Anda di halaman 1dari 5

Feodalisme Gadis Pantai

Gala Pangestu

Gadis Pantai merupakan judul dari salah satu novel karya Pramodeya Ananta Toer
menceritakan seorang gadis belia berumur empat belas tahun. Ia dinikahkan dengan seorang
pembesar (priyayi) oleh kedua orang tuanya. Priyayi tersebut bernama Bendoro. Kehidupan
Gadis Pantai berubah drastis setelah menikah dengan Bendoro. Ia harus menyesuaikan
kehidupan barunya sebagai istri seorang priyayi. Gadis Pantai kehilangan keceriaannya dan
merasakan kesepian karena jauh dari kedua orang tuanya. Hingga suatu waktu, akhirnya ia
mengandung dan melahirkan seorang anak perempuan. Bapak Gadis Pantai datang dari
kampung untuk memenuhi panggilan Bendoro.
Ternyata Bendoro memanggil bapak untuk menceraikan Gadis Pantai. Setelah
melahirkan seorang anak  perempuan, Gadis Pantai diceraikan oleh Bendoro dan dilarang
untuk membawa anaknya dan Gadis Pantai diusir secara kasar oleh Bendoro. Gadis Pantai
memutuskan untuk tidak ikut pulang bersama bapak ke kampung Nelayan. Gadis Pantai
berpamitan kepada bapak dan memerintahkan kusir untuk kembali ke kota dan pergi kearah
selatan menuju kota Blora. Dalam satu bulan setelah itu sering orang melihat sebuah dokar
berhenti di depan pintu pekarangan depan rumah Bendoro dan sebuah wajah mengintip dari
kiraian jendela dokar, tapi tak ada yang terjadi apa-apa di pekarangan itu. Lewat sebulan, tak
pernah lagi ada dokar berhenti, tak ada lagi wajah mengintip dari kirainya.
Dalam novel ini pengrarang mengangkat masalah kebudayaan jawa yang terjadi
sekitar awal abad 20-an.  Dimana pada masa itu Penjajah Belanda ke Nusantara ini, telah
membawa sistem sosial masyarakat yang sangat melekat pada masyarakat Indonesia. Salah
satunya sistem sosial feodalisme, yang merupakan sistem sosial politik yang memberikan
kekuasaan yang besar kepada golongan masyarakat Bangsawan. Sistem feodaliasme
berkembang di seluruh Nusantara terutama di daerah Jawa Tengah. Dengan kesewenang-
wenangan yang disebabkan sistem ini, telah membuat jurang pemisah antara rakyat biasa
dengan golongan bangsawan atau Priyayi.
Pramoedya Ananta Toer sengaja menghadirkan sebuah Roman Trilogi ‘Gadis Pantai’
untuk mengungkapakan betapa kejamnya sistem feodalisme Jawa pada saat itu yang
mengantarkan pada kesengsraan rakyat.  Dalam roman tersebut Pram menghadirkan sosok
gadis anak seorang nelayan yang mewakili rakyat biasa, mendapatkan perlakuan semena-
mena dari seorang Bendoro mewakili golongan Bangsawan yang tidak lain adalah suaminya.
Meskipun perlakuan semena-mena itu bukan berupa perlakuan fisik namun lebih kearah
psikis, yaitu di mana dia tidak dihormati sebagai seorang istri, dikekang dan diusir dari
kediamannya setelah ia melahirkan anak perempuan hasil dari hubungan dengan Bendoro.
Setelah membaca novel ini dilihat dari romannya  pengarang  disini terinspirasi dari
cerita ibunya tentang neneknya. Bahwa ternyata Gadis Pantai itu adalah gambaran tentang
kisah neneknya pada zaman dahulu, dimana Gadis Pantai itu sebutan yang Pramudya Ananta
Toer pilih untuk neneknya  yang berasal  dari pesisir utara jawa, dahulu juga dijadikan istri
percobaan oleh seseorang yang kaya. Dari perkawinan uji coba ini lahir seorang bayi
perempuan yaitu adalah ibu dari pram. Pengarang juga menceritakan dalam kata pengantar
roman gadis pantai.
Pengarang disini mengungkapkan keadaan emosi, ide gagasan, dalam novel yang
terjadi kesenjangan sosial antara perjuangan golongan kelas atas dan kelas bawah. Novel ini
menggambarkan cerminan perjuangan  golongan kelas bawah oleh tokoh Gadis Pantai agar
tidak lagi ada masyarakat yang berkelas-kelas. Novel ini mencerminkan kenyataan sosial pada
masa itu di Jawa. Dari novel ini, didapatkan unsur sosial budaya yang melatarbelakangi
penciptaannya, yaitu tentang sistem sosial dalam budaya masyarakat Jawa pada masa novel
ini ditulis. Masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga tipe yang mencerminkan organisasi moral
kebudayaan, yaitu kebudayaan abangan, santri, dan priyayi. Kaum abangan adalah penganut
kejawen yang sangat percaya akan adanya makhluk halus yang mempengaruhi kehidupan
manusia,  seperti dalam praktek-praktek pengobatan, santet, magi dan  magis golongan ini
biasanya terisi dari kalangan pedagang, sebagian kecil petani dan nelayan. Kedua yaitu Santri,
suatu golongan yang menjalankan kaidah-kaidah agama Islam secara murni. Sedangkan
golongan priyayi yang digambarkan oleh Bendoro yang memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dibandingkan orang kebayakan mereka hidup bercukupan.
Kaum Priyayi disini mereka menggap dirinya kedudukan lebih tinggi sehingga meeka
pantas dan layak untuk dihargai. Sedangkan untuk kaum abangan paradigm-paradigma seperti
itulah yang membuat kaum abangan cenderung layak untuk ditindas dan dikucilkan oleh
kaum priyayi karena keterbatasan apa yang mereka miliki sebagai Petani atau Nelayan. Novel
ini memperlihatkan kentalnya struktur kekuasaan yang dimunculkan dalam roman ini. Adab
dan berkemanusiaan menjadi beberapa cerita yang berhasil digambarkan oleh pram dalam
sosok priyayi-priyayi jawa pada roman ini.
Novel ini menurut persepsi saya menggunakan pendekatan sosiologi sastra  yang
secara umum, sosiologi sastra mempelajari hubungan timbal balik antar unsur-unsur sosial
sastra, yaitu karya, pengarang, realitas, pembaca, dan distribusi karya. Secara khusus,
sosiologi sastra mempelajari hubungan realitas dunia dengan realitas fiksi. Dalam kesempatan
kali ini pengarang mencoba untuk  mengaitkan hubungan antara karya, pengarang, dan
realitas yang ada. Sosiologi sastra tidak hanya memfokuskan pada teks sebagai benda budaya
yang otonom, sumber-sumber yang di luar teks sastra itu pun merupakan bahan
penting.  Pengetahuan mengenai sejarah, situasi sosial dan politik, perkembangan media,
agama, struktur sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, proses
reproduksi sastra, riwayat hidup pengarang dan lain-lain merupakan sumber yang sangat
berharga.
Kembali kita diingatkan pada zaman Feodalisme jawa yang berkembang seolah-olah
tidak akan punah. Namun kebudayaan jawa dapat bertahan karena Feodalisme bukanlah
sesuatu yang harus dilihat dengan kacamata benar dan salah, melainkan sesuatu yang telah
ada harus dilaksanakan dan dikerjakan. Dengan sistem birokasi itu identitas budaya lokal
semakin terkikis dan melahirkan generasi lokal yang memiliki rasa rendah diri dengan
identitas kultural lokalnya. Namun pelajaran yang paling mudah diambil dari novel Gadis
Pantai adalah bahwa dalam kehiduapan bermasyarakat manusia tidak boleh membedak-
bedakan sesama manusia, sebab manusia memiliki derajat yang sama dimata Tuhan.
Pentingnya gaya hidup atau penampilan dalam novel ini tidak hanya terdapat dalam
persoalan hubungan rasial antara priyayi dengan rakyat biasa, melainkan juga dalam
persoalan hubungan sosial antar anggota masyarakat setempat itu sendiri. Gaya hidup adalah
indikator penting dari status sosial seseorang dan gaya hidup itu pula lah yang menempatkan
Bendoro ke dalam golongan masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Sedangkan, Gadis
Pantai, walaupun ia telah dinikahi oleh Bendoro dan tinggal di gedungnya, namun tetap saja
ia dianggap sebagai perempuan kelas rendah, sehingga membuatnya terjepit dalam status
sosial yang telah membiarkan ia lahir dan besar di dalamnya. Kekuatan tangan-tangan feodal
Jawa yang tak kan mampu terlawan bagi tangan-tangan semacam Gadis Pantai, kepala
kampung atau bahkan bapaknya sendiri. Pramoedya berhasil membongkar dan menunjukkan
kontradiksi negatif  praktik feodalisme Jawa yang tidak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan.
Tak dapat di pungkiri karya Pramoedya Ananta toer inilah yang benar-benar
mengupas tokoh priyayi atau golongan atas yang menindas golongan kelas bawah di masa itu.
Perbedaan golongan kelas atas yang sangat terlihat dengan golongan kelas bawah dimana
pada masa penjajahan Belanda mengakibatkan adanya sistem feodalisme yang menjalar ke
darah daging para Priyayi Jawa. Keadaan ini adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang
mengakibatkan ketidakadilan, kebodohan, kebobrokan mental, serta tidak adanya pemerataan
ekonomi. Praktik-praktik Feodalisme Belanda masih terasa hingga kini, masih membekas
tentang kerja paksa ”Rodi”, yang telah menginjak-injak harga diri rakyat kecil. Juga
perbudakan seks yang dilakukan oleh raja-raja Jawa, Priyayi dan para Petinggi Belanda.
Gadis Pantai, dalam usia yang masih begitu belia telah kehilangan segalanya. Karena begitu
malu kembali ke kampungnya,
Gadis Pantai dengan perasaan remuk memilih berputar arah ke Selatan, ke Blora.
Kisah sekuel Gadis Pantai terhenti di sini. Lewat sekuel pertama ini, Pram meunjukkan
kontradiksi negatif praktik feodalisme di tanah Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa
kemanusiaan. Betapa seorang manusia tak dihargai dari hatinya, namun dari pangkat dan
golongan mana dia berasal. Layak dijadikan perenungan. Buku ini juga tidak negatif, sebab
langkah pertama ke arah pembebasan dari penindasan dan penghinaan telah diambil dari
Gadis Pantai,ia mulai sadar tentang kenyataan sosial di tempat hidupnya. Ia tidak dapat
kembali ke masa lampau, ia harus maju ”Tanpa menengok ke belakang lagi,
Gadis Pantai memusatkan matanya ke depan, demikian dikatakan pada halaman
penghabisan. Pram melalui Roman ‘Gadis Pantai’ berhasil menguak kebengisan sistem
feodalisme Jawa. Dengan teknik kepengaranganya Roman ini berhasil menjadi Roman sosio-
kritis, yang memperjuangkan rakyat kecil dan terutama wanita-wanita Jawa yang dijadikan
selir para Priyayi. Dengan adanya roman ini kita berharap di masa sekarang tidak ada lagi
praktik-praktik Feodalisme. Sehingga novel Gadis Pantai ini benar-benar dapat menusuk para
golongan atas atau priyayi agar tidak ada praktik feodalisme tidak hanya untuk masa pada
abad 20 tetapi harapannya juga pada masa modern ini, banyak bangsawan atau tokoh-tokoh
politik dan sebagainya yang masih menindas golongan kelas bawah bahkan merampas apa
yang menjadi hak golongan masyarakat kelas bawah.
Kelebihan buku ini adalah bahasa yang digunakan cukup mudah dimengerti dan
memberikan ilmu bahwa dulu, seorang priyayi dapat menikah terlebih dahulu dengan wanita-
wanita yang tidak sederajat. Kekurangan novel ini ialah kalimat yang digunakan terlalu
monoton dan membuat pembaca merasa kantuk saat membacanya. Menurut saya novel ini
mempunyal tema yang menarik untuk dibaca. Namun, sedikit sulit untuk dipahami karena
bahasa yang digunakan masih menggunakan bahasa campuran. Novel Gadis Pantai karya
Pramoedya Ananta Tour juga mempunyai nilai-nilai yang tinggi.

Nama : Gala Pangestu


Absen : 15
Kelas : XII IPA 2

Anda mungkin juga menyukai