitu 0.1 mg/l. Sianida adalah kelompok senyawa anorganik dan
organik dengan siano (CN) sebagai struktur utamanya. Sianida biasanya
dihasilkan pada saat pemrosesan logam. Sianida tersebar luas di perairan dalam
bentuk ion sianida (CN-), hidrogen sianida (HCN), dan metallosianida.
Keberadaan sianida sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, oksigen terlarut, dan
salin itas (Effendi, 2000).
89

Achmad (2004) mengemukakan bahwa CN- merupakan salah satu bahan


pencemar anorganik yang paling penting. Sianida banyak digunakan secara luas
dalam industri, terutama untuk pembersihan logam dan pengelasan listrik. Gas
tersebut merupakan salah satu gas utama efluen pencemar dari dapur gas dan oven
batu bara. Sianida digunakan juga dalam prosesing mineral-mineral tertentu,
seperti dalam pencucian biji emas. Sianida merupakan gas yang mudah larut
dalam air. Sianida berasal dari limbah industri, misalnya industri tapioka, batik
dan pabrik yang membuat gas sianida untuk racun tikus.

q. Merkuri (Hg)
Hasil analisis merkuri pada tiga lokasi sampel masih di bawah NAB yang
diizinkan yaitu <0.001 mg/l. Merkuri hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat
kecil pada perairan alami. Merkuri merupakan satu-satunya logam dalam bentuk
cairan pada suhu normal. Senyawa merkuri bersifat beracun pada ikan dan biota
akuatik lainnya karena merkuri dapat mengalami biomagnifikasi pada jaring
makanan. Organisme pada rantai yang paling tinggi (top carnivor) memiliki kadar
merkuri yang lebih tinggi daripada organisme di bawah rantainya. Industri kimia
yang memproduksi gas klorin dan asam klorida menggunakan merkuri dalam
proses industri. Garam-garam merkuri digunakan sebagai fumigan yang berperan
sebagai pestisida. Kadar merkuri pada perairan tawar alami berkisar 10 – 100
nanogram/liter. Senyawa merkuri bersifat sangat toksik bagi manusia dan hewan.
Garam-garam merkuri terserap dalam usus dan terakumulasi pada ginjal dan hati.
Metil merkuri diangkut oleh sel darah merah dan dapat mengakibatkan kerusakan
pada otak. Ion metil merkuri lebih beracun dari pada garam-garam merkuri
anorganik. Senyawa merkuri mengalami masa tinggal (retention time) yang cukup
lama pada tubuh manusia (Effendi, 2000).
Achmad (2004) mengemukakan merkuri masuk ke lingkungan melalui
banyak sumber. Merkuri termasuk salah satu bahan pencemar logam berat yang
sangat berbahaya yang dapat masuk secara langsung ke dalam perairan alami dari
buangan limbah industri juga dapat masuk melalui air hujan dan pencucian tanah.
Penggunaan logam-logam merkuri misalnya pada peralatan vakum di
laboratorium. Sejumlah besar senyawa merkuri organik digunakan secara luas
90

sebagai pestisida, terutama fungisida. Dimetil ditio karbonat yang digunakan


dalam pembuatan kertas dan sebagai pembasmi kutu-kutu buku pada kertas.
Senyawa alkil-merkuri seperti, etil merkuri klorida C2 H6 HgCl digunakan untuk
menyemprot biji-bijian agar tahan dalam penyimpanan. Merkuri masuk ke
lingkungan perairan berasal dari berbagai sumber yang timbul dari penggunaan
unsur itu oleh manusia seperti buangan laboratorium kimia, batu battere bekas,
pecahan termometer, fungisida kebun, tambal gigi amalgan dan buangan farmasi.
Pengaruh dari toksistas merkuri terhadap, tubuh antara lain: kerusakan syaraf,
termasuk menjadi pemarah, paralisis, kebutaan atau gangguan jiwa, kerusakan
kromosom dan cacat bayi dalam kandungan. Gejala-gejala ringan akibat
keracunan merkuri adalah depresi dan suka marah-marah yang merupakan sifat
dari penyakit kejiwaan.

r. Flourida (F)
Hasil analisis fluorida pada tiga lokasi sampel masih di bawah NAB yang
diizinkan yaitu 1.5 mg/l. Effendi (2000) mengemukakan flour sebagai salah satu
unsur yang berlimpah pada kerak bumi ditemukan dalam bentuk ion fluorida.
Kadar flourida yang berlebihan dapat berimplikasi terhadap kerusakan pada
tulang. Selama proses pembentukan gigi pada bayi, flourida bereaksi secara
kimiawi dengan enamel menyebabkan gigi yang lebih kuat.
Senyawa flourida merupakan senyawa yang umum terdapat di perairan
alami. Dalam kebanyakan air tawar ion flourida umumnya terdapat dalam
konsentrasi kurang dari 1 mg/l. Konsentrasi yang melebihi 10 mg/l jarang
ditemukan. Flourida ditambahkan pada banyak air untuk keperluan air minum
rumah tangga untuk mencegah kerusakan gigi dengan konsentrasi kurang lebih 1
mg/l (Achmad, 2004).

s. Detergen
Hasil analisis deterjen pada tiga lokasi sampel masih di bawah yang
diizinkan yaitu 0.5 mg/l. Deterjen ada yang bersifat cationik, anionik, maupun
nonionik. Kesemuanya membuat zat yang lipofilik mudah larut dan menyebar
diperairan. Selain itu, ukuran zat lipofilik menjadi lebih halus, sehingga
91

mempertinggi toxisitas racun. Deterjen juga mempermudah absorbsi racun


melalui insang (Slamet, 2007).
Achmad (2004) mengemukakan deterjen sintetik mempunyai sifat-sifat
mencuci yang baik dan tidak membentuk garam-garam tidak larut dengan ion-ion
kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat dalam air sadah. Deterjen sintetik
mempunyai keuntungan tambahan karena bersifat asam kuat, sehingga tidak
menghasilkan endapan sebagai asam-asam yang mengendap, hal tersebut
merupakan suatu karakteristik yang tidak terlihat pada sabun. Surfaktan/linier
alkil sulfonat (LAS) dapat di biodegradasi, sehingga mencegah terjadi penutupan
permukaan air oleh gumpalan busa dan tidak bersifat racun terhadap ikan di
perairan.

t. Seng (Zn)
Hasil analisis seng pada tiga lokasi sampel masih di bawah NAB yang
diizinkan yaitu 15 mg/l. Seng adalah metal yang didapat antara lain dari industri
keramik, kosmetik, pigmen, dan karet. Zn pada hakekatnya mempunyai kadar
racun yang rendah. Tubuh memerlukan Zn untuk proses metabolisme, tetapi
dalam kadar yang tinggi dapat bersifat racun. Dalam air minum akan
menimbulkan rasa kesat, dan dapat menimbulkan gejala muntaber. Seng
menyebabkan perubahan warna air, dan bila dimasak akan menimbulkan endapan
seperti pasir (Slamet, 2007).

5.3.1.2. Kualitas badan air penerima (BAP)


Hasil analisis beberapa variabel kualitas air pada lokasi sampel di
badan air penerima (BAP) di inlet dan outlet dapat dilihat pada Tabel 14.
Hasil analisis variabel fisik di antaranya pH pada lokasi sampel badan air
penerima sebelum TPA (Inlet) dan badan air penerima sesudah TPA (outlet)
masih di bawah NAB yaitu 6,5-9. Menurut Achmad (2004) biota akuatik sensitif
terhadap pH yang bersifat sangat asam atau basa. Aktivitas optimum enzim dalam
pertumbuhan organisme akuatik pada pH netral. Sumber yang paling umum dari
bahan pencemar asam dalam air adalah aliran asam penambangan. Nilai pH dari
air yang terkontaminasi asam tersebut dapat mencapai di bawah 3, suatu kondisi
92

yang mematikan kehidupan akuatik kecuali bakteri culpit. Limbah industri sering
menyebabkan kondisi keasaman yang tinggi dari perairan.

Tabel 14. Badan air penerima (BAP) di TPA Cipayung


Kriteia Mutu Air Lokasi Sampel dan Hasil Uji Lab.
Parameter Satuan PPRI No.28/2001 Badan Air Penerima Badan Air Penerima
Gol. III Sebelum TPA (inlet) Sesudah TPA (outlet)
FISIK
pH - 6.5 - 9 7.29 7.22
Residu Terlarut (TDS) mg/liter 1000 54 124
Residu Suspensi Solid (TSS) mg/liter 400 45 29
0
Suhu C ±3 27.2 25.1

KIMIA
Nitrat (NO3-N) mg/liter 20 10 1.82
Nitrit (NO2-N) mg /litar 0.06 1.0 0.004
Oksigen Terlarut (DO) mg/liter Min.3 7.25 7.09
BOD5 mg/liter 6 29.57 16.68
COD mg/liter 50 42.14 28.41
Total fosfat sbg P mg/liter 1 0.04 0.09
Minyak dan Lemak mg/liter 1 1 0
Seng (Zn) mg/liter 0.05 0.06 0.21
Fenol mg/liter 0.001 0.30 0.02
Amonia (NH3-N) mg/liter - 0.08 0.24
Klorida (CI) mg/liter - 12.80 8.30
Khlorin Bebas (Cl2) mg/liter 0.03 0.07 <0.07
Sulfat (SO4) mg/liter - 2.82 1.45
Belerang sbg H2S mg/liter 0.002 0.001 0.001
Deterjen (MBAS) mg/liter 0.2 0.06 0.04
Boron (B) mg/liter 1 <0.001 <0.01
Arsen (As) mg/liter 1 <0.0002 <0.0002
Besi (Fe) mg/liter - 3.33 1.57
Kobalt (Co) mg/liter 0.2 <0.001 <0.001
Barium (Ba) mg/liter - 0.18 0.35
Selenium (Se) mg/liter 0.05 <0.005 <0.005
Sianida (CN) mg/liter 0.02 0.02 0.01
Air Raksa (Hg) mg/liter 0.002 <0.0002 <0.0002
Kadmium (Cd) mg/liter 0.01 <0.002 <0.001
Kromium 6 (Cr6+) mg/liter 0.05 <0.01 <0.01
Tembaga (Cu) mg/liter 0.02 <0.001 <0.001
Timbal (Pb) mg/liter 0.03 <0.01 <0.01
Mangan (Mn) mg/liter - 0.16 <0.001
Flourida (F) mg/liter 1.5 0.89 0.06

Hasil analisis total disolved solid (TDS) pada dua lokasi sampel me-
nunjukkan di bawah nila i NAB yang diizinkan yaitu 1000 mg/l. Hasil pengukuran
residu suspensi solid (TSS) pada dua lokasi sampel masih di bawah NAB yang
iizinkan yaitu 400 mg/l. Nilai TDS perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan
batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik
dan industri). Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak
bersifat racun, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan, terutama TSS dapat
meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya
matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di
93

perairan (Effendi, 2000). TSS yang mengalir dalam aliran air tanah dapat merusak
kehidupan ekosistem di dalam air tersebut. TSS jika bercampur dengan air yang
mengandung pembasmi kuman dapat melindungi mikroorganisme dari kuman.
Mikroorganisme yang bertahan hidup tersebut dapat mengkontaminasi air (Hill,
2004). Sawyer et al. (2003) mengemukakan penentuan TSS penting dalam
analisis polusi air. TSS merupakan salah satu variabel utama untuk mengevaluasi
kandungan limbah cair domestik dan menentukan efisiensi unit pengolah limbah.
Suhu pada dua lokasi pengambilan sampel sudah di atas NAB yaitu 27.20 C
dan 25.10C menurut Kriteria Mutu Air PPRI No. 82/2001 Gol. III. Menurut
Darmono (2001) suhu tinggi akan berpengaruh terhadap organisme yang hidup di
dalamnya. Suhu air juga dapat mempengaruhi panjang siklus hidup hewan air,
dari telur, larva dan masa kedewasaan. Beberapa fase siklus hidup dapat menjadi
lebih cepat pada suhu air yang hangat. Suhu air yang tinggi dapat mempercepat
pertumbuhan ikan, akan tetapi tubuh ikan menjadi lemah. Pada suhu yang yang
relatif rendah pertumbuhan ikan sedikit lebih lambat, tetapi ikan tetap sehat.
Hewan air Daphnia sp dapat berumur sampai 108 hari pada suhu 8oC, tetapi pada
suhu 28oC umurnya hanya mencapai 29 hari. Umur kutu air Moina sp mencapai
14 hari pada suhu 13oC tetapi hanya 5 hari pada suhu 31o C. Suhu yang tinggi
berpengaruh terhadap sistem syaraf dan sistem pernapasan, karena terjadinya
koagulasi dari protoplasma sel atau menyebabkan tidak aktifnya sistem enzim,
sehingga menyebabkan tidak efektifnya sistem enzim, dan menyebabkan
kematian.
Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) pada BAP di dua lokasi
menunjukkan nilai oksigen terlarut telah di atas NAB yaitu sebesar 7,25 mg/l di
inlet dan 7,09 mg/l di outlet dari kadar DO yang diizinkan sebesar 0,06 mg/l
menurut Kriteria Mutu Air PPRI Nomor 82/2001 Gol. III. Tingginya kadar
oksigen terlarut (DO) di BAP disebabkan oleh pengambilan sampel pada siang
hari pada saat matahari bersinar terang, sehingga pelepasan oksigen pada saat
proses fotosintesis berlangsung secara intensif. Pada lapisan eufotik perairan lebih
besar kadar oksigen untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut bisa melebihi
kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi.
94

Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi variabel kimia lainnya, khusus


pada saat tak ada oksigen karena kondisi tersebut dapat mengakibatkan perubahan
sifat kelarutan beberapa unsur kimia di perairan. Oksigen adalah salah satu gas
yang ditemukan terlarut pada perairan.
Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu,
salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan
semakin meningkatnya suhu, ketinggian/altitude, dan berkurangnya tekanan
atmosfer. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musim bergantung
pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan
limbah yang masuk ke badan air. Kadar oksigen yang terlarut tinggi tidak
menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Oksigen terlarut dengan jumlah
cukup diperlukan oleh ikan dan organisme akuatik lainnya. Kebutuhan oksigen
sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi antar organisme (Effendi, 2000).
Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan mempengaruhi sistem
respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan
terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih
sakit (Tebbut, 1992).
Hasil pegukuran BOD pada dua lokasi sampel menunjukkan kualitas air
telah di atas NAB yaitu sebesar 29,57 dan 16,68 mg/l dari kadar BOD yang
diizinkan sebesar 6 mg/l. Salah satu variabel untuk mengetahui kualitas air badan
air penerima (BAP) adalah BOD. Tingginya nilai BOD diduga berasal dari limbah
bahan organik yang masih tinggi. Penyebab lainnya karena IPAL di
TPA Cipayung tidak memakai aerator, sehingga menyebabkan kadar BOD dalam
air masih tinggi sewaktu dibuang ke badan air penerima (BAP). Kebutuhan
oksigen biologi (BOD) adalah pengukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme selama penghancuran bahan organik dalam waktu tertentu pada
suhu 200C. Peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi
oleh mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi
apabila air mengandung oksigen yang cukup. Apabila kandungan oksigen dalam
air menurun maka kemampuan bakteri aerobik untuk memecahkan bahan buangan
organik akan menurun, bahkan mungkin apabila oksigen yang terlarut tidak
95

tersedia lagi maka bakteri aerobik akan mati, dalam keadaan seperti ini bakteri
anaerobik akan mengambil alih tugas untuk memecahkan bahan buangan yang
ada di dalam air. Proses pemecahan bahan buangan oleh mikroorganisme ada
yang memerlukan oksigen (kondisi aerobik) dan tanpa oksigen (kondisi
anaerobik). Hasil pemecahan pada kondisi anaerobik pada umumnya berbau tidak
enak, seperti amis dan anyir (Wardhana, 2004).
BOD menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisikan secara
biologis (biodegradable). Bahan organik tersebut bisa berupa lemak, protein,
kanji (starch), glukosa, aldehida, dan ester. Dekomposisi selulosa secara biologis
berlangsung relatif lambat. Bahan organik merupakan hasil pembusukan
tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik
dan industri. Kadar oksigen terlarut pada perairan tawar berkisar antara 15 mg/l
pada suhu 00C dan 8 mg/l pada suhu 250 C. Pada perairan laut berkisar antara 11
mg/l pada suhu 00C dan pada 7 mg/l pada suhu 250C. Kadar oksigen terlarut pada
perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l (Effendi, 2000).
Hasil analisis COD di dua lokasi pengambilan sampel menunjukkan kadar
COD masih di bawah NAB yang diiz inkan 50 mg/l. Chemical oxygen demand
(COD) atau kebutuhan oksigen kimia, yaitu oksidasi secara kimia dengan
menggunakan kaliumbikarbonat yang dipanaskan dengan asam sulfat pekat. COD
umumnya lebih besar dari BOD, karena jumlah senyawa kimiawi lebih besar
dibandingkan oksidasi secara biologis (Achmad, 2004). Pengukuran COD
didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi
menjadi karbondioksida dan air dengan batuan oksidator kuat (potassium
bikromat/ K2Cr 2O7) dalam suasana asam. Dengan menggunakan bikromat sebagai
oksidator, diperkirakan sekitar 95-100% bahan organik dapat dioksidasi
(Effendi, 2000).
Hasil pengukuran minyak dan lemak pada lokasi BAP di inlet me-
nunjukkan kadar minyak dan lemak sudah pada NAB yaitu 1 mg/l, sedangkan
pada BAP outlet kadar minyak dan lemak masih di bawah NAB yang diizinkan
yaitu 0 mg/l. Keberadaan minyak dan lemak di lokasi sampel berasal dari bahan
buangan domestik dan industri.
96

Kadar nitrit pada BAP di inlet sudah di atas nilai NAB yaitu 1,0 mg/l yang
diizinkan yaitu 0,06, sedangkan kadar nitrit pada BAP di outlet masih di bawah
NAB yang izinkan. Menurut Effendi (2000) mengemukakan keberadaan nitrit
menggambarkan berlangsungnya proses perombakan bahan organik dengan kadar
oksigen terlarut sangat rendah. Sumber nitrit dapat berasal dari limbah industri
dan limbah domestik. Nitrit jika dikonsumsi secara berlebihan dapat me-
nyebabkan terganggunya proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin darah yang
selanjutnya membentuk methemoglobin yang tidak mampu mengikat oksigen.
Hasil pengukuran kandungan seng pada BAP setelah (outlet) TPA
sebanyak 0.21 mg/l, nilai tersebut telah melebihi NAB yang diizinkan yaitu
0,5 mg/l. Seng termasuk unsur essensial bagi makhluk hidup, membantu kerja
enzim. Seng diperlukan dalam fotosintesis sebagai agen bagi transfer hidrogen
dan berperan dalam pembentukan protein (Effendi, 2003).
Hasil pengukuran terhadap parameter kimia lainnya yaitu NO3- N, NO2-N,
DO, COD, Total fosfat sebagai P, minyak dan lemak, fenol, NH3-N, Cl2, SO4,
H2S, deterjen (MBAS), B, As, Fe, Co, Ba, Se, CN, Hg, Cd, Cr 6+, Cu, Pb, Mn, F
masih dibawah NAB.

5.3.1.3. Kualitas Air Lindi


Hasil pengukuran kualitas air lindi pada lokasi sampel di inlet dan outlet
TPA Cipayung dapat dilihat pada Tabel 15. Kualitas air limbah variabel besi di
TPA Cipayung (inlet) sudah di atas NAB yang diizinkan yaitu 5,59 mg/l.
Kandungan Fe tinggi di inlet diduga karena kandungan bahan organik yang
berlebihan yang bersifat anaerob akibat proses dekomposisi bahan organik yang
berlebihan. Logam Fe dalam jumlah yang berlebihan pada anak-anak dapat
menyebabkan gangguan mental serius. Penelitian pada hewan menunjukkan
bahwa toksisitas akut dari Fe menyebabkan lamanya penggumpalan darah
(Darmono, 2001).
Variabel COD di lokasi TPA Cipayung sudah di atas NAB, pada inlet
sebesar 541.20 mg/l dan bagian outlet sebesar 514.40 mg/l. COD menggambarkan
jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimiawi bahan
organik, baik yang bisa didegradasi secara biologis (biodegrable) maupun yang
97

sukar didegradari secara biologis (non biodegradable), menjadi CO2 dan H2O.
Hasil pengukuran BOD5 di TPA Cipayung sudah di atas NAB, di bagian inlet
266.41 mg/l dan di outlet 250.30 mg/l. BOD merupakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk merombak bahan organik secara biokimia. Nilai COD lebih
besar dari BOD, karena jumlah senyawa kimia yang bisa dioksidasi secara
kimiawi lebih besar dibandingkan oksidasi secara biologi.

Tabel 15. Kualitas air lindi di TPA Cipayung

Baku Mutu Limbah


Cair Lokasi Sampel dan Hasil Uji
SK Gub. Jawa Barat Lab.
Parameter Satuan No.6/1999
TPA
TPA Cipayung
Gol I Gol II Cipayung
(outlet)
(Inlet)
FISIK
0
Suhu C 38 40 25.4 25.4
Residu Terlarut (TDS) mg/liter 2000 4000 1242 841
Residu Suspensi Solid (TSS) mg/liter 200 400 56 13
pH - 6-9 6-9 7.82 8.04

KIMIA
Besi (Fe) mg/liter 5 10 5.95 <0.01
Mangan (Mn) mg/liter 2 5 0.46 0.25
Barium (Ba) mg/liter 2 3 0.46 0.08
Tembaga (Cu) mg/liter 2 3 0.12 0.04
Seng (Zn) mg/liter 5 10 <0.001 0.08
Kromium Heksavalen (Cr6+) mg/liter 0.1 0.5 0.04 <0.01
Krom total (Cr) mg/liter 0.5 1 <0.01 <0.01
Kadmium (Cd) mg/liter 0.05 0.1 0.02 <0.002
Air Raksa (Hg) mg/liter 0.002 0.005 <0.002 <0.0002
Timbal (Pb) mg/liter 0.1 1 <0.0002 <0.01
Stanum (Sn) mg/liter 2 3 <0.01 <0.05
Arsen (As) mg/liter 0.1 0.5 <0.05 <0.0002
Selenium (Se) mg/liter 0.05 0.5 <0.0002 <0.005
Nikel (Ni) mg/liter 0.2 0.5 <0.005 <0.01
Kobalt (Co) mg/liter 0.4 0.6 <0.01 <0.001
Sianida (CN) mg/liter 0.05 0.5 0.02 0.01
Sulfida (H2S) mg/liter 0.05 0.1 0.02 0.02
Flourida (F) mg/liter 2 3 0.05 0.04
Klorin (Cl2) mg/liter 1 2 0.07 <0.07
Amonia Bebas mg/liter 1 5 0.17 0.15
Nitrat (NO3-N) mg/liter 20 30 8.45 5.42
Nitrit (NO2-N) mg/liter 1 3 0.35 0.28
BOD5 mg/liter 50 150 266.41 250.30
COD mg/liter 100 300 541.20 514.40
Deterjen (MBAS) mg/liter 5 10 0.14 0.12
Fenol mg/liter 0.5 1 0.34 0.32
Minyak dan Lemak mg/liter 10 50 2 1
98

Tingginya kandungan COD dan BOD5 di TPA diduga disebabkan oleh


sebagian besar jenis sampah yang masuk TPA berasal dari limbah organik seperti
sisa makanan, yang mengakibatkan penurunan kadar oksigen terlarut, selain itu
rendahnya kadar oksigen terlarut terjadi karena IPAL TPA untuk pengelolaan air
lindi tidak memakai aerator, sehingga tidak terjadi proses transfer oksigen dari
atmosfer ke perairan melalui proses difusi (aerasi). Apabila kadar oksigen terlarut
di perairan mencapai jenuh (saturasi) dan dalam kesetimbangan dengan kadar
oksigen di atmosfer maka proses aerasi tidak akan berlangsung. Transfer oksigen
berlangsung dari udara ke dalam air apabila kadar oksigen pada badan air belum
jenuh. Kecepatan proses aerasi bergantung pada penyerapan di permukaan air dan
penyebaran pada kolom air. Transfer oksigen berbeda menurut tingkat saturasi
dan kadar oksigen sesungguhnya di perairan. Menurut Effendi (2000) penurunan
kadar oksigen di perairan selain karena proses respirasi juga diakibatkan oleh
keberadaan limbah organik yang membutuhkan oksigen untuk proses perombakan
(dekomposisi). Pada perairan mengandung limbah organik dengan kadar cukup
tinggi, menyebabkan kelarutan oksigen di air relatif rendah.
Hasil analisis sampel air lindi berdasarkan pengklasifikasian tingkat
pencemaran dari limbah domestik variabel BOD dan COD termasuk kedalam
tingkat pencemaran sedang. Variabel BOD sudah pada tingkat 200 mg/l,
berdasarkan pengklasifikasian tingkat pencemaran limbah domestik.Variabel
COD juga sudah pada tingkat 600 mg/l berdasarkan pengklasifikasian tingkat
pencemaran limbah domestik (Rump dan Krist dalam Effendi, 2000). Dampak
ekologis tentang limbah yang potensial masuk ke perairan dapat dilihat pada
Tabel 16.
Hasil pengukuran fenol di TPA Cipayung di inlet sebanyak 0,34 mg/l dan
di outlet 0,32 mg/l. Nilai fenol untuk Golongan I sudah di atas NAB yang
diizinkan yaitu 0,5 mg/l, sedangkan untuk golongan II fenol masih di bawah
NAB. Tingginya kandungan fenol di inlet untuk golongan I diduga berasal dari
kandungan minyak yang berasal dari sampah yang masuk ke TPA. Menurut
Effendi (2000) senyawa fenol dihasilkan dari proses pemurnian minyak, industri
kimia, tekstil, dan plastik. Keberadaan fenol di perairan mengakibatkan
99

berubahnya sifat organoleptik air, sehingga kadar yang diperbolehkan pada air
minum 0,001 mg/l.

Tabel 16. Dampak ekologis berbagai limbah yang potensial masuk ke perairan

No. Jenis Limbah Karakteristik Dampak Ekologis


1. Bahan Organik - BOD - Dapat menghabiskan sediaan oksigen di
- COD perairan
- Menyebabkan kematian massal organisme air
- Menambah kadar nutrien yang dapat memicu
eutrofikasi
2. Nutrien N & P - Amonia - Pemicu eutrofikasi
- Nitrat Eutrofikasi, dapat menyebabkan stress pada
- Nitrit ikan atau organisme lainnya secara individu,
- Nitrogen organik sampai kematian massal organisme, apalagi
- Ortophosphat bila sampai terjadi “bloom” (pertumbuhan
- Phosphat total massal dan cepat) plankton menyebabkan
perairan tanpa oksigen (hypoxia).
3. Minyak & Lemak - Minyak - Menutupi perairan dengan lapisan minyak
- Minyak & Lemak (oil slick)
- Mengganggu difusi gas-gas terlarut, termasuk
oksigen
- Mengganggu pernapasan organisme, terutama
ikan dan organisme pesisir.
4. Logam Berat - Hg - Bersifat racun, yang dapat berakibat stress,
- Cd abnormal atau kematian organisme
- Pb - Dapat terjadi bioakumulasi dan bahkan
- Cu biomagnifikasi dalam tumbuhan atau hewan
- Zn air
- Bila tumbuhan atau hewan tersebut dimakan
manusia, dapat menyebabkan gangguan otak
dan ginjal manusia.
5. Bahan Beracun - Amonia - Bersifat racun, menyebabkan stres dan
- Sulfida (H2 S) kematian
- Sulfat - Menimbulkan bau busuk (amonia, sulfida).
- Sianida - Bersifat korosif (sulfat).
- Phenol - pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
- Khlorida menyebabkan variasi sifat basa atau sifat
- pH asam perairan yang mengganggu kehidupan
organisme air.
6. Padatan - Padatan Tersuspensi - TSS yang tinggi menyebabkan kekeruhan air,
(TSS) dapat berakibat stress sampai kematian
- Padatan Terlarut organisme
(TDS) - TDS yang berlebihan mengganggu
- Padatan Total (Total osmoregulasi organisme
solid) - Kekeruhan selain mengganggu estetika juga
- Kekeruhan mengganggu organisme – stress hingga
kematian.
7. Cairan Panas - Temperatur air - perubahan suhu yang tiba-tiba dan sering,
menyebabkan stres dan kematian organisme.
Sumber: Udall & Stevas (1987)
100

Hasil pengukuran terhadap variabel kimia lainnya yaitu Ba, Cu, Zn, Cr6+,
Cr, Cd, Hg, Pb, Sn, As, Se, Ni, Co, CN, H2S, F, Cl2, amonia bebas, NO3-N, NO2-
N, deterjen, minyak dan lemak masih di bawah NAB yang diizinkan.

5.3.2. Mikrobiologi Air


Kehadiran bakteri di dalam air dapat menguntungkan dan merugikan.
Bakteri tersebut dapat dikatakan menguntungkan bila jumlahnya sedikit dan dari
jenis tertentu yang memberi keuntungan kepada perbaikan kualitas air, sedangkan
bakteri dianggap merugikan jika jumlahnya melebihi nilai ambang (sangat
banyak) dan jenisnya yang bersifat patogen atau toksik.
Pada umumnya jumlah bakteri di dalam suatu badan air akan dipengaruhi
oleh buangan atau limbah yang masuk ke badan air tersebut, atau dapat dikatakan
bahwa jumlah bakteri memberi indikasi adanya pencemaran akibat limbah.
Nilai hasil uji pemeriksaan Coliform di ke dua air sumur dan badan air
penerima (BAP) masih di bawah nilai NAB. Nilai variabel air sumur berdasarkan
Permenkes 500/100 ml sedangkan di badan air penerima (BAP) berdasarkan Baku
Mutu Kriteria Mutu Air PPRI Nomor 28/2001 Gol. III 10000/100 ml. Coliform
total (MPN) merupakan variabel keberadaan bermacam-macam bakteri di dalam
perairan. Pencemaran dari kuman merupakan penyebab utama terjadinya pe-
nyakit. Penyakit yang disebabkan oleh air yang tercemar disebut water-born
disease yang sering ditemukan berupa penyakit tifus, kolera, dan disentri
(Darmono, 2001). Menurut ketentuan WHO dan APHA, kualitas air ditentukan
oleh kehadiran dan jumlah coli di dalamnya. Berdasarkan karakteristik kimia,
fisik dan mikrobiologi, maka kualitas air akan ditentukan berdasarkan
keperluannya (Suriawiria, 2003).
Hasil pengujian terhadap mikrobiologi pada lokasi sampel di beberapa
tempat di antaranya di sumur pantau, rumah penduduk, rumah penduduk seberang
sungai, BAP pada bagian inlet dan outlet dapat dilihat pada Tabel 17.
101

Tabel 17. Hasil pengujian terhadap mikrobiologi di TPA Cipayung


Hasil Uji
Permenkes Rumah
Tempat/ Satuan No.
Parameter Sumur Pantau Rumah Penduduk
416/MENKES/PER/IX/1990 Penduduk Seberang
sungai
Kualitas air sumur
Coliform Jml/100 ml 50 4 2 4

Badan Air Penerima


Hasil Uji
Kriteia Mutu Air PPRI Badan Air Penerima Sebelum TPA Badan Air
Parameter Satuan No.28/2001 (inlet) Penerima
Gol. III Sesudah TPA
(outlet)
Coliform Jml/100 ml 10000 500 900

5.4. Keadaan Responden di Kawasan TPA Cipayung


Responden yang diambil masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
TPA Cipayung, di antaranya pemulung, non pemulung dan tokoh masyarakat
yang mengetahui permasalahan keberadaan dan pengelolaan TPA Cipayung.

5.4.1. Jarak Rumah Responden dengan TPA Cipayung


Masyarakat yang dijadikan responden adalah masyarakat yang tinggal di
sekitar TPA Cipayung. Jarak rumah responden dengan TPA Cipayung yaitu
< 250 m (14,94%); 250-500 m (41,38%); 500-750 m (17,24%); 750-1000 m
(12,64%); 1000 m (13,8%). Jarak tempat tinggal responden dengan TPA dapat
dilihat pada Gambar 9.

Grafik Jarak ke TPA

50
45 41.38
40
a. < 250 m
35
b. 250 - 500 m
Jumlah(%)

30
25 c. 500 - 750 m
20 17.24 d. 750 - 1.000 m
14.94
15 12.6413.8
e. > 1.000 m
10
5
0
Jarak ke TPA

Gambar 9. Jarak tempat tinggal responden ke TPA


102

5.4.2. Tanggap Responden Terhadap TPA Cipayung


Tanggap responden dapat dikategorikan berdasarkan manfaat yang
diterima sebagai akibat beroperasinya TPA di daerah tempat mereka tinggal.
Responden mempunyai tanggap terhadap TPA Cipayung sebagai berikut: tanggap
baik sebanyak 9,19 %, tanggap sedang sebanyak 58,62%, tanggap buruk sebanyak
27,59%, dan tanggap tidak tahu sebanyak 4,60% (Gambar 10). Munculnya
berbagai tanggap tersebut terkait dengan manfaat dari TPA yang dirasakan
langsung oleh responden. Responden masyarakat lokal mempunyai tanggap
positif, karena mereka mendapatkan manfaat langsung (sebagai karyawan atau
pemulung) dan manfaat tidak langsung (ada sanak keluarganya yang bekerja
sebagai karyawan). Responden dari komunitas pendatang umumnya beranggapan
negatif, karena mereka tidak mendapat manfaat dari kegiatan di TPA Cipayung,
mereka hanya tinggal di sekitar TPA dan bekerja di tempat lain.
Gangguan lingkungan yang dikeluhkan masyarakat akibat dampak TPA
adalah bau sebanyak 45,98%, banyak lalat sebanyak 8,05%, macet sebanyak
1,15%, lainnya (tidak terkena dampak) sebanyak 4,60%, bau dan banyak lalat
sebanyak 32,18%, banyak lalat dan pencemaran air sebanyak 1,15%, bau, banyak
lalat dan pencemaran air sebanyak 2,29% dan bau, serta banyak lalat, macet dan
pencemaran air sebanyak 4,60%.

Grafik Tanggapan Responden

100
90
80
a. baik
70
58.62
b. kurang-sedang
Jumlah (%)

60
50
c. buruk
40
27.59 d. tidak tau
30
20
9.19
10 4.6

0
Tanggapan Responden

Gambar 10. Tanggap responden di sekitar TPA Cipayung

Dampak yang dirasakan responden masalah bau yang dikeluhkan oleh


responden yang berhasil ditemui pada saat wawancara. Keluhan tersebut
103

dirasakan hampir merata baik dari penduduk Kampung Benda Barat, Kampung
Bulak Barat, dan Blok Rambutan ketiganya masuk wilayah Kelurahan Cipayung
serta Kelurahan Pasir Putih. Bau menurut mereka tidak terjadi secara rutin, namun
temporer dan berhubungan dengan arah angin dengan durasi yang juga tidak
menentu namun biasanya antara 5 hingga 15 menit. Menurut penduduk, bau akan
terjadi jika terjadi pembongkaran sampah yang sudah mulai membusuk dan
kebetulan ada angin bertiup ke arah pemukiman. Pada kondisi normal, masalah
bau busuk sebenarnya tidak ditemui. Pada dasarnya masyarakat sudah maklum
dengan kondisi bau sampah, mengingat tempat tinggal mereka berdekatan dengan
TPA, namun tetap saja penduduk merasa terganggu. Bagi masyarakat di RT 04/02
Pasir Putih bagian Selatan, bau bercampur dengan bau peternakan ayam yang
lebih dominan, sehingga bau sampah tidak dirasakan terlalu mengganggu. Selain
akibat keberadaan TPA, masalah bau dikeluhkan masyarakat Blok Rambutan
khususnya akibat lalu-lintas truk pengangkut sampah. Menurut penduduk
setempat, truk sampah yang sudah kosong dan masih kotor, menebarkan bau yang
lebih keras ketimbang truk yang masih terisi muatan. Selain masalah bau,
kedatangan lalat juga dikeluhkan oleh sebagian penduduk. Namun demikian,
menurut tokoh masyarakat setempat, kedatangan lalat tidak identik dengan
keberadaan TPA. Lalat hanya datang ke pemukiman pada awal musim penghujan
dan musim mangga, serta terjadi menyeluruh baik wilayah yang dekat dengan
TPA maupun wilayah yang relatif jauh. Warga Kampung Bulak Barat
menjelaskan lalat tersebut datang selain setelah hujan turun. Lalat tersebut datang
karena ceceran sampah di sepanjang jalan menuju TPA.
Keresahan masyarakat akan dapat diatasi jika pengelolaan sampah
dilakukan secara profesional. Permasalahan lalat tidak akan muncul jika
penyemprotan anti lalat dilakukan secara rutin terutama di saat musim hujan.
Penyemprotan akan menghilangkan bau sampah yang mengundang lalat. Saat ini
DKP sudah mempunyai satu unit alat semprot, sehingga setiap kali warga protes
karena muncul lalat, pada saat itu juga penyemprotan dapat langsung dilakukan.
Dampak lain yang dikeluhkan masyarakat di antaranya adalah:
104

a) Lalu lintas truk dan ceceran sampah. Pada saat TPA mulai dioperasikan
masyarakat masih jarang yang tinggal di sekitar lokasi TPA. Seiring dengan
berjalannya waktu, banyak kaum pendatang yang terpaksa pindah dari Jakarta
dan masuk ke wilayah ini, membangun pemukiman di kanan kiri jalan masuk
TPA. Penduduk yang bermukim di wilayah tersebut umumnya adalah warga
pendatang yang bermukim setelah TPA beroperasi. Menurut penuturan tokoh
masyarakat setempat, penduduk Blok Rambutan pernah melakukan protes
pada tahun 2004, bahkan sempat dimuat di media massa, namun setelah itu
tidak ada lagi protes. Masyarakat mengeluhkan ceceran sampah yang jatuh
dari truk pengangkut di sepanjang jalan mulai dari pertigaan dekat sekolah
hingga pintu masuk TPA, sehingga dirasakan mengganggu kenyamanan dan
estetika setempat.
b) Abrasi dan perpindahan aliran Sungai Pesanggrahan. Lokasi TPA yang
berbatasan dengan sungai Pesanggrahan di sebelah Barat, menimbulkan
masalah terkait dengan perpindahan badan sungai dan abrasi tanah di
seberangnya. Menurut penduduk, lokasi TPA adalah tanah bergerak yang pada
akhirnya berpengaruh terhadap aliran sungai dan menimbulkan abrasi pada
lahan di seberangnya. Pengamatan lapang mendapatkan adanya dua titik
abrasi di wilayah kelurahan Pasir Putih, khususnya di RT 02/04.
c) Kekhawatiran akan tanah longsor dan pencemaran air sumur serta rendahnya
harga tanah maupun bangunan di sekitar TPA. Tanah penutup sampah TPA
Cipayung diambil dari lahan di sebelah Utara yang berbatasan dengan
Kampung Benda Barat Kelurahan Cipayung. Lokasi pengambilan tanah
tersebut sangat dekat dengan pemukiman penduduk sehingga menimbulkan
kekhawatiran penduduk akan terjadinya longsor yang dapat menimpa rumah
mereka, khususnya di wilayah RT 04/06. Penduduk juga mengkhawatirkan
penggunaan lahan bekas galian tanah penutup tersebut juga akan digunakan
sebagai tempat pembuangan sampah baru. Penduduk menginginkan adanya
pemasangan batu untuk mencegah terjadinya longsor. Selain itu, penduduk
juga mengkhawatirkan dengan adanya pengelolaan sampah di TPA Cipayung
menyebabkan sumur mereka tercemar sehingga menimbulkan masalah baru.
105

Namun demikian, penduduk merasa tidak berkebaratan jika yang dibuang


nantinya adalah sampah matang karena dinilai tidak akan mencemari
lingkungan mereka.
d) Rendahnya harga tanah dan bangunan sekitar TPA. Gangguan bau yang
berasal dari TPA menurut pendapat penduduk berpengaruh terhadap
rendahnya harga tanah di sekitar lokasi TPA. Harga tanah saat sekarang
umumnya sekitar 1/2 nilai jual wajib pajak (NJOP) yaitu sekitar 150 ribu
permeter. Orang luar yang membeli tanah di sekitar TPA mengharapkan
keuntungan untuk jangka panjang.

5.4.3. Keadaan Sosial-Ekonomi Responden di TPA Cipayung


Tingkat pendidikan responden adalah tidak lulus SD/sederajat sebanyak
10,34%, lulusan SD sebanyak 31,03%, lulusan SLTP sebanyak 27,59%, lulusan
SMU sebanyak 26,44%, dan lulus perguruan tinggi sebanyak 4,5%. Rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh terhadap rendahnya kesadaran
masyarakat untuk memelihara lingkungan. Sumberdaya manusia merupakan salah
satu faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan suatu program
kegiatan, karena pendidikan mempengaruhi kesadaran masyarakat terhadap
pemeliharaan lingkungan. Pendidikan pada dasarnya adalah pemberian informasi
(pengetahuan) tentang baik dan buruknya sesuatu hal yang dilakukan oleh
manusia (seperti sisi positif dan negatif sampah) (Ancok, 2008).Tingkatan
pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 11.

Grafik Tingkat Pendidikan

50 a. tidak tamat
SD/Sederajat
45
40 b. Tamat
SD/Sederajat
35 31.03
Jumlah (%)

30 27.59 26.44 c. Tamat


25 SLTP/Sederajat
20 d. Tamat
15 SMU/Sederajat
10.34
10 e. Tamat
4.6
5 Perguruan
0 Tinggi

Pendidikan Terakhir

Gambar 11. Tingkat pendidikan responden di TPA Cipayung


106

Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan responden rendah,


sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh
terhadap keberhasilan suatu program kegiatan karena pendidikan akan
mempengaruhi kesadaran masyarakat terhadap pemeliharaan lingkungan.
Pendidikan berperan membawa mekanisme yang dapat mengubah bentuk watak
dan pribadi seseorang. Setiap manusia, sesuai dengan kodratnya, masing-masing
memiliki karakteristik perilaku (pengetahuan, sikap dan keterampilan) serta daya
nalar dan kreativitas yang tidak selalu sama dengan orang lainnya. Karakteristik
tersebut akan sangat menentukan kinerja dan produktivitas.
Sumberdaya manusia berbeda dengan sumberdaya lainnya, sumberdaya
manusia dengan kualifikasi tertentu seringkali memerlukan pendidikan dan
membutuhkan pengalaman kerja selama bertahun-tahun. Oleh karenanya dalam
teori manajemen dinyatakan sumberdaya manusia merupakan sumberdaya yang
memegang posisi strategis dalam setiap pengelolaan kegiatan, sebab selain
sebagai salah satu unsurnya, manusia sekaligus merupakan pengelola sumberdaya
yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerjani et al. (2008) mengemukakan
bahwa tingkat pendidikan sangat menentukan sebagai alat penyampaian informasi
kepada manusia tentang perlunya perubahan untuk merangsang penerimaan
gagasan baru. Yustina dan Sudrajat (2008) juga mengemukakan melalui proses
pendidikan, potensi manusia dapat dikembangkan dan berkembang sedemikian
rupa sehingga orang akan selalu modern. Tujuan akhir pendidikan adalah
terjadinya perkembangan optimum dan peningkatan sumberdaya manusia.
Ancok (2008) juga mengemukakan hal yang serupa bahwa pendidikan
pengelolaan sampah harus terfokus pada pengembangan tata-nilai dan moralitas
individu. Keberhasilan pendidikan pengelolaan sampah akan sulit untuk menjadi
kenyataan selama tidak ada kondisi yang memberikan reward dan punishment
untuk menjaga terwujudnya hasil pendidikan. Hasil pendidikan baru muncul kalau
faktor di luar diri individu yang berupa penegakan hukum dilaksanakan secara
konsisten. Alasan kenapa demikian karena ada level kepatuhan pada hukum
(norma) yang salah satunya adalah kepatuhan karena takut dihukum.
Model prilaku pengelolaan sampah dapat dilihat pada Gambar 12.
107

Pengetahuan Sikap
Diri

Niat Perilaku
Norma
Keyakinan Subyektif
Normatif

Ada Sarana
dan Waktu

Gambar 12. Model pengelolaan sampah (Fishbein&Ajzen dalam Ancok, 2008)

1. Pengetahuan diri tentang sisi negatif dan positif sampah


Sisi negatif sampah yaitu dapat membahayakan kesehatan, merusak eko-
sistem, dapat dihukum bila membuang sampah sembarangan, mengganggu
kenikmatan hidup karena polusi bau, dan menghancurkan kehidupan generasi
yang akan datang. Sisi Positif sampah yaitu bisa menjadi pupuk, sumber
energi dan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan.

2. Sikap terhadap pengelolaan sampah


Sikap adalah faktor yang mendorong orang untuk mengelola sampah dengan
baik/buruk. Sikap terbentuk karena pemahaman seseorang terhadap sisi positif
dan negatif. Makin banyak pengetahuan seseorang tentang aspek positif
sampah dan bila dikelola dengan baik, maka makin baiklah perilaku seseorang
dalam pengelolaan sampah. Pembentukan sikap bermula dengan pemberian
informasi yang sebanyak-banyaknya pada masyarakat tentang sisi positif dan
108

negatif sampah. Pemberian pengetahuan mulai dari pendidikan dalam


keluarga, sekolah dan pendidikan masyarakat.

3. Keyakinan normatif

Tindakan seseorang sangat ditentukan oleh pengaruh lingkungan, khususnya


norma dan pandangan orang lain. norma yang terkait dengan sampah di
antaranya adalah visi Pemerintah dan organisasi, misi, strategi, sistem
(reward dan punishment) yang ada dalam kaitan dengan pengelolaan. Selain
itu sejauh mana norma terserbut disosialisasikan dan dilaksanakan dengan
konsisten.

4. Norma subyektif
Norma subyektif adalah kepatuhan seseorang akan keyakinan normatif.
Apakah dia mau patuh atau tidak dengan ketentuan dan peraturan yang ada.
Walaupun ada visi, misi dan strategi tentang pengelolaan sampah tetapi kalau
pejabat yang terkait (Jaksa, Hakim, Polisi, Anggota, DPR, ABRI, Camat,
Kades) memberi contoh yang buruk maka akan sulit untuk terwujudnya
kebiasaan yang baik dalam pengelolaan sampah. Selain itu bila sanksi tidak
dilaksanakan dengan konsisten orang juga berani melanggar.

5. Niat (untuk mengelola sampah)


Niat untuk patuh pada sebuah hal yang baik adalah hasil dari interaksi antara
sikap individu dan norma subyektif yang ada pada individu tersebut. Apabila
seseorang sudah memiliki kesadaran sampai ke level internalisasi (seseorang
faham betul kalau membuang sampah sembarangan akan merugikan dirinya
sendiri dan orang lain) maka pada masyarakat yang buruk kebiasaannya dia
akan tetap berniat untuk perilaku yang baik. Seseorang jika belum memiliki
kesadaran yang baik, maka sosialisasi masalah pengelolaan sampah disertai
dengan reward dan punishment yang konsisten akan membentuk niat untuk
berperilaku yang baik.

6. Ada sasaran dan waktu


Perilaku tertib dan baik dalam mengelola sampah baru muncul kalau
seseorang memiliki niat untuk berperilaku baik, namun seringkali niat yang
109

baik tersebut tidak jadi kenyataan karena tidak adanya fasilitas untuk
membuang sampah dan sarana pengelolaan sampah. Selain itu sering kali
orang tidak punya waktu karena sarana dan fasilitas susah di dapat karena
terlalu jauh diletakkan dan jauh dari kemudahaan di dalam penggunaannya.
Penelitian ini juga menganalisis sejauhmana pengaruh suatu program
pembangunan, maka dilakukan pemantauan dan evaluasi secara terus-menerus,
sehingga dapat mengetahui perubahan. Pengaruh pembangunan tidak hanya dalam
bentuk fisik, tetapi juga sosial dan ekonomi yang seringkali menimbulkan
keresahan sosial yang memprihatinkan, yang terjadi karena kurangnya pendekatan
yang serasi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pembangunan.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Pearce dalam Bunasor (2003) mengenai
pengaruh ekonomi dalam pembangunan. Pembangunan berkelanjutan harus
mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan pembangunan secara
terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, serta pada
kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan politik yang kental.
Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor tujuan sosial dari suatu
masyarakat, di mana tujuan tersebut merupakan atribut dari apa yang ingin dicapai
atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut tersebut dapat mencakup:
kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan,
pendidikan, akses kepada sumber daya, distribusi pendapatan yang lebih merata.
Pembangunan berkelanjutan, sebagai filososfi dasar kehidupan menuntut
perubahan nilai-nilai etika dalam kehidupan ekonomi agar pemanfaatan
sumberdaya alam yang secara total terbatas jumlahnya secara sukarela selalu
ditekankan pada tingkat optimum.
Soeratmo (2004) juga mengatakan hal yang sama bahwa perubahan dalam
basis ekonomi akan mempengaruhi perubahan dalam kegiatan bukan berbasis
ekonomi. Pengaruh ekonomi tersebut bersifat sekunder yang harus di-
perhitungkan. Kegiatan ekonomi bukan basis mencakup berbagai usaha ekonomi
yang terkait secara tidak langsung dengan ekonomi di sektor basis, sebagai contoh
jika balai industri berkembang, akan berkembang pula usaha jasa transportsi
pedesaan, usaha warung, serta jasa-jasa perdagangan lainnya di desa setempat.
110

Guna mengetahui sejauh mana pengaruh suatu program pembangunan, maka


dilaksanakan pemantauan dan evaluasi secara terus-menerus. Hal tersebut
diperlukan untuk bisa segera memahami sejauh mana pengaruh dari suatu
program pembangunan pada keseimbangan sistem sosial-ekonomi dan
keseimbangan tersebut diharapkan agar senantiasa lestari. Apabila kelestarian
belum tercapai, maka program pembangunan tersebut perlu mendapat masukan
untuk menghilangkan faktor–faktor penyebab dan mengurangi tekanannya
terhadap lingkungan sosial tersebut, sehingga kelestarian tetap tercapai.
Kondisi perkembangan suatu wilayah juga tercermin dari jenis pekerjaan
penduduk. Jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 13

Grafik Jenis Pekerjaan

50
a. swasta/karyawan
45
40 b. pedagang
35 c. wiraswasta
Jumlah (%)

30 26.44
d. tani
25
20 17.2418.39 17.24 e. buruh
15 12.64
g. PNS / pemulung
10
2.3 3.45 2.3 h. TNI/POLRI
5
0 j. ibu rumah tangga
Pekerjaan

Gambar 13. Jenis pekerjaan responden

Jenis pekerjaan yang paling dominan adalah wiraswasta sebanyak 26,44%,


selanjutnya pedagang sebanyak 18,39%, swasta/karyawan dan buruh/pemulung
sebanyak 17,24%, ibu rumah tangga sebanyak 12,64%, PNS sebanyak 3,45%,
TNI/Polri dan tani sebanyak 2,3 % (Gambar 13). Jambu biji dan belimbing adalah
komoditas andalannya petani. Selain tanaman buah-buahan dan tanaman pangan,
penduduk juga masih memelihara ternak, biasanya kambing yang dibiarkan
mencari makan di TPA. Kepemilikan lahan, menurut tokoh masyarakat, sebagian
besar petani di Pasir Putih memiliki lahan. Namun demikian, lahan dalam luasan
yang besar sebenarnya sudah banyak yang berpindah tangan ke penduduk Jakarta.
Petani di Pasir Putih ada yang sekedar buruh tani, yang menggarap lahan
111

penduduk Jakarta. Penduduk Desa Pasir Putih yang bukan petani kebanyakan
adalah kaum pendatang, mereka mencari pekerjaan di Jakarta.

5.4.4. Manfaat TPA bagi Masyarakat di sekitar TPA Cipayung


Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di sekitar TPA dapat
diketahui bahwa keberadaan TPA selain membawa dampak negatif terhadap
masyarakat di sekitar TPA berpeluang menjadi sumber penghasilan baru,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyrakat di sekitar TPA Cipayung.
Slamet (2007) mengemukakan pertemuan yang membahas persampahan
antara berbagai organisasi internasional yaitu, IRCWD (International Reference
Centre for Waste Disposal), Bank Dunia RSWGEAP (Regional Water and
Sanitation Group of East Asia and Pacific), WHO-PEPAS (Western Pacific
Regional Centre for the Promotion of Environmental Planning and Applied
Science), menghasilkan tiga subjek yang patut diperhatikan pada masa yang akan
datang, yaitu pengumpulan sampah dari masyarakat, komposting yang
terdesentralisasi, dan pembuatan pedoman yang realistik dan aman untuk
pembuangan sampah kota. Hal tersebut harus dilakukan, karena jumlah maupun
kualitas sampah akan terus bertambah. Pemanfaatan kembali, dan daur ulang akan
memperpanjang usia benda, akan tetapi akhirnya akan menjadi sampah juga.
Usulan komposting yang terdesentralisasi akan mengurangi volume sampah
cukup banyak, dan sampah dapat dikembalikan ke alam dalam bentuk yang
bermanfaat. PPLH, ITB menghasilkan konsep KIS (Kawasan Industri Sampah)
yang dapat melakukan komposting sampah bagi satu RW, memerlukan lahan
seluas 200 m2, dan memberikan keuntungan pada pekerjaan rata-rata Rp.
3.000/hari.

5.4.4.1. Kesempatan Kerja


Keberadaan TPA menyebabkan terbukanya lapangan kerja bagi penduduk
setempat. Saat ini ibu-ibu di sekitar TPA berpeluang memiliki sumber penghasilan
baru, asalkan mau berkotor sedikit. Adanya TPA telah ikut berperan dalam
meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat sekitarnya. Selain manfaat
112

ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di sekitar TPA, manfaat lain adanya
perbaikan akses jalan di sekitar lokasi TPA
Manfaat ekonomi utamanya berupa pembukaan kesempatan kerja dan
berusaha bagi warga sekitar, dalam bentuk sebagai karyawan tetap di TPA, supir
dan kernet, pemulung sampah dan usaha pengumpul barang bekas serta usaha
warung makanan kecil. Keterbukaan lapangan kerja di antaranya adalah adanya
karyawan tetap menurut dokumen AMDAL ada sebanyak 24 orang, tenaga supir
sekitar 52 orang supir dan sekitar 150 kernet. Mereka umumnya berasal dari
kampung Bulak Barat, Benda Barat dan Pasir Putih. Selain sebagai supir,
keberadaan TPA secara langsung memberikan pekerjaan tambahan bagi penduduk
di tiga wilayah itu khususnya sebagai pemulung sampah. Jumlah pemulung per
hari diperkirakan mencapai 140–150 orang, dengan penghasilan sekitar Rp
25.000/hari atau lebih, tergantung dari banyak sedikitnya hasil sampah yang bisa
dipulung. Sampah hasil memulung dijual kepada pedagang pengumpul (lapak)
yang ada di sekitar TPA, di TPA juga ada empat warung makan kecil yang
melayani karyawan dan pemulung.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Bintoro (2008)
mengatakan bahwa sampah dapat menjadi masalah bagi lingkungan karena
merupakan sumber bau yang mengganggu pernapasan, dapat menjadi sumber
penyakit dan mengganggu pemandangan, namun bila ditangani dengan baik,
sampah dapat dijadikan kompos yang berarti akan membuka lapangan kerja.
Menurut CV. Heptagro Inti Mandiri (produsen Kompos di Cirebon) untuk
memproduksi 2000 ton kompos dibutuhkan 4000 HOK (hari orang kerja),
CV. Cisarua Integrated Farming (produsen kompos di Bogor) mempekerjakan 12
tenaga kerja untuk memproduksi 5 ton kompos/hari. Di Priangan Timur, untuk
menghasilkan kompos sebanyak 2 ton/hari diperlukan tenaga kerja sebanyak 5
orang/hari. PT. Godang Tua Jaya (produsen kompos di Jakarta) memperkerjakan
100 orang/hari untuk mengolah 30 ton sampah/hari.
Baru sebagian kecil sampah kota yang dijadikan kompos. Apabila semua
sampah dapat dijadikan kompos berarti akan semakin banyak mengurangi
pengangguran dan lingkungan hidup semakin baik dan sehat. Selain dari itu bahan
113

organik dapat menyerap air sebanyak 5 – 10 kali beratnya, misalnya 1 kg bahan


organik dapat menyerap 5 – 10 liter air. Pengurangan buangan sampah perkotaan
ke TPA ini menjadi sangat penting (Anonymous, 2004) karena:

a. Penanganan sampah TPA di Indonesia pada umumnya menggunakan metode


open dumping, dan apabila ada yang menggunakan metode sanitary landfill
pun tidak dilakukan secara baik dan benar. Metode tersebut merupakan suatu
proses pembusukan bahan organik berlangsung secara anaerobik.

b. Proses pembusukan anaerobik menimbulkan dampak yang sangat luas


terhadap lingkungan, yakni timbulnya gas methane (CH4), yang bersifat
sebagai gas rumah kaca yang menyebar secara global, tersebarnya bau busuk
di lingkungan sekitarnya, tercemarnya air tanah (groundwater) oleh air lindi,
dan berjangkitnya berbagai macam penyakit, serta seringkali menimbulkan
gejolak sosial.

c. Di TPA sering kali terjadi kebakaran karena munculnya gas methane yang
mudah terbakar. Apabila yang terbakar termasuk pula sampah plastik atau
bahan-bahan sejenisnya, maka bahan-bahan tersebut dapat terurai menjadi gas
dioxin yang bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan penyakit kanker).
Pengurangan buangan sampah perkotaan ke TPA secara global, melalui
pengomposan secara berkelanjutan menjadi salah satu tindakan strategis dalam
upaya pengurangan pengaruh gas rumah kaca. Hal ini merupakan salah satu
kontribusi nyata bangsa Indonesia terhadap upaya pencegahan intensitas
pemanasan global (global warming).
Ulloa et al. (2003) mengemukakan hal yang serupa tentang manfaat yang
diperoleh dari sampah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian di Costa Rica.
Hasil identifikasi sisa pertanian utama di Costa Rica sangat berpotensi
dimanfaatkan sebagai pakan ikan.
Sisa pertanian diolah untuk bahan baku yang masih berguna atau
mengurangi efek polusi bahan (misalnya disebut sebagai hasil sampingan).
Kira-kira 1.56 - 1.63 juta MT dari hasil sampingan dipergunakan untuk berbagai
keperluan yang berbeda (misalnya pupuk, pakan ternak, dan bahan bakar).
114

5.4.4.2. Pemasaran dan Analisis Finansial


Usaha dikatakan berhasil jika produk yang dihasilkan dapat terjual.
Demikian juga dengan produk hasil pengolahan sampah, akan terasa bermanfaat
jika mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Usaha pemasaran produk, selain itu
kelayakan usaha juga sangat diperlukan dengan mengetahui analisis finansial
suatu usaha.
1. Pemasaran hasil olahan sampah
Produk yang dihasilkan dari olahan sampah di antaranya adalah kompos,
tenaga listrik, dan bahan daur ulang yang bisa dijual. Peluang pasar tenaga
listrik selalu ada karena Indonesia saat ini dan pada masa mendatang akan
selalu membutuhkan energi. Tenaga listrik yang dibangkitkan dari sampah
adalah termasuk murah dibandingkan dengan PLTD. Oleh karena itu tidak
menjadi masalah dalam hal pemasarannya. Bahan organik dan anorganik
dapat dijual dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat ekonomi lemah.
Kompos adalah suatu produk yang sangat diperlukan dan seharusnya mudah
untuk dijual. Ada beberapa alasan untuk mendukung hal tersebut, di
antaranya:

a. Daratan Indonesia, khususnya di luar Pulau Jawa, sebagian besar


merupakan tanah yang miskin hara dan miskin bahan organik (podsolik).

b. Harga pupuk kimia tinggi dan sangat dipengaruhi oleh harga minyak bumi.
Selain itu, pupuk kimia banyak dipalsukan dan dapat merusak tanah.

c. Masa yang akan datang, pertanian Indonesia, bahkan dunia akan kembali
ke pertanian organik.
Menurut Bintoro (2008) kompos adalah bahan organik yang telah
mengalami dekomposisi yang dapat memberikan manfaat, antara lain yaitu:
(a) menyediakan unsur hara bagi tanaman baik makro maupun mikro;
(b) menggemburkan tanah; (c) memperbaiki struktur dan tekstur tanah;
(d) meningkatkan porositas dan aerasi tanah; (e) meningkatkan mikroorganisme
tanah; (f) meningkatkan daya memegang air; (g) meningkatkan kapasitas tukar
kation; (h) mengurangi pemakaian pupuk buatan (anorganik); (i) menurunkan
115

aktivitas mikroorganisme yang merugikan; (j) memperbaiki kualitas pertumbuhan


dan hasil tanaman. Untuk mengurangi limpasan aliran permukaan dapat dibuat
lobang yang diisi bahan organik di halaman rumah dengan ukuran 2 x 2 x 3 m3.
Brata dalam Bintoro (2008) seorang ahli Konservasi Tanah IPB membuat biopori
dalam jumlah banyak di halaman rumah, kemudian biopori tersebut diisi sisa-sisa
tanaman dapat mengurangi aliran permukaan. Adanya bahan organik di dalam
tanah akan menyerap air sebanyak 5 – 10 kali bobotnya. Bahan organik akan
menyebabkan tanah lebih berpori, hal tersebut menyebabkan daya mengikat air
meningkat, sehingga dapat mengurangi kemungkinan banjir.
Berdasarkan alasan tersebut, sebaiknya kebutuhan pupuk di dalam negeri
digantikan oleh pupuk kompos. Pergantian pupuk tersebut hanya bisa di-
laksanakan dengan bantuan kebijakan Pemerintah yang mewajibkan penggunaan
pupuk kompos untuk semua bidang kegiatan seperti pertanian pangan, perkebunan
dan kehutanan. Secara perlahan pupuk kompos akan meningkatkan produktivitas
tanaman. Dengan penggunaan pupuk kompos secara berkesinambungan dan
teratur, sifat kimia dan tekstur tanah yang rusak oleh pupuk kimia akan dapat
direhabilitasi. Budhiyono (1992) mengatakan tingginya intensitas penggunaan
pupuk kimia dalam budidaya pertanian ternyata telah menimbulkan dampak
kumulatif yang sangat merugikan, yakni terbentuknya hard-pan pada tanah
pertanian lahan sawah jenuh air dan terbentuknya gley-horizon pada tanah
pertanian lahan kering. Selain itu Bintoro (2008) mengemukakan bahwa pe-
nurunan kadar bahan organik tanah akan mengakibatkan daya menyerap air
menjadi berkurang. Penurunan bahan organik sebesar 1% akan menyebabkan air
sebanyak 200m3/ha langsung mengalir ke sungai. Hal tersebut dapat dilihat di
Bendungan Katulampa, Bogor apabila hujan, debitnya segera naik, tetapi
beberapa saat kemudian debitnya normal kembali, hal ini berarti kawasan-
kawasan di bagian hilir menjadi rawan banjir. Gundulnya lahan di Indonesia
mengakibatkan dataran rendah rawan banjir dan kawasan dataran tinggi rawan
banjir. Rawan banjir semakin diperparah karena sungai menjadi dangkal karena
dijadikan tempat pembuangan sampah.
116

Untuk mengurangi longsor dan banjir, lahan pertanian dan lahan-lahan di


dataran tinggi harus ditingkatkan kembali kadar bahan organiknya. Pemberian
sampah segar akan berakibat buruk bagi kegiatan pertanian karena nisbah C/N nya
masih tinggi, sehingga mikroorganisme yang terdapat di dalamnya akan
memanfaatkan unsur hara di kawasan tersebut. Agar hal tersebut tidak terjadi,
maka sampah tersebut harus dijadikan kompos lebih dahulu.
Jenis kompos yang akan diproduksi sebaiknya dibuat berdasarkan
klasifikasi harga, mulai dari yang paling murah sampai harga yang paling mahal.
Tujuannya agar setiap kebutuhan segmen pasar bisa dipenuhi. Contoh variasi jenis
kompos tersebut adalah sebagai berikut: (a) Kompos tanpa tambahan hara pupuk
lain; (b) Kompos dengan tambahan hara dari pupuk kimia seperti NPK;
(c) Kompos dengan tambahan organisme dari pupuk biologi, seperti endo-
ecorhiza dan rizobium (biofertilisasi); (d) Kompos dengan tambahan arang atau
soil conditioner lain; (e) Kompos yang diberi tambahan hara dengan kombinasi
yang lengkap atau tidak lengkap; (f) Kompos granuler.
Pemasaran kompos adalah untuk menggantikan peran pupuk kimia dalam
bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Pupuk digunakan untuk tanaman
semusim (padi, jagung, kedelai dan kacang-kacangan), tanaman sayur dan buah
(holtikultura), kelapa sawit, tebu, teh, kopi, kakao (perkebunan) serta kayu-kayu
hutan tanaman industri (kehutanan).

5.4.4.2.1. Analisis Finansial Aerobik Komposting


Asumsi yang digunakan dalam perhitungan finansial ini adalah sebagai
berikut: (a) Kapasitas produksi setelah tahun ke-2 sebesar 540 ton/tahun (1,5
ton/hari); (b) Lama kegiatan komposting 5 tahun; (c) Lokasi pembuatan kompos
di pasar sayur; (d) Jenis produk yang dihasilkan kompos asli (tanpa tambahan
hara); (f) Harga jual kompos Rp 500,00/kg; (g) Lokasi pemasaran di Kota Depok
dan sekitar.

5.4.4.2.1.1. Biaya Produksi


Kelayakan finansial proyek pembangunan pabrik kompos di pasar sayur
akan memerlukan biaya produksi, adapun contoh hasil biaya pembuatan kompos
117

dengan kapasitas produksi 540 ton per tahun atau 1,5 ton/hari adalah sebagai
berikut:
Tabel 18. Biaya pembuatan kompos 5 tahun
Uraian Harga Satuan Volume Satuan Jumlah
A. Biaya Investasi (5 tahun)
1. Mesin 20.000.000 1 Unit 20.000.000
2. Bangunan 400.000 72 M2 28.800.000
3. Bak inkubasi 450.000 7 Unit 3.150.000
4. Timbangan 1.000.000 1 Unit 1.000.000
5. Mesin jahit karung 750.000 2 Unit 1.500.000
Subtotal A 54.450.000
B.Biaya Produksi (Operasional)
1. Bahan
- Bioaktifator 6.600 13.500 Kg 89.100.000
- Bahan baku sampah pasar - 2.700 Ton -
- Serbuk gergaji 2.000 2.162,5 Karung 4.325.000
- Karung kemasan 1.000 21.600 Lembar 21.600.000
- Terpal plastik 4.000 50 m2 200.000
- Benang jahit karung 10.000 60 gulung 600.000
- Bahan bakar 4.500 1.200 liter 5.400.000
2. Peralatan Mendukung (garpu, sekop, cangkul 600.000
golok, termometer batang)
3. Tenaga Kerja
- Kepala pabrik 25.000 300 HOK 7.500.000
- Sortir 20.000 600 HOK 12.000.000
- Cacah 20.000 300 HOK 6.000.000
- Pencampuran 20.000 300 HOK 6.000.000
- Inkubasi - - - -
- Pengemasan 20.000 300 HOK 6.000.000
- Administrasi 20.000 300 HOK 6.000.000
4. Biaya ATK 150.000 1 Paket 150.000
5. Pemasaran 10 540.000 Kg 5.400.000
6.Penyusutan (10% biaya investasi) 5.445.000
Subtotal B 176.320.000
Total Biaya 230.770.000

5.4.4.2.1.2. Pendapatan dan keuntungan


Pendapatan dan keuntungan yang akan diperoleh dengan produksi 540.000
kg dan asumsi harga kompos Rp 500,00/kg adalah sebagai berikut:
Pendapatan = jumlah produksi kompos x harga kompos
= 540.000 kg x Rp 500,00/kg
= Rp 270.000.000,00
Keuntungan = pendapatan-biaya produksi
= Rp 270.000.000,00-Rp 176.320.000,00
= Rp 93.680.000,00

5.4.4.2.1.3. Analisis kelayakan usaha


Variabel yang digunakan untuk mengukur kelayakan pengusaha kompos
yaitu break even poin ( BEP) dengan perhitungan sebagai berikut:
118

a. BEP
BEP produksi = biaya produksi
harga jual
= Rp 176.320.000,00
Rp 500,00/kg

= 352.640 kg kompos
Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh nilai BEP produksi sebesar
352.640kg. Hal ini mengandung arti bahwa, produsen mencapai titik impas bila
dapat memproduksi 352.640 kg kompos dengan harga Rp 500,00/kg.

b. B/C ratio

B/C = keuntungan
Biaya produksi
B/C = 93.680.000,00 = 0,53
176.320.000,00

Nilai B/C ratio adalah 0,53 hal ini bermakna bahwa pengolahan aerobik
komposting pada saat ini belum memberikan manfaat yang sesuai dengan biaya
yang dikeluarkan. Dengan kata lain, masih rugi (Rp. 1,00 yang dikeluarkan masih
rugi sebesar Rp. 0,47).
Sesungguhnya proses pembuatan kompos secara aerobik tidak
menguntungkan, jika Pemerintah akan melakukan subsidi kompos secara aerobik
maka, subsidi tersebut harus lebih besar dari kerugian yang diderita oleh produsen
kompos.

5.4.4.2.2. Analisis Finansial Anaerobik Komposting


Asumsi yang digunakan dalam perhitungan finansial ini adalah sebagai
berikut (a) Kapasitas intake sampah sebanyak 15 m3/hari; (b) Bahan bakar 30
liter/hari; (c) Tenaga kerja 7 orang; (d) Pemeliharaan 1% komponen konstruksi,
3% komponen mekanik; (e) Harga jual listrik Rp 205,00/kWh; (f) Harga jual
kompos Rp 500,00/kg; (g) Produksi kompos 540 ton atau 540.000 kg; (h)
Produksi listrik sebesar 110.878 kWh.
119

5.4.4.2.2.1.Biaya Produksi
Teknologi dranco (dry anaerobic convertion) adalah teknologi yang
dikembangkan oleh State University of Ghent, Belgia. Produk dari proses ini
terutama biogas dan kompos. Proses pengolahan dranco tidak menimbulkan bau
karena seluruh proses dilakukan dalam reaktor tertutup. Biaya produksi
pembuatan kompos dengan Dranco. dapat dilihat Tabel 19 sebagai berikut :

Tabel 19. Biaya produksi Dranco per tahun


Uraian Satuan Nilai (Rp)
A. Investasi
2
Area penampungan, C M 3.400.000
Conveyor sortasi, 30% C, 70% M Unit 36.350.000
Mesin pencacah sampah, M Unit 43.000.000
Reaktor Dranco, 60% C, 40 % Unit 645.000.000
Tangki penampung biogas, C Unit 73.600.000
Generator gas, 50% C, 50% Unit 2.600.000
Mesin pencacah kompos, M Unit 24.250.000
Peralatan packaging, M Unit 4.400.000
Sarana dan prasarana, C Unit 118.000.000
Peralatan material handling, M Unit 4.500.000
Peralatan keselamatan kerja Unit 2.200.000
Gambar kerja Unit 6.000.000
Pemasangan dan uji coba HOK 50.000.000
Unit pembersih biogas, 50% C, 50%M Unit 65.000.000
Subtotal 1.074.900.000
B. Biaya Tetap (Fixed cost)
Pengadaan inokulum 7.500.000
Persiapan HOK
Tenaga kerja HOK 4.900.000
Bahan bakar liter 390.000
Subtotal 12.790.000
C. Biaya Variabel Tahunan (Annual Variable Cost)
Pengadaan sampah Ton 8.100.000
Tenaga Kerja HOK 58.800.000
Sumber daya HOK 2.340.000
Pengepakan HOK 21.600.000
Maintenance HOK 21.310.000
Subtotal 112.150.000
Total Biaya 1.199.840.000
Sumber : Sudrajat (2006)
Keterangan : C= Construction M= Maintenance

5.4.4.2.2.2. Pendapatan dan Keuntungan


Pendapatan yang diperoleh dengan asumsi penjualan tenaga listrik dan
kompos. Produksi tenaga listrik di asumsikan sebesar 110.878 kWh, sedangkan
kompos sebesar 540.000 kg. Pendapatan per tahun yang dihasilkan pabrik sebagai
berikut:
a. Pendapatan dari tenaga listrik
110.878 kWh x Rp 205,00/kWh Rp 22.729.990,00
120

b. Pendapatan dari kompos


540.000 kg x Rp 500,00/kg Rp 270.000.000,00
c. Total pendapatan Rp 292.729.990,00
Sementara itu, keuntungan diperoleh dari selisih antara pendapatan dengan
biaya produksi (biaya tetap dan biaya variabel), dengan rincian sebagai berikut:
Keuntungan = pendapatan – (biaya tetap + biaya variabel)
= Rp 292.729.990,00 – (Rp 12.790.000,00 + Rp 112.150.000,00)
= Rp 167.789.990,00

5.4.4.2.2.3. Analisis Kelayakan Usaha


Parameter analisis kelayakan usaha berupa break event point (BEP),
benefit cost ratio (B/C), dan payback periode (PBP) adalah sebagai berikut
(Sudrajat, 2006).
a. BEP
BEP produksi kompos = biaya produksi
Harga jual

= Rp 124.940.000,00
Rp 500,00/kg

= 249.880 kg kompos

Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh nilai BEP produksi sebesar


249.880 kg. Hal ini mengandung arti bahwa produsen mencapai titik impas bila
dapat menjual 249.880 kg kompos dengan harga Rp 500,00/kg.

b. B/C ratio

B/C = Rp 167.789.990,00 = 1,34


Rp 124.940.000,00

Nilai B/C ratio adalah 1,34, hal ini mengandung arti bahwa setiap Rp 1,00
biaya yang dikeluarkan, akan diperoleh manfaat sebesar Rp 1,34.
121

c. payback periode (PBP)

PBP = nilai investasi


Keuntungan per tahun

= Rp 1.074.900.000,00
Rp 167.789.990,00
= 6,41 tahun atau 6 tahun 5 bulan

Hasil perhitungan PBP adalah 6 tahun 5 bulan. Hal ini mengandung arti bahwa,
dalam jangka waktu 6 tahun 5 bulan, modal usaha pembuatan kompos akan
kembali.

5.5. Kondisi Sosial Budaya


Karena lokasinya yang terletak dipinggiran Kota Jakarta, kawasan sekitar
TPA Cipayung dihuni oleh komunitas Etnis Betawi yang dominan beragama
Islam dengan prosentase sebesar 95%. Tingginya penganut agama Islam juga
dicerminkan oleh banyaknya rumah ibadah mula i dari masjid hingga musholla.
Pesatnya perkembangan pembangunan di Kota Depok mendorong timbulnya
keanekaragaman budaya yang disebabkan oleh banyaknya kaum migran yang
berdatangan dan menetap di sekitar TPA. Namun demikian, kondisi tersebut tidak
memicu timbulnya konflik. Kaum pendatang dengan penduduk asli saling
berasimilasi satu sama lain membentuk sebuah budaya perkotaan.
Perkembangan wilayah menjadikan masyarakat di sekitar lokasi TPA sudah
mulai meninggalkan budaya pedesaan dan mulai mengarah kepada budaya
perkotaan. Proses perubahan budaya dipercepat dengan adanya pendatang dari
daerah lain. Budaya penduduk lokal bercampur dengan budaya pendatang, namun
masih tetap terasa budaya lokal. Adat-istiadat yang masih berjalan di antaranya
antara lain selamatan orang meninggal, selamatan mendirikan rumah, selamatan
menjelang tanam padi, khitanan, pernikahan, dan ibu hamil. Sebelum adanya
perubahan kondisi budaya, setiap bulan Sya’ban biasanya diadakan pertunjukan
topeng Betawi. Pertunjukan topeng tersebut digelar di sekitar lokasi TPA. Namun
demikian, menurut penuturan penduduk, sejak 1990-an tradisi pertunjukan topeng
122

Betawi dihentikan seiring dengan meningkatnya pemahaman penduduk atas nilai-


nilai keislaman.
Hasil penelitian menunjukkan budaya pemeliharaan lingkungan masih sangat
rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil survey rumah tangga yang mendapat
pelayanan pengangkutan sampah di Kota Depok, hampir seluruhnya (98%) tidak
menerapkan pola 3R, sedangkan rumah tangga yang tidak mendapat pelayanan
pengangkutan sampah sebanyak 28% di antaranya masih membuang sampah ke
jalan atau ke sungai/selokan, 68% membuangnya ke tanah/lahan kosong.
Buana (2004) mengemukakan warga di Kelurahan Cisalak, Kecamatan
Cimanggis, telah melakukan kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dan PT. Roce dalam pembuatan kompos. selain itu Kelurahan Depok
Jaya Kecamatan Pancoran Mas di Jalan Mawar juga telah telah melakukan
kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk membuat kompos. Kegiatan di dua
Kelurahan tersebut tidak terlalu signifikan dengan jumlah sampah yang ada di
Kota Depok, meskipun demikian hal tersebut dapat menjadi contoh bagi
Kelurahan lain.
Hal yang terpenting yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah
penegakan peraturan membuang sampah disembarangan tempat adalah melanggar
hukum. Keraaf (2004) mengemukakan perlu adanya kesadaran kultur dari tingkat
pejabat dan masyarakat yang berpangkal pada ajaran agama. Sementara itu etika
lingkungan dilingkungan dikembalikan kepada khitahnya, manusia sebagai
makhluk sosial harus beretika biosentrisme dan ekosentrisme, dalam artian
manusia harus dipandang dan dipahami sebagai makhluk biologis dan makhluk
ekologis. Dengan cara seperti ini manusia dapat meyakini bahwa kebersihan akan
memperoleh pahala yang melanggar akan mendapat dosa, untuk mendukung
kegiatan tersebut peran ulama dan tokoh masyarakat sangat diperlukan.

5.6. Kesehatan Masyarakat


Hasil penelitian menunjukkan penyakit yang sering diderita responden di
sekitar kawasan TPA Cipayung yaitu diare, demam, infeksi kulit, ISPA, sakit
kepala, hypertensi, tipus, gatal-gatal dan kembung. Responden disekitar TPA
sebagian besar jika sakit mereka pergi berobat ke puskesmas, dokter, klinik, beli
123

obat di warung dan tidak berobat. Upaya untuk meningkatkan kesehatan


masyarakat di sekitar lokasi TPA Cipayung dengan meningkatkan pelayanan
kesehatan termasuk di antaranya adalah penyediaan fasilitas kesehatan di sekitar
lokasi TPA Cipayung.
Pengelolaan sampah yang kurang baik, selain menimbulkan penyakit, juga
dapat menimbulkan efek terhadap kualitas sosial lingkungan, terutama penurunan
estetika yang ditujukan adanya kesan tidak bersih, bau. Hasil penelitian ini sesuai
dengan pernyataan Slamet (2007) yang mengemukakan bahwa pengaruh terhadap
kesehatan dapat dikelompokkan menjadi efek yang langsung dan tidak langsung.
Efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak yang langsung dengan
sampah tersebut misalnya sampah beracun yang berbahaya terhadap tubuh,
karsinogenik dan teratogenik. Selain itu ada pula sampah yang mengandung
kuman patogen, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Sampah tersebut dapat
berasal dari sampah rumah tangga selain sampah industri.
Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses
pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. Dekomposisi sampah
biasanya terjadi secara aerobik, dilanjutkan secara fakultatif, dan secara anaerobik
apabila oksigen telah habis. Dekomposisi anaerobik akan menghasilkan cairan
yang disebut lindi beserta gas. Lindi ini adalah cairan yang mengandung zat padat
tersuspensi yang sangat halus dan hasil penguraian mikroba; biasanya terdiri atas
Ca, Mg, Na, K, Fe, klorida, sulfat, phosfat, Zn, Ni, CO2, H2O, N2, NH3, dan H2S,
tergantung dari kualitas sampah, maka di dalam lindi bisa juga didapat mikroba
patogen, logam berat dan zat lainnya yang berbahaya. Efek tidak langsung lainnya
berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Sampah
jika ditimbun secara sembarangan dapat dijadikan sarang lalat dan tikus. Lalat
merupakan vektor berbagai penyakit perut. Demikian halnya dengan tikus, selain
merusak harta benda masyarakat, tikus juga sering membawa pijal yang dapat
menyebarkan penyakit pest.
Slamet (2007) mengemukakan bahwa penyebab penyakit bawaan sampah
selain menyebabkan penyakit di dalam air, juga dapat menyebabkan efek
langsung terhadap masyarakat. Hal tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian
124

besar, yaitu: penyebab hidup, yang menyebabkan penyakit menular dan penyebab
tidak hidup, yang menyebabkan penyakit tidak menular. Peran air sebagai
penyebab penyakit menular dapat bermacam-macam di antaranya adalah air
sebagai penyebar mikroba patogen, air sebagai sarang insekta penyebar penyakit,
jumlah air bersih yang tersedia tidak mencukup, sehingga orang tidak dapat
membersih dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes sementara
Penyakit menular yang disebarkan oleh air secara langsung di masyarakat
seringkali dinyatakan sebagai penyakit bawaan air atau water-borne diseases.
Penyakit-penyakit tersebut hanya dapat menyebar, apabila mikroba penyebabnya
dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Jenis mikroba lain yang dapat menyebar lewat air yaitu
virus, bakteri, protozoa dan metazoa.

5.7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di sekitar kawasan TPA
Cipayung didapat beberapa variabel kimia yang memiliki nilai di atas NAB yang
diizinkan, di antaranya adala h: Besi, Mangan, Nitrit, BOD5, COD, DO, Seng, dan
Fenol. Berdasarkan pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik,
variabel BOD dan COD termasuk ke dalam tingkat pencemaran sedang. Hasil uji
pemeriksaan Coliform kualitas air dan BAP masih di bawah nilai NAB. Dampak
positif yang ditimbulkan dari kegiatan pengelolaan sampah di TPA Cipayung
antara lain memberikan manfaat ekonomi berupa pembukaan kesempatan kerja
dan berusaha bagi warga sekitar, dalam bentuk sebagai karyawan di TPA, supir,
dan kernet, pesapon, pemulung, dan usaha pengumpul barang bekas serta usaha
warung makanan kecil dan adanya perbaikan akses jalan di sekitar lokasi TPA.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan TPA Cipayung di antaranya
adalah: bau, banyak lalat, macet, pencemaran air, lalu lintas truk sampah dan
ceceran sampah, abrasi, dan perpindahan aliran sungai Pesanggrahan. Rendahnya
harga tanah dan bangunan di sekitar TPA. Kesehatan masyarakat di sekitar
kawasan TPA Cipayung umumnya menderita penyakit diare, demam, infeksi kulit
dan Ispa. Penyakit lainnya yang diderita adalah sakit kepala, hipertensi, tipus,
gatal-gatal dan kembung.
125

Produk hasil pengolahan sampah (kompos, tenaga listrik, dan produk daur
ulang) akan terasa sangat bermanfaat jika mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
Oleh sebab itu, untuk mengetahui kelayakan usaha pemasaran produk diperlukan
adanya analisis finansial suatu usaha. Pada penelitian ini, proses pembuatan
kompos secara aerobik tidak menguntungkan. Oleh karena itu, apabila Pemerintah
akan melakukan subsidi kompos secara aerobik maka, subsidi tersebut harus lebih
besar dari kerugian yang diderita oleh produsen kompos.

5.8. Daftar Pustaka

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Universitas Negeri Jakarta. Andi.


Yogyakarta.

Ancok, D. 2008. Mengembangkan Perilaku Positif dalam Pengelolaan Sampah


dan Air Limbah.UGM Press. Yogyakarta.

Anonymous. 2004. Panduan Umum Subsidi Kompos (Edisi Revisi Januari 2004).
Team Teknis Kompos Nasional. Western Java Environmental Management
Project (WJEMP). 86 pp.

Bintoro, H.M.H. 2008. Sampah Kota, Kompos dan Banjir. IPB Press. Bogor.

Buana. 2004. Bergulat Melawan Sampah. Dinas Kebersihan dan Pertamanan


Pemerintah Kota Depok. Depok.

Budhiyono, B.E. 1992. Compell- A Nursery Pot with Controlled Release


Nutrients for Nursery of Forest Plants. Technical Note submitted to the
Min ister of Forestry. Ministry of Forestry. 24 pp.

Bunasor, S. 2003. Keterkaitan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Pembangunan


Ekonomi dan Manajemen Lingkungan. Program Studi Ekonomi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Darmono. 2001. Lingkungan hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan


Tosikologi Senyawa Logam. UI-Press. Jakarta.
Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Hill, M.K. 2004. Understanding Environmental Pollution: A Primer.Ed ke-2.


Cambridge University. Cambridge.

Keraf, A. S. 2004. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.


126

Khitolia, R.K. 2004. Environmental Pollution: Management & Control for


Sustainable Developmen. S.Chand & Company LTD. Ram Nagar. New
Delhi.

Kordi, K. M.G.H dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air: dalam
Budi Daya Perairan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Royadi. 2006. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Paska operasi Berbasis


Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Disertasi. Program
Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Sawyer, C.N. P.L. McCarty and G.F. Parkin. 2003. Chemistry for Environmental
Engineering and Science. Ed ke-5. New York: McGraw-Hill.

Slamet, J.S. 2007. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta.

Soerjani, M. R. R. Ahmad. Munir. 2008. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan


Kependudukan dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta.

Soeratmo, F.G. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Sudrajat, H.R. 2006. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya. Jakarta.

Tebbut, T.H.Y. 1992. Principle of Water Quality Contol. Fourth edition.


Pergamon Press. Oxford. 251p.

Ulloa, J.B. J.H. Van Weerd and J.A.J Verreth. 2003. Tropical Agricultural
Residues and Their Potential Uses in Fish Feeds: the Costa Rican Situation.
87-97. CalRecovery, Inc. CA. USA.

Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi.


Yogyakarta.

Yustina, I. dan Sudrajat, A. 2007. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang


Bermartabat. Pustaka Bangsa Press. Bogor.
VI. KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH

Abstrak
Upaya pengelolaan sampah telah dilakukan oleh Pemda Kota Depok.
Dalam melaksanakan pelayanan pada sektor persampahan sangat diperlukan
kerjasama dari seluruh elemen pemangku kepentingan yang terkait dala m
pengelolaan sampah, sehingga permasalahan sampah tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat di sekitar TPA Cipayung.
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan rancangan strategi kebijakan
pengelolaan TPA Cipayung di Kota Depok. Data hasil wawancara dengan pakar
mengenai kebijakan pengelolaan TPA Cipayung diolah dengan metode AHP.
Tahapan yang dilakukan dalam metode AHP meliputi: identifikasi sistem,
penyusunan struktur hirarki, membuat matriks perbandingan berpasangan yang
menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan
yang setingkat di atasnya, menghitung matriks pendapat individu, menghitung
pendapat gabungan, pengolahan vertikal, dan revisi pendapat.Untuk menganalisis
data menggunakan komputer dengan bantuan program expert choice 2000.
Hasil analisis AHP terhadap kebijakan pengelolaan TPA Cipayung di Kota Depok
yang menjadi prioritas pertama adalah optimalisasi pengelolaan sampah, prioritas
kedua optimalisasi petugas kebersihan, prioritas ketiga adalah peningkatan
partisipasi pemangku kepentingan, dan prioritas terakhir adalah penegakan
hukum.

Kata-kata kunci: kebijakan, pengelolaan sampah, pemangku kepentingan, strategi

6.1. Latar Belakang


Upaya pengelolaan persampahan dalam beberapa tahun terakhir ini tidak
lepas dari dampak perubahan tatanan Pemerintahan di Indonesia dalam
era reformasi, otonomi daerah serta krisis ekonomi yang telah melanda seluruh
wilayah di Indonesia. Perubahan arah kebijakan pembangunan infrastruktur
perkotaan, menguatnya ego otonomi, menurunnya kapasitas pembiayaan daerah,
menurunnya daya beli dan kepedulian masyarakat dalam menjaga kebersihan
lingkungan merupakan pemicu terjadinya degradasi kualitas lingkungan perkotaan
termasuk masalah kebersihan kota.
Pengelolaan sampah saat ini hampir seluruhnya berakhir di TPA sehingga
menyebabkan beban TPA menjadi sangat berat, selain diperlukannya lahan yang
cukup luas, juga fasilitas perlindungan lingkungan yang sangat mahal.
Hal tersebut disebabkan karena belum dilakukannya upaya pengurangan
volume sampah secara sungguh-sungguh sejak dari sumbernya, termasuk
128

pemisahan sampah B3 (bahan beracun berbahaya) rumah tangga. Mengacu pada


berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia maka Pemerintah
harus menyediakan pelayanan sistem pengelolaan persampahan yang mengikuti
kaidah-kaidah teknis, ekonomis, dan lingkungan.

6.2. Metode Analisis AHP


Penentuan priotitas alternatif kebijakan dalam pengelolaan TPA Cipayung
dengan menggunakan metode AHP melalui wawancara dengan para pemangku
kepentingan. Ha-hal yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah
dalam AHP adalah dekomposisi, pemutusan komparatif, sintesis prioritas dan
konsistensi logika. Adapun tahapan pada pendekatan AHP meliputi:
a) Identifikasi sistem, bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan
menentukan solusi yang diinginkan;
b) Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada
tingkatan kriteria paling bawah;
c) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang
setingkat di atasnya. Perbandingan berpasangan didasari oleh pemutusan dari
pengambilan keputusan yang dilakukan dengan cara menilai tingkat
kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya;
d) Menghitung matriks pendapat individu;
e) Menghitung pendapat gabungan;
f) Pengolahan vertikal;
g) Revisi pendapat.
Pada metode AHP dilakukan pembobotan nilai yang berpengaruh
terhadap pemilihan kriteria, berdasarkan peran pemangku kepentingan yang
meliputi pemangku kepentingan ekonomi, sosial, dan ekonomi. Pembobotan
setiap level didasarkan pada hasil wawancara dengan pemangku kepentingan yang
terlibat dalam penentuan alternatif kebijakan pengelolaan TPA Cipayung. Pe-
129

mangku kepentingan yang terkait adalah Pemda, Swasta, LSM, Lembaga Peneliti,
dan Masyarakat.

6.3. Hasil Analisis Data Penilaian Tingkat Kepentingan


Hasil analisis data penilaian tingkat kepentingan masing-masing kelompok
pemangku kepentingan (level 2) terhadap aspek (level 3) data selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Nilai prioritas kelompok pemangku kepentingan


No Pemangku kepentingan Bobot kepentingan Prioritas
1 Pemda 0,460 1
2 Swasta 0,248 2
3 Lembaga Peneliti dan LSM 0,109 3
4 Masyarakat 0,074 4

Dari hasil analisis pendapat menggunakan metode AHP dapat diketahui


bahwa pemangku kepentingan yang paling berpengaruh terhadap penentuan
alternatif kebijakan pengelolaan lingkungan TPA Cipayung di Kota Depok adalah
Pemda dengan bobot nilai 0,460, pemangku kepentingan yang menjadi prioritas
kedua adalah swasta dengan bobot nilai 0,248, pemangku kepentingan berikutnya
adalah Lembaga Peneliti dan LSM dengan bobot nilai 0,109 dan pemangku
kepentingan yang mempunyai peran rendah adalah masyarakat dengan bobot nilai
0,074 (Tabel 20). Berdasarkan hasil pembobotan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Pemda adalah pemangku kepentingan yang mempunyai tingkat
kepentingan paling tinggi terhadap penentuan alternatif kebijakan pengelolaan
TPA Cipayung di Kota Depok. Hal ini disebabkan kenyataannya di lapangan
dilandasi dengan hukum, serta pengaruh dan peran dari pemangku kepentingan
Pemda mengacu pada UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan diperkuat
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu,
Pemda Kota Depok memiliki kekuasaan penuh untuk melakukan pengelolaan
TPA Cipayung. Swasta atau dunia usaha merupakan salah satu pemangku
130

kepentingan yang mempunyai peran terhadap pengelolaan TPA Cipayung. Swasta


mempunyai peran sebagai pengelola sampah dan penggalian sumber dana untuk
investasi instalasi yang berkaitan dengan proses pengolahan sampah, seperti
geomembran untuk lapisan dasar kedap air di TPA, incinerator berteknologi
ramah lingkungan.
Di negara-negara maju, seperti Uni-Eropa, Kanada, Amerika Serikat,
Australia, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, pengelolaan sampah sudah dimulai
dilakukan dari tingkat pembuatan produk yaitu produsen melalui penerapan
EPR (extended producer responsibilities) yang diwajibkan oleh Pemerintahnya.
EPR merupakan suatu konsep yang meminta para produsen barang untuk secara
langsung bertanggungjawab atas produk yang telah diedarkan paska pakai.
Produsen diminta membuat produk yang tahan lama (durable) serta dapat dikelola
maupun dimanfaatkan kembali. Dengan konsep EPR bukanlah tidak mungkin
masalah sampah dapat sedikit teratasi walaupun diperlukan aktualisasi maksimal
dari setiap negara, termasuk negara berkembang. Tujuannya agar masalah sampah
tidak berlangsung secara berkepanjangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa swasta mempunyi peran terhadap
pengelolaan sampah, seperti pernyataan Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial
(2005) mengemukakan bahwa tanggungjawab sosial dunia usaha telah menjadi
suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara Pemerintah, masyarakat, dan
swasta atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama.
Tanggungjawab sosial swasta di antaranya dapat memberikan implikasi positif
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan
pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan
dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerjasama antara masyarakat,
Pemerintah dengan swasta. Hasil penelitian ini didukung juga oleh pernyataan
Santoso (2001) mengemukakan bahwa kebijakan dunia usaha di bidang
lingkungan hidup dapat diidentifikasikan dalam berbagai fase, yaitu fase reaktif,
menerima, konstruktif dan fase proaktif, untuk mendorong dunia usaha memiliki
proaktivisme terhadap lingkungan dengan pendekatan pemberian tekanan,
sangat dipengaruhi oleh berbagai pemangku kepentingan eksternal dalam
131

mewujudkan tekanan. Tanpa adanya tekanan dunia, usaha tidak akan terpacu
untuk melakukan proaktivisme lingkungan.
Hasil penelitian terhadap lembaga peneliti dan LSM menunjukkan kedua
lembaga tersebut mempunyai peran dalam hal melakukan pemantauan dan
pengawasan di lapangan, baik terhadap kualitas lingkungan, sosial ekonomi
masyarakat di sekitar TPA Cipayung serta usaha-usaha penegakan hukum
lingkungan. Pemantauan ditujukan untuk memantau kegiatan di TPA Cipayung
sehingga akan mendapatkan informasi yang jelas jika terjadi masalah di kawasan
TPA Cipayung maupun bagaimana keadaan lingkungan TPA Cipayung untuk saat
sekarang. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Santosa (2001)
mengemukakan bahwa keberadaan LSM lingkungan dilandasi suatu kepedulian
tentang suatu masalah lingkungan tertentu, disamping itu hak hukum dari LSM
sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dijamin secara tegas ber-
dasarkan UU No. 4 pasal 19 Tahun 1982.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat merupakan penghasil
sampah, karenanya masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang
mempunyai peran penting dalam pengelolaan sampah. Masyarakat sangat penting
diberdayakan agar mampu melakukan berbagai upaya penanganan yang
bermanfaat tentang pengelolaan sampah secara umum. Hasil penelitian ini sesuai
dengan pernyataan Siahaan (2004) yaitu masyarakat merupakan sumberdaya yang
penting bagi tujuan pengelolaan lingkungan. Bukan saja diharapkan sebagai
sumberdaya yang bisa didayagunakan untuk pembinaan lingkungan, tetapi lebih
dari pada itu. Komponen masyarakat juga bisa memberikan alternatif penting bagi
lingkungan hidup seutuhnya. Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPL) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat cukup layak dalam proporsi
pengelolaan lingkungan. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang
berkenaan dengan peran serta masyarakat tersebut seperti yang terdapat pada
pasal 5 hingga pasal 7 UUPL.
Koordinasi dan kerjasama yang harmonis dengan semua pemangku
kepentingan sangat diperlukan agar tidak terjadi konflik di TPA Cipayung.
Adanya koordinasi dan kerjasama ini akan menghasilkan suatu kebijakan yang
132

menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan


TPA Cipayung di Kota Depok.

Tabel 21. Nilai pembobotan pada aspek (level 3) masing-masing kelompok


pemangku kepentingan

No Pemangku kepentingan (Level 2) Aspek (level 3) Bobot (nilai)


1 Pemda Ekologi 0,540
Sosial 0,163
Ekonomi 0,297

2 LSM Ekologi 0,493


Sosial 0,311
Ekonomi 0,196

3 Lembaga Peneliti Ekologi 0,625


Sosial 0,136
Ekonomi 0,238

4 Swasta Ekologi 0,311

Ekonomi 0,493

5 Masyarakat Ekologi 0,528


Sosial 0,140
Ekonomi 0,333

Hasil analisis gabungan pendapat seluruh pemangku kepentingan terhadap


level aspek (Tabel 21) menggunakan program AHP menunjukkan tingkat
kepentingan ekologi merupakan prioritas pertama yang dipilih oleh semua
pemangku kepentingan dalam pengelolaan TPA emda mempunyai bobot nilai
0,540, LSM mempunyai bobot nilai 0,493, lembaga peneliti mempunyai bobot
nilai 0,625, dan masyarakat mempunyai bobot nilai 0,528. Pemangku kepentingan
wasta memilih ekonomi sebagai prioritas pertama mempunyai bobot nilai 0,493.

Tabel 22. Nilai gabungan pembobotan pada level aspek

No Aspek (level 3) Bobot (nilai) Prioritas

1 Ekologi 0,480 1
2 Ekonomi 0,335 2
3 Sosial 0,185 3
133

Melihat hubungan antara aspek ekologi, ekonomi dan sosial (Tabel 22),
maka dibuat diagram layang-layang hasil penilaian gabungan (Gambar 14).
Grafik hubungan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial berdasarkan penilaian
pemangku kepentingan, pengelolaan TPA Cipayung dan berbagai alternatif
kebijakan menunjukkan bahwa aspek ekologi menempati urutan pertama dengan
bobot nilai 0,480, urutan kedua aspek ekonomi dengan bobot nilai 0,335 dan
aspek yang terakhir adalah sosial dengan bobot nilai 0,185. Hasil analisis tersebut
menunjukkan pengelolaan TPA Cipayung cenderung mementingkan aspek
ekologi untuk kepentingan pengelolaan lingkungan di wilayah TPA Cipayung dan
berusaha mencegah terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar kawasan
TPA Cipayung, dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung juga tetap
mementingkan aspek ekonomi dan sosial agar mendatangkan manfaat bagi Pemda
Kota Depok dan masyarakat di sekitar kawasan TPA, sehingga tidak
menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitar kawasan TPA Cipayung yang
sering mendapatkan dampak dari kegiatan pengelolaan TPA Cipayung.

Ekologi
0.5 0.48
0.4
0.3
0.2
0.1
0

Sosial Ekonomi
0.185 0.335

Gambar 14. Grafik Hubungan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial

6.4. Alternatif Kebijakan Pengelolaan TPA Cipayung


Usaha mewujudkan penerapan kebijakan pengelolaan TPA Cipayung
harus dilakukan secara terpadu, dimulai dari dukungan berbagai perangkat hukum
dan peraturan Perundang-undangan. Kebijakan pengelolaan sampah dapat
memberikan kepastian hukum dalam perencanaan dan pemanfaatan bagi
Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat (Budiharsono, 2001). Menurut Helmi (2002)
134

dasar kebijakan baru dalam pengelolan TPA bersifat partisipatif, desentralisasi


dan mengacu pada prinsip-prinsip efisiensi ekonomi, keadilan dan keberlanjutan.
Hasil analisis AHP diperoleh beberapa alternatif kebijakan ( Tabel 23)

Tabel 23. Nilai prioritas alternatif kebijakan pengelolaan TPA Cipayung


No Alternatif Bobot Prioritas
1 Optimalisasi pengelolaan sampah 0,452 1
2 Optimalisasi petugas kebersihan 0,260 2
3 Peningkatan partisipasi pakar 0,167 3
4 Penegakan hukum 0,121 4

Optimalisasi pengelolaan sampah merupakan prioritas pertama dengan


nilai pembobotan 0,425, prioritas kedua adalah optimalisasi petugas kebersihan
dengan nilai pembobotan 0,260, prioritas ketiga yaitu peningkatan partisipasi
pemangku kepentingan dengan nilai pembobotan 0,167 dan prioritas terakhir
penegakan hukum dengan nilai pembobotan 0,121 (Tabel 23).
Optimalisasi pengelolaan sampah menjadi prioritas utama karena pening-
katan laju timbulan sampah perkotaan (2 – 4 %/tahun) yang tidak diikuti dengan
ketersediaan sarana dan prasarana persampahan yang memadai. Hal tersebut
berdampak pada pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke
tahun, dengan selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban
pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA (tempat pemprosesan akhir).
Meningkatnya laju pertumbuhan industri dan konsumsi masyarakat secara umum
berdampak pula pada perubahan komposisi dan karakteristik sampah yang
dihasilkan terutama semakin banyaknya penggunaan plastik, kertas, produk-
produk kemasan dan komponen bahan yang mengandung B3 (bahan beracun
berbahaya) serta non biodegradable. Diperlukan pengoptimalisasian pengelolaan
sampah.
Tingkat pelayanan sampah secara nasional saat ini hanya mencapai kurang
lebih 40%, dengan kualitas pelayanan yang belum memadai. Kondisi tersebut
masih jauh dari standar pelayanan minim al yang telah ditetapkan yaitu 60%
dengan pelayanan pengumpulan/pengangkutan minimal seminggu 2 kali (BPS,
135

2000). Masyarakat yang tidak mendapatkan akses pelayanan serta tidak cukup
memiliki lahan untuk proses pengolahan setempat cenderung membuang
sampahnya disembarang tempat dan melakukan pembakaran sampah secara
terbuka. Pendekatan atau paradigma baru harus dipahami dan diikuti yaitu sampah
dapat dikurangi, digunakan kembali dan atau didaur ulang; atau yang sering
dikenal dengan istilah 3R (reduce, reuse, recycle). Hal ini sebenarnya bukan
sesuatu yang baru karena sudah banyak dilakukan oleh negara maju dan berhasil
meningkatkan efisiensi pengelolaan yang signifikan, dengan mengurangi sampah
sejak di sumbernya maka beban pengelolaan kota akan dapat dikurangi dan
anggaran serta fasilitas akan dapat semakin efisien untuk dimanfaatkan.
Pencemaran dapat dikurangi lebih rendah lagi, sehingga kelestarian alam dan
lingkungan tetap terjaga. Strategi pengelolaan sampah yang dapat dilaksanakan di
antaranya adalah: 1) pengurangan sampah dari sumbernya; dan 2) peningkatan
pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan.
1) Pengurangan sampah dari sumbernya
Mengurangi sampah dari sumbernya merupakan aplikasi dalam pengelolaan
sampah. Tujuan aplikasi tersebut untuk mengurangi volume sampah yang
harus diangkut dan dibuang ke TPA dengan memanfaatkan semaksimal
mungkin material yang dapat didaur ulang. Pengurangan sampah tersebut
selain dapat menghemat lahan TPA juga dapat mengurangi jumlah angkutan
sampah dan menghasilkan kualitas bahan daur ulang yang cukup baik karena
tidak tercampur dengan sampah lain. Potensi pengurangan sampah dari
sumbernya dapat mencapai 50% dari total sampah yang dihasilkan.
Pengurangan sampah dapat dilakukan dengan beberapa langkah, di
antaranya adalah: a) peningkatan pemahaman masyarakat tentang 3R; b)
penerapan sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan 3R; c)
mendorong koordinasi lintas sektor terutama perindustrian dan perdagangan.
a) Peningkatan pemahaman masyarakat tentang 3R
Pengurangan sampah dapat dilakukan dengan cara meningkatkan
pemahaman masyarakat akan upaya 3R (reduce, reuse, recycle) dan
pengamanan sampah B3 (bahan beracun berbahaya) rumah tangga.
136

Mengingat upaya pengurangan volume sampah di sumbernya sangat erat


kaitannya dengan perilaku masyarakat. Oleh sebab itu, dip erlukan suatu
upaya penyadaran dan peningkatan pemahaman untuk mendorong perubahan
perilaku. Upaya tersebut dapat dilakukan secara berjenjang melalui promosi,
sehingga dapat memberi gambaran mengenai nilai pengurangan sampah dari
sumber dan dampaknya bagi kualitas kesehatan dan lingkungan. Kampanye
yang terus menerus dilakukan untuk membangun suatu komitmen sosial.
Pengurangan sampah di sumbernya dilakukan melalui mekanisme 3R, yaitu
reduce (R1), reuse (R2) dan recycle (R3). Reduce (R1) adalah upaya yang
lebih menitik beratkan pada pengurangan pola hidup konsumtif serta
senantiasa menggunakan bahan tidak sekali pakai yang ramah lingkungan.
Reuse (R2) adalah upaya memanfaatkan bahan sampah melalui penggunaan
yang berulang agar tidak langsung menjadi sampah. Recycle (R3) adalah
upaya penanganan sampah yang keluar dari rumah, perlu dilakukan
pemilahan dan pemanfaatan/pengolahan secara tempat. Selain itu, diperlukan
juga penanganan sampah B3 rumah tangga (lampu neon, kemasan pestisida,
dan batu batere) secara khusus. Tindak lanjut dari strategi tersebut adalah
pelaksanaan promosi dan kampanye 3R secara luas melalui berbagai media
massa untuk menjangkau masyarakat dari berbagai kalangan.
b) Penerapan sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan 3R
Upaya pengurangan sampah di sumbernya perlu didukung dengan
pemberian insentif yang dapat mendorong masyarakat untuk senantiasa
melakukan kegiatan 3R. Insentif tersebut antara lain dapat berupa
pengurangan retribusi sampah, pemberian kupon belanja pengganti kantong
plastik, dan penghargaan tingkat Kelurahan. Penerapan mekanisme in-
sentif/disinsentif tersebut harus diawali dengan kesiapan sistem peng-elolaan
sampah kota yang memadai.
c) Mendorong koordinasi lintas sektor terutama perindustrian & per-
dagangan
Keterlibatan sektor industri dan perdagangan akan sangat signifikan
dalam upaya reduksi sampah kemasan oleh masyarakat, sedangkan
137

disinsentif juga perlu diperlakukan untuk mendorong masyarakat tidak me-


lakukan hal-hal di luar ketentuan. Disinsentif antara lain dapat berupa
peringatan, dan peningkatan biaya pengumpulan/pengangkutan untuk jenis
sampah tercampur.
2) Peningkatan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan
Pada saat sekarang tingkat pelayanan masih 40%, menyebabkan banyak
sampah di TPS tidak terangkut sehingga masyarakat membuang sampah ke
lahan kosong atau sungai. Anggota masyarakat banyak yang tidak men-
dapatkan pelayanan pengumpulan sampah secara memadai. Sementara itu,
berbagai komitmen internasional sudah disepakati untuk mendorong pe-
ningkatan pelayanan yang el bih tinggi kepada masyarakat. Beberapa hal
yang dapat dilakukan untuk peningkatan pelayanan dan kualitas pengelolaan
di antaranya adalah:
a). Optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana persampahan
Rendahnya tingkat pelayanan pengumpulan sampah sering diakibatkan
oleh rendahnya tingkat pemanfaatan armada pengangkut. Banyak Kota-kota
yang masih mengoperasikan truk sampah dengan ritasi tidak efisien
(tidak lebih dari 2 rit/hari), sehingga diperlukan upaya peningkatkan ritasi
kendaraan pengangkut dan peralatan lainnya sehingga lebih banyak sampah
terangkut dan lebih banyak masyarakat dapat terlayani.
b) Meningkatkan pelayanan secara terencana dan berkeadilan
Pelayanan juga diharapkan dapat disediakan dengan jangkauan yang
memberikan rasa keadilan. Di samping pusat Kota yang mendapat prioritas,
pelayanan juga tetap harus disediakan bagi masyarakat kelas ekonomi
rendah agar mereka juga dapat menikmati lingkungan pemukiman yang
bersih dan sehat. Perluasan jangkauan pelayanan juga harus dilakukan
secara terencana dan terprogram dengan baik dengan mempertimbangkan
kebutuhan dan ketersediaan sumberdaya.
138

c) Meningkatkan kapasitas sarana persampahan sesuai sasaran pelayanan


Batas pemanfaatan optimal telah tercapai akan tetapi masih dibutuhkan
peningkatan cakupan pelayanan, maka akan diperlukan adanya peningkatan
kapasitas sarana persampahan khususnya armada pengangkutan.
Di negara-negara maju, seperti Uni-Eropa, Kanada, Amerika Serikat,
Australia, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang, pengelolaan sampah sudah
dimulai dari tingkat pembuatan produk yaitu produsen melalui penerapan
EPR (extended producer responsibilities) yang diwajibkan oleh
Pemerintahnya. EPR merupakan suatu konsep yang meminta para produsen
barang untuk secara langsung bertanggungjawab atas produk yang telah
diedarkan paska pakai. Produsen diminta membuat produk yang tahan lama
(durable) serta dapat dikelola maupun dimanfaatkan kembali. Dengan
adanya konsep EPR, bukanlah tidak mungkin masalah sampah dapat sedikit
teratasi walaupun diperlukan aktualisasi maksimal di setiap negara, termasuk
negara berkembang. Tujuannya agar masalah sampah tidak ber-langsung
secara berkepanjangan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ventosa (2003) dengan melakukan
penerapan Sistem Feebate terhadap pengelolaan limbah lingkungan perkotaan
yang ramah lingkungan. Implementasi dari Sistem Feebate yang diusulkan akan
sangat membantu mendorong meningkatkan kemampuan manajemen pengelolaan
limbah perkotaan. Sistem Feebate berisi peraturan tentang denda terhadap
manajemen perusahaan yang tidak mengelola limbah dan polusi yang dihasilkan.
Secara ekonomis harus bertanggungjawab terhadap kegiatan yang merusak
lingkungan. Perusahaan diharapkan mampu meningkatkan kapasitas diri.
Oleh karena itu, pihak perusahaan diharapkan menciptakan hal yang dapat
mendorong untuk meningkatkan pengendalian pencemaran terhadap lingkungan.
Hasil analisis AHP yang menjadi prioritas kedua adalah optimalisasi
petugas kebersihan dengan bobot nilai 0,260. Dinas Kebersihan dan Pertamanan
(2004) mengemukakan sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu
masalah yang dihadapi DKP Kota Depok. Lemahnya sumberdaya manusia
membuat fungsi perencanaan dan pengendalian pengelolaan sampah menjadi
139

sangat lemah. Kegiatan pengembangan dan pengelolaan sumberdaya manusia


menjadi sangat penting dan strategis seiring dengan tuntutan profesionalisme di
era otonomi daerah saat ini. DKP Kota Depok sebagai penanggungjawab pada
pengelolaan sampah sebagian besar personilnya mempunyai kualifikasi rendah
dan tidak mempunyai keahlian khusus. Pengelolaan sampah memang lebih banyak
mengandalkan tenaga atau otot. Yang tergabung dalam kelompok tersebut adalah
para pesapon, penarik gerobak, kernet, supir truk dan petugas retribusi. Meskipun
demikian mereka merupakan ujung tombak dalam pelayanan terhadap masyarakat.
Agar mereka dapat bekerja secara efektif dan maksimal, diperlukan pengawasan
dan pengendalian secara profesional oleh para staf inti dari DKP. Per-
masalahannya, ternyata banyak para staf DKP tidak mempunyai kualifikasi
khusus untuk melakukan manajemen sumberdaya manusia, sangat sedikit tenaga
atau pegawai profesional di DKP yang mampu mengelola sumberdaya yang ada.
Permasalahan lainnya yang ada di TPA Cipayung Kota Depok adalah
banyak sampah yang dibuang di tengah jalan atau working road di dalam TPA,
akibat adanya kerjasama antara pemulung dengan supir truk, hal ini menunjukkan
betapa lemahnya pengawasan di sektor sumberdaya, akibat yang ditimbulkan oleh
kerjasama antara pemulung dan supir truk membuat proses pengelolaan sampah di
TPA menjadi terhambat dan merusak infrastruktur di TPA Cipayung. Per-
masalahan lainnya adalah tidak disiplinnya supir dalam memarkirkan dump truk
sehingga mengakibatkan tanggul untuk selokan di depan gerbang TPA amblas
karena tidak kuat menahan beban. Untuk mencegah hal tersebut sangat diperlukan
sumberdaya manusia yang benar-benar melakukan tugasnya dengan baik,
sehingga semua permasalahan tersebut dapat dihindari dan pengelolaan sampah di
TPA dapat berjalan maksimal. Jika permasalahan sumberdaya manusia tidak
segera dibenahi, dikhawatirkan pengelolaan sampah di Kota Depok tidak pernah
maju dan bertambah tidak tertata. Padahal dana investasi dan operasional yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Depok setiap tahunnya selalu bertambah.
Peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola persampahan dan pro-
fesionalisme sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur utama yang dapat
menggerakkan roda manajemen persampahan secara menyeluruh. Peningkatan
140

kualitas SDM menjadi sangat penting untuk terselenggaranya suatu sistem


pengelolaan persampahan yang berkelanjutan. Lembaga atau instansi pengelola
persampahan merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah
dari sumber sampai TPA. Kondisi kebersihan suatu kota atau wilayah merupakan
output dari rangkaian pekerjaan manjemen pengelolaan persampahan yang
keberhasilannya juga ditentukan oleh pemangku kepentingan lain. Kapasitas dan
kewenangan instansi pengelola persampahan menjadi sangat penting karena
besarnya tanggungjawab yang harus dipikul dalam menjalankan roda pengelolaan
yang biasanya tidak sederhana bahkan cenderung rumit sejalan dengan makin
besarnya wilayah operasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003 tentang Dinas
Daerah untuk mengefisiensi sumberdaya, maka telah dilakukan pembatasan
jumlah Dinas yang ada di Kota/Kabupaten. Pengelola yang semula berbentuk
Dinas Kebersihan kemudian terpaksa digabung dengan berbagai Dinas lainnya
yang pemilihannya ditentukan oleh Kota/Kabupaten sendiri sejalan dengan misi
otonominya. Akibatnya saat ini tidak ada keseragaman bentuk lembaga pengelola
persampahan sehingga menyulitkan pembinaannya. Kapasitas unit kebersihan juga
mengalami penurunan kewenangan karena merupakan bagian dari Dinas induknya
sehingga semakin sulit untuk membuat rencana pengembangan. Pelayanan
persampahan di lapangan uj ga dilaksanakan langsung oleh Dinas, dalam hal ini
Dinas yang berfungsi sebagai regulator sekaligus menjalankan kegiatan sebagai
operator. Akibatnya sulit dilakukan pengawasan yang obyektif sehingga kualitas
pelayanan menjadi tidak terjamin. Perkuatan kapasitas kelembagaan juga akan
sangat dipengaruhi oleh pola-pola kerjasama horizontal maupun vertikal termasuk
kerjasama antar Kota dalam penerapan pola pengelolaan sampah secara regional.
Hasil analisis AHP prioritas ketiga adalah peningkatan partisipasi pemangku
kepentingan dengan bobot nilai 0,167. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa,
sangat penting adanya partisipasi dari semua pemangku kepentingan dalam
pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok. Bentuk partisipasi dapat
dimulai dengan peran aktif masyarakat dan swasta sebagai pengelola sampah, dan
melakukan peningkatan pola-pola penanganan sampah berbasis masyarakat.
141

Selain itu sangat diperlukan perubahan pemahaman bahwa masyarakat bukan lagi
hanya sebagai obyek, tetapi lebih sebagai mitra yang mengandung makna
kesetaraan. Tanpa ada peran aktif masyarakat akan sangat sulit mewujudkan
kondisi kebersihan yang memadai. Masyarakat, pihak swasta atau dunia usaha
juga memiliki potensi yang besar untuk dapat berperan serta menyediakan
pelayanan publik. Beberapa pengalaman buruk pada masa lalu sering membebani
Dunia Usaha sehingga tidak berkembang. Swasta jangan lagi dimanfaatkan bagi
kepentingan lain, tetapi perlu dilihat sebagai mitra untuk bersama mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat sehingga kehadirannya sangat diperlukan. Beberapa
hal yang dapat dilakukan di antaranya adalah:
a. Meningkatkan pemahaman tentang pengelolaan sampah sejak dini melalui
pendidikan bagi anak usia sekolah. Upaya mengubah perilaku pembuangan
sampah seseorang yang sudah dewasa terbukti tidak efektif; terutama dalam
hal pemilahan sampah sejak dari sumbernya, untuk itu diperlukan strategi
peningkatan yang lebih sistematik, yaitu melalui mekanisme pendidikan
masalah kebersihan/persampahan sejak dini di sekolah. Strategi tersebut perlu
dilaksanakan secara serentak di seluruh Kota di Indonesia (SD, SMP dan
SMA). Tindak lanjut yang dapat dilaksanakan dengan ujicoba/pengembangan
dan replikasi sekolah bersih dan hijau untuk memotivasi anak usia sekolah
secara dini mengenal dan memahami berbagai metode pengelolaan sampah
sederhana di lingkungan sekolahnya.
b. Menyebar luaskan pemahaman tentang pengelolaan persampahan kepada
masyarakat umum. Pemerintah perlu menyusun berbagai pedoman dan
penduan bagi masyarakat agar mereka lebih memahami tentang pengelolaan
persampahan sehingga dapat bertindak sesuai dengan yang diharapkan.
Berbagai produk panduan dan pedoman tersebut perlu disebarluaskan melalui
berbagai media terutama media massa yang secara efektif akan menyampaikan
berbagai pesan yang terkandung di dalamnya.
c. Meningkatkan pembinaan masyarakat khususnya kaum perempuan dalam
pengelolaan sampah melalui pendidikan sejak dini. Hasilnya pembinaan
dirasakan dalam jangka panjang. Strategi pembinaan dalam rangka
142

peningkatan kemitraan masyarakat terutama kaum perempuan juga sangat


diperlukan. Perempuan sangat erat kaitannya dengan timbulan sampah di
rumah tangga (75% sampah kota berasal dari rumah tangga), sehingga
diperlukan mekanisme pembinaan yang efektif untuk pola pengurangan
sampah sejak dari sumbernya. Forum kaum perempuan yang saat ini eksis di
masyarakat seperti PKK perlu dilibatkan sebagai vocal point.
d. Mendorong pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Masyarakat terbukti
mampu melaksanakan berbagai program secara efektif dan bahkan dengan
tingkat keberhasilan yang sangat tinggi terutama bila keikutsertaan mereka
dilibatkan sejak awal. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan untuk
meningkatkan pengelolaan sampah di lingkungan perumahan melalui pem-
berdayaan masyarakat setempat, yang selanjutnya dapat direplikasi di tempat
lain.
e. Mengembangkan sistem insentif dan iklim yang kondusif bagi dunia usaha atau
swasta. Iklim yang menarik dan kondusif bagi Swasta serta berbagai insentif
perlu diciptakan dan dikembangkan agar semakin banyak pihak swasta yang
mau terjun dalam bisnis pelayanan publik persampahan. Peninjauan kembali
pedoman dan ketentuan penanaman modal swasta dalam bidang persampahan
perlu segera dilakukan untuk mengurangi hambatan pemangku kepentingan
resiko dan dapat menarik pemangku kepentingan keuntungan yang
proporsional. Pemerintah perlu memberikan fasilitas dan melakukan uji coba
kerjasama swasta dalam skala yang signifikan di beberapa kota percontohan.
Kerjasama tersebut hendaknya dilakukan secara profesional dan transparan
sehingga dapat menjadi contoh untuk multiplikasi di Kota lainnya. MENLH
dan JICA (2003) mengemukakan Pemerintah Philipina akan memberikan
insentif untuk mendorong LGU, pelaku usaha, sektor swasta dan masyarakat
mempromosikan, mengembangkan dan melaksanakan pengelolaan per-
sampahan. Hadiah diberikan bagi proyek, teknologi, proses dan teknik inovatif
yang menonjol, berupa pembentukan kebijakan di bidang pengelolaan
persampahan, membuat metodologi pengurangan sampah dengan prototipe
pengelolaan persampahan. Kegiatan pengelolaan sampah dilakukan dengan
143

kebiasaan asli masyarakat, dengan memberikan fasilitas pengelolaan per-


sampahan.
MENLH dan JICA (2003) menyebutkan Pemerintah Amerika Serikat telah
berhasil merangsang pasar bagi barang-barang daur ulang. Strategi tahun 1993
telah diikuti dengan perintah eksekutif No. 13101 yaitu menghijaukan Pemerintah
melalu i pencegahan memboroskan sampah, pendauran ulangan, yang diperkuat
dengan kebutuhan akan pengelolaan sampah di Pemerintah Pusat. Prakarsa
spesifik yang dikerjakan oleh Pemerintah Amerika Serikat tersebut sebagai hasil
dari perintah eksekutif yang meliputi: institusi dari suatu program penghargaan
yang disebut ”menutup lingkaran = closing the circle”. Penghargaan tersebut
diberikan kepada fasilitas Pemerintah Pusat yang mempertunjukkan manajemen
sampah yang patut dicontoh; suatu prakarsa di bidang pendidikan yang
mendorong karyawan untuk mengurangi sampah kertas dan implementasi suatu
program multi-meterial menyeluruh untuk mendaur ulang di Gedung Putih.
Partisipasi antar instansi juga sangat dibutuhkan untuk berbagai hal yang
berkaitan dengan kewenangan nstansi
i lain seperti pengelolaan sampah pasar,
drainase/sungai, pihak produsen/industri/perdagangan (penanganan sampah
kemasan dan B3 rumah tangga dan bahan-bahan daur ulang), pertanian/kehutanan
(pemasaran kompos), dan bidang pendidikan. Kerjasama dengan pihak PLN
(kerjasama penarikan retribusi), pihak Developer/Kelurahan/LSM (penanganan
sampah skala kawasan berbasis masyarakat), dan perguruan tinggi (penelitian dan
pengembangan serta inovasi teknologi) juga sangat diperlukan.
Menurut Murakami, dalam Sistem pengelolaan sampah di Kota Ki-
takyushu Jepang, pemangku kepentingan mempunyai peranan dalam manajemen
limbah padat di antaranya:
a. Masyarakat
1) Mengurangi produksi limbahnya; 2) Pemisahan sebelum dibuang;
3) Membeli bahan-bahan alami; 4) Mendaur ulang limbah; dan
5) Bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain, berkaitan dengan
pembuangan limbah secara tepat.
144

b. Perusahaan
1) Bertanggungjawab atas limbah mereka sendiri dan pembuangannya;
dan 2) Bekerjasama dengan pemangku kepentingan lain, berkaitan dengan
pembuangan limbah secara tepat.
c. Pemerintah Kota
1) Mempromosikan pengurangan, pemanfaatan kembali dan daur ulang
(3R); 2) Mendorong kegiatan sukarela pembersihan lingkungan oleh para
pemangku kepentingan; 3) Mengoperasikan sistem pembuangan limbah
secara tepat, efektif dan efisien; 4) Mengakhiri status quo limbah padat,
metode daur ulang yang tepat, biaya; dan 5) Mempertahankan kualitas
manajemen pengelolaan limbah padat untuk masyarakat.
Alternatif yang terakhir adalah upaya penegakan hukum. Hukum adalah
pegangan yang pasti, positif dan pengarah bagi tujuan-tujuan program yang akan
dicapai, semua peri kehidupan diatur dan harus tunduk pada prinsip-prinsip
hukum, sehingga dapat tercipta masyarakat yang teratur, tertib, dan berbudaya
disiplin. Hukum dipandang selain sebagai sarana pengaturan ketertiban rakyat
tetapi juga sebagai sarana memperbaharui dan mengubah masyarakat kearah
hidup yang lebih baik (Siahaan, 2004). MENLH dan JICA (2003) menyatakan
adanya hubungan antara peraturan perundang-perundangan pengelolaan sampah
dengan aspek manajemen dan aspek teknis seperti yang terlihat pada Gambar 15.
Peraturan perundang-undangan di antaranya PP/Kepres/Kepmen/Perda mengatur
tata cara pengelolaan sampah mulai dari sumber sampah sampai ke TPA,
mengatur posisi, hak dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan dan
mengatur sanksi jika terjadi pelanggaran dalam pengelolaan sampah. Secara
umum kondisi kebersihan di Kota Depok masih di bawah rata-rata kebersihan.
Salah satu penyebabnya adalah masih kurangnya pendidikan yang berkaitan
dengan perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini serta tidak dilakukannya
penerapan sanksi hukum (pidana) dari Perda yang ada secara efektif. Masyarakat
kemungkinan besar belum sepenuhnya mengetahui adanya ketentuan dalam
penanganan sampah termasuk adanya sanksi hukum yang berlaku. Produk hukum
baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan
145

Menteri haruslah disediakan secara lengkap dan mampu mengantisipasi segala


perkembangan dinamika pengelolaan persampahan.

HUBUNGAN ANTAR PERATURAN-


PERUNDANGAN

- Administratif
- Pidana A
s
p
Mengatur e
Tekhnologi Mengatur posisi, hak dan k
Pendanaan sanksi tanggung
jawab secara M
Pengawasan umum dan a
mendasar Pengelolaan sampah n
Peran serta masyrakat Peraturan Perundang-
Undangan Pengelolaan - Masyrakat a
Sampah - Pemerintah j
- Dunia usaha e
m
Delegasi e
ketentuan n
teknis
A
Pedoman teknis/tata cara: Pengelolaan sampah s
- Reduksi di sumber - Masyarakat p
- Pemisahan PP/Kepres/Kepmen/Perda - Pemerintah e
- Pengawasan Mengatur Mengatur - Dunia usaha k
- Komposting ketentuan posisi, hak dan
- Landfilling teknis tanggung T
jawab sesuai e
ketentuan k
yang berlaku n
i
s

Gambar 15. Sistem peraturan perundangan pengelolaan sampah (MENLH dan


JICA, 2003)

Peningkatan sistem pengelolaan persampahan dapat dilakukan dengan


melakukan penegakan hukum dan melengkapi peraturan perundangan yang telah
ada, untuk mendukung kegiatan tersebut dapat dilakukan beberapa hal:
a. Penegakan hukum dan pemberlakuan sanksi terhadap pelanggar pengelolaan
persampahan sebagai upaya pembinaan bagi masyarakat, aparat, dan
pemangku kepentingan terkait;
b. Melengkapi dan meningkatkan produk hukum yang diperlukan bagi landasan
146

penyelenggaraan pengelolaan persampahan;

c. Lemahnya penegakan hukum terhadap para pelanggaran pembuangan sampah,


merupakan tantangan aparat hukum bagaimana penerapan Perda dapat
dilaksanakan secara sungguh-sungguh.
Kelemahan lainnya yang masih dilakukan oleh hampir semua pemangku
kepentingan persampahan adalah belum adanya langkah-langkah strategis untuk
menyelesaikan masalah. Beberapa kelemahan tersebut misalnya dapat dilihat pada
beberapa contoh berikut: pengelola kebersihan (Pemerintah Daerah) belum
mengangkut sampah dari TPS sesuai ketentuan. Masyarakat juga memiliki andil
kelemahan misalnya dalam hal tidak membayar retribusi sesuai ketentuan, atau
membuang sampah sembarangan. Legislatif belum menyediakan anggaran sesuai
kebutuhan minimal yang harus disediakan. Pemerintah Pusat belum mampu
menyediakan ketentuan peraturan secara lengkap. Menurut Siahaan (2004) bahwa
hukum lingkungan dengan berbagai sarana yang bersifat pencegahan atau
setidaknya pemulihan sampai taraf normal terhadap kualitas lingkungan, kiranya
dapat dicapai dengan menganut asas-asas umum kebijaksanaan lingkungan seperti
yang diterapkan di Belanda yaitu: (a) menanggulangi masalah lingkungan sejak
dari sumbernya; (b) tersedianya sarana teknis dan praktis yang baik; (c) prinsip
pencemaran membayar; (d) prinsip mencekal (stand still principle); dan
(e) prinsip perbedaan regional.
Prinsip di atas belum atau tidak dimiliki Indonesia, oleh karena itu maka
dalam mengadopsi asas kebijakan asal negeri Belanda tersebut perlu
dipertimbangkan, namun tetap melakukan penyesuaian berdasarkan karakteristik
kondisi fisik, sosial, budaya Indonesia. Rangkuti dalam Siahaan (2004)
mengatakan dalam kebijakan lingkungan bahwa persyaratan yang penting adalah
pembinaan legalitas yang tangguh, dan dipersiapkan secara cermat dengan
memperhitungkan unsur keterpaduan dalam sistem pengaturan, sehingga
evektifitasnya dapat tercapai secara maksimal.
MENLH dan JICA (2003) mengemukakan Philippina telah menerbitkan
peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan sampah dalam bentuk
Undang-undang No. 9003 yaitu UU tentang pengelolaan limbah padat secara
147

ekologis. Undang-undang tersebut mengatur tentang kebijakan, mekanisme dan


struktur institusi, hierarki pengelolaan persampahan, kewajiban pengurangan dan
pemilahan sampah, kebutuhan-kebutuhan pengumpulan dan pengangkutan
sampah, program daur ulang, fasilitas pengelolaan sampah, larangan-larangan,
denda dan hukuman, gugatan, peran industri dan pelaku usaha serta sistem
insentif. Undang-undang tersebut memuat tentang pemberian sanksi kepada
pelanggar peraturan U
ndang-undang persampahan dengan pembebanan denda dan
hukuman bergantung pada besarnya pelanggaran. Besaran denda dinaikkan setiap
3 tahun untuk mengkompensasi inflasi dan menjaga fungsi dari denda sebagai alat
pencegahan. Sanksi administrasi diberikan kepada petugas pemerintahan yang
gagal memenuhi dan menegakkan aturan dan peraturan Undang-undang
persampahan yang telah disebarluaskan. Pemerintah Indonesia untuk kedepannya
diharapkan harus benar-benar menerapkan hukuman kepada pihak-pihak yang
melanggar peraturan yang telah ditetapkan

6.5. Kesimpulan
Strategi kebijakan pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok
yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis AHP adalah:
(1) Optimalisasi pengelolaan sampah. Peningkatan laju timbulan sampah
perkotaan (2 – 4 % /tahun) yang tidak diikuti dengan ketersediaan sarana dan
prasarana persampahan yang memadai. Hal tersebut berdampak pada
pencemaran lingkungan yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, dengan
selalu mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban pencemaran
akan selalu menumpuk di lokasi TPA (Tempat Pemprosesan Akhir);

(2) Optimalisasi petugas kebersihan. Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan


salah satu masalah yang dihadapi DKP Kota Depok. Lemahnya Sumberdaya
Manusia membuat fungsi perencanaan dan pengendalian pengelolaan
sampah menjadi sangat lemah;

(3) Peningkatan partisipasi pemangku kepentingan. Hasil analisis tersebut


menunjukkan bahwa sangat penting adanya partisipasi dari semua pemangku
148

kepentingan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok.


Bentuk partisipasi dapat dimulai dengan peran aktif masyarakat dan swasta
sebagai pengelola sampah. Kegiatan pengurangan sampah dari sumbernya
dengan melakukan peningkatan pola-pola penanganan sampah berbasis
masyarakat;

(4) Penegakan hukum. Hukum adalah pegangan yang pasti, positif dan pengarah
bagi tujuan-tujuan program yang akan dicapai, semua peri kehidupan diatur
dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum, sehingga dapat tercipta
masyarakat yang teratur, tertib dan berbudaya disiplin. Hukum dipandang
selain sebagai sarana pengaturan ketertiban rakyat tetapi juga sebagai sarana
memperbaharui dan mengubah masyarakat kearah hidup yang lebih baik.
Peraturan perundang-undangan di antaranya PP/Kepres/Kepmen/Perda
mengatur tata cara pengelolaan sampah mulai dari sumber sampah sampai ke
TPA, mengatur posisi, hak dan kewajiban masing-masing pemangku
kepentingan dan mengatur sanksi jika terjadi pelanggaran dalam pengelolaan
sampah.

6.6. Daftar Pustaka

Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut.


Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. 2005. Acuan Klasifikasi Tanggung


Jawab Sosial Dunia Usaha. Departemen Sosial RI. Jakarta.

Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok. 2007. Audit Lingkungan
TPA Cipayung-Kota Depok. PT. Sucofindo Prima Internasional Konsultan.
Jakarta.

Helmi. 2002. Tantangan Pengelolaan Terpadu Sumber Daya Air di Indonesia. P3-
TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta. 3 Maret 2008.

MENLH dan JICA. 2003. Draft Naskah Akademis Peraturan Perundang-


Undangan Pengelolaan Sampah. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Santosa, M.A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. Indonesia


Center for Environmental Law (ICEL). Jakarta.
149

Siahaan, N.H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan.


Erlangga. Jakarta.

Ventosa, I.P. 2003. Potensial Use of Feebate Systems to Foster Environmentally


Sound Urban Waste. 3-7. CalRecovery, Inc. CA. USA. 13 Maret 2008.
VII. SISTEM PENGELOLAAN TPA SAMPAH

Abstrak
Sampah merupakan permasalahan yang sangat kompleks sejak dulu
sampai sekarang. Usaha penanganan sampah mulai dari sumbernya sampai ke
TPA sangat diperlukan, sehingga tidak menimbulkan masalah terhadap
lingkungan dan masyarakat di sekitar kawasan TPA. Tujuan penelitian ini adalah
mendapatkan rancangan model kebijakan pengelolaan lingkungan TPA sampah
Cipayung Kota Depok secara berkelanjutan. Metodologi analisis model
pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok menggunakan metode analisis
model sistem dinamik dengan software Stella versi 8.0. Perhitungan data
menggunakan Microsoft Office Excel. Hasil analisis jumlah sampah rumah tangga
yang tidak terangkut sebesar 66%, Jumlah sampah di TPS sebesar 98% dari
jumlah akumulasi sampah yang tidak terangkut. Jumlah sampah di TPA sebesar
34 % dari jumlah sampah rumah tangga. Usia TPA dengan pola 3R+1P semakin
meningkat, jika dibandingkan dengan pemilahan dimulai dari rumah tangga dan
TPS. Pada tahun 2012 sampah yang masuk ke TPA sudah melebih i daya
tampung. Agar usia TPA meningkat, direkomendasi program pengelolaan sampah
3R+1P dimulai dari sumber sampah, sehingga sampah yang masuk ke TPA
semakin rendah.
Kata Kunci : sistem, daur ulang, skenario

7.1. Latar Belakang


Perubahan gaya hidup masyarakat merupakan ciri masyarakat modern
yang dapat memberikan pengaruh positif atau negatif dalam kehidupan. Akibat
perubahan tersebut menyebabkan pola hidup masyarakat menjadi semakin
konsumtif. Sampah merupakan hasil dari kegiatan manusia. Dalam kehidupan
sampah sering menjadi persoalan yang rumit, sehingga sangat diperlukan solusi
untuk mengatasi masalah tersebut. Perlu pengambilan keputusan yang efektif dari
permasalahan sampah yang kompleks dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
mengharuskan pengkajian permasalahan secara holistik dengan menggunakan
sistem. Dalam pendekatan sistem, dapat menggunakan model sebagai alat untuk
memahami proses dan memprediksi perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu
(Hartisari, 2007).
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbunan sampah di
TPA Cipayung adalah dengan membuat model pengelolaan sampah di
Kota Depok. Program pengelolaan sampah dapat dimulai dari skala rumah tangga
151

sampai proses pembuangan di TPA Cipayung Kota Depok. Pengembangan


program sistem pengelolaan sampah dengan menerapkan program 3R. Program
tersebut diharapkan mampu mengenali kondisi saat ini untuk menjadikan dasar
dalam merancang model pengelolaan sampah berwawasan lingkungan.

7.2. Metode Analisis


Analisis Model dilakukan dengan memperhatikan variabel model sistem
pengelolaan sampah. Variabel yang diamati dalam penelitan ini adalah usia TPA,
TPS dengan menggunakan pola 3R+1P, pengurangan (reduce), pemakaian
kembali (reuse), dan daur ulang (recycle), jumlah penduduk, jumlah sampah,
sampah organik, jumlah tempat pembuangan sampah, sisa sampah dan daya
tampung lokasi tempat pembuangan akhir (TPA). Variabel-variabel tersebut
digunakan untuk menyusun model pengelolaan sampah dengan pola 3R+1P.
Analisis simulasi dilakukan untuk melihat perilaku dari model. Analisis simulasi
model sistem dinamik diolah dengan menggunakan software Stella versi 8.0.
Analisis perhitungan data menggunakan Microsoft Office Excel (Sterman, 2000).

7.3. Kondisi Eksisting Pengelolaan Persampahan Kota Depok


Dinas Kebersihan dan Pertamanan merupakan unsur pelaksana teknis di
bawah Walikota Depok yang berperan sebagai pelaksana pelayanan kebersihan
(operator) yang juga berfungsi melaksanakan pengaturan/pengendalian (re-
gulator). Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan saat ini sudah efektif dalam
menjalankan fungsi sebagai penanggungjawab penuh pengelolaan sampah,
sedangkan teknis operasional di bawah Bidang Kebersihan dibantu Koordinator
Kecamatan (KORCAM) dan staf Bidang Kebersihan. Saat ini skala pengelolaan
sampah di Kota Depok meliputi skala individual, skala kawasan/lingkungan
melayani 200-2000 kepala keluarga, dan skala Kota/TPA. Tekhnis operasional,
khususnya pengangkutan sampah dari tempat pembuangan sementara (TPS)
sampah ke tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah dilaksanakan/dikoordinasikan
oleh KORCAM pada Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Masyarakat Kota Depok
sebagian membuang sampah di TPS (berupa kontainer dan bak sampah) dan lahan
persil sampah yang telah ditentukan. Persil sampah merupakan TPS tanpa
152

kontainer dan tanpa bak sampah, masyarakat diharapkan membuang sampah ke


persil dalam keadaan tertutup pada waktu malam hari, sehingga pada siang hari
tidak ada kesan kotor.
Retribusi pelayanan kebersihan kota dilaksanakan oleh Pemerintah Kota
Depok melalui Dinas Pendapatan Daerah yang dipungut melalui petugas sampah
dan melalui PDAM. Berikut ini akan diuraikan secara rinci komponen-komponen
bagian pengelolaan persampahan Kota Depok, yaitu: (a) Sub Sistem Kelembagaan
dan Organisasi; (b) Sub Sistem Teknik Operasional; (c) Sub Sistem Pembiayaan;
(d) Sub Sistem Peraturan/Hukum; dan (e) Komponen Peran Serta Masyarakat.

7.3.1. Sub Sistem Kelembagaan dan Organisasi


7.3.1.1. Bentuk dan Struktur Organisasi
Peraturan Daerah Kota Depok No. 16 Tahun 2003 tentang Pembentukan dan
Susunan Organisasi Perangkat Daerah, Instansi yang berwenang dalam
pengelolaan kebersihan/persampahan adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Struktur Organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok selengkapnya
dapat dilihat pada Gambar 16.
Kepala Dinas

Sekretari
Kelompok Jabatan s
Fungsional
Kasubbag. Umum & Kasubbag. Keuangan
Perencanaan

Kabid. Sarana Kabid. Pelayanan Kabid. Pertamanan


Prasarana Kebersihan Kebersihan
Kasie.
Kasie. Operasional Pemanfaatan
Kasie. Pengadaan
Sarana Prasarana Pengangkutan &
Pengelolaan Sampah Kasie.
Pemeliharaan
Pertamanan
Kasie. Pemeliharaan
Sarana Prasarana Kasie. Operasional
Kebersihan Pengankutan &
Pengelolaan Air Limbah

Kepala UPT Kepala UPT Kepala UPT


IPLT TPU TPA

Kasubbag. TU Kasubbag. TU Kasubbag. TU


UPT IPLT UPT TPU UPT TPA

Gambar 16. Struktur organisasi Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok
153

7.3.1.2. Koordinator Kecamatan (KORCAM)


Sejak tahun 2003 Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok telah
melakukan peningkatan pelayanan di sektor persampahan dengan menerapkan
pola pelayanan berdasarkan pembagian wilayah per-Kecamatan. Sistem tersebut
bertujuan untuk memudahkan koordinasi antara Instansi tingkat Kota dengan
Lembaga Kecamatan dalam melakukan pelayanan. Untuk mendukung kegiatan
tersebut, DKP Kota Depok membentuk Koordinator Kecamatan (KORCAM)
selaku penanggungjawab kegiatan teknis operasional pengelolaan persampahan di
tingkat Kecamatan.

7.3.2. Sistem Tekhnik Operasional

7.3.2.1. Timbulan Sampah di Kota Depok


Timbulan sampah berdasarkan Standar SK. SNI S–04–1991–03 tentang
Spesifikasi Timbulan Sampah yang dihasilkan untuk Kota kecil dan sedang di
Indonesia sebanyak 2,75-3,25 liter/orang/hari. Untuk skala kota besar perhitungan
produksi sampah per hari per orang 2,65 liter/orang/hari, maka dapat diperkirakan
jumlah timbulan sampah di Kota Depok per hari rata-rata sebanyak 3.764 m3/hari
dengan jumlah penduduk adalah 1.420.480 jiwa. Berdasarkan besarnya
timbulan sampah tersebut di atas, maka jumlah timbulan sampah yang dihasilkan
3.764 m3/hari, sedangkan sampah yang terangkut 1.281 m3/hari, dan yang tidak
terangkut 2.483 m3/hari.
Sarana dan prasarana pengangkutan sampah yang dimiliki oleh DKP
Kota Depok, serta jumlah ritasi setiap kendaraan adalah sebagai berikut:
1. Sampah yang diangkut dengan dump truk. Volume dump truk efektif
mengangkut sampah sebanyak 10 m3. Jumlah dump truk yang dimiliki DKP
sebanyak 39 unit. Jumlah transfer depo sebanyak 2 unit. Jumlah TPS di
Kota Depok sebanyak 38 unit. Bak sampah 19 unit. Gerobak untuk
mengangkut sampah sebanyak 37 unit. Dump truk mengangkut sampah
sebanyak 2-3 rit/hari/unit.
154

2. Sampah yang diangkut dengan arm roll mempunyai volume kontainer


sebanyak 6 m3, sedangkan volume efektif arm roll sebanyak 8 m3.
Jumlah kontainer sebanyak 24 unit. Jumlah arm roll yang dimiliki DKP
Kota Depok sebanyak 6 unit. Ritasi arm roll untuk mengangkut sampah
2-3/rit/hari/unit.

7.3.2.2. Tingkat Pelayanan


Jumlah timbunan sampah yang sudah dikelola/diangkut sebanyak
1.281 m3/hari atau ekivalen dengan jumlah penduduk 483.396 jiwa.
Tingkat pelayanan persampahan untuk total penduduk Kota Depok sebanyak
483.396/1.420.480 atau sebanyak 34,03 % dengan daerah pelayanan.

7.3.2.3. Pola Pelayanan


Pola pelayanan yang sedang diterapkan di Kota Depok saat ini adalah
pola individual langsung, pola komunal langsung, dan pola penyapuan.
Pola pelayanan tersebut akan melayani daerah pemukiman, perkantoran, jalan dan
pasar.

a. Kawasan Pemukiman
Masyarakat membuang sampah ke TPS (pasangan batu bata dan beton)
dan titik yang ditentukan atau dikumpulkan di suatu tempat tertentu berupa
kontainer, selanjutnya sampah-sampah tersebut dipindahkan ke dump truk dan
dibuang ke TPA sampah. Di beberapa lokasi Kota Depok masih terdapat
tumpukan sampah dan begitu juga di sungai yang mengalir di tengah
wilayah perkotaan masih terlihat sampah yang dibuang ke badan sungai tersebut,
hal ini karena kurangnya armada pengangkutan sampah serta kesadaran
masyarakat terhadap sampah.

b. Kawasan Pasar
Sampah-sampah disapu oleh petugas kebersihan dan dikumpulkan dengan
gerobak kemudian dikumpul ke TPS/kontainer atau ditumpuk di suatu tempat,
selanjutnya sampah-sampah pasar tersebut diangkut dan dibuang langsung ke
TPA sampah dengan dump truk dan arm roll.
155

c. Kawasan Pertokoan dan Rumah Makan


Pertokoan dan rumah makan yang terletak di kawasan pertokoan/jalan
utama akan membuang sampahnya ke kontainer/bak sampah yang telah
disediakan atau diangkut langsung dengan dump truk oleh petugas kebersihan
dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan, setelah itu dibuang ke TPA.

d. Kawasan Bangunan Institusi dan Hotel


Sampah kantor dan hotel diangkut oleh petugas kebersihan yang
selanjutnya dipindahkan ke dump truk oleh petugas pengangkutan sampah,
setelah itu dibuang ke TPA.

e. Kawasan Jalan Protokol, Taman dan Selokan


Sampah di jalan, selokan, dan sekitar taman disapu, selanjutnya
ditempatkan di TPS yang terdekat atau ditumpuk di tempat tertentu, kemudian
dipindahkan ke dump truk untuk dibuang ke TPA sampah.

7.3.2.4. Penggunaan Pewadahan


Wadah atau tempat sampah yang digunakan bervariasi menurut tempat,
dapat digolongkan (a) Pemukiman teratur, wadah yang digunakan berbentuk
bin/tong plastik, tong sampah dari kayu, kantong plastik, drum bekas,
dan bekas kaleng cat, (b) Pemukiman tidak teratur, wadah yang digunakan
berbentuk kantong plastik, dus karton, dan tong plastik tanpa pewadahan,
(c) Daerah komersil, wadah yang digunakan berbentuk bin plastik, dan
keranjang plastik, (d) Daerah institusional, wadah yang digunakan berbentuk
bak sampah dari kayu dan bin plastik, (e) Daerah pasar, wadah yang digunakan
berbentuk kantong plastik, dus bekas dan kontainer.

7.3.2.5. Pengumpulan Sampah


Pola pengumpulan sampah yang dilakukan di Kota Depok dilakukan dengan
dua cara yaitu dengan pola komunal dan pola individual. Pola pelayanan di
daerah pemukiman pengumpulan sampah dilakukan dengan pola individual dan
komunal. Di daerah komersil, pengumpulan sampah dilakukan dengan pola
156

komunal dan individual. Di daerah institusional pengumpulan dilakukan dengan


pola komunal.

7.3.2.6. Tempat Pemindahan Sampah


Tempat pemindahan sampah adalah tempat pertemuan antara dump truk
dengan TPS sampah (pasangan batu bata atau beton) atau tumpukan sampah,
kemudian sampah tersebut dipindahkan dari TPS sampah ke dump truk
yang selanjutnya dibuang ke TPA sampah. Kota Depok saat ini telah memiliki
transfer depo tipe I yaitu tempat pertemuan antara gerobak dan dump truk,
sekaligus terjadinya pemindahan sampah dari gerobak ke dump truk.

7.3.2.7. Pengangkutan
Sistem pengangkutan sampah di Kota Depok dilaksanakan dengan
pemindahan langsung dari TPS sampah yang ada, kontainer atau lokasi tertentu
yang belum ada TPS atau langsung dari rumah-rumah atau dari toko/bangunan
dengan dump truk yang selanjutnya dibuang atau dibawa ke TPA sampah.
Jenis kendaraan yang digunakan adalah dump truk sebanyak 39 unit dan kontainer
24 unit yang dilengkapi dengan arm roll sebanyak 6 unit dengan kondisi layak
operasional.

7.3.2.8. Daur Ulang dan Pengomposan


Daur ulang atau pemanfaatan kembali dari sampah (seperti botol, gelas
plastik bekas dan kardus bekas) yang sudah dibuang telah dilakukan di
Kota Depok. Pemulungan sampah yang dapat didaur ulang dilakukan mulai dari
TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sampai ke TPA (Tempat Pemrosesan
Akhir) sampah dengan memungut/mengambil antara lain: plastik, botol, besi,
tembaga, kuningan, kaleng, aki, kertas, dan karton yang masih dapat
dimanfaatkan. Pelaksanaan pengomposan belum dilakukan pada skala TPA,
tetapi telah dilaksanakan pada skala kawasan. Pemulung di TPA Cipayung
cukup membantu dalam meminimalisasi sampah yang masuk ke lahan TPA.
Masih banyak material yang dapat didaur ulang dan dapat dimanfaatkan.
157

Karakteristik komposisi sampah yang masuk ke TPA Cipayung didominasi oleh


sampah organik yang mencapai 72,97 seperti yang diperlihatkan pada Tabel 24.

Tabel 24. Karakteristik sampah yang masuk ke TPA Cipayung

No Komposisi Jenis Sampah Prosentase (%) Periode Penguraian


(Pelapukan)*
1 Bahan organik 72,97 2 – 7 minggu
2 Kertas 7,07 3 – 6 bulan
3 Kaca/Beling/Gelas 1,25 1 juta tahun
4 Plastik 3,57 > 100 tahun
5 Logam 1,37 > 100 tahun
6 Kayu 3,65 1 – 13 tahun
7 Kain 2,40 6 bulan – 1 tahun
8 Karet 1,24 -
9 Lain-lain 6,38 -
Jumlah 100,00
Sumber : Studi ANDAL TPA Cipayung

7.3.3. Sub Sistem Pembiayaan

7.3.3.1.Sumber Dana
Menurut Dinas DKLH Kota Depok (2007) sumber utama pembiayaan
pengelolaan kebersihan/persampahan Kota Depok adalah APBD Kota Depok.
Anggaran pengelolaan kebersihan Kota Depok dua tahun berturut-turut adalah
sebagai berikut:

Anggaran pengelolaan kebersihan Kota Depok tahun 2006 sebesar


Rp. 5.432.329.000.- dengan rincian:
• Biaya BBM : Rp 2.105.291.400,-

• Biaya jasa tenaga kerja, non pegawai : Rp 3.339.645.000,-

Anggaran pengelolaan kebersihan Kota Depok tahun 2007 sebesar


Rp. 6.012.953.800.- dengan rincian:
• Biaya BBM : Rp 2.462.303.500,-
• Biaya jasa tenaga kerja, non pegawai : Rp 3.339.645.000,-
158

7.3.3.2.Retribusi
Tarif retribusi pengelolaan persampahan/kebersihan di Kota Depok telah
diatur dalam Peraturan Daerah Kota Depok No. 41 tahun 2000 tentang
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan. Besar tarif retribusi sampah Kota
Depok berdasarkan Perda tersebut sebagai berikut:
a. Pengambilan, pengangkutan, pengelolaan dan pemusnahan sampah rumah
non real estate berdasarkan luas bangunan:
1. Lebih kecil atau sama dengan 21 m2 Rp. 2.000,-/bulan;
2. 22 m2 sampai dengan 70 m2 Rp. 3.500,-/bulan;
3. 71 m2 sampai dengan 200 m2 Rp. 4.500,-/bulan;
4. 201 m2 sampai dengan 300 m2 Rp. 6.000,-/bulan;
5. Di atas 300 m2 Rp. 8.500,-/bulan.

b. Pengambilan, pengangkutan, pengelolaan dan pemusnahan sampah rumah


real estate ditetapkan berdasarkan luas bangunan:
1. 21 m2 sampai dengan 36 m2 Rp. 7.000,-/bulan;
2. 37 m2 sampai dengan 54 m2 Rp. 8.500,-/bulan;
3. 55 m2 sampai dengan 70 m2 Rp. 10.500,-/bula n;
4. 71 m2 sampai dengan 120 m2 Rp. 12.500,-/bulan;
5. Di atas 120 m2 Rp. 17.500,-/bulan.

c. Pengambilan, pengangkutan, pengelolaan dan pemusnahan sampah, dari


kategori perkantoran, pasar, pertokoan, mall, gedung pertunjukan, apotik,
klinik, usaha pertukangan/pengolahan bahan berdasarkan volume sampah
yang dihasilkan:
1. Lebih kecil dari 0,50 m3/hari Rp. 25.000,-/bulan;
2. 0,51 m3 sampai dengan 0,75 m3/hari Rp. 35.000,-/bulan;
3. Lebih besar dari 0,76 m3/hari Rp. 50.000,-/bulan.

d. Pengambilan, pengangkutan, pengelolaan dan pemusnahan sampah, dari


sumber sampah, lembaga pendidikan/kursus, rumah sewaan (tempat kost),
rumah makan/restoran, hotel/apartemen, pabrik/industri, rumah sakit/rumah
bersalin, ditetapkan berdasarkan kubikasi:
159

1. Lembaga Pendidikan/kursus Rp. 6.000,-/M3;


2. Rumah sewaan (tempat kost) Rp. 7.500,-/M3;
3. Rumah makan Rp. 11.000,-/M3;
4. Restoran Rp. 15.000,-/M3;
5. Hotel/ Apartemen Rp. 15.000,-/M3;
6. Pabrik/Industri Rp. 13.000,-/M3;
7. Rumah sakit/Rumah bersalin Rp. 10.000,-/M3;
8. Bioskop Rp. 12.500,-/M3.

e. Pengambilan, pengangkutan, pengelolaan dan pemusnahan sampah di pasar,


berdasarkan kegiatan usaha pedagang, ditetapkan dengan sistem pengambilan
harian:
1. Kios Rp. 1.000,-/hari;
2. Los Rp. 1.000,-/hari;
3. Awning Rp. 1.000,-/hari;
4. Kaki lima/pedagang makanan tidak tetap Rp. 1.000,-/hari;
5. Ruko Rp. 3.000,-/hari;
6. Toko Rp. 2.500,-/hari.

f. Bilamana pengambilan, pengangkutan tidak dapat memberlakukan tarif seperti


pada point-point tersebut di atas, maka untuk menentukan retribusi pelayanan
dimaksud dapat ditaksir dengan perhitungan rit, yang ditetapkan sebesar
Rp. 85.000,-/rit.
g. Penggunaan tempat pembuangan akhir sampah milik Pemerintah Kota oleh
Swasta baik pribadi maupun badan yang berasal dari wilayah Kota Depok
dikenakan retribusi pembuangan sebesar Rp. 6.000,-/M3.

Hasil retribusi/iuran pelayanan kebersihan/persampahan Kota Depok yang


dapat ditagih pada tahun 2006 sebesar Rp. 1.377.063.000,-. dari target
Rp. 5.432.329.000,- atau 25,35 % dari anggaran rutin persampahan.
160

7.3.3.3. Biaya Satuan Pengelolaan


Menurut DKLH Kota Depok (2007) perhitungan biaya satuan pengelolaan
sampah tahun 2006 sebagai berikut: (1) Jumlah sampah yang terangkut
per hari = 479 m3; (2) Biaya total pengelolaan = Rp. 5.432.329.000,-;
(3) Biaya satuan sampah = Rp. 31.065,- per m3.

7.3.4. Sub Sistem Hukum/Peraturan Perundangan

7.3.4.1. Dasar Hukum Pengelolaan Persampahan/Kebersihan

Produk hukum yang mendasari kewenangan institusi formal pengelola


persampahan di Kota Depok adalah Peraturan Daerah Kota Depok No. 16 Tahun
2003 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah dan
Keputusan Walikota Depok No. 30 Tahun 2005 tentang Uraian Tugas Jabatan
Struktural di Lingkungan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok.
Peraturan Daerah Kota Depok No. 16 Tahun 2003 tentang Pembentukan
dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah, ditetapkan pembentukan Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok serta struktur organisasinya, sedangkan
Keputusan Walikota Depok No. 30 Tahun 2005 tentang Uraian Tugas Jabatan
Struktural di Lingkungan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok
menetapkan tugas pokok, uraian tugas, prosedur kerja yang harus dilaksanakan
dan hasil kerja yang harus dicapai oleh tiap-tiap pejabat di lingkungan Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok.

7.3.4.2. Dasar Hukum Retribusi Persampahan


Produk hukum yang terkait dengan retribusi persampahan di Kota Depok
adalah Peraturan Daerah Kota Depok No. 41 Tahun 2000 tentang Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan, dalam Perda ini diatur beberapa hal pokok,
antara lain obyek dan subyek retribusi berdasarkan golongan retribusi dengan cara
mengukur tingkat penggunaan jasa, prinsip, dan sasaran dalam penetapan struktur
dan besarnya tarif, struktur dan besarnya tarif, wilayah pemungutan, masa
retribusi, tata cara pemungutan, sanksi administrasi, tata cara pembiayaan, tata
cara penagihan dan ketentuan pidana bagi pihak yang yang melanggar.
161

7.4. Model Sistem Pengelolaan Sampah


Pendekatan sistem merupakan yang bersifat menyeluruh yang mem-
fokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen. Pendekatan tersebut
dapat mengubah cara pandang dan pola pikir dalam menangani permasalahan
dengan menggunakan model yang merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem.
Model yang dikembangkan dengan mengedepankan pola pengelolaan sampah
dengan konsep zero waste berbasis pada pengurangan (reduce), pemakaian
kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan partisipasi yang dikenal dengan
3R+1P. Model yang dirancang untuk menjadikan kegiatan 3R + 1P dijadikan
alternatif pengelolaan sampah berwawasan lingkungan.

7.4.1. Parameter dan Variabel Model Sistem Pengelolaan Sampah


Parameter yang diamati dalam penelitan ini adalah usia TPA tanpa
mengurangi sampah dan dengan melakukan pada tingkat rumah tangga, TPS
dengan menggunakan pola 3R+1P, pengurangan (reduce), pemakaian kembali
(reuse), daur ulang (recycle), dan partisipasi. Variabel yang diamati di antaranya
1) Jumlah penduduk; 2) Jumlah sampah; 3) Sampah organik; 4) Jumlah tempat
pembuangan sampah; 5) Sisa sampah; dan 6) Daya tampung lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Variabel-variabel tersebut digunakan untuk menyusun
model pengelolaan sampah dengan pola 3R+1R.

7.4.2. Diagram Input-Output


Sistem pengelolaan sampah merupakan suatu sistem yang menunjukkan
interaksi dengan komponen input dan sistem lingkungan. Dari sistem akan
mengeluarkan output baik yang diharapkan maupun tidak diharapkan.
Interaksi antar komponen akan saling mempengaruhi dapat dilihat pada
Gambar 17.
Menurut Hartisari (2007) diagram input-output menggambarkan hubungan
antara output-input yang akan dihasilkan berdasarkan tahapan analisis kebutuhan
dan formulasi permasalahan. Menurut Winardi (1999) diagram input-output
dipengaruhi oleh bermacam-macam kekuatan. Dalam kotak gelap dimasukkan
input dan output melalui elemen-elemen sistem yang tidak dikenal dalamnya.
162

MASUKAN LINGKUNGAN
1. iklim
2. Peraturan Daerah

INPUT TAK TERKENDALI OUT YANG DIINGINKAN


1. Jenis dan produksi sampah 1. Zero waste
2. Partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah

Sistem Pengelolaan TPA Sampah


Cipayung Kota Depok

INPUT TERKENDALI OUTPUT TAK


DIINGINKAN
1. Jumlah RT
2. Jumlah sampah terangkut 1. Biaya Tinggi
3. Kebutuhan tenaga kerja 2. Sampah
4. Jam kerja harian menumpuk

Manajemen Pengendalian

Gambar 17. Diagram input-output sistem pengelolaan sampah di TPA Cipayung

Pada sistem pengelolaan sampah dengan polap 3R+1P, yang merupakan


input terkendali adalah jumlah sampah yang dihasilkan, jumlah sampah terangkut,
dan kebutuhan tenaga kerja. Output terdiri atas dua bagian yaitu: 1) output yang
diinginkan; dan 2) output tidak diinginkan. Output merupakan jawaban dari
sistem terhadap kebutuhan yang telah ditetapkan dalam analisis kebutuhan.
Output yang diinginkan adalah zero waste dan pengelolaan sampah terpadu.
Output yang tidak diinginkan merupakan hasil sampingan yang tidak dapat
dihindarkan dari sistem yang berfungsi dalam menghasilkan output yang
diinginkan dan merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindarkan dari
163

sistem yang berfungsi dalam menghasilkan output yang diinginkan. Output yang
tidak diinginkan adalah biaya tinggi dan sampah menumpuk merupakan kebalikan
dari output yang diinginkan, yang berfungsi sebagai umpan balik bagi kontrol
manajemen.

Beberapa asumsi yang dibangun dalam penyusunan model tersebut adalah


tingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok sebesar 3,3%, jumlah sampah organik
sebesar 72,97%, jumlah sampah anorganik sebesar 27,03%, pengurangan sampah
(reduce) sebesar 1%, pemanfaatan kembali (reuse) sebesar 1%, daur ulang
(recycle) sebesar 1%, dan kemampuan pengomposan sebesar 10%.

7.4.3. Diagram Struktur Model Sistem Pengelolaan Sampah


Causal loop merupakan jalannya penentuan sistem yang menunjukkan
akumulasi energi, materi dan informasi dari sistem, serta proses transformasi
input menjadi output. Dalam sistem dinamika pengelolaan sampah, komponen
utama yang mempengaruhi jumlah sampah pemukiman adalah jumlah penduduk.
Variabel lain yang mempengaruhi diagram causal loop adalah sampah organik
dan sampah anorganik, produk dari pengomposan, TPS dan TPA. Variabel-
variabel penyusun model dinamika pengelolaan sampah, selanjutnya dicari
hubungan antara setiap variabel. Hubungan yang ada setiap variabel penyusun
model pengelolaan sampah dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif.
Hal ini tergantung pengaruh antara variabel yang satu dengan variabel yang lain.
Gambaran umum hubungan antara variabel yang menyusun model pengelolaan
sampah seperti pada Gambar 18. Berdasarkan diagram causal loop tersebut, maka
dibuat diagram model pengelolaan sampah Kota Depok dengan pola 3R+1P
(Gambar 19).
164

+ +

Penduduk Sampah Sampah Kompos +


pemukiman organik
RT
-
+ + +
+
+

Partisipasi + Recycle
Sisa + Pembakara
Sampah Organik n
+ +
+
+ TPA + Reuse
+
-
Recycle Biaya &
TPS + + Manfaat
Reduce Sisa Reduce
+
+

+ + +

Reus - + + Produk
e + Semula
Produk Reduc
Semula +
e
+
Recycle Reus
+ +
e
+ Produk
Semula
Biaya & - Sisa
Manfaat
+

Biaya &
Manfaat

Gambar 18. Causal loop model pengelolaan sampah


165

Model pengelolaan sampah dengan pola 3R+1P


Model Pengelolaan Sampak dengan Pola 3R+1P
Penduduk

Fr kompos
Fr sampah RT Fr organik RT
Pertumbuhan penduduk
Organik RT
Fraksi pertmbhn penddk Reduce sampah RT
Sampah rumah tangga Kompos
Sisa kompos
Laju sampah RT
Fr reduce sampah RT
Sampah tdk terangkut
Fr anorganik
An Organik RT
Akumulasi Sampah RT
Akumulasi sampah tdk terangkut
Recycle sampah RT
Reuse sampah RT
Bahan baku
Fr Reuse Sampah
Laju Akumulasi Usia TPA dg pemilah RT
sampah tdk terangkut Sisa RT Fr recycle RT
Fr sisa RT
Fr TPS

Usia TPA dgn pola 3R

Laju sampah TPS Laju pengambilan TPS


Sampah TPS
Fr recycle TPS
Daya tampung TPA
Fr reuse TPS
Reuse TPS Recycle TPS
Usia TPA dg pemlh TPS
Sisa TPS

Sampah TPAdi proses Fr recycle TPA


secara sanitary landfill
Sampah TPA Fr reuse TPA
Akumulasi sampah
yang tdk tertampung
Laju sampah TPA Laju penyusutan

Sampah yang tidak


Fr penyusutan mekanis Fr penyusutan alamiah tertampung di TPA

Gambar 19. Diagram model pengelolaan sampah berkelanjutan

Keterangan:
Akumulasi sampah RT = Jumlah total sampah rumah tangga dalam satuan m3

Laju sampah RT = Laju pertambahan sampah rumah tangga dalam satuan m3 per
tahun
166

Akumulasi sampah tidak terangkut(t) = Jumlah total sampah rumah tangga yang
tidak terangkut dalam satuan m3.
Laju Akumulasi sampah tidak terangkut = Laju pertambahan sampah rumah
tangga yang tidak terangkut dalam
satuan m3 per tahun.

Akumulasi sampah yg tidak tertampung = Jumlah total sampah rumah tangga


yang tidak tertampung pada TPA
dalam satuan m3.
Sampah yang tidak tertampung di TPA = Laju pertambahan sampah rumah tangga
yang tidak tertampung di TPA dalam
satuan m3 per tahun.

Penduduk = Jumlah penduduk kota Depok

Pertumbuhan penduduk = Laju pertambahan penduduk dalam setiap tahun.

Sampah TPA = Jumlah total sampah yang ada di TPA dalam satuan m3.

Laju sampah TPA = Laju pertambahan sampah yang masuk ke TPA yang berasal
pengambilan di TPS dalam satuan m3 per tahun.
Laju penyusutan = Laju penyusutan sampah yang terjadi di TPA akibat penerapan
pola 3R+1P dalam satuan m3 per tahun.
Sampah TPS = Jumlah total sampah yang ada di TPS dalam satuan m3.

Laju sampah TPS = Laju pertambahan sampah yang masuk ke TPS yang berasal
pengambilan sampah rumah tangga dalam satuan m3 per
tahun.
Laju pengambilan TPS = Laju pengurangan sampah yang ada di TPS yang akan
dibawah ke TPA dalam satuan m3 per tahun.
An Organik RT = Jumlah jenis sampah an organik yang berasal dari sampah
rumah tangga dalam satuan m3.
Daya tampung TPA = Jumlah sampah pada yang bisa ditampung di TPA dalam
satuan m3.

Fraksi pertambahan penduduk = Fraksi pertumbuhan penduduk kota Depok per


tahun

Fraksi anorganik = Fraksi sampah anorganik rumah tanggga


Fraksi kompos = Fraksi sampah organik rumah tangga yang dikomposkan

Fraksi organik RT = Fraksi sampah an organik rumah tanggga


167

Fraksi penyusutan alamiah = Fraksi penyusutan sampah secara alamiah di TPA


per tahun
Fraksi penyusutan mekanis = Fraksi penyusutan sampah secara mekanis di TPA
per tahun
Fraksi recycle RT = Fraksi recycle sampah rumah tangga per tahun

Fraksi recycle TPA = Fraksi recycle sampah di TPA per tahun


Fraksi recycle TPS = Fraksi recycle sampah di TPS per tahun

Fraksi reduce sampah RT = Fraksi reduce sampah rumah tangga per tahun
Fraksi reuse Sampah = Fraksi reuse sampah rumah tangga per tahun
Fraksi reuse TPA = Fraksi reuse sampah di TPA per tahun

Fraksi reuse TPS = Fraksi reuse sampah di TPS per tahun


Fraksi sampah RT = Fraksi jumlah sampah rumah tangga per tahun

Fraksi sisa RT = Fraksi jumlah sampah rumah tangga yang tersisa dari pola
3R+1P per tahun

Fraksi TPS = Fraksi jumlah sampah di TPS yang terangkut ke TPA


Kompos = Jumlah kompos dari sampah organik dalam m3.
Organik RT = Jumlah sampah organik rumah tangga dalam m3.

Recycle sampah RT = Jumlah sampah an organik rumah tangga yang mengalami


recycle dalam m3.

Recycle TPS = Jumlah sampah di TPS yang mengalami recycle dalam m3.
Reduce sampah RT = Jumlah sampah rumah tangga yang mengalami reduce
dalam m3.
Reuse sampah RT = Jumlah sampah an organik rumah tangga yang mengalami
reuse dalam m3.
Reuse TPS = Jumlah sampah di TPS yang mengalami reuse dalam m3.
Sampah rumah tangga = Jumlah sampah rumah tangga dalam m3.

Sampah tidak terangkut = Jumlah sampah rumah tangga yang tidak terangkut di
TPS dalam m3.

Sisa kompos = Jumlah sampah organik rumah tangga yang tidak mengalami
pengomposan

Sisa RT = Jumlah sampah an organik rumah tangga yang tersisa dalam m3.
168

Sisa TPS = Jumlah sampah yang tersisa di TPS setelah dikurangi recycle TPS.

Usia TPA dengan pola 3R = Usia TPA dengan pola 3R+1P sesuai daya tampung
TPA dalam satuan %.

Usia_TPA_dengan_pemilah_RT = Usia TPA apabila dengan pola pemilahan di


rumah tangga sesuai daya tampung TPA dalam
satuan %.
Usia TPA dengan pemilah_TPS = Usia TPA apabila dengan pola pemilahan di
TPS sesuai daya tampung TPA dalam satuan %.

Hasil analisis sistem model dinamik pengelolaan sampah dengan berbagai


skenario di Kota Depok dapat dilihat pada gambar-gambar berikut.
Grafik Prediksi perkembangan jumlah sampah di TPS dan sampah di TPA,
sampah rumah tangga, sampah yang tidak terangkut dan sampah yang tidak
tertampung di TPA dapat dilihat pada Gambar 20.

1: Sampah TPA 2: Sampah TPS 3: Akum smph RT 4: Akum smph tdk terangkut 5: Akum smph yg tdk trtam…

1: 40000000
2:
3:
4: 3
5:

4
1: 3 2
2:
3: 20000000 4 5
4: 2
5: 3
4
2
3 4
2 5
4
2
1: 5
2: 1
3: 1 1
4: 1 1 5
5: 0 5
2009.00 2012.80 2016.60 2020.40 2024.20 2028.00

Page 1 Years 4:54 21 Jan 2009


Grafik Perkembangan Jumlah Sampah Rumah Tangga, Sampah yang Tidak Terangkut, Sampah di TPS dan Sampah di TPA

Gambar 20. Prediksi perkembangan jumlah sampah di TPS dan sampah di TPA,
sampah rumah tangga, sampah yang tidak terangkut dan sampah
yang tidak tertampung di TPA

Besarnya jumlah sampah awal di TPS adalah 98% dari akumulas i sampah
yang tidak terangkut. Besarnya laju sampah di TPS tergantung jumlah sampah
yang berasal dari rumah tangga. Laju pengambilan sampah di TPS yang akan
169

diangkut ke TPA sebanyak 34%, sehingga besarnya akumulasi jumlah sampah


yang tidak terangkut sebanyak 66% dari jumlah sampah yang berasal dari rumah
tangga. Besarnya akumluasi jumlah sampah rumah tangga dipengaruhi oleh
jumlah awal sampah rumah tangga dan laju sampah rumah tangga yang berasal
dari jumlah setiap penduduk. Jumlah penduduk tergantung dari laju pertumbuhan
penduduk. Laju pertumbuhan penduduk di Kota Depok sebanyak 3,3% per tahun.
Data awal jumlah sampah rumah tangga didekati dari jumlah sampah yang sudah
ada di TPA. Laju sampah rumah tangga didapat dari jumlah penduduk dikalikan
dengan fraksi sampah rumah tangga yang sebesar 2,65 liter per hari atau
dikonversi dalam m3 per tahun sebesar 2,65/1000 dikalikan 23 dan 12.
Perhitungan bobot sampah pada kota-kota besar di Indonesia diperkirakan setiap
orang menghasilkan sampah 2-2,5 liter/hari (Widyatmoko dan Sintorini, 2002),
sedangkan WHO memberi ketentuan bahwa setiap orang menghasilkan sampah
2,5 liter/hari.
Akumulasi sampah yang tidak tertampung di TPA dipengaruhi oleh
jumlah sampah yang masuk ke TPA dan daya tampung TPA. Apabila jumlah
sampah yang masuk melebihi daya tampung TPA maka sisanya tidak akan
tertampung. Untuk mencegah hal tersebut sangat diperlukan kegiatan pemilahan
sampah mulai dari sumbernya, sehingga sampah yang masuk ke TPA dapat
berkurang jumlahnya.
Grafik prediksi Usia TPA sampah Cipayung dengan berbagai pola
pemilahan menunjukkan usia TPA semakin meningkat umurnya dengan
menggunakan pola 3R, jika dibandingkan dengan pola pemilahan dari RT dan
pemilahan di TPA (Gambar 21).
Prediksi usia TPA sampah Cipayung dengan pola pemilahan dari RT dan
TPS pada tahun 2011 jumlah sampah yang masuk ke TPA sudah lebih dari
daya tampung TPA yang mempunyai kapasitas 1.200.000 m3. Pada tahun 2012
sampah ditambah menjadi 1.500.000 m3, sehingga pada tahun 2013 kemampuan
TPA untuk menampung sampah sudah melebihi daya tampung.
170

1: Usia TPA dg pemilah RT 2: Usia TPA dg pemlh TPS 3: Usia TPA dgn pola 3R
1: 2700
2:
3:

1:
2: 1350 1
3: 2
1
2
1
2

2 2

3 3
1: 3
2: 3 3
3: 0
2009.00 2012.80 2016.60 2020.40 2024.20 2028.00
Page 1 Years 4:54 21 Jan 2009
Grafik Prediksi Usia TPA

Gambar 21. Prediksi usia TPA pada berbagai pola (%)

Untuk mengantipasi masalah tersebut maka sangat perlu dilakukan


peningkatan pola 3R+1P yang dimulai dari sumbernya. Dengan menerapkan
pola 3R dari sumbernya, jumlah sampah diprediksikan akan terus berkurang,
sehingga usia TPA akan bertambah.
Hidayat (2008) mengemukakan permasalahan yang terjadi di TPA adalah
tidak adanya pengelolaan yang baik terhadap timbunan sampah yang masuk ke
dalam TPA. Akhirnya TPA hanya merupakan lokasi open dumping. Alasan yang
melatar belakangi kondisi tersebut adalah kurangnya pendanaan untuk
persampahan. Contoh TPA yang berhasil melakukan kerjasama dengan pihak
Swasta adalah TPA Batulayang di Pontianak dengan PT. Gikoko Kogyo yang
menawarkan jasa pengelolaan sampah. Keunikan dari penawaran PT. Gikoko
Kogyo adalah kerjasama yang ditawarkan dikaitkan dengan protokol Kyoto yang
membuka peluang kerjasama antara negara berkembang yang tidak dikenai
pengurangan emisi karbon, termasuk Indonesia, dengan negara maju yang dikenai
pengurangan emisi karbon termasuk metan. Kerjasama ini biasa disebut clean
development mechanism (CDM). Permasalahan lain dalam pengelolaan sampah
Kota di TPA adalah adanya keterbatasan lahan, polusi, dan masalah sosial. Oleh
171

karena itu, pengelolaan sampah di TPA harus memenuhi persyaratan sebagai


berikut a) memanfaatkan lahan TPA yang terbatas dengan efektif; b) memilih
teknologi yang mudah, murah dan aman terhadap lingkungan; c) memilih
teknologi yang memberikan produk yang bisa dijual dan memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat; d) produk harus dapat terjual habis.
Grafik prediksi usia TPA pada berbagai simulasi skenario recycle yaitu
tidak ada recycle (0%), recycle 5% dan recycle 10% (Gambar 22). Jumlah sampah
di TPS tergantung pada besarnya jumlah sampah awal di TPS, laju sampah di TPS
yang berasal dari sampah rumah tangga, laju pengambilan sampah di TPS, dan
kegiatan reuse dan recycle di TPS.

Usia TPA dgn pola 3R: 1 - 2 - 3 -

1: 270

1
2
3

1
2
3
1: 135

1 2 3
2 3
1

1: 0
2009.00 2013.75 2018.50 2023.25 2028.00

Page 2 Years 7:08 22 Jan 2009

Grafik Usia TPA dengan Pola 3R+1P pada Berbagai Skenario Recycle

Gambar 22. Prediksi usia TPA dengan pola 3R+1P pada berbagai skenario (%)

Prediksi usia TPA dengan pola 3R+1P pada berbagai skenario recycle 0 %
dan 5% menunjukkan usia TPA semakin rendah. Usia TPA dengan skenario
recycle 10% menunjukkan usia TPA semakin meningkat. Sampah rumah tangga
terdiri atas 72,97 % sampah organik dan sisanya adalah sampah anorganik
yang berasal dari hasil reduce sebesar 70%. Sampah organik dilakukan reuse
dan recycle masing-masing sebesar 1%. Contoh kegiatan reuse yang dapat
dilakukan adalah pemanfaatan kembali botol-botol bekas, atau menggunakan
172

wadah atau kantong yang dapat digunakan kembali, sedangkan contoh kegiatan
recycle adalah dengan melakukan pengolahan sampah-sampah organik menjadi
kompos, kertas, plastik bekas untuk didaur ulang kembali. Sampah organik
dilakukan pengomposan sebesar 10% dan sisanya digunakan untuk bahan baku.
Grafik prediksi jumlah sampah di TPA pada berbagai skenario recycle,
terus meningkat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 23.

Sampah TPA: 1 - 2 - 3 -

1: 5000000

1
2
3

1 2
3
1: 2500000

1 2 3

2 3
1

1: 0
2009.00 2013.75 2018.50 2023.25 2028.00

Page 3 Years 20:43 19 Jan 2009

Grafik Jumlah Sampah di TPA pada Berbagai Skenario Recycle

Gambar 23. Prediksi jumlah sampah di TPA pada berbagai skenario recycle

Peningkatan jumlah sampah tersebut diakibatkan karena pertambahan


jumlah penduduk dari tahun ketahun. Hal lain yang mempengaruhi peningkatan
jumlah sampah rumah tangga adalah tingkat kesejahteraan dan gaya hidup
masyarakat, dan pola pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah dengan skenario
recycle dari tingkat rumah tangga dan TPS menunjukkan jumlah sampah semakin
tinggi di TPA, sedangkan dengan skenario 3R+1P yang dilakukan dari
sumber sampah menunjukkan jumlah sampah di TPA semakin rendah.

Grafik prediksi jumlah sampah yang tidak tertampung di TPA pada


berbagai skenario dapat dilihat pada Gambar 24
173

Akum smph yg tdk trtampung: 1 - 2 - 3 -

1: 17000000

1: 8500000 1
2

1 2
3

1: 0 1 2 3 1 2 3
2009.00 2013.75 2018.50 2023.25 2028.00

Page 4 Years 20:43 19 Jan 2009

Grafik Akumulasi Sampah Yang Tidak Tertampung di TPA pada Berbagai Skenario Recycle

Gambar 24. Prediksi jumlah sampah yang tidak tertampung di TPA pada
berbagai skenario (m3)

Meningkatnya jumlah sampah disebabkan oleh semakin banyak sampah


yang langsung dimasukkan ke TPA, sehingga daya tampung sampah di TPA
semakin rendah. Grafik prediksi jumlah sampah yang tidak tertampung di TPA
menunjukkan bahwa sampah dari rumah tangga dan TPS jika langsung
dimasukkan ke TPA tanpa dilakukan pengolahan terlebih dulu akan berpengaruh
terhadap usia TPA, sedangkan sampah yang dimasukkan ke TPA setelah program
3R+1P menunjukkan jumlah sampah yang masuk ke TPA semakin rendah dan hal
ini akan berpengaruh terhadap usia TPA sendiri.
Berdasarkan beberapa skenario yang telah dihasilkan dapat dibuat
rekomendasi bahwa pada tahun 2013 sampah yang masuk ke TPA sudah melebihi
kapasitas. Langkah yang dapat diambil oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan
Kota Depok dengan menambah luas TPA dan memaksimalkan program 3R+1P
lebih optimal lagi dimulai dari sumber sampahnya, sehingga sampah yang akan
masuk ke TPA semakin sedikit yang menyebabkan usia TPA dapat bertambah.
Menurut MENLH (2007) untuk mengurangi dampak dari pembuangan sampah
tersebut perlu dilakukan upaya pengurangan pembuangan sampah, melalui
program 3R (reuse, reduce, recycle). Penerapan 3R yang makin dekat dengan
sumber sampah tidak saja dapat mereduksi sampah yang dibuang ke TPA, selain
174

itu juga dapat mengurangi biaya operasional pengangkutan sampah ke TPA.


Beberapa contoh kegiatan 3R yang dilakukan di antaranya:
1. Kegiatan 3R di rumah tangga yang dapat dilakukan a) Reuse (menggunakan
kembali). Menggunakan kembali wadah/kemasan untuk fungsi yang sama
atau fungsi lainnya, menggunakan wadah/kantong yang dapat digunakan
berulang-ulang, menggunakan baterai yang dapat di-charge kembali, menjual
atau berikan sampah yang telah terpilah kepada pihak yang memerlukan; b)
Reduce (mengurangi). Memilih produk dengan pengemasan yang dapat
didaur-ulang, menghindari pemakaian dan pembelian produk yang
menghasilkan sampah dalam jumlah yang besar, menggunakan produk yang
dapat diisi ulang (refill), mengurangi penggunaan bahan sekali pakai; c)
Recycle (mendaur ulang). Memilih produk dan kemasan yang dapat didaur
ulang dan mudah terurai, melakukan pengolahan sampah organik menjadi
kompos, melakukan pengolahan sampah anorganik menjadi barang yang
bermanfaat.
2. Kegiatan 3R di sekolah/perkantoran/fasilitas umum yang dapat dilakukan
a) Reuse. Menggunakan alat kantor yang dapat digunakan berulang-ulang,
Menggunakan alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan
ditulis kembali, menggunakan sisi kertas yang kosong untuk menulis; b)
Reduce. Menggunakan kedua sisi kertas untuk penulisan dan fotokopi,
menggunakan alat tulis yang dapat diisi kembali, menyediakan jaringan
informasi dengan komputer (tanpa kertas), memaksimumkan penggunaan
alat-alat penyimpan elektronik yang dapat dihapus dan ditulis kembali,
menggunakan produk yang dapat diisi ulang (refill), mengurangi penggunaan
bahan sekali pakai; c) Recycle. Mengolah sampah kertas menjadi kertas/karton
kembali, Mengolah sampah organik menjadi kompos.

3. Kegiatan 3R di industri/kegiatan komersil yang dapat dilakukan a) Reuse.


Menggunakan kembali sampah yang masih dapat dimanfaatkan untuk produk
lain, seperti pakan ternak, memberikan insentif bagi konsumen yang
membawa wadah sendiri, atau wadah belanjaan yang diproduksi oleh
swalayan yang bersangkutan sebagai bukti sebagai pelanggan setia.
175

Menyediakan perlengkapan untuk pengisian kembali produk umum


isi ulang (minyak, minuman); b) Reduce. Memberikan insentif oleh produsen
bagi pembeli yang mengembalikan kemasan yang dapat digunakan kembali,
memberikan tambahan biaya bagi pembeli yang meminta bungkusan untuk
produk yang dibelinya, memberikan kemasan/bungkusan hanya kepada
produk yang benar-benar memerlukannya, mengenakan biaya tambahan untuk
permintaan kantong plastik belanjaan; c) Recycle. Menjual produk-produk
hasil daur ulang sampah dengan lebih menarik, memberikan insentif
kepada masyarakat yang membeli barang hasil daur ulang sampah,
mengolah kembali buangan dari proses yang dilakukan sehingga bermanfaat
bagi proses lainnya.

7.5. Partisipasi Masyarakat


Partisipasi masyarakat sangat penting untuk mendukung kegiatan 3R di
antaranya bagi pejalan kaki, buanglah sampah ditempat yang telah ditentukan dan
melakukan kegiatan kebersihan secara rutin di lingkungan masing-masing.
Partisipasi masyarakat adalah segala tindakan masyarakat, langsung atau tidak
langsung yang membantu tugas pengelola kebersihan dalam pengelolaan
persampahan di Kota Depok.

7.5.1. Aspek Partisipasi Masyarakat Sebagai Sub Sistem


Hal yang sangat baik bila partisipasi masyarakat memenuhi syarat untuk
menjadi sub sistem, tetapi kondisi masyarakat tidak dapat dipaksakan karena
menyangkut masalah sosial-budaya, homogenitas, sehingga hanya daerah tertentu
saja yang mampu untuk melaksanakannya. Peran serta masyarakat tidak dapat
dipaksakan. Partisipasi dari masyarakat memerlukan waktu, sehingga pada tahap
pertama peran serta masyarakat dianggap sebagai komponen lingkungan.
Berhasilnya program-program di bidang pelestarian lingkungan banyak
tergantung kepada peran serta masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat dapat
dimulai sedini mungkin. Masyarakat mempunyai motivasi kuat untuk senantiasa
memberikan saham terhadap keberhasilan program. Lothar Gundling dalam
176

Soerjani et al. (2008) mengatakan, dasar-dasar bagi adanya peran serta tersebut
adalah: 1) memberi informasi kepada Pemerintah; 2) meningkatkan kesediaan
masyarakat untuk menerima keputusan; 3) membantu perlindungan hukum;
4) mendemokratisasikan pengambilan keputusan.
Di Kanada telah dikembangkan dengar pendapat umum yang
bersifat informal, penduduk secara bebas dan terbuka dapat mengemukakan
pendapat dan permasalahan. Di negara Belanda dikenal lembaga inspraak yang
merupakan salah satu alat dalam melaksanakan fungsi-fungsi demokrasi.
Inspraak merupakan teknik sosial, bukan tujuan dan bukan merupakan substansi
dari keputusan-keputusan dari dewan perwakilan rakyat. Sistem mekanisme peran
serta masyarakat dapat dilakukan seperti pada Gambar 25.

Sistem Pengawasan

Pengawas

MASYARAKAT Bea jasa


Pengelola Pembiayaan pengolahan
sampah

- Reduksi sampah
- Pemakaian kembali Pengolah
- Daur ulang Pemanfaatan

SDM pada pengoperasian dan


pemeliharaan : Komposting
Pemisahan
- Armada pengangkutan
- Sampah organik - Anaerobik/biogas plant Kegiatan ekonomi
Kerja sama
- Sampah anorganik - Insinerator dengan dunia
- B3 - TPA - Kerajinan
- Daur ulang usaha
- Bahan baku produksi

Gambar 25. Sistem mekanisme peran serta masyarakat (MENLH dan JICA, 2003

7.5.2 Program Partisipasi Masyarakat


Gani (2007) mengemukakan mutu sumber daya manusia merupakan
masalah bagi Pemerintah bersama-sama masyarakat, karena mutulah yang
177

menentukan peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan


sumberdaya manusia, masyarakat, birokrasi dan organisasi. Pemberdayaan
merupakan upaya peningkatan harkat dan pribadi sumberdaya manusia seutuhnya,
dengan upaya mendorong, memotivasi, meningkatkan kesadaran akan potensinya,
menciptakan iklim kerja untuk berkembang, memperkuat daya potensi yang
dimiliki dengan langkah positif mengembangkannya, penyediaan berbagai
masukan, dan membuka akses ke peluang, peningkatan taraf pendidikan,
kesehatan, akses terhadap modal, teknologi tepat guna, informasi lapangan kerja
dan pasar dengan kelengkapan sarana dan prasarana.
Pemberdayaan bukan hanya untuk sumber daya manusia, akan tetapi juga
terhadap pranata, sistem dan struktur, pembaruan kelembagaan, penanaman
nilai-nilai, peran masyarakat di dalam organisasi, khususnya dalam pengambilan
keputusan dan perencanaan, sekaligus pembudayaan demokrasi, pembelaan yang
lemah terhadap yang kuat, dan menanggulangi persaingan. Pemberdayaan akan
menghasilkan sumber daya manusia yang tidak tergantung kepada pemberian,
semakin mandiri dan bertumbuhnya harga diri.
Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat diperlukan
karena dapat mengurangi beban pengelola maka diperlukan suatu program untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat secara terpadu, teratur dan terus menerus
serta bekerjasama dengan organisasi-organisasi yang ada sehingga partisipasi
masyarakat dapat diubah dari komponen lingkungan menjadi sub sistem, untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilaksanakan beberapa tindakan:
a. Memberikan penerangan tentang pentingnya kebersihan dan pengelolaan
persampahan yang dilakukan;
b. Melaksanakan pengawasan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan;
c. Memberikan contoh cara hidup yang bersih kepada masyarakat.
Bentuk peran serta masyarakat yang diharapkan adalah biaya pelaksanaan
penanganan sampah. Hal tersebut dilaksanakan dengan menarik retribusi
dari masyarakat. Kerjasama dalam teknis penanganan sampah. Kerjasama
dinyatakan dengan ikut sertanya masyarakat dalam melaksanakan sebagian dari
kegiatan operasi penanganan sampah, misal dalam kegiatan pengumpulan, dan
178

atau ikut sertanya masyarakat bertanggungjawab dalam penanganan sampah


dengan mengikuti peraturan kebersihan yang ditetapkan, dan melaksanakan
reduksi sampah (seperti daur ulang, komposting). Bentuk kerjasama ini dapat
dinyatakan sebagai a) bertanggungjawab terhadap kebersihan rumah dan
lingkungan; b) aktif dalam program-program kebersihan; c) turut memperhatikan
kebersihan rumah dan lingkungan; d) turut terlibat aktif dalam program-program
kebersihan, e) secara informal turut menerangkan arti kebersihan pada anggota
masyarakat lainnya; f) mengikuti prosedur kebersihan yang ditetapkan
Pemerintah.
Peran serta masyarakat adalah segala tindakan masyarakat, langsung atau
tidak langsung yang membantu ataupun mengurangi tugas pengelola kebersihan
dalam pengelolaan persampahan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan
kebersihan dan persampahan di Kota Depok dapat dibagi dalam dua bentuk.
seperti pada Gambar 25.

7.5.2.1. Peran serta pada pembiayaan


Peran serta pada pembiayaan diwujudkan dengan membayar retribusi
kebersihan. Peran serta masyarakat dalam pembiayaan tampaknya cukup baik.
Hal ini dapat dilihat dari realisasi pemungutan retribusi dari tahun 2001
sampai 2005 yang rata-rata hampir mencapai 100% dari target (Tabel. 25)

Tabel 25. Target dan realisasi retribusi persampahan Kota Depok 2001-2005

TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005


TARGET (Rp) 1,200,000,000 1,500,000,000 1,850,000,000 1,539,264,000 1,694,565,000
REALISASI (Rp) 1,255,921,000 1,363,283,000 1,850,000,000 1,539,400,000 1,715,958,000
% 104.66% 90.89% 100.00% 100.01% 101.26%
Sumber : Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok 2007

7.5.2.2. Peran serta pengelolaan


Peran serta masyarakat pada teknis operasional pengelolaan persampahan
diwujudkan dalam beberapa bentuk kegiatan seperti keikutsertaan pada sebagian
tahap pengelolaan persampahan, seperti pengumpulan sampah di kontainer/bak
179

sampah dan menyediakan sendiri pewadahan, serta kegiatan pengolahan sampah


skala rumah tangga. Namun demikian, kualitas peran serta masyarakat dalam
kegiatan teknis pengolahan sampah di Kota Depok ternyata masih perlu di-
tingkatkan mengingat masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pe-
meliharaan lingkungan.
Hasil survei rumah tangga memperlihatkan bahwa sejumlah sampel rumah
tangga yang mendapatkan pelayanan pengangkutan sampah di Kota Depok,
hampir seluruhnya (98%) tidak menerapkan pola 3R, sedangkan dari sampel
rumah tangga yang tidak mendapat pelayanan pengangkutan sampah, 28% di
antaranya masih membuang sampah ke jalan atau ke sungai/selokan, 68%
membuangnya ke tanah/lahan kosong. Rumah tangga responden yang mendapat
pelayanan angkutan sampah dengan penerapan 3R dan cara pengolahan pada
rumah tangga yang tidak mendapat pelayanan angkutan sampah dapat dilihat pada
lampiran 5.
Suparlan (2004) mengemukakan rendahnya tingkat partisipasi sebagian
besar masyarakat dalam pengelolaan sampah di perkotaan dapat terjadi sebagai
hasil dari: a) kondisi kemiskinan yang dimiliki warga; b) sikap masa bodoh;
dan c) kombinasi dari keduanya. Kemiskinan dan sikap masa bodoh bila dilihat
dari konteks corak kehidupan kota yang individualistik dan pentingnya peranan
uang, sebaliknya kondisi kemiskinan dan sikap masa bodoh juga telah membantu
memperkuat tradisi kehidupan kota yang bercorak individualistik, egosentrik, dan
pentingnya peranan uang dalam kehidupan warga, sehingga pada dasarnya warga
perkotaan terkotak-kotak dalam satuan individual rumah tangga.
Saribanon (2007) mengemukakan meskipun analisis tersebut secara umum
dianggap wajar, tetapi tidak selalu benar. Ada indikasi bahwa untuk permasalahan
sampah, masyarakat lebih mudah untuk diajak berperan dalam mengatasi per-
masalahan sampah dilingkungannya, meskipun untuk golongan tertentu perlu
disertai dengan penyampaian aspek ekonomi atau keuntungan sebagai bagian dari
tawaran implementasi program. Hal tersebut sejalan dengan pengalaman salah
satu perusahaan multinasional dalam memperkenalkan program pengelolaan
sampah mandiri di DKI Jakarta, yang menilai bahwa dengan menyentuh rasa
180

tanggungjawab dan keprihatinan warga terhadap kondisi lingkungan saat ini,


ternyata respon mereka cukup baik. Meskipun demikian, dalam mewujudkan
partisipasi masyarakat, tidak cukup berhenti pada tahap menumbuhkan kesadaran
dan rasa tanggungjawab saja, tetapi perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan dalam
implementasinya.

7.6. Implementasi Pengelolaan dan Pengolahan Sampah


Implementasi pengelolaan dan pengolahan sampah dapat dilakukan
dengan tiga cara pendekatan yang akan dilakukan secara bersamaan (1)
pendekatan skala kawasan dengan UPS; (2) pengolahan sampah skala rumah
tangga; dan (3) pendekatan skala TPA.

7.6.1. Unit Pengolahan Sampah (UPS) Skala Kawasan


Program yang dilakukan dengan pendekatan skala kawasan merupakan
upaya untuk mengubah paradigma pengelolaan sampah yang lama yaitu
kumpul-angkut-buang menjadi kumpul-angkut-manfaat. Program-program yang
dilakukan adalah membangun unit pengolahan sampah (UPS) dalam skala
kawasan.
Lahan yang diperlukan sejalan dengan kebijakan Pemerintah dalam
menangani masalah persampahan dengan mengacu pada Permen PU No.
21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan
Pengelolaan Persampahan terutama yang berkaitan dengan kebijakan
pengurangan sampah sejak dari sumbernya dengan program unggulan 3R serta
sasaran yang harus dicapai pada tahun 2010 sebesar 20%, pada dasarnya
merupakan tugas berat bagi semua pihak dalam mewujudkan upaya tersebut,
mengingat kondisi yang ada saai ini, baru sekitar 1% sampah yang dapat
dikurangi atau dimanfaatkan.
Namun demikian, berbagai gerakan yang ada di tingkat masyarakat baik
melalui peranan tokoh masyarakat, LSM ataupun Pemerintah Kota, telah banyak
praktek-praktek unggulan 3R yang cukup sukses dan dapat direplikasi di tempat
lain, sehingga target pengurangan sampah 20% bukan mustahil akan dapat
dicapai.
181

Pengurangan sampah dengan program 3R dan replikasi praktek terbaik


memang bukan hal mudah untuk dilakukan karena sangat tergantung pada
kemauan masyarakat dalam mengubah perilaku, yaitu dari pola pembuangan
sampah konvensional menjadi pola memilah sampah. Diperlukan berbagai
kegiatan untuk mengurangi sampah, seperti percontohan program 3R, penyuluhan
kepada masyarakat, pemberdayaan dan pendampingan masyarakat, pengawasan
atau monitoring terus-menerus dan pendidikan. Kegiatan pengurangan sampah
sejak dari sumbernya akan dilakukan dengan mengedepankan pengelolaan
sampah terpadu berbasis masyarakat secara lebih memadai dan diharapkan dapat
menjadi gerakan moral nasional.

7.6.1.1. Pengumpulan Sampah Skala Kawasan


Pengumpulan sampah skala kawasan dapat dilakukan dengan
metode individual (door to door) maupun komunal (masyarakat membawa sendiri
sampahnya ke wadah/bin komunal yang sudah ditentukan). Peralatan yang
digunakan untuk mengumpulkan sampah di kawasan perumahan baru (cakupan
luas dan jalan lebar) dapat dilakukan dengan menggunakan motor sampah
(kapasitas 1,2 m3), sedangkan untuk kawasan perumahan non komplek dan
perumahan kumuh/bantaran sungai cukup dilakukan dengan menggunakan
gerobak (1m3). Jadwal pengumpulan sampah non organik terpilah seperti kertas,
plastik, logam/kaca dapat dilakukan seminggu sekali, sedangkan untuk sampah
yang masih tercampur harus dilakukan minimal seminggu 2 kali. Motor/gerobak
sampah yang mengumpulkan sampah terpilah dapat dimodifikasi dengan sekat
atau dilengkapi karung-karung besar (3 unit atau sesuai dengan jenis sampah).

7.6.1.2. Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Skala Kawasan


1) Lokasi
Luas TPST yang digunakan bervariasi, tergantung kapasitas pelayanan dan
tipe kawasan. Kawasan perumahan baru (cakupan pelayanan 2000 rumah)
diperlukan TPST gerobak untuk sampah tercampur. Untuk cakupan layanan
skala RW (200 rumah) diperlukan TPST dengan luas 200 – 500 m2. TPST
182

dengan luas 1000m2 dapat menampung sampah dengan atau tanpa proses
pemilahan sampah di sumber. TPST dengan luas <500m2 hanya dapat
menampung sampah dalam keadaan terpilah (50%) dan sampah campur
50%. TPST dengan luas <200m2 sebaiknya hanya menampung sampah
tercampur 20%, sedangkan sampah yang sudah terpilah 80%.

2) Fasilitas
Fasilitas yang digunakan di TPST meliputi wadah komunal, areal pemilahan
dan areal komposting serta dilengkapi dengan fasilitas penunjang lain seperti
saluran drainase, air bersih, listrik, barier (pagar tanaman hidup),
dan gudang penyimpan bahan daur ulang maupun produk kompos serta
biodigester (opsional). Wadah komunal (bin atau karung) memiliki volume
1 – 3 m3 yang dapat digunakan untuk menampung sampah dapur, sampah
kerin g (plastik, kertas), sampah B3 rumah tangga, dan residu yang harus
diangkut ke TPA.

3) Daur Ulang
Sampah yang didaur ulang minimal adalah kertas, plastik serta logam yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan untuk mendapatkan kualitas bahan
daur ulang yang baik. Pemilahan sebaiknya dilakukan sejak dari sumber.
Pemasaran produk daur ulang dapat dilakukan melaui kerjasama dengan
pihak lapak atau langsung dengan industri pemakai. Daur ulang sampah B3
rumah tangga (terutama batu baterai dan lampu neon) dikembalikan ke
pihak produsen untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku (PP 18/1999 tentang pengelolaan sampah B3).
Daur ulang kemasan plastik (air mineral, minuman dalam kemasan,
mie instan) sebelum dapat dikembalikan ke pihak produsen untuk diproses
lebih lanjut, sebaiknya dimanfaatkan untuk barang-barang kerajinan.

4) Komposting
Sampah yang digunakan sebagai bahan baku kompos adalah sampah dapur
(terseleksi) dan daun-daun potongan tanaman. Metode pembuatan kompos
183

dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan windrow system
dan penggunaan media EM-4. Metode windrow system dengan masa proses
3 bulan dapat dilakukan dengan cara menumpuk sampah setinggi
minimal 1 m, panjang 2 m dan lebar 1 m yang dilanjutkan dengan proses
pembalikan dan penyiraman (untuk menjaga kelembaban dan suhu optimal).
Metode dengan menggunakan EM-4 dalam proses pembuatan kompos dapat
mempercepat proses fermentasi, sehingga hanya membutuhkan waktu 5 – 6
hari. Perlu dilakukan analisis kualitas terhadap produk kompos secara acak
dengan variabel antara lain warna, C/N rasio, kadar N P K dan logam berat.
Pemasaran produk kompos dapat bekerjasama dengan pihak Koperasi dan
Dinas (Kebersihan, Pertamanan, Pertanian)

7.6.2 Unit Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga


Program yang sangat penting dalam pengelolaan persampahan adalah
menyadarkan dan melibatkan masyarakat terutama pada tingkat rumah tangga
untuk melakukan pemilahan sampah, walaupun upaya-upaya penyadaran
masyarakat tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, karena berkaitan dengan
perubahan budaya dan cara pandang. Oleh sebab itu, perlu adanya keterlibatan
dari semua potensi yang ada di masyarakat seperti kader Dasawisma, PKK,
Karang Taruna dan Lembaga Swadaya Masyarakat, Universitas, Kelompok
Pengajian, Ulama, dan Tokoh-tokoh masyarakat yang bekerja secara ter-
koordinasi, terencana, dan berkesinambungan.
Salah satu program yang tidak kalah pentingnya terkait dengan
penyadaran masyarakat adalah memasukkan materi-materi mengenai pengolahan
sampah pada setiap jenjang pendidikan di Kota Depok. Anak-anak bangsa
tersebut diharapkan dapat memiliki cara pandang dan budaya yang lebih ramah
lingkungan.
Unit Pengolahan Sampah (UPS) skala rumah tangga dapat dimulai dari
masyarakat yang mempunyai kesadaran yang tinggi, terutama untuk di
daerah pemukiman, sedangkan untuk daerah yang padat dan rawan sampah dapat
diterapkan dengan pengawasan/monitoring berkelanjutan. Masyarakat dapat
184

mempergunakan komposter untuk mengolah sampah organik, sampah anorganik


secara berkala tetap diambil/dikumpulkan oleh petugas kebersihan untuk dibuang
ke TPA.
Pelaksanaan UPS skala rumah tangga dapat dilaksanakan secara individual
maupun secara wilayah yang lebih luas seperti perumahan. Untuk individual lebih
sesuai untuk masyarakat yang mempunyai kesadaran yang tinggi dan tidak
diperlukan monitoring khusus.

7.6.3. Tempat Pemrosesan/Pembuangan Akhir (TPA)


Beberapa skenario yang diajukan dalam aktivitas penanganan sampah di
TPA, yaitu pengurugan/penimbunan sampah, pengomposan sampah hayati
(organik). Skenario lainnya adalah daur ulang sampah non hayati (anorganik),
residu dari hasil kegiatan pengomposan sampah dan daur ulang kemudian
ditimbun di TPA.
Pengomposan dan daur ulang diharapkan menjadi kegiatan utama guna
menunjang usaha pertanian di sekitar kawasan tersebut. Kegiatan tersebut juga
harus siap untuk tidak difungsikan bila ternyata pasar untuk menerima hasil
produksinya mengalami hambatan. Konsep pengomposan dan daur ulang sampah
yang direncanakan secara umum, meliputi: 1) sumber timbulan; 2) pencatatan; 3)
penimbangan; 4) penerimaan sampah; 5) pendorongan sampah; 6) pemilahan
(sortasi); 7) pencacahan (Crusher); 8) pengomposan.
1) Sumber timbulan
Sampah yang akan diolah pada instalasi pengomposan dan daur ulang
sampah di lokasi TPA Cipayung berasal dari wilayah pelayanan Kota Depok.
Volume sampah yang diolah pada awal operasi sekitar 100 truk per hari (±
1200 m3/hari atau setara dengan ± 600 ton/hari). Spesifikasi truk sampah yang
direkomendasikan sesuai dengan sarana yang tersedia di daerah pelayanan,
yaitu dump truk atau arm roll untuk jarak yang jauh 10 – 20 km.
2) Pencatatan
Sampah yang berasal dari sumber timbulan sampah di wilayah pelayanan
diangkut oleh operator pengangkutan kebersihan ke instalasi. Pada tahap ini
185

petugas mencatat nomor polisi kendaraan, volume sampah yang masuk,


sumbernya, komposisi dominan sampah, bobot sampah yang masuk setelah
dilakukan penimbangan, serta waktu datang dan pergi truk pengangkut
sampah.
3) Penimbangan
Truk sampah menuju ke pos penimbangan untuk ditimbang, sehingga
didapatkan bobot netto sampah yang masuk. Truk sampah harus ditimbang
kembali setelah melakukan penuangan sampah.
4) Penerimaan sampah
Sarana penerimaan adalah bak penuangan sampah dari truk. Sampah
dituangkan pada bak yang dipersiapkan dengan baik dan rapi sebelum
dilakukan pemilahan (sortasi). Sarana penerimaan juga berfungsi sebagai
tempat penampungan sampah sementara sebelum diproses lebih lanjut.
5) Pendorongan sampah
Setelah didorong ke kolam pembuangan sampah kemudian sampah
diratakan, didorong oleh petugas menuju input conveyor sortasi dengan
menggunakan alat-alat pendorong (hand loader) secara manual. Pendorongan
dilakukan secara bertahap sehingga petugas sortasi bisa melakukan pemilahan
dengan baik.
6) Pemilahan (sortasi)
Pada saat sampah berada di belt conveyor, sampah dipilah. Pemilahan
sampah yang masih bisa di daur ulang dilakukan secara manual oleh petugas
pemilah, dan dikumpulkan dalam wadah khusus yang telah disediakan. Posisi
petugas pemilahan akan saling berhadapan dan pada posisi selang-seling.
Sampah yang masih memiliki nilai ekonomi (layak daur ulang) akan dipilah
berdasarkan jenisnya dan akan didaur ulang lebih lanjut apabila tersedia
mesin pengolah, sedangkan apabila belum tersedia mesin pengolah, maka
akan disalurkan/dipasarkan kepada pihak lain yang mampu mendaur
ulangnya. Sampah B3 juga dipilah dan dikumpulkan secara khusus untuk
dilakukan penanganan khusus B3.
186

Sampah non hayati yang tidak memiliki nilai ekonomis juga dipilah pada
tahap tersebut. Bagian yang dapat terbakar akan diinsinerasi pada insinerator,
sedang bagian yang non-combustibel akan dikumpulkan secara khusus untuk
diangkut ke TPA. Pada instalasi tersebut akan ditempatkan 2 unit belt
conveyor sortasi dengan panjang masing-masing 10 m dan lebar 1 m.
Perlengkapan yang perlu disediakan adalah wadah-wadah untuk menampung
hasil sorting berdasarkan jenisnya dan alat untuk mobilisasi wadah-wadah
tersebut menuju penampungan sementara.
Estimasi sampah non hayati yang dipilah dapat didaur ulang ± 10%,
sedangkan sampah organik (hayati) yang dapat diproses menjadi kompos ±
50%. Sampah yang tergolong B3 diperkirakan ± 2%. Sisa pemilahan
merupakan sampah yang tergolong reject combustible dan reject non-
combustible. Sampah yang tergolong reject combustible diperkirakan dapat
dibakar pada insinerator, sedangkan sampah yang merupakan reject non-
combustible akan dibawa ke landfill sebagai alternatif terakhir.
7) Pencacahan (Crusher)
Sampah organik yang akan diproses lebih lanjut menjadi kompos akan
dicacah terlebih dahulu. Sampah organik dari belt conveyor sortasi
akan dilanjutkan ke belt conveyor input dengan kemiringan ± 29° sehingga
sampah organik (hayati) akan berjalan naik menuju input mesin pencacah
sampah (Crusher).
8) Pengomposan
Pengomposan merupakan alternatif dalam penanganan sampah organik.
Metode pengomposan telah banyak diperkenalkan, dan untuk pengomposan pada
instalasi pengolahan sampah tersebut dapat menerapkan metode apa saja asal
biayanya memenuhi kemampuan. Contoh sistem pengomposan yang diterapkan
pada instalasi ini, di antaranya: a) pengomposan; dan b) pengomposan dipercepat.
a) Pengomposan
Convensional Model Windrow merupakan teknologi standar yang
secara alami dan bertahap mampu melakukan dekomposisi, fermentasi,
pematangan, dan pengeringan materi organik yang sudah dihancurkan
187

hingga menjadi kompos yang dapat digunakan. Materi kompos


dibiarkan terdekomposisi secara alamiah oleh kegiatan bakteri yang
menghasilkan panas pada tumpukan kompos. Panas yang timbul akibat
tumpukan kompos selain membunuh patogen juga membantu proses
perbaikan dan pengeringan. Secara perlahan materi organik me-
lepaskan cairan dan gas metan dari materi organik yang ter-
dekomposisi. Proses aerasi juga berlangsung alamiah. Proses windrow
membutuhkan 21 – 30 hari untuk menghasilkan kompos berkualitas
baik. Peralatan yang dibutuhkan berupa segitiga bambu mamanjang
dengan rangka kayu.
b) Pengomposan dipercepat
Sistem pengomposan ini dapat menjadi pilihan utama untuk
menggantikan sistem pengomposan konvensional. Sistem
pengomposan dipercepat ini dilakukan dengan proses rekayasa
sehingga waktu yang dibutuhkan sampai terbentuknya kompos
berkualitas dapat dipersingkat. Proses pengomposan hanya mem-
butuhkan waktu 5–7 hari. Rekayasa yang dilakukan pada sistem
ini, yaitu seperti pengaturan nutrisi dan rekayasa pemasukan udara.
Pada awalnya sistem pengomposan di TPA Cipayung direncanakan
menggunakan sistem pengomposan dengan model windrow, tetapi
sangat besar kemungkinan untuk mengembangkan proses
pengomposan dipercepat.
9) Penyaringan
Kompos matang kemudian disaring dengan menggunakan mesin
penyaring (ayakan) dan pada instalasi ini akan dipasang mesin penyaring yang
berdiameter wiremesh 4, 5 dan 10 mm dengan prinsip rotary screening.
Penyaringan sangat penting dilakukan untuk mendapatkan hasil kompos yang
baik, karena berdasarkan penelitian ternyata diameter materi kompos sangat
berpengaruh terhadap kompos itu sendiri.
10) Daur ulang plastik
188

Daur ulang bahan non organik berupa plastik akan dipisahkan dulu
berdasarkan jenisnya, kemudian diolah oleh mesin penghancur plastik sampai
menjadi biji plastik yang siap untuk diolah lebih lanjut. Daur-ulang plastik
bukan merupakan teknologi utama dalam pengolahan sampah terpadu, karena
plastik hasil pemilahan dapat langsung dijual ke lapak atau bandar plastik,
tetapi untuk mendapatkan gambaran tentang penerapan teknologi secara
terpadu maka pengolahan sampah plastik juga direncanakan, disamping untuk
peningkatan nilai ekonomi (harga jual).
11) Daur Ulang Kertas
Sampah kering yang berupa kertas, seperti kertas karton, koran, dan
kardus dapat didaur ulang kembali menjadi kertas yang mempunyai nilai
ekonomi tinggi. Pengolahan kertas merupakan teknologi pelengkap, bukan
sebagai teknologi utama dalam pengolahan sampah terpadu. Sampah kertas
dipilah berdasarkan jenisnya, kemudian dihancurkan dengan mesin
penghancur kertas dan selanjutnya dibentuk menjadi bubur kertas dan dapat
dicetak dengan cetakan yang dirancang khusus.
12) Biogas
Merupakan gabungan gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2)
yang muncul akibat proses biodegradasi materi organik dalam kondisi kurang
atau tanpa oksigen (O2). Biogas dapat dikonversi menjadi sumber energi
listrik.
MENLH dan JICA (2003) mengemukakan salah satu contoh negara yang
telah sukses melakukan pengelolaan sampah adalah Kanada. Sejumlah
Departemen Pemerintah Pusat sudah mengadopsi suatu peran kepemimpinan di
dalam manajemen sampah padat. Sebagai contoh, lingkungan Kanada melalui
disain dan implementasi Program ”tanpa sampah = no waste” telah mengurangi
sampah yang dikirim ke landfill sebanyak 80% dari sejumlah fasilitas kantor.
Sukses dari program ”tanpa sampah” adalah dimasukkannya dalam bidang
pendidikan pada porsi yang besar, komponen pendidikan menyediakan karyawan
yang memiliki informasi praktis dan mengerti tentang 3R. Program ”tanpa
sampah” juga dirancang untuk membuat karyawan lebih mudah untuk mendaur
189

ulang barang sisa dibanding untuk membuangnya, dan untuk memastikan bahwa
program 3R tersebut layak maka pusat daur ulang dimaksimalkan.
Hasil dari program ’tanpa sampah”, lingkungan Kanada mampu memulai
pengumpulan dan pendauran ulang karet sintesis di daerah ibu kota. Prakarsa lain
di bidang manajemen sampah padat di Pemerintah Pusat Kanada meliputi: a)
Implementasi dari prakarsa penghematan kertas di seluruh Pemerintahan; b)
Implementasi pengurangan sampah secara menyeluruh dan program pupuk
kompos di correctional services Kanada; c) Pengembangan suatu pemandu
komunikasi program 3R oleh Dinas Peker jaan Umum dan Kantor Pemerintah
Kanada pada tahun 1997; d) Pengembangan suatu database Pekerjaan Umum dan
Kantor Pemerintah Kanada untuk menyimpan fasilitas informasi dasar tentang
timbulan sampah dan pengurangan sampah; e) Perancangan suatu model pelatihan
dasar komputer bagi Pemerintah hijau (computer based training = CBT) yang
berisi suatu manajemen sampah padat oleh panitia Pemerintah Pusat pada sistem
manajemen lingkungan (federal committee on environmental management system
= FCEMS).

7.7. Alternatif Pengolahan Sampah


Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok (2007) telah
melakukan upaya pengurangan jumlah sampah yang masuk ke TPA. Alternatif
pengelolaan sampah untuk mengurangi sampah masuk ke TPA Cipayung telah
dilakukan dengan beberapa cara adalah: konsepsi penanganan sampah dari
sumber, skenario pemilahan sampah non organik, skenario pembuatan kompos,
metode pembuatan kompos takakura, komponen prasarana/sarana 3R di sumber,
proses sosialisasi, dan pembiayaan dan insentif.

7.7.1 Konsepsi Penanganan Sampah dari Sumber


Penanganan sampah hendaknya tidak lagi hanya bertumpu pada aktivitas
pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah. Pengelolaan sampah dari
sumbernya diharapkan dapat menerapkan upaya minimisasi, yaitu dengan cara
mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang sampah yang dihasilkan.
Pengurangan sampah hendaknya dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu
190

dengan menghemat penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan,


memilih bahan yang mengandung sedikit sampah. Upaya pemanfaatan sampah
dilakukan dengan menggunakan kembali sampah sesuai fungsinya seperti halnya
pada penggunaan botol minuman atau kemasan lainnya.
Upaya mendaur ulang sampah dapat dilakukan dengan memilah sampah
menurut jenisnya baik yang memiliki nilai ekonomi sebagai material daur ulang
(kertas, plastik, gelas/logam) maupun sampah B3 rumah tangga yang memerlukan
penanganan khusus (batere, lampu neon, kaleng sisa) dan sampah kemasan
(bungkus mie instan, plastik kemasan minyak). Pengomposan sampah diharapkan
dapat diterapkan di sumber (rumah tangga, kantor, sekolah) yang akan secara
signifikan mengurangi sampah pada tahap berikutnya.

7.7.2. Skenario Pemilahan Sampah Non Organik


Skenario pemilahan sampah non organik di kawasan pemukiman
dilakukan dengan memisahkan sampah kertas, plastik dan logam/kaca
di masing-masing sumber dengan menggunakan kantong plastik besar atau
karung kecil. Di daerah perkantoran dapat digunakan bin berwarna (hijau, kuning,
marah dan biru), mempunyai kapasitas yang dapat menampung sampah sebanyak
120 liter. Khusus untuk sampah B3 rumah tangga, diperlukan wadah khusus yang
pengumpulannya dapat dilakukan sebulan sekali atau sesuai kebutuhan.
Hasil pemilahan sampah dari sumbernya pada umumnya mempunyai kualitas
yang lebih baik dibandingkan apabila pemilahan sampah dilakukan di TPA.

7.7.3. Skenario Pembuatan Kompos


Skenario pembuatan kompos didasarkan pada praktek-praktek yang sudah
berhasil dilakukan oleh masyarakat, misalnya di Desa Sukunan Sleman
Daerah Khusus Istimewa Yogyakarta, Kawasan Cilandak di Jakarta Selatan, dan
Surabaya. Pembuatan kompos di sumbernya dapat dilakukan dengan gentong atau
bin takakura sebagai komposter. Pembuatan kompos dengan gentong
(alasnya dilubangi dan diisi kerikil serta sekam), merupakan cara sederhana
karena seluruh sampah organik dapat dimasukkan dalam gentong, diperlukan
2 gentong untuk setiap rumah yang dapat diletakkan di halaman rumah.
191

Pembuatan kompos dengan bin takakura (keranjang yang dilapisi kertas


karton, sekam padi, dan kompos matang), memerlukan sedikit kesabaran karena
dibutuhkan sampah organik terseleksi dan pencacahan untuk mempercepat proses
pematangan kompos. Komposter takakura dapat ditempatkan di dalam rumah
(tidak menimbulkan bau). Produk kompos dapat digunakan untuk program
penghijauan dan penanaman bibit.

7.7.4. Metode Pembuatan Kompos Takakura


Cara pengomposan dengan matode Takakura:
Sampah rumah tangga sisa makanan atau sisa dapur ditiriskan agar bebas
dari air/cairan dan bila ada sisa sayuran yang masih panjang, maka sisa sayuran
tersebut dirajang terlebih dahulu. Setelah dikumpulkan, sampah tersebut dicampur
dengan kompos yang sudah jadi kemudian dimasukkan ke dalam keranjang
takakura yang telah disiapkan. Sampah diaduk dengan menggunakan cetok dalam
keranjang sampai rata, kemudian diletakkan kembali bantal gabah di atasnya dan
keranjang takakura ditutup kembali. Sampah-sampah rumah tangga sisa makanan
sampah organik, dibuang setiap hari ke dalam keranjang takakura. Kompos
setelah cukup umur atau sudah matang dari takakura dikeluarkan untuk kemudian
dijemur sampai kering dan diayak menjadi kompos. Calon kompos yang belum
matang dikembalikan ke keranjang takakura. Kompos tersebut dapat digunakan
untuk keperluan pemupukan tanaman di halaman rumah sendiri.

7.7.5. Komponen Sarana/Prasarana 3R pada Sumber Sampah


Komponen prasarana/sarana 3R pada sumber sampah meliputi kantong
palstik atau karung kecil (40 – 50 liter), 3 unit/rumah, Gentong (60 – 100 liter), 2
unit/rumah, dan keranjang takakura (60 liter), 1 unit/rumah.

7.7.6. Proses Sosialisasi


Sosialisasi program 3R kepada masyarakat dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti: (a) Melalui forum ibu-ibu arisan; (b) Pertemuan warga; (c)
Lomba memilah sampah sebagai ganti permainan membawa kelerang, dan
192

bendera; (d) Lomba melukis dengan tema-tema kebersihan lingkungan; (e)


Sosialisasi kepada masyarakat (ibu rumah tangga, pemuda dan anak-anak).

7.7.7. Pembiayaan dan Insentif


Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan 3R meliputi (a) Biaya
pembelian karung/kantong plastik; (b) Biaya pembelian gentong; (c) Biaya
pembelian takakura; (d) Biaya pembelian perlengkapan pembuatan kompos
(saringan, sekop, sekam, dan karton); (e) Insentif yang didapat berupa hasil
penjualan material daur ulang dan produk kompos serta penjualan bibit tanaman.

7.8. Pengelolaan Sampah dengan Memanfaatkan Tekhnologi


MENLH dan JICA (2003) mengemukakan dalam penerapan teknologi
pengelolaan sampah harus sesuai dengan karakteristik sampah dan kemampuan
sumberdaya yang ada. Pemanfaatan teknologi pengelolaan sampah harus
memenuhi standar teknis dan ramah lingkungan. Pemanfaatan teknologi terdiri
atas: (a) Teknologi modern, misalnya pemisah magnetik, truk kompaktor,
insinerator, biogas/anaerobik, pabrik skala besar, dan sanitary landfill;
(b) Teknologi tepat guna, misalnya kantung, tong, keranjang sampah, gerobak
sampah dan komposter (Gambar 26).
Teknologi pengelolaan sampah tersebut dapat dimanfaatkan pada beberapa
kegiatan di antaranya adalah (a) Proses produksi barang, yaitu penerapan
teknologi bersih, produk dan kemasan ramah lingkungan serta teknologi nir
limbah; (b) Pemisahan sampah, yaitu kantong, tong, keranjang sampah,
pemisah magnetik, tungku pembakar, dan ban berjalan; (c) Pemanfaatan sampah,
yaitu tekhnologi daur ulang, dan teknologi pengomposan; (d) Pengangkutan
sampah, yaitu truk, dump truk, truk pemadatan, buldozer, dan gerobak sampah;
(f) Pengelolaan sampah, yaitu insinerator dan biogas; (g) Pembuangan, yaitu
sanitary landfill/controlled landfill.
193

SISTEM PEMANFAATAN TEKNOLOGI

PRODUKSI PEMISAHAN
- Teknologi bersih KONSUMSI SAMPAH - Kantung, tong,
- Teknologi air limbah 3R - Organik keranjang sampah
- Produk ramah - Anorganik trklasifikasi
lingkungan - Ban berjalan
- Pemisah magnetic
- Tungku pembakar
SENTUHAN
TEKHNOLOGI
- High Technology
- Teknologi tepat guna

PEMANFAATAN PENGANGKUTAN
- Komposter - Truk, dump truckk
- Kawasan industri PENGOLAHAN - Truk kompaktor
sampah - Insinerator - Gerobak sampah, gerobak
- Teknologi daur ulang - Biogas/anaerobic plant modifikasi
- Pembuat kertas daur - Excavator, bulldozer
ulang - Perahu sampah
PEMBUANGAN
Sanitary landfill/ Controlled landfill

Gambar 26. Sistem pemanfaatan teknologi (MENLH dan JICA, 2003)

7.9. Konsep Penanganan Sampah Berbasis Masyarakat


Tujuan pengelolaan sampah berbasis masyarakat (a) Mengurangi volume
sampah domestik tanpa insinerator atau teknologi lain yang tidak ramah
lingkungan; (b) Mendorong keterlibatan masyarakat dalam seluruh proses
pengelolaan sampah; (c) Mendorong advokasi kebijakan pengelolaan sampah
yang lebih terpadu; (d) Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan
sampah.
Dalam menangani sampah berbasis masyarakat diperlukan kerjasama dari
berbagai pemangku kepentingan yang harus menjalankan perannya masing-
masing sesuai tanggungjawab dan wewenangnya, untuk lebih jelasnya mengenai
194

tanggungjawab dan wewenang masing-masing pemangku kepentingan dapat


dilihat pada Gambar 27.

Pemerintahan :

- Regulasi - Infrastruktur
- TPA - Pendidikan Lingkungan
- Resource recovery - Komposting
- Insentif - Audit Pengelolaan Sampah

Masyarakat : Swasta :

- Pelaksanaan 3 R - Produksi ramah


- Daur ulang lingkungan
- Komposting - Tanggung jawab
- Pemilahan di sumber produser
- Program Buy Back
- Agen daur ulang
- Pembeli barang lapak

Gambar. 27. Kerjasama pemangku kepentingan

Konsep penanganan sampah berbasis masyarakat dapat dilihat pada


Gambar 28. Penanganan sampah berbasis masyarakat dikelompokkan menjadi
dua yaitu skala rumah tangga dan skala kawasan yang diuraikan sebagai berikut:
1. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat skala rumah tangga.
Pengelolaan sampah tersebut melalui beberapa tahap yaitu: pemilahan dan
pewadahan sampah di rumah tangga dan sekolah. Jenis wadah sampah
dibedakan menjadi dua, yaitu: jenis 2 wadah (untuk sampah organik dan
non organik) dan jenis 3 wadah (untuk sampah organik, lapak, dan residu).
Pengomposan sampah dilakukan dengan menggunakan metode tanam di
tanah, metode keranjang/ban susun dan metode komposter sederhana dalam
gentong atau drum plasik. Tingkat reduksi sampah yang diharapkan 30 – 40%.
2. Pengelolaan sampah berbasis masyarakat berskala kawasan
Pengumpulan sampah dapat dilakukan tanpa pemilahan di rumah tangga atau
dengan pemilahan di rumah tangga. Fasilitas pengelolaan sampah yang di-
gunakan berupa area pengomposan, area lapak dan area daur ulang lanjutan
195

(kebun organik, bengkel daur ulang). Pembuangan residu dilakukan ke TPS


atau TPA. Tingkat residu dari pengelolaan sampah diharapkan sebesar
30 – 40%.

Pemanfaatan
Pilihan kembali/daur ulang
Level TPA
Pilihan
Pengangkutan dari
Pilihan TPS ke TPA

Level TPS Pilihan


Pengumpulan ke
Pilihan TPS

Level Rumah
Pilihan
Tangga

Gambar 28. Sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat

Pendekatan yang harus dilakukan di dalam penanganan sampah berbasis


masyarakat (Gambar 28) adalah (a) Inisiatif berangkat dari kebutuhan; (b)
Keterlibatan warga baik perempuan maupun laki-laki; (c) Pada level pengelolaan
rumah tangga, komunal/kawasan (RT,RW, dan dusun, desa); (d) Melalui
media/forum lokal dengan melakukan pertemuan rutin warga, gotong royong,
kegiatan keagamaan.
Pengorganisasian masyarakat/kelambagaan dapat dilakukan dengan
melakukan pelatihan kepemimpinan, pemberdayaan organisasi lokal yang ada,
dan pembentukan kelompok pengelola baru/KSM lokal/komite pengelola/bank
sampah.
Kunci keberhasilan yang harus dilakukan di dalam penanganan sampah
berbasis masyarakat ini adalah aspek pendanaan dan aspek keberlanjutan.
Aspek pendanaan terdiri atas (1) Investasi awal/konstruksi dari Pemerintah
(untuk fasilitas umum), donor lokal/internasional (untuk fasilitas umum), dan
196

swadaya masyarakat (pewadahan dan komposting di tingkat KK); (2) Modal awal
pembuatan produk-produk daur ulang. Aspek keberlanjutan terdiri atas
(1) Operasional dan pemeliharaan berupa iuran bulanan dan penjualan produk
daur ulang berupa kompos, barang dagangan, dan produk bahan bangunan;
(2) Pengakuan seperti penghargaan, insentif, expose kepada pihak luar,
studi banding, dan replikasi.
Alternatif pengelolaan sampah yang difokuskan adalah prinsip 3R
(reuse, reduce, recycle). Kegiatan saat ini sudah banyak dilakukan oleh
masyarakat adalah recycle, dengan istilah yang lebih dikenal oleh masyarakat
adalah “daur ulang“. Cara daur ulang yang umumnya dilakukan masyarakat
adalah komposting untuk sampah organik. Metode yang telah dicoba dan di-
kembangkan oleh masyarakat untuk mengelola sampah secara mandiri baik
komunal maupun domestik (rumah tangga), antara lain:

1. Keranjang Takakura
Metode ini cukup berhasil untuk diterapkan pada masyarakat, namun karena
kapasitasnya kecil maka lebih cocok untuk skala domestik (rumah tangga).
Desain yang bagus dan tidak makan tempat, seperti halnya keranjang plastik
biasa membuat alat tersebut fleksibel untuk ditempatkan di dapur.

2. Tong Komposter (Semi Aerob)


Tong komposter semi aerob ini mempunyai ukuran lebih besar, dan
mempunyai lubang-lubang pengeluaran udara (exhause) untuk mendukung
sistem semi aerob (an-aerob fakultatif) pada proses fermentasi dan
dekomposisi. Kapasitas tampungnya lebih besar karena dibuat dari bahan
dasar tong plastik berkapasitas 50 liter. Tong tersebut untuk skala rumah
tangga, tetapi dengan jumlah banyak maka bisa diterapkan untuk skala
komunal. Desain tong tersebut memiliki lubang di bagian dasarnya yang
sangat sesuai untuk diterapkan dengan kombinasi penggunaan bakteri
pengurai pada campuran bahan sampah organik sebelum dimasukkan ke
dalam tong komposter ini. Lubang di bagian dasar dan di bagian exhause
197

(pengeluaran udara) tersebut diharapkan bisa menjaga kondisi kelembaban


yang optimum bagi proses komposting.

3. Tong Komposter (Aerob)


Tong komposter terbuat dari plastik dengan kapasitas 50 liter yang dilengkapi
dengan cerobong asap sepanjang ± 2 meter, yang berfungsi menyalurkan gas
buang/bau yang diproduksi selama proses komposting berlangsung. Ke-
banyakan masyarakat membuat barang-barang kreasi dari sampah anorganik
yang sudah tidak dipakai lagi, misalnya, membuat tirai dari plastik bekas
minuman gelas, dan membuat tas dari plastik pembungkus deterjen.
Hambatan terbesar dari penerapan daur ulang adalah kebanyakan produk
tidak dirancang untuk dapat didaur ulang jika sudah tidak terpakai lagi.
Hal ini karena para pengusaha tidak mendapat insentif ekonomi yang menarik
untuk melakukannya. Perluasan tanggungjawab produsen (extended producer
responsibility - EPR) adalah suatu pendekatan kebijakan yang meminta produsen
menggunakan kembali produk-produk dan kemasannya. Kebijakan memberikan
insentif kepada mereka untuk mendisain ulang produk mereka agar me-
mungkinkan untuk didaur ulang, tanpa material-material yang berbahaya dan
beracun, namun demikian EPR tidak selalu dapat melaksanakan atau
mempraktekkan, mungkin baru sesuai untuk pelarangan terhadap material-
material yang berbahaya dan beracun dan material serta produk yang bermasalah.
Satu sisi, penerapan larangan penggunaan produk dan EPR untuk memaksa
industri merancang ulang, dan pemilahan di sumber. Komposting dan daur ulang
merupakan sistem-sistem alternatif. Komunitas-komunitas telah banyak yang
telah mampu mengurangi 50% penggunaan landfill atau insinerator bahkan
beberapa sudah mulai mengubah pandangan mereka untuk menerapkan
“ Zero Waste “ atau “ bebas sampah “.

7.10. Rekomendasi Pengelolaan dan Pengolahan Sampah Kota Depok


7.10.1. Strategi Pengembangan
Pengembangan kapasitas pelayanan kebersihan akan dilakukan secara
bertahap, karena kemampuan pengelola untuk melaksanakan peningkatan
198

kapasitas pelayanan hingga seluruh daerah terlayani masih terbatas.


Berdasarkan keterbatasan tersebut maka daerah yang akan dilayani hanya daerah
yang mempunyai kepadatan lebih besar dari 50 jiwa/ha, sedangkan daerah yang
mempunyai kepadatan < 50 jiwa/ha maka kebersihannya masih dapat dilakukan
dengan memanfaatkan lahan yang ada (penanganan secara individual yaitu
dengan pembakaran atau penimbunan) tanpa menimbulkan resiko pencemaran
yang besar (masih dalam batas toleransi).
Daerah urban akan mendapatkan pelayanan kebersihan. Pengembangan
daerah pelayanannya akan dilakukan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan
pelayanan kebersihan. Prioritas ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu
kepadatan daerah terbangun, potensi ekonomi dan kesesuaian dengan rencana
induk kota.

7.10.1.1. Kepadatan Daerah Terbangun


Daerah yang mempunyai kepadatan tinggi akan mendapatkan prioritas utama
untuk mendapat kebersihan. Untuk tahap mendesak daerah yang akan
dilayani ditetapkan yang mempunyai kepadatan lebih besar atau sama dengan
50 jiwa/ha.

7.10.1.2. Potensi Ekonomi


Potensi ekonomi yang dimaksud adalah kemampuan dan kemauan masyarakat
untuk ikut serta dalam pembiayaan pengelolaan kebersihan dengan cara
membayar retribusi yang ditetapkan Pemerintah Kota Depok.

7.10.1.3. Kesesuaian Dengan Rencana Induk Kota


Pengembangan daerah pelayanan akan disesuaikan dengan tata guna lahan
dan rencana kepadatan penduduk, sehingga daerah yang direncanakan untuk
mendapat pelayanan kebersihan adalah daerah yang memang ditetapkan
sebagai daerah pemukiman dan komersil. Dalam rangka pengembangan
kapasitas pelayanan ada beberapa perbaikan terhadap cara pengelolaan yang
dilakukan selama ini yaitu selain penambahan peralatan dan tenaga kerja yang
dibutuhkan juga ada penggantian sarana prasarana seperti TPS persil menjadi
199

TPS pasangan batu bata kapasitas 4 m3 yang akan dilaksanakan pada tahap
mendesak.

7.10.2. Aspek Tekhnik Operasional

7.10.2.1. Rencana Daerah dan Tingkat Pelayanan

Keterbatasan pengelola untuk mencapai sasaran daerah urban dapat


terlayani dengan penetapan wilayah pelayanan. Prinsip dasar dalam
pengembangan wilayah pelayanan adalah mengembangkan wilayah pelayanan
baru dari wilayah pelayanan yang sudah ada berdasarkan kepadatan penduduk
pada wilayah pelayanan baru tersebut (konsep rumah tumbuh). Secara lebih
spesifik rencana pengembangan wilayah pelayanan akan didasarkan pada tiga
kriteria, yaitu 1) potensi ekonomi (potensi retribusi yang dapat ditagih) di wilayah
pelayanan baru, 2) kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan
3) kepadatan penduduk. Pengembangan daerah pelayanan persampahan
direncanakan pada wilayah perencanaan untuk tahap jangka mendesak dan
jangka menengah dapat dilaksanakan dengan sistem konvensional dan 3R+1P.

7.10.2.2. Rencana Pola Pelayanan


Pola pelayanan secara teknis dapat diterapkan beberapa alternatif untuk
kota Depok, terutama pada tahap alternatif pengumpulan dan pengangkutan. Pola
pengumpulan dapat dibagi dua bagian yaitu pengumpulan secara individual
(petugas pengumpulkan sampah dari sumber sampah dan mengangkutnya ke TPS
atau langsung dibuang ke TPA) dan pengumpulan secara komunal (penghasil
sampah mengumpulkan sampah ke TPS terdekat).
Pola individual terdiri atas dua pola yaitu pola individual langsung dan
pola individual tidak langsung. Yang membedakan ke dua pola tersebut adalah
cara pengumpulan sampah yang diberlakukan. Jika pengumpulan sampah
dilakukan langsung dengan truk (berfungsi sekaligus sebagai alat penangkut)
maka pola tersebut disebut pola individual langsung. Pola individual tak langsung
adalah pola pengelolaan yang memisahkan antara alat pengumpul dengan alat
pengangkut. Alat pengumpul yang digunakan adalah gerobak. Pola individual tak
200

langsung ini juga dibedakan dalam dua tipe, yang dibedakan berdasarkan jenis
alat pengangkut yang digunakan yaitu dump truk dan arm roll.
Pola komunal ada dua tipe yang digunakan. Perbedaan kedua tipe tersebut
adalah pada penggunaan jenis alat angkut yang digunakan. Pada pola komunal
Tipe I digunakan alat angkut dump truk sedangkan pada Tipe II digunakan alat
angkut arm roll. Pola Pelayanan yang direncanakan untuk Kota Depok dipilih
dengan mempertimbangkan hal–hal sebagai berikut: (a) Pemanfaatan sarana dan
prasarana yang ada; (b) Topografi daerah pelayanan yang relatif datar; (c) Letak
rumah tinggal yang pada umumnya mengikuti/menelusuri jalan; (d) Volume
sampah masing – masing penghasil sampah; dan (e) Kepadatan penduduk.

7.10.2.2.1. Pola Pelayanan untuk Tahap Mendesak


Pola pelayanan yang akan digunakan untuk tahap mendesak sama dengan pola
pelayanan pelayanan saat sekarang dan ditambah dengan UPS (Unit Pengolahan
Sampah) atau pengolahan sampah yang berbasis masyarakat. Jumlah lokasi UPS
pada tahap sekarang sebanyak 20 lokasi. Pola perencanaan dalam rangka
peningkatan pelayanan persampahan/ kebersihan di Kota Depok terdiri atas
(1) pola pelayanan skala rumah tangga; (2) pola penanganan skala kawasan; dan
(3) pola penanganan skala kota.

7.10.2.2.2. Pola Pelayanan Untuk Tahap Jangka Menengah


Pola pelayanan yang digunakan pada tahap pelayanan jangka menengah
tersebut merupakan pelengkapan terhadap pola pelayanan yang digunakan pada
tahap mendesak. Pelengkapan tersebut terdapat pada penggunaan UPS lebih
banyak. Jumlah lokasi UPS pada tahap sekarang menjadi 63 lokasi.
Pelaksanaan kegiatan 3R yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan
kembali), dan recycle (mendaur ulang) sampah yang dihasilkan oleh masyarakat
akan mengurangi jumlah sampah secara langsung tanpa memerlukan upaya
keahlian khusus oleh masyarakat, dengan demikian penyuluhan tentang reduce
(mengurangi) dan reuse (mengunakan kembali) yang dilakukan lebih kepada
upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat dalam memperlakukan bahan bekas.
Penyuluhan tentang kegiatan recycle (mendaur ulang) akan mencakup upaya
201

untuk mengubah pola pikir masyarakat dalam memperlakukan bahan bekas dan
juga upaya memberikan keahliaan khusus untuk mengolah sampah menjadi
bentuk baru, seperti pelatihan pembuatan kompos, kertas daur ulang.
Hasil pengamatan terhadap komposisi sampah di Kota Depok, kegiatan
daur ulang (recycle) yang layak dilakukan adalah pembuatan kompos serta daur
ulang plastik, besi, dan kuningan. Pelaksanaan daur ulang saat ini sudah dilakukan
di TPA Cipayung. Untuk memperkenalkan dan meyakinkan masyarakat agar mau
melaksanakan pembuatan kompos tersebut, pengelola kebersihan Kota Depok
perlu melakukan proyek perintisan/percontohan pembuatan kompos dan
menjamin pembelian kompos yang dihasilkan oleh masyarakat.
Metode lain dalam pembuatan kompos yang diusulkan adalah metode
terowongan bambu yang pelaksanaannya relatif mudah dan membutuhkan biaya
investasi yang tidak besar untuk melaksanakannya. Penjaminan pembelian hasil
kompos masyarakat perlu dilakukan karena kesulitan utama yang dialami oleh
masyarakat pembuat kompos adalah pemasaran kompos yang dihasilkan, untuk
itu diusulkan agar pengelola kebersihan Kota Depok menjamin pembelian
kompos yang dihasilkan masyarakat tersebut dan mengunakannya untuk
pertamanan kota, dan membuat kerja sama dengan Dinas Pertanian untuk
mengunakan kompos tersebut pada kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian.
Pembuatan kompos dilakukan dalam satuan usaha berupa usaha daur dan
produksi kompos (UDPK). Satuan usaha tersebut melakukan dua pekerjaan
sekaligus: pembuatan kompos dan usaha pendaur-ulangan bahan-bahan yang
dapat langsung dimanfaatkan, baik untuk penggunaan kembali, maupun sebagai
bahan baku industri. UDPK sebagai suatu bahan usaha, bertujuan memproduksi
kompos bermutu tinggi dari bahan baku sampah perkotaan. Dalam metoda UDPK,
proses pembuatan kompos dilakukan secara biologis. Dengan mengandalkan
berbagai jenis jasad renik (mikroorganisma) yang terdapat dalam tumpukan
sampah. Proses yang terjadi adalah proses aerobik, yang relatif tidak berbau dan
lebih cepat. Pada prinsipnya, yang harus dilakukan adalah mengusahakan
berlangsungnya proses ideal, agar jasad renik tersebut dapat hidup dan
berkembangbiak secara optimal. Pada masa mendatang perlu adanya usaha dari
202

Pemerintah untuk melakukan usaha daur ulang dan komposting dengan


melibatkan masyarakat/swasta, terutama pada TPA untuk jangka menengah dan
jangka panjang yaitu TPA Cipayung Kota Depok.

7.10.2.3. Rencana Tekhnik Operasional

7.10.2.3.1. Pewadahan
Wadah yang diusulkan untuk daerah pemukiman dan pertokoan adalah
kantong plastik, bin (terbuat dari plastik atau drum bekas yang dipotong dan
diberi pegangan untuk memudahkan proses pemindahan sampah ke alat
pengumpul). Volume bin disesuaikan dengan produksi sampah yang dihasilkan
konsumen dengan kriteria volume mampu menampung sampah untuk produksi
3 hari. Di daerah pasar digunakan bin, kantong plastik atau kardus dan keranjang
bekas. Industri rumah tangga dan bangunan institusi yang mempunyai produk
sampah besar (>100 liter) digunakan bin plastik ukuran 200 liter.
Penyeragaman penggunaan wadah diharapkan dapat diselesaikan pada
awal pelaksanaan tahap jangka menengah, sedangkan pada tahap mendesak masih
diizinkan menggunakan wadah seperti jenis sekarang tapi harus diingat fungsinya
yaitu harus tertutup dan mudah dikosongkan/dioperasikan.

7.10.2.3.2. Pengumpulan
Pengumpulan dilakukan dengan dua cara yaitu komunal dan individual.
Pada cara komunal, pengumpulan sampah dari pewadahan ke TPS (bak sampah)
akan dilaksankan oleh penghasil sampah. Pada pola individual, pengumpulan
sampah dari pewadahan ke TPS (bak sampah) akan dilaksankan oleh petugas.
Pengumpulan secara individual hanya dilaksanakan pada daerah permukiman
teratur. Pengumpulan dengan cara individual akan dilakukan dengan gerobak,
setiap gerobak dilayani oleh 2 petugas.

7.10.2.3.3. Pemindahan
Pada tahap mendesak, lahan pemindahan yang digunakan masih berbentuk
TPS (bak sampah dan kontainer). Lahan pemindahan yang berbentuk transfer
depo tipe I dan kontainer baru mulai digunakan pada tahap awal PJM.
203

Transfer depo direncanakan digunakan sekitar komplek perumahan teratur atau di


sekitar pasar bersama yang memiliki jumlah sampah besar (lebih besar dari
5 m3/hari), sedangkan kontainer dan bak sampah yang baru akan digunakan
sekitar perumahan teratur dan tidak teratur.
Kondisi yang sudah ada berupa TPS seperti bak sampah pasangan batu
bata, kontainer dan TPS persil. Penghasil sampah langsung mengumpulkannya ke
TPS tersebut, dari TPS dipindahkan ke dalam mobil sampah untuk selanjutnya
diangkut ke TPA (tempat pemrosesan akhir). Pola yang baru dengan gerobak
(door to door) langsung menuju kontainer dan selanjutnya ke TPA dengan
menggunakan arm roll, berdasarkan perencanaan untuk Kota Depok, ada dua
macam bentuk pemindahan yang dapat dipakai yaitu:
a. TPS pasang batu bata dengan ukuran 4 m3.
Perencanaan pada tahap mendesak sebagai TPS persil akan ditiadakan
diganti dengan TPS pasang batu bata yang berfungsi menampung
sampah sementara sebelum dipindahkan ke dump truk selanjutnya
dibawa ke TPA.
b. Transfer Depo
Tranfer depo yang direncanakan adalah tipe I (luas 200 m2) akan
digunakan pada tahap jangka menengah dan jangka panjang.
Radius pelayanan tiap lokasi ditentukan sepanjang 1 km, sedangkan
transfer depo tipe II (luas 10 m2) hanya berupa landasan kontainer.

7.10.2.3.4. Pengangkutan
Pengangkutan sampah dari lokasi pemindahan ke lahan pemrosesan akhir
(TPA) menggunakan dump truk dengan kapasitas 6 m3 dan arm roll dengan
kapasitas 6 m3. Alat angkut tersebut milik Pemerintah Kota Depok (Dinas
Kebersihan dan Pertamanan) yang ada saat ini diperkirakkan masih dapat
dipergunakan sampai tahap mendesak. Pemeliharaan dari peralatan sangat
diperlukan sehingga dapat berfungsi sampai tahap PJM, tingkat pelayanan akan
menurun dengan pola konvensional sehingga penambahan alat angkut tidak
signifikan.
204

7.10.3. Aspek Peraturan


7.10.3.1. Tahap Mendesak
Pemerintah Daerah Kota Depok perlu menyusun SOP tentang Pengolahan dan
Pengelolaan UPS yang sedikitnya berisi tentang 1) Prosedur pengang-
kutan/pengumpulan sampah; 2) Prosedur pengoperasian peralatan UPS; 3)
Prosedur pemeliharaan peralatan UPS; dan 4) Organisasi pengelolaan UPS.

7.10.3.2. Tahap Jangka Menengah

Pemeritah Kota Depok perlu menyusun pembuatan Peraturan Daerah tentang


Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban Kota (K3) yang isinya harus mencakup
antara lain meliputi:

1. Kebersihan dan Keindahan yang meliputi a). Kebersihan dan keindahan


bangunan; b) Kebersihan dan keindahan jalan, jalur hijau, dan taman; c)
Kebersihan dan keindahan pusat perbelanjaan dan pasar; d) Kebersihan dan
keindahan terminal.
2. Ketertiban yang meliputi a) Ketertiban lahan dan bangunan; b) Ketertiban
jalan, jalur hijau, dan taman; c) Ketertiban pusat perbelanjaan dan pasar; d)
Ketertiban terminal dan penumpang; e) Ketertiban dan keamanan lingkungan;
f) Cara pengambilan, pengangkutan/pembuangan dan pe-musnahan sampah;
g) Badan yang berhak dan mempunyai wewenang dalam melaksanakan
pengawasan/penyidikan/penindakan terhadap pe-langgaran Perda sudah
dirumuskan dengan jelas.

7.10.4. Aspek Kelembagaan dan Organisasi


7.10.4.1. Tahap Mendesak
Pemerintah Kota Depok perlu melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:

1. Penambahan seksi penyuluhan dalam struktur organiasi Dinas Kebersihan dan


Pertamanan.
Penyuluh dibutuhkan untuk mengantisipasi kebutuhan akan kelancaran
program penyuluhan yang dinilai sangat mendesak mengingat masih
205

rendahnya kesadaran masyarakat mengenai perlunya pengolahan sampah


dengan metode 3R mulai dari rumah tangga.

2. Penambahan jumlah petugas pesapon (petugas penyapu jalan).


Petugas pesapon perlu ditambahkan untuk memenuhi rasio 1:1.000 antara
jumlah pesapon dan jumlah penduduk yang akan dilayani, yang diperkirakan
akan mencapai 328.107 jiwa, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok
perlu menambah jumlah petugas pesapon hingga mencapai 328 orang pada
Tahun 2010.

7.10.4.2. Tahap Jangka Menengah


Pada tahap jangka menengah, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Depok perlu menambah jumlah petugas pesapon hingga mencapai 361 orang
untuk memenuhi rasio 1:1.000 antara jumlah petugas pesapon dan jumlah
penduduk yang akan dilayani sampai 2012 yang diperkirakan akan mencapai
361.368 jiwa.

7.10.5 Aspek Partisipasi Masyarakat


7.10.5.1. Tahap Mendesak

1. Penyuluhan penanganan sampah dengan metode 3R.


Penyuluhan penanganan sampah dengan metode 3R perlu dilaksanakan,
terutama di lingkungan pemukiman yang banyak terdapat lokasi timbulan
sampah liar. Penyuluhan dilakukan dengan mengumpulkan masyarakat (ibu-
ibu rumah tangga, dan pemuda) dan memberitahukan untuk memilah barang-
barang apa saja yang dapat di reuse, reduce, recycle, sehingga mereka dapat
mempraktekkan langsung dalam kegiatan sehari-hari.

2. Sosialisasi sistem penanganan sampah dengan skala kawasan.


Pada tahap mendesak sosialisasi sistem penanganan sampah skala kawasan
dilaksanakan dengan sasaran:

a. Kelompok-kelompok strategis di masyarakat, seperti anggota legislatif,


aparat Pemda, wartawan, LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat;
206

b. Warga masyarakat di Kelurahan-kelurahan yang direncanakan akan segera


menjadi lokasi UPS.
3. Pelatihan pengolahan dan pengelolaan sampah skala kawasan.
Kegiatan pelatihan ini terdiri atas dua tahap:

a. Pelatihan untuk pelatih yang diperuntukkan bagi tokoh-tokoh masyarakat


dan kader-kader pendamping masyarakat di tingkat Kelurahan yang
diharapkan akan menjadi pelatih dalam pelatihan masyarakat di tingkat
bawah (Kelurahan).

b. Pelatihan masyarakat dengan kelompok sasaran masyarakat yang


diharapkan akan dilibatkan dalam pengelolaan UPS di tingkat Kelurahan.

7.10.5.2. Tahap Jangka Menengah


Kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat hanya merupakan kelanjutan
kegiatan tahap mendesak sebelumnya, yaitu:

1. Sosialisasi sistem penanganan sampah skala kawasan dilaksanakan dengan


sasaran warga masyarakat di Kelurahan-kelurahan yang direncanakan akan
segera menjadi lokasi UPS.

2. Pelatihan pengolahan dan pengelolaan sampah skala kawasan dalam rangka


pelibatan masyarakat dalam pengelolaan UPS di Kelurahan-kelurahan yang
akan menjadi lokasi UPS.

7.10.6 Pengelolaan Sampah Terpadu


Ada lima tahap pengelolaan sampah terpadu yang dapat diterapkan.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 26. Pengelolaan sampah terpadu
mempunyai peranan sangat penting. Dewi (2008) mengemukakan pengelolaan
sampah secara bijak akan mampu mengurangi kerusakan lingkungan dan
meningkatkan taraf ekonomi masyarakat sekitar kawasan TPA.
207

Tabel 26. Pengelolaan sampah terpadu

No Tahapan Pengelolaan Keterangan


Sampah Terpadu
1. Cegah Diterapkan dengan meminimalkan jumlah barang yang digunakan.
Pengurangan dilakukan tidak hanya berupa jumlah, tetapi juga
mencegah penggunaan barang-barang yang mengandung kimia
berbahaya dan tidak mudah terdekomposisi
2. Pakai ulang (reuse) Memperpanjang usia penggunaan barang melalui perawatan dan
pemanfaatan kembali barang secara langsung. Barang diusahakan
dipakai berulang-ulang.
3. Daur ulang (recycle) Mengolah barang yang tidak terpakai menjadi barang baru. Upaya
tersebut memerlukan campur tangan produsen dalam prakteknya.
Namun, beberapa sampah dapat didaur ulang secara langsung oleh
masyarakat. Pengomposan, pembuatan batako dan briket merupakan
contoh produk hasilnya.
4. Tangkap energi (energy Banyak diterapkan pada sampah yang memiliki nilai kalor bakar
recover) tinggi. Sampah organik pun bisa diaplikasikan pada upaya tersebut
melalui gas metan yang dihasilkan saat proses pembusukan. Upaya
tangkap energi bisa diterapkan sebelum atau sesudah upaya buangan
sampah berlangsung.
5. Buang (dispostal) Merupakan alternatif terakhir jika semua cara di atas telah
dioptimalkan. Pembuangan sampah pun harus dilakukan secara aman
pada lokasi yang telah disepakati

7.11. Kesimpulan
Tahun 2013 sampah yang masuk ke TPA Cipayung diprediksikan sudah
melebihi kapasitas daya tampungnya, maka langkah yang dapat diambil oleh
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok adalah dengan menambah luas
TPA dan memaksimalkan lagi program 3R + 1P dimulai dari sumber sampahnya,
sehingga sampah yang akan masuk ke TPA semakin sedikit dan usia TPA dapat
bertambah serta dapat mengurangi biaya operasional pengangkutan sampah ke
TPA. Peran serta masyarakat dalam pembiayaan tampaknya cukup baik.
Hal ini dapat dilihat dari realisasi pemungutan retribusi dari tahun 2001 sampai
2005 yang rata-rata hampir mencapai 100% dari target. Hasil survei rumah tangga
memperlihatkan bahwa sejumlah sampel rumah tangga yang mendapatkan
208

pelayanan pengangkutan sampah di Kota Depok, hampir seluruhnya (98%) tidak


menerapkan pola 3 R. Sampel rumah tangga yang tidak mendapat pelayanan
pengangkutan sampah, 28% di antaranya masih membuang sampah ke jalan atau
ke sungai/selokan, 68% membuangnya ke tanah/lahan kosong

7.12. Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2000. Kota Depok dalam Angka 2007. Bapeda Kota
Depok. Depok.

Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok. 2007. Audit Lingkungan
TPA Cipayung-Kota Depok. PT. Sucofindo Prima Internasional Konsultan.
Jakarta.
Gani. D.S. 2007. Kebudayaan, Pendidikan, dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia Indonesia. Ilmu Penyuluhan Pembangunan Meningkatkan
Kapasitas Sumber Daya Manusia Menuju Kemandirian. No 2. (3) : 129-135

Hartisari. 2007. Sistem Dinamik Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri
dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Hidayat, B. 2008. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di


Indonesia. Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Penerbit Kelompok
Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL). Jakarta.
MENLH dan JICA. 2003. Draft Naskah Akademis Peraturan Perundang-
Undangan Pengelolaan Sampah. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

MENLH. 2007. Buku Panduan Implementasi 3R. Kementrian Negara Lingkungan


Hidup. Jakarta.

Saribanon, N. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah


Permukiman Berbasis Masyarakat (Kasus di Kotamadya Jakarta Timur).
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor
Soerjani, M. R. R. Ahmad. Munir. 2008. Lingkungan : Sumberdaya Alam dan
Kependudukan dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta.
Sterman. J.D. 2000. Business Dynamics: System Thinking and Modeling for a
Complex World. Irwin McGraw-Hill. Boston.
Sudrajat, H.R. 2006. Mengelola Sampah Kota. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suparlan, P. 2004. Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan : Perspektif Antropologi
Perkotaan. Penerbit YPKIK.Jakarta.
209

Wiyatmoko, H. dan Sintorini. 2002. Menghindari, Mengelola dan Menyingkirkan


sampah. Abdi Tandur. Jakarta.

Winardi. 1999. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistim. Penerbit
Mandar Maju. Bandung.
VIII. PEMBAHASAN UMUM

Saat ini Kota Depok merupakan salah satu wilayah yang sedang ber-
kembang sangat pesat. Letak geografis Kota Depok yang berbatasan langsung
dengan Kota Jakarta yang merupakan Ibu kota Negara, membuat posisi Kota
Depok sangat strategis. Hal ini yang membuat Kota Depok semakin berkembang.
Kota Depok menjadi daerah lintas antara Jawa Barat dan Jakarta, bahkan Kota
Depok menjadi wilayah yang sangat startegis untuk bermukim warga masyarakat
dari Jawa Barat maupun warga masyarakat dari kota lainnya. Kota Depok
merupakan daerah penyeimbang atau counter magnet sekaligus penyangga Kota
Jakarta, sehingga menyebabkan terjadinya perkembangan pembangunan dibidang
sarana dan prasarana serta infrastruktur. Pesatnya perkembangan pembangunan
menyebabkan laju pertumbuhan penduduk di Kota Depok meningkat. Peningkatan
jumlah sampah diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini terjadi
karena pola hidup masyarakat Kota yang semakin konsumtif, sehingga mem-
pengaruhi jumlah timbulan sampah yang dihasilkan, akhirnya meningkatkan
beban kinerja TPA jika sampah tersebut tidak dikelola dari sumbernya (Buana,
2004).
Persampahan merupakan salah satu permasalahan lingkungan hidup yang
semakin meningkat dan komplek. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk,
timbulan sampah dengan akumulasi buangan sampah padat yang bersumber dari
berbagai kegiatan masyarakat juga ikut meningkat. Oleh sebab itu, diperlukan
suatu sistem pengelolaan yang cepat dan cermat guna memelihara dan
meningkatkan kualitas lingkungan, sosial, ekonomi, dan kesehatan terutama
terhadap masyarakat yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi TPA Cipayung.
Salah satu upaya dalam melaksanakan pembangunan berwawasan
lingkungan adalah mereduksi sampah dari sumbernya langsung. Kegiatan tersebut
merupakan implementasi dari prinsip 3R+1P yaitu reduce (mengurangi), reuse
(menggunakan kembali), recycle (mendaur ulang), dan partisipasi (pelibatan
masyarakat) (MENLH dan JICA, 2003).
211

Untuk mencegah pencemaran lingkungan perairan di kawasan TPA, maka


Pemerintah mengeluarkan Peraturan Permenkes No.416/MENKES/PER/IX/1990
untuk kualitas air sumur, PPRI No.28/2001 Gol. III untuk kualitas badan air pe-
nerima (BAP), dan SK Gub. Jawa Barat No.6/1999 untuk kualitas air lindi. Hasil
pengukuran kualitas air pada beberapa lokasi sampel di sumur menunjukkan
beberapa variabel sampel yaitu besi (Fe), mangan (Mn) telah di atas NAB yang
diijinkan. Kualitas air di BAP (Badan Air Penerima) yang sudah di atas NAB
adalah unsur nitrit (NO2-N), BOD5 dan seng (Zn). Kualitas air lindi di
TPA Cipayung yang telah di atas NAB adalah unsur besi (Fe), mangan (Mn),
BOD5, COD dan fenol. Kadar fenol sudah di atas NAB yang diizinkan untuk
Golongan I. Tingginya variabel kimia pada lokasi sampel diduga disebabkan oleh
keadaan perairan dalam kondisi anaerob akibat tingginya kadar bahan organik
pada saat proses dekomposisi yang berasal dari lokasi TPA. Hasil uji pemeriksaan
Coliform pada kualitas air sumur dan BAP (Badan Air Penerima) masih di bawah
nilai NAB.
Kegiatan di TPA menimbulkan berbagai tanggapan dari responden di
sekitar lokasi TPA. Tanggapan tersebut dapat dikategorikan berdasarkan manfaat
yang diterima sebagai akibat beroperasinya TPA di daerah mereka. Sebagian
besar tanggapan responden terhadap TPA Cipayung kurang sebanyak 58,62%,
buruk sebanyak 27,59%, tanggapan baik sebanyak 9,19% dan tanggapan tidak
tahu sebanyak 4,60%. Munculnya berbagai tanggapan tersebut terkait dengan
manfaat dari TPA yang dirasakan langsung oleh responden. Bagi responden yang
mendapatkan manfaat, baik langsung (misalnya sebagai karyawan atau pemulung)
maupun tidak langsung (ada sanak keluarganya yang bekerja sebagai karyawan)
tanggapannya positif. Mereka yang merasa tidak mendapat manfaat,
tanggapannya negatif.
Sikap positif umumnya ditunjukkan oleh masyarakat lokal, sementara
sikap negatif lebih banyak ditunjukkan oleh komunitas pendatang, yang hanya
tinggal di sekitar TPA tetapi bekerja di tempat lain. Gangguan lingkungan yang
dikeluhkan masyarakat akibat dampak TPA yang dirasakan oleh responden di
antaranya adalah bau sebanyak 45,98%, banyak lalat sebanyak 8,05%,
212

macet sebanyak 1,15%, lainnya (tidak terkena dampak) sebanyak 4,60%, bau dan
banyak lalat sebanyak 32,18%, banyak lalat dan pencemaran air sebanyak 1,15%,
bau, banyak lalat dan pencemaran air sebanyak 2,29%, serta bau, banyak lalat,
macet dan pencemaran air sebanyak 4,60%. Keluhan tersebut dirasakan hampir
merata baik dari penduduk Kampung Benda Barat, Kampung Bulak Barat, dan
Blok Rambutan ketiganya masuk wilayah Kelurahan Cipayung serta Kelurahan
Pasir Putih. Bau menurut mereka tidak terjadi secara rutin, namun bersifat
sementara dan berhubungan dengan arah angin dengan durasi yang juga tidak
menentu, biasanya antara 5 hingga 15 menit. Menurut penduduk, bau akan terjadi
jika terjadi pembongkaran sampah yang sudah mulai membusuk dan kebetulan
ada angin bertiup ke arah pemukiman.
Pada kondisi normal, masalah bau busuk sebenarnya tidak ditemui.
Pada dasarnya masyarakat sudah maklum dengan kondisi bau sampah, mengingat
tempat tinggal mereka berdekatan dengan TPA, namun tetap saja penduduk
merasa terganggu. Bagi masyarakat di RT 04/02 Pasir Putih bagian Selatan,
bau bercampur dengan bau peternakan ayam yang lebih dominan, sehingga
bau sampah tidak dirasakan terlalu mengganggu. Selain akibat keberadaan TPA,
masalah bau dikeluhkan masyarakat Blok Rambutan khususnya akibat lalu-lintas
truk pengangkut sampah. Menurut penduduk setempat, truk sampah yang sudah
kosong dan masih kotor, menebarkan bau yang lebih keras ketimbang truk yang
masih terisi muatan. Selain masalah bau, kedatangan lalat juga dikeluhkan oleh
sebagian penduduk. Namun demikian, menurut tokoh masyarakat setempat,
kedatangan lalat tidak identik dengan keberadaan TPA. Lalat hanya datang ke
pemukiman pada awal musim penghujan dan musim mangga, serta terjadi
menyeluruh baik wilayah yang dekat dengan TPA maupun wilayah yang relatif
jauh. Warga Kampung Bulak Barat menjelaskan lalat tersebut datang selain
setelah hujan turun juga di karenakan adanya ceceran sampah di sepanjang jalan
menuju TPA.
Keresahan masyarakat dapat di atasi jika pengelolaan sampah dapat
dilakukan secara profesional. Permasalahan lalat tidak akan muncul jika
penyemprotan anti lalat dilakukan secara rutin terutama di saat musim hujan.
213

Penyemprotan akan menghilangkan bau sampah yang mengundang datangnya


lalat. Saat ini DKP sudah mempunyai satu unit alat semprot, sehingga setiap kali
warga protes karena muncul lalat, pada saat itu juga penyemprotan dapat langsung
dilakukan.
Manfaat TPA Cipayung bagi masyarakat sekitarnya dapat meningkatkan
pendapatan dengan melakukan pemilahan terhadap sampah yang masuk ke TPA.
Keberadaan TPA menyebabkan terbukanya lapangan kerja bagi penduduk
setempat, sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar TPA
Cipayung. Ibu-ibu di sekitar TPA pada saat ini berpeluang memiliki sumber
penghasilan baru, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar
TPA Cipayung.
Keberadaan TPA menyebabkan terbukanya lapangan kerja bagi penduduk
setempat, mengutip penuturan warga setempat, saat ini ibu-ibu di sekitar TPA
berpeluang memiliki sumber penghasilan baru, asalkan mau berkotor sedikit,
dengan kata lain, adanya TPA telah ikut berperan dalam meningkatkan
kesejahteraan warga masyarakat sekitarnya. Masyarakat di sekitar TPA selain
merasakan manfaat ekonomi, manfaat lain yang dirasakan adalah adanya per-
baikan akses jalan di sekitar lokasi TPA. Manfaat ekonomi utamanya berupa
pembukaan kesempatan kerja dan berusaha bagi warga sekitar, dalam bentuk
sebagai karyawan tetap di TPA, supir truk sampah dan kernet truk sampah,
pemulung sampah, dan usaha pengumpul barang bekas serta usaha warung
makanan kecil.
Budaya pemeliharaan terhadap lingkungan dari masyarakat Kota Depok
masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil survei rumah tangga yang
mendapat pelayanan pengangkutan sampah di Kota Depok, hampir seluruhnya
98% tidak menerapkan pola 3R, sedangkan rumah tangga yang tidak mendapat
pelayanan pengangkutan sampah sebanyak 28% di antaranya masih membuang
sampah ke jalan atau ke sungai/selokan, dan 68% membuangnya ke tanah/lahan
kosong. Budaya peduli terhadap lingkungan sangat tergantung dengan tingkat
pendidikan seseorang. Tingkat pendidikan responden di sekitar kawasan TPA
Cipayung lulusan SD sebanyak 31,03%, lulusan SLTP sebanyak 27,59%, lulusan
214

SMU sebanyak 26,44%, perguruan tinggi sebanyak 4,5% dan yang tidak lulus
SD/sederajat sebanyak 10,34%. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan
berpengaruh terhadap rendahnya kesadaran masyarakat untuk memelihara
lingkungan. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang paling
berpengaruh terhadap keberhasilan suatu program kegiatan, karena pendidikan
akan mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk memelihara lingkungan.
Pendidikan pada dasarnya adalah pemberian informasi (pengetahuan) tentang baik
dan buruknya sesuatu hal yang dilakukan oleh manusia (seperti sisi positif dan
negatif sampah).
Perkembangan kesehatan responden di sekitar kawasan TPA Cipayung
menunjukkan penyakit yang paling sering diderita diare, demam, infeksi kulit dan
ISPA. Penyakit lainnya yang diderita oleh responden sekitar kawasan TPA adalah
sakit kepala, hypertensi, tipus, gatal-gatal, dan kembung. Sebagian besar
masyarakat di sekitar TPA berobat ke puskesmas, dokter, klinik, atau hanya
sekedar membeli obat di warung atau tidak berobat sama sekali. Masyarakat di
sekitar TPA Cipayung berharap adanya peningkatan pelayanan kesehatan serta
penyediaan fasilitas kesehatan di sekitar lokasi TPA Cipayung.
Upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat pengelolan
sampah yang belum maksimal, maka perlu dilakukan kebijakan dalam
pengelolaan sampah tersebut. Pemangku kepentingan yang paling berpengaruh
dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung yang mendapat prioritas pertama
adalah Pemda, aktor yang mempunyai tingkat kepentingan paling tinggi terhadap
penentuan alternatif kebijakan pengelolaan TPA Cipayung di Kota Depok.
Pengaruh dan peran Pemda dalam pengelolaan TPA Cipayung mengacu pada UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sampah, dan diperkuat dengan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah memiliki
kekuasaan penuh untuk melakukan pengelolaan TPA Cipayung di Kota Depok.
Swasta atau Dunia Usaha merupakan salah satu pemangku kepentingan yang
mempunyai peran terhadap pengelolaan TPA Cipayung. Swasta dapat berperan
sebagai pengelolaan sampah dalam hal penggalian sumber dana untuk investasi
215

instalasi yang berkaitan dengan proses pengolahan sampah seperti geomembran


untuk lapisan dasar kedap air di TPA dan insenerator berteknologi ramah
lingkungan. Lembaga peneliti dan LSM mempunyai peran dalam hal melakukan
pemantauan dan pengawasan di lapangan, baik terhadap kualitas lingkungan,
sosial ekonomi masyarakat di sekitar TPA Cipayung, serta usaha-usaha
penegakan hukum lingkungan. Masyarakat merupakan penghasil sampah,
karenanya masyarakat merupakan aktor yang mempunyai peran penting dalam
pengelolaan sampah. Masyarakat sangat penting diberdayakan agar mampu
melakukan berbagai upaya penanganan yang bermanfaat tentang pengelolaan
sampah secara umum. Masyarakat merupakan sumberdaya yang penting bagi
tujuan pengelolaan lingkungan.
Agar tidak terjadi konflik di TPA Cipayung maka sangat diperlukan
koordinasi dan kerjasama yang harmonis dengan semua pemangku kepentingan di
atas, sehingga akan diperoleh suatu kebijakan yang menguntungkan semua
pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan TPA Cipayung di Kota
Depok.
Hasil analisis gabungan pendapat seluruh pemangku kepentingan terhadap
aspek ekologi mendapat perioritas pertama, prioritas kedua aspek ekonomi dan
prioritas ketiga aspek sosial. Hasil analisis tersebut menunjukkan pengelolaan
TPA Cipayung cenderung mementingkan aspek ekologi untuk kepentingan
pengelolaan lingkungan di wilayah TPA Cipayung, sehingga mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan di sekitar kawasan TPA Cipayung. Aspek ekonomi dan
sosial tetap diperhatikan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung, sehingga
tidak menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar kawasan TPA Cipayung
yang sering mendapatkan dampak dari kegiatan pengelolaan sampah di
TPA Cipayung. Upaya mewujudkan penerapan suatu kebijakan pengelolaan
TPA Cipayung, sangat diperlukan alternatif-alternatif kebijakan dalam
pengelolaan sampah. Optimalisasi pengelolaan sampah menjadi prioritas utama
apabila peningkatan laju timbulan sampah perkotaan sebesar 2 – 4 % /tahun tidak
diikuti dengan ketersediaan sarana dan prasarana persampahan yang memadai,
akan berdampak pada peningkatan pencemaran lingkungan. Apabila hanya
216

mengandalkan pola kumpul-angkut-buang, maka beban pencemaran akan selalu


menumpuk di lokasi TPA (Tempat Pemrosesan Akhir). Meningkatnya laju
pertumbuhan industri dan konsumsi masyarakat secara umum berdampak pula
pada perubahan komposisi dan karakteristik sampah yang dihasilkan terutama
semakin banyaknya penggunaan plastik, kertas, produk-produk kemasan dan
komponen bahan yang mengandung B3 (bahan beracun dan berbahaya) serta
non boidegradable. Pengoptimalisasi pengelolaan sampah sangat diperlukan.
Prioritas kedua adalah optimalisasi petugas kebersihan. Sumberdaya
manusia (SDM) merupakan salah satu unsur utama yang dapat menggerakkan
roda manajemen persampahan secara menyeluruh. Peningkatan kualitas SDM
menjadi sangat penting untuk terselenggaranya suatu sistem pengelolaan
persampahan yang berkelanjutan. Lembaga atau instansi pengelola persampahan
merupakan motor penggerak seluruh kegiatan pengelolaan sampah dari
sumbernya sampai ke TPA. Prioritas ketiga adalah peningkatan partisipasi
pemangku kepentingan. Sangat penting adanya partisipasi dari semua pemangku
kepentingan dalam pengelolaan sampah di TPA Cipayung Kota Depok. Bentuk
partisipasi dapat dimulai dengan peran aktif masyarakat dan dunia usaha/swasta
sebagai pengelola sampah. Kegiatan pengurangan sampah dari sumbernya dapat
dilakukan dengan melakukan peningkatan pola-pola penanganan sampah berbasis
masyarakat. Tanpa ada peran aktif masyarakat akan sangat sulit mewujudkan
kondisi kebersihan yang memadai. Selain masyarakat, pihak swasta/dunia usaha
juga memiliki potensi yang besar untuk dapat berperan serta menyediakan
pelayanan publik (Siahaan, 2004).
Alternatif yang terakhir adalah upaya penegakan hukum. Hukum adalah
pegangan yang pasti, positif dan pengarah bagi tujuan-tujuan program yang akan
dicapai. Semua peri kehidupan diatur dan harus tunduk pada prinsip-prinsip
hukum, sehingga dapat tercipta masyarakat yang teratur, tertib dan berbudaya
disiplin. Hukum dipandang selain sebagai sarana pengaturan ketertiban rakyat
tetapi juga sebagai sarana memperbaharui dan mengubah masyarakat kearah
hidup yang lebih baik.
217

Salah satu usaha mereduksi sampah yang dapat dilakukan adalah dengan
membuat model pengelolaan sampah di Kota Depok agar tidak terjadi timbunan
sampah di TPA Cipayung. Program pengelolaan sampah dapat dimulai dari skala
rumah tangga sampai proses pembuangan di TPA Cipayung Kota Depok dengan
pengembangan program sistem pengelolaan sampah dengan menerapkan program
3R+1P. Pengembangan pola pengelolaan sampah dengan pola 3R+1P diharapkan
mampu mengenali kondisi saat ini untuk menjadikan dasar dalam merancang
model pengelolaan sampah berwawasan lingkungan.
Dalam model pengelolaan sampah, parameter yang diamati dalam
penelitian ini adalah usia TPA tanpa mengurangi sampah dari tingkat rumah
tangga, TPS dengan menggunakan pola 3R+1P, pengurangan (reduce), pemakaian
kembali (reuse) dan daur ulang (recycle) dan partisipasi. Variabel yang diamati di
antaranya 1) Jumlah penduduk; 2) Jumlah sampah; 3) Sampah organik; 4) Jumlah
tempat pembuangan sampah; 5) Sisa sampah, dan 6) Daya tampung lokasi Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Variabel-variabel tersebut digunakan untuk menyusun
model pengelolaan sampah dengan pola 3R+1R.
Hasil analisis sistem dinamis, menunjukkan perkembangan jumlah sampah
di TPS dan sampah TPA yang semakin meningkat dari tahun ketahun.
Jumlah sampah rumah tangga yang tidak terangkut sebesar 66%, Jumlah sampah
di TPS sebesar 98% dari jumlah akumulasi sampah yang tidak terangkut.
Jumlah sampah di TPA sebesar 34 % dari jumlah sampah rumah tangga.
Akumulasi sampah yang tidak tertampung di TPA dipengaruhi oleh jumlah
sampah yang akan masuk ke TPA dan daya tampung TPA. Apabila jumlah
sampah yang masuk melebihi daya tampung TPA maka sisanya tidak akan
tertampung.
Pada tahun 2011, dengan menggunakan pola pemilahan dari tingkat RT
dan TPS diprediksikan jumlah sampah yang masuk ke TPA Cipayung sebanyak
1.200.000 m3. Pada tahun 2012 akan bertambah menjadi 1.500.000 m3, dan pada
tahun 2013 kemampuan TPA untuk menampung sampah sudah melebihi daya
tampung. Dengan menerapkan pola 3R dari sumber sampah diprediksikan jumlah
sampah akan terus berkurang, sehingga usia TPA bertambah. Peningkatan pola
218

kegiatan 3R+1P dimulai dari sumbernya sangat perlu dilakukan, untuk


mengantipasi masalah tersebut.
Prediksi usia TPA dengan skenario recycle 0 % dan 5% menunjukkan usia
TPA semakin rendah. Usia TPA dengan skenario recycle 10% menunjukkan usia
TPA semakin meningkat. Sampah rumah tangga terdiri atas 72,97 % sampah
organik dan sisanya adalah sampah anorganik yang berasal dari hasil reduce
sebesar 70%. Sampah organik direuse dan recycle masing-masing sebesar 1%.
Contoh kegiatan reuse yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan botol-botol
bekas kembali, atau menggunakan wadah atau kantong yang dapat digunakan
kembali, sedangkan contoh kegiatan recycle adalah dengan melakukan
pengolahan sampah-sampah organik menjadi kompos, kertas, plastik bekas untuk
didaur ulang kembali. Sampah organik dilakukan pengomposan sebesar 10% dan
sisanya digunakan untuk bahan baku.
Hasil pemodelan prediksi jumlah sampah di TPA pada berbagai skenario
menunjukkan prediksi jumlah sampah di TPA yang terus meningkat dari tahun ke
tahun. Peningkatan jumlah sampah tersebut diakibatkan karena pertambahan
jumlah penduduk. Hal lain yang mempengaruhi peningkatan jumlah sampah
rumah tangga adalah tingkat kesejahteraan dan gaya hidup masyarakat. Tingkat
pengelolaan sampah dengan skenario recycle dari tingkat rumah tangga dan TPS
menunjukkan jumlah sampah di TPA semakin tinggi, sedangkan dengan skenario
3R + 1P yang dilakukan dari sumber sampah menunjukkan jumlah sampah di
TPA semakin rendah.
Hasil skenario yang telah dilakukan, dapat di-rekomendasikan bahwa
sampah yang masuk ke TPA pada tahun 2013 akan melebihi daya tampung yang
semestinya. Hal ini menyebabkan usia TPA semakin rendah. Berkaitan dengan hal
tersebut, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok mau tidak mau harus
menambah luas TPA dan memaksimalkan lagi program 3R+1P lebih optimal
dimulai dari sumber sampahnya, sehingga sampah yang akan masuk ke TPA
semakin sedikit dan usia TPA dapat bertambah.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1. Kesimpulan

1. Kualitas lingkungan dari hasil pengukuran kualitas air di sekitar kawasan TPA
Cipayung menunjukkan, beberapa variabel kimia sudah di atas NAB yang
diizinkan oleh peraturan yang telah diijinkan, di antaranya adalah variabel
Besi, Mangan, Nitrit, BOD5, COD, DO, Seng, dan Fenol. Berdasarkan
pengklasifikasian tingkat pencemaran dari limbah domestik variabel BOD dan
COD termasuk ke dalam tingkat pencemaran sedang, sedangkan variabel fisik
lainnya masih di bawah NAB yang diizinkan. Dampak positif yang
ditimbulkan dari kegiatan TPA Cipayung adalah memberikan manfaat
ekonomi berupa pembukaan kesempatan kerja dan berusaha bagi warga
sekitar. Dampak negatifnya adalah: bau, banyak lalat, macet, pencemaran air,
lalu lintas truk sampah dan ceceran sampah, abrasi dan perpindahan aliran
sungai Pesanggrahan, rendahnya harga tanah dan bangunan sekitar TPA.
Kesehatan masyarakat disekitar kawasan TPA Cipayung umumnya menderita
penyakit diare, demam, infeksi kulit dan ispa. Penyakit lainnya yang sering
diderita adalah sakit kepala, hypertensi, tipus, gatal-gatal, dan kembung.
2. Rancangan strategi kebijakan pengelolaan sampah di TPA Cipayung
Kota Depok yang dikembangkan berdasarkan hasil analisis AHP adalah:
a. Optimalisasi pengelo laan sampah. Peningkatan laju timbulan sampah
perkotaan (2-4% /tahun) yang tidak diikuti dengan ketersediaan sarana dan
prasarana persampahan yang memadai akan berdampak pada pencemaran
lingkungan. Apabila hanya mengandalkan pola kumpul-angkut-buang
maka, beban pencemaran akan selalu menumpuk di lokasi TPA.
Oleh sebab itu, perlu adanya penerapan sistem pengelolaan sampah yang
mampu mengoptimalisasikan sistem yang sudah ada saat ini.
b. Optimalisasi petugas kebersihan. Keterbatasan Sumber Daya Manusia
(SDM) merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh DKP
Kota Depok. Lemahnya SDM mempengaruhi fungsi perencanaan dan
pengendalian pengelolaan sampah.
220

c. Peningkatan partisipasi pemangku kepentingan. Hasil analisis tersebut


menunjukkan bahwa partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan
sampah di TPA Cipayung Kota Depok sangat penting. Bentuk partisipasi
dapat dimulai dengan peran aktif masyarakat dan swasta dalam kegiatan
pengurangan sampah mulai dari sumbernya dengan melakukan pe-
ningkatan pola penanganan smpah berbasis masyarakat.
d. Penegakan hukum. Hukum adalah pegangan yang pasti, positif, dan
pengarah bagi tujuan-tujuan program yang akan dicapai. Semua peri
kehidupan diatur dan harus tunduk pada prinsip-prinsip hukum sehingga
dapat tercipta masyarakat yang teratur, tertib, dan berbudaya disiplin.
Selain sebagai sarana pengatur ketertiban rakyat, hukum juga dipandang
sebagai sarana untuk memperbaharui dan mengubah masyarakat ke arah
hidup yang lebih baik. Peraturan perundang-undangan di antaranya
PP/Kepres/Kepmen/Perda mengatur tata cara pengelolaan sampah mulai
dari sumber sampah sampai ke TPA, mengatur posisi, hak dan kewajiban
masing-masing pemangku kepentingan, dan mengatur sanksi-sanksi jika
terjadi pelanggaran dalam pengelolaan sampah.

3. Berdasarkan hasil analisis sistem dinamik per lu adanya model kebijakan dalam
pengelolaan TPA Cipayung di Kota Depok, yang antara lain dapat
menghasilkan berbagai skenario dalam rangka meningkatkan usia TPA.
Pada tahun 2013 sampah yang masuk ke TPA diprediksikan sudah melebihi
kapasitas daya tampungnya, maka langkah yang dapat dilakukan oleh
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok adalah dengan menambah luas
TPA dan memaksimalkan kembali program 3R + 1P agar lebih optimal
dimulai dari sumber sampahnya, sehingga sampah yang akan masuk ke TPA
semakin sedikit yang menyebabkan usia TPA dapat bertambah dan
mengurangi biaya operasional pengangkutan sampah ke TPA. Peran serta
masyarakat dalam pembiayaan tampaknya cukup baik. Hal ini dapat dilihat
dari realisasi pemungutan retribusi dari tahun 2001 sampai 2005 yang rata-rata
hampir mencapai 100% dari target yang ditetapkan.
221

4. Produk hasil pengolahan sampah (kompos, tenaga listrik, dan produk daur
ulang) akan terasa sangat bermanfaat jika mempunyai nilai ekonomis yang
tinggi. Oleh sebab itu, untuk mengetahui kelayakan usaha pemasaran produk
diperlukan adanya analisis finansial suatu usaha. Pada penelitian ini, proses
pembuatan kompos secara aerobik tidak menguntungkan. Oleh karena itu,
apabila Pemerintah akan melakukan subsidi kompos secara aerobik maka,
subsidi tersebut harus lebih besar dari kerugian yang diderita oleh produsen
kompos.

9.2. Saran

1. Program 3R+1P yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali),


recycle (mendaur ulang), dan partisipasi (pelibatan masyarakat) dapat
disosialisasikan ke masyarakat luas, sehingga program benar-benar dapat
terlaksana di lapangan.

2. Program 3R+1P yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali),


recycle (mendaur ulang), dan partisipasi (pelibatan masyarakat) dapat
dilakukan semenjak dari sumber sampah sehingga akan mengurangi jumlah
sampah yang akan diangkut ke TPS dan TPA.

3. Pemantauan pengelolaan terhadap kualitas lingkungan harus benar-benar


diterapkan sesuai dengan baku mutu yang berlaku, sehingga dapat mencegah
pencemaran terhadap lingkungan dan tidak menimbulkan konflik dengan
masyarakat sekitar TPA.

4. Pemberian penghargaan terhadap pihak-pihak yang telah sukses melaksanakan


program 3R+1P yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali),
recycle (mendaur ulang), dan ikut berpartisipasi.

5. Penambangan TPA (landfill mining): upaya untuk mendapatkan kembali


bahan bermanfaat dari urugan atau timbunan sampah yang sudah ditutup
setelah 5 – 10 tahun, yaitu bahan berupa kompos atau berupa tanah penutup,
dengan cara menggali sarana tersebut dan menyaring sampahnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S.Z. 2000. Kebijakan Publik. Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Jakarta.

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Universitas Negeri Jakarta. Andi.


Yogyakarta.

Ahadis. 2005. Pengaruh Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terhadap Perairan di


Sekitarnya: Studi Kasus TPA Bantar Gebang Bekasi. Disertasi. Program
Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Aminullah, E. 2004. Berpikir Sistemik Untuk Pembuatan Kebijakan Publik,


Bisnis, dan Ekonomi. Penerbit PPM. Jakarta.

Ancok, D. 2008. Mengembangkan Perilaku Positif dalam Pengelolaan Sampah


dan Air Limbah.UGM Press. Yogyakarta.

Anonymous. 2004. Panduan Umum Subsidi Kompos (Edisi Revisi Januari 2004).
Team Teknis Kompos Nasional. Western Java Environmental Management
Project (WJEMP). 86 pp.

Anonymous. 2000. RTRW Kota Depok. Depok.

Astuti, E.B. 2005. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Tempat


Pembuangan Akhir Sampah Cipayung Melalui Penguatan Kemampuan
Masyarakat Dalam Pemeliharaan Lingkungan Sehat. Tesis. Program Pasca
Sarjana. IPB. Bogor.

Bappeda Kota Depok. 2000. RTRW Kota Depok 2000-2010. Bappeda Kota
Depok. Depok.

Badan Pusat Statistik Kotamadya Kota Depok [BPS]. 2007. Kota Depok Dalam
Angka 2007. Bapeda Kota Depok. Depok.

Balle, M. 1994. Managing with Systems Thinking, Making Dynamics Work for
You in Business Decision making. Irwin McGraw Hill. London.

Betty dan W.P, Rahayu. 1990. Penanganan Limbah Industri Pangan. PAU. Bogor.

Bintoro, H.M.H. 2008. Sampah Kota, Kompos dan Banjir. IPB Press. Bogor.

Buana. 2004. Bergulat Melawan Sampah. Dinas Kebersihan dan Pertamanan


Pemerintah Kota Depok. Depok.
223

Budhiyono, B.E. 1992. Compell- A Nursery Pot with Controlled Release


Nutrients for Nursery of Forest Plants. Technical Note submitted to the
Min ister of Forestry. Kementrian Kehutanan. Jakarta. 24 pp.

Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut.


Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta

Bunasor, S. 2003. Keterkaitan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Pembangunan


Ekonomi dan Manajemen Lingkungan. Program Studi Ekonomi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Darmono. 2001. Lingkungan hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan


Tosikologi Senyawa Logam. UI-Press. Jakarta.

Davis, G.J., W.J. Warhurst, P. Weller. 1993. Public Policy in Australia, Ed ke-2.
St Leonard: Allen and Unwin.

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. 2005. Acuan Klasifikasi Tanggung


Jawab Sosial Dunia Usaha. Departemen Sosial RI. Jakarta.

Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kota Depok. 2007. Audit Lingkungan
TPA Cipayung-Kota Depok. PT. Sucofindo Prima Internasional Konsultan.
Jakarta.

Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup. 2008. Studi ANDAL TPA Cipayung
(Ringkasan Eksekutif). Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok.
Depok.

Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Dewi, T.Q. 2008. Penanganan dan Pengolahan Sampah. Penebar Swadaya. Jakarta

Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan


Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB
Press. Bogor.

Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian Untuk


Pascasarjana. IPB Press. Bogor.

Ford, A. 1999. Modeling of Environmental: An Introduction to System Dynamics


Modeling of Enviromental Systems. Island Press. Washington DC.
224

Gani. D.S. 2007. Kebudayaan, Pendidikan, dan Pemberdayaan Sumber Daya


Manusia Indonesia. Ilmu Penyuluhan Pembangunan Meningkatkan
Kapasitas Sumberdaya Manusia Menuju Kemandirian. No. 2 (3) : 129-135.

GTZ dan Meneg LH. 1997. Pedoman Pendekatan Partisipatif Perencanaan


Program Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup. Jakarta.

Gultom O. 2000. Pengelolaan Sampah Padat Perkotaan Secara Terpadu. Buletin


LIMBAH. No.1 (5) :

Hadiwiyoto, S. 1993. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idaya.


Jakarta.

Hartisari. 2007. Sistem Dinamik Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri
dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Helmi. 2002. Tantangan Pengelolaan Terpadu Sumber Daya Air di Indonesia. P3-
TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.

Hidayat, B. 2008. Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di


Indonesia. Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman. Penerbit Kelompok
Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL). Jakarta.

Hill, M.K. 2004. Understanding Environmental Pollution: A Primer.Ed ke-2.


Cambridge University. Cambridge.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Buku Panduan Implementasi 3R.


Asisten Deputi Urusan Pengendalian Pencemaran Limbah Domestik dan
Usaha Kecil Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan No: 16/MENKES/PERT/IX/1990 Tentang Syarat-


syarat Pengawasan Kualitas Air Bersih. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

Keraf, A. S. 2004. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

Khitolia, R.K. 2004. Environmental Pollution: Management & Control for


Sustainable Development. S. Chand & Company LTD. Ram Nagar. New
Delhi.

Kirkwood, C. W. 1998. System Dynamics Method: A Quick Introduction.


Arizona State University. Arizona.

Koentjaraningrat. 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
225

Kordi, K. M.G.H dan A.B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air: dalam
Budi Daya Perairan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Lyneis, J. M. 1980. Corporate Planning and Policy Design: A System Dynamics


Approach. Massachussetts : The MIT Press.

Manahan, S.E. 2002. Environmental Chemistry. Ed ke-7. Lewis Publisher. New


York

Makridakis, S., S.C Wheelwright, V.E McGee. 1992. Metode dan Aplikasi
Peramalan. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Marimin. 2004. Tenik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.


Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Manios, T and E.I. Stentiford. 2003. Sanitary aspect of partially treated landfill
leachate as a water source in green waste composting. 107-110.
CalRecoveery, Inc., CA. USA.

MENLH dan JICA. 2003. Draft Naskah Akademis Peraturan Perundang-


Undangan Pengelolaan Sampah. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.

MENLH. 2007. Buku Panduan Implementasi 3R. Kementrian Negara Lingkungan


Hidup. Jakarta.

Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamik.


Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta.

Moeliono, I. 2004. Partisipasi Manipulatif: Catatan Reflektif tentang Pendekatan


PRA dalam Pembangunan Masyarakat. http://www.
balaidesa.or.id/prapa.htm. 18 Januari 2008

Natsir, A. 1986. Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Penyakit


Schistomiasis di Sulawesi Tengah. Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia. Jakarta.

Notodarmojo, S. 2005. Pencemaran Tanah dan Air. ITB. Bandung.

Padmowihardjo, S. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Sebelas Maret


University Press. Surakarta.

Rees, J. 1990. Allocation, Economics and Policy Routlege. Natural Resources.


London and New York.
226

Royadi. 2006. Analisis Pemanfaatan TPA Sampah Pasca Operasi Berbasis


Masyarakat (Studi Kasus TPA Bantar Gebang, Bekasi). Disertasi. Program
Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. P.T. Pustaka
Binaman Pressindo. Jakarta.

Sa’id, E.G. 1998. Sampah Masalah Kita Bersama. Madiyatama Sarana Perkasa.
Jakarta.

Salim, E. 1985. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara Sumber Widya.


Jakarta.

Santosa, M.A. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. Indonesia


Center for Environmental Law (ICEL). Jakarta.

Sarbi. 2005. Pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah di Kota Parepare.


Disertasi. Program Pasca Sarjana. Bogor.

Saribanon, N. 2007. Perencanaan Sosial Partisipatif dalam Pengelolaan Sampah


Permukiman Berbasis Masyarakat (Kasus di Kotamadya Jakarta Timur).
Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor

Sastropoetro, R.A. dan Santoso .1988. Partisipasi Komunikasi, Persesuaian dan


Disiplin dalam Pembangunan. Penerbit PT. Alumni. Bandung.

Sawyer, C.N. P.L. McCarty and G.F. Parkin. 2003. Chemistry for Environmental
Engineering and Science. Ed ke-5. New York: McGraw-Hill.

Senge PM. 1995. Fifth Discipline: The Art and Practice of The Learning
Organization. Binarupa Aksara. Jakarta

Siahaan, N.H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan.


Erlangga. Jakarta.

Slamet, J.S. 2007. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press.


Yogyakarta.

Squire, E. 1992. Mendesain Sistem. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Soehartono, I. 1999. Metode Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian Bidang


Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung.

Soemarwoto, O. 1989. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jembatan.


Jakarta.
227

Soemarwoto, O. 2006. Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realitas.


Departemen Pendidikan Nasional Universitas Padjajaran Bandung.

Soerjani, M. R. R. Ahmad. Munir. 2008. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan


Kependudukan dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta.

Soeratmo, F.G. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Sterman. J.D. 2000. Business Dynamics: System Thinking and Modeling for a
Complex World. Irwin McGraw-Hill. Boston.

Sudrajat, H.R. 2006. Mengelola Sampah Kota. Penerbit Penebar Swadaya.


Jakarta.

Suparlan, P. 2004. Masyarakat & Kebudayaan Perkotaan: Perspektif Antropologi


Perkotaan. Penerbit YPKIK.Jakarta.

Suratmo, F.G. 2001. Panduan Penelitian Multidisiplin. IPB Press. Bogor.

Suriawiria, U. 2003. Mikrobiologi Air. Penerbit PT Alumni. Bandung.

Susilo, R.K.D. 2008. Sosiologi Lingkungan. Rajawali Press. PT. Rajagrafindo


Persada. Jakarta.

Tangkilisan, H.N.S. 2004. Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Hidup.


Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia. Yogyakarta.

Tchobanoglous, G. T. Hilary. and A.P. Samuel. 1993. Integreted Solid Waste


Management. Macgrraw Hill. New York.

Tebbut, T.H.Y. 1992. Principle of Water Quality Contol. Fourth edition.


Pergamon Press. Oxford. 251p.

Tjokroamidjojo, H. Bintoro dan A.R. Mustopadidjaja. 1980. Teori Strategi


Pembangunan Nasional. Gunung Agung. Jakarta.

Udall, M.K. and T. Stevas. 1987. Waste in Marine Environment. 131 p. U.S.
Government Printing Office. Washington. D.C.

Ulloa, J.B. J.H. Van Weerd and J.A.J Verreth. 2003. Tropical Agricultural
Residues and Their Potential Uses in Fish Feeds: the Costa Rican Situation.
87-97. CalRecovery, Inc. CA. USA.
228

Usman, H. dan P.S. Akbar. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara.
Jakarta.

Ventosa, I.P. 2003. Potensial Use of Feebate Systems to Foster Environmentally


Sound Urban Waste. 3-7. CalRecovery, Inc. CA. USA.

Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi.


Yogyakarta.

Widyatmoko. 2001. Menghindari, Mengolah dan Menyingkirkan Sampah. Abdi


Tandur. Jakarta.

Wiyatmoko, H. dan Sintorini. 2002. Menghindari, Mengelola dan Menyingkirkan


sampah. Abdi Tandur. Jakarta.

Winardi. 1999. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistim. Penerbit
Mandar Maju. Bandung.

Winardi, D. 2004. Pelatihan Pengelolaan Sampah dan Teknologi Pengomposan.


Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yustina, I. dan Sudrajat, A. 2007. Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang


Bermartabat. Pustaka Bangsa Press. Bogor.
229

Lampiran 1. Foto Lokasi Penelitian

KantorTPACipayung

LahanHijau

SaranaCuci Alat Berat

InstalasiPengolahanAirLindi
PengaturanPemulung

PipaGas&Lindi

U
230

Lampiran 2. Sistem Pengelolaan Sampah Di Kota Depok


231

TIMBULAN SAMPAH :
3,445 m3/hari

Rumah Tinggal

TPS
Pasar

Sekolah

Perkantoran

Lain-lain
230

Lampiran 2. Hasil Analisis AHP


231
231

Lampiran 3. Rumah Tangga Responden yang Mendapat Pelayanan


Angkutan Sampah dan Penerapan 3R per Kecamatan

Menerapkan 3R
Total
Kecamatan Kelurahan Ya Tidak

Jml % Jml % Jml %

Beji 0% 5 100% 5 100%

Beji Timur 0% 3 100% 3 100%


Beji
Kemiri Muka 1 20% 4 80% 5 100%

Tanah Baru 0% 2 100% 2 100%

Total 1 7% 14 93% 15 100%

Sumber: Survei Rumah Tangga

Menerapkan 3R
Total
Kecamatan Kelurahan Ya Tidak

Jml % Jml % Jml %

Cilangkap
0% 1 100% 1 100%
Cisalak Pasar
0% 5 100% 5 100%
Curug
2 50% 2 50% 4 100%
Harjamukti
0% 3 100% 3 100%
Jatijajar 0% 2 100% 2 100%
Cimanggis
Mekar Jaya 0% 5 100% 5 100%
Pasir Gunung 0% 5 100% 5 100%
Selatan
0% 5 100% 5 100%
Suka Maju Baru
0% 5 100% 5 100%
Sukatani
0% 5 100% 5 100%
Tugu

Total 2 5% 38 95% 40 100%

Sumber: Survei Rumah Tangga


232

Lampiran 3 (Lanjutan)
Menerapkan 3R
Total
Kecamatan Kelurahan Ya Tidak

Jml % Jml % Jml %

Cinere 0% 5 100% 5 100%

Gandul 0% 5 100% 5 100%

Grogol 0% 2 100% 2 100%

Krukut 0% 5 100% 5 100%

Limo Limo 0% 5 100% 5 100%

Meruyung 0% 5 100% 5 100%

Pangkalan Jati 0% 5 100% 5 100%


Baru
0% 5 100% 5 100%
Pangkalan Jati
Lama 0% 5 100% 5 100%

Total 0% 37 93% 37 100%

Sumber: Survei Rumah Tangga

Menerapkan 3R
Total
Kecamatan Kelurahan Ya Tidak

Jml % Jml % Jml %

Bojong Pondok 0% 4 100% 4 100%


Terong
0% 2 100% 2 100%
Cipayung
0% 3 100% 3 100%
Depok
Pancoran
Mas 0% 4 100% 4 100%
Depok Jaya
0% 2 100% 2 100%
Pancoran Mas
0% 3 100% 3 100%
Rangkapan Jaya
0% 2 100% 2 100%
Ratu Jaya

Total 0% 20 100% 20 100%

Sumber: Survei Rumah Tangga


233

Lampiran 3 (Lanjutan)
Menerapkan 3R
Total
Kecamatan Kelurahan Ya Tidak

Jml % Jml % Jml %

Bedahan 0% 5 100% 5 100%

Bojong Sari 0% 5 100% 5 100%

Bojong Sari Baru 0% 5 100% 5 100%

Cinangka 0% 5 100% 5 100%

Curug 0% 5 100% 5 100%

Duren Mekar 0% 5 100% 5 100%

Duren Seribu 0% 5 100% 5 100%


Sawangan
Kedaung 0% 5 100% 5 100%

Pasir Putih 0% 5 100% 5 100%

Pengasinan 0% 5 100% 5 100%

Pondok Petir 0% 5 100% 5 100%

Sawangan 0% 5 100% 5 100%

Sawangan Baru 0% 5 100% 5 100%

Serua 0% 5 100% 5 100%

Total 0% 70 100% 70 100%

Sumber: Survei Rumah Tangga

Menerapkan 3R
Total
Kecamatan Kelurahan Ya Tidak

Jml % Jml % Jml %

Abadi Jaya 0% 5 100% 5 100%

Bakti Jaya 0% 5 100% 5 100%

Cisalak 0% 5 100% 5 100%

Sukmajaya Kalibaru 0% 5 100% 5 100%

Mekar Jaya 0% 5 100% 5 100%

Sukamaju 0% 5 100% 5 100%

Sukmajaya 0% 5 100% 5 100%

Total 1 0% 35 93% 15 100%

Sumber: Survei Rumah Tangga


234

Lampiran 4. Cara Pengolahan Pada Rumah Tangga yang Tidak Mandapat


Pelayanan Angkutan Sampah

Cara Pengolahan Sampah


Total
Dibuang ke tanah Dibuang ke
Kecamatan Kelurahan Dibakar Dibuang ke jalan Lain-lain
kosong sungai
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Beji Timur 1 50% 0 0% 1 50% 0 0% 0 0% 2 100%
Kukusan 0% 4 80% 1 20% 0% 0% 5 100%
Beji
Pondok Cina 0% 3 60% 2 40% 0% 0% 5 100%
Tanah Baru 0% 1 33% 0% 0% 2 67% 3 100%
Total 1 7% 8 53% 4 27% 0% 2 13% 15 100%
Sumber: Survei Rumah Tangga

Cara Pengolahan Sampah


Total
Dibuang ke tanah Dibuang ke
Kecamatan Kelurahan Dibakar Dibuang ke jalan Lain-lain
kosong sungai
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Cilangkap 0% 4 100% 0% 0 0% 0% 4 100%
Ciampeun 0% 5 100% 0% 0% 0% 5 100%
Curug 0% 1 100% 0% 0% 0% 1 100%
Cimanggis Harja Mukti 0% 1 50% 1 50% 0% 0% 2 100%
Jatijajar 0% 2 67% 1 33% 0% 0% 3 100%
Leuwinanggung 0% 5 100% 0% 0% 0% 5 100%
Tapos 0% 1 20% 4 80% 0% 0% 5 100%
Total 0% 19 76% 6 24% 0% 0% 25 100%
Sumber: Survei Rumah Tangga
235

Lampiran 4 (Lanjutan)

Cara Pengolahan Sampah


Total
Dibuang ke tanah Dibuang ke
Kecamatan Kelurahan Dibakar Dibuang ke jalan Lain-lain
kosong sungai
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

Limo Grogol 1 33% 1 34% 1 33% 0% 0% 3 100%

Total 1 33% 1 34% 1 33% 0% 0% 3 100%


Sumber: Survei Rumah Tangga

Cara Pengolahan Sampah


Total
Dibuang ke tanah Dibuang ke
Kecamatan Kelurahan Dibakar Dibuang ke jalan Lain-lain
kosong sungai
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Cilodong 0% 5 100% 0% 0% 0% 5 100%
Jatimulya 0% 5 100% 0% 0% 0% 5 100%
Sukmajaya
Kalimulya 0% 5 100% 0% 0% 0% 5 100%
Tirta Jaya 0% 5 100% 0% 0% 0% 5 100%
Total 0% 20 100% 0% 0% 0% 20 100%
Sumber: Survei Rumah Tangga
236

Lampiran 4 (Lanjutan)

Cara Pengolahan Sampah


Total
Dibuang ke tanah Dibuang ke
Kecamatan Kelurahan Dibakar Dibuang ke jalan Lain-lain
kosong sungai
Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %
Bojong Pondok Terong 0% 1 100% 0% 0% 0% 1 100%
Cipayung 0% 2 67% 1 33% 0% 0% 3 100%
Cipayung Jaya 0% 2 40% 3 60% 0% 0% 5 100%
Depok 0% 0% 2 100% 0% 0% 2 100%
Depok Jaya 1 100% 0% 0% 0% 0% 1 100%
Pancoran Mas Mampang 0% 4 80% 1 20% 0% 0% 5 100%
Pancoran Mas 0% 2 67% 0% 1 33% 0% 3 100%
Pondok Jaya 0% 2 40% 3 60% 0% 0% 5 100%
Rangkapan Jaya 0% 1 50% 1 50% 0% 0% 2 100%
Rangkapan Jaya Baru 0% 3 60% 2 40% 0% 0% 5 100%
Ratu Jaya 0% 0% 3 100% 0% 0% 3 100%
Total 1 3% 17 49% 16 46% 1 3% 0% 35 100%
Sumber: Survei Rumah Tangga
237

Lampiran 5. Pengelolaan sampah yang dilakukan di Kota Depok

a. Model dekompser skala rumah tangga


238

Lampiran 5 (Lanjutan)

b. Model pengelolaan sampah 3R tingkat RW


239

Lampiran 5 (Lanjutan)

c . Mode l Un it Pengo la han Kom pos Skala Kaw as an


240

Lampiran 5 (Lanjutan)

d. Kegiatan Daur ulang biji plastik


241

Lampiran 5 (Lanjutan)

e. Kegiatan Daur Ulang Sampah Plastik menjadi Pelet plastik


242

Lampiran 6. Pengelolaan sampah Takakura


243

Lampir an 7. Kegiatan di kawasan TPA Cipayung

Anda mungkin juga menyukai