Usul Penelitian PKM
Usul Penelitian PKM
Ketua Peneliti :
Dr. Ir. A. Tunggul Sutan Haji, MT
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
Maret, 2005
1. Judul : Model Hidrologi Sebar Keruangan menggunakan
Model Ketinggian dan Peta Digital untuk
Penentuan Volume Tampungan Detensi sebagai
Kompensasi Alih Fungsi Lahan
2. Ketua Peneliti
a. Nama :
Dr. Ir. A. Tunggul Sutan Haji, MT.
b. Jenis Kelamin :
Laki-laki
c. Pangkat/Golongan :
Lektor /IIIc.
d. NIP :
131653125
e. Jabatan Sekarang :
Staf Pengajar
f. Fakultas :
Teknologi Pertanian
g. Alamat Kantor :
Jl. Veteran, Malang
h. Alamat Rumah/Telp/E-mail :
Jl. Kesumba No. 5/ 0815 6214888/
sutanhaji@yahoo.com
3. Perguruan Tinggi : Universitas Brawijaya Malang
4. Jangka Waktu Penelitian : 2 (Dua) Tahun
a. Biaya 2006/2007 diajukan ke Dikti : Rp 49.850.000,-
b. Biaya 2007/2008 diajukan ke dikti : Rp 49.850.000,-
c. Biaya dari Instansi Lain : Tidak Ada
( Prof. Dr. Ir. Bambang Simon Wijanarko) ( Dr. Ir. Tunggul Sutan Haji, MT)
NIP. 130 704 137 NIP. 131 653 125
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian
DAFTAR ISI
1. URAIAN UMUM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. ABSTRAK . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3. TUJUAN KHUSUS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4. PENTINGNYA PENELITIAN YANG DIRENCANAKAN . . . . . . . . .
5. STUDI PUSTAKA/KEMAJUAN YANG TELAH DICAPAI DAN
STUDI PENDAHULUAN YANG SUDAH DILAKSANAKAN . . . . . .
6. METODE PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
7. RINCIAN ANGGARAN PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
8. PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1. JUSTIFIKASI ANGGARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
2. DUKUNGAN PADA PELAKSANAAN PENELITIAN . . . . . . . . . . . .
3. SARANA DAN PRASARANA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4. BIOGRAFI/DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI . . . . . . . . . . . . .
1. URAIAN UMUM
2. ABSTRAK
Pada tahap pertama, penelitian ini bertujuan mengembangkan model hidrologi sebar keruangan
sel-grid yang memanfaatkan data model ketinggian dan peta digital. Hujan limpas ditentukan
tiap-tiap sel menggunakan metoda SCS, Hujan limpas akan mengalir dari satu sel ke sel yang
lainnya (overland flow) mengikuti jaringan sungai sintetik yang telah diturunkan sebelumnya
berdasarkan DEM. Routing aliran air di atas permukaan tanah ini dianggap sebagai aliran tunak
seragam (mengabaikan adanya backwater) atau gelombang kinematik (kinematic wave) yang
dinyatakan dengan persamaan aliran kontinuitas dQ/dx + dA/dt = q dan momentum So = Sf.
Persamaan-persamaan ini dapat diselesaikan dengan metoda penyelesaian beda hingga linier
(linear finite difference).
Pada tahap kedua, memanfaatkan model yang dikembangkan untuk mensimulasikan fenomena
aliran permukaan DAS Ciliwung Hulu, dengan berbagai skenario penutupan lahan atau Alih
Fungsi Lahan (AFL), dengan berbagai pemberian volume tampungan detensi, dan dengan
variasi besar curah hujan. Berdasarkan hasil simulasi ini, kemudian disusun monograf hubungan
antara Tingkat Kondisi DAS, Indeks Banjir dan Koefisien Tampungan.
Kata Kunci :
Model Hidrologi, SIG, DEM, Prognosa, Banjir, Sebar Keruangan, Tampungan Detensi
3. TUJUAN KHUSUS
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mengembangkan model hidrologi sebar keruangan yang diintegrasikan dengan SIG, hingga
menjadi satu kesatuan sistem dan perangkat lunak yang tak terpisahkan dan dapat
dioperasikan oleh pengguna secara interaktif .
2. Memanfaatkan model yang dikembangkan untuk mensimulasikan penomena aliran
permukaan DAS Ciliwung Hulu, dengan berbagai skenario penutupan lahan atau AFL,
dengan berbagai pemberian volume tampungan detensi, dan dengan variasi besar curah
hujan.
3. Menyusun nomograf hubungan antara tingkat kondisi DAS, indeks banjir dan koefisien
tampungan detensi, untuk menentukan volume tampungan detensi pada lahan pemukiman
dalam rangka memperbaiki kondisi DAS, dan untuk menentukan volume tampungan sebagai
kompensasi AFL.
Berkembangnya kawasan perkotaan dan berkurangnya kawasan hutan dan lahan pertanian yang
cepat sedang banyak terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Berkurangnya penutupan vegetasi
mempengaruhi kemampuan infiltrasi tanah, dan waktu serta volume aliran. Peningkatan volume
limpasan dan berkurangnya waktu aliran ini mengakibatkan masalah banjir di daerah hilir DAS
(Daerah Aliran Sungai). Kasus banjir kiriman yang terjadi di Daerah Jakarta pada beberapa
musim hujan terakhir ini diduga karena adanya perubahan pemanfaatan lahan yang cepat, dari
hutan dan lahan pertanian menjadi pemukiman, di Kawasan BOPUNJUR (Bogor-Puncak-
Cianjur).
Identifikasi secara dini perubahan penutupan vegetasi dapat mencegah atau setidaknya
mengurangi bencana sosial, ekonomi dan ekologi, dan kemampuan memprediksi besarnya aliran
sangat bermanfaat dalam perencanaan dan merancang tata guna lahan dan usaha-usaha perbaikan
kondisi DAS. Penggunaan model hidrologi memungkinkan memprediksi proses-proses hidrologi
pada berbagai kondisi DAS
Perubahan kondisi DAS yang sangat dipengaruhi oleh perubahan tata guna lahan dan usaha-
usaha perbaikannya merupakan masalah yang tidak dapat mengabaikan sifat keruangan.
Perubahan tata guna lahan dan tata ruang air di daerah hulu akan berbeda, pengaruhnya terhadap
hidrograf banjir, jika dibanding dengan perubahan yang sama di daerah hilir. Di sisi lain, ada
SIG (Sistem Informasi Geografis) yang dapat memberikan data masukan yang esensial untuk
model hidrologi (dalam ruang dan waktu) untuk memprediksi pengaruh perubahan pemanfaatan
lahan di DAS hulu terhadap pola banjir di daerah hilir.
Teknologi Sistem Informasi Geografi yang mengandalkan komputer berkembang sejalan dengan
berkembangnya teknologi komputer pada saat ini. Pemakaian SIG untuk pengadaan peta digital
di Indonesia sudah sangat meluas, walaupun belum diikuti pemanfaatan peta-peta tersebut untuk
keperluan pemodelan lingkungan khususnya pemodelan hidrologi. Hal ini, terutama, karena
selama ini SIG dan pemodelan hidrologi tumbuh secara terpisah (Maidment, 1996), sehingga
program komputernya mempunyai struktur data, fungsi-fungsi, dan metode untuk masukan dan
keluaran informasi keruangan yang sangat berbeda. Perbedaan-perbedaan ini mempersulit
mengkaitkan keberadaan SIG dan model-model hidrologi. Beberapa kesulitan ini dapat diatasi
dengan penulisan ulang model-model hidrologi menjadi suatu bentuk dimana model-model itu
dapat dilekatkan (embedded) dengan SIG sehingga dapat memanfaatkan data yang berstruktur
data SIG secara langsung.
Perkembangan teknologi SIG dan Model Permukaan Digital (Digital Terrain Model – DTM atau
sering juga disebut Digital Elevation Model - DEM) saat ini sesungguhnya telah memungkinkan
untuk melakukan pengamatan fenomena alam di permukaan bumi melalui pemodelan spasial
(Sulistiyo, 2000). DTM sangat berperan untuk melakukan pemodelan relief bumi dan SIG
dengan kemampuan yang telah dikembangkan dapat dimanfaatkan untuk analisis spasial dalam
mempresentasikan keadaan yang sedang diamati ke dalam suatu perhitungan numerik.
Limpasan air yang merupakan komponen sistem siklus hidrologi di atas permukaan bumi sangat
dipengaruhi oleh bentuk permukaan lahan itu sendiri. Oleh karena itu DTM yang merupakan
gambaran relief permukaan lahan dapat digunakan sebagai alat bantu memodelkan perilaku
aliran permukaan. Untuk memudahkan pemakaian dalam model tersebut DTM perlu diekstraksi
dalam parameter-parameter arah aliran dan kemiringan.
Model ruang kontinu atau ruang diskrit dapat diciptakan dengan menggunakan SIG, sehingga
lapis-lapis datanya memuat susunan, rencana dan penetapan titik, garis dan area, dimana masing-
masing titik, garis atau area merupakan suatu entitas individual atau diskrit yang digambarkan
dengan data record. Dengan overlaying lapis-lapis data yang ada, lapis-lapis data lebih komplek
dengan table data deskriptif lebih intensif dapat diciptakan (ESRI, 1992). Titik dan garis dapat
terletak dimana saja, dalam ruang domain dan daerah dalam rupa sembarang bentuk.
Model ruang kontinu dinyatakan dengan suatu permukaan di atas domain analisis yang
mempunyai bidang horizontal dibagi-bagi dalam area bentuk regular, biasanya sel segiempat atau
segitiga. SIG raster atau grid merupakan model ruang kontinu, yang merupakan jaringan
segitiga-segitiga tak beraturan, sering digunakan dalam pemodelan ketinggian digital (DEM).
Jenis model ini biasanya mempunyai atribut yang terasosiasi tunggal, seperti misalnya nilai sel
tunggal dalam system grid atau koordinat-z vertek dalam suatu sistem jaringan itu.. Itu mungkin
untuk menciptakan representasi ruang diskrit dalam suatu model ruang kontinu dengan
memberikan nilai atribut yang sama untuk semua elemen spasial dalam suatu zone khusus
(Tomlin, 1990), seperti dalam identifikasi stream link sebagai garis sel dan daerah sumbangannya
sebagai zone sel dalam DAS.
Model-model kempal digunakan secara luas dalam pemodelan rainfall-runoff, dimana watershed
diperlakukan sebagai entitas yang dirata-rata secara spasial, dimana inputnya hujan di seluruh
watersheds dan outputnya adalah limpasan permukaan pada outlet. Keluarannya menjadi input
untuk aliran dalam saluran hilir outlet, dimana keluarannya terhubungkan pada keluaran-
keluaran dari sub-watershed aliran-hilir dengan jaringan aliran yang menyambungkan sub-
watershed dan saluran dalam permukaan tanah.
Ada beberapa model kempal hujan-limpasan yang telah dikembangkan untuk mengetahui
hubungan besar dan intensitas curah hujan dan besar limpasan (runoff) yang diramalkan akan
terjadi, diantaranya adalah model SWMM (Huber et al., 1982) dan model HEC-1 (HEC- 1,
1981). Kedua model ini merupakan model DAS deterministik (Ibrahim, 1992).
Program komputer HEC-1 yang dikembangkan oleh U.S. Army Corps of Engineers (1990)
Hydrology Engineering Centre (HEC) untuk mensimulasikan proses curahan-limpasan daerah
tangkapan yang mempunyai ukuran dan kompleksitas dari daerah tangkapan perkotaan yang
kecil sampai sistem luas pasu jamak yang besar. Model ini dapat digunakan untuk menentukan
limpasan sintetik sebaik kejadian historis. Suatu daerah tangkapan air dinyatakan sebagai suatu
sistem komponen-komponen yang terhubungkan, dimana masing-masing sistem komponen
memodelkan suatu aspek proses hujuan-limpasan dalam SUBDAS. Komponen-komponen itu
merupakan komponen limpasan permukaan, komponen pelacakan aliran, komponen tampungan,
komponen pembagi (diversion), dan komponen pemompaan.
Hasil dari simulasi merupakan hidrograf antara debit vs. waktu pada masing-masing node
keluaran dalam suatu jaringan. sifat-sifat dari masing-masing sub-watershed dan saluran aliran
dalam jaringan adalah lump atau dirata-rata secara spasial sehingga masing-masing obyek spasial
dalam model dinyatakan dengan suatu set tunggal propertas deskriptif, seperti nilai atribut dalam
tabel yang melekat pada lapis data SIG vektor.
HRU telah banyak digunakan secara luas dengan model-model yang memanfaatkan teknik-
teknik analisis elemen hingga dan beda hingga. Salah satu keuntungan utama dari algoritma ini
terhadap integrasi ruangan-waktu dari elemen bujur sangkar adalah peningkatan efisiensi
hitungan. Akan tetapi, untuk kebanyakan penerapan model hidroloi, bukan hanya kecepatan
hitungan yang menjadi persoalannya.
Salah satu model-model DAS pertanian berdasarkan HRU terbaik yang dikenal adalah Finite
Element Storm Hydrograph Model (FESHM) (Ross et al. 1979; Hession et al. 1987). Wolfe dan
Neale (1988) dan Shanholtz et al. (1990) mengintegrasikan FESHM dengan GIS. Dalam
FESHM DAS dibagi menjadi HRU-HRU berdasarkan tipe tanah dan penggunaan lahan. Excess
rainfall (hujan limpas) dan infiltrasi yang menyebar secara keruangan dihitung berdasarkan pada
lintasan aliran topografi dan permukaan.
Wolfe et al. (1991) mengusulkan model sistem DAS yang berorientasi obyek untuk
mensimulasikan proses hidrologi. Obyek-obyek digunakan untuk menyatakan area dalam lapis-
lapis data SIG. Obyek data tanah dan obyek data penggunaan tanah dikombinasikan (dengan
overlay) untuk mendapatkan satuan-satuan respon hidrologi.
Model Agricultural Nonpoint Source Pollution (AGNPS) (Young et al. 1987) telah
dikembangkan untuk menganalisis pencemaran dalam DAS pertanian. Karakteristik limpasan
permukaan dan proses angkutan sedimen dan nutrien disimulasikan untuk masing-masing sel..
Dengan model ini, memungkinkan mengkaji limpasan-permukaan, erosi dan gerakan bahan
kimia pada sembarang sel grid dalam DAS. Jadi, AGNPS mampu mengidentifikasi sumbangan
sumber-sumber masalah yang potensial secara keruangan.
SWAT adalah suatu model DAS sebar keruangan yang beroperasi pada suatu tahap waktu harian
(Arnold et al. 1993). SWAT memberi beberapa perluasan pada model SWRRB (Arnold et al.
1990). Penggunaan utamanya adalah dalam membantu manajer sumber air menaksir penyediaan
air dan polusi sumber nonpoint pada DAS-DAS dan pasu-pasu yang besar. SWAT memberi
fleksibelitas pertimbangan dalam konfigurasi dan diskritisasi DAS, mengijinkan DAS untuk
dibagi-bagi dalam sel-sel dan/atau subDAS. SWAT dapat mensimulasikan limpasan permukaan,
sedimen, nutrien, dan gerakan pestisida melalui lahan dalam DAS.
TOPMODEL merupakan MODEL berdasarkan TOPOGRAFI (Beven dan Kirby 1979) yang
digunakan untuk memprediksi limpasan permukaan dari hujan sesaat untuk DAS dengan
pendekatan sistem grid. TOPMODEL menghitung pengaruh topografi DAS menggunakan
‘indek topografi sebar’. Itu juga menggunakan suatu konsep area-jenuh peubah mirip pada yang
digunakan dalam model kempal sederhana. Dengan membandingkan model-model parameter
sebar yang lain yang dijelaskan di atas, TOPMODEL memerlukan lebih sedikit masukan
parameter sebar.
Model data spasial digital yang dapat menyajikan sifat dan karakteristik unsur-unsur geografik
sebagaimana dihabitat aslinya, sering disebut sebagai peta dijital, dapat berupa model data
vektor, model data raster; maupun model data DTM/DEM.
Pada model data vektor, unsur geografik disajikan secara digital seperti bentuk
visualisasi/penyajian dalam peta hardcopy, dimana titik dibentuk dan disimpan sebagai satu
pasang koordinat (x,y), garis dibentuk dan disimpan sebagai susunan pasangan kordinat (x,y)
yang berurutan dan luasan dibentuk dan disimpan sebagai suatu susunan pasangan koordinat
(x,y) yang berurutan yang menyatakan segmen-segmen garis yang menutup menjadi suatu
poligon. Sedangkan dalam model data raster setiap lokasi direpresentasikan sebagai suatu posisi
sel. Sel ini diorganisasikan dalam bentuk kolom dan baris sel-sel dan biasa disebut sebagai grid.
Setiap baris matrik berisikan sejumlah sel yang memiliki nilai tertentu yang merepresentasikan
suatu fenomena geografik. Nilai yang dikandung oleh suatu sel adalah angka yang menunjukkan
data nominal, misal : kelas lahan, konsentrasi polutan, dan lain-lain. Seperti halnya data vektor,
model data raster juga dapat menyajikan bentuk unsur geografik titik, garis dan area/luasan.
Konsep SIG terus dikembangkan, SIG generasi kedua lebih menekankan pada kemampuan
analitik. Ketersediaan sistem komputer yang lebih baik dan murah telah lebih menguatkan /
memperkokoh pengembangan SIG. Dimana hasil dengan derajat kinerja lebih tinggi telah
tercapai. Data mungkin diterima dalam format yang berbeda, interface antara databases digital
berbeda tersedia dan lebih advanced graphics utilities telah diperdagangkan. Sistem ini lebih
interaktif dan user friendly dan cacah fungsi-fungsi analitik meningkat.
Ada pertumbuhan kebutuhan SIG yang dapat melakukan analisis spasial 3-dimensi (3D).
Sekarang telah banyak perangkat lunak SIG yang dapat menganalisis 3D ini. Dalam penaksiran
dan hitungan-hitungan sumber daya air pemprosesan real 3D sangat penting (Turner, 1989).
Studi aspek dinamik entitas spasial atau propertasnya menjadi makin penting sebagai pemodelan
perubahan secara spasial dan temporal dalam kejadian sumber daya air menjadi lebih vital untuk
tujuan-tujuan manajement. Bukan hanya ‘dimana’ tetapi juga ‘kapan’ merupakan pertanyaan
yang valid. Waktu boleh jadi dianggap dimensi keempat dari data geographic dan dalam
penerapan pasti barangkali lebih penting dari pada kompunen lokasi. Pemodelan dari penomena
geografi dapat dilakukan dengan menggunakan kompunen spasial (lokasi), non-spasial (atribut)
dan temporal (Sinton, 1978; Chrisman, 1991).
Karakteristik SIG paling penting adalah kenyataan bahwa SIG dapat menganalisis data spasial
dan atributnya yang dimuat dalam suatu database. Fungsi utama dari suatu SIG dalam hidrologi
adalah untuk membantu dalam manajemen sumber lahan dan air. Itu digunakan untuk menjawab
pertanyaan tentang real world. Sebagai database dari SIG adalah suatu model realitas sederhana
yang hanya digunakan untuk mewakili aspek-aspek pasti dari realitas ini.
5.4.2 DEM
DEM (Digital Elevation Model) adalah data digital yang menggambarkan variasi kontinu
permukaan bumi. DEM menggambarkan kembali relief bumi melalui informasi dari sejumlah
titik dalam bentuk raster ataupun garis sesuai dengan koordinat, ketinggian dan kenampakan
geomorfologi. Informasi ini memberikan deskripsi mengenai relief bumi sesuai dengan tingkat
ketelitian yang diinginkan.
DEM atau sering disebut model elevasi digital adalah suatu peta digital yang didalamnya
terdapat rekaman data ketinggian, baik yang berbasis raster (piksel) ataupun yang berbasis vector
dengan menggunakan TIN (Triangulated Irregular Network) (Sukatja, 2004). Data DEM sangat
penting artinya untuk membuat peta tematik lainnya khususnya dalam pengelolaan sumber daya
air. Peta-peta tematik yang dapat dibangun berdasarkan data DEM antara lain :
1. Peta kemiringan lereng
2. Peta arah aliran
3. Peta sistem aliran
4. Peta distribusi cekungan (basin)
Data DEM merupakan “data dasar” yang sangat penting artinya dalam aplikasi yang berbasis
keruangan, hal ini karena DEM tidak hanya menyajikan informasi ketinggian suatu willayah,
akan tetapi dapat dikembangkan untuk berbagai aplikasi misalnya menyusun peta lereng, peta
morfologi lereng, peta pola aliran, peta akumulasi aliran, identifikasi adanya depresi pada
permukaan bumi.
Pada proses pemetaan dijital (digital mapping/digmap), pada umumnya DEM dibuat dengan
interpolasi dari titik-titik tinggi teratur dan garis-garis struktur (breaklines, riverlaines, dll) yang
diukur secara stereo dalam kompilasi fotogrametris. Sebagian orang menyebut titik-titik tinggi
teratur hasil stereo-plotting ini sudah sebagai “DEM”. Sebagian orang menyebutnya sebagai
“spot-height”. Istilah ini “salah kaprah”. DEM adalah sebuah model, jadi tidak dapat diakuisi
langsung, namun harus dengan proses interpolasi. Jadi data grid hasil stereo-plotting tadi
maksimal dapat disebut “DEM-rawdata” atau data mentah untuk DEM.
Untuk mendapatkan DEM dalam bentuk grid teratur dari titik-titik acak atau dari titik-titik yang
terukur secara grid namun pada resolusi yang berbeda, dilakukan interpolasi. Jenis interpolasi
(linier, spline, krigging, dll.) ini akan sangat berpengaruh pada grid yang dihasilkan. Demikian
juga pada saat membuat produk turunan seperti kontur, dilakukan interpolasi lagi, yang berbeda
dengan interpolasi pertama. Interpolasi yang menghasilkan kontur yang cocok dengan medan
dan sekaligus hemat titik adalah interpolasi akima (Ackermann, 1994).
Pada perangkat lunak DEM yang canggih (misalnya: Ackermann 1992, IPF 1994) terdapat
berbagai fasilitas interpolasi, bahkan memberikan bobot (weight) yang berbeda pada titik-titik
yang diambil dengan cara berbeda. Misalnya titik-titik dari GPS dihargai lebih tinggi dari pada
titik-titik fotogrametri. Selain itu juga diperhatikan informasi tambahan seperti breakline,
riverline, singular point, borderline dsb.
DEM dapat juga disimpan dalam format grid raster atau TIN, baik 2,5D atau penuh 3D. Meski
menyimpan DEM dalam format grid raster namun perangkat lunak yang unggul dapat
menyimpan informasi tambahan seperti structure line, dan juga tidak harus memakan tempat di
memory bila pada area yang bersangkutan tidak ada titik-titik DEM. Grid yang dipakaipun dapat
memiliki lebar yang bervariasi.
Sutanhaji (1999), telah mengembangkan algoritma untuk mendapatkan jaringan sungai dan
parameter hidrologi lainnya berdasarkan DEM dan turunanya seperti arah aliran, aspek dan
kemiringan, yang diberinama MJDED (Model Jaringan Drainase Elevasi Dijital). Dengan
menggunakan model yang dikembangkan ini dapat diperoleh propertas-propertas seperti : vector
arah aliran, daerah tangkapan dan jaringan sungai, yang dapat dipergunakan dalam model
hidrologi.
Integrasi model hidrologi dan SIG ini dapat dalam banyak bentuk. Dalam hal paling sederhana,
dua sistem terpisah, SIG dan model hidrologi, saling bertukar file atau data. Model ini mendapat
beberapa data masukannya dari SIG dan beberapa produk keluarannya dalam format yang
mengijinkan import, proses, tayang dengan SIG (Gambar 1). Pendekatan ini biasanya
membutuhkan sedikit modifikasi perangkat lunak. Hanya format file dan routine-routine
masukan dan keluaran model itu harus disesuaikan. Akan tetapi, tergantung pada pelaksanaan,
suatu penyelesaian didasarkan pada file yang ditukar (share) antara dua aplikasi terpisah,
biasanya dengan dua user interface yang berbeda.
Pertukaran Database dan file-file
SIG Model
SIG Model
User Interface
Integrasi lebih dalam, dengan sebuah interface, dapat melakukan pertukaran dan transfer
informasi antara komponen-komponen respektif (Gambar 2). Satu cara untuk mencapai integrasi
ini adalah dengan menggunakan bahasa aplikasi dengan tingkat lebih tinggi atau pembangkit
aplikasi (application generator) dalam SIG; AML-nya ARC/INFO atau Subbroutine
Development Libraries-nya ARC/SDL merupakan produk ESRI untuk membentuk dasar
sejumlah aplikasi yang terintegrasi. Pembangkitan aplikasi dan kapasitas pemodelan dengan SIG
komersial menawarkan kemungkinan integrasi respektif sempit dalam pilihan paket terbatas.
Suatu alternatif lain adalah dengan menggunakan tool kit SIG terbuka dengan suatu interface
yang distandarisasi, seperti misalnya GRASS (Fedra dan Hubat, 1993). Modul-modul dan
sistem SIG secara keseluruhan dapat digabungkan dalam aplikasi model. Sistem x-Windows dan
sejumlah interface-building tool kits membuat strategi integrasi ini agak efisien. Akan tetapi
integrasi pada tingkat ini membutuhkan arsitektur SIG terbuka yang cukup, yang dapat
menyediakan keperluan link dan interface untuk rangkaian pasangan sempit.
Banyak model-model hidrologi yang dipaparkan pada sub-bab di atas telah diintegrasikan
dengan SIG. Yoon et al. (1993) mengkaitkan GIS berdasar vektor dengan AGNPS. Hodge et al.
(1988) mengkaitkan MULTSED (Multiple Watershed Sediment Routing) dengan GRASS-GIS
berdasar raster membagi DAS dalam subpasu-subpasu untuk masukan-masukan data dan tujuan-
tujuan simulasi. Rewets dan Engel (1991) mengintegrasikan ANSWERS dengan GIS berdasar
raster untuk simulasi limpasan-permukaan, erosi, dan sedimentasi dalam DAS-DAS. Srinivasan
et al. (1993) dan Engel et al. (1993) mengintegrasikan AGNPS dengan GIS berdasar raster untuk
simulasi limpasan permukaan, erosi, sedimentasi, dan gerakan nutrien dalam DAS pertanian.
Berdasarkan studi literatur, Saghafian (1996) merangkum bahwa tersedia beberapa strategi
konjungsi penggunaan model-model hidrologi dan SIG. Alternatif konjungsi itu dapat
dikategorikan sebagai berikut :
1. Pengembangan struktur data keruangan terpisah untuk digunakan oleh model hidrologi sebar.
2. Pemrosesan input/output model dengan menggunakan SIG.
3. Link model dan SIG melalui interface.
4. Integrasi model secara penuh dengan SIG.
6. METODE PENELITIAN
Identifikasi Masalah
Pengujian Model
Koreksi, Kalibrasi dan Verifikasi
Aplikasi Model
Simulasi perubahan DAS – Hidrograf Banjir
Hasil
Model, Monograf
Arah aliran merupakan propertas hidrologi yang digunakan sebagai acuan kemana air akan
mengalir dari satu sel ke sel tetangganya yang berdekatan. Apabila arah aliran ini digunakan
sebagai pedoman untuk menghubungkan sel yang satu dengan yang lainnya, maka akan
didapatkan jaringan sungai sintetik di seluruh DAS yang diperhatikan.
Statik Semi Dinamik Dinamik
Pengolahan
Penggunaan Lahan Analisis Spasial Analisis Sebaran HujanPengolahan Data
DEM Data Hujan
Kedalaman Top SoilTekstur TanahPenggunaan Lahan
Bero/rumput/semak
Pemukiman/Bangunan
Hutan/Pertanian/Perkebunan
Kemiringan dan Arah Aliran Koef. Abstraksi, dan Grid Parameter Hidrologi Keruangan
n (Koef. Manning) Curah hujan Interpolasi
Klasifikasi Klasifikasi Klasifikasi Reklasifikasi Reklasifikasi
Nilai n keseluruhan
Gambar 6.2. Hubungan model dan peubah hidrologi, dan aliran data sampai penyajian
informasi atau hasil Abstraksi
Hujan Efektif
Kemiringan Tanah
Limpasan Langsung
Peta Topografi DEM
Arah Aliran
Dengan adanya data grid CN, maka dapat diketahui besarnya hujan limpas (excess rainfall),
apabila pada masing-masing sel mengalami hujan dengan curah dan intensitas tertentu. Berapa
besarnya dan intensitas hujan harus diberikan pada masing-masing sel, pada waktu tertentu
sesuai dengan besar dan intensitas hujan pada stasiun terdekat. Oleh karena itu sebelum
membaca data masukan hujan, terlebih dahulu diidentifikasi sel tertentu akan mengacu pada titik
stasiun hujan mana. Caranya dengan interpolasi seluruh titik stasiun yang digunakan baik di
dalam atau di luar DAS sehingga seluruh sel dalam DAS akan terisi nama stasiun terdekat.
Interpolasi seperti ini sesuai dengan penentuan penyebaran hujan Metode Poligon Thiessen.
Oleh karena itu apabila data grid stasiun hujan ini dikonversi ke format data vektor maka akan
didapatkan beberapa bentuk poligon sesuai dengan Poligon Thiessen. Penjelasan lebih lanjut
tentang interpolasi ini akan dibahas dalam Bab Pengembangan Model dan Bab Penyiapan Data
Model.
Hujan limpas adalah kejadian melimpasnya air hujan di atas permukaan tanah karena tanaman
dan tanah sudah tidak mampu menampungnya lagi melalui kemampuan intersepsi dan infiltrasi.
Nilai koefisien kekasaran Manning dan kemiringan mulai berperan pada pergerakan limpasan
ini. Sedangkan kemana arah pergerakan air limpasan ini ditentukan dengan nilai arah aliran yang
telah didefinisikan sebelumnya. Apabila keseluruhan perjalanan limpasan air pada semua sel
ditayangkan bersama , maka akan terlihat gerakan dan akumulasi air di dalam DAS dan akhirnya
keluar pada satu titik outlet. Kalau pengamatan besarnya aliran terfokus pada titik outlet dalam
serial waktu maka akan didapat “hidrograf aliran”.
Kebanyakan atribut topografi dihitung dari turunan arah dari permukaan topografik. Turunan-
turunan ini dihitung menggunakan pola beda hingga orde kedua dari sel-grid elevasi. Penyajian
sel-grid permukaan topografik dengan pola penomorannya ditunjukkan dalam Gambar 6.4.
1
2
8
7 3
9
6
4
5
Gambar 6.4. Penyajian DEM dan konvensi penomoran grid
Dalam term yang spesifik, penurunan dapat dinyatakan sebagai (Moore, et. al., 1993) :
∂z ∂z
f x= dan f y=
∂x ∂y (6.1)
2 2
p=f x +f y dan q= p−1 (6.2)
Gradien kemiringan () dapat dihitung sebagai :
1
2
β= p (6.3)
atau menggunakan data elevasi, kemiringan itu dapat dihitung sebagai :
{
β=arctan ¿ i=1,8 max Q(i)|
z 9 −zi
λ }
|
(6.4)
dimana :
z = elevasi
i = penomoran grid
Q(i) = 1 untuk arah USTB (Utara, Selatan, Timur dan Barat), dan ½ untuk arah TL,
TG, BD dan BL (Timur Laut, Tenggara, Barat Daya dan Barat Laut)
= ukuran sel-grid.
Aspek dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut :
ψ=180−arctan
[ ][ ]
fy
fx
+
fx
|f x|
(6.5)
Berdasarkan kemiringan dan aspek, arah aliran (AALIR) dapat ditentukan dengan menggunakan
formula sebagai berikut :
AALIR=2 j−1 {
dimana : j=1 untuk ¿ i=1,8 max Q(i)|
z 9−z i
λ }
|
(6.6)
dimana j adalah delapan arah utama seperti ditunjukkan dalam matrik berikut
[ ]
64 128 1
32 x 2
16 8 4
Parameter berikutnya yang penting diturunkan untuk pemodelan hidrologi/aliran adalah
akumulasi aliran dimana besarnya akumulasi aliran sama dengan penjumlahan besarnya aliran
sel-sel disekitarnya menuju padanya. Secara skematik, proses-proses perhitungan parameter
topografik ditunjukkan dalam Gambar 6.5.
Slope
Aspek
Arah Aliran
Kumulatif Aliran
Gambar 6.5. Penurunan kemiringan, aspek, arah aliran dan akumulasi aliran
Inflow Outflow
Inflow
Inflow
Infiltrasi
( )
3/5
nP 2/3
A= Q3 /5
√ S0 (6.11)
0. 6
α = [ nP / √ S0 ]
2/3
sehingga
dan β = 0 .6
Persamaan (6.7) memuat dua peubah tergantung A dan Q, tetapi A dapat disirnakan dengan
menurunkan Persamaan (6.9)
∂A
∂x
=α β Q β−1
∂Q
∂t ( ) (6.12)
∂A
dan dengan mensubstitusikan ∂t dalam persamaan (7), maka didapat :
∂Q
∂x
+α β Qβ−1
∂Q
∂t
=q ( ) (6.13)
6.5 Penyelesaian Numerik
Tujuan penyelesaian numerik adalah memecahkan Persamaan (6.13) untuk Q(x,t) pada tiap-tiap
titik pada Grid x-t, dengan parameter saluran dan, aliran lateral q(t), serta syarat awal dan
syarat batas. Untuk memecahkan persamaan ini secara numerik, turunan waktu dan ruang dari Q
didekati dengan grid x-t yang ditunjukkan dalam Gambar 6.7.
(j+1)t
Waktu t
t
jt
x
Nilai Q yang diketahui
Nilai Q yang tak diketahui
ix (i + 1) x
Jarak x
Gambar 6.7. Grid x-t penyelesaian persamaan beda hingga kinematik linear
j+1
Nilai anu adalah Qi+1 . Nilai Q pada garis waktu ke-j telah ditentukan sebelumnya, demikian
j+1
juga Qi . Ada dua scheme yang dapat diterapkan untuk persamaan beda hingga, yang
dijelaskan sebagai berikut :
j+1
1. scheme linier yang mana Qi+1 dihitung sebagai fungsi linier dari nilai Q yang diketahui dan
2. scheme nonlinier yang mana bentuk beda hingga adalah persamaan nonlinier.
Sesuai dengan Gambar 6.7 bentuk beda hingga dari Q dan turunan ruang dan waktu dari Q
adalah :
j+1 j+1
∂Q Q i+1 −Q i
=
∂x Δx (6.14)
j+1 j
∂Q Q i+1 −Q i+1
= (6.15)
∂t Δt
j
Qi+1 −Qij
Q=
2 (6.16)
Aliran lateral q merupakan air hujan yang tak terinfiltrasi dan terabstraksi selama selang waktu
t sepanjang x :
Δx j+1
q= ( i−f )i+1
Δt (6.17)
Bila Persamaan (6.14), (6.15), (6.16) dan (6.17) disubstitusikan ke dalam Persamaan (6.13) dan
dirubah-susun maka diperoleh :
[ ( ) ]
j β −1
Δt j+1 j
Qi+1 +Qij+1 j+1
Q +αβ Qi+1 + Δx ( i−f )i+1
j+1
Δx i 2
Qi+1 =
[ ( ) ]
j β−1
Δt Qi+1 +Q ij+1
+αβ
Δx 2
(6.18)
dimana :
[ ]
0 .6
nP 2 /3
α= dan β =0 . 6
√ S0
n = koefisien kekasaran Manning
So = kemiringan permukaan tanah.
Bila persamaan tersebut diterapkan untuk limpasan permukaan maka dapat dianggap besarnya P
= x.
6.6 Abstraksi
Abstraksi meliputi intersepsi curah hujan pada tanaman atau bangunan di atas tanah,
penyimpanan depresi (depression storage) sebagai akumulasi air pada cekungan tanah lembah di
atas permukaan, dan infiltrasi air dalam tanah. Abstraksi penyimpanan intersepsi dan depresi
diestimasi berdasarkan kondisi penutupan lahan dan permukaan tanah atau diasumsikan
diabaikan dalam badai besar.
Salah satu penghitungan abtraksi adalah metode SCS (Soil Conservation Service). Untuk
keseluruhan hujan, besarnya limpasan langsung atau hujan limpas Pe selalu lebih kecil atau sama
dengan besarnya hujan P; perbandingan serupa, setelah limpasan mulai, besarnya air yang
tertinggal dalam watershed, Fa, lebih kecil atau sama dengan retensi maksimal potensial S (Lihat
Gambar 6.8). Ada sejumlah hujan Ia (abstraksi awal sebelum ponding) sebelum ada limpasan,
sehingga limpasan potensial adalah P – Ia. Hipotesis metode SCS adalah bahwa perbandingan
dua besaran aktual terhadap dua besaran potensial adalah sama, yaitu :
Fa Pe
=
S P−I a (6.19)
Pe
Hujan
Ia Fa
Waktu
Gambar 6.8. Peubah dalam metode abstraksi hujan SCS Ia = abstraksi awal, Pe = hujan limpas,
Fa = abstraksi kontinu, P = hujan total.
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu nilai Ia yang tergantung dari nilai CN-nya, yaitu
Ia = 0.2 S (6.20)
dimana S (dalam inches) ditentukan berdasarkan CN (Curve Number),
1000
S= CN
−10 (6.21)
dimana CN merupakan bilangan kurva tak berdimensi yang bernilai antara 0 dan 100. Untuk
permukaan kedap (imperviours) CN = 100, untuk permukaan alam CN < 100.
Besarnya hujan dijumlahkan sampai tercapai waktu genang (ponding time) Ia. Setelah melebihi
waktu genang Ia maka mulai terjadi hujan limpas, dimana besarnya hujan limpas ditentukan
dengan
Pe = P – Ia – Fa (6.22)
Dimana :
Pe = hujan limpas kumulatif
P = hujan kumulatif
Fa = air hujan terabstraksi setelah waktu ponding.
Nilai abstraksi dan hujan limpas dihitung tiap sel. Dimana besarnya pada masing-masing sel
dipengaruhi oleh karakteristik sel (geomorfologi dan permukaan tanah) dan data hujan masing-
masing sel. Abstraksi pada suatu sel tidak terpengaruh dengan nilai abstraksi sel yang lain yang
berada disekitarnya, tetapi terpengaruh nilai abstraksi sebelumnya pada sel yang sama.
Apabila besaran-besaran tersebut (hujan, hujan limpas dan abstraksi) dihitung dalam selang
waktu T, maka besarnya hujan limpas pada waktu t
Erain(t) =(Pett-1 – Pet)/T (6.23)
Karena perhitungan dalam metode SCS menggunakan satuan inches, maka harus dikonversi
dalam satuan internasional (meter) terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai aliran lateral (q)
dalam Persamaan 6.17 dan 6.18.
Ketersediaan SIG
Gambar 6.9. Konsep integrasi model hidrologi dan SIG yang dikembangkan
Dalam uji limpasan ini juga akan dilakukan uji perjalanan variasi aliran, uji waktu tempuh
(travel time) dan uji rasional. Uji perjalanan variasi aliran merupakan uji analitik dari
pemecahan numerik persamaan gelombang kinematik (kinematic wave). Seberapa perubahan
gelombang aliran setelah menempuh jarak tertentu seharusnya tidak melebihi suatu nilai tertentu.
Perjalanan dan perubahan karakteristik gelombang aliran ini dinyatakan dengan “celeritas
gelombang” (wave celerity). Jadi dapat didefinisikan bahwa celeritas gelombang adalah
kecepatan perjalanan variasi aliran sepanjang saluran. Untuk gelombang kinematik dinyatakan
dengan
dQ dx
ck = =
dA dt (6.24)
Waktu tempuh aliran dari satu titik ke titik yang lain dapat ditentukan dari jarak dan kecepatan
aliran. Jika dua titik pada lintas aliran berjarak L dan kecepatan sepanjang lintasan yang
menghubungkannya v(l), dimana l adalah jarak lintasan, maka waktu tempuh t adalah
t L L
dL dl
∫ dt=∫ v(l ) , sehingga
t=∫
dl=v (l)dt , atau 0 0 0 v(l)
Jika kecepatan dianggap konstan pada vi dalam suatu penggal panjang li, i = 1,2,...,I; maka
I
Δli
t=∑
i=1 v i . Kalau titik-titik atau sel-sel yang mempunyai waktu tempuh sama dihubungkan
maka akan terbentuk garis yang disebut isokron (isochron). Waktu terlama yang harus ditempuh
untuk mencapai outlet atau sel paling hilir biasa disebut sebagai waktu konsentrasi (Tc).
Maksud dari uji rasional ini adalah membandingkan total limpasan langsung di lahan seluruh
daerah tangkapan air dengan total air yang mengalir di outlet. Apabila diumpamakan daerah
tangkapan air adalah suatu sistem tampungan air, maka air yang masuk ke dalam tampungan
seharusnya sama dengan air yang keluar dari tampungan tersebut. Kalau semua hujan menjadi
limpasan (CN = 100) atau tanpa abstraksi, hujan homogen dan tidak ada aliran dasar untuk
seluruh daerah tangkapan, maka
∞ p n m
∑ Qt =A . ∑ ∑ ∑ hijt
t=0 t=0 i=1 j=1 (6.25)
dimana :
Qt = aliran air pada salah satu sel tertentu
A = luas daerah hulu dari sel yang akan diketahui alirannya
hijt = besarnya hujan pada baris ke i dan lajur ke j pada periode waktu t
p = panjang periode hujan
6.10.3 Kalibrasi
Tujuan dari kalibrasi adalah penetapan nilai parameter hidrologi yang digunakan dalam model,
sehingga hasil keluaran model mendekati data hasil pengukuran atau observasi. Paramater
utama yang akan dikalibrasi adalah parameter yang berhubungan dengan penentuan besarnya
limpasan langsung, yaitu CN dan parameter yang berhubungan dengan aliran air permukaan,
yaitu koefisien kekasaran manning, yaitu n. Dua parameter ini memberi kontribusi yang berbeda
dalam karakteristik banjir. Nilai Parameter CN sangat berkaitan dengan besarnya persen volume
air limpasan terhadap volume air hujan yang jatuh di permukaan lahan. Sedangkan nilai
pameter n sangat berkaitan dengan besarnya puncak banjir dan lama perjalanan puncak banjir
(lag time).
Besarnya parameter CN dipengaruhi oleh jenis vegetasi penutup lahan, jenis tanah dan
pengelolaan lahan pertanian. Sedangkan n dipengaruhi oleh jenis tanah, vegetasi penutup lahan
dan orde saluran.
Pada tahap ini, dibutuhkan pasangan data curah hujan dan data debit observasi dari periode
waktu kejadian yang sama. Dengan memasukkan data curah hujan sebagai masukan model, dan
dengan merubah-ubah parameter model, maka akan didapatkan keluaran model dalam nilai debit
aliran. Nilai parameter yang menghasilkan keluaran debit model paling mendekati debit
observasi atau pengukuran yang akan digunakan sebagai nilai pamater untuk daerah studi.
Untuk membandingkan seberapa kedekatan atau kemiripan antara hidrograf keluaran model dan
hidrograf observasi dilakukan “uji koefisien determinasi”.
Data Debit yang akan digunakan adalah data dari Pos Duga Air Katulampa dan data curah hujan
yang akan digunakan adalah data Stasiun Hujan Ciesek, Ciawi dan dan Gunung Mas.
6.11 Simulasi
Setelah melewati serangkaian uji model, kemudian model digunakan untuk mensimulasikan
berbagai perubahan hidrograf banjir karena adanya perubahan hujan dan penutupan lahan serta
pengaruhnya apabila diberi tampungan detensi pada lahan di Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Hulu.
6.12 Penyusunan Monograf
Bedasarkan simulasi-simulasi yang dilakukan kemudian disusun monograf hubungan antara
tingkat kualitas`DAS, Indeks Banjir dan Koefisien Tampungan untuk berbagai Alih Fungsi
Lahan. Sehingga dengan Monograf ini pengambilan dapat dengan mudah dapat menentukan
Volume Tampungan Detensi sebagai kompensasi Alih Fungsi Lahan tertentu.
7. JADUAL PENELITIAN
7.1 Tahun I
No Kegiatan Bulan Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Persiapan
2 Pengembangan dan
pengkodean Model
Hujan-Limpasan
3 Pengembangan dan
pengkodean Model
Routing Banjir
4 Pengumpulan Data
Hidrologi
5 Pengumpulan Data Peta
dan
6 Edit Peta dan Digitasi
7 Pengolahan dan
Analisis data Hidrologi
8 Pengolahan dan
Analisis data Peta
9 Uji Model Analisis dan
Uji Rasional
10 Pelaporan
7.2 Tahun 2
No Kegiatan Bulan Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Persiapan
2 Kalibrasi atau Uji
Parameter Hidrologi
3 Simulasi Limpasan dan
Hidrograf Banjir
dengan berbagai Hujan
4 Simulasi Limpasan dan
Hidrograf Banjir
dengan berbagai
Penutupan Lahan
5 Simulasi Limpasan dan
Hidrograf Banjir
dengan Berbagai
pemberian Volume
Tampungan Detensi
6 Penyusunan Monograf
Hubungan Kualitas
DAS, Indeks Banjir dan
Koefisien Tampungan
7 Pelaporan
8. ANGGARAN PENELITIAN
NO. JENIS PENGELUARAN ANGGARAN YANG DIUSULKAN
TAHUN I TAHUN II
1. Pelaksanaan (Gaji dan Upah) Rp 22.000.000,- Rp 22.000.000,-
2. Peralatan Rp 4.000.000,- Rp 4.000.000,-
3. Bahan Habis Pakai Rp 4.250.000,- Rp 4.250.000,-
(Material penelitian)
4. Perjalanan Rp 4.900.000.- Rp 4.900.000,-
5. Seminar dan Diskusi Rp 3.750.000,- Rp 3.750.000,-
6. Laporan/Publikasi Rp 7.500.000,- Rp 7.500.000,-
7. Lain-lain Rp 3.750.000,- Rp 3.750.000,-
8. Total Anggaran Rp 49.850.000,- Rp 49.850.000,-
9. Total Keseluruhan Anggaran Rp 99.700.000,-
9. PUSTAKA ACUAN
Amhar, F. 1999. Kualitas Geometri DEM dari Radar Interferometri. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan ke 8 MAPIN : T1-T11, MAPIN, Jakarta.
Arnold, J.G., B.A. Engel, dan R. Srinivasan. 1993. Continuous time grid cell watershed model.
Application of Advanced Information Technologies: Effective Management of Natural
Resources. ASAE Publication 04-93, 267-78.
Arnold, J.G., J.R. Williams, A.D. Nicks, dan N.B. Sammons. 1990. SWRRB: A Basin Scale
Simulation Model for Soil and Water Resources Management. College Station: Texas
A&M University Press.
Beasley,D.B., L.F. Huggins, dan E.J. Monke. 1982. ANSWERS: A model for watershed
planning. Transactions of ASAE 23:938-44.
Beven, K.J. 1986. Hillslope runoff processes and flodd-frequency characteristics. Dalam
Hillslope Processes, edited by A.D. Abrahams, 187-202.
Chen, Z., D.E. Storm, M.D. Smolen, C.T. Haan, M.S. Gregory, dan G.J. Sabbaugh. 1993.
Prioritizing nonpoint source loads for phosphorus with a GRASS modeling system.
Proceedings of the Symposium on Geographic Information Systems and Water Resources,
71-78, AWRA.
Chow,V.T., D.R. Maidment dan L.W. Mays. 1988. Applied Hydrology, Mc Graw-Hill,Inc., New
York.
Demers, M.N. 1977. Fundamentals of Geographic Information Systems. John Wiley & Sons,
Inc., New York.
Dimitriou, E.. 2003. Comparisons of local Infiltration-exeess, Overland flow and associated
erosion behaviour with river behaviour at the catchment scale. Journalof Spatial
Hydrology, Vol.3, No.1: 1-18.
Drab, A. 2003. Concepts for Flood Risk Analysis Methodology, Projects Report of the Czech
Republic No. 103/02/D100, p.567-574.
Engel,B.A., R. Srinivasan, dan C. Rewerts. 1993. A spatial decision support system for modeling
and managing agricultural nonpoint source pollution. Dalam Environmental Modeling
with GIS, edited by M.F. Goodchild, 231-237. New York: Oxford University Press.
Engel, B.A. 1996. Methodologies for Development of Hydrologic Response Units Based on
Terrain, Land Cover, and Soils Data. Dalam GIS and Environmetal Modeling: Progress
and Research Issues, diedit oleh Goodchild, M.F., L.T. Steyaert, B.O. Parks, C. Johnston,
D. Maidment, M. Crane, dan S. Glendinning, 123-128. Edwards Brothers, Inc., USA.
ESRI. 1996. Building Applications, MapObjects (GIS and Mapping Components), ESRI Inc.
USA.
ESRI. 1996. Programmer’s Reference, MapObjects (GIS and Mapping Components), ESRI Inc.
USA.
ESRI. 1996. Using ArcView GIS, ArcView GIS (The Geographic Information System for
Everyone), ESRI Inc. USA
Evans B.M., S.A. Sheeder, dan D.W. Lehning. A Spatial Technique for Estimating Steambank
Erosion Based on Watershed Characteristics. Journal of Spatial Hydrology Vol.3, No.1 :
1 – 13.
Fedra, K. 1996. Distributed Models and Embedded GIS : Integration Strategies and Case
Studies. Dalam GIS and Environmetal Modeling: Progress and Research Issues, diedit
oleh Goodchild, M.F., L.T. Steyaert, B.O. Parks, C. Johnston, D. Maidment, M. Crane,
dan S. Glendinning, 413-417. Edwards Brothers, Inc., USA.
Hasanudin, A.. 2004. Pengaruh Tata Guna Lahan dan Kondisi Permukaan Tanah terhadap
Aliran Permukaan Menggunakan Model Parameter Terdistribusi. Disertasi Program
Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan Bandung.
Hession, W.C.,V.O. Shanholtz, S. Mostahimi, dan T.A. Dillaha. 1987. Extensive Evaluation of
the Finite Element Storm Hydrograph Model. ASAE Paper No. 87-2570.
Hodge, W., M. Larson, dan W. Goran. 1988. Linking the ARMSED watershed process model
with the GRASS geographic information system. Proceeding of the Modeling
Agricultural, Forest, and Rangeland Hydrology Conference, 501-10.
Kimaro, T,, Y. Tachikawa dan K. Takara. 2003. Hydrological Effects of Landuse Change in the
Yasu River Basin. Annual of Disas Prev. Res. Kyoto Univ. No. 46B :
Kosasih S.E., A. Suroto dan Retno M.. 1993. Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pertanian Lahan
Kering di DAS Ciliwung, Kabupaten Bogor. Pros. No. 10. Pen. Tanah. : 269-286.
Loebis, J., Alvadison dan I. Nataprawira. Penelitian Hidrologi Urban dan Pemetaan Daerah
Banjir Jakarta dan Sekitarnya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, DPU.
Maidment, D.R. 2002. ArcHydro: GIS for Water Resources. New York: ESRI.
Meijerink, A.M., H.A. de Brouwer, C.M. Mannaerts dan C. Valenzuela. 1994. Introduction to
The Use of Geographic Information Systems for Practical Hydro logy, International
Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC), The Netherlands.
Moore, I.D., A.K. Turner, J.P. Wilson, S.K. Jenson, dan L.E. Band. 1993. GIS and land surface-
subsurface process modeling. Dalam Environmental Modeling with GIS, diedit oleh M.F.
Goodchild, 196-230. New York: Oxford University Press.
Olivera F., dan R. Raina. Development of Large Scale Gridded River Networks from Vector
Stream Data. Journal of the American Water Resources Association, October, 2003 :
1235-1248.
Plessis, LA. dan MF. Viljoen. 1999. Determining the benefits of flood mitigation measures in
the lower Orange River: A GIS application. ISSN 0378-4738 – Water SA Vol. 25 No. 2 :
205-213.
Rewerts, C., dan B.A. Engel. 1991. ANSWERS on GRASS: Integrating a Watershed Simulation
with a GIS. ASAE Paper No. 91-2621.
Ross, B., D.N. Contractor, dan V.O. Shanholtz. 1979. A finite element model of overland and
channel flow for assessing the hydrologic impact of land-use change. Journal of
Hydrology 41:1-30.
Schultz G.A.. 1997. Use of Remote Sensing Data a GIS Environment for Water Resources
Management (Proceedings of RabatSymposium S3, April 1997). IHAS Publ. No. 242 :
3-15.
Schumann, A.H. dan G. Joachim. 1997. Hydrological Design of Flood Reservoirs by Utilization
of GIS and Remote Sensing. Proceeding of Rabat Symposium S3. IAHS Publ. No. 242:
173-180.
Singh, P.V. 1989. Hydrology System, Watershed Modelling Vol.II. Prentice Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey.
Srinivasan, R. 1992. “Spasial Decision Support System for Assessing Agricultural Nonpoint
Source Pollution Using GIS.” Ph.D. diss., Purdue University, West Layayette, Indiana.
Sukatja, C.B. dan Danang S. 2004. Memanfaatkan Program ILWIS 3.12 untuk Menayangkan
Foto Udara Secara Stereo pada Layar Komputer dan Aplikasinya dalam Usaha
Pengelolaan Sumber Daya Air. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXI HATHI :
1-12. HATHI, Denpasar, Bali.
Sutanhaji, T. dan B. Sulistyo. 1999. Definisi Numerik Jaringan Drainase Daerah Pengaliran
Sungai dari Model Ketinggian Dijital untuk Model Hidrologi. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Tahunan ke 8 MAPIN : T1-T11, MAPIN, Jakarta.
Sutanhaji, T. dan A. Bagiawan. 2001. Operator Morpho-Hidrologi pada Model Ketinggian Dijital
untuk Pengelolaan dan Perencanaan Daerah Pengaliran Sungai. Prosiding Kongres VII
dan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XVIII HATHI, Vol. 2 : 156-181. HATHI, Malang.
Sutanhaji, T. dan S. Legowo. 2001. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografi (SIG) untuk Model
Hidrologi Sebar Keruangan. Prosiding Kongres VII dan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT)
XVIII HATHI, Vol. 2 : 156-181. HATHI, Malang.
Sutanhaji, T., Hang Tuah, I.K. Hadihardaja dan S. Legowo. 2004. Integrasi Model Hidrologi
dan Sistem Informasi Geografi untuk Manajemen Sumber Daya Air pada Daerah Aliran
Sungai (Strategi dan Penerapan). Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXI
HATHI : 291-303. HATHI, Denpasar, Bali.
Sutanhaji, T., I.K. Hadihardaya, dan Y. Suryadi. 2004. Prediksi Genangan Banjir dengan
menggunakan Model Ketinggian dan Peta Dijital dengan Studi Kasus di Sungai
Ciliwung. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) XXI HATHI : 331-343. HATHI,
Denpasar, Bali.
Sutanhaji, T. 2005. Integrasi Model Hidrologi Sebar Keruangan dan Sistem Informasi Geografi
untuk Prognosa Banjir Daerah Aliran Sungai. Desertasi Doktor, Institut Teknologi
Bandung. Jl. Ganesha No. 10 Bandung.
Wilson, M.D., dan P.M. Atkinson. 2002. Prediction Uncertainly in Elevation and Its Effect on
Flood Inundation Modelling.
Wolfe, M.L., dan C. Neale. 1988. Input Data Development for a distributed parameter hydrologic
model (FESHM). Proceeding of the Modeling Agricultural, Forest, and Rangland
Hydrology Conference, 462-69.
Wood, E.F., M. Sivapalan, K.J. Beven, dan L. Band. 1988. Effects of spatial variability and scale
with implications to hydrologic modeling. Journal of Hydrology 102:29-47.
Yang, X. dan B. Rystedt. 2002. Predicting Flood Inundation and Risk Using GIS and
Hydrodynamic Model: A Case Study at Eskilstuna, Sweden. Indian Cartographer
MFDM-04: 183-191.
Yoon, J., G. Padmanabhan, dan L.H. Woodbury. 1993. Linking agricultural nonpoint pollution
model (AGNPS) to a geographic information system (GIS). Proccedings of the
Symposium on Geographic Information Systems and Water Resources, 79-87. AWRA.
LAMPIRAN 1. JUSTIFIKASI ANGGARAN
1. Gaji/Upah
2. Peralatan
6. Laporan/Publikasi
7. Lain-Lain
Keterangan Jumlah
Analisis Fisik Tanah Rp 1.000.000,-
Analsis Data Hidrologi Rp 1.500.000,-
Foto copy pustaka Rp 750.000,-
Pembelian/Foto copy data sekunder Rp 1.500.000,-
Sub Total Rp 3.750.000,-
LAMPIRAN 2. DUKUNGAN PADA PELAKSANAAN PENELITIAN
2. Peralatan Laboratorium
Set GPS
Set Theodolit
Set Current Meter
Set Pengambilan Contoh Tanah
Set Analisis Fisik Tanah
Set Meja Gambar dan Digitazer
4. Perangkat Lunak
Arc View 3.3
Auto Cad 2000
Visual Basic 6.0.
Map Object 2.1.
LAMPIRAN 4a. BIOGRAFI/DAFTAR RIWAYAT HIDUP KETUA PENELITI
Riwayat Pendidikan
Yang Bersangkutan,
10.1. Judul Disertasi : Application of Remote Sensing Data to Flood Control Simulation
10.3. Co Promotor :
1. Nama beserta gelar akademik : Prof. Satoru sugio
Bidang keahlian :
2. Nama beserta gelar akademik : Prof. Chikashi Deguchi
Bidang keahlian :
No. Judul Mata Kuliah/ Praktikum Tahun/ Semester Institusi (PS/ Fak/ PT)
1. Teknik Drainase Ganjil Pascasarjana Unibraw
2. Aplikasi GIS Genap Pascasarjana Unibraw
3. Prasarana Transportasi Genap Pascasarjana Unibraw
4. Rekayasa Jalan Raya Ganjil Pascasarjana Unibraw
5. Pemetaan Ganjil & Genap
6. Pengelolaan Citra Digital Genap
7. Aplikasi Penginderaan Jauh Ganjil
8. Struktur Data Spatial Ganjil
Skripsi – S1
Tesis – S2
B. Buku Illmiah
Penerbit/
No. Judul Tahun
Pemrakarsa/Sponsor
1. - - -