Anda di halaman 1dari 202

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321665071

The Adaptation of Indonesian Students Facing Culture Shock in Fukuoka


Japan: A Case Study of Indonesian Students in Kyushu University

Thesis · May 2017

CITATION READS

1 1,734

1 author:

Faradita Prayusti
London School of Public Relations Jakarta
1 PUBLICATION   1 CITATION   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Faradita Prayusti on 08 December 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ADAPTASI MAHASISWA INDONESIA DALAM MENGHADAPI
GEGAR BUDAYA DI FUKUOKA JEPANG: STUDI KASUS
MAHASISWA INDONESIA DI UNIVERSITAS KYUSHU

SKRIPSI

Diajukan oleh:

Nama : Faradita Prayusti


NIM : 2013.17.0695
Konsentrasi : International Relations

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Mencapai Gelar


Sarjana Ilmu Komunikasi

JAKARTA
2017
ABSTRAK

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI


THE LONDON SCHOOL OF PUBLIC RELATIONS – JAKARTA
PROGRAM SARJANA ILMU KOMUNIKASI

Nama : Faradita Prayusti


NIM : 2013.17.0695
Judul : Adaptasi Mahasiswa Indonesia dalam Menghadapi
Gegar Budaya di Fukuoka Jepang: Studi Kasus
Mahasiswa Indonesia di Universitas Kyushu
Jumlah Halaman : 100 Halaman, 18 Lampiran
Referensi : 23 buku, 17 jurnal, 34 situs

Jumlah pelajar Indonesia yang berada di Jepang setiap tahunnya


cenderung meningkat. Fukuoka merupakan salah satu daerah bagian selatan
Jepang juga menjadi pilihan para mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan
studi. Perbedaan yang ada di antara budaya Indonesia dan Jepang
mengharuskan para mahasiswa untuk beradaptasi. Adaptasi menjadi kunci
sukses bagi para mahasiswa untuk dapat tinggal dengan nyaman di
lingkungan yang baru. Dengan menggunakan metode konstruktivisme, hasil
penelitian menunjukan jika gegar budaya yang dialami oleh mereka dapat
diatasi melalui komunikasi dengan masyarakat Jepang dan sesama ekspatriat
Indonesia. Selain itu, persiapan dan faktor pribadi mahasiswa dan lingkungan
juga mempengaruhi proses adaptasi mereka. Implikasi dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi gambaran bagi pihak-pihak yang akan melanjutkan
studi atau instansi-instansi pendidikan yang menawarkan berbagai program
studi di Jepang.

Kata Kunci: Fukuoka, gegar budaya, adaptasi, komunikasi, persiapan


mahasiswa, pribadi mahasiswa, lingkungan

i
ABSTRACT

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI


THE LONDON SCHOOL OF PUBLIC RELATIONS – JAKARTA
BACHELOR DEGREE IN COMMUNICATION

Name : Faradita Prayusti


NIM : 2013.17.0695
Thesis Title : The Adaptation of Indonesian Students Facing
Culture Shock in Fukuoka Japan: A Case Study of
Indonesian Students in Kyushu University
Total Pages : 100 Pages, 18 Appendixes
References : 23 books, 17 journals, 34 websites

The number of Indonesian students in Japan is increasing every year.


Fukuoka in the southern part of Japan has become Indonesian students’
choice to continue their studies. The culture differences between Indonesia
and Japan requires students to adapt. Adaptation is key for Indonesian
students to be able to live comfortably in the new environment. By using
constructivism, the results showed that the culture shock faced could be
handled through communication with Japanese and Indonesian expatriates. In
addition, student’s preparation as well as personality and environment also
influence their adaptation process. The implication of this research is expected
to be an overview for those who intend to continue their studies and
educational institutions that offer various courses in Japan.

Keywords: Fukuoka, culture shock, adaptation, communication, student’s


preparation, student’s personality, environment

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat,
kekuataan dan kemudahan yang diberikan-Nya kepada penulis, sehigga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul Adaptasi Mahasiswa Indonesia Dalam
Menghadapi Gegar Budaya di Fukuoka Jepang: Studi Kasus Mahasiswa
Indonesia di Universitas Kyushu ini merupakan prasyarat guna meraih gelar
Sarjana Ilmu Komunikasi bidang International Relations pada Sekolah Tinggi
Ilmu Komunikasi, The London School of Public Relations, Jakarta.
Selama proses penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat banyak
bantuan, dukungan, bimbingan, doa, saran, petunjuk dan kekuataan baik
secara langsung atau tidak langsung dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Ibu Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APR (UK)., Ketua STIKOM The
London School of Public Relations Jakarta.
2. Ibu Dr. Janette M. Pinariya, MM., Dean Marketing Communication dan
Public Relations dan International Relations, STIKOM The London School
of Public Relations Jakarta.
3. Ms. Cendera Rizky Anugrah Bangun, M.Si., Dosen Pembimbing yang
bersedia meluangkan waktu dan kesabarannya untuk memberikan
bimbingan yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
4. Ms. Lamria Raya Fitriyani, M.Si., Thesis Counselor yang memberikan
bimbingan untuk penulisan sehingga penulis dapat menyusun skripsi
dengan baik.
5. Kedua Orang tua penulis, Ibu Sri Yustiati dan Bapak T.Supratmono, kakak
penulis yaitu Anissa Prayusti dan keluarga penulis yang selalu
mendoakan dan memberi dukungan.

iii
6. Rizki Fitria Darmayanti, Yuslita Syafia, Herpin Dwijayanti, Achmad
Rachmad Tullah dan Gde Pandhe Wisnu Suryantara yang telah
memberikan waktu luang untuk menjadi narasumber skripsi penulis.
7. Seluruh staf akademik STIKOM – LSPR
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu atas
segala dukungan dan bantuannya kepada penulis.
Akhir kata penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis mohon maaf dan pengertian sebesar-
besarnya apabila terdapat kekeliruan , kesalahan ataupun segala kekurangan
dalam penulisan skripsi ini, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan pihak-pihak lainnya.

Jakarta, 20 Juni 2017

Faradita Prayusti

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL Halaman

TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI

TANDA PENGESAHAN SKRIPSI

ABSTRAK …………………………………………………………………….........i

ABSTRACT…………………………………………………………………….......ii

KATA PENGANTAR………………………………………………………….......iii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………......v

DAFTAR TABEL....….....................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR.........................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………….....xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 9

1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 9

1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 10

1.4.1. Manfaat Akademis........................................................................ 10

1.4.2. Manfaat Praktis ............................................................................ 10

1.5. Sistematika Penulisan ............................................................. ….10

v
BAB II KERANGKA TEORETIS

2.1. Penelitian Sebelumnya ................................................................ 12

2.2. Teori Utama .................................................................................. 16

2.2.1. Gegar Budaya .............................................................................. 16

2.2.2. Integrative Communication Theory.............................................. 19

2.2.2.1. Komunikasi Intrapersonal

(Host Communication Competence) ........................................... 21

2.2.2.2. Komunikasi Sosial (Komunikasi Interpersonal) ........................... 23

2.2.2.3. Lingkungan ................................................................................... 25

2.2.2.4. Adaptive Predisposition ............................................................... 27

2.2.2.5. Hasil Adaptasi (Adaptation Outcome) ......................................... 29

2.3. Teori Pendukung .......................................................................... 30

2.3.1. Komunikasi Antarbudaya ............................................................. 30

2.3.2. Dimensi Budaya Hofstede ........................................................... 32

2.4. Kerangka Teori ............................................................................. 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian ........................................................................ 38

3.2. Narasumber.................................................................................. 39

3.3. Fokus Penelitian ........................................................................... 40

3.4. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 44

3.4.1 Sumber Primer ............................................................................. 44

3.4.2 Sumber Sekunder ........................................................................ 44

3.5. Teknik Analisis Data..................................................................... 45


vi
3.6. Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan ......................................... 46

3.7. Lokasi Penelitian .......................................................................... 47

3.8. Keterbatasan Penelitian ............................................................... 49

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ............................................. 50

4.1.1. Fukuoka ........................................................................................ 50

4.1.2. Universitas Kyushu ...................................................................... 57

4.2. Hasil Analisis Penelitian ............................................................... 61

4.2.1 Tahap Euforia ............................................................................... 61

4.2.2. Komunikasi Intrapersonal

(Host Communication Competence) ........................................... 63

4.2.3. Komunikasi Sosial (Komunikasi Interpersonal) ........................... 69

4.2.4. Lingkungan ................................................................................... 73

4.2.5. Adaptive Predisposition ............................................................... 80

4.2.6. Hasil Adaptasi dan Kesehatan Psikologis ................................... 82

4.3. Pembahasan ................................................................................ 85

4.3.1 Tahap Euforia ............................................................................... 85

4.3.2. Komunikasi Intrapersonal

(Host Communication Competence) ........................................... 86

4.3.3. Komunikasi Sosial (Komunikasi Interpersonal) ........................... 90

4.3.4. Lingkungan ................................................................................... 92

4.3.5. Adaptive Predisposition ............................................................... 94

4.3.6. Hasil Adaptasi dan Kesehatan Psikologis ................................... 97


vii
BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan ....................................................................................... 98

5.2.1. Saran Akademis ………….…………………………………………99

5.2.2. Saran Praktis .............................................................................. 100

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….101

viii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan

Penelitian Sekarang ..................................................................... 12

Tabel 2 Fokus Penelitian ........................................................................... 40

Tabel 3 Tahapan Penelitian ...................................................................... 48

Tabel 4 Jumlah Warga Negara Asing di Fukuoka .................................... 50

Tabel 5 Database on Urban Greenery...................................................... 54

ix
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Statistik Pengeluaran Kumulatif per Siswa.................................... 1

Gambar 2 Statistik Jumlah Pelajar Internasional........................................... .3

Gambar 3 Global Flow of Tertiary-Level Students ....................................... ..4

Gambar 4 Histogram Jumlah Mahasiswa Indonesia di Jepang ................... ..4

Gambar 5 Country Comparison .................................................................... ..6

Gambar 6 Integrative Communication Theory ............................................ ..20

Gambar 7 Kerangka Teori ........................................................................... ..37

Gambar 8 Letak Geografis Fukuoka ........................................................... ..51

Gambar 9 Statistik Konferensi Internasional .............................................. ..53

Gambar 10 Consumer price index regional difference

in major cities 2015 ...................................................................... 54

Gambar 11 Community Attitude Survey on Municipal Government ............ ..55

Gambar 12 Logo Universitas Kyushu ........................................................... ..57

Gambar 13 Garis Besar Sejarah Universitas Kyushu .................................. ..57

Gambar 14 Akomodasi Universitas Kyushu ................................................. ..59

Gambar 15 Statistik Mahasiswa Asing Universitas Kyushu ......................... ..60

Gambar 16 Jumlah Mahasiswa Asing Regional

Asia di Universitas Kyushu ........................................................ ..60

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Transkrip Wawancara

Lampiran 2 Screenshot Bukti Wawancara

Lampiran 3 Screenshot Bukti Email PPI Fukuoka

Lampiran 4 Surat Keterangan Wawancara

Lampiran 5 Surat Pernyataan Penelitian

Lampiran 6 Riwayat Hidup

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang memiliki reputasi

baik di bidang pendidikan. Pada tahun 2013, Jepang ditetapkan sebagai

negara dengan sistem edukasi terbaik di dunia, mengalahkan Finlandia yang

sebelumnya menempati posisi puncak selama setengah dekade terakhir

(peace2, 2013). Kualitas pendidikan yang baik serta biaya kuliah yang relatif

lebih rendah dibandingkan dengan Amerika dan Finlandia, menyebabkan

Jepang menjadi salah satu destinasi favorit bagi para pelajar asing untuk

melanjutkan studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Gambar 1. Statistik Pengeluaran Kumulatif per Siswa, dari OECD, 2014,


p.209

Gambar 1. Statistik Pengeluaran Kumulatif per Siswa, dari OECD, 2014,


p.209

1
2

Kedatangan para pelajar asing sangat didukung oleh pemerintah

Jepang. Semenjak masa pemerintahan Yasuhiro Nakasone di tahun 1983,

Jepang menggunakan kampanye “Plan to Accept 100,000 International

Students” untuk menarik minat pelajar asing agar datang belajar di Jepang,

kampanye ini berhasil mencapai target pada tahun 2003 dengan jumlah

pelajar asing melampaui 100.000 orang (Hennigs & Mintz, 2015). Lima tahun

setelahnya yaitu di tahun 2008, Perdana Menteri Yasuo Fukuda mencetuskan

“300,000 Foreign Student Plan” yang ditargetkan dapat terwujud pada tahun

2020 (MEXT, 2008).

Untuk mencapai target tersebut, Jepang melakukan kerjasama dengan

pemerintah negara lain di bidang pendidikan serta dengan berbagai

universitas di seluruh dunia. Setiap tahunnya, pemerintah Jepang juga

memberikan beasiswa penuh kepada warga negara asing yang dikenal

dengan nama Beasiswa Monbukagakusho/MEXT. Program beasiswa yang

diberikan antara lain adalah Undergraduate (S-1), Research Student (S-2, S-

3), College of Technology (D-3), Professional Training College (D-2),

Japanese Studies dan Teacher Training (Types of Japanese Government,

2015). Terbatasnya kuota beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Jepang

tidak menyurutkan niat para pelajar untuk melanjutkan studi di Jepang. Dari

100%, hanya 10% mahasiswa yang mendapatkan beasiswa sementara 90%

lainnya mengeluarkan biaya sendiri (Oyama, 2015). Bagi mahasiswa yang

menggunakan biaya sendiri, pemerintah Jepang mengizinkan para pelajar


3

asing untuk berkerja sambilan sebagai pemasukan tambahan mereka

dengan ketentuan tidak boleh melebihi 20 jam per minggu (Ishikawa, 2006).

Saat ini berbagai universitas di Jepang juga banyak memberikan

fasilitas untuk mempermudah mahasiswa asing. Berdasarkan Hennigs dan

Mintz (2015), beberapa universitas kini telah membuka kelas internasional

yaitu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar perkuliahan.

Selain itu, terdapat program singkat bahasa Jepang yang disediakan oleh

universitas dan berbagai sekolah bahasa Jepang banyak bermunculan untuk

membantu para pelajar asing. Sekolah atau kelas bahasa Jepang pun tidak

hanya sekedar mengajarkan bahasa saja, namun juga mengenai kebudayaan

Jepang.

Hingga saat ini kebijakan “300,000 Foreign Student Plan” terus

berjalan, terhitung semenjak tahun 2008 jumlah mahasiswa asing di Jepang

mengalami peningkatan. Di tahun 2015 total pelajar asing di Jepang telah

mencapai 208.379 orang (JASSO, 2016).

Gambar 2. Statistik Jumlah Pelajar Internasional, dari JASSO, 2016


4

Berdasarkan data JASSO (2016), mayoritas mahasiswa asing

umumnya berasal dari Cina dan Vietnam dengan jumlah sebesar 94.111

(45,2%) dan 38.882 (18,7%), sementara Indonesia menempati urutan ke-6

teratas dengan jumlah mahasiswa 3.600 (1,7%). Bagi mahasiswa Indonesia

sendiri Jepang merupakan negara urutan ke-4 destinasi favorit mereka untuk

melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Gambar 3. Global Flow of Tertiary-Level Students, dari UNESCO Institute of


Statistic, 2016

Jumlah mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Jepang pun setiap

tahunnya cenderung meningkat.

Gambar 4. Histogram Mahasiswa Indonesia di Jepang , dari Oyama, 2015


5

Pendidikan di Jepang yang merata tidak hanya menyebabkan pusat

kota saja yang menjadi incaran para mahasiswa asing. Fukuoka merupakan

salah satu prefektur di Jepang yang menjadi urutan ketiga terbanyak setelah

Tokyo (81.543) dan Osaka (15.280) dengan jumlah mahasiswa asing

sebanyak 13.000 mahasiswa (JASSO, 2016). Berdasarkan Persatuan Pelajar

Indonesia (PPI) Fukuoka, saat ini jumlah mahasiswa Indonesia di Fukuoka

mencapai 100 orang (PPI Fukuoka, wawancara pra-riset, 9 September, 2016).

Fukuoka sendiri merupakan daerah bagian selatan Jepang yang jauh

dari pusat ibu kota, Tokyo, dengan jarak 1.086 km dan membutuhkan waktu

kurang lebih 6 jam 13 menit dari Fukuoka ke Tokyo dengan menggunakan

Shinkansen (kereta tercepat Jepang) (Zenrin, 2016). Walaupun demikian

banyak mahasiswa asing yang memilih Fukuoka sebagai destinasi mereka

karena cuaca di Fukuoka yang tidak ekstrim dibandingkan dengan daerah

lainnya di Jepang, transportasi yang nyaman, kota yang tidak terlalu padat,

biaya hidup yang lebih murah, dan pemandangan alam yang indah (PPI

Fukuoka, 2016). Berdasarkan Monocle’s Annual Quality of Life Survey for

2016 yang dilakukan oleh majalah Monocle, Fukuoka berada di urutan ke-7

sebagai kota di dunia yang nyaman untuk ditinggali (Monocle Magazine,

2016).

Keberadaan mahasiswa asing menyebabkan Fukuoka menjadi salah

satu daerah dengan nuansa multikultural yang memicu terjadinya komunikasi

antarbudaya. Komunikasi antarbudaya menurut Hybels dan Weaver II (dalam

Pradita, 2013) adalah komunikasi yang dilakukan antara dua orang atau lebih
6

dengan latar belakang budaya yang berbeda. Komunikasi antarbudaya terjadi

karena individu-individu yang memiliki latar budaya berbeda berada di tempat

yang sama dan saling berinteraksi. Menurut Devito (2003), budaya adalah

gaya hidup ciptaan suatu kelompok individu yang mencakup pola pikir, nilai-

nilai (values), kepercayaan (beliefs), bahasa, artefak, seni, hukum dan agama

serta cara berperilaku dan komunikasi. Perbedaan budaya yang dimiliki oleh

masing-masing individu akan mempengaruhi efektivitas dan jalannya kegiatan

komunikasi (Pradita, 2013). Cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan

sekitarnya, cara melihat serta menyelesaikan suatu masalah tentu akan

berbeda-beda karena individu dibesarkan dalam budaya yang tidak sama.

Indonesia dan Jepang merupakan negara yang sama-sama tergolong

dalam budaya timur, namun demikian perbedaan budaya diantara keduanya

tetap ada.

Gambar 5. Country Comparison, dari Geert Hofstede, 2010

Bahasa verbal dan non-verbal, pola komunikasi, gaya hidup, peraturan

dan cara bersosialiasi dalam masyarakat Jepang berbeda dengan Indonesia.

Secara demografis pun kedua negara ini berbeda, Indonesia adalah negara

dengan penduduk mayoritas muslim sementara penduduk Jepang mayoritas


7

non-muslim, sehingga hal-hal seperti makanan, minuman, cara bergaul,

perayaan keagamaan dan sebagainya tidak sama.

Perbedaan-perbedaan tersebut membuat mahasiswa Indonesia yang

tengah berada di Fukuoka tidak dapat terhindar dari culture shock atau gegar

budaya. Menurut Berardo & Deardorff (2012) gegar budaya adalah masa

transisi stres yang dialami pendatang ketika berada di budaya baru karena

mereka tidak menemukan keseimbangan antara identitas budaya lama

mereka dengan budaya baru. Menurut Pinem (2011), selama ini individu hidup

dalam lingkungan yang familiar, dimana semua orang memiliki budaya,

bahasa, serta simbol-simbol yang serupa, namun ketika berpindah dan

memasuki budaya baru maka dia akan merasa asing karena tidak menemui

lagi hal-hal yang familiar. Akibatnya seseorang akan mengalami kebingungan

serta ketakutan jika perilakunya tidak sesuai dengan budaya yang baru. Hal

tersebut ditegaskan oleh Black dan Gregersen (1991) mengatakan jika

seseorang akan merasa ragu ketika berada di lingkungan baru karena apa

yang dianggapnya bisa dilakukan di lingkungan sebelumnya belum tentu

sesuai atau pantas di lakukan di lingkungan baru atau bahkan sampai

dianggap sebagai pelanggaran.

Sebagai pelajar yang merantau jauh dari negara asal, setiap

mahasiswa asing akan menghadapi gegar budaya di negara baru karena

adanya perbedaan budaya dari negara asal. Oberg (1960) mengatakan jika

seseorang akan mengalami gegar budaya di lingkungan baru walaupun dia

telah mencari berbagai informasi mengenai lingkungan dan budaya baru atau
8

menganggap dirinya sebagai seseorang yang berfikir luas (open minded),

namun demikian perasaan cemas dan frustasi pasti akan timbul ketika dia

berada di lingkungan dan budaya baru.

Gegar budaya yang dialami mahasiswa Indonesia di luar negeri

umumnya adalah bahasa, seperti cara bicara warga lokal yang cepat sehingga

sulit dimengerti, perbedaan bahasa Inggris untuk kegiatan sehari-hari dengan

bahasa Inggris yang digunakan dalam akademik serta kesulitan

berkomunikasi di negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris

sebagai bahasa utama mereka (Siswanto, 2016; Leksono, 2016; & Fiktorius,

2013). Selain itu perbedaan agama juga menjadi tantangan tersendiri bagi

mahasiswa Indonesia khususnya yang beragama Islam ketika berada di

negara yang mayoritas bukan muslim. Terbatasnya tempat ibadah membuat

mereka terutama bagi mahasiswa pria tidak jarang harus pergi ke kota besar

untuk menjalankan sholat Jumat (Leksono, 2016). Rasa bingung, merasa

kesepian, insomnia dan rindu kampung halaman juga kerap dialami oleh

mahasiswa Indonesia ketika berada di luar negeri (Fiktorius, 2013).

Atwater (dalam Shaifa & Supriyadi, 2013) mengungkapkan jika

mahasiswa internasional yang melanjutkan pendidikan di negara dengan latar

belakang budaya yang berbeda akan menjumpai permasalahan penyesuaian

diri pada enam bulan pertama kepindahan di negara tujuan. Adaptasi

diperlukan untuk mengatasi rasa keterasingan dan kesulitan-kesulitan yang

dialami oleh individu di lingkungan baru (Gudykunts & Kim, 2002). Adaptasi

adalah bagaimana individu mempelajari kebiasan-kebiasaan dan aturan-


9

aturan yang ada di budaya baru (Martin & Nakayama, 2010).

Adaptasi didapatkan melalui pembelajaran atas tantangan-tantangan

yang dihadapi oleh individu dalam kehidupan sehari-hari dan berusaha untuk

mengatasi tantangan-tantangan tersebut (Puumala, 2015). Sebagai kelompok

minoritas di Jepang, tentu akan banyak tantangan bagi mahasiswa Indonesia

dalam menghadapi dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Oleh

karena itu, para mahasiswa harus mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri

dengan budaya Jepang dan lingkungan baru mereka agar dapat tinggal

dengan nyaman di Fukuoka.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan

masalah sebagai berikut:

Bagaimana adaptasi mahasiswa Universitas Kyushu asal Indonesia dalam

menghadapi gegar budaya di Fukuoka Jepang?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan informasi mengenai

adaptasi mahasiswa Indonesia dalam menghadapi gegar budaya di Fukuoka

Jepang.
10

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi akademis

mengenai Gegar Budaya, Integrative Communication Theory, Komunikasi

Antarbudaya dan Dimensi Budaya Hofstede.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan untuk pembaca

dalam memahami mengenai adaptasi mahasiswa Universitas Kyushu asal

Indonesia dalam menghadapi gegar budaya selama berada di Fukuoka

Jepang.

1.5. Sistematika Penulisan

Pembuatan sistematika penulisan, dimaksudkan untuk mempermudah

dalam penyusunan skripsi ini secara menyeluruh dan agar lebih mudah

dipahami tentang isi dalam skripsi ini. Sistematika penulisan ini disajikan

dalam sistem pembahasan yang membagi penulisan ini dalam lima bab

dengan uraian masing-masing sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang dilakukannya

penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat akademis dan

manfaat praktis dari penelitian serta sistematika penulisan yang berisi

penjelasan singkat mengenai masing-masing bab.


11

BAB II KERANGKA TEORETIS

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian kerangka teoritis.

Kerangka teoritis sendiri memiliki susunan berupa hasil penelitian

sebelumnya, teori utama, teori pendukung dan kerangka kerja penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang hal yang menyangkut metodologi,

yaitu metode penelitian dan metode analisis data yang menggunakan metode

konstruktivisme dan metode analisis data Cresswell.

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan diuraikan dari suatu masalah yang akan diteliti,

pembahasan serta analisa lebih mendalam yang diperoleh dari penerapan

teori yang di dapat dari hasil penelitian. Dalam susunannya meliputi gambaran

umum objek penelitian, hasil analisis wawancara dan pembahasan.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penelitian.

Pada bab ini berisi simpulan yang diambil setelah melakukan analisis dan

pembahasan setelah dikaitkan dengan tujuan penelitian. Selain itu dalam bab

ini juga akan berisi saran yang mungkin dapat berguna sebagai masukan bagi

pihak yang berkepentingan.


BAB II

KERANGKA TEORETIS

2.1. Penelitian Sebelumnya

Studi mengenai gegar budaya dan adaptasi budaya telah banyak

dibahas oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Berikut adalah penelitian

sebelumnya yang diambil sebagai perbandingan dengan penelitian yang saat

ini dilakukan.

Tabel 1. Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Sekarang


Penelitian Penelitian Penelitian
No Keterangan
Sebelumnya Sebelumnya Sekarang

1 Judul Communication Teori-teori Adaptasi

Experiences of Adaptasi Mahasiswa

International Antarbudaya Indonesia dalam

Students in the menghadapi

U.S: gegar budaya di

A Comparison Fukuoka Jepang:

Study of Cross- Studi Kasus

Cultural Mahasiswa

Adaptation Indonesia di

between Universitas

European and Kyushu

Asian Students

2 Tahun 2013 2015 2017

12
13

3 Peneliti Rita Jones, Lusia Savitri Faradita Prayusti

Yang Soo Kim Setyo Utami

4 Masalah Bagaimana Bagaimana Bagaimana para

Penelitian pengalaman teori-teori mahasiswa

komunikasi adaptasi antar Indonesia

mahasiswa budaya beradaptasi

internasional di tersebut dalam

universitas- diimplementasi menghadapi

universitas kan dalam pola gegar budaya

Amerika. komunikasi selama berada di

Bagaimana antar budaya Fukuoka.

perbedaan/ sehari-hari

persamaan ketika

budaya seseorang

mempengaruhi melakukan

pengalaman adaptasi,

adaptasi terutama dari

individu para sebuah budaya

mahasiswa yang berbeda

Internasional di darinya.

universitas-
14

universitas

Amerika.

5 Teori Adaptasi Lintas Integrative Gegar Budaya,

Budaya. Communication Integrative

Theory, Communication

Anxiety/Uncert Theory.

ainty

Management

Theory,

Uncertainty

Reduction

Theory, Teori

Akulturasi dan

Culture Shock,

dan Co-cultural

Theory.

6 Metode Kualitatif Kualitatif Kualitatif

7 Hasil dan Kompetensi Teori-teori Gegar budaya

Kesimpulan komunikasi Adaptasi yang dirasakan

tuan rumah dan Antarbudaya oleh para

perbedaan/ tersebut mahasiswa dapat

menjelaskan teratasi melalui


15

persamaan jika adaptasi komunikasi

budaya baik adalah hasil dengan

verbal dan non- kolaborasi dari masyarakat

verbal memiliki usaha Jepang dan

peran yang pendatang dan sesama

besar dalam penerimaan ekspatriat

mempengaruhi lingkungan Indonesia.

kesehatan setempat. Dukungan dari

psikologis atau lingkungan

kesuksesan sekitar,

pelajar persiapan dan

internasional. kepribadian

mahasiswa turut

serta mendukung

proses adaptasi

mahasiswa.

Sumber : Jones & Kim, 2013; Utami, 2015; data olahan peneliti, 2017
16

2.2. Teori Utama

2.2.1. Gegar Budaya

Semua orang akan merasa nyaman ketika orang-orang disekitarnya

menggunakan bahasa yang sama, berperilaku serupa dan tahu apa yang

boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam lingkungan. Namun ketika seseorang

berpindah ke tempat baru, lingkungan familiarnya berubah menjadi asing, hal

ini memicu terjadinya gegar budaya. Gegar budaya atau culture shock adalah

sebuah istilah yang diperkenalkan oleh seorang ahli antropologi bernama

Kalervo Oberg pada tahun 1960. Menurut Oberg (1960) gegar budaya adalah

rasa gelisah yang dialami oleh seseorang akibat kehilangan tanda-tanda dan

simbol-simbol interaksi sosialnya, seperti aturan-aturan, penggunaan bahasa

formal, bahasa tubuh atau ekspresi wajah yang selama ini digunakannya.

Menurut Bolen (dalam Kirkegaard, 2011) gegar budaya tidak hanya

sebatas pada reaksi emosional individu tetapi juga mengenai kesulitan yang

dialaminya selama berada di lingkungan baru. Di dalam budaya baru, norma-

norma, pola perilaku dan sikap yang selama ini dimiliki tidak berlaku lagi

(Samovar, Porter, McDaniel & Roy, 2012). Gegar budaya merupakan hal

umum yang dialami oleh setiap individu ketika berada di budaya dan

lingkungan baru karena gegar budaya merupakan bagian dari proses untuk

menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan budaya baru (Samovar et al, 2012).
17

Gegar budaya terjadi melalui proses yang bertahap. Samovar, Porter,

McDaniel & Roy (2012) menyebutkan terdapat 4 tahapan gegar budaya:

1. Tahap Euforia (Exhilaration Stage)

Tahap euforia atau yang juga dikenal dengan honeymoon stage adalah

fase dimana pendatang belum merasakan gegar budaya karena mereka

baru tiba di lingkungan baru. Semua hal terasa menyenangkan dan indah.

Pada tahap ini pendatang cenderung berfikir positif dan terkagum-kagum

terhadap segala sesuatu dan merasa jika budaya baru lebih baik

dibandingkan budaya sebelumnya. Walaupun pada fase ini rasa sedikit

cemas dan kebingungan muncul, namun antusiasme dan rasa penasaran

dapat menghilangkan ketidaknyamanan tersebut (Dodd,1998). Akan tetapi

kegembiraan ini tidak bertahan lama, semakin lama pendatang tinggal di

budaya yang baru maka mereka mulai merasakan adanya perubahan.

2. Tahap Kekecewaan (Disenchantment Stage)

Tahap ini merupakan fase gegar budaya terjadi dimana para pendatang

sadar ada banyak hal yang berbeda di lingkungan baru. Semakin banyak

interaksi yang dilakukan maka semakin besar gegar budaya yang dialami

(Martin & Nakayama, 2010). Mereka mulai merasa jika permasalahan yang

mereka hadapi semakin berat.

Gegar budaya dapat mempengaruhi psikologis pendatang. Seseorang

yang mengalami gegar budaya akan cenderung mudah marah, sering

melamun, linglung, frustasi, insomnia dan ketakutan berlebihan (Oberg, 1960).

Gegar budaya juga dapat membuat seseorang menjadi tertutup akibat merasa
18

tidak nyaman dan terasingkan sehingga dia menarik diri dari lingkungan sosial

(Dodd, 1998). Jandt (2016) menambahkan jika seseorang yang mengalami

gegar budaya dapat merasa rindu kampung halaman (homesick), tidak cocok

dengan makanan atau minuman dan bahkan menjadi berlebihan dalam hal

kebersihan dan kesehatan.

Sikap bias budaya seperti etnosentris dan stereotip juga dapat terjadi

pada fase ini. Stereotip adalah bentuk dari generalisasi kelompok individu

tertentu dengan cara membuat kategori serta karakteristik kepada mereka

berdasarkan atribut-atribut yang tampak (Lustig & Koester, 2013; Samovar,

Porter, McDaniel & Roy, 2012). Stereotip yang dibuat dapat bersifat positif

atau negatif (Martin & Nakayama, 2010). Sementara etnosentrisme adalah

pandangan jika budaya sendiri adalah yang terbaik (Samovar et al, 2012).

Menurut Bennett (2011) orang-orang yang memiliki sikap etnosentris akan

membuat stereotip negatif tentang budaya lain dan membangun sebuah

dinding diantara “kita” dan “mereka”. Mereka menganggap jika budaya “kita”

lebih unggul dibandingkan budaya “mereka”.

3. Tahap Penyesuaian (Adjustment Stage)

Pada tahap ini para pendatang akan mulai mencari solusi dan melakukan

upaya penyesuaian diri dengan lingkungannya untuk mengatasi

kekecewannya. Disini mereka melihat jika setiap budaya memiliki nilai positf

dan negatifnya masing-masing (Dodd, 1998). Mereka belajar menerima

perbedaan yang ada mulai dari bahasa, pola komunikasi dan sosial. Dalam

tahap ini pendatang sudah mulai familiar dengan makanan, bunyi, rasa,
19

aroma dan komunikasi non-verbal di lingkungan baru (Dodd, 1998).

4. Tahap Berfungsi Efektif (The Effective Functioning Stage),

Pada tahap terakhir ini para pendatang memahami kunci utama dari

budaya baru seperti pola komunikasi, adat istiadat dan norma yang berlaku

serta telah merasa nyaman dengan lingkungan baru.

2.2.2. Integrative Communication Theory

Integrative Communication Theory adalah teori adaptasi yang

menekankan pada aspek komunikasi, diperkenalkan oleh akademisi asal

Korea Selatan yaitu Young Yun Kim. Selain adaptasi psikologis, adaptasi

komunikasi diperlukan agar para pendatang diterima oleh orang-orang di

lingkungan baru serta dapat menyesuaikan diri dengan budaya baru (Baldwin,

Coleman, Gonzalez & Packer, 2014). Martin & Nakayama (2010) mengatakan

jika melalui komunikasi dengan orang-orang di lingkungan baru akan

membantu perkembangan pola pikir dan perilaku pendatang. Mereka yang

aktif terlibat dalam interaksi sosial dan kegiatan komunikasi akan lebih banyak

mengalami gegar budaya, namun juga akan lebih cepat beradaptasi dengan

baik (Martin & Nakayama, 2010).

Kim (1988) menyebutkan 5 dimensi penting dalam teori ini:

- Dimensi 1, Komunikasi Intrapersonal (Host Communication

Competence) yaitu kompetensi komunikasi individu yang mencakup

kognitif, afektif dan operasional.


20

- Dimensi 2, Komunikasi Sosial (Interpersonal Communication) dengan

masyarakat tuan rumah (host interpersonal communication) dan etnis

yang sama (ethnic interpersonal communication) serta penggunaan

media massa.

- Dimensi 3, Lingkungan (Environment) yaitu bagaimana penerimaan

serta tekanan dari lingkungan tuan rumah.

- Dimensi 4, Predisposisi Adaptif (Adaptive Predisiption) yaitu

berhubungan dengan persiapan individu ketika memasuki budaya baru,

kepribadian individu serta latar belakang budaya.

- Dimensi 5, Hasil Adaptasi (Adaptation Outcome) adalah hasil dari

interaksi yang telah dilakukan.

Gambar 6. Integrative Communication Theory, dari Young Yun Kim, 1988,


p.79
21

2.2.2.1. Komunikasi Intrapersonal (Host Communication Competence)

Dalam komunikasi intrapersonal, Kim (1988) mengatakan jika tiap

individu harus memiliki Host Communication Competence (HCC).

Kompetensi komunikasi dengan masyarakat tuan rumah dibutuhkan oleh

setiap pendatang agar mampu berkomunikasi secara efektif di lingkungan

baru. Komputensi komunikasi berhubungan dengan kepantasan (Lustig &

Koester, 2013). Menurut Spitzberg (dalam Jandt, 2016) kompetensi

komunikasi adalah bagaimana seseorang berkomunikasi dengan efektif dan

pantas kepada orang-orang dari budaya lain. Kim (1988) membagi

komunikasi personal menjadi 3 aspek:

a. Aspek Kognitif

Kognitif meliputi pengetahuan tentang budaya, sistem komunikasi tuan

rumah dan kemampuan untuk memproses informasi (Puumala, 2015).

Pengetahuan kognitif membantu para pendatang dalam memproses

informasi-informasi yang di dapat dari lingkungannya (Gudykunts & Kim,

2002). Salah satu pengetahuan yang berkaitan dengan kognitif adalah

bahasa. Samovar, Porter, McDaniel dan Roy (2012) mengatakan jika

pendatang untuk dapat beradaptasi dengan baik harus mempelajari bahasa

dari tuan rumah. Bahasa merupakan hal yang sangat vital karena dalam

menyampaikan pesan baik secara lisan maupun tertulis, bahasa selalu

digunakan. Melalui pemahaman bahasa, para pendatang dapat memahami

serta mengidentifikasi pesan dalam berbagai situasi ketika sedang

berinteraksi (Kim, 1988). Namun demikian, Kim (1988) melanjutkan jika


22

pengetahuan bahasa tidak hanya sekedar pada bahasa verbal tetapi juga

bahasa non-verbal.

Para pendatang juga harus mengetahui aturan komunikasi negara tuan

rumah. Contohnya seperti status, tingkat dominasi, jarak intimasi serta

hubungan interpersonal adalah aturan-aturan yang kerap disampaikan

secara tidak langsung sehingga diperlukan kemampuan untuk memahami

hal-hal tersebut (Kim, 1988).

b. Aspek Afektif

Afektif berhubungan dengan perasaan, nilai-nilai, kemampuan dalam

mengatasi situasi ambigu, fleksibiltas dan motivasi adaptasi (Puumala, 2015;

Gudykunts & Kim, 2002). Pengetahuan afektif diperlukan oleh para

pendatang karena masalah komunikasi tidak hanya sebatas pada bahasa

verbal dan non-verbal. Kim (1988) menjelaskan jika ketika berada di

lingkungan baru, pendatang kerap tidak memahami suatu nilai dan

bagaimana orang-orang tuan rumah mengungkapkan perasaannya.

Untuk memperoleh pengetahuan afektif, dibutuhkan interaksi terus

menerus dengan penduduk lokal untuk membantu pendatang memahami hal-

hal tersebut. Gudykunts & Kim (2002) menambahkan jika pengetahuan afektif

harus didukung dengan pengetahuan kognitif karena apabila pendatang telah

memiliki pengetahuan kognitif maka mereka tidak hanya lagi sekedar

memahami pola afektif, tetapi juga dapat mengikuti pola afektif tuan rumah.
23

c. Aspek operasional

Pengetahuan operasional merupakan hasil pengalaman atau

pembelajaran kognitif dan afektif (Harvey, 2007). Taft (dalam Gudykunts & Kim,

2002) menjelaskan jika operasional berhubungan dengan dua kemampuan

yaitu teknis dan sosial. Kemampuan Teknis mencakup kemampuan bahasa,

keterampilan dan pengetahuan akademik yang dimiliki oleh pendatang dapat

membantu mereka dalam menjalankan peran di lingkungannya seperti di

rumah, tempat kerja atau sekolah (Gudykunts & Kim, 2002). Koester Margaret

dan Ruben (dalam Lustig & Koester, 2013; Gudykunts & Kim, 2002)

mengatakan jika kemampuan sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang

ketika berinteraksi dengan orang lain seperti memulai percakapan, mengatur

alur pembicaraan dengan baik tanpa mendominasi atau menjadi pasif,

menyesuaikan sikap dengan lawan bicara, menunjukan solidaritas dan

mengatasi konflik.

2.2.2.2. Komunikasi Sosial (Komunikasi Interpersonal)

Selain memerlukan host communication competence, pendatang juga

harus terus berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Mendenhall dan Oddou

(dalam Shieh, 2014) menegaskan jika semakin sering seseorang berinteraksi

dengan orang lain, maka semakin meningkat kemampuan komunikasinya.

Komunikasi interpersonal dengan orang-orang tuan rumah (host interpersonal

communication) adalah hal yang penting karena pendatang langsung

berinteraksi dengan masyarakat tuan rumah sehingga membantu untuk


24

mempelajari budaya tuan rumah serta meningkatkan host communication

competence para pendatang (Gudykunts & Kim, 2002; Harvey, 2007).

Melalui komunikasi interpersonal hubungan antara pendatang dengan

orang-orang tuan rumah dapat terjalin. Dalam komunikasi interpersonal,

tingkat kedekatan hubungan antara pendatang dengan orang-orang tuan

rumah menjadi indikator penting dalam adaptasi (Gudykunts & Kim, 2002).

Hubungan yang dibangun dapat bersifat lemah atau kuat (Puumala, 2015).

Semakin dekat hubungan antara pendatang dengan orang-orang tuan rumah

maka akan semakin cepat pendatang beradaptasi dengan lingkungan baru.

Gudykunts & Kim (2002) menambahkan jika semakin sering pendatang ikut

terlibat dalam kegiatan yang diadakan oleh masyarakat tuan rumah maka

akan semakin mudah bagi mereka untuk menyesuaikan diri.

Selain berkomunikasi dengan penduduk lokal, para pendatang juga

berkomunikasi dengan orang-orang daerah asal atau yang disebut juga

dengan ethnic interpersonal communication. Ethnic interpersonal

communication adalah interaksi yang dilakukan oleh para pendatang dengan

orang-orang yang berasal dari budaya yang sama (Utami, 2015). Umumnya,

pendatang sangat bergantung berkomunikasi dengan orang-orang dari etnis

yang sama terutama saat diawal-awal kedatangan (Kim, 1988). Latar budaya

dan bahasa yang sama membuat para pendatang cenderung lebih nyaman

untuk berkomunikasi dengan mereka. Namun demikian, menurut Puumala

(2015) jika para pendatang terlalu bergantung pada komunikasi etnis dan

jarang melakukan kontak dengan masyarakat tuan rumah maka akan


25

memperlambat pengetahuan host communication competence dan proses

adaptasi.

Komunikasi dengan orang-orang tuan rumah dan orang-orang dari

daerah asal merupakan bentuk dari dukungan sosial (Martin & Nakayama,

2010). Dukungan sosial merupakan hal yang penting untuk beradaptasi

karena ketika berada di lingkungan baru banyak hal-hal yang tidak diketahui.

Gegar budaya atau kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para pendatang

dapat dikurangi dengan sering berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi

interpersonal dapat membantu para pendatang untuk mengurangi rasa

kesepian serta untuk berbagi suka ataupun duka (Devito, 2003).

Gudykunts dan Kim (2002) mengatakan jika selain berkomunikasi

secara langsung, para pendatang dapat memanfaat media komunikasi lainnya

seperti media massa (komik, buku, majalah, koran, acara tv atau film) sebagai

alternatif lain yang dapat digunakan untuk membantu adaptasi karena

ketersediannya yang banyak serta mudah didapatkan. Melalui media,

pendatang dapat melihat elemen-elemen budaya baru karena media

merepresentasikan budaya suatu negara (Gudykunts & Kim, 2002).

2.2.2.3. Lingkungan

Interaksi yang terjadi diantara pendatang dengan orang-orang tuan

rumah dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan berkaitan dengan

penerimaan tuan rumah terhadap pendatang (receptivity) dan tekanan dari

kelompok atau budaya mayoritas (Utami, 2015). Kim (1988) mengatakan jika
26

penerimaan tuan rumah terkait dengan seberapa jauh mereka menerima atau

menolak pendatang atau orang asing untuk berbaur dengan mereka.

Pendatang diterima atau tidak, dapat dilihat dari sikap dan keterbukaan orang-

orang tuan rumah terhadap mereka (Gudykunts & Kim, 2002). Oleh karena itu

diperlukan keterbukaan serta sikap positif dari lingkungan tuan rumah untuk

membantu para pendatang dalam beradaptasi. Semakin terbuka dan positif

maka akan semakin mudah untuk mereka berbaur dengan budaya dan

lingkungan baru.

Selanjutnya adalah tekanan dari kelompok atau budaya dominan.

Sebagai kelompok minoritas di lingkungan baru tentu akan banyak sekali

tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh para pendatang. Tekanan

kelompok berhubungan dengan sejauh mana masyarakat tuan rumah

mengharapkan para pendatang untuk menyesuaikan atau mengikuti budaya

dan nilai yang ada di masyarakat (Gudykunts & Kim, 2002).

Menurut Kim (1988) masyarakat yang relatif bebas (free societies) dan

heterogen akan cenderung memiliki toleransi lebih tinggi terhadap

keberagaman budaya dibandingkan dengan masyarakat yang totaliter dan

homogen. Sementara dalam masyarakat yang homogen dan totaliter, mereka

cenderung intoleransi sehingga akan lebih memaksa pendatang baru untuk

mengikuti atau menyesuaikan dengan budaya mereka. Namun demikian, baik

dalam masyarakat heterogen dan homogen, akan ada selalu tekanan dari

budaya dominan. Akan tetapi tingkat toleransi masyarakat akan menentukan

tekanan-tekanan tersebut.
27

Keseragaman bahasa adalah tekanan yang paling terlihat. Ketika

berada di lingkungan baru para pendatang diharapkan mampu untuk

berbicara dengan bahasa mereka (Kim, 1988). Walaupun pendatang tidak

secara langsung dituntut oleh masyarakat tuan rumah, namun demikian ketika

mereka berinteraksi dengan masyarakat lokal, tentu akan sulit jika tidak

memahami bahasa mereka. Ketika pendatang dapat berbicara dengan

bahasa tuan rumah maka akan semakin mudah dan nyaman bagi mereka

untuk berkomunikasi dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Selain itu

bahasa juga menjadi salah satu alat untuk membedakan antara in-group dan

out-group (Lustig & Koester, 2013). Tanpa adanya kemampuan bahasa maka

akan semakin sulit bagi para pendatang untuk berkomunikasi dengan

masyarakat tuan rumah.

2.2.2.4. Adaptive Predisposition

Adaptive predisposition berhubungan dengan persiapan individu

sebelum memasuki lingkungan baru, ethnic proximity dan kepribadian individu.

Pertama adalah persiapan individu sebelum memasuki lingkungan baru. Kim

(1988) mengatakan jika pendatang yang telah familiar dengan budaya baru

seperti telah mengetahui dari media atau sebelumnya pernah berinteraksi

dengan orang dari budaya tersebut maka akan lebih mudah untuk beradaptasi.

Pengetahuan seperti bahasa, budaya, sejarah, sistem politik dan ekonomi

akan mempermudah pendatang dalam beradaptasi karena setidaknya telah

memiliki gambaran tentang lingkungan barunya. Selain itu, pendatang yang


28

secara sengaja pindah ke tempat baru akan lebih mudah untuk beradaptasi

dengan lingkungannya karena setidaknya mereka sudah mempersiapkan diri

terlebih dahulu (Puumala, 2015).

Kedua adalah ethnic proximity, yaitu sejauh mana perbedaan serta

persamaan budaya yang ada diantara lingkungan lama dan lingkungan baru

(Gudykunts & Kim, 2002). Jika pendatang memiliki budaya yang serupa tentu

akan lebih mudah bagi mereka untuk beradaptasi, sementara jika semakin

besar perbedaan di antara budaya pendatang dengan budaya tuan rumah

maka akan semakin sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri. Perbedaan

budaya dapat berupa bentuk fisik, bahasa verbal dan non-verbal, agama, nilai

dan sebagainya (Gudykunts & Kim, 2002).

Ketiga adalah kepribadian dari pendatang itu sendiri. Kim (dalam Devito,

2003) mengatakan jika salah satu kunci sukses untuk beradaptasi adalah

memiliki kepribadian terbuka dan berani mengambil resiko. Para pendatang

yang memiliki keterbukaan, kuat, selalu berfikir positif serta berani dalam

mengambil resiko tidak akan mudah patah semangat ketika menghadapi

berbagai perbedaan serta tantangan di dalam lingkungan baru (Gudykunts &

Kim, 2002).
29

2.2.2.5. Hasil Adaptasi (Adaptation Outcome)

Selama berada di lingkungan baru pendatang melakukan dan mencoba

berbagai hal yang baru. Functional fitness adalah kondisi dimana pendatang

sudah mampu menyesuaikan diri dengan baik dan nyaman di lingkungan

barunya (Puumala, 2015). Functional fitness merupakan hasil dari host

communication competence (HCC) dan komunikasi interpersonal. Kim (1988)

mengatakan jika pendatang terus meningkatkan HCC dan terlibat aktif dalam

komunikasi interpersonal maka akan lebih mudah bagi mereka untuk

menyesuaikan dengan masyarakat dan merasakan kecocokan dengan

lingkungan baru (Kim, 1988).

Ketika pendatang sudah beradaptasi dengan baik maka kesehatan

psikologis (psychological health) pendatang meningkat. Kesehatan psikologis

menunjukan jika pendatang mampu untuk mengatasi secara efektif berbagai

kesulitan yang berada di lingkungan baru (Gudykunts & Kim, 2002). Semakin

meningkat functional fitness pendatang maka rasa stress akibat gegar budaya

dapat diatasi (Kim, 1988). Pada masa awal memasuki lingkungan baru, para

pendatang umumnya akan mengalami gegar budaya sebagai masa transisi

dari budaya lama ke budaya baru. Oleh karena itu guna mencapai kesehatan

psikologis, mereka harus berkonsentrasi untuk meningkatkan host

communication competence dan lebih aktif untuk berinteraksi dengan

masyarakat lokal (Gudykunts & Kim, 2002).

Terakhir adalah identitas budaya (culture Identity), pendatang sudah lebih

fleksibel dengan budaya yang baru dan tidak lagi kaku (Utami, 2015). Lebih
30

lanjut Kim (1988) menjelaskan jika pada tahap ini pendatang memiliki

perspektif yang lebih luas, serta berhasil mengatasi berbagai macam kondisi

yang membuat stress dan potensi adaptasinya semakin mendalam. Dalam hal

ini seseorang tidak lagi melihat dari satu sisi tetapi dari berbagai sisi, mereka

menjadi orang yang bikultural atau multikultural (Bennett, 2011).

2.3. Teori Pendukung

2.3.1. Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya terjadi ketika orang-orang dari suatu suku

atau etnik tertentu bertemu dengan orang-orang dari suku atau etnik lain dan

menemukan perbedaan-perbedaan diantara mereka (Yue & Le, 2012).

Komunikasi dan budaya adalah dua hal yang saling mempengaruhi sehingga

tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut ditegaskan oleh T. Hall dan Kress (dalam

Mulyana, 2015) budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Di

dalam komunikasi akan selalu terdapat konteks dan makna kultural dan begitu

juga sebaliknya. Hubungan antara komunikasi dengan budaya sangat erat

sehingga tidak mungkin dalam berkomunikasi, individu dapat terlepas dari

unsur budaya.

Budaya adalah hasil kesepakatan kelompok sosial mengenai pemikiran,

kepercayaan, sikap perilaku dan nilai yang diturunkan secara turun temurun

kepada anggota kelompok sebagai alat untuk mengatur anggotanya dan

memberikan identitas diri bagi tiap-tiap individu dalam kelompok (Jandt, 2016).

Budaya yang diajarkan akan mempengaruhi persepsi dan pandangan individu


31

terhadap suatu hal. Persepsi adalah sebuah proses bagaimana seseorang

menjadi peka terhadap suatu objek, kejadian dan orang lain (Devito, 2003).

Menurut Wexter dalam (Jandt, 2016) otak manusia membentuk persepsi dan

pandangan tentang dunia luar, berdasarkan apa yang diajarkan oleh

budayanya. Persepsi yang dimiliki oleh individu akan mempengaruhi cara

berkomunikasi, seperti dalam menyampaikan dan mengirimkan pesan, cara

berinteraksi dengan orang lain dan cara melihat suatu fenomena (Devito,

2003).

Setiap budaya memiliki pandangan atau persepsi tersendiri mengenai

apa yang dianggap baik atau buruk, pantas atau tidaknya suatu hal (Mulyana,

2015). Selain itu, setiap budaya memiliki persepsi masing-masing mengenai

komunikasi yang “ideal” sehingga mereka akan memiliki interpretasi dan

ekspektasi sendiri mengenai komunikasi yang baik (Lustig & Koester, 2013).

Individu yang dibesarkan dalam budaya yang berbeda akan memiliki gaya

komunikasi dan persepsi yang berbeda pula sesuai dengan apa yang telah

diajarkan oleh budayanya masing-masing.

Menurut Devito (2003), perbedaan-perbedaan di dalam setiap budaya

membuat gaya komunikasi seseorang disatu tempat menjadi efektif tetapi

tidak untuk di tempat lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut membuat

interpretasi, ekspektasi dan persepsi para komunikator tidak saling bertemu

sehingga dapat memicu konflik diantara mereka (Yue & Le, 2012; Lustig &

Koester, 2013). Dalam komunikasi antarbudaya semakin banyak perbedaan

interpretasi dan ekspektasi pihak-pihak yang berkomunikasi maka tingkat


32

komunikasi antarbudayanya semakin tinggi (Lustig & Koester, 2013).

2.3.2. Dimensi Budaya Hofstede

Menurut Dodd (1998) terdapat 4 dimensi budaya Hofstede yang

berhubungan dengan komunikasi :

1. Jarak Kekuasaan (Power Distance)

Jarak kekuasaan adalah sampai mana anggota suatu kelompok

menerima distribusi kekuasaan yang tidak merata (Hofstede, Hofstede &

Minkov, 2010). Jarak kekuasaan dibagi menjadi 2 yaitu jarak kekuasaan tinggi

(high power distance) dan jarak kekuasaan rendah (low power distance).

Masyarakat high power distance menganggap jika ketidaksetaraan adalah

hal yang wajar dan menerimanya dengan sukarela (Dodd,1998). Mereka

menerima jika orang tua, guru, atasan adalah orang-orang yang memiliki

kekuasaan lebih dari mereka sehingga harus dihormati (Nunez, Mahdi &

Popma,2014). Sehingga hirarki dan senioritas sangat terlihat dalam

masyarakat ini karena mereka yang memiliki kekuatan atau kekuasaan

diberikan hak istimewa (Hofstede, Hofstede dan Minkov, 2010).

Bahkan di dalam penggunaan bahasa pun terdapat hirarki (Lustig &

Koester, 2013). Seperti panggilan kakak dan adik dalam bahasa Indonesia

serta nii-san (kakak laki-laki) nee-san (kakak perempuan) dalam bahasa

Jepang merujuk pada status siapa yang lebih tua di dalam keluarga atau serta

panggilan dengan menyebutkan gelar atau profesi seseorang dianggap

penting karena menunjukan status sosial mereka penting. Nunez, Mahdi dan
33

Pompa (2014) menambahkan jika pola komunikasi masyarakat bersifat satu

arah karena mereka harus mematuhi ucapan atasan atau orang yang lebih

tua, namun bukan berarti mereka tidak boleh beropini, hanya saja mereka

mengungkapkannya secara tidak langsung dan dengan sangat hormat agar

tetap dianggap sopan.

Hofstede, Hofstede & Minkov (2010) mengatakan jika pada masyarakat

high power distance terdapat pola ketergantungan kepada orang-orang yang

lebih berkuasa, berbeda dengan masyarakat low power distance yang justru

menekankan pada nilai kemandirian. Hubungan antara masyarakat bersifat

horizontal atau setara sehingga tidak ada hirarki yang sangat kaku Dodd

(1998). Oleh karena itu, senioritas tidak terlalu terlihat dalam masyarakat ini

nilai-nilai kesetaraan sangat dijunjung tinggi serta panggilan untuk

menunjukan status seseorang tidak terlalu dipikirkan oleh masyarakat.

Mereka juga cenderung lebih demokratis dan menggunakan komunikasi

langsung, ketika mereka tidak setuju atau membantah mereka dapat

langsung mengutarakannya dan dianggap sebagai hal yang biasa (Nunez,

Mahdi & Popma, 2014).

2. Individual dan Kolektivis

Perbedaan kedua budaya ini adalah kepentingan mana yang lebih

diprioritaskan apakah kepentingan pribadi atau kelompok (Devito, 2003).

Devito (2003) mengatakan jika pada masyarakat individualis nilai-nilai

kekuatan, penghargaan dan hedonisme ditekankan, kesuksesan seseorang

dilihat jika dia menjadi yang terbaik diantara anggotanya. Kim, Sharkey and
34

Singelis (dalam Dodd, 1998) mengatakan jika kebutuhan dan tujuan pribadi

diatas kelompok serta dalam masyarakat individualis sangat kejelasan pesan

adalah hal penting sehingga mereka menggunakan komunikasi langsung dan

suka berterus terang. Menurut mereka ketidaksukaan atau tidak setuju dapat

dikatakan secara langsung dan dianggap wajar.

Berbeda dengan masyarakat kolektivis dimana nilai-nilai kelompok,

orientasi kelompok dan harmoni sangat ditekankan (Dodd, 1998).

Kesuksesan individu berdasarkan kontribusinya untuk kesuksesan grup

(Devito, 2003). Kim, Sharkey and Singelis (dalam Dodd, 1998) mengatakan

jika masyarakat kolektivis mementingkan perasaan orang lain dan tidak mau

menyakitinya, sehingga mereka tidak suka berbicara secara langsung dan

menggunakan konsep face saving yaitu mereka tidak melakukan konfrontasi

langsung kepada orang lain karena itu dianggap dapat mempermalukan

orang lain. Ikatan yang kuat di dalam grup menyebabkan secara tidak

langsung terdapat pemisah antara “Kita” sebagai in-group dan “Mereka”

sebagai out-group, akibatnya tidak jarang orang-orang luar akan sulit untuk

berbaur dengan anggota kelompok.

3. Maskulin dan Feminim

Budaya maskulin dan feminim diambil berdasarkan karakteristik

emosional laki-laki dan perempuan. Hofstede (dalam Bergiel, Bergiel & Upson,

2012) mengatakan jika budaya maskulin menekankan pada nilai ketegasan,

ambisius dan materi. Masyarakat diajarkan untuk selalu menjadi yang terbaik,

sehingga tingkat kompetisi mereka tinggi karena semua orang berusaha


35

menjadi yang terbaik untuk mendapatkan penghargaan (Nunez, Mahdi &

Popma, 2014). Mereka juga beranggapan jika pekerjaan lebih berpengaruh

dibandingkan keluarga (Hofstede, 2011). Peran sosial dalam masyarakat

maskulin dibedakan berdasarkan gender, sehingga ketidaksetaraan adalah

hal biasa (Lustig & Koester, 2013). Para laki-laki harus memiliki karir

sementara wanita tidak diwajibkan (Hofstede, Hofstede & Minkov, 2010).

Sementara dalam budaya feminim masyarakat diajarkan mengenai

keseimbangan hidup, keluarga dan pekerjaan adalah hal yang sama-sama

penting (Hofstede, 2011). Nilai-nilai kesederhanaan, kualitas hidup serta

kepedulian terhadap sesama ditekankan dalam budaya feminim (Hofstede,

Hofstede, Minkov, 2010; Nunez, Mahdi & Popma, 2014). Mereka juga tidak

dituntut untuk selalu menjadi yang terbaik sehingga tingkat kompetisi tidak

terlalu tinggi karena yang terpenting bagi mereka adalah membantu anggota

kelompok dan membangun solidaritas (Nunez, Mahdi & Popma, 2014; Lustig

& Koester, 2013). Nilai kesetaraan dijunjung tinggi sehingga pembagian

peran sosial tidak sepenuhnya berpaku pada gender (Lustig & Koester, 2013).

Setiap orang berhak menentukan karirnya masing-masing, tidak ada

kewajiban jika laki-laki atau perempuan harus memiliki pekerjaan tertentu

(Hofstede, Hofstede & Minkov, 2010).


36

4. Menghindari ketidakpastian

Dimensi budaya ini berhubungan dengan sejauh mana masyarakat

mampu menghadapi ketidakpastian di masa depan (Hofstede, 2011).

Masyarakat yang menghindari ketidakpastian pasti akan memiliki peraturan

yang banyak, segala sesuatu harus terstruktur, dan cenderung menggunakan

komunikasi langsung agar semua jelas dan ketidakpastiaan serta ambiguitas

berkurang (Dodd, 1998; Baldwin et al, 2014). Ketidakpastian dianggap

sebagai sesuatu yang berbahaya sehingga tingkat kecemasan dan stress

mereka cenderung tinggi (Hofstede, Hofstede & Minkov, 2010). Sesuatu atau

seseorang yang asing atau berbeda dianggap dapat membahayakan atau

memberikan pengaruh buruk (Baldwin et al, 2014).

Berbeda dengan masyarakat yang mampu mentoleransi ketidakpastian,

mereka dapat tetap nyaman dalam keadaan yang tidak pasti dan ambigu

(Dodd, 1998). Sehingga dalam masyarakat ini peraturan dan struktur tidak

banyak. Menurut mereka ketidakpastian adalah hal normal sehingga tingkat

stress dan kecemasan cenderung rendah (Hofstede, Hofstede & Minkov,

2010). Mereka juga lebih fleksibel ketika menemui sesuatu yang asing atau

berbeda, menurut mereka hal tersebut dapat memberikan dampak positif

sehingga dapat diterima dengan baik (Baldwin et al, 2014).


37

2.4. Kerangka Teori

Gambar 7. Kerangka Teori, dari data olahan peneliti, 2017


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Berdasarkan judul penelitian yang diteliti yaitu “Adaptasi Mahasiswa

Indonesia dalam Menghadapi Gegar Budaya di Fukuoka Jepang: Studi Kasus

Mahasiswa Indonesia di Universitas Kyushu” maka peneliti menggunakan

metode konstruktivisme. Konstruktivisme menjelaskan perasaan seseorang

ketika mengalami sebuah fenomena atau proses (Creswell, 2011). Menurut

Cohen dan Manion (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) fokus penelitian

konstruktivisme adalah untuk memahami dunia pengalaman manusia. Lebih

lanjut Mertens (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) mengatakan jika realitas

dibentuk oleh sosial. Dapat dikatakan jika realitas dibentuk berdasarkan

pengalaman manusia.

Hidayat (2002) menambahkan jika realitas yang terbentuk bersifat

relatif. Dalam penelitian konstruktivis, peneliti dan realitas/fenomena yang

diteliti menjadi satu kesatuan karena pemahaman realitas yang diteliti atau

hasil temuan penelitian adalah hasil interaksi antara peneliti dengan yang

diteliti (Hidayat, 2002). Sehingga realitas akan diinterpretasikan oleh peneliti

berdasarkan pengalaman-pengalamn objek yang diteliti.

Peneliti menggunakan metode konstruktivisme karena gegar budaya

langsung dialami dan dihadapi oleh mahasiswa Indonesia di Fukuoka Jepang.

Sebagai pendatang, gegar budaya dan proses adaptasi berlangsung selama


38
39

mereka tinggal di Fukuoka. Selama masa tersebut berlangsung peneliti

ingin menelusuri lebih mendalam mengenai realitas gegar budaya yang

mereka hadapi serta cara mereka beradaptasi untuk mengatasi gegar budaya

tersebut.

3.2. Narasumber

Dalam penelitian ini teknik pemilihan narasumber menggunakan

purposeful sampling. Purposeful sampling adalah menentukan sampel

dengan menyeleksi calon narasumber berdasarkan kriteria tertentu untuk

mempelajari dan memahami fenomena yang diteliti (Creswell, 2012).

Narasumber dipilih berdasarkan kriteria sebagai berikut:

- Mahasiswa Indonesia yang telah tinggal di Jepang lebih dari 6 bulan;

- Mahasiswa Indonesia yang tengah berkuliah di Fukuoka;

- Mahasiswa Indonesia dengan jurusan apapun;

Berikut adalah nama-nama narasumber:

1. Achmad Rachmad Tullah

Mahasiswa S2 jurusan Wind Engineering di Universitas Kyushu.

2. Gde Pandhe Wisnu

Mahasiswa S3 jurusan Mineral Processing, Recycling and Environment

Remediation Laboratory di Universitas Kyushu.

3. Herpin Dwijayanti

Mahasiswi S2 jurusan Manajemen Bisnis dan Teknologi di Universitas

Kyushu.
40

4. Rizki Fitria D

Mahasiswi S3 jurusan Innovative Science and Technology for Bio

Industry di Universitas Kyushu.

5. Yuslita Syafia

Mahasiswi S2 jurusan Language, Media and Communication di

Universitas Kyushu.

3.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian pada “Adaptasi Mahasiswa Indonesia dalam

Menghadapi Gegar Budaya di Fukuoka Jepang: Studi Kasus Mahasiswa

Indonesia di Universitas Kyushu”, menggunakan teori Gegar Budaya dan

Integrative Communication Theory sebagai dasar dalam membuat pertanyaan

kepada narasumber penelitian.

Tabel 2. Fokus Penelitian


Objek Penelitian Elemen Evidensi
Mahasiswa Indonesia Gegar Budaya - Perasaan,
di Fukuoka pandangan dan
ekspektasi
mahasiswa terhadap
Fukuoka dan
Universitas di awal
kedatangan.
- Hal-hal yang
menyenangkan yang
dialami oleh
41

mahasiswa saat di
awal kedatangan.
- Kesulitan – kesulitan,
dan gegar budaya
yang dialami oleh
mahasiswa.
- Cara mahasiswa
mengatasi gegar
budaya yang dialami.
Komunikasi - Kesulitan komunikasi
Intrapersonal yang paling
(Host Communication dirasakan oleh
Competence) mahasiswa selama
berada di Fukuoka.
- Perbedaan cara
komunikasi antara
orang Indonesia
dengan orang
Jepang yang
dirasakan oleh
mahasiswa.
- Mahasiswa
memahami cara
masyarakat Jepang
dalam
mengungkapkan
perasaan dan emosi.
- Penilaian mahasiswa
mengenai
pengetahuan yang
42

mereka miliki dalam


membantu
menjalankan
kegiatan sehari-hari.

Komunikasi - Intensitas
Interpersonal komunikasi dan
aktivitas bersama
yang dilakukan oleh
mahasiswa dengan
orang-orang Jepang
dan sesama
ekspatriat Indonesia.
- Alasan mahasiswa
berkomunikasi
dengan orang-orang
Jepang.
- Peran PPI Fukuoka
dan bagi para
Mahasiswa dalam
beradaptasi.
Lingkungan - Penilaian mahasiswa
mengenai sikap
orang-orang Fukuoka
terhadap mereka
sebagai orang asing.
- Mahasiswa
diperlakukan
berbeda (positif-
negatif) oleh orang-
orang Fukuoka.
43

- Penilaian
mahasiswa terhadap
Universitas dalam
membantu proses
adaptasi.
Adaptive Predisposition - Persiapan yang
(Predisposisi Adaptif) dilakukan oleh
mahasiswa sebelum
berangkat ke
Fukuoka.
- Perbedaan budaya
yang paling
dirasakan diantara
budaya Indonesia
dengan Jepang.
- Budaya Jepang yang
dirasa kurang cocok
bagi mahasiswa.
- Cara mahasiswa
menyesuaikan diri
dengan budaya
Jepang.
Hasil Adaptasi dan - Penilaian mahasiswa
Kesehatan Psikologis mengenai pengaruh
gegar budaya yang
dialami oleh mereka
terhadap aktivitas
sehari-hari dan
akedemi.
44

- Perasaan mahasiswa
Indonesia saat ini
tinggal dan belajar di
Fukuoka.
Sumber: Data Olahan Peneliti, 2017

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data pengalaman

individu. Data pengalaman adalah bahan-bahan mengenai hal apa saja yang

telah dialami individu sebagai warga masyarakat tertentu yang menjadi objek

penelitian (Bungin, 2009). Berdasarkan sumbernya, Sugiyono (2009)

membagi data menjadi dua yaitu sumber primer dan sekunder:

3.4.1. Sumber Primer

Sumber primer adalah data yang langsung di dapatkan oleh pengumpul

data (Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini sumber primer didapatkan melalui

wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para narasumber.

Wawancara mendalam (in-depth interview) adalah proses untuk mendapatkan

keterangan untuk tujuan penelitian dengan bertatap muka dan tanya jawab

diantara pewawancara dengan orang yang diwawancarai (informan), baik

dengan menggunakan pedoman (guide) wawancara atau tidak (Bungin,

2009).

3.4.2. Sumber Sekunder

Sumber sekunder adalah data tidak langsung didapatkan oleh

pengumpul data, salah satu contohnya melalui studi dokumen (Sugiyono,


45

2009). Penelitian ini menggunakan studi dokumen sebagai sumber sekunder.

Dalam penelitian kualitatif studi dokumen adalah pelengkap untuk sumber

primer observasi dan wawancara mendalam (Sugiyono, 2009). Dokumen

adalah catatan kejadian yang telah berlalu, bentuknya dapat berupa tulisan,

gambar atau karya-karya monumental seseorang (Sugiyono, 2009).

3.5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data hasil di lapangan atau wawancara, kemudian membuat tema-

tema, melakukan ringkasan , menyusun ke dalam pola, memilih mana yang

penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah

dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2009). Creswell

(2012) menjelaskan tahapan-tahapan teknik analisis data, terdiri atas:

1. Mempersiapkan dan mengatur data, pada tahap ini data-data yang sudah

terkumpul harus diatur dan rekaman hasil wawancara mendalam diubah

ke dalam bentuk tulisan yaitu transkrip. Selanjutnya peneliti akan

memutuskan data yang diambil akan diolah secara manual atau dengan

komputer.

2. Eksplorasi dan koding data, pada tahap ini peneliti dituntut untuk terus

menerus membaca data yang telah dikumpulkan serta transkrip yang telah

dibuat dan membuat catatan mengenai hal-hal yang menarik dan penting

berdasarkan data tersebut. Peneliti membaca setiap teks data kemudian


46

memberikan label atau kode pada teks. Kode yang diberikan dapat

mengenai nama orang, tempat atau kejadian.

3. Membangun tema dan deskripsi, koding yang telah dilakukan membantu

peneliti untuk mendeskripsikan orang, tempat atau kejadian serta

membangun tema. Akan banyak berbagai tema yang muncul dan saling

berhubungan untuk menjelaskan fenomena yang diteliti.

4. Menyajikan temuan data yaitu tema dan hasil deskripsi dalam bentuk

kronologi, pertanyaan atau penjelasan mengenai pengalaman

narasumber.

5. Interpretasi temuan data, pada tahap ini peneliti memaknai temuan data

serta melihat pola- pola yang muncul antar data.

6. Validitas hasil penemuan, untuk membuat tingkat akurasi penelitian tinggi

maka harus dilakukan validasi seperti auditing, triangulasi atau melibatkan

pengulas eksternal (reviewer eksternal).

3.6. Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan

Dalam penelitian kualitatif data yang digunakan adalah data yang

aktual dan nyata berdasarkan fakta-fakta yang benar ada. Data penelitian

dapat berasal dari berbagi sumber dan menggunakan teknik pengumpulan

data yang beragam sehingga dapat menghasilkan data yang berbeda antar

sumber. Untuk menghindari ketidakpastiaan data maka diperlukan uji

keterpercayaan sumber melalui teknik triangulasi.


47

Triangulasi adalah proses untuk menguji kredibilitas dan keakuratan

penelitian dengan cara memperkuat bukti dari berbagai individu, tipe data,

teknik pengumpulan data atau metode penelitian (Creswell, 2012). Menurut

Sugiyono (2009) triangulasi data terbagi menjadi 3, yaitu:

1. Triangulasi sumber, adalah menguji kredibilitas data melalui pengecekan

data yang telah ada dengan beberapa sumber berbeda. Peneliti mencari

kesamaan, perbedaan serta kespesifikan dari data-data tersebut dan

dibuat kesimpulan. Jika data yang digunakan transkrip wawancara maka

peneliti harus melakukan member check kepada narasumber.

2. Triangulasi teknik, adalah menguji kredibilitas data melalui pengecekan

data yang sama tetapi dengan teknik pengambilan data yang berbeda.

3. Triangulasi waktu, adalah menguji kredibilitas data melalui teknik

pengambilan data dan situasi yang berbeda. Waktu tertentu dianggap

dapat menghasilkan data yang lebih kredibel dibandingakan waktu

lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber sebagai

teknik pemeriksaan keterpercayaan.

3.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa lokasi :

1. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berlokasi di Jalan

Salemba Raya No. 28A, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10430.


48

2. Perpustakaan London School of Public Relations Jakarta yang

berlokasi di Jalan K.H. Mas Mansyur kav. 35, Jakarta, 10220.

3. Perpustakaan Universitas Indonesia yang berlokasi di Kota Depok,

Jawa Barat.

Tabel 3. Tahapan Penelitian


Bulan dan Tahun
Tahapan
No Sept- Okt Nov- Des- Jan- Feb Mar Apr-
Kegiatan
16 -16 16 16 17 -17 - 17 17

Studi
1
Kepustakaan
2 Bab I dan
revisi
3 Bab II dan
revisi
4 Bab III dan
revisi
5 Sidang
proposal
6 Revisi setelah
proposal
7 Wawancara

8 Bab IV dan
Revisi
9 Bab V

Sumber: Data Olahan Peneliti, 2017


49

3.8. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini yang membahas mengenai “Adaptasi

Mahasiswa Indonesia dalam Menghadapi Gegar Budaya di Fukuoka Jepang:

Studi Kasus Mahasiswa Indonesia di Universitas Kyushu” tidak dapat

digeneralisasikan untuk seluruh mahasiswa Indonesia yang berada di

Fukuoka ataupun Jepang karena setiap pengalaman mahasiswa berbeda-

beda. Peneliti menggunakan metode konstruktivisme yang mungkin hasilnya

akan berbeda jika menggunakan metodelogi lainnya serta di dalam penelitian

ini teori yang digunakan adalah Gegar Budaya dan Integrative Communication

Theory serta di dukung dengan teori komunikasi antarbudaya dan dimensi

budaya Hofstede yang sebenarnya dapat diteliti lebih lanjut dengan konsep

dan teori lainnya.


BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

4.1.1. Fukuoka

Fukuoka adalah salah satu kota di Jepang yang berada di pulau Kyushu

yaitu pulau di bagian selatan Jepang. Fukuoka sendiri merupakan ibu kota dari

Prefektur Fukuoka serta menjadi kota terbesar di Kyushu dengan luas daerah

yang mencapai 343,39 km2 (City of Yokohama, 2016). Fukuoka memiliki 7

kecamatan atau dalam bahasa Jepang disebut dengan –ku, yaitu Higashi-ku,

Hakata-ku, Chou-ku, Minami-ku, Jonan-ku, Sawara-ku dan Nishi-ku (PPI

Fukuoka, 2011).

Berdasarkan sensus penduduk di tahun 2015 jumlah populasi di

Fukuoka mencapai 1.555.372 orang dengan komposisi laki laki sebanyak

734.681 dan perempuan sebanyak 820.691 (City of Yokohama, 2016).

Sementara untuk warga negara asing, saat ini terdapat 64.998 warga negara

asing di Fukuoka (Ministry of Internal Affairs and Communication, 2016).

Tabel 4. Jumlah Warga Negara Asing di Fukuoka


No Negara Jumlah

1 Tiongkok 19.600

2 Korea Selatan 15.561

3 Vietnam 8.070

4 Nepal 5.051

50
51

5 Filipina 4.648

6 Amerika Serikat 1.457

7 Korea Utara 1.308

8 Indonesia 971

9 Taiwan 933

10 Thailand 716
Sumber: Ministry of Internal Affairs and Communication, 2016.

Berdasarkan artikel Fukuoka Power 2009 (2009), secara geografis

Fukuoka terletak pada 130°24′06″ bujur timur dan 33°35′24″ lintang

utara serta lokasi yang strategis dikarenakan berdekatan dengan

Busan, Seoul, Taipei dan Beijing . Hal tersebut menyebabkan Fukuoka

menjadi kota pertukaran internasional atau international exchange baik dalam

bidang penerbangan, perdagangan, ekspor, impor serta pendidikan dan

kebudayaan baik dengan Korea Selatan, Tiongkok dan negara-negara Asia

lainnya (Fukuoka Power, 2009).

Gambar 8. Letak Geografis Fukuoka, dari Fukuoka City Promotion, 2009.


52

Fukuoka mendapat banyak keuntungan dari letak geografisnya yang

strategis. Selain disebut sebagai Gerbang Asia, Fukuoka juga

mendeklarasikan diri mereka sebagai Kota Asia Pasifik (Suk, 2000).

Berdasarkan artikel Fukuoka Power 2009 (2009), Fukuoka menjadi pusat

untuk pertukaran budaya dan pendidikan di Asia. Setiap tahunnya diadakan

sebuah acara dengan tema Asia di bidang pendidikan, seni dan budaya yang

dikenal dengan nama Asian Month yang diselenggarakan setiap bulan

September. Selanjutnya, berdasarkan artikel Background on Fukuoka’s Asian

Month (2008) terdapat berbagai acara dalam Asian Month seperti Asia Pacific

Festival yaitu memperkenalkan makanan, minuman serta kesenian tradisional

masing-masing negara. Kemudian ajang penghargaan Fukuoka Asian Culture

Prize yaitu pemberian penghargaan kepada individu atau kelompok yang

memiliki prestasi di bidang akademik, seni dan budaya, serta ajang

penghargaan Focus on Asia – Fukuoka International Film Festival dan Asian

Pacific Festival Fukuoka (Background on Fukuoka’s Asian Month, 2008;

Fukuoka Asian Month, n.d). Acara yang telah dimulai sejak 1990 ini

diharapkan dapat meningkatkan pertukaran budaya, pertukaran pikiran dan

kerjasama diantara Jepang dengan negara-negara Asia lainnya (Suk, 2000;

Fukuoka Asian Month, n.d).

Fukuoka pun juga menjadi salah satu tempat yang sering mengadakan

konferesi tingkat internasional. Berdasarkan data dari Japan National Tourism

Organization, Fukuoka menjadi kota urutan ke-2 setelah Tokyo, sebagai


53

penyelenggara konferensi internasional dengan jumlah 363 konferensi

internasional di tahun 2015 (Fukuoka is no.1, 2016).

Gambar 9. Statistik Konferensi Internasional, dari Fukuoka Facts, 2016

Walaupun berada dibagian selatan Jepang, Fukuoka juga memiliki

daya tarik tersendiri bagi masyarakat baik dalam dan luar negeri. Fukuoka

Tower, Yahoo Dome, Ohorikoen, Tenjin, Hakata, Uminonakamichi dan lainnya

adalah beberapa contoh tempat populer yang ada di Fukuoka. Pada tahun

2016, berdasarkan survei tahunan mengenai kualitas hidup yang dilakukan

majalah Monocle, Fukuoka menempati urutan ke-7 dari 25 kota terbaik di

dunia sebagai kota yang paling nyaman untuk ditinggali (Monocle Magazine,

2016). Hal ini merupakan keberhasilan dari Fukuoka yang sebelumnya

menempati urutan ke-12 di tahun 2015 (Monocle Magazine, 2015).

Dalam artikel Fukuoka - 7th Most Liveable City (2016) disebutkan jika

Fukuoka menjadi kota yang nyaman untuk ditinggali. Hal tersebut dikarenakan

selama dibawah kepemimpinan walikota Takashima, Fukuoka menjadi kota


54

yang semakin ramah bagi para pengendara sepeda, nyaman untuk berbisnis

serta penghijauan yang banyak. Fukuoka menempati urutan pertama sebagai

kota dengan pohon terbanyak di Jepang dengan jumlah 1.852 pohon (Ministry

of Land, Infrastructure, Transport and Tourism 2015).

Tabel 5. Database on Urban Greenery


Kota Jumlah Pohon

Fukuoka 1.852

Yokohama 1.003

Kawasaki 895

Nagoya 861

Kumamoto 626

Sumber: Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism, 2015

Selain itu dalam artikel Fukuoka is No.1 (2016) dikatakan jika faktor lain

yang membuat Fukuoka menjadi kota yang nyaman untuk ditempati adalah

harga konsumen di Fukuoka merupakan harga termurah jika dibandingkan

dengan kota-kota lain di Jepang.

Gambar 10. Consumer price index regional difference in major cities


2015, dari Fukuoka facts, 2016
55

Kenyamanan kota Fukuoka dapat terlihat dalam Community Attitude

Survey on Municipal Government di tahun 2016 (dalam Fukuoka – a great

place to live, 2016) yang menunjukan jika 96,7% masyarakat sangat menyukai

Fukuoka.

Gambar 11. Community Attitude Survey on Municipal Government, dari


Fukuoka Facts, 2016

Banyaknya penduduk lokal serta ditambah dengan warga negara asing,

membuat pemerintah kota Fukuoka memberikan fasilitas tempat tinggal yang

disebut Danchi. Danchi adalah fasilitas perumahan bagi masyarakat yang

terdaftar sebagi warga Fukuoka (PPI Fukuoka, 2011). Berdasarkan PPI

Fukuoka (2011) biaya sewa yang dikenakan oleh Danchi relatif lebih murah

karena pemerintah kota memberikan subsidi, sementara bagi mahasiswa

yang belum memiliki penghasilan atau penghasilan dibawah upah minimum

maka akan diberikan potongan harga sewa yang dapat mencapai 75%. Akan

tetapi kuota dari Danchi terbatas sehingga diberlakukan sistem undian yang

dilakukan 4 bulan sekali, setiap orang yang ingin ikut serta dalam undian
56

Danchi harus mengisi formulir yang harus dapat diambil di kantor kecamatan

setempat (PPI Fukuoka, 2011).


57

4.1.2. Universitas Kyushu

Gambar 12. Logo Universitas Kyushu, dari Google, 2016.

Universitas Kyushu adalah Universitas Negeri di Fukuoka yang

termasuk dalam 7 Universitas Imperial Jepang atau yang dikenal dengan 7

Imperial University (More about Kyushu University, n.d). Universitas Kyushu

pada awalnya adalah sebuah kampus kedokteran Fukuoka yang didirikan

pada tahun 1903, kemudian pada tahun 1911 berubah menjadi Universitas ke

4 Kerajaan (Imperial University) setelah Universitas Tokyo (1886), Universitas

Kyoto (1897) dan Universitas Tohoku (1907) (Kyushu University, 2013 – 2014).

Gambar 13. Garis Besar Sejarah Universitas Kyushu, dari Kyushu University,
2013 – 2014.
58

Berdasarkan data dari World Ranking University (2017), Universitas

Kyushu berada pada kategori 351 – 400 universitas terbaik di dunia dan

menempati urutan ke-45 sebagai universitas terbaik di Asia. Universitas

Kyushu sendiri terbagi menjadi 5 kampus yang tersebar di beberapa

kecamatan, yaitu Kampus Ito yang berada di daerah Nishi-ku, Kampus

Hakozaki dan Maidashi di daerah Higashi, Kampus Ohashi dan Chikusi di

Minami (PPI Fukuoka, 2011).

Universitas Kyushu menyediakan asrama di lingkungan kampus bagi

para mahasiswa. Berdasarkan PPI Fukuoka (2011), fasilitas tersebut hanya

berada di Kampus Ito yaitu Asrama Ito dan Kampus Ohashi yaitu Asrama Ijiri.

Asrama Ito berjarak kurang lebih 200 meter dari kampus sehingga sangat

nyaman bagi para mahasiswa yang sering pulang pergi ke kampus. Asrama

Ito sendiri terdiri dari dua gedung yaitu Ito 1 dan Ito 2. Akses dari asrama itu

sangat mudah karena terdapat bis untuk ke stasiun kereta api terdekat yaitu

Kyudai Gakkentoshi, pusat perbelanjaan dan rumah sakit. Sementara itu

Asrama Ijiri adalah fasilitas asrama yang diprioritaskan bagi para mahasiswa

yang berkuliah di Kampus Ohashi dan Chikusi. Asrama-asrama yang berada

di dekat lingkungan kampus hanya diperbolehkan mahasiswa asing untuk

tinggal maksimal 6 bulan, setelah mereka harus menetap di luar asrama yang

berada di lingkungan kampus (Kyushu University, 2013 – 2014).

Jika masa tinggal di asrama telah habis, para mahasiswa dapat beralih

ke beberapa fasilitas tempat tinggal lain yang masih dikelola oleh pihak

Universitas Kyushu seperti Imajuku International House, Kaikan International


59

Student Dormitory dan Kyudai Gakkentoshi Apato (PPI Fukuoka, 2011).

Namun jumlah kamar yang tersedia terbatas, sehingga para mahasiswa dapat

mencari akomodasi di daerah lain atau dapat mencoba mengikuti Danchi.

Gambar 14. Akomodasi Universitas Kyushu, dari Kyushu University, 2013 –


2014.
Universitas Kyushu berkerja sama dengan universitas-universitas di

negara lain. Untuk Indonesia sendiri, Universitas Kyushu berkerja sama dalam

bidang akademik serta program pertukaran pelajar dengan Universitas Gadjah

Mada (UGM) dan Indonesian Institute of Sciences (LIPI) untuk kerjasama

akademik (Kyushu Unversity, 2013 – 2014).

Berdasarkan data Kyushu University Fast Facts (2015), Universitas

Kyushu terdiri dari 12 Fakultas untuk sarjana dan 18 Fakultas untuk pasca

sarjana. Ditahun 2015 tercatat jumlah keseluruhan mahasiswa, baik program

sarjana dan pasca sarjana mencapai 18.747. Sementara itu jumlah


60

mahasiswa asing di Universitas Kyushu terus mengalami peningkatan, di

tahun 2015 pelajar asing mencapai 2.097.

Gambar 15. Statistik Mahasiswa Asing Universitas Kyushu, dari Kyushu


University Fast Facts, 2015

Pada tahun 2013 tercatat terdapat 112 mahasiswa Indonesia pasca

sarjana dengan 25 diantaranya mendapatkan beasiswa dan 87 mahasiswa

lainnya menggunakan biaya sendiri (Kyushu University, 2013 – 2014).

Gambar 16. Jumlah Mahasiswa Asing Regional Asia di Universitas Kyushu,


dari Kyushu University, 2013 – 2014.
61

4.2. Hasil Analisis Penelitian

Dalam bab ini hasil dari wawancara mendalam dengan para

narasumber ditampilkan. Analisis hasil wawancara menggunakan teori gegar

budaya dan Integrative Communication Theory. Gegar budaya merupakan

salah satu bentuk penyesuaian diri atau adaptasi yang dihadapi oleh setiap

individu ketika berpindah ke lingkungan baru. Kim (1988) mengatakan

terdapat 5 hal yang mempengaruhi proses adaptasi seseorang: 1) Komunikasi

Intrapersonal (Host Communication Competence) 2) Komunikasi

Interpersonal 3) Lingkungan 4) Adaptive predisposition 5) Hasil adaptasi.

4.2.1. Tahap Euforia

Tahap Euforia atau honeymoon stage merupakan tahapan awal dari

gegar budaya yaitu masa-masa dimana para pendatang tiba di lingkungan

baru. Berdasarkan hasil wawancara terlihat jika berbagai perasaan muncul

dalam benak para narasumber ketika tiba di Fukuoka. Perasaan senang dan

takjub terlihat dari beberapa ungkapan narasumber. Mayoritas perasaan dan

pandangan mereka mengenai Fukuoka dan Universitas Kyushu bersifat positif

serta ekspektasi mereka sesuai dan bahkan melebihi dari apa yang mereka

bayangkan sebelumnya.

Salah satu narasumber, Herpin D mengatakan jika ketika di masa awal-

awal kedatangan, Fukuoka melebihi dari ekspektasinya. Berbagai

pengalaman menyenangkan pun dialami oleh narasumber:

“Lebih. Kotanya rapi, cukup metropolitan tapi ada juga pantainya,


gunungnya, desanya, dll. Nyaman untuk ditinggali…tinggal di dormitory
62

yang nyaman, bertemu teman-teman dari berbagai negara, pergi


membuat ID card ke kantor kecamatan yang tertib dan teratur” (Herpin
D, wawancara data primer, 16 Februari 2017).

Sementara narasumber lain, Yuslita Syafia mengatakan jika ketakutan-

ketakutan yang dikhawatirkannya akan terjadi di awal-awal kedatangan,

ternyata tidak terjadi padanya. Selain itu, narasumber juga merasa tertolong

dengan keberadaan mahasiswa asing lainnya:

“Pertama seneng ya waktu pas April, sakura masih mekar masih bagus
banget. Belum pernah liat sakura, terus juga cuacanya enak. Terus
ternyata teman-temannya baik, banyak mahasiswa internasonal. Jadi
walaupun belum bisa bahasa Jepang masih bisa komunikasi pake
bahasa Inggris. Terus gara-gara di kelas intensive course akhirnya
dekat sama banyak orang, kemana-mana bareng. Jalan kesini jalan
kesini, seneng sih malah melebihi ekspektasi kalau aku. Kan kalau dulu
takutnya kayak gini kayak gini, enggak ternyata baik terus juga ada
kantin halal juga jadi terbantulah” (Yuslita Syafia, wawancara data
primer, 13 Februari 2017).

Namun demikian disamping perasaan positif, perasaan kecewa

dirasakan sangat cepat oleh salah satu narasumber disaat awal kedatangan.

Achmad Rachmad mengatakan jika Universitas Kyushu tidak sesuai dengan

ekspektasi yang dimilikinya:

“Labnya gak secanggih bayanganku. Agak kecewa karena seperti


kuburan. Gak ada orang diluar bangunan padahal cuaca bagus. Semua
sibuk di dalam bangunan riset. Kampusku gak ada undergraduate
soalnya, adanya master dan Phd. Tidak seperti kampus di film Amerika”
(Achmad Rachmad, wawancara data primer, 16 - 23 Februari 2017).

Permasalahan bahasa pun juga telah dirasakan oleh beberapa

narasumber diawal-awal kedatangan. Salah satunya diungkapkan oleh Rizki

Fitria yang merasa bingung ketika tiba di Fukuoka:

“Gak tahu apa-apa, liat tulisan-tulisan sama semua kanji kan bingung”

(Rizki Fitria, wawancara data primer, 4 Februari 2017).


63

Sementara itu, perasaan takut diungkapkan oleh Gde Pandhe akibat

tidak menguasai bahasa Jepang:

“Mungkin tidak terhadap Fukuoka secara khusus, melainkan Jepang.


Ada perasaan tertantang sekaligus sedikit takut mengingat di Jepang,
saya akan seperti orang buta dan tuli karena tidak bisa membaca kanji
dan berkomunikasi dalam Bahasa Jepang” (Gde Pandhe, wawancara
data primer, 28 Februari 2017).

Namun demikian, Gde Pandhe menambahkan jika dirinya terbantu

dengan fasilitas bahasa Inggris yang ada di tempat umum:

“…Untuk fasilitas publik seperti transportasi, tersedia terjemahan dalam

Bahasa Inggris sehingga cukup banyak membantu pada saat awal

kedatangan di Fukuoka” (Gde Pandhe, wawancara data primer, 28

Februari 2017).

Untuk fase berikutnya yaitu fase gegar budaya dan adaptasi

mahasiswa akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya dengan

Integrative Communication Theory.

4.2.2. Komunikasi Intrapersonal (Host Communication Competence)

Hasil wawancara menunjukan jika mayoritas para narasumber

mengatakan jika kesulitan terbesar yang mereka alami adalah bahasa Jepang.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kesulitan bahasa bahkan sudah

dirasakan oleh beberapa narasumber ketika baru tiba di Fukuoka. Walaupun

beberapa narasumber mengatakan jika kesulitan bahasa Jepang yang

mereka alami setidaknya dapat teratasi dengan menggunakan bahasa Inggris.

Namun demikian, penggunaan bahasa Inggris di dalam kehidupan sehari-hari


64

di Jepang tidak banyak. Sebagai negara yang tidak menggunakan bahasa

Inggris sebagai bahasa utamanya, masyarakat Jepang sendiri sebagian besar

tidak dapat berbahasa Inggris dengan baik. Akibatnya kesulitan bahasa paling

dirasakan oleh para narasumber, terutama ketika mereka harus berinteraksi

dengan orang-orang Jepang diluar lingkungan kampus yang mayoritas tidak

berbahasa Inggris.

Gde Pandhe mengatakan kesulitannya untuk menyerap informasi

dalam bahasa Jepang:

“Kesulitan terbesar adalah Bahasa Jepang, jadi gak banyak informasi

yang bisa diserap dan bisa jadi salah paham karena orang Jepang juga

tidak banyak yang bisa memahami bahasa Inggris” (Gde Pandhe,

wawancara data primer, 28 Februari 2017).

Narasumber lain, Rizki Fitria menceritakan pengalamannya saat di

awal-awal kedatangan:

“Bahasa Jepang sih, terutama kalau mau daftar-daftar gitu, semua


dokumen-dokumen berbahasa Jepang. Kalau gak ada supporternya
pasti kesulitan. Naik kendaraan agak sulit juga, kalau gak ada nemenin
cukup sulit kalau mau naik kereta atau bis. Dulu pas pertama kali naik
bus dari asrama ke kampus, di hari sebelumnya diceritain nanti 14 halte
dari asrama, terus aku hitungin kan bahasa Jepang semua tulisannya
dan untung gak nyasar” (Rizki Fitria, wawancara data primer, 4 Februari
2017).

Terbatasnya kemampuan bahasa Jepang yang dimiliki membuat Rizki

Fitria juga menceritakan kesulitannya ketika berkomunikasi dengan orang

Jepang:

“kalau misalkan aku ajakin mereka ngobrol pake bahasa Jepang dikit,

eh mereka cerita deh panjang, terus kadang aku gak ngerti bahasa
65

Jepangnya, banyak banget” (Rizki Fitria, wawancara data primer, 4

Februari 2017).

Kesulitan bahasa juga di alami oleh para narasumber dibidang

akademik. Yuslita Syafia menceritakan kesulitannya ketika harus menghadiri

beberapa seminar atau presentasi yang menggunakan bahasa Jepang:

“…Balik lagi ke bahasa kan memang ada beberapa seminar yang harus
diikuti dan itu pakenya bahasa Jepang. Terus kadang-kadang kalau
temen sekelasnya bukan banyak mahasiswa internasional, misalnya
orang Jepang ataupun orang Cina itu mereka kalau presentasi kan
bilingual, boleh bahasa Inggris boleh bahasa Jepang. Nah kebanyakan
mereka pake bahasa Jepang, lebih sulit buat ngerti. Yang mereka
omongon tuh apa sih gitu. Tau sih sedikit-sedikit tapi gak bisa nutup,
gak bisa banyak yang bisa diketahui dari situ. Kendalanya tetep bahasa.
Walaupun sebenernya aku ikut kelas internasional, cuma memang ada
beberapa mata kuliah yang ikut itu orang Jepang sama orang Cina.
Mereka bahasa Jepangnya bagus-bagus, mereka lebih pede kalau
pake bahasa Jepang. Jadinya ya itu” (Yuslita Syafia, wawancara data
primer, 13 Februari 2017).

Permasalahan bahasa Jepang dalam bidang akademik pun juga

dirasakan oleh Herpin D yang sebelumnya pernah tinggal di Tokyo selama 13

tahun:

“Bahasa Jepang, terutama untuk bidang akademik karena

menggunakan level yang begitu tinggi (scientific)” (Herpin D,

wawancara data primer, 16 Februari 2017).

Hambatan bahasa Jepang menjadi masalah yang dihadapi oleh para

narasumber, baik narasumber yang sudah memiliki kemampuan bahasa

Jepang ataupun tidak dalam kegiatan sehari-hari serta akademik mereka.

Pentingnya kemampuan berbahasa Jepang dirasakan oleh seluruh

narasumber dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan berinteraksi dengan


66

orang-orang sekitar mereka. Salah satunya seperti dikatakan oleh Achmad

Rachmad yang mengungkapkan pentingnya berbahasa Jepang untuk hidup

di Jepang:

“…tanpa Bahasa Jepang hidup di Jepang sangatlah tidak efektif”

(Achmad Rachmad, wawancara data primer, 16 – 23 Februari 2017).

Hal senada juga diungkapkan oleh Rizki Fitria, jika bahasa Jepang

sangat berguna sekali terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang di luar

lingkungan universitas:

“Ya membantu sekali ya, sekitar 70%. Jadi kalau misalnya aku lagi nyari
barang, aduh mbak ini saya gak bisa baca tolong cariin ini dong, tapi
ngomong dalam bahasa Jepang. Itu udah membantu banget mereka
mau nolongin biasanya, orang Jepang mah baik-baik…Iya membantu
banget sih, ke kantor-kantor kecamatan, ngurus-ngurus apa. Mereka
bahasa Inggris juga gak terlalu bisa, jadi kalau kita bisa bahasa Jepang
paling enggak bisa dibacain gitu kan, terus kita ngerti artinya lumayan
lah bisa ngerti. Terutama kalau di kampus sih banyak yang bisa bahasa
Inggris. Kalau diluar gak banyak” (Rizki Fitria, wawancara data primer,
4 Februari 2017).

Mengenai cara mengatasi kesulitan bahasa, para narasumber

berusaha mempelajari bahasa Jepang baik secara otodidak atau mengikuti

kelas bahasa Jepang. Yuslita Syafia mengatakan jika sebagai penerima

beasiswa MEXT, selama 6 bulan pertama mereka mendapatkan kelas intensif

bahasa dan kebudayaan Jepang:

“Karena dapet beasiswanya dari MEXT, dapet sekolah buat bahasa


Jepang kelas intensif selama 6 bulan. Jadi 6 bulan pertama disini
belajar bahasa Jepang, kebudayaan Jepang, terus kalau ada hari-hari
raya tertentu misalnya hari ini perayaan ini terus kita juga sama-sama
berpartisipasi. Kita juga latihan bikin kaligrafi, tanabata. Intinya dikasih
bekal buat hidup sehari-hari di Jepang” (Yuslita Syafia, wawancara data
primer, 13 Februari 2017).
67

Selain itu, meminta bantuan dari penutur asli pun menjadi salah satu

solusi yang dapat digunakan. Rizki Fitria mengatakan jika dia tidak segan

untuk bertanya kepada teman Jepang atau orang Jepang yang berada

disekitarnya:

“…Jadi kalau misalnya aku lagi nyari barang, aduh mbak ini saya gak
bisa baca tolong cariin ini dong, tapi ngomong dalam bahasa Jepang.
Itu udah membantu banget mereka mau nolongin biasanya, orang
Jepang mah baik-baik. Terus kalau misalnya mereka cerita, terus
ditengah-tengah ada kata yang gak aku ngerti, biasanya aku tanya,
misalnya ngomong apa, itu apa artinya. Nanti mereka jelasin dulu.”
(Rizki Fitria, wawancara data primer, 4 Februari 2017).

Selain hambatan bahasa, kesulitan komunikasi lainnya yang sering

ditemui oleh para narasumber ketika berbicara dengan orang Jepang adalah

gaya komunikasi implisit masyarakat Jepang. Berdasarkan hasil wawancara,

mayoritas para narasumber mengatakan jika masyarakat Jepang lebih

tertutup dan tidak langsung (implisit) dibandingkan dengan masyarakat

Indonesia yang lebih terbuka dan berterus terang dalam menyampaikan

pesan.

Yuslita Syafia menjelaskan mengenai honne tatemae yaitu bagaimana

cara orang Jepang mengungkapkan perasaannya, dimana apa yang mereka

pikirkan sebenarnya berbeda dengan apa yang diungkapkan di depan umum:

“Pernah denger gak honne tatemae? Sebenernya bukan cuma Jepang


sih yang punya, ini kayak human nature. Tapi Jepang tuh udah punya
namanya sendiri, termnya sendiri. Jadi honne apa yang mereka pikirin,
apa yang mereka rasain, bener-bener jujur hati mereka. Nah tatemae
itu yang mereka tunjukan ke orang lain. Misalnya dia bilang gak setuju,
tapi di tatemaenya mereka bilang iya, iya itu bagus, setuju, setuju.
Kayak gitu, mereka ngomong gak pernah direct. Sama sih kayak
budaya timur, banyak kan yang budaya timur kayak gitu. “Oh iya ini
bagus ini cantik ini menarik” tapi dibelakang ngomongnya beda. Nah
yang kayak gitu yang bikin bingung. Misalnya senseinya bilang oh iya
68

ini bagus, ini bagus, saya setuju kalo risetnya dibawa kesini tapi tiba-
tiba dibelakang ada ternyata kayak gini, ternyata kayak gitu” (Yuslita
Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

Lebih lanjut Yuslita menambahkan jika orang Jepang bahkan sulit

untuk mengatakan tidak terhadap orang lain:

“Mereka indirect, kayaknya mereka terluka sendiri gitu kalau dimintain


tolong terus bilang enggak. Kalau yang gak bener-bener deket, misal
kita minta ditemenin kesini. Walaupun mungkin buat mereka sibuk,
mereka lagi sibuk atau mereka lagi harus ngerjain sesuatu, mereka
bakalan bilang mmmm… boleh. Gak bisa bilang enggak kayaknya
susah gitu kalau enggak. Ya walaupun mungkin mereka bilang mmm..
chotto muzukashii itu artinya sedikit susah tapi yaudah boleh” (Yuslita
Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

Gaya komunikasi orang Jepang yang bersifat implisit atau tidak

langsung, kerap membuat beberapa narasumber bingung dan bisa

menyebabkan kesalahpahaman, seperti yang diungkapkan oleh Gde Pandhe

berikut:

“Cara orang Jepang yang biasanya mengambil “jalan memutar” dalam

menyampaikan keinginan tertentu, yang sering kali bisa berakhir salah

tafsir jika kita tidak pandai dalam menerka keinginan tersebut” (Gde

Pandhe, wawancara data primer, 28 Februari 2017).

Mengenai cara mereka mengatasi masalah komunikasi implisit ini,

Yuslita Syafia mengatakan jika diperlukannya kesadaran dari diri sendiri

terutama ketika meminta bantuan kepada orang Jepang:

“Kitanya yang harus tau diri karena mereka terlalu baik, jadinya kita
harus tau diri ini proper gak kalo minta bantuan kayak gini. Kalo mereka
udah bilang mmm.. oh yaudah-yaudah gak papa, kalo aku sih. Kalo aku
kan gak enakan orangnya” (Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13
Februari 2017).
69

Sementara itu, Gde Pandhe mengatakan jika selain bahasa verbal,

bahasa non-verbal lawan bicara juga perlu diperhatikan untuk memahami

maksud mereka:

“Jadi untuk memahami perasaannya, selain dari pola bahasa yang


digunakan, saya juga memperhatikan mimik muka apakah lawan bicara
tersebut sedang bercanda, serius, atau kurang nyaman dengan
komunikasi yang kita lakukan” (Gde Pandhe, wawancara data primer,
28 Februari 2017).

4.2.3. Komunikasi Sosial (Komunikasi Interpersonal)

Terkait dengan host interpersonal communication, intensitas

komunikasi para narasumber dengan orang-orang Jepang baik di dalam dan

diluar kampus berbeda-beda. Yuslita Syafia mengatakan jika intensitas

berkomunikasi dengan orang Jepang sangat sering terutama di lingkungan

kampus:

“Gak bisa mersenin ya, tiap hari sih. Kalau di departemen kan emang
gak ada orang Indonesia kecuali aku. Jadi kalau lagi gak ketemu sama
orang Indonesia ya ngomongnya sama orang Jepang. Tapi kalau sama
orang Indonesia, ya ngomong sama orang Indonesia. Tergantung
kebutuhan sih. Tapi hampir tiap hari kok ngomong sama orang
Jepang…Lebih ke akademik kayak udah presentasi belum, gimana
presentasi kemarin, senseinya bilangnya apa, abis ini mau lanjut
kemana, mau nyari kerja dimana (Yuslita Syafia, wawancara data
primer, 13 Februari 2017).

Sementara itu Gde Pandhe mengatakan jika interaksinya dengan

masyarakat Jepang lebih besar di luar lingkungan kampus:

“40% saya berinteraksi dengan orang Jepang di dalam kampus.


Interaksi di luar kampus sekitar 80% dengan orang Jepang… Biasanya
terkait dengan kegiatan di kampus dan penelitian, terkait dengan
pengurusan administrasi, dan petunjuk untuk menuju suatu lokasi”
(Gde Pandhe, wawancara data primer, 28 Februari 2017).
70

Namun hal berbeda diungkapkan oleh Rizki Fitria yang mengatakan

jarang berkomunikasi dengan orang Jepang:

“Wah keseringan ngomong sama orang Indonesia sih, soalnya ada


roommatenya orang Indonesia. Mungkin 20%, 80% kayaknya. Terus di
grup risetku, juga kami ber-4. Orang Jepangnya cuma 1, yang dua lagi
orang Cina. Jadi ngobrolnya tetep bahasa Inggris juga… Urusan lab,
untuk komunikasi kehidupan sehari-hari kalo belanja-belanja, naik-naik
transportasi umum, ada sih tulisan bahasa inggrisnya kalo di stasiun,
terminal” (Rizki Fitria, wawancara data primer, 4 Februari 2017).

Sering atau tidaknya para narasumber berbicara dengan orang Jepang

dalam bahasa Jepang, tentu akan mempengaruhi kemampuan bahasa

Jepang mereka. Semakin sering mereka berkomunikasi dalam bahasa

Jepang, maka akan semakin cepat mereka memahami bahasa Jepang. Tidak

hanya itu pengetahuan afektif serta operasional akan semakin meningkat.

Mereka dapat mengetahui bagaimana cara untuk merespon sesuai dengan

kepantasan dalam masyarakat Jepang.

Walaupun intensitas komunikasi para narasumber bervariasi, namun

berdasarkan hasil wawancara terlihat jika mayoritas komunikasi yang

dilakukan dengan teman Jepang lebih mengarah pada hal-hal akademik.

Sementara untuk hal-hal diluar akademik hanya sebatas pada administrasi,

arah dan keperluan sehari-hari lainnya. Dapat dikatakan jika hubungan yang

terjalin diantara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa Jepang hanya

sebatas pada pertemanan biasa atau teman kampus. Tidak ada komunikasi

yang mendalam diluar bidang akademik yang dilakukan oleh para narasumber

dengan orang-orang Jepang.


71

Bukti lain dapat dilihat ketika mereka ditanya mengenai orang yang

paling sering diajak berbicara ketika menghadapi permasalahan, mayoritas

mereka menjawab jika mengenai masalah akademik mereka akan

berkonsultasi dengan teman Jepang sementara untuk hal diluar itu mereka

lebih nyaman untuk menceritakannya kepada sesama teman atau ekspatriat

Indonesia. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Rizki Fitria:

“Tergantung, kalau masalah pribadi ke teman Indonesia, tapi kalau

masalah lab ke temen Jepang (Rizki Fitria, wawancara data primer, 4

Februari 2017).

Berkomunikasi dengan sesama teman Indonesia pun menjadi salah

satu cara yang dilakukan oleh Gde Pandhe dan Yuslita Syafia ketika sedang

merasa rindu kampung halaman (homesick):

“Ngobrol dengan rekan Indonesia dan komunikasi intensif dengan

orang tua dan keluarga” (Gde Pandhe, wawancara data primer, 28

Februari 2017).

“Kalau misalkan masih homesick kalau liat foto-foto nangis. Mending

nonton film, nonton drama, ngobrol sama teman biar lupa sama

homesicknya” (Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13 Februari

2017).

Selanjutnya mengenai aktivitas berkumpul dengan teman-teman

Jepang dan Indonesia, mayoritas para narasumber menjawab jika mereka


72

lebih sering berkumpul dengan orang-orang Indonesia dibandingkan dengan

orang-orang Jepang. Seperti yang diungkapkan oleh Gde Pandhe:

“Sepertinya sejauh ini saya lebih banyak berkumpul dengan orang-


orang Indonesia ketimbang orang-orang Jepang. Kegiatan berkumpul
dengan orang Jepang biasanya dilakukan ketika ada pesta di lab, atau
ada kegiatan olahraga bersama” (Gde Pandhe, wawancara data primer,
28 Februari 2017).

Hal serupa juga dikatakan oleh Rizki Fitria yang mengatakan jika

sangat jarang untuk pergi bersama dengan teman Jepang:

“Jarang hangout sama teman Jepang soalnya dia laki-laki. Jadi satu
grup riset itu cuma aku doang yang cewek. Yaudah di lab doang paling
ngobrol-ngobrolnya. Kalau sama temen Indonesia sendiri sering banget
apalagi roommate. Terus kan ada PPI juga, Persatuan Pelajar
Indonesia. Sering ikut kumpul-kumpul, banyak kegiatan PPI. (Rizki
Fitria, wawancara data primer, 4 Februari 2017).

Rendahnya intensitas kegiatan bersama dengan orang-orang Jepang

juga diungkapkan oleh Herpin D:

“Bertemu tetanga Jepang di kerja bakti lingkungan. 1 bulan 1 kali”

(Herpin D, wawancara data primer, 16 Februari 2017).

Keberadaan komunitas Persatuan Pelajar Indonesia atau PPI Fukuoka

menjadi salah satu tempat bagi para narasumber untuk bertemu dan

berkomunikasi dengan sesama mahasiswa Indonesia lainnya. PPI Fukuoka

juga dirasa sangat membantu untuk beradaptasi oleh para mahasiswa. Gde

Pandhe dan Yuslita mengungkapkan pentingnya PPI Fukuoka bagi mereka

sebagai berikut:

“PPI Fukuoka memberikan kesempatan saya untuk melepas kangen


dalam berkomunikasi dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti
melalui berbagai kegiatan yang diselenggarakan. Selain itu, PPI
Fukuoka juga menjadi wadah untuk bertanya terkait tips and trick,
73

ataupun informasi untuk bertahan hidup di Jepang” (Gde Pandhe,


wawancara data primer, 28 Februari 2017).

“Helpful banget ya, sangat membantu banget. Dari segi akademik,


kehidupan sehari-hari, dikasih tips-tipsnya, baik-baik. Acaranya juga
banyak yang nyenengin. Kalo misalkan enggak ada PPI Fukuoka
kayaknya bakal sengsara deh. Gak ada temen, gak ada temen
senegara, gak ada yang bantu kalo misalkan ada masalah” (Yuslita
Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

Selain berkomunikasi secara langsung dengan orang-orang Jepang

atau Indonesia, beberapa narasumber juga menggunakan media massa

sebagai salah satu cara untuk menambah kemampuan bahasa Jepang, salah

satunya diungkapkan oleh Achmad Rachmad:

“Cukup sering, terutama film anime dan game… Cukup membantu,

karena membantu untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Jepang”

(Achmad Rachmad, wawancara data primer, 16 – 23 Februari 2017).

Selain menambah kemampuan bahasa, melalui media massa dapat

memberikan pemahaman mengenai budaya Jepang. Seperti yang

diungkapkan oleh Herpin D:

“Membaca artikel di internet, tapi tidak sering. TV dulu sering, tapi tak
ada lagi karena ada anak-anak jadi tidak memakai tv di rumah.
Koran/pamphlet dari kota fukuoka cukup sering… Cukup membantu
memahami budaya Jepang dan berita update” (Herpin D, wawancara
data primer, 16 Februari 2017).

4.2.4. Lingkungan

Sebagai orang asing, secara umum penilaian mayoritas narasumber

terhadap masyarakat Jepang khususnya Fukuoka adalah ramah, baik dan

suka menolong. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan pengalaman dari


74

beberapa narasumber. Achmad Rachmad menceritakan pengalamannya

ketika dibantu oleh orang Jepang:

“…Membantu kalau lagi tersesat, aku malah pernah dikasih duit karena

lupa bawa duit” (Achmad Rachmad, wawancara data primer, 16 – 23

Februari 2017).

Pengalaman yang serupa diceritakan oleh Rizki Fitria ketika diantarkan

oleh orang Jepang ke tempat tujuan:

“…Kan aku pernah sendirian nyari tempat, terus nanya orang dijalan,

eh dianterin sampai nyampe. Terus aku nanya barang di lab, ini dimana

eh dianterin lagi ke lab yang satunya padahal jauh. Aku jadi terharu.

(Rizki Fitria, wawancara data primer, 4 Februari 2017).

Namun di sisi lain, beberapa narasumber melihat jika masyarakat

Jepang dinilai kurang bersosialisasi dengan orang baru terutama dengan

orang asing. Hal tersebut diungkapkan oleh Achmad Rachmad berikut berikut:

“…Orangnya juga pasif. Gak terlalu talkative, gak terlalu socialize sama
orang baru. Harus dirayu dulu, terutama sama foreigner…Orang
Indonesia sering berkomunikasi dengan mahasiswa asing lainnya.
Orang Jepang biasanya hanya berkomunikasi sesama orang Jepang
(Achmad Rachmad, wawancara data primer, 16 – 23 Februari 2017).

Narasumber lain, Herpin D mengatakan hal yang serupa:

“Mereka juga cenderung tertutup, tapi hangat kalau kita telah mengenal

baik…Caranya kita mulai lebih dahulu berbicara dan mendekati agar

mereka nyaman berteman dengan kita” (Herpin D, wawancara data

primer, 16 Februari 2017).


75

Berdasarkan ungkapan dari narasumber diatas terlihat jika diperlukan

inisiatif dari lawan bicara ketika ingin berkomunikasi atau berinteraksi dengan

orang-orang Jepang. Kurang bersosialisasinya masyarakat Jepang dengan

orang-orang asing dapat dihubungkan dengan hambatan bahasa. Tidak dapat

dipungkiri jika permasalahan bahasa ikut mempengaruhi sikap mereka

terhadap orang asing. Rizki Fitria mengatakan jika orang Jepang menjadi

pemalu dan pasif ketika bertemu dengan orang asing:

“Kalau orang Jepang nih, pemalu apalagi kalau sama orang asing.

Kalau misalnya kita gak tau bahasa Jepang, biasanya mereka pendiem.

Itu salah satu karakternya orang Jepang. Kata temenku itu takut salah

bahasa Inggrisnya” (Rizki Fitria, wawancara data primer, 4 Februari

2017).

Gde Pandhe mengatakan jika diperlukan sikap proaktif ketika ingin

berbicara dengan orang Jepang:

“Orang Jepang lebih bersikap pemalu terhadap orang asing, sehingga

kita perlu lebih proaktif dalam berkomunikasi. Terlebih mereka

biasanya malu karena tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang

memadai” (Gde Pandhe, wawancara data primer, 28 Februari 2017).

Namun demikian, terlepas dari hambatan bahasa beberapa

narasumber merasa rasa jika cukup banyak orang-orang Jepang yang

menunjukan ketertarikan terhadap orang asing. Seperti yang diungkapkan

oleh Yuslita Syafia:


76

“…Tapi ada juga banyak orang Jepang hobi belajar bahasa Inggris, jadi
kalau ada orang asing dideketin diajak ngobrol. Aku udah beberapa kali
diajak ngobrol sama orang Jepang. Kebanyakan bukan yang muda sih,
ibu-ibu, bapak-bapak yang lagi seneng-senengnya ngomong pake
bahasa Inggris kan, diajak ngobrol dari mana terus ngapain” (Yuslita
Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

Hal serupa dikatakan oleh Gde Pandhe:

“Sebagai orang asing, mereka bisa dibilang tertarik untuk mengenal


saya, beberapa orang malah mencoba berkomunikasi dengan
meskipun tidak memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang memadai,
mereka ingin tahu saya dari negara mana” (Gde Pandhe, wawancara
data primer, 28 Februari 2017).

Selanjutnya adalah mengenai agama. Sebagi negara dengan

mayoritas non-muslim, gegar budaya dalam hal agama pun dialami oleh

beberapa narasumber. Jika di Indonesia yang notabene masyarakatnya

adalah mayoritas Muslim, makanan-makanan halal serta tempat sholat sangat

mudah untuk ditemukan. Namun di Fukuoka, sulitnya makanan halal serta

terbatasnya tempat ibadah untuk sholat menjadi kesulitan yang dialami oleh

narasumber yang beragama Islam. Berdasarkan salah satu keterangan

narasumber, di Fukuoka hanya terdapat 1 masjid yang terletak di dekat

Kampus Hakozaki. Selain terbatasnya tempat ibadah, kesulitan yang

dirasakan adalah waktu perkuliahan yang terkadang berbenturan dengan

waktu ibadah (sholat), seperti yang dialami oleh Yuslita Syafia:

“Terus soal waktu, kadang kalau kuliah tuh jam-jamnya bisa clash sama

waktu sholat jadi harus disesuaikan benar-benar. Kadang sampai lari-

lari, biar bisa ngejar sholat” (Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13

Februari 2017).
77

Namun demikian sebagai kelompok minoritas di Jepang, beberapa

narasumber khususnya yang beragama Islam melihat jika masyarakat Jepang

memiliki toleransi terhadap perbedaan agama. Seperti yang diungkapkan oleh

Rizki Fitria:

“Kalau tentang sholat, di lab kalau kita ngomong sama senseinya / pak
gurunya itu dikasih tahu jadi “oh ya boleh sholat” dan bisa sholat dimana
aja. Terus kadang ditanya-tanya tentang isis, tapi orang Jepang baik-
baik sih. Orang Jepang sama agama gak terlalu sensitif. Kalau misalkan
pergi dan mau sholat gitu, cari-cari pojokan aja, wudhu di westafel toilet,
mereka baik-baik aja, gak ada masalah…misalnya ada perpisahan
temen habis sidang di lab, biasanya kan ada makan-makan, udah
dikasih makanan yang halal” (Rizki Fitria, wawancara data primer, 4
Februari 2017).

Hal serupa juga dikatakan oleh narasumber lain mengenai toleransi

orang Jepang terhadap agama:

“Sebenernya orang sini lebih toleran soal agama. Lebih banyak yang
mau tau Islam tuh kayak gimana sih. Kenapa sih harus sholat 5x sehari,
terus kalau misalkan waktunya sholat, lagi jalan-jalan sama temen.
“Sholat dulu ya”, “iya”. Jadi kita menepi, cari tempat sholat di
sembarang tempat yang kira-kira sepi dan bersih…Malah kalau
misalkan belum sholat, dibilang udah sholat belum kayak gitu. Lebih
toleran” (Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

Terbatasnya masjid dan tempat ibadah sholat menyulitkan bagi para

mahasiswa laki-laki muslim khususnya bagi mereka yang tidak berada di

kampus Hakozaki, ketika mereka harus melaksanakan sholat Jumat. Namun

demikian pihak Universitas Kyushu memberikan bantuan untuk mengadakan

sholat Jumat, seperti yang diungkapkan oleh Achmad Rachmad:

“Ada kok disini di kampus. Pinjam ruangan serbaguna sholat bareng.”

(Achmad Rachmad, wawancara data primer, 16 – 23 Februari 2017).


78

Disamping pengalaman positif mengenai perbedaan agama,

pengalaman kurang menyenangkan pun dialami oleh satu narasumber. Rizki

Fitria menceritakan pengalamannya mengenai stereotip tentang Islam

terhadap dirinya:

“tapi jarang sih kalau yang negatif cuma pernah di Seven Eleven pas

lagi ada Isis-Isis gitu, ada yang bisik-bisik ada orang islam” (Rizki Fitria,

wawancara data primer, 4 Februari 2017).

Sebagai orang asing, tidak jarang pula para narasumber diperlakukan

berbeda oleh orang-orang Jepang. Salah satu dari narasumber, Rizki Fitria

bahkan mengatakan jika dirinya sebagai mahasiswa asing mendapatkan

keringanan selama di kampus:

“Kalau di lab biasanya orang asingnya gak terlalu dikasih banyak tugas.
Biasanya anak lab, anak Jepangnya itu disuruh macem-macem di lab,
disuruh ngurus-ngurus bahan-bahan. Itu kan yang ngurusin anak
Jepang semua, kalau orang asing sih enggak (Rizki Fitria, wawancara
data primer, 4 Februari 2017).

Berbeda dengan narasumber sebelumnya, Achmad Rachmad lain

mengalami kejadian kurang menyenangkan ketika berada di kampus:

“Aku kadang merasa kena diskriminasi. Abis kalau siswa Jepang yang
buat salah gak terlalu dimarahin, ketawa ketawa aja mereka. Tapi pas
aku yang buat salah kayaknya dibesar-besarkan kadang males juga sih
pengen out aja. Kurang ajar banget kadang gw pikir. Mungkin juga
karena orang Jepang bayar, sedangkan aku beasiswa” (Achmad
Rachmad, wawancara data primer, 16 – 23 Februari 2017).

Untuk membantu mahasiswa asing, pihak universitas memberikan

berbagai dukungan untuk para mahasiswanya. Setiap mahasiswa asing

mendapat supporter atau pendamping selama 3 bulan pertama, pihak

universitas juga mengadakan orientasi dan menyediakan informasi dalam


79

bahasa Inggris. Bantuan dari pihak universitas dirasakan oleh para

narasumber sangat membantu mereka untuk beradaptasi.

Salah satu narasumber, Gde Pandhe menceritakan mengenai

banyaknya bantuan untuk mahasiswa asing:

“Pihak kampus memberikan berbagai fasilitas untuk beradaptasi


dengan lingkungan kampus misalnya dengan memberikan seorang
supporter yang membantu saya beradaptasi dengan lingkungan baru
selama beberapa bulan awal disini. Selain itu, beberapa informasi
penting terkait dengan keselamatan dan akademis juga tersedia dalam
bahasa Inggris sehingga tidak menyulitkan saya yang tidak memiliki
kemampuan bahasa Jepang” (Gde Pandhe, wawancara data primer,
28 Februari 2017).

Narasumber lain, Yuslita Syafia menceritakan bentuk-bentuk dukungan

dari kampus bagi para mahasiswa:

“Mereka punya International Spot Center kalo misalkan kita butuh


bantuan untuk translate dokumen atau ngisi surat-surat, formulir-
formulir yang semuanya pake kanji bisa dateng ke Spot Centernya
untuk minta tolong. Jadi secara keseluruhan cukup terbantu. Sama
sistem Universitasnya, sama ada klinik buat mahasiswa, kalo misalkan
pengen curhat nih ada masalah-masalah ini itu juga ada layanannya.
Jadi Universitasnya sangat support buat mahasiswanya, buat tetep
bisa produktif, tetep sehat. Terus juga banyak bantuan banyak
beasiswa. Terus kalo misalkan mau publish paper, misalnya butuh
proof reader kan harus bayar, mereka sediain duit. Secara
kesimpulannya mereka memang ingin menjadi lebih internasional,
menjadi go international. Jadi mereka tempuh banyak cara supaya
mahasiswanya bisa lebih berkualitas (Yuslita Syafia, wawancara data
primer, 13 Februari 2017).

Pihak kampus pun tidak hanya menjelaskan hal-hal yang berhubungan

dengan internal kampus, tetapi juga mengundang pihak-pihak eksternal yang

berhubungan dengan keperluan-keperluan mahasiswa, seperti yang

diungkapkan oleh Rizki Fitria:

“Orientasi ada juga di kampus sama diasrama. Ada acara perkenalan


sesama mahasiswa baru di asrama. Terus kalau harus mau buka
80

rekening bank, mereka juga ada datang ke kampus, jadi mereka pakai
bahasa Inggris. Kan kalau disini harus punya rekening bank untuk beli
hp. Sama yang jualan hp ke kampus juga promosi dalam bahasa inggris,
terus juga agen-agen apartemen, kos-kosan itu juga diundang ke
kampus. Banyak bantuan untuk mahasiswa asing” (Rizki Fitria,
wawancara data primer, 4 Februari 2017).

4.2.5. Adaptive Predisposition

Mengenai persiapan mahasiswa sebelum datang ke Fukuoka,

sebagian besar narasumber mengatakan jika mereka sudah tidak asing

dengan Jepang dan mengetahui sekilas tentang Jepang melalui film, anime

(kartun Jepang), drama, serta cerita orang lain. Mengenai persiapan bahasa

Jepang mereka, mayoritas narasumber menjawab hanya mempelajari sedikit

bahasa Jepang dan hanya mengetahui ungkapan-ungkapan dasar.

Keberadaan mahasiswa Indonesia lainnya yang telah berada di

Fukuoka pun juga menjadi salah satu bantuan untuk mempersiapkan diri

sebelum berangkat ke Fukuoka. Hal tersebut diungkapkan oleh Gde Pandhe

yang mengatakan jika sebelum pergi ke Fukuoka, dia terlebih dahulu

menghubungi mahasiswa Indonesia lainnya yang berada di lab yang sama:

“Sebelum berangkat saya diberikan informasi oleh sekretaris prof.


terkait dengan beberapa orang Indonesia yang ada di dalam lab yang
sama. Jadi saya coba kontak mereka terkait hal-hal yang mungkin saya
perlu bawa dari Indonesia, terkait makanan, pakaian, suhu terendah,
dan perlengkapan pribadi” (Gde Pandhe, wawancara data primer, 28
Februari 2017).

Selanjutnya mengenai perbedaan yang ada diantara Jepang dan

Indonesia, perbedaan-perbedaan yang dirasakan oleh narasumber seperti

bahasa, cuaca, makanan dan karakteristik dari masyarakat Jepang. Ketika

ditanya mengenai perbedaan mencolok diantara budaya Jepang dan


81

Indonesia, jawaban para narasumber adalah tingkat kedisiplinan dan

ketertiban di Jepang yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Salah satunya

diungkapkan oleh Gde Pandhe:

“Menurut saya perbedaan yang mencolok adalah disiplin, kepatuhan

terhadap aturan dan prosedur yang berlaku, dan menempatkan

ketertiban umum dan kepentingan orang lain diatas segalanya” (Gde

Pandhe, wawancara data primer, 28 Februari 2017).

Namun demikian dalam kehidupan sosial, beberapa narasumber

merasa jika budaya kekeluargaan dan hubungan sosial di Jepang kurang

dirasakan oleh mereka. Seperti yang dikatakan oleh beberapa narasumber

yaitu Yuslita Syafia dan Herpin D mengenai sifat budaya individualis di

Jepang:

“Kalau di Indonesia, tetangga sampai mana-mana tuh tau. Ini anaknya


bapaknya ini, ini nama Pak RTnya. Kalau disini, temen sebelah kamar,
temen sebelah apartemen aja gak tau, gak pernah liat. Bener-bener iya
sih negara timur, tapi Individualis gitu. Sama orang sebelah aja gak tau”
(Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

“…Lingkungan pertetanggan kurang akrab, kurang guyub, individual

style. Indonesia lebih akrab dan guyub.” (Herpin D, wawancara data

primer, 16 Februari 2017).

Terkait dengan sikap dan pandangan para narasumber mengenai

perbedaan yang ada di antara budaya Jepang dan Indonesia, semua

narasumber menanggapinya dengan bijaksana. Perbedaan tingkat

individualisme di antara Jepang dan Indonesia tidak menghalangi para


82

narasumber untuk bersosialisasi dengan orang-orang Jepang disekitarnya.

Salah satunya diungkapkan oleh Herpin D sebagai berikut:

“Tetap berpikir positif…Aku tetap berbuat baik kepada tetangga, mengirim

makanan dan mengobrol. Jadi akhirnya lebih akrab dan nyaman” (Herpin

D, wawancara data primer, 16 Februari 2017).

Narasumber lain, Rizki Fitria melihat perbedaan budaya yang ada menjadi

hal positif untuk dirinya:

“Apa ya, malah seneng sih kalo aku ya. Soalnya ternyata lebih banyak
positifnya orang Jepang itu dibandingkan saya sendiri. Malah kayaknya
saya merasa lebih, dulu saya orangnya suka aneh-aneh sekarang
kayaknya malah jadi kalem” (Rizki Fitria, wawancara data primer, 4
Februari 2017).

Gde Pandhe menunjukan sikap keterbukaan terhadap perbedaan

budaya:

“Perbedaan yang ada saya pandang sebagai bagian dalam proses

memperkaya pengalaman saya pribadi. Jadi selalu terbuka dengan

berbagai perbedaan yang ada” (Gde Pandhe, wawancara data primer,

28 Februari 2017).

4.2.6. Hasil Adaptasi dan Kesehatan Psikologis

Selama berada di Fukuoka, berbagai pengalaman telah dialami oleh

para narasumber ketika harus berinteraksi dengan masyarakat Jepang.

Beberapa narasumber mengaku jika selama proses adaptasi, mereka

mengalami berbagai kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan budaya

Jepang. Bahkan beberapa narasumber yaitu Achmad Rachmad dan Gde


83

Pandhe mengaku jika kesulitan dan gegar budaya yang dialami oleh mereka

sempat mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan akademik mereka:

“Diawal masa studi, kesulitan-kesulitan dalam hal budaya dan

komunikasi yang saya hadapi cukup membuat studi akademik saya

sedikit terhambat” (Gde Pandhe, wawancara data primer, 28 Februari

2017).

“Lumayan mempengaruhi, terutama karena saya belajar, melakukan

experiment dan menulis laporan serta skripsi dengan Bahasa jepang,

sehingga tidak terlepas dari kesulitan Bahasa” (Achmad Rachmad,

wawancara data primer, 16 – 23 Februari 2017).

Secara kesuluruhan, mengenai perasaan mereka sekarang tinggal dan

belajar di Fukuoka, semua narasumber mengatakan cukup senang berada di

Fukuoka karena bertemu dengan banyak teman serta belajar banyak hal baru.

Namun demikian beberapa dari narasumber menyebutkan jika secara

kehidupan sosial, Indonesia dianggap mereka lebih baik. Seperti yang

diungkapkan oleh Gde Pandhe dan Herpin D sebagai berikut:

“Secara fasilitas, menurut saya lebih nyaman Fukuoka, namun secara

interaksi sosial, Indonesia memiliki daya tarik tersendiri yang gak bisa

tergantikan (Gde Pandhe, wawancara data primer, 28 Februari 2017).

“Senang belajar disini, banyak pengajar yang kompeten, teman dari

berbagai negara. Kalau untuk tinggal, lingkungan alam lebih nyaman di


84

Fukuoka. Kalau hubungan antar manusia, lebih baik Indonesia (Herpin

D, wawancara data primer, 16 Februari 2017).


85

4.3. PEMBAHASAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adaptasi budaya

mahasiswa Indonesia dalam menghadapi gegar budaya di Fukuoka Jepang.

Dengan menggunakan teori Gegar Budaya dan Integrative Communication

Theory serta di dukung oleh konsep antarbudaya dan dimensi budaya

Hofstede, hasil analisis wawancara akan dibahas lebih mendalam pada

bagian ini.

4.3.1. Tahap Euforia

Samovar, Porter, McDaniel & Roy (2012) mengatakan jika pada tahap

euforia pendatang memiliki padangan positif mengenai lingkungan baru.

Namun demikian berdasarkan hasil analisis terlihat jika, fase euforia tidak

selalu dipenuhi oleh hal-hal positif. Gegar budaya bahasa sudah dirasakan

oleh beberapa narasumber sejak diawal kedatangan. Sehingga menyebabkan

timbulnya rasa bingung, takut serta cemas bagi beberapa narasumber. Gegar

budaya bahasa merupakan salah satu kesulitan yang besar, mengingat

selama berada di lingkungan baru komunikasi akan banyak menggunakan

bahasa tuan rumah.

Sehingga pada fase ini sebagian dari narasumber telah memasuki

tahap gegar budaya di awal kedatangan. Hal ini dapat dikaitkan dengan

predisposisi narasumber yang akan dijelaskan pada bagian Adaptive

predisposition.
86

4.3.2. Komunikasi Intrapersonal (Host Communication Competence)

Seperti yang dikatakan oleh Kim (1988) jika kompetensi komunikasi

tuan rumah diperlukan dalam proses adaptasi. Tanpa adanya pengetahuan

tentang sistem komunikasi tuan rumah, maka akan sangat sulit bagi para

pendatang untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat. Berdasarkan

hasil analisis, dapat terlihat jika mayoritas permasalahan komunikasi terbesar

yang dihadapi oleh para narasumber ada pada aspek kognitif yaitu kurangnya

kompetensi bahasa Jepang. Akibatnya, kekurangan tersebut menjadi

tantangan tersendiri bagi mereka.

Walaupun terdapat fasilitas bahasa Inggris, mahasiswa internasional

lainnya atau beberapa masyarakat Jepang yang dapat berbicara bahasa

Inggris, namun demikian penutur dan penggunaan bahasa Jepang masih

tetap lebih banyak dalam kehidupan sehari-hari.

Bahasa memiliki peran penting dalam komunikasi lisan ataupun tertulis,

tanpa pengetahuan bahasa maka akan sulit bagi para pendatang untuk

berpartisipasi di lingkungan tuan rumah (Kim, 1988). Bahasa juga turut

mempengaruhi bagaimana sikap masyarakat tuan rumah terhadap mereka.

Berdasarkan hasil analisis, orang-orang Jepang cenderung pemalu ketika

bertemu orang asing sehingga menjadi kurang bersosialiasai dengan orang

asing. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan hambatan bahasa. Bahasa

merupakan salah satu alat untuk membedakan antara in-group dan out-group

(Lustig & Koester, 2013). Keseragaman bahasa adalah salah satu bentuk
87

tekanan kelompok dominan yang paling terlihat, dimana para pendatang

diharapkan mampu berkomunikasi dengan bahasa dominan (Kim, 1988).

Ketika para narasumber menggunakan bahasa Inggris atau bahasa

selain bahasa Jepang, maka akan semakin besar jarak antara orang-orang

Jepang (in-group) dengan narasumber (out-group), sehingga membuat

mereka enggan untuk berkomunikasi dengan orang asing. Lain halnya jika

para mahasiswa menggunakan bahasa Jepang maka akan lebih mudah untuk

berkomunikasi dengan orang Jepang karena bahasa yang digunakan sama.

Walaupun tidak termasuk dalam in-group masyarakat Jepang secara

keseluruhan, namun setidaknya para mahasiswa termasuk dalam in-group

bahasa yaitu tergolong sebagai orang-orang yang menggunakan bahasa yang

sama.

Hambatan bahasa juga membuat komunikasi antara para mahasiswa

dengan orang-orang Jepang terbatas sehingga pembicaraan tidak dapat lebih

jauh. Kebutuhan akan pengetahuan bahasa Jepang sangat dirasakan oleh

mereka karena berbagai informasi dan interaksi lebih banyak menggunakan

bahasa Jepang baik di dalam dan luar lingkungan kampus.

Selanjutnya pada aspek afektif terlihat jika hampir semua narasumber

memiliki penilaian yang sama jika masyarakat Jepang cenderung tidak

langsung atau implisit ketika berbicara. Gaya komunikasi tidak langsung

dalam masyarakat Jepang dikenal dengan nama Honne Tatemae. Honne

adalah apa yang dirasakan atau dipikirkan sesungguhnya namun tidak dapat

diungkapkan secara langsung, sementara tatemae diucapkan secara verbal


88

sebagai sikap sopan yang ditunjukan untuk menutupi honne (Gudykunts &

Nishida, 1994: Trinidad, 2014).

Penggunaan tatemae tidak lain adalah cara mereka untuk menunjukan

kesopanan (Bramble, 2005). Masyarakat Jepang menjaga harmoni dalam

kelompok (Garcia, 2011). Oleh karena itu mereka menjunjung nilai kesopanan

untuk mencegah konflik. Bagi mereka berbicara secara langsung dianggap

sebagai perbuatan yang kurang sopan. Tatemae berhubungan erat dengan

konsep Face Saving. Menurut Kim, Sharkey and Singelis (dalam Dodd, 1998)

mengatakan jika dalam masyarakat kolektivis, mereka lebih mementingkan

perasaan orang lain dan tidak mau menyakitinya, sehingga mereka tidak suka

berbicara secara langsung. Mereka menggunakan konsep face saving agar

dianggap tidak mempermalukan orang lain. Selain untuk menunjukan

kesopanan secara tidak langsung Tatemae menunjukan jika lawan bicara

adalah orang luar (outsider) atau bukan bagian dari mereka (Trinidad, 2014).

Honne tatemae bersifat samar karena melibatkan perasaan,

dibutuhkan kemampuan kognitif terutama non-verbal untuk memahami

maksud mereka. Salah satu karakteristik komunikasi implisit adalah

penyampaian pesan lebih banyak menggunakan bahasa non-verbal.

Komunikasi implisit tidak hanya berfokus pada verbal tetapi juga pada bahasa

non-verbal (Bai, 2016). Ketika berkomunikasi dengan masyarakat Jepang,

seseorang harus mendengarkan dan memperhatikan lawan bicara dengan

seksama untuk menemukan maksud darinya (Nishimura, Nevgi & Tella, 2008).
89

Hal-hal tersebut juga ditunjukan oleh beberapa narasumber yang berusaha

memahami lawan bicara melalui bahasa non-verbal.

Terlihat jika kompetensi komunikasi tuan rumah (host communication

competence) menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi para

mahasiswa untuk berkomunikasi dengan orang-orang Jepang. Tanpa adanya

kemampuan berbahasa Jepang serta kemampuan untuk memahami

komunikasi implisit atau honne tatemae, tentu komunikasi yang dilakukan

tidak akan berjalan efektif, sulit untuk dimengerti dan dapat memicu

kesalahpahaman. Bahkan disebutkan sebelumnya jika masalah komunikasi

sempat mempengaruhi kehidupan sehari-hari dan akademik para mahasiswa.

Dapat dikatakan jika untuk mengatasi permasalahan bahasa lebih

mudah dibandingan dengan komunikasi implisit. Bahasa dapat dipelajari baik

melalui kelas atau berinteraksi langsung dengan orang Jepang. Lustig dan

Koester (2013) mengatakan jika untuk berkompeten terhadap suatu bahasa

maka dibutuhkan latihan yang sering untuk membuat suara yang akurat.

Semakin sering mereka berlatih, maka mereka akan semakin mampu untuk

berbicara seperti penutur asli.

Berbeda halnya untuk memahami komunikasi implisit. Selain

memahami pesan mereka dalam bahasa Jepang, tetapi para mahasiswa juga

harus memperhatikan bagaimana raut wajah, intonasi nada dan kode-kode

non-verbal lainnya, sehingga mereka dapat memberikan respon tepat dan

sesuai. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang terus menerus dengan

orang-orang Jepang untuk memahami bahasa non-verbal mereka.


90

Semakin sering individu berkomunikasi dengan tuan rumah maka akan

semakin baik komunikasi mereka terutama untuk meningkatkan kompetensi

komunikasi. Jika mahasiswa telah memiliki pengetahuan kognitif (bahasa

Jepang) dan afektif (komunikasi implisit) maka kemampuan sosial mereka

akan meningkat. Mereka akan memahami bagaimana caranya memulai

interaksi, bercakap-cakap serta menyesuaikan diri dengan lawan bicara

mereka.

4.3.3. Komunikasi Sosial (Komunikasi Interpersonal)

Martin dan Nakayama (2010) mengatakan jika komunikasi

interpersonal, baik dengan orang-orang tuan rumah atau etnis yang sama

merupakan salah satu bentuk dukungan sosial. Kesulitan-kesulitan dan gegar

budaya yang dialami oleh pendatang dapat terpecahkan melalui komunikasi

interpersonal. Selain untuk meningkatkan kemampuan kompetensi

komunikasi (host communication competence). Melalui komunikasi

interpersonal, hubungan antara pendatang dengan masyarakat tuan rumah

atau etnis yang sama dapat terjalin. Semakin kuat hubungan yang dibangun

terutama dengan masyarakat tuan rumah maka akan semakin mudah dan

cepat proses adaptasi berjalan.

Dalam hasil analisis terlihat jika para narasumber bersosialisasi dengan

teman-teman atau masyarakat Jepang. Namun demikian hubungan yang

terjalin diantara mereka tidak mendalam atau lemah. Yuslita Syafia

mengatakan jika sangat sulit untuk mencari teman dekat di Jepang:


91

“…Buat kenalan gampang disini, tapi buat nyari temen yang bener-bener

bisa buat jadi temen bukan sekedar nyapa, tanya kabar, jalan bareng

kemana” (Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

Masyarakat dengan budaya komunikasi implisit berhubungan erat

dengan masyarakat kolektivis. Kim, Sharkey and Singelis (dalam Dodd, 1998)

mengatakan jika sebagai masyarakat yang kolektif, Ikatan yang kuat di dalam

grup menyebabkan secara tidak langsung membuat pemisah antara “Kita”

sebagai in-group dan “Mereka” sebagai out-group, akibatnya tidak jarang

orang-orang luar akan sulit untuk berbaur dengan anggota kelompok. Hal ini

yang menyebabkan kesulitan bagi mahasiswa Indonesia atau orang asing

lainnya untuk dapat dekat dengan orang Jepang.

Hubungan dengan teman-teman Jepang dianggap penting hanya untuk

keperluan penelitian dan akademik lainnya. Hambatan bahasa menjadi salah

satu alasan mereka berinteraksi dengan orang-orang Jepang untuk meminta

bantuan ketika tidak tahu membaca kanji, mendaftar administrasi,

menanyakan jalan dan sebagainya.

Terlihat jika para mahasiswa merasa lebih nyaman untuk

berkomunikasi dan berkonsultasi dengan sesama teman Indonesia terlebih

ketika mereka sedang mengalami homesick maka mereka sangat

membutuhkan kehadiran teman Indonesia. Hal tersebut seperti yang

dijelaskan oleh Kim (1988) jika pendatang cenderung akan berkomunikasi

dengan orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama.

Kesamaan budaya membuat mereka lebih nyaman dalam berkomunikasi


92

karena akan lebih mudah untuk mengekspresikan dan perasaan atau maksud

mereka.

Selain berkomunikasi dengan orang-orang Jepang dan sesama orang

Indonesia, beberapa mahasiswa Indonesia juga menggunakan media massa

untuk membantu mereka meningkatkan kemampuan host communication

competence yaitu bahasa Jepang serta budaya Jepang. Namun demikian,

media tidak hanya berfungsi sebagai sebagai media pembelajaran saja tetapi

juga menjadi sebagai salah satu cara bagi mahasiswa Indonesia untuk

menghilangkan rasa homesicknya. Seperti yang diungkapkan oleh Yuslita

Syafia:

“Kalau misalkan masih homesick kalau liat foto-foto nangis. Mending

nonton film, nonton drama” (Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13

Februari 2017).

4.3.4. Lingkungan

Lingkungan memiliki peran yang penting dalam tumbuh kembang

proses adaptasi para pendatang. Seperti yang dikatakan oleh Gudykunts dan

Kim (2002) jika sikap dan keterbukaan masyarakat lokal terhadap orang asing

akan mempengaruhi tingkat penerimaan mereka. Sikap positif dari

masyarakat tuan rumah terhadap orang asing akan membuat pendatang

merasa diterima oleh lingkungan baru, namun jika sikap negatif yang

ditunjukan maka akan sulit bagi para pendatang untuk beradaptasi (Puumala,

2015)
93

Berdasarkan hasil analisis terlihat jika sikap masyarakat Jepang

khususnya masyarakat Fukuoka dinilai positif oleh para mahasiswa dilihat dari

sudut pandang sebagi orang asing. Para mahasiswa merasakan kehangatan

sikap dari masyarakat setempat serta menerima banyak bantuan dari mereka.

Sikap positif dari masyarakat tuan rumah ini lah yang membuat para

narasumber merasa diterima dengan baik di lingkungan baru. Walaupun

terkendala pada bahasa, perbedaan agama dan sebagainya namun hal

tersebut tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk diterima di Fukuoka.

Sikap keterbukaan dan toleransi juga ditunjukan oleh masyarakat

Jepang. Jepang merupakan negara yang bersifat Homogen, lebih 98% adalah

masyarakat Jepang, Korea, Tiongkok dan 2% adalah bangsa Ainu (Jandt,

2016). Sebagai negara dengan masyarakat homogen, namun masyarakat

Jepang khususnya Fukuoka memiliki toleransi yang tinggi. Hal ini dapat

dihubungkan dengan kota Fukuoka yang merupakan salah satu pusat

pertukaran budaya di Jepang sehingga nuansa multikultural sangat kental di

Fukuoka. Walaupun tidak dapat dipungkiri jika di beberapa waktu, beberapa

narasumber pernah mengalami sikap negatif dari orang-orang Jepang.

Namun demikian secara keseluruhan para narasumber menilai sikap

masyarakat Jepang positif terhadap mereka.

Sebagai pelajar asing para mahasiswa juga merasakan jika pihak

universitas membantu mereka dalam beradaptasi di dalam lingkungan

kampus. Pihak universitas yang memberikan fasilitas serta pelayanan baik

membantu adaptasi mahasiswa asing. Secara keseluruhan lingkungan sosial


94

di dalam maupun luar kampus, dirasakan positif oleh mayoritas narasumber.

Kesulitan-kesulitan dan gegar budaya yang dialami mampu diatasi dengan

baik dan cepat ketika lingkungan sekitar memberikan sikap positif. Hal-hal

tersebut menjadi faktor pendorong yang mempercepat proses adaptasi para

mahasiswa.

4.3.5. Adaptive Predisposition

Persiapan mahasiswa sebelum memasuki lingkungan baru akan

berdampak terhadap proses adaptasinya. Seseorang yang sudah familiar

dengan budaya baru akan lebih mudah beradaptasi (Kim, 1988). Berdasarkan

hasil analisis terlihat bahasa menjadi kendala terbesar para mahasiswa. Hal

itu disebabkan karena sebelum berangkat ke Fukuoka, mereka hanya

mempelajari sedikit bahasa Jepang. Kurangnya persiapan mahasiswa untuk

memasuki lingkungan dan budaya baru akan membuatnya sangat rentan

terhadap kesulitan-kesulitan dan gegar budaya.

Selanjutnya adalah perbedaan dan similaritas budaya berpengaruh

terhadap proses adaptasi. Semakin banyak persamaan budaya maka akan

mudah bagi seorang pendatang untuk beradaptasi, namun jika perbedaan

budaya sangat besar maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama bagi

pendatang untuk beradaptasi. Jepang dan Indonesia adalah negara yang

sama-sama tergolong dalam budaya timur. Namun demikian tetap terdapat

perbedaan-perbedaan diantara kedua negara.


95

Seperti yang dikatakan oleh Lustig dan Koester (2013) jika semakin

banyak perbedaan budaya maka akan semakin tinggi tingkat komunikasi

antarbudaya yang terjadi. Perbedaaan yang sangat jelas terlihat adalah

bahasa. Baik secara tulisan (huruf) dan lisan, bahasa Jepang berbeda jauh

dengan bahasa Indonesia. Jika bahasa Inggris atau Indonesia menggunakan

huruf romawi, bahasa Jepang mengadopsi aksara Cina yaitu Kanji serta

memiliki hurufnya sendiri yaitu Hiragana dan Katakana. Sebagai seseorang

yang tidak menggunakan atau terbiasa dengan aksara Cina maka membuat

mahasiswa harus mempelajari tulisan dan pengucapan huruf-huruf Jepang

terlebih dahulu.

Selanjutnya adalah perbedaan kehidupan sosial antara Indonesia dan

Jepang. Masyarakat Jepang cenderung lebih individualis dibandingkan

masyarakat Indonesia. Jika melihat pada grafik dimensi budaya Hofstede

(gambar 5) terlihat jika nilai individualis masyarakat Jepang lebih tinggi

dibandingkan dengan Indonesia. Perbedaan ini yang akhirnya membuat

beberapa mahasiswa memiliki pandangan etnosentris dengan mengatakan

jika Indonesia lebih baik dalam hubungan sosial.

Ketiga adalah perbedaan kedisiplinan yang diakui oleh beberapa

mahasiswa sebagai perbedaan paling mencolok diantara Indonesia dengan

Jepang. Hal ini dapat dikaitkan dengan budaya waktu monokronik dan

polikronik. Dalam budaya monokronik, Waktu dilihat sebagai uang sehingga

sangat penting serta kerja keras diharuskan, sementara dalam budaya


96

polikronik waktu bersifat fleksibel dan kerja keras bila diperlukan (Nunez,

Mahdi & Popma, 2014).

Jepang memang dikenal sebagai negara yang tepat waktu. Tidak

sedikit pula seseorang yang biasanya berada di budaya polikronik akan sedikit

kesulitan ketika berpindah ke budaya monokronik. Seperti yang dialami oleh

Yuslita Syafia yang mengaku sedikit kesulitan dengan perbedaan budaya ini:

“Pertama agak berat, dulu gak pernah sedisiplin itu, gak pernah setepat
waktu itu, sekerja keras itu, harus menyesuaikan. Gak perlu waktu lama
kok. Deadlinenya harus tepat waktu. Telat 2 detik aja udah ketinggalan
bis, telat 1 menit ketinggalan kereta. Pernah tuh ketinggalan kereta,
ketinggalan bis, ketinggalan pesawat juga pernah. Telat 5 menit udah
gak bisa, telat 1 menit udah gak bisa udah ditutup gerbangnya gak
boleh” (Yuslita Syafia, wawancara data primer, 13 Februari 2017).

Mengenai sikap para mahasiswa dengan perbedaan-perbedaan yang

ada, terlihat jika mereka bersikap terbuka dan tetap positif dengan berbagai

perbedaan budaya. Sama halnya dengan lingkungan, keterbukaan dan sifat

positif dari pribadi pendatang terhadap perbedaan-perbedaan budaya akan

membantu proses adaptasi mereka. Seperti yang dikatakan oleh Gudykunts

& Kim (2002) jika pendatang memiliki pikiran terbuka, sikap positif dan berani

menerima tantangan maka akan semakin mudah bagi mereka untuk

beradaptasi. Motivasi beradaptasi akan semakin kuat dengan adanya sikap

positif karena mereka mampu untuk mentoleransi perbedaan (Lustig &

Koester, 2013).
97

4.3.6. Hasil Adaptasi dan Kesehatan Psikologis

Selama berada di Fukuoka berbagai tantangan dirasakan oleh para

mahasiswa dan berbagai cara dilakukan untuk beradaptasi. Walaupun mereka

mengakui mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan budaya

Jepang, namun seiring dengan berjalannya waktu mereka mampu mengatasi

hal tersebut. Functional fitness dan kesehatan psikologis dicapai oleh para

narasumber. Selama lebih dari 2 tahun tinggal dan belajar di Fukuoka, kini

mereka merasa nyaman, senang dan bahagia berada di Fukuoka. Berbagai

pelajaran berharga didapatkan oleh para mahasiswa yang sebelumnya tidak

pernah mereka dapatkan di Indonesia.

Kenyamanan dan kebahagian yang dirasakan tidak terlepas dari usaha

mereka untuk beradaptasi, host communication competence (HCC) yang

mereka miliki serta interaksi sosial yang mereka lakukan selama ini untuk

meningkatkan HCC. Seperti yang dikatakan oleh Kim (1988) jika HCC dan

komunikasi interpersonal terus ditingkatkan maka akan mudah bagi para

pendatang untuk mencapai keselarasan dengan lingkungan baru.

Walapun para narasumber memiliki kecenderungan pandangan positif

tentang tinggal di Fukuoka, akan tetapi beberapa narasumber masih belum

bisa menghilangkan pandangan etnosentris pada sifat individualis masyarakat

Jepang. Hal tersebut merujuk pada perbedaan budaya yang telah dijelaskan

sebelumnya.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Adaptasi komunikasi menjadi cara bagi mahasiswa Indonesia untuk

menghadapi gegar budaya selama berada di Fukuoka, Jepang.

Berkomunikasi dengan orang-orang Jepang baik di dalam ataupun di luar

lingkungan menjadi kunci utama bagi mahasiswa untuk meningkatkan

kompetensi komunikasi mereka. Dengan adanya host communication

competence, mahasiswa dapat berkomunikasi dan berperilaku sesuai dengan

ekspektasi masyarakat Jepang. Namun demikian komunikasi tidak akan

berjalan dengan baik tanpa adanya keterbukaan dari lingkungan serta sikap

positif dari mahasiswa Indonesia dalam melihat perbedaan budaya.

Lingkungan yang terbuka dan memiliki toleransi akan membuat para

mahasiswa merasa diterima dengan baik, sehingga komunikasi antara

mahasiswa dengan masyarakat Jepang berjalan dengan baik. Begitu juga

dengan pribadi mahasiswa yang menerima perbedaan sebagai pembelajaran

bagi mereka, maka mereka akan semakin bersemangat untuk beradaptasi

dan meningkatkan kompetensi komunikasi. Hubungan yang baik hasil

komunikasi antara mahasiswa Indonesia dengan orang-orang Jepang akan

terwujud ketika lingkungan dan pribadi mahasiswa sama-sama bersikap positif.

98
99

Namun demikian, kebutukan komunikasi dengan sesama teman atau

ekspatriat Indonesia juga diperlukan untuk mengatasi gegar budaya yang

dihadapi oleh para mahasiswa. Perbedaan-perbedaan yang ada di antara

Indonesia Jepang serta jauh dari keluarga membuat mahasiswa tidak jarang

merasa rindu dengan kampung halaman, kerinduan untuk berkomunikasi

dalam bahasa Indonesia atau rindu dengan keluarga. Untuk mengatasi hal-

hal tersebut maka dukungan sosial dari sesama teman atau ekspatriat

Indonesia diperlukan.

Gegar budaya yang dialami oleh mahasiswa juga dipengaruhi oleh

persiapan sebelum berangkat menuju Fukuoka. Gegar budaya tidak dapat

dihindari, namun dapat diminimalisir. Untuk meminimalisir gegar budaya yang

akan dihadapi, diperlukan persiapan yang matang sebelum keberangkatan.

5.2. Saran

5.2.1. Saran Akademis

Untuk penelitian selanjutnya diharapkan untuk meneliti tidak hanya

dilihat dari sudut pandang mahasiswa Indonesia, tetapi juga dilihat dari sudut

pandang masyarakat Jepang terhadap mahasiswa Indonesia. Pada penelitian

ini, khususnya pada aspek penerimaan dan keterbukaan lingkungan hanya

dilihat dari sisi mahasiswa Indonesia. Diharapkan untuk kedepannya

perspektif dari masyarakat Jepang dapat diteliti, sehingga dapat menjadi

pembanding dengan perspektif mahasiswa Indonesia.


100

5.2.2. Saran Praktis

Penelitian ini ditujukan terutama untuk para pelajar yang ingin

melakukan pertukaran pelajar atau melanjutkan studi di Jepang. Diperlukan

berbagai persiapan yang baik sebelum pergi ke Jepang, tidak hanya sebatas

pada bahasa dan budaya tetapi juga diperlukan mental dan sikap keterbukaan

terhadap hal-hal baru. Serta untuk beberapa instansi pendidikan yang

menyediakan berbagai program pertukaran pelajar dan sebagainya, melalui

penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebagai gambaran untuk

mempersiapkan murid-muridnya sebelum berangkat ke Jepang.


DAFTAR PUSTAKA

Background on fukuoka’s asian month. (2008). Fukuoka Now. Diperoleh dari


http://www.fukuoka-now.com/en/feature/background-on-fukuokas-asian-
month/

Bai, H. (2016). A Cross-Cultural Analysis of Advertisement from High-Context


Cultures and Low-Context Cultures. English Language Teaching, 9. 21 –
27. Diperoleh dari
http://www.ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/viewFile/60346/32372

Baldwin, J. R., Coleman, R. R., Gonzalez, A., & Packer, S. S. (2014).


Intercultural Communication for Everyday Life. West Sussex, UK: Wiley
Blackwell.

Bennett, M. J. (2011). A Development Model of Intercultural Sensitivity. The


Intercultural Development Research Institute. Diperoleh dari
http://www.idrinstitute.org/allegati/IDRI_t_Pubblicazioni/47/FILE_Docume
nto_Bennett_DMIS_12pp_quotes_rev_2011.pdf

Berardo, K., & Deardorff, D. K. (2012). Building Cultural Competence:


Innovative Activities and Models. Virginia: Stylus.

Bergiel, E. B., Bergiel, B. J., & Upson, J. W. Revisiting Hofstede’s Dimensions:


Examining the Cultural Convergence of the United States and Japan.
American Journal of Management, 12, 69 – 79. Diperoleh dari
http://www.na-businesspress.com/AJM/BergielEB_Web12_1_.pdf

Black, J. S., & Gregersen, H. B. (1991). The Other Half of the Picture:
Antecedents of Spouse Cross-Cultural Adjustment. Journal of
International Business Studies, 3. Diperoleh dari
https://www.researchgate.net/publication/5222559_The_Other_Half_of_t
he_Picture_Antecedents_of_Spouse_Cross-Cultural_Adjustment

Bramble, P. S. (Eds.). (2005). Culture Shock: A Survival Guide to Customs


and Etiquette. Singapura: Marshall Cavendish International (Asia) Private
Limited.

Bungin, B. (2009). Penelitian Kualitatif Komunikasi Ekonomi, Kebijakan Publik


dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana.

City of Yokohama. (2016). Population news of major cities. City Yokohama.


Diperoleh dari http://www.city.yokohama.lg.jp/ex/stat/jinko/city/new-e.html

101
102

Creswell, J. W. (Eds.). (2012). Planning, Conducting, and Evaluating


Quantitative and Qualitative Research. Boston : Pearson.

Devito, J. A. (Eds). (2003). Human Communication the Basic Course. Boston,


MA: Allyn and Bacon.

Dodd, C. H. (Eds). (1998). Dynamics of Intercultural Communication. Boston,


USA: McGraw-Hill.

Fiktorius. T. (2013). Culture shock: a new life of an Indonesian student


adapting to U.S. college life and culture. (Tesis Master, Universitas
Tanjungpura, Pontianak, Indonesia). Diperoleh dari
https://www.academia.edu/5558228/Culture_shock_A_new_life_of_an_I
ndonesian_student_adapting_to_U.S._college_life_and_culture

Fukuoka Asian month. (n.d.). About Asian Month. Diperoleh dari


http://www.asianmonth.com/en/

Fukuoka – a great place to live. (2016). Fukuoka Facts. Diperoleh dari


http://facts.city.fukuoka.lg.jp/en/data/community-attitude-servey/

Fukuoka power 2009. (2009). Fukuoka City Promotion. Diperoleh dari


http://www.city.fukuoka.lg.jp/promo/english/magazine/index.html

Fukuoka – 7th Most Liveable City. (2016). Fukuoka Now. Diperoleh dari
http://www.fukuoka-now.com/en/news/fukuoka-7th-liveable-city-world-
2016/

Fukuoka is no.1. (2016). Fukuoka Facts. Diperoleh dari


http://facts.city.fukuoka.lg.jp/en/tag/1/

Garcia, H. (2011). A Geek in Japan: Discovering the Land of Manga, Anime,


Zen, and the Tea Ceremony. USA: Tuttle Publishing.

Gudykunts, W. B., & Kim, Y. Y. (Eds.). (2002). Communicating with Strangers:


An Approach to Intercultural Communication. Boston, USA: McGraw-Hill.

Gudykunts, W. B., & Nishida, T. (1994). Bridging Japanese / North America


Differences. California, USA: Sage Publications, Inc.

Harvey, B. (2007). Testing the Integrative Theory of Cross-Cultural Adaptation:


A Student’s Experience in Italy and Spain. Advances in Communication
Theory & Research, 1, 1 – 34. Diperoleh dari http://www.k-
state.edu/actr/wp-content/uploads/2010/12/e1-2benharvey.pdf
103

Hennings, M., & Mintz, S. (2015). Japan’s Measures to Attract International


Students and the Impact of Student Mobility on the Labor Market. Journal
of International and Advanced Japanese Studies, 7, 241-251. Diperoleh
dari
http://japan.tsukuba.ac.jp/research/JIAJS_Vol7_ONLINE_18_Hennings%
20and%20Mintz%20FINAL.pdf

Hidayat, D. N. (2002). Metodologi Penelitian dalam Sebuah “Multi-Paradigm


Science”. Mediator, 3, 197 – 220. Diperoleh dari
http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/download/766/430

Hofstede, G. (2010). Country comparison. Diperoleh dari https://geert-


hofstede.com/japan.html

Hofstede, G., Hofstede, G. J., & Minkov, M. (Eds.). (2010). Culture and
Organization. USA: McGraw-Hill.

Hofstede, G. (2011). Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in


Context. Online Readings in Psychology and Culture, 2 (1), 1 – 28.
Diperoleh dari
http://scholarworks.gvsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1014&context=o
rpc

Ishikawa. C. (2006). Education-oriented Immigration in Japan and the Legacy


of the ‘Plan to Accept 100,000 Foreign Students’. Journal of the Education
Center for International Students (ECIS), 4, 5 – 26. Diperoleh dari
http://ieec.iee.nagoya-u.ac.jp/ja/about/pub-
pdf/J_of_ECIS/Vol4/Ishikawa%20Paper.pdf

Jandt, F. E. (Eds.). (2016). An Introduction to Intercultural Communication:


Identities in a Global Community. California: Sage Publications Inc.

JASSO. (2016). Result of an Annual Survey of International Students In Japan


2015. Jepang: Pengarang.

Jones, R., & Kim. Y. S. (2013). Communication Experiences of International


Students in the U.S: A Comparison Study of Cross-Cultural Adaptation
between European and Asian Students. Journal of Student Research, 3,
83 – 104. Diperoleh dari
http://libjournals.mtsu.edu/index.php/scientia/article/view/667/610

Kim, Y. Y. (1988). Communication and Cross-cultural Adaptation: An


Integrative Theory. Clevedon, UK: Multilingual Matters.

Kirkegaard, K. (2011). Out of Place: Culture Shock and the Reentery


Experience. SOAN, 373, 1 – 48. Diperoleh dari
104

http://wp.stolaf.edu/sociology/files/2013/06/Out-of-Place-Culture-Shock-
and-the-Reentry-Experience.pdf

Kyushu University. (2013 – 2014). Kyushu University Information. Jepang:


Pengarang.

Kyushu university fast facts. (2015). Kyushu University. Diperoleh dari


http://www.kyushu-u.ac.jp/en/university/data/plain.html

Leksono, R. P. (2016). Gegar budaya di Phitsanulok Thailand. Diperoleh dari


website http://seputarsulawesi.com/berita-gegar-budaya-di-phitsanulok-
thailand.html

Low prices – one reason Fukuoka is so livable. (2016). Fukuoka Facts.


Diperoleh dari http://facts.city.fukuoka.lg.jp/en/data/consumer-price/

Lustig, M. W., & Koester, J. (Eds.). (2013). Intercultural Competence


Interpersonal Communication Across Cultures. New Jersey, USA:
Pearson Education Inc.

Mackenzie, N., & Knipe, S. (2006). Research dilemmas: Paradigms, methods


and methodology. Issues in Educational Research, 16. Diperoleh dari
http://www.iier.org.au/iier16/mackenzie.html

Martin, J. N., & Nakayama, T. K. (Eds.). (2010). Intercultural Communication


in Contexts. Boston, USA: McGraw-Hill.

MEXT. (2008). Outline of the Student Exchange System: Study in Japan and
Abroad. Jepang: Pengarang.

Ministry of Internal Affairs and Communication. (2016). Database on status of


residence alien (total) by status of residence by prefecture. E-stat.
Diperoleh dari http://www.e-
stat.go.jp/SG1/estat/GL08020103.do?_toGL08020103_&listID=00000117
7523&requestSender=dsearch

Ministry of Internal Affairs and Communication. (2016). Database on country


of residence by prefecture/region residents alien. Diperoleh dari
http://www.e-
stat.go.jp/SG1/estat/GL08020103.do?_toGL08020103_&listID=00000117
7523&requestSender=dsearch

Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism. (2015). Database on


urban greenery. Diperoleh dari
http://facts.city.fukuoka.lg.jp/en/data/number-of-protected-trees/index.php
105

Monocle Magazine. (2015. Juni 11). The monocle quality of life survey, 2015
(Video File). Monocle Magazine. Diperoleh dari
https://www.youtube.com/watch?v=HL6dHbuaKJY

Monocle Magazine. (2016. Juni 22). Top 25 cities, 2016 (Video file). Monocle
Magazine. Diperoleh dari https://www.youtube.com/watch?v=2-
9MWmB3PJ4

More about Kyushu University. (n.d). Times Higher Education. Diperoleh dari
https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/kyushu-
university#ranking-dataset/589595

Mulyana, D. (Eds.). (2015). Komunikasi Lintas Budaya. Bandung, Indonesia:


Rosda.

Nishimura, S., Nevgi, A., & Tella, S. (2008). Communication Style and Cultural
Features in High/Low Context Communication Cultures: A Case Study of
Finland, Japan and India. (Waseda University Japan, Department of
Education University of Helsinki, Department of Applied Sciences of
Education University of Helsinki). Diperoleh dari
http://www.helsinki.fi/~tella/nishimuranevgitella299.pdf

Nunez, C., Mahdi, R. N,. & Pompa, L. (Eds.). (2014). Intercultural Sensitivity.
Assen, Netherlands: Koninklijke Van Gorcum.


Oberg, K. (1960). Cultural Shock: Adjustment to New Cultural Environment


(Reprint). Practical Antropology. 7, 177-182. Diperoleh dari http://agem-
ethnomedizin.de/download/cu29_2-3_2006_S_142-146_Repr_Oberg.pdf

OECD. (2014). Education at a Glance 2014: OECD Indicators. OECD:


Pengarang.

Oyama. (2015). Mahasiswa Indonesia di Jepang. Japan Indonesia Network.


Diperoleh dari http://www.jin.co.id

Peace2. (2013). Its official Japan has the world best education system in 2013.
World Top 20. Diperoleh dari http://worldtop20.org

Pinem. E. V. (2011). Culture shock dalam interaksi komunikasi antarbudaya


pada mahasiswa asal Malaysia di Medan: Studi kasus pada mahasiswa
asal Malaysia di Universitas Sumatera Utara. (Skripsi Sarjana, Universitas
Sumatera Utara, Medan, Indonesia). Diperolah dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25522/5/Chapter%20I.pd
f
106

PPI Fukuoka. (2011). Early Life Guide Book in Fukuoka. Fukuoka, Jepang:
Pengarang.

PPI Fukuoka. (2016). Fukuoka – 7th liveable city in the world. PPI Fukuoka.
Diperoleh dari http://ppi-fukuoka.or.id/fukuoka-7th-liveable-city-in-the-
world/

Pradita, I. (2013). A Case Study of Forms and Symptoms of Culture Shocks of


the Foreign Students in Yogyakarta. Journal of English and Education, 7,
1 – 13. Diperoleh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=422437&val=9138&ti
tle=A%20Case%20Study%20Of%20Forms%20And%20Symptoms%20O
f%20Culture%20Shocks%20Of%20The%20Foreign%20Students%20In
%20Yogyakarta

Puumala, S. (2015). International Students’ Perceptions on Their Adaptation


to Indonesia and Their Intercultural Relationship Development: Special
focus on differences in communication styles and the role of English as a
lingua franca. (Master’s Thesis, University of Jyväskylä, Jyväskylän
yliopisto, Finlandia). Diperoleh dari
https://jyx.jyu.fi/dspace/bitstream/handle/123456789/48103/URN%3ANB
N%3Afi%3Ajyu-201512144030.pdf?sequence=1

Samovar, L. A., Porter, R. E., McDaniel, E. R., & Roy, C. S. (Eds.). (2012).
Communication Between Cultures. Boston, MA: Wadsworth.

Shieh, C. J. (2014). Effects of Culture Shock and Cross – Cultural Adaptation


on Learning Satisfaction of Mainland China Students Studying in Taiwan.
Revista Internacional DE Sociologia (RIS), 72, 57 – 67. Diperoleh dari
http://revintsociologia.revistas.csic.es/index.php/revintsociologia/article/vi
ewFile/577/599

Siswanto, A. A. P. (2016). Kuliah di luar negeri, bersiaplah hadapi “gegar


budaya”!. Edukasi Kompas. Diperoleh dari website
http://edukasi.kompas.com/read/2016/10/21/17510031/kuliah.di.luar.neg
eri.bersiaplah.hadapi.gegar.budaya.

Shaifa, D., & Supriyadi. (2013). Hubungan Dimensi Kepribadian The Big Five
Personality dengan Penyesuain Diri Mahasiswa Asing di Universitas
Udayana. Jurnal Psikologi Udayana, 1, 72 – 83. Diperoleh dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=151178&val=4934&ti
tle=Hubungan%20Dimensi%20Kepribadian%20The%20Big%20Five%20
Personality%20dengan%20Penyesuaian%20Diri%20Mahasiswa%20Asi
ng%20di%20Universitas%20Udayana
107

Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian Kualitatif. Indonesia, Bandung:


Alfabeta.

Suk, S. (2000). Fukuoka hosts Asian month. Japan Times. Diperoleh dari
http://www.japantimes.co.jp/news/2000/09/20/national/fukuoka-hosts-
asian-month/#.WHW2hHdh3R1

Survey on municipal consciousness. (2016). Fukuoka City. Diperoleh dari


http://www.city.fukuoka.lg.jp/shicho/kocho/opinion/002.html#28isiki

Types of Japanese Government (Monbukagakusho) Scholarships. (2015).


Study Japan. Diperoleh dari http://www.studyjapan.go.jp

Trinidad, G. J. D. (2014). Honne and Tatemae: Exploring the Two Sides of


Japanese Society. (Thesis, University of Háskóli Íslands, Reykjavík,
Iceland). Diperoleh dari
http://skemman.is/stream/get/1946/17171/40110/1/ThesisH$0026T.pdf

UNESCO. (2016). Global flow of tertiary-level students. UNESCO Institute of


Statistic. Diperoleh dari website http://uis.unesco.org/en/uis-student-
flow

Utami, L. S. S. (2015). Teori-Teori Adaptasi Antar Budaya. Jurnal Komunikasi,


7, 152 – 167. Diperoleh dari
http://journal.tarumanagara.ac.id/index.php/FIKOM/article/view/2553/2
242

Yue, Y., & Le, Q. (2012). From “Cultural Shock” to “ABC Framework”:
Development of Intercultural Contact Theory. International Journal of
Innovative Interdisciplinary Research, 2, 133 – 141. Diperoleh dari
http://auamii.com/jiir/Vol-01/issue-02/10yue.pdf

World ranking university. (2017). Times Higher Education. Diperoleh dari


https://www.timeshighereducation.com/world-university-
rankings/kyushu-university#ranking-dataset/589595

Zenrin. (2016). Maps data Fukuoka to Tokyo. Google Maps. Diperoleh dari
https://www.google.co.id/maps/dir/Fukuoka,+Fukuoka+Prefecture,+Japa
n/Tokyo,+Japan/data=!4m8!4m7!1m2!1m1!1s0x3541eda1e9848429:0xf6
0a729936398783!1m2!1m1!1s0x605d1b87f02e57e7:0x2e01618b22571b
89!3e3
TRANSKRIP WAWANCARA

INFORMASI NARASUMBER

Nama : Achmad Rachmad Tullah Tjan

Universitas : Universitas Kyushu

Jurusan : Aerospace engineering

Lama tinggal di Fukuoka : 3 tahun

Media Wawancara : Facebook dan Email

Tanggal : 16 Februari – 23 Februari 2017

Kenapa kakak milih Jepang dan Fukuoka untuk melanjutkan studi?

Alasannya karena di Kyushu University ada laboratorium yang aku minati, dan

wanitanya cakep-cakep, living costnya juga gak setinggi Tokyo.

Kakak awalnya memang suka Jepang?

Suka karena pengen belajar bahasa Jepang juga dan wanitanya juga cakep

soalnya.

Dulu gimana kak bisa sampai kuliah di Jepang?

Karena nasib, doa dan ikut undian beasiswa Jepang.

MEXT?

Yup

Dulu persiapan apa saja yang kakak lakukan sebelum ke Fukuoka?

Nonton film anime, nonton film Jepang, buka website universitas yang dituju,

stalker professor yang dituju. Sedikit belajar bahasa Jepang, dulu kursus

bahasa Jepang di Evergreen.

1
2

Waktu pertama kali kakak sampai di Fukuoka gimana perasaan kakak?

Takjub dengan wanitanya yang cantik dan mulus kayak artis, kotanya indah,

juga friendly, orangnya baik.

Waktu pertama kali di Fukuoka itu sesuai ekspektasi kakak sebelumnya

atau lebih?

Ada yang sesuai ada yang enggak, tidak ada yang sempurna.

Yang enggak apa kak?

Labnya gak secanggih bayanganku.

Selain labnya, kesan pertama kakak datang ke Universitas Kyushu

gimana?

Agak kecewa karena seperti kuburan. Gak ada orang diluar bangunan padahal

cuaca bagus. Semua sibuk di dalam bangunan riset. Kampusku gak ada

undergraduate soalnya, adanya master dan Phd. Tidak seperti kampus di film

Amerika. Orangnya juga pasif.

Pasif gimana kak maksudnya?

Gak terlalu talkative, gak terlalu socialize sama orang baru.

Mereka harus dideketin dulu baru mau ngomong atau gimana kak?

Harus dirayu dulu, terutama sama foreigner.

Selama di Fukuoka, culture shocknya apa aja kak?

Banyak.

Apa aja kak?

Sistem laporan, di Jepang dikit-dikit harus lapor Prof. Komunikasi susah

dengan siswa Jepang. Susahnya juga komunikasi dengan orang Indo juga.
3

Disini banyak masalah komunikasi gw rasa. Banyak yang kesepian butuh

belaian, terutama yang wanita or yang single. Belum lagi stress soal riset,

hidup bisa gak jelas terutama yang Phd.

Kak itu yang susah komunikasi sama siswa Jepang karena bahasa atau

yang lain?

Bukan cuma bahasa, tapi bahan omongan dan lain-lain. Beda pikiran, gak

semua sih tapi beberapa. Ya orang cocok-cocokan sama aja dengan orang

Indo.

Kalau kakak lihat bedanya komunikasi orang Indonesia sama Jepang

kira-kira apa kak?

Soal interest and stress level. Disini kalau orang yang stressnya tinggi susah

komunikasi sama yang dikit stressnya, gw rasa gitu. Kalau stress tinggi jadi

diem dan begitulah jadi timbul masalah komunikasi.

Selain kesulitan komunikasi, kesulitan lainnya selama kakak disana apa

aja kak?

Mencari tempat sholat, mencari teman.

Maksudnya mencari teman gimana kak? Teman ngobrol atau teman

dekat?

Temen deket lah, disini aku malah temenan deketnya sama orang Mesir bukan

orang Indonesia.

Emang orang Jepang gimana kak? Susah buat deket?

Gak gampang, ada sih yang deket, tapi aku lebih suka ngobrol sama temen

mesir. Lebih asik aja.


4

Oh iya kakak kalau sholat Jumat disana gimana?

Ada kok disini di kampus. Pinjam ruangan serbaguna sholat bareng.

Pernah bentrok sama kelas gak kak?

Untungnya enggak.

Kakak kalau disana belanja kebutuhan sehari-hari gimana? Ada

kesulitan gak?

Enggak kok, biasa aja, Makan siang di kantin. Kalau mau beli cemilan ya di

supermarket.

Menurut kakak perbedaan yang paling kelihatan antara Fukuoka sama

daerah asal kakak apa?

Wanitanya, transportasinya, bahasanya, cuacanya, banyak banget yang beda.

Menurut penilaian kakak secara keseluruhan orang-orang di Fukuoka itu

kayak gimana?

Baik, lebih baik hati dibanding kota lain.

Contoh baiknya mereka kayak gimana kak?

Membantu kalau tersesat. Aku malah pernah di kasih duit karena lupa bawa

duit.

Itu yang kasih duit temen kakak atau stranger?

Stranger

Kakak langsung ngomong gak bawa duit ke dia?

Enggak, dia lihat aku kesusahan cari duit tambahan terus dikasih.

Kak, mereka kalau sama foreigner gitu biasanya sikapnya kayak gimana?
5

Tergantung orangnya, ada yang gak tertarik mungkin malu or takut karena

sebagian gak bisa bahasa Inggris.

Kakak selama disana lebih sering ngomong Inggris atau Jepang?

Sama foreigner ya English, sama orang Jepang ya Jepang, sama orang Indo

ya Indo.

Kakak selama disana pernah dapet perlakuan berbeda gak dari mereka?

Pernah lah, terutama di kampus. Lebih kearah akademik sih. Aku kadang

merasa kena diskriminasi. Abis kalau siswa Jepang yang buat salah gak

terlalu dimarahin, ketawa ketawa aja mereka. Tapi pas aku yang buat salah

kayaknya dibesar-besarkan kadang males juga sih pengen out aja. Kurang

ajar banget kadang gw pikir. Mungkin juga karena orang Jepang bayar,

sedangkan aku beasiswa.

Kalau diluar kampus kak, pernah dapet perlakuan berbeda?

Pernah kayaknya, cuma gak seberapa. Diluar kampus malah yang ada dapet

perlakuan spesial.

Contoh speasialnya gimana kak?

Lebih ramah, macam-macam, susah dijelaskan.

Menurut kakak perbedaan paling mencolok antara budaya Jepang sama

Indo apa kak?

Paling mencolok, orang Jepang serius banget sebagian besar dan kayak robot,

mereka kaku, juga bertanggung jawab.

Ada gak budaya Jepang yang kakak kurang suka? Atau menurut kakak

kurang cocok kalau kakak ikutin.


6

Yang kurang suka, budaya laporan. Dikit-dikit laporan sama professor. Bagus

sih cuma kebanyakan birokrasi kayaknya. Apalagi di perusahaan, bakalan

lebih banyak lagi. Ribet birokrasi.

Sama Indo lebih ribet mana?

Jepanglah asli. Di Indo itu ribet di sogok-sogokannya. Di Jepang gak ada

sogok-sogokan, cuma dikit-dikit laporan.

Kakak gimana caranya menyesuaikan diri sama budaya disana?

Ya ikutin aja, belajar bahasanya.

(Wawancara diteruskan melalui email)

Hal – hal menarik apa saja yang kakak alami saat belajar di Universitas

Kyushu?

Bercanda dengan teman Jepang, sistem job hunting yang unik dimana job

hunting dimulai 1 tahun sebelum kelulusan, mendapat ilmu yg banyak,

mendapat teman yg banyak, merasakan stressnya penelitian di Jepang.

Menurut kakak seberapa besar kesulitan-kesulitan dan culture shock

yang dialami kakak mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan akademik

kakak?

Lumayan mempengaruhi, terutama karena saya belajar, melakukan

experiment dan menulis laporan serta skripsi dengan Bahasa jepang,

sehingga tidak terlepas dari kesulitan Bahasa

Bagaimana cara kakak menyesuaikan diri dengan pola belajar

mahasiswa Jepang?
7

Dengan cara belajar keras dan banyak bergadang kadang. Kadang dibilang

anti sosial

Menurut kakak bagaimana pihak Universitas membantu kakak untuk

beradaptasi dengan lingkungan kampus?

Lumayan membantu

Bagaimana perasaan kakak saat ini berkuliah di Fukuoka?

Cukup Bahagia

Apakah kakak pernah mengikuti ujian Japanese Language Proficiency

Test (JLPTN) sebelumnya? Jika tidak keberatan, berapa level terakhir

yang kakak dapatkan? Bagaimana cara kakak belajar bahasa Jepang?

Level terakhir saya JLPT N2, terakhir kali mencoba N1, tinggal 2 point lagi

untuk bisa lulus. Belajar otodidak dan kelas seadanya

Menurut kakak bagaimana perbedaan cara komunikasi antara orang

Indonesia dengan orang Jepang?

Orang Indonesia sering berkomunikasi dengan mahasiswa asing lainya.

Orang Jepang biasanya hanya berkomunikasi sesama orang Jepang.

Menurut kakak bagaimana cara orang-orang Jepang mengungkapkan

perasaannya (sedih, senang, marah dan sebagainya) kepada orang lain?

Bagaimana cara kakak untuk mengetahui hal-hal tersebut?

Orang Jepang biasanya jarang mengungkapkan perasaan mereka secara

langsung, tapi biasanya tergantung orang juga.

Berdasarkan penilaian kakak, seberapa besar pengetahuan bahasa

Jepang pengetahuan lainnya yang kakak miliki dapat membantu kakak


8

dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan berinteraksi dengan orang-

orang yang berada di dalam dan luar lingkungan kampus?

Sangat besar, tanpa Bahasa Jepang hidup di Jepang sangatlah tidak efektif.

Jika dibandingkan dengan sesama orang Indonesia, berapa persen dan

seberapa sering kakak berkomunikasi dengan orang–orang Jepang baik

di dalam dan di luar lingkungan kampus?

40% orang Jepang, 40% orang Mesir dan mahasiswa international lainnya dan,

20% orang Indonesia.

Dalam hal dan untuk alasan apa kakak biasanya berinteraksi dengan

orang-orang Jepang?

Lelucon, informasi mengenai pengumpulan tugas, job hunting, cara

penggunaan alat lab.

Seberapa sering kakak berkumpul dengan teman-teman Jepang dan

Indonesia serta kegiatan apa yang biasanya dilakukan dengan mereka?

Volunteer bersama dengan orang Jepang, culture exchange sekitar 2 – 3 kali

sebulan, tergantung kesibukan.

Ketika kakak mengalami masalah atau kesulitan siapa yang paling sering

kakak ajak bicara, sesama teman Indonesia atau teman-teman Jepang

kakak?

Teman Mesir dan teman Jepang yang dipercaya.

Menurut kakak bagaimana peran PPI Fukuoka dalam membantu kakak

dalam beradaptasi di Fukuoka?

Lumayan membantu.
9

Seberapa sering kakak membaca buku, komik, majalah, menonton tv,

film dan menggunakan media lainnya dalam bahasa Jepang?

Cukup sering, terutama film anime dan game

Berdasarkan pengalaman kakak bagaimana media-media tersebut dapat

membantu kakak untuk beradaptasi di Fukuoka?

Cukup membantu , karena membantu untuk meningkatkan kemampuan

Bahasa Jepang

Menurut kakak sebagai mahasiswa internasional, selama belajar di

Universitas Kyushu dan tinggal di Fukuoka hal-hal atau pelajaran (diluar

akademik) baru apa saja yang kakak dapatkan dan tidak pernah temui

ketika dulu berada di Indonesia?

Belajar tepat waktu di Jepang, belajar naik sepeda balap, belajar masak

makanan sendiri, belajar kejamnya dunia, belajar susahnya hidup.


TRANSKRIP WAWANCARA

INFORMASI NARASUMBER

Nama : Gde Pandhe Wisnu Suyantara

Universitas : Kyushu University

Jurusan : Department of Earth Resources Engineering

Lama tinggal di Fukuoka : 2.5 tahun

Media Wawancara : Email

Tanggal : 28 Februari 2017

PERTANYAAN PEMBUKA

Mengapa kakak memilih Jepang dan Fukuoka untuk melanjutkan studi?

Karena bidang riset yang aingin digeluti ada di Kyushu University dan ada

tawaran beasiswa dari Pemerintah Jepang melalui Kyushu University.

Bagaimana perjalanan kakak hingga akhirnya bisa berkuliah di Jepang?

Awalnya saya tertarik melanjutkan studi di Swedia, namun salah satu

supervisor saya saat S1 menawarkan untuk mengambil studi di bidang yang

beliau geluti sebelumnya dan juga memberikan kontak prof. yang sekiranya

bisa saya jajaki untuk kemungkinan studi lebih lanjut sambal menunggu waktu

untuk melamar beasiswa untuk post graduate dari JICA. Akan tetapi, sebelum

proses melamar beasiswa dari JICA dimulai, prof. tersebut menawarkan

beasiswa dari Pemerintah Jepang melalui Kyushu University dan saya

mencoba tawaran tersebut dengan mengikuti semua prosedur administrasi

dan seleksi yang disyaratkan.

1
2

Mengapa kakak memilih Universitas Kyushu untuk melanjutkan studi?

Saya tertarik untuk mendalami terkait mineral processing dan Kyushu

University adalah salah satu universitas yang memiliki lab terkait mineral

processing terbaik di Jepang. Selain itu, rekomendasi dari supervisor saya

(terkait dengan riset, proses pembimbingan, dan karakter prof. yang

membimbing) selama S1 tersebut juga adalah alasan mengapa saya memilih

Kyushu University.

Persiapan apa saja yang kakak lakukan sebelum berangkat ke Fukuoka?

Sebelum berangkat saya diberikan informasi oleh sekretaris prof. terkait

dengan beberapa orang Indonesia yang ada di dalam lab yang sama. Jadi

saya coba kontak mereka terkait hal-hal yang mungkin saya perlu bawa dari

Indonesia, terkait makanan, pakaian, suhu terendah, dan perlengkapan

pribadi. Tentunya juga ada persiapan terkait dengan pengajuan visa untuk

belajar dan pengurusan pendaftaran ke Kyushu University.

PERTANYAAN PENELITIAN

A. Gegar Budaya & Fukuoka

Bagaimana perasaan dan pandangan kakak mengenai Fukuoka saat di

awal-awal kedatangan? Apakah sesuai dengan ekpektasi kakak atau

bahkan lebih?

Mungkin tidak terhadap Fukuoka secara khusus, melainkan Jepang. Ada

perasaan tertantang sekaligus sedikit takut mengingat di Jepang, saya akan

seperti orang buta dan tuli karena tidak bisa membaca kanji dan
3

berkomunikasi dalam Bahasa Jepang. Dan ternyata, untuk fasilitas publik

seperti transportasi, tersedia terjemahan dalam Bahasa Inggris sehingga

cukup banyak membantu pada saat awal kedatangan di Fukuoka.

Hal – hal menyenangkan apa saja yang kakak alami saat awal-awal

kedatangan di Fukuoka?

Hal yang menyenangkan adalah kenyamanan di dormitory, keteraturan

masyarakatnya, dan fasilitas umum yang tersedia, belajar mengenai budaya

Jepang dan berlatih untuk disiplin.

Setelah beberapa lama tinggal di Fukuoka, kesulitan-kesulitan apa saja

yang mulai kakak alami? Apakah kakak mengalami kejadian yang

menurut kakak tidak menyenangkan?

Kesulitan terbesar adalah Bahasa Jepang, jadi gak banyak informasi yang

bisa diserap dan bisa jadi salah paham karena orang Jepang juga tidak

banyak yang bisa memahami Bahasa Inggris. Sejauh ini tidak ada hal yang

tidak menyenangkan terjadi kepada saya.

Menurut kakak culture shock apa saja yang kakak rasakan selama di

Fukuoka?

Karena Fukuoka bukanlah kota pertama di luar negeri dimana saya tinggal

cukup lama, jadi hal yang terkait dengan culture shock sudah tidak terlalu saya

rasakan lagi. Terlebih, Budaya Jepang mementingkan keramahan dan

penjagaan etika dan sikap terhadap orang lain yang menurut saya sangat

mirip dengan budaya di Indonesia. Kemungkinan yang saya anggap culture


4

shock adalah alur pikir dalam hal akademis dan cara orang Jepang dalam

menyampaikan pesan dalam media, baik untuk publik ataupun akademis.

Bagaimana perasaan kakak ketika berhadapan dengan kesulitan-

kesulitan dan culture shock tersebut? Pernahkan kakak merasa bingung,

aneh, tertekan hingga sulit tidur karena hal-hal tersebut?

Sejauh ini saya belum pernah merasakan hal tersebut. Jika pun ada, saya

biasanya akan mencoba beradaptasi dengan perbedaan yang ada sehingga

kesulitan-kesulitan yang ada tidak menjadi beban.

Ketika kakak menghadapi kesulitan-kesulitan dan culture shock,

bagaimana cara kakak untuk keluar dari kondisi membingungkan

tersebut?

Biasanya, dengan berbagi dan bercerita kepada orang dekat terutama

keluarga. Kemudian mencoba melihat dari sisi kalau orang disini hidupnya

dengan budaya seperti itu, trus kenapa saya tidak bisa juga hidup seperti itu?

Pemikiran seperti ini membuat saya mencoba memahami budaya yang

berbeda tadi dan belajar untuk menerima kesulitan yang ada sebagai

tantangan untuk mengembangkan diri.

Perbedaan apa yang paling kakak rasakan diantara Fukuoka dengan

daerah asal kakak?

Makanan dengan selera lidah Indonesia, kefasihan dalam berkomunikasi

dengan sekitar, dan dalam batas tertentu, ketidakteraturan Indonesia.

Perbedaan mendasar adalah suasananya, cuacanya, dan keteraturannya.

Bagaimana cara kakak untuk menghilangkan rasa homesick?


5

Ngobrol dengan rekan Indonesia dan komunikasi intensif dengan orang tua

dan keluarga, melihat perkembangan tanah air dari media sosial, dan

membawa makanan kesukaan dari Indonesia.

Secara umum bagaimana penilaian kakak mengenai orang-orang

Fukuoka? Bagaimana pandangan kakak mengenai sikap orang-orang

Fukuoka terhadap kakak sebagai seorang outsider? Pernahkan kakak

merasa diperlakukan berbeda (positif – negatif) dengan orang Jepang

karena kakak bukan orang Jepang?

Orang Fukuoka bagi saya sangat ramah, tidak ingin mencampuri urusan orang

lain, dan suka menolong saat saya mengalami kesulitan. Sebagai orang asing,

mereka bisa dibilang tertarik untuk mengenal saya, beberapa orang malah

mencoba berkomunikasi dengan meskipun tidak memiliki kemampuan

Bahasa Inggris yang memadai, mereka ingin tahu saya dari negara mana.

Perlakuan berbeda secara positif saya alami selama hidup di Fukuoka,

terutama untuk beberapa hal teknis dimana saya mendapatkan pengecualian.

Menurut kakak perbedaan apa yang paling mencolok diantara budaya

Indonesia dengan Jepang? Apakah ada hal-hal dari budaya Jepang yang

kakak kurang sukai atau menurut kakak kurang cocok untuk diikuti?

Menurut saya yang perbedaan yang mencolok adalah disiplin, kepatuhan

terhadap aturan dan prosedur yang berlaku, dan menempatkan ketertiban

umum dan kepentingan orang lain diatas segalanya. Menurut saya pribadi ada

beberapa hal yang menurut saya kurang cocok untuk diikuti, misalnya budaya

senioritas yang dalam kadar tertentu menghambat perkembangan juniornya,


6

dan cara orang Jepang yang biasanya mengambil “jalan memutar” dalam

menyampaikan keinginan tertentu, yang sering kali bisa berakhir salah tafsir

jika kita tidak pandai dalam menerka keinginan tersebut.

Ketika kakak sedang berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda

budaya dengan kakak, bagaimana cara kakak merespon mereka?

Saya biasanya lebih cenderung menempatkan posisi saya di dalam posisi

mereka, mendengarkan bagaimana budaya mereka kemudian baru mencoba

berinteraksi yang menyesuaikan dengan budaya yang mereka miliki sehingga

tidak menimbulkan kesalahan dalam berinteraksi.

Bagaimana cara kakak menyesuaikan diri dengan adanya perbedaan di

antara budaya Jepang dengan Indonesia?

Perbedaan yang ada saya pandang sebagai bagian dalam proses

memperkaya pengalaman saya pribadi. Jadi selalu terbuka dengan berbagai

perbedaan yang ada.

Saat ini bagaimana perasaan kakak tinggal di Fukuoka, menurut kakak

apakah lebih nyaman tinggal di Fukuoka atau Indonesia?

Secara fasilitas, menurut saya lebih nyaman Fukuoka, namun secara interaksi

sosial, Indonesia memiliki daya tarik tersendiri yang gak bisa tergantikan.

B. Gegar Budaya dan Universitas Kyushu

Bagaimana perasaan dan penilaian kakak mengenai Universitas Kyushu

saat datang pertama kali? Apakah sesuai dengan ekpektasi kakak atau

bahkan lebih?
7

Karena saya tidak pernah memiliki ekspektasi tertentu terhadap Universitas

Kyushu, jadi saya tidak tahu harus menjawab seperti apa.

Hal – hal menarik apa saja yang kakak alami saat awal-awal belajar di

Universitas Kyushu?

Ada banyak hal baru yang bisa dipelajari, proses pembelajaran yang cukup

berbeda, berusaha menggunakan peralatan instrumentasi di lab yang

berbahasa Jepang, memahami jadwal bis dan tempat belanja yang cukup

murah, dan mengenal dan mengingat nama-nama orang Jepang yang cukup

sulit.

Setelah beberapa lama belajar disana, kesulitan-kesulitan dan culture

shock apa saja yang kakak alami ketika berada di Universitas Kyushu?

Perbedaan apa yang paling kakak rasakan ketika dulu berkuliah / belajar

di Indonesia dengan berkuliah di Jepang?

Secara attitude, mahasiswa disini memiliki tingkat keaktifan di ruang kuliah

yang mirip dengan mahasiswa di Jepang misalnya tidak terlalu banyak

pertanyaan di dalam kelas (entah karena sudah paham atau memang tidak

paham tapi enggan bertanya). Perbedaannya mungkin dari sisi beban riset

yang cukup tinggi untuk mahasiswa master dan fasilitas riset yang lebih

lengkap sehingga setiap hasil bisa terkorelasi dan terkonfirmasi dengan

berbagai instrumentasi analisis yang ada. Culture shock-nya sepertinya ada

pada kita dituntut untuk menguasai alat analasis secara mandiri sementara di

Indonesia, biasanya untuk analisis sampel yang membutuhkan peralatan

khusus harus dikirim ke unit atau universitas lain.


8

Menurut kakak seberapa besar kesulitan-kesulitan dan culture shock di

kampus kakak mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan akademik kakak?

Di awal masa studi, kesulitan-kesulitan dalam hal budaya dan komunikasi

yang saya hadapi cukup membuat studi akademik saya sedikit terhambat.

Menurut kakak bagaimana sikap teman-teman dan dosen-dosen Jepang

terhadap kakak sebagai seorang mahasiswa dari Indonesia? Pernahkan

kakak merasa diperlakukan berbeda (positif – negatif) oleh mereka

karena kakak bukan mahasiswa Jepang?

Berhubung saya bukanlah mahasiswa asing pertama di lab saya, sikap teman-

teman dan dosen-dosen Jepang menurut saya cukup positif terhadap

keberadaan saya. Perlakuan berbeda itu terjadi sepanjang perjalanan saya

menempuh studi disini, terutama terkait dengan tanggung jawab tugas-tugas

dan peralatan di dalam lab dan juga untuk menangani beberapa kesulitan

penelitian di dalam lab.

Bagaimana cara kakak menyesuaikan diri dengan pola belajar

mahasiswa Jepang?

Berhubung saya adalah mahasiswa S3, yang lebih banyak fokus pada

penelitian, jadi saya tidak terlalu banyak berinteraksi dengan pola belajar

mahasiswa Jepang.

Menurut kakak bagaimana pihak Universitas membantu kakak untuk

beradaptasi dengan lingkungan kampus?

Pihak kampus memberikan berbagai fasilitas untuk beradaptasi dengan

lingkungan kampus misalnya dengan memberikan seorang supporter yang


9

membantu saya beradaptasi dengan lingkungan baru selama beberapa bulan

awal disini. Selain itu, beberapa informasi penting terkait dengan keselamatan

dan akademis juga tersedia dalam bahasa Inggris sehingga tidak menyulitkan

saya yang tidak memiliki kemampuan bahasa Jepang.

Bagaimana perasaan kakak saat ini berkuliah di Fukuoka?

Cukup senang karena berkesempatan menimba ilmu di dalam lab yang sangat

memadai fasilitas risetnya. Kultur akademiknya juga cukup bagus dengan

mahasiswa-mahasiswa Jepang yang sangat banyak membantu saya dalam

menghadapi berbagai administrasi dalam bahasa Jepang.

C. Host Communication Competence

Apakah kakak pernah mengikuti ujian Japanese Language Proficiency

Test (JLPTN) sebelumnya? Jika tidak keberatan, berapa level terakhir

yang kakak dapatkan? Bagaimana cara kakak belajar bahasa Jepang?

Saya tidak pernah ikut JLPTN.

Kesulitan apa yang kakak alami saat berinteraksi dengan orang-orang

Jepang baik di dalam dan di luar lingkungan kampus? Bagaimana cara

kakak menangani kesulitan tersebut?

Kesulitan paling besar adalah komunikasi. Untuk mengatasi ini, saya mencoba

belajar bahasa Jepang dengan mengenal kata-kata penting yang sering

digunakan ataupun menggunakan aplikasi penerjemah apabila diperlukan

untuk membantu pemahaman saya.


10

Selama berada di Fukuoka, menurut kakak bagaimana perbedaan cara

komunikasi antara orang Indonesia dengan orang Jepang?

Orang Jepang lebih bersikap pemalu terhadap orang asing, sehingga kita peru

lebih proaktif dalam berkomunikasi. Terlebih mereka biasanya malu karena

tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai. Sementara saya

memandang orang Indonesia, sejauh ini, bersikap lebih terbuka dengan orang

baru.

Menurut kakak bagaimana cara orang-orang Jepang mengungkapkan

perasaannya (sedih, senang, marah dan sebagainya) kepada orang lain?

Bagaimana cara kakak untuk mengetahui hal-hal tersebut?

Sejauh ini orang Jepang yang saya temui cukup ekspresif dalam

mengungkapkan ide atau perasaannya. Jadi untuk memahami perasaannya,

selain dari pola bahasa yang digunakan, saya juga memperhatikan mimic

muka apakah lawan bicara tersebut sedang bercanda, serius, atau kurang

nyaman dengan komunikasi yang kita lakukan.

Berdasarkan penilaian kakak, seberapa besar pengetahuan bahasa

Jepang dan pengetahuan lain yang kakak miliki dapat membantu kakak

dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan berinteraksi dengan orang-

orang sekitar?

Kemampuan dalam berbahasa Jepang sangat banyak membantu dalam

menyerap segala informasi dan berkomunikasi dengan lingkungan di sekitar

kita.
11

D. Interpersonal Communication

Jika dibandingkan dengan sesama orang Indonesia, berapa persen dan

seberapa sering kakak berkomunikasi dengan orang–orang Jepang baik

di dalam dan di luar lingkungan kampus?

40% saya berinteraksi dengan orang Jepang di dalam kampus. Interaksi di

luar kampus sekitar 80% dengan orang Jepang.

Dalam hal dan untuk alasan apa kakak biasanya berinteraksi dengan

orang-orang Jepang?

Biasanya terkait dengan kegiatan di kampus dan penelitian, terkait dengan

pengurusan administrasi, dan petunjuk untuk menuju suatu lokasi.

Seberapa sering kakak berkumpul dengan dengan teman-teman Jepang

dan Indonesia sendiri, serta kegiatan apa yang biasanya dilakukan

dengan mereka?

Sepertinya sejauh ini saya lebih banyak berkumpul dengan orang-orang

Indonesia ketimbang orang-orang Jepang. Kegiatan berkumpul dengan orang

Jepang biasanya dilakukan ketika ada pesta di lab, atau ada kegiatan olahraga

bersama.

Ketika kakak mengalami masalah atau kesulitan siapa yang paling sering

kakak ajak bicara, sesama teman Indonesia atau teman-teman Jepang

kakak?

Saya lebih cenderung menghubungi keluarga terlebih dahulu, teman-teman

Indonesia yang kedua, teman-teman internasional dan kemudian teman-

teman Jepang.
12

Menurut kakak bagaimana peran PPI Fukuoka dalam membantu kakak

dalam beradaptasi di Fukuoka?

PPI Fukuoka memberikan kesempatan saya untuk melepas kangen dalam

berkomunikasi dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti melalui berbagai

kegiatan yang diselenggarakan. Selain itu, PPI Fukuoka juga menjadi wadah

untuk bertanya terkait tips and trick, ataupun informasi untuk bertahan hidup

di Jepang.

E. Media Massa

Seberapa sering kakak membaca buku, komik, majalah, menonton tv,

film dan menggunakan media lainnya dalam bahasa Jepang?

Cukup minim sih, mungkin 10%.

Berdasarkan pengalaman kakak bagaimana media-media tersebut dapat

membantu kakak untuk beradaptasi di Fukuoka?

Sepertinya tidak terlalu banyak, saya lebih banyak terbantu dengan media

berbahasa Inggris atau Indonesia yang mengulas seluk beluk kehidupan di

Jepang.

PERTANYAAN PENUTUP

Menurut kakak sebagai mahasiswa internasional, selama belajar di

Universitas Kyushu dan tinggal di Fukuoka hal-hal atau pelajaran (diluar

akademik) baru apa saja yang kakak dapatkan dan tidak pernah temui

ketika dulu berada di Indonesia?


13

Saya belajar tentang bagaimana bersikap agar tidak menggangu kepentingan

orang lain, memperhatikan hal-hal kecil dan detail, mengenal teknologi dan

arti efisiensi, dedikasi, dan loyalitas.


TRANSKRIP WAWANCARA

INFORMASI NARASUMBER

Nama : Herpin D

Universitas : Kyushu University

Jurusan : Manajemen Bisnis & Teknologi (Program MBA)

Lama tinggal di Fukuoka : 6 tahun

Media Wawancara : Email

Tanggal : 16 Februari 2017

PERTANYAAN PEMBUKA

Mengapa kakak memilih Jepang dan Fukuoka untuk melanjutkan studi?

Karena pernah tinggal di Jepang (Tokyo) 13 tahun lalu, lamanya +/-1 tahun.

Memori yang indah kudapat tentang keteraturan kota, orang-orangnya hangat,

teknologi canggih, dll.

Bagaimana perjalanan kakak hingga akhirnya bisa berkuliah di Jepang?

Pertama-tama, aku mencoba mendaftar beasiswa research student di

kedutaan besar Jepang di Jakarta. Ternyata dapat panggilan tes tulis dan

interview. Alhamdulillah, terpilih diantara 5.000-an orang aplikan, akhirnya 41

orang berangkat ke Jepang.

Mengapa kakak memilih Universitas Kyushu untuk melanjutkan studi?

Universitas ini dipilihkan oleh Kementerian Pendidikan Jepang karena ada

jurusan yang aku tuju yaitu program MBA

Persiapan apa saja yang kakak lakukan sebelum berangkat ke Fukuoka?

1
2

Dokumen, barang-barang yang diperlukan, dll.

PERTANYAAN PENELITIAN

A. Gegar Budaya & Fukuoka

Bagaimana perasaan dan pandangan kakak mengenai Fukuoka saat di

awal-awal kedatangan? Apakah sesuai dengan ekpektasi kakak atau

bahkan lebih?

Lebih. Kotanya rapi, cukup metropolitan tapi ada juga pantainya, gunungnya,

desanya, dll. Nyaman untuk ditinggali.

Hal – hal menyenangkan apa saja yang kakak alami saat awal-awal

kedatangan di Fukuoka?

Tinggal di dormitory yang nyaman, bertemu teman-teman dari berbagai

negara, pergi membuat ID card ke kantor kecamatan yang tertib dan teratur.

Setelah beberapa lama tinggal di Fukuoka, kesulitan-kesulitan apa saja

yang mulai kakak alami? Apakah kakak mengalami kejadian yang

menurut kakak tidak menyenangkan?

Alternatif makanan halal terbatas dan hanya ada 1 mesjid di fukuoka.

Menurut kakak culture shock apa saja yang kakak rasakan selama di

Fukuoka?

Lingkungan pertetanggaan kurang akrab, kurang guyub. Individual lifestyle

Bagaimana perasaan kakak ketika berhadapan dengan kesulitan-

kesulitan dan culture shock tersebut? Pernahkan kakak merasa bingung,

aneh, tertekan hingga sulit tidur karena hal-hal tersebut?


3

Tidak terlalu

Ketika kakak menghadapi kesulitan-kesulitan dan culture shock,

bagaimana cara kakak untuk keluar dari kondisi membingungkan

tersebut?

Aku tetap berbuat baik kepada tetangga, mengirim makanan dan mengobrol.

Jadi akhirnya lebih akrab dan nyaman.

Perbedaan apa yang paling kakak rasakan diantara Fukuoka dengan

daerah asal kakak?

Di depok kotaku, banyak pedagang keliling menjual makanan.

Bagaimana cara kakak untuk menghilangkan rasa homesick?

Aku tidak homesick

Secara umum bagaimana penilaian kakak mengenai orang-orang

Fukuoka? Bagaimana pandangan kakak mengenai sikap orang-orang

Fukuoka terhadap kakak sebagai seorang outsider? Pernahkan kakak

merasa diperlakukan berbeda (positif – negatif) dengan orang Jepang

karena kakak bukan orang Jepang?

Orang jepang tegas ketika ada yang melanggar aturan, tapi menghargai tiap

usaha. Mereka juga cenderung tertutup, tapi hangat kalau kita telah mengenal

baik. Tapi tidak ada dikrisminasi.

Menurut kakak perbedaan apa yang paling mencolok diantara budaya

Indonesia dengan Jepang? Apakah ada hal-hal dari budaya Jepang yang

kakak kurang sukai atau menurut kakak kurang cocok untuk diikuti?
4

Jepang on time, taat aturan, etika yang utama, tertib. Indonesia lebih akrab

dan guyub. Jepang kurang baik dalam hal hubungan antar orang (terutama

antar tetangga) yang kurang tolong menolong.

Ketika kakak sedang berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda

budaya dengan kakak, bagaimana cara kakak merespon mereka?

Tetap harus dimana bumi dipijak disana langit dijunjung. Tetap kita hormati

nilai-nilai, etika dan aturan yang mereka punya.

Bagaimana cara kakak menyesuaikan diri dengan adanya perbedaan di

antara budaya Jepang dengan Indonesia?

Tetap berpikir positif

Saat ini bagaimana perasaan kakak tinggal di Fukuoka, menurut kakak

apakah lebih nyaman tinggal di Fukuoka atau Indonesia?

Kalau lingkungan alam lebih nyaman di Fukuoka. Kalau hubungan antar

manusia, lebih baik Indonesia

B. Gegar Budaya & Universitas Kyushu

Bagaimana perasaan dan penilaian kakak mengenai Universitas Kyushu

saat datang pertama kali? Apakah sesuai dengan ekpektasi kakak atau

bahkan lebih?

Baik. sesuai dengan ekpektasi

Hal – hal menarik apa saja yang kakak alami saat awal-awal belajar di

Universitas Kyushu?

Ditemani tutor yang begitu baik membimbing hingga ujian masuk


5

Setelah beberapa lama belajar disana, kesulitan-kesulitan dan culture

shock apa saja yang kakak alami ketika berada di Universitas Kyushu?

Perbedaan apa yang paling kakak rasakan ketika dulu berkuliah / belajar

di Indonesia dengan berkuliah di Jepang?

Hambatan: Bahasa Jepang, karena menggunakan level yang begitu tinggi

(scientific).

Perbedaan: Pengajar di Jepang on time.

Menurut kakak seberapa besar kesulitan-kesulitan dan culture shock di

kampus kakak mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan akademik kakak?

Tidak begitu

Menurut kakak bagaimana sikap teman-teman dan dosen-dosen Jepang

terhadap kakak sebagai seorang mahasiswa dari Indonesia? Pernahkan

kakak merasa diperlakukan berbeda (positif – negatif) oleh mereka

karena kakak bukan mahasiswa Jepang?

Tidak pernah

Bagaimana cara kakak menyesuaikan diri dengan pola belajar

mahasiswa Jepang?

Banyak menyiapkan jauh-jauh hari materinya.

Menurut kakak bagaimana pihak Universitas membantu kakak untuk

beradaptasi dengan lingkungan kampus?

Mengadakan welcome party di awal.

Bagaimana perasaan kakak saat ini berkuliah di Fukuoka?

Senang, banyak pengajar yang kompeten, teman dari berbagai negara


6

C. Host Communication Competence

Apakah kakak pernah mengikuti ujian Japanese Language Proficiency

Test (JLPTN) sebelumnya? Jika tidak keberatan, berapa level terakhir

yang kakak dapatkan? Bagaimana cara kakak belajar bahasa Jepang?

Level dua. Ada guru di Tokyo dulu, dan banyak latihan bicara dengan teman-

teman Jepang.

Kesulitan apa yang kakak alami saat berinteraksi dengan orang-orang

Jepang baik di dalam dan di luar lingkungan kampus? Bagaimana cara

kakak menangani kesulitan tersebut?

Orang Jepang cenderung tertutup. Caranya kita mulai lebih dahulu berbicara

dan mendekati agar mereka nyaman berteman dengan kita.

Selama berada di Fukuoka, menurut kakak bagaimana perbedaan cara

komunikasi antara orang Indonesia dengan orang Jepang?

Orang Jepang cenderung menjaga hati orang, orang Indo lebih blak-blakan.

Menurut kakak bagaimana cara orang-orang Jepang mengungkapkan

perasaannya (sedih, senang, marah dan sebagainya) kepada orang lain?

Bagaimana cara kakak untuk mengetahui hal-hal tersebut?

Kalau ada yang melanggar aturan, mereka akan tegur. Kalau orang lain baik,

mereka akan memuji,

Berdasarkan penilaian kakak, seberapa besar pengetahuan bahasa

Jepang dan pengetahuan lain yang kakak miliki dapat membantu kakak

dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan berinteraksi dengan orang-

orang yang berada di dalam dan luar lingkungan kampus?


7

Penting sekali

D. Interpersonal Communication

Jika dibandingkan dengan sesama orang Indonesia, berapa persen dan

seberapa sering kakak berkomunikasi dengan orang–orang Jepang baik

di dalam dan di luar lingkungan kampus?

30%

Dalam hal dan untuk alasan apa kakak biasanya berinteraksi dengan

orang-orang Jepang?

Untuk akademik, untuk kehidupan tetangga, untuk pertemanan

Seberapa sering kakak berkumpul dengan dengan teman-teman Jepang

dan Indonesia sendiri, serta kegiatan apa yang biasanya dilakukan

dengan mereka?

Bertemu tetanga Jepang di kerja bakti lingkungan. 1 bulan 1 kali. Bertemu dua

minggu-1 bulan 1 kali utk pengajian orang indo

Ketika kakak mengalami masalah atau kesulitan siapa yang paling sering

kakak ajak bicara, sesama teman Indonesia atau teman-teman Jepang

kakak?

Teman Indo (suami)

Menurut kakak bagaimana peran PPI Fukuoka dalam membantu kakak

dalam beradaptasi di Fukuoka?

Cukup ada pengaruhnya. Ada kegiatan bertemu orang Indo.


8

E. Media Massa

Seberapa sering kakak membaca buku, komik, majalah, menonton tv,

film dan menggunakan media lainnya dalam bahasa Jepang?

Membaca artikel di internet, tapi tidak sering. TV dulu sering, tapi tak ada lagi

karena ada anak-anak jadi tidak memakai tv di rumah. Koran/pamphlet dari

kota fukuoka cukup sering.

Berdasarkan pengalaman kakak bagaimana media-media tersebut dapat

membantu kakak untuk beradaptasi di Fukuoka?

Cukup membantu memahami budaya Jepang dan berita update.

PERTANYAAN PENUTUP

Menurut kakak sebagai mahasiswa internasional, selama belajar di

Universitas Kyushu dan tinggal di Fukuoka hal-hal atau pelajaran (diluar

akademik) baru apa saja yang kakak dapatkan dan tidak pernah temui

ketika dulu berada di Indonesia?

Orang jepang merencanakan tiap agenda jauh-jauh hari, detail, dan on time.

Jadi tertib dan teratur, tidak terburu-buru. Bekerja begitu cepat dan tekun.

Mereka juga mengutamakan manner dalam tiap hal. Kantor pelayanan publik

begitu baik dalam melayani, karena menurut mereka pelanggan adalah bagai

tuhan.
TRANSKRIP WAWANCARA

Narasumber : Rizki Fitria Darmayanti

Universitas : Universitas Kyushu

Jurusan : Innovative Science and Technology for Bio

Industry

Lama tinggal di Fukuoka : 3 tahun

Media Wawancara : Skype

Tanggal : 5 Februari 2017

Saya ingin tahu kenapa kakak memilih Jepang dan Fukuoka untuk

melanjutkan studi?

Saya kan penelitiannya tentang Biobutanol. Dulu kalau saya pengen kuliah

di luar negeri, pengennya di negara yang udah ada pabrik biobutanolnya.

Waktu itu ada Amerika sama Jepang, kalau di Amerika kan harus ambil ujian

macem-macem dan mahal. Kalau di Jepang kan daftar dulu, kalau dapet

beasiswa yaudah beasiswanya yang bayarin. Monbusho waktu itu dapet

Alhamdullilah, terus Fukuoka karena bapak yang risetnya tentang

Biobutanol itunya adanya di Kyushu University.

Kakak juga sebenarnya awalnya suka Jepang gak?

Suka nonton kartun Jepang, sering denger-denger juga budayanya bagus

disiplin dan juga pernah nonton beberapa dorama-dorama Jepang juga

pernah.

Persiapan yang kakak lakukan sebelum ke Fukuoka apa aja?

1
2

Gak ada kayaknya waktu, cuma nuker duit sama belajar Jepang dikit-dikit tapi

tetep aja paling taunya cuma ohayou, arigatou, gitu-gitu. Di Kyushu University

itu ada namanya supporter, jadi kalau kita pertama kali datang itu ada yang

bantuin.

Orang Jepangnya langsung kak?

Iya, macem-macem sih kadang ada yang orang Jepang, kadang ada yang

orang asing juga tapi yang bisa bahasa Jepang. Dulu aku dapetnya orang

Jepang, satu lab. Terus dia yang nganterin ke kantor kecamatan untuk urus

asuransi kesehatan, ngurus KTP (residence card), nganterin belanja jadi kalau

belanja dimana, cari makanan-makanan halal dimana, anterin ke masjid,

anterin ke kampus.

Supporter kakak nemeninnya sampai berapa lama?

Officialnya sih 3 bulan untuk nemenin, tapi karena 1 lab jadi kalo misalkan ada

surat dateng pake bahasa Jepang minta dibacain.

Kalau untuk S2 itu bahasa Jepang memang gak terlalu diharuskan ya

kak?

Tergantung dari fakultasnya, kalau aku program kuliahnya bahasa Inggris jadi

gak wajib berbahasa Jepang. Tapia da juga di kampus Kyushu University

sendiri yang ada kuliahnya bahasa Inggris belum semua ada. Hanya ada

beberapa, aku kan pertanian itu ada. Tapi kalau bahasa Jepang, iya untuk

komunikasi kehidupan sehari-hari kalau belanja-belanja, naik-naik

transportasi umum, ada sih tulisan bahasa Inggrisnya kalau di stasiun,

terminal. Komunikasi sama temen atau sesama mahasiswa mereka juga


3

sebenernya jago-jago bahasa Inggrisnya dan pengen mempraktekan bahasa

Inggris sama orang asing.

Berarti kakak lebih sering ngomong bahasa Inggris sama mereka?

Dulu-dulu sih iya, tapi setelah belajar bahasa Jepang ya pake bahasa Jepang

akhirnya.

Dulu waktu pertama kali ke Fukuoka gimana perasaan kakak? Sama

kakak dulu pas liat Fukuoka awal-awalnya gimana?

Gak tahu apa-apa, liat tulisan-tulisan sama semua kanji kan bingung. Pas lihat

itu gak ada rumah, apartemen semua. Liat Jepang keren bersih, gak ada yang

nerabas lampu merah, orangnya baik-baik, ramah-ramah, suka menolong.

Berarti waktu kakak pertaman kali ke Jepang sesuai dengan ekspektasi

kakak atau lebih?

Kalau tentang kebersihan udah sesuai ekspektasi, tapi ternyata orangnya

baik-baik. Dulu dikirain orangnya individualis.

Kesulitan yang paling kakak rasakan terutama pas awal-awal?

Bahasa Jepang sih, terutama kalau mau daftar-daftar gitu, semua dokumen-

dokumen berbahasa Jepang. Kalau gak ada supporternya pasti kesulitan.

Naik kendaraan agak sulit juga, kalau gak ada nemenin cukup sulit kalau mau

naik kereta atau bis. Dulu pas pertama kali naik bus dari asrama ke kampus,

di hari sebelumnya diceritain nanti 14 halte dari asrama, terus aku hitungin kan

bahasa Jepang semua tulisannya dan untung gak nyasar. Pas awal-awal

makanan halal, kan kita gak tahu kalau kue itu ternyata ada lemak-lemak

hewannya.
4

Kalau culture shock yang paling kakak rasakan apa?

Pekerjaan di lab. Kalau di lab perkerjaannya, kalau di Indonesia dulu pas aku

skripsi, penelitiannya bareng-bareng. Cuma kalau disini bener-bener satu

perkerjaan satu orang. Terus banyak orang-orang yang lembur.

Kakak ikut lembur juga?

Kalau saya kadang lembur, tapi memamg penelitiannya harus nyampel setiap

6 jam atau 12 jam, jadi malam ke kampus terus pulang lagi kadang. Dulu

pernah juga sampai nginep, pas rumahnya masih di asrama kan jauh jadi gak

pulang, tidur di lab.

Kalau kayak masalah agama pernah kesulitan gak kak?

Paling makanan, Kalau tentang sholat, di lab kalau kita ngomong sama

senseinya / pak gurunya itu dikasih tahu jadi oh ya boleh sholat dan bisa sholat

dimana aja. Terus kadang ditanya-tanya tentang isis, tapi orang Jepang baik-

baik sih. Orang Jepang sama agama gak terlalu sensitif. Kalau misalkan pergi

dan mau sholat gitu, cari-cari pojokan aja, wudhu di westafel toilet, mereka

baik-baik aja, gak ada masalah.

Kakak pernah gak waktu awal-awal gitu kayak sampai merasa tertekan

gara-gara bingung bahasa Jepang sama kerja di lab?

Enggak sih untungnya. Pak guru juga untungnya pas awal-awal itu bilang

“Please enjoy Japan”. Kan diajarin kalau gak tahu, mesti diajarin sama temen-

temen.

Kakak pernah menghadapi homesick gak?

Enggak karena dulu pas S1 merantau. Jadi biasa aja.


5

Kakak pernah diperlakukan berbeda sama orang Jepang karena kakak

outsider bukan orang Jepang?

Mungkin pernah, tapi jarang sih kalau yang negatif cuma pernah di Seven

Eleven pas lagi ada Isis-Isis gitu, ada yang bisik-bisik ada orang islam. Paling

iya kalo pas ada kelakukan berbeda misalnya ada perpisahan temen abis

sidang di lab biasanya kan ada makan-makan, udah dikasih makanan yang

halal gitu kan.

Mereka minum-minum gak sih kak?

Mereka minum-minum tapi kalau yang mereka minum-minum aku gak ikut

biasanya. Yang kalau mereka gak minum-minum biasa aku ikut. Jadi mereka

udah tahu, jadi dikasih tahu ini kita gak minum-minum kok jadi kamu bisa ikut.

Terus makanannya kan itu kayak makanannya yang berbumbu-bumbu gitu.

Berbumbu maksudnya gimana kak?

Kalau disini restoran halalnya itu kayak masakan Mesir, India.

Kakak dikasihnya itu?

Iya terus mereka juga pengen deh makanan kita. Yaudah kita bagi juga

makanannya. Terus kalau di lab biasanya orang asingnya gak terlalu dikasih

banyak tugas. Biasanya anak lab, anak Jepangnya itu disuruh macem-macem

di lab, disuruh ngurus-ngurus bahan-bahan. Itu kan yang ngurusin anak

Jepang semua, kalau orang asing sih enggak.

Menurut kakak perbedaan paling mencolok antara budaya Indonesia

sama Jepang apa kak?

Budaya itu dari karakternya?


6

Iya bisa kak.

Orang Jepang jujur, pokoknya kalo gak mau bilang gak mau.

Mereka to the point kak?

Macem-macem sih ada yang to the point ada yang enggak. Daripada

melakukan banyak hal tapi kurang komitmen mereka mendingan melakukan

hal yang bener-bener bisa dia komitmen salah satunya. Jadi kalau gak mau

bener-bener nolak, daripada nanti janji-janji tapi gak bisa. Terus sepenuh hati

banget kalau melakukan sesuatu. Kan aku pernah sendirian nyari tempat,

terus nanya orang dijalan, eh dianterin sampe nyampe. Terus aku nanya

barang di lab, ini dimana eh dianterin lagi ke lab yang satunya padahal jauh.

Aku jadi terharu. Mungkin kalo negatifnya, Ikatan dalam keluarga tuh kurang

kayaknya kalo aku amati. Sama temen lebih deket. Tapi selebihnya, oh iya ini

orangnya sopan-sopan banget.

Lebih sopan dari kita kak?

Iya kalem-kalem gitu orangnya, gak pernah marah kayaknya. Gak pernah aku

lihat orang Jepang marah, jarang kecuali kalau yang memang lagi mabuk atau

stress gitu.

Kalau kakak ngomong sama mereka terus mereka punya pandangan

yang beda sama kakak, gimana cara kakak merespon mereka?

Santai-santai aja. Tentang agama juga kita kadang cerita-cerita.

Kakak sering dapat pertanyaan tentang agama?

Iya, tapi jarang yang nanya-nanya itu lebih banyak orang asing, bukan orang

Jepang. Maksudnya temen-temenku yang orang asing lainnya, misalnya


7

orang-orang asing lainnya waktu itu ada orang Cina pernah nanya itu. Kalau

orang Jepang ada tapi jarang.

Kakak bagaimana caranya menyesuaikan diri dengan perbedaan

diantara budaya Jepang dengan Indonesia?

Apa ya, malah seneng sih kalau aku ya. Soalnya ternyata lebih banyak

positifnya orang Jepang itu dibandingkan saya sendiri. Malah kayaknya saya

merasa lebih, dulu saya orangnya suka aneh-aneh sekarang kayaknya malah

jadi kalem. Terus perbedaan yang beda banget cuma ini sih yang gak bisa

menyesuaikan karena kebiasaan minum-minum itu aja sih yang saya gak bisa

ikut.

Terus saya mau lebih tahu tentang kakak di Universitas Kyushu. Waktu

kakak pertama kali di Unversita Kyushu gimana ekspektasi kakak?

Ekspektasinya banyak alat-alat canggih.

Teman-temannya baik kak?

Pengennya sih gitu, tapi emang baik kok. Oh iya pengennya bisa ngerjain

rencana penelitian dulunya, ternyata penelitiannya itu sudah diarahkan sama

dosennya. Itu sih palingan yang sedikit berbeda dengan ekspektasi. Dulu

diterima proposal ku cuma diarahkan lagi karena mereka sudah membentuk

grup riset jadi sudah dibagi-bagi pekerjaannya.

Yang menarik belajar di Kyushu itu apa kak?

Seru sih bisa belajar bahasa Jepang gratis salah satunya. Risetnya juga harus

laporan terus, bahan-bahan gratis. Banyak kegiatan juga untuk mahasiswa

asing kayak field trip, kadang-kadang ada pertandingan olahraga, ada jalan-
8

jalan. Terus Fukuoka gak serame Tokyo. Rame tapi sedang-sedang saja. Gak

sepi-sepi banget juga. Fukuoka itu juga terkenal sebagai pusat pertukaran

budaya Asia jadi banyak festival-festival yang melibatkan orang Asing juga,

jadi kita juga sering ikut kayak ada festival budaya, ikut nampil, jualan-jualan

makanan. Terus lokasinya juga strategis, deket pantai, deket tempat belanja,

makanan-makanan banyak, deket masjid juga.

Berarti enak ya kak belajar disana?

Enak, enak banget. Terus gak seramai Tokyo. Ramai tapi sedang-sedang saja.

Gak sepi-sepi banget juga.

Terus kakak nyesuain diri sama gaya belajarnya disana?

Cara belajarnya? Gimana ya, aku gak rajin-rajin banget sih. Jadi pokoknya

yang penting laporan selesai. Kalau ada tugas jurnal, review, atau apa yang

penting selesai. Ya waktunya cukup sih, gak harus lembur bisa. Terus kalau

bisa baca jurnal tiap hari, pokoknya kata pak guru kita laksanakan saja. Pak

guru sudah ngasih arahan, kita ikutin saja. Soalnya kalau misalkan gak ikutin,

bisa menimbulkan gesekan yang sensitif. Soalnya hidup kita di lab itu

tergantung Pak guru. Tergantung sih kalau Pak gurunya baik ya gak papa.

Kalau sensei kakak bagaimana?

Baik, meskipun hasilnya jelek tapi yaudah gak papa, kamu gini aja. Kalau kita

ngasih saran juga dia hargai. Tapi sensei emang sibuk disini, tiap hari aja bisa

terima 400 email katanya. Jadi maaf ya kalau belum saya balas.

Kak terus pihak universitas selain kasih supporter, ada lagi gak bantuan

buat kakak beradaptasi sama lingkungan kampus?


9

Orientasi ada juga di kampus sama diasrama. Ada acara perkenalan sesama

mahasiswa baru di asrama. Terus kalau harus mau buka rekening bank,

mereka juga ada datang ke kampus, jadi mereka pakai bahasa Inggris. Kan

kalau disini harus punya rekening bank untuk beli hp. Sama yang jualan hp ke

kampus juga promosi dalam bahasa inggris, terus juga agen-agen apartemen,

kos-kosan itu juga diundang ke kampus. Banyak bantuan untuk mahasiswa

asing.

Orientasinya disana gimana kak?

Orientasinya cuma dikasih tahu, ada orientasi di kampus untuk mahasiswa

asing. Pas bulan Oktober itu dikasih tau, pengenalan, cara berlalu lintas yang

baik dan benar, pelatihan bencana alam, kalau ada gempa keluarnya dimana,

jadi dipraktekin. Terus kalau kebakaran cara pake semprotan karbondioksida

itu gimana dipraktekin. Orientasi akademik, ambil kuliah apa-apa di fakultas.

Terus ada orientasi perpustakaan, cara mengaktifkan kartu mahasiswa, cara

meminjam buku.

Berarti bener-bener dijelasin semua ya kak detail?

Dijelaskan dengan detail dan berbahasa inggris semua.

Kakak pernah ikut ujian JLPTN?

Belum pernah deh, kayaknya gak bisa deh palingan N3.

Kakak kalau sekarang belajar bahasa Jepang dari mana, gimana

caranya?

Dari kampus itu ada kelas untuk mahasiswa asing, dari yang basic banget ada.

Jadi kalo aku waktu itu seminggu 3x. Tapi aku cuma 2 tahun itu ngambilnya,
10

tapi masih belum bisa kanjinya, cuma bisa ngomong sama baca hiragana.

Udah cuma sampai situ.

Berarti kakak kalau bikin report dalam bahasa Inggris ya kak?

Di lab itu ada 40% mahasiswa asing, mereka kalo kita semua di lab termasuk

orang Jepang kalo presentasi riset slidenya bahasa Inggris, cuma kalo yang

Jepang ngomongnya tetep pake bahasa Jepang. Jadi kita tetep bisa baca

power pointnya.

Terus kakak kalau ngobrol-ngobrol sama orang Jepang selain kesulitan

bahasa apa yang paling sering kakak temuin?

Apa ya selain bahasa…kadang ada yang sungkan gitu, mau bilang enggak

saja panjang. Terus kalau kirim email juga harus ada muqaddimah

(pembukaannya) dulu. Kadang sulit untuk to the point harus mencari kata-kata

yang sopan.

Kalau kakak lihat selama ini bedanya cara orang Indonesia sama orang

Jepang komunikasi gimana kak?

Komunikasi sesama orang Jepang

Misalkan kakak ngomong sesama orang Indonesia sama pas ngomong

sama orang Jepang yang paling beda apa sih kak?

Ya itu, orang Jepang sungkanan gitu. Kalau orang Indonesia lebih to the point.

Itu sih bedanya yang paling kelihatan, yang lainnya kayaknya sama.

Komunikasi gak jauh beda.


11

Kalau kakak kasih nilai buat diri kakak sendiri, kira-kira seberapa besar

pengetahuan bahasa Jepang kakak dalam membantu kakak berinteraksi

dengan orang-orang Jepang selama disana?

Berapa persen ya? Ya membantu sekali ya, sekitar 70%. Jadi kalau misalnya

aku lagi nyari barang, aduh mbak ini saya gak bisa baca tolong cariin ini dong,

tapi ngomong dalam bahasa Jepang. Itu udah membantu banget mereka mau

nolongin biasanya, orang Jepang mah baik-baik. Terus kalau misalnya

mereka cerita, terus ditengah-tengah ada kata yang gak aku ngerti, biasanya

aku tanya, misalnya ngomong apa, itu apa artinya. Nanti mereka jelasin dulu.

Iya membantu banget sih, ke kantor-kantor kecamatan, ngurus-ngurus apa.

Mereka bahasa Inggris juga gak terlalu bisa, jadi kalau kita bisa bahasa

Jepang paling enggak bisa dibacain gitu kan, terus kita ngerti artinya lumayan

lah bisa ngerti. Terutama kalau di kampus sih banyak yang bisa bahasa Inggris.

Kalau diluar gak banyak.

Tapi yang pentingkan mereka ngerti kakak ngomong apa, kakak juga

ngerti mereka ongomong apa kan kak?

Iya, kalau orang Jepang nih pemalu apalagi kalau sama orang asing.

Malu gimana kak?

Kalau misalnya kita gak tahu bahasa Jepang, biasanya mereka pendiem. Itu

salah satu karakternya orang Jepang. Tapi kalau misalkan aku ajakin pakai

bahasa Jepang dikit eh mereka cerita deh panjang, terus kadang aku gak

ngerti bahasa Jepangnya banyak banget. Kata temenku itu takut salah bahasa

Inggrisnya.
12

Kak, saya coba kasih gambaran ya. Misalkan nih kakak risetnya

berkelompok terus dalam riset itu ada masalah. Entah masalah terknis

atau lain, nah itu gimana cara kakak kerja sama dengan orang Jepangnya

untuk menyelesaikan masalahnya?

Biasa kita kalau ada masalah, misalnya alat rusak. Itu memang diarahkan

supaya lapor dulu di grup. Jadi tiap grup riset itu ada leadernya. Kita lapor dulu,

nanti diumumin “ada masalah ini nih, jadi tolong diperhatikan supaya berhati-

hati dalam menggunakan alat ini”. Nanti biasanya kalau misalnya bisa kita

selesain, kita selesain bareng-bareng. Kalau enggak, kita serahkan lagi

kepada, misalnya nelpon kantornya. Professional kok mereka dalam

teamwork.

Berarti kalalu ada masalah diselesaian bareng-bareng gitu ya kak?

Iya betul.

Menurut kakak, berapa persen kakak sering ngomong sama orang

Indonesia, berapa persen kakak sering ngomong sama orang Jepang?

Wah keseringan ngomong sama orang Indonesia sih, soalnya ada

roommatenya orang Indonesia. Mungkin 20%, 80% kayaknya.

80%nya orang Indonesia?

Iya

Roommatenya berapa kak?

Ada tiga, sama aku bertiga.

Indonesia semua?
13

Iya. Terus di grup risetku, juga kami ber-4. Orang Jepangnya cuma 1, yang

dua lagi orang Cina. Jadi ngobrolnya tetap bahasa Inggris juga.

Kakak sering hangout sama temen Jepang gak?

Enggak, jarang soalnya dia laki-laki. Jadi satu grup riset itu cuma aku doang

yang cewek. Yaudah di lab doang paling ngobrol-ngobrolnya.

Kalau sama temen Indonesia sendiri sering banget kak?

Iya apalagi roommate. Terus kan ada PPI juga, Persatuan Pelajar Indonesia.

Kakak sering ikut kumpul-kumpul?

Iya, banyak kegiatan PPI. Tadi ada diskusi.

Oh tadi kakak ke PPI?

Iya benar sekali.

Kalau menurut kakak peran PPI Fukuoka itu gimana dalam membantu

kakak beradaptasi?

Oh iya besar sekali itu juga. Termasuk kalau misalkan kita baru datang, itu

dulu yang ajarin saya naik angkutan, naik kereta yang ngajarin waktu itu anak

PPI, karena waktu itu ada welcome untuk mahasiswa baru. Anak PPI yang

ngajakin, Terus ketempatnya naik kereta jadi ada yang mendampingi

kakaknya. Terus ada lagi warisan.

Warisan?

Jadi kalau di kos-kosan itu gak ada barang sama sekali. Jadi mahasiswa

Indonesia yang udah lulus pulang ngasih warisan ke anak baru. Untuk barang-

barang misalnya seperti kasur, kulkas. Terus banyak juga sih acara PPI gitu.

Salah satunya apa kak PPI acaranya?


14

Welcome mahasiswa baru, kajian-kajian tentang isu dan teknologi, wisata,

perpisahan yang udah lulusan, pengajian.

(Komunikasi terputus karena baterai gadget Kak Rizki habis)

Tambahan lagi untuk kesulitannya tentang cuaca pas musim dingin.

Biasanya yang paling dingin bulan apa kak?

Januari, dulu pernah pas salju foto-foto diluar tapi cuma tahan 15 menit.

Oh iya kak, terus kalau misalkan sedang ada masalah biasanya siapa

yang paling sering kakak ajak bicara? Sesama teman Indonesia atau

teman Jepang?

Tergantung, kalau masalah pribadi ke teman Indonesia, tapi kalau masalah

lab ke temen Jepang.

Kakak sering baca buku, komik, majalah Jepang?

Enggak, karena gak bisa bacanya.

Kalau TV?

Jarang banget karena sibuk, palingan cuma dulu kadang-kadang nonton

dorama.

Pertanyaan terakhir nih kak, sebagai mahasiswa Internasional pelajaran

yang paling berkesan atau berharga yang kakak dapetin di Jepang dan

gak ada di Indonesia?

Orang Jepang itu ide-ide sederhana tapi mereka bener-bener ngerjainnya

sepenuh hati jadinya terealisasi dengan baik. Beda sama kita, ide-idenya

besar dan bagus tapi sulit direalisasikan. Terus juga penjual disana melayani

pembeli dengan sepenuh hati.


TRANSKRIP WAWANCARA

Narasumber : Yuslita Syafia

Universitas : Universitas Kyushu

Jurusan : Language, Media and Communication

Lama tinggal di Fukuoka : 3 tahun

Media Wawancara : Skype

Tanggal : 13 Februari 2017

Pertama saya ingin tahu kenapa kakak milih Jepang dan Fukuoka untuk

melanjutkan studi kakak?

Soalnya kan tertarik sama sosial linguistik tadinya, kemudian cari-cari ketemu

sama professor yang topik risetnya sama kayak saya. Saya kan pakai

beasiswa Mext kan, setelah itu apply MEXT, terus approach ke senseinya dan

ternyata senseinya setuju buat jadi supervisor saya. Akhirnya MEXT saya

dapet, terus dapet LOA dari sensei dan Kyushu University ini, yaudah akhirnya

berangkat.

Kakak juga dulu sebenarnya juga suka Jepang atau gimana?

Kayak kebanyakan anak tahun 90-an kan banyak kartun-kartun Jepang. Ya

suka sih, sebatas suka aja tapi bukan yang pengen banget ke Jepang.

Kebetulan memang interest saya ke social linguistic yang dimana Jepang itu

sangat kita tahu sendirilah budayanya seperti apa.

Sebelum berangkat ke Fukuoka apa yang kakak persiapin dari

Indonesia?

1
2

Yang jelas mental bakalan jauh dari keluarga, terus ya barang-barang wajib

yang harus dibawa, persiapan hati bakalan jauh. Takut juga kan nanti disana

bingung ngapain, orang-orangnya baik gak, entar dapat temen gak.

Kalau bahasa kakak juga belajar dulu sebelumnya?

Kalau bahasa, ada pengetahuan dasar cuma belum yang bagus banget. Tapi

teruskan karena dapet beasiswanya dari MEXT, dapet sekolah buat bahasa

Jepang kelas intensif selama 6 bulan. Jadi 6 bulan pertama disini belajar

bahasa Jepang, kebudayaan Jepang, terus kalau ada hari-hari raya tertentu

misalnya hari ini perayaan ini terus kita juga sama-sama berpartisipasi. Kita

juga latihan bikin kaligrafi, tanabata. Intinya dikasih bekal buat hidup sehari-

hari di Jepang.

Kakak waktu pertama kali di Fukuoka gimana perasaan kakak? Sesuai

sama ekspektasi atau bahkan lebih?

Pertama seneng ya waktu pas April, sakura masih mekar masih bagus banget.

Belum pernah liat sakura, terus juga cuacanya enak. Terus ternyata teman-

temannya baik, banyak mahasiswa internasonal. Jadi walaupun belum bisa

bahasa Jepang masih bisa komunikasi pake bahasa Inggris. Terus gara-gara

di kelas intensive course akhirnya dekat sama banyak orang, kemana-mana

bareng. Jalan kesini jalan kesini, seneng sih malah melebihi ekspektasi kalau

aku. Kan kalau dulu takutnya kayak gini kayak gini, enggak ternyata baik terus

juga ada kantin halal juga jadi terbantulah.

Kalau kesulitan yang kakak alami selama disana waktu pertama kali

kakak datang?
3

Pertama kali dateng jelas bahasa ya, bahasa kan belum bisa. Terus buat mau

beli hp susah banget. Tahunya dulu hp Indonesia gak bisa dipakai disini kan,

akhirnya beli hp ramai-ramai dan itu susah banget kalau gak pakai bantuan

orang kayaknya gak bisa. Soalnya prosedurnya banyak, harus kontrak 2 tahun

dan sebagainya. Kalau buat belanja sendiri bisa belanja. Maksudnya selama

kita tau kanji ini untuk makanan yang enggak bisa kita makan, yang kita baca

gak ada masalah soal belanja. Belanja barang kebutuhan pokok, kayak

misalkan sayur, beras bumbu-bumbu gak ada masalah. Cuma selama 6 bulan

pertama itu dikasih dormitory. Kita tinggal di dormitory jadi gak ada masalah

tapi habis itu harus cari apartemen sendiri. Nah cari apartemen ini juga jadi

salah satu kesulitannya, kendalanya ada di bahasa.

Berarti kakak paling besar kendalanya di bahasa ya kak?

Iya

Kakak kan muslim, selain kesulitan makanan ada lagi gak kak?

Sebenarnya kalau makanan sekarang gak terlalu jadi masalah. Soalnya

pemerintah Jepang sekarang ketertarikan soal halal industry lebih meningkat.

Sekarang banyak banget yang jual makanan online, toko-toko kecil, toko-toko

halal juga banyak. Terus dikantin juga, di Kyushu University ada. Saya udah

pernah di 2 kampus di Hakozaki dan Ito. Dua-duanya punya kantin halal,

bahkan sekarang di koperasinya ada halal korner. Jadi lebih terbantu soal itu.

Kendala soal makanan halal lebih dapat diatasi.

Kalau untuk sholat sendiri giman kak?


4

Nah itu sholat, pertama cari tempat. Sebenarnya orang sini lebih toleran soal

agama. Lebih banyak yang mau tau islam tuh kayak gimana sih. Kenapa sih

harus sholat 5x sehari, terus kalau misalkan waktunya sholat, lagi jalan-jalan

sama temen. Sholat dulu ya, iya. Jadi kita menepi, cari tempat sholat di

sembarang tempat yang kira-kira sepi dan bersih. Itu soal tempat ya, gak

banyak memang tempat buat sholat di Fukuoka cuma ada 1 masjid, itu

disekitar Hakoazaki kampus. Terus soal waktu, kadang kalau kuliah tuh jam-

jamnya bisa clash sama waktu sholat jadi harus disesuaikan benar-benar.

Kadang sampai lari-lari, biar bisa ngejar sholat.

Itu gak bisa minta izin atau gimana kak?

Lebih gak enak ya, soalnya kita kan minoritas. Maksudnya muslim di suatu

kelas atau departemen itu masih belum banyak. Kalau misalkan “sensei izin

buat sholat sebentar”, sama senseinya gak enak. Sebenarnya sih kelasnya

masih mepet-mepet bisa sholat, bukan enggak bisa sama sekali sholat. Pasti

ada breaknya buat 5 menit bisa.

Kalau untuk perkulihannya sendiri kesulitannya apa kak?

Sejauh ini senseinya supportive. Balik lagi ke bahasa kan memang ada

beberapa seminar yang harus diikuti dan itu pakenya bahasa Jepang. Terus

kadang-kadang kalau temen sekelasnya bukan banyak mahasiswa

internasional, misalnya orang Jepang ataupun orang Cina itu mereka kalau

presentasi kan bilingual, boleh bahasa Inggris boleh bahasa Jepang. Nah

kebanyakan mereka pake bahasa Jepang, lebih sulit buat ngerti. Yang mereka
5

omongon tuh apa sih gitu. Tau sih sedikit-sedikit tapi gak bisa nutup, gak bisa

banyak yang bisa diketahui dari situ. Kendalanya tetep bahasa.

Kelas kakak yang full bahasa Jepang ya kak?

Engak juga, sebenernya aku ikut kelas internasional. Cuma memang ada

beberapa mata kuliah yang ikut itu orang Jepang sama orang Cina. Mereka

bahasa Jepangnya bagus-bagus, mereka lebih pede kalau pake bahasa

Jepang. Jadinya ya itu.

Kakak selama di Fukuoka pernah ngerasa homesick gak?

Seringlah

Menurut kakak perbedaan yang paling kakak rasain diantara Fukuoka

sama daerah asal kakak apa?

Kalau di Indonesia, tetangga sampai mana-mana tuh tau. Ini anaknya

bapaknya ini, ini nama Pak RTnya. Kalau disini, temen sebelah kamar, temen

sebelah apartemen aja gak tau, gak pernah liat. Bener-bener iya sih negara

timur, tapi Individualis gitu. Sama orang sebelah aja gak tau. Samar amah,

misalkan kalau ketemu juga senyum nyapa tapi yaudah sebatas itu aja. Buat

kenalan gampang disini, tapi buat nyari temen yang bener-bener bisa buat jadi

temen bukan sekedar nyapa, tanya kabar, jalan bareng kemana. Susah nyari

temen, kecuali orang Indonesia ya, kita tau sama-sama dari latar budaya yang

sama. Secara karakteristik lebih hangat orang Indonesia kalau menurut aku.

Kakak untuk menghilangkan rasa homesick biasanya kakak ngapain?

Telpon, line, video call. Kalau misalkan masih homesick kalau liat foto-foto
6

nangis. Mending nonton film, nonton drama, ngobrol sama teman biar lupa

sama homesicknya.

Kalau menurut kakak, penilaian kakak terhadap orang-orang Fukuoka

secara keseluruhan gimana kak?

Ramah, sopan, baik, baik banget. Sampai kalau gak tau jalan gitu kan

dianterin sampe tempatnya. Ini dimana ya? Kan tanya, oh ini di sini di sini,

masih gak tau juga. Dibawa sama sama dia ketempatnya. Pekerja keras yang

jelas ya, sama kayak orang Jepang kebanyakan. Terus disiplin, tepat waktu.

Dan mereka lebih cantik dan ganteng daripada orang-orang yang di daerah ke

utara. Kan kita di selatan kan jadi karakternya lebih tinggi-tinggi dan cantiknya

tuh natural, bukan yang cantiknya make-upnya sampe 1 kwintal. Yah gitu sih

appereancenya lebih menarik, lebih good looking.

Kakak pernah diperlakukan berbeda gak sama orang Jepang karena

kakak bukan orang Jepang asli?

Kalau masalah rasis, orang sini bukan lebih ke openly racist lebih ke passive

aggressive. Ada beberapa kali kalau misalnya duduk di subway gitu orang-

orangnya, bukan beberapa orang sih ada beberapa oknum yang gak mau

duduk di sebelah. Tapi itu juga belum tentu perlakuan yang beda, belum tentu

rasis juga. Kan orang sini memang lebih jaga jarak sama siapa aja sih. Terus

juga. Bahkan sama keluarga sendiri aja gak pernah ngasih liat kedekatan

mereka. Lebih jarang dibandingkan yang non Jepang.

Kalau menurut kakak ada gak budaya Jepang yang kurang disukai atau

kurang cocok untuk kakak ikuti?


7

Jelas ada, kalau mereka terlalu berkerja keras.

Mereka katanya kalau berkerja benar gak sih kak sampai gak tidur-tidur?

Tergantung orangnya juga, tapi kalau yang aku lihat dari teman-temanku, kan

kategorinya Jepang sama non-Jepang kan. Yang Jepang tuh kayaknya

belajaaaarrrr terus, kerjaaaaa terus, gak istirahat-istirahat. Jadi kalau udah

kerja tuh, kalau dilihat dari mukanya stressfull gitu. Walaupun mungkin

tugasnya sama, tapi mereka semenjak awal dikasih tugas tuh udah ngerjain

terus. Terus juga pulangnya malam-malam, jarang santai, relatively lebih

stressfull kalau dilihat-lihat. Tapi semua balik lagi kan gak bisa

digeneralisasikan. Apa lagi tadi? Oh iya pernah dengar gak honne tatemae?

Belum kak

Sebenernya bukan cuma Jepang sih yang punya, ini kayak human nature.

Tapi Jepang tuh udah punya namanya sendiri, termnya sendiri. Jadi honne

apa yang mereka pikirin, apa yang mereka rasain, bener-bener jujur hati

mereka. Nah tatemae itu yang mereka tunjukan ke orang lain. Misalnya dia

bilang gak setuju, tapi di tatemaenya mereka bilang iya, iya itu bagus, setuju,

setuju. Kayak gitu, mereka ngomong gak pernah direct. Sama sih kayak

budaya timur, banyak kan yang budaya timur kayak gitu. Oh iya ini, bagus, ini

cantik, ini menarik tapi dibelakang ngomongnya beda. Nah yang kayak gitu

yang bikin bingung. Misalnya senseinya bilang oh iya ini bagus, ini bagus, saya

setuju kalau risetnya dibawa kesini tapi tiba-tiba dibelakang ada ternyata

kayak gini, ternyata kayak gitu. Jadi kalau misalnya akademis bisa lebih
8

terbuka dikit pengennya gitu ngomong ke orang Jepangnya. Jangan iya, iya

aja kalau enggak bilang enggak gitu.

Waktu kakak pertama kali datang ke Universitas Kyushu, bagaimana

perasaan dan pandangan kakakn tentang universitasnya?

Universitasnya bagus, luas, banyak mahasiswa Internasional. Terus mereka

punya International Spot Center kalau misalkan kita butuh bantuan untuk

translate dokumen atau ngisi surat-surat, formulir-formulir yang semuanya

pake kanji bisa dateng ke Spot Centernya untuk minta tolong. Jadi secara

keseluruhan cukup terbantu. Sama sistem Universitasnya, sama ada klinik

buat mahasiswa, kalau misalkan pengen curhat nih ada masalah-masalah ini

itu juga ada layanannya. Jadi universitasnya sangat support buat

mahasiswanya, buat tetap bisa produktif, tetap sehat. Terus juga banyak

bantuan banyak beasiswa. Terus kalau misalkan mau publish paper, misalnya

butuh proof reader kan harus bayar, mereka sediain duit. Secara

kesimpulannya mereka memang ingin menjadi lebih internasional, menjadi go

international. Jadi mereka tempuh banyak cara supaya mahasiswanya bisa

lebih berkualitas.

Menurut kakak perbedaan apa yang paling kakak rasakan ketika dulu

kuliah di Indonesia dengan sekarang kuliah di Jepang?

Support dari universitasnya buat mahasiswanya, terus kalau disini senseinya

sesibuk apapun kalau janji pasti bakal ditepati. Enggak kayak, tapi kan tetap

aja ya gak bisa digeneralisasikan. Kalau di Indonesia kan misalnya sensei

janjian datang buat skripsi disini jam ini, tapi last minute mereka bilang “maaf
9

saya ada rapat”, gak jadi lagi. Nunggu 2 jam gak jadi lagi. Kalau disini

senseinya lebih bisa menepati janji, terus lebih supportive, buku juga dikasih.

Ya tapi itu sih, balik lagi ke honne tatemae lebih banyak diemnya dan kalau

ngasih kritik gak benar-benar kasih kritik, cuma basa basi. Itu bedanya yang

paling jelas.

Selama kakak kuliah disana, gimana sikap teman-teman dan dosen

kakak terutama terhadap kakak karena kakak kan mahasiswa dari

Indonesia?

Baik, tapi balik lagi ke bahasa. Kalau bukan mahasiswa Jepang, kan bahasa

Jepangnya masih terbataskan. Yaudah ngomongnya gitu-gitu aja. Gak sampai

yang ngobrolin sampai jauh. Baik, ramah, senyum, gak ada yang jahat kok.

Kan ini pengalaman aku subjektifkan, menurutku gak ada yang jahat. Cuma

ada beberapa mahasiswa yang berisik banget, kalau misalkan ketemu dari

satu negara mayoritas. Negara mereka paling banyak, orang-orangnya disitu

gitu. Terus kayak roomnya dipakai sendiri sama mereka, makan, masak, terus

yang lain jadi segen.

Kalau di kampus gitu kakak pernah diperlakukan berbeda sama mereka?

Enggak pernah, in the positive way ya malah kalau misalkan belum sholat,

dibilang udah sholat belum kayak gitu. Lebih toleran.

Kakak menyesuaikan pola belajar disana gimana kak?

Pertama agak berat, dulu gak pernah sedisiplin itu, gak pernah setepat waktu

itu, sekerja keras itu, harus menyesuaikan. Gak perlu waktu lama kok.

Berarti mereka memang pekerja keras banget ya kak?


10

Bener, deadlinenya harus tepat waktu. Telat 2 detik aja udah ketinggalan bis,

telat 1 menit ketinggalan kereta. Pernah tuh ketinggalan kereta, ketinggalan

bis, ketinggalan pesawat juga pernah. Telat 5 menit udah gak bisa, telat 1

menit udah gak bisa udah ditutup gerbangnya gak boleh.

Kakak pernah ikut JLPTN?

Belum pernah

Kakak selain belajar bahasa Jepang yang kelas intensif, ada cara lain

gak kakak belajar bahasa Jepang?

Selama ini selain yang intensif itu ada yang bukan intensif juga. Jadi ada

namanya J1, J2, J3, J4, J5 kayak gitu dari universitasnya jadi kalau misalkan

kita udah lulus yang intensif nih. Kita udah lulus J2 atau J3 gitu. Terus setiap

semester ada placement test. Kalau misalkan ngambil kelas Jepang lagi bisa.

Tapi bukan yang intensif tapi seminggu 3 kali. Yang intensifkan seminggu 5

kali dari jam 10 pagi – 5 sore. Nah kalau yang ini cuma 3x seminggu 2 jam 2

jam kayak gitu. Jadi setelah intensive course itu lanjut ambil kelas Jepang lagi

sampai J5.

Kakak sering baca komik, buku nonton drama pake bahasa Jepang gitu

gak kak?

Lumayan sering sih, itu juga ngebantu banget. Kalau misalkan buat tau ini

frasenya ini, oh ternyata kata-kata ini buat ini, jadi tau konteksnya bener itu

apa. Terus juga kadang belajar sama senpai, senpainya baik. Senpai itukan

senior ya. Belajar sama senior, kayak dikasih kelas khusus gitu sama

senseinya. Jadi sensei itu nunjuk satu senior buat ngelatih kita ngobrol, jadi
11

ngajak kita ngobrol tapi yang terarah. Hari ini kita ngomongin ini temanya ini,

terus ini ada beberapa vocabulary, ada beberapa kata yang bisa dipakai jadi

sekarang kita ngobrolin ini. Terus dikasih PR juga, walaupun informal tapi

tetep terarah.

Kakak kalau misalkan mau ngomong sama temen Jepang itu gimana

kakak mulai percakapannya duluan?

Kenal gak? Udah kenal belum?

Beda ya kak kalau udah kenal sama yang belum?

Iya.

Kalau yang kenal deh kak.

Kenalnya dekat gak? Kan beda-beda juga. Misalnya gini apa nih mau tanya

bantuan atau biasa?

Tanya biasa aja kak.

Tanya biasa aja, kalau sama teman Jepang yang dekat bilang aja langsung

eh-san ini gimana. Mereka pasti jawab kok, mereka baik gak bisa bilang

enggak. Kayaknya tuh mereka terluka sendiri gitu kalau dimintaiin tolong terus

bilang enggak.

Terluka gimana kak maksudnya?

Kalau yang gak bener-bener deket, misal kita minta ditemenin kesini.

Walaupun mungkin buat mereka sibuk, mereka lagi sibuk atau mereka lagi

harus ngerjain sesuatu, mereka bakalan bilang mmmm boleh… gak bisa

bilang enggak kayaknya susah gitu kalau enggak. Ya walaupun mungkin


12

mereka bilang keberatan tapi mmm.. chotto muzukashii sedikit susah tapi

yaudah boleh. Tapi kalau sama yang deket yaudah bilang enggak, enggak aja.

Berarti agak sulit juga ya kak?

Iya, kitanya yang harus tau diri karena mereka terlalu baik jadinya kita harus

tau diri ini proper gak kalau minta bantuan kayak gini.

Kalau mereka udah bilang mmm.. kitanya gimana?

Oh yaudah-yaudah gak papa, kalau aku sih. Kalau aku kan gak enakan

orangnya.

Kakak pernah ada diskusi kelompok gitu gak sih kak sama mereka?

Diskusi kelompok? Bidang akademis gitu maksudnya?

Iya

Iya pernah. Biasanya lebih sama senpai.

Mereka kalau diajak diskusi kelompok gitu gimana kak? Enak untuk

diajak diskusi atau gimana?

Itu kan tergantung orangnya, itu tergantung dari topiknya. Tapi ada yang malu-

malu, ngomongnya dikit-dikit. Kalau gak terlalu terkenal banget, kalau gak

ditanya gak jawab sih, gak ngomong. Harus ditanya dulu. Lebih banyak yang

malu-malu sih.

Kak katanya mereka malu ya kak kalau ketemu sama orang asing karena

gak bisa bahasa Inggris?

Iya sih, agak gimana ya, malu benar. Terus juga kadang sama yang kulit putih

tuh agak minder. Tapi ada juga banyak orang Jepang hobi belajar bahasa

Inggris, jadi kalau ada orang asing dideketin diajak ngobrol. Aku udah
13

beberapa kali diajak ngobrol sama orang Jepang. Kebanyakan bukan yang

muda sih, ibu-ibu, bapak-bapak yang lagi seneng-senengnya ngomong pake

bahasa Inggris kan, diajak ngobrol dari mana terus ngapain. Kalau dijawab

kuliahnya di Kyushu University gitu, “oh pinter banget berarti ya” jadi kalau

menurut yang kuliah di Kyushu University (Kyudai) itu pintar-pintar banget

soalnya susah banget masuk disitu.

Wah berarti kakak hebat ya.

Gak juga sih, lebih susah masuk buat orang Jepangnya sih daripada

mahasiswa asingnya.

Kak mereka kalau diajak kerja sama gampang gak sih kak?

Gampang kok

Misalnya nih kalau kerja kelompok, kan kadang ada yang suka kerja

banget satunya lagi enggak.

Justru aku malah ngerasanya mahasiswa asingnya sendiri ya, kadang ada

yang terlalu mendominasi kalau diajakin kerja kelompok, lebih terlalu vokal

yang lainnya gak diajak ngomong. Kalau yang Jepang lebih banyak yang

diem-diem, lebih malu-malu, lebih ketawa senyum-senyum sendiri.

Kira-kira kakak berapa persen sering berkomunikasi sama orang

Jepang?

Gak bisa mersenin ya, tiap hari sih.

Kalau diantara sesama orang Indonesia sama orang Jepang kira-kira

mana yang lebih besar kak?


14

Kalau di departemen kan memang gak ada orang Indonesia kecuali aku. Jadi

kalau lagi gak ketemu sama orang Indonesia ya ngomongnya sama orang

Jepang. Tapi kalalu sama orang Indonesia ya ngomong sama orang Indonesia.

Tergantung kebutuhannya sih. Tapi hampir tiap hari kok ngomong sama orang

Jepang.

Kebutuhannya kalau ke Jepang lebih ke akademik atau gimana kak?

Iya, udah presentasi belum, gimana presentasi kemarin, senseinya bilang apa,

abis ini mau lanjut kemana, mau nyari kerja dimana.

Kakak sering hangout sama temen-temen Jepang?

Lumayan, makan-makan gitu.

Seberapa sering kak?

Ya gak sering-sering banget sih.

Kalau yang teman Indonesia sendiri sering kak?

Ya lebih sering dibanding sama orang Jepang. Lumayan banyak orang

Indonesia disini.

Kalau misalkan ada masalah atau kesulitan, siapa yang paling sering

kakak ajak bicara? Teman Indonesia atau teman Jepang?

Lebih ke temen Indonesia sih. Soalnya kalau yang temen Jepang pertama gak

terlalu deket. Kedua mereka gak pernah ngobrolin permasalahan pribadi.

Walaupun sama sama orang Jepang nih ya, ngobrol masalah pribadi gitu

jarang banget soalnya mereka bilang gini gak mau ngasih beban ke orang lain

soal masalah pribadi kita. Kalau kita kan yaudah kalau ngobrol, kalau

ngomong masalah kita yaudah ngomong aja kan. Tapi kalau mereka lebih
15

considerate sama perasaan orang lain gak mau bikin orang lain mikir sama

keadaan kita.

Kakak sering ikut acara PPI Fukuoka?

Sering.

Menurut kakak peran PPI Fukuoka dalam membantu beradaptasi di

Fukuoka gimana?

Helpful banget ya, sangat membantu banget. Dari segi akademik, kehidupan

sehari-hari, dikasih tips-tipsnya, baik-baik. Acaranya juga banyak yang

nyenengin. Kalau misalkan enggak ada PPI Fukuoka kayaknya bakal

sengsara deh. Gak ada temen, gak ada temen senegara, gak ada yang bantu

kalau misalkan ada masalah. Ada grup tuh, kalau misalkan ada pertanyaan

bisa langsung tanya digrup, ini gimana kan senior-senior itu banyak yang udah

berpuluh-puluh tahun disini juga banyak. Mereka bisa ngasih tips, bisa ngasih

saran.

PPI Fukuoka sering adain pertemuan gitu ya kak?

Iya, belajar bahasa Jepang bareng. Kan ada senior yang udah jago banget

bahasa Jepangnya, diajarin. Kita bikin, kita punya tim Angklung, Saman. Disini

juga banyak festival-festival lokal, nah itu mereka ngundangin komunitas-

komunitas dari luar negeri buat tampil. Salah satunya team angklung sama

team saman PPI Fukuoka, banyak banget yang manggil setahun bisa

beberapa kali tampil. Sebulan bahkan pernah 4x tampil tim Saman. Yang

ngadain pemerintah Fukuokanya sini. Ngundang, misal ada yang dari,


16

kebanyakan sih dari Thailand, Vietnam, Indonesia, India, Rwanda, banyakkan

komunitas-komunitas kecil kayak gitu. Diajakin buat tampil.

Kakak kan udah lama belajar dan tinggal di Fukuoka, menurut kakak

pelajaran berharga apa yang kakak dapatkan disana dan kakak gak temui

di Indonesia?

Etos kerja, disini jadi terbentuk etos kerjanya. Gak asal, harus beintegritas,

kalau bekerja harus totalitas, gak setengah-setengah, harus professional.

Kakak awal-awal dulu ngikutin mereka itu pernah gak sih kak sampai

stress atau mungkin sulit tidur?

Lebih ke riset ya, bingung mikirin riset mau dibawa kemana gitu. Kalau orang-

orangnya sih enggak tp mikirin masa depan sendiri, galau-galau sendiri,

bingung-bingung sendiri ya wajar lah ya.

Menurut kakak bagaimana perasaan kakak sekarang tinggal di Fukuoka

dan belajar di Kyushu Univ?

Seneng, bahagia, kotanya bagus, kotanya bersih, orangnya baik-baik.

Semuanya convenient, semuanya nyaman. Apa-apa gampang. Tapi tetep aja

kan ada plus minusnya. Minusnya jauh dari keluarga, kalau kangen bingung.

Gimana baik-baik gak mereka.


Screenshot Bukti Wawancara Achmad Rachmad Tullah Tjan
Screenshot Bukti Wawancara Achmad Rachmad Tullah Tjan
Screenshot Bukti Wawancara Achmad Rachmad Tullah Tjan
Screenshot Bukti dan Surat Keterangan Wawancara Achmad Rachmad

Tullah Tjan
Screenshot Bukti Wawancara Gde Pandhe
Screenshot Bukti dan Surat Keterangan Wawancara Gde Pandhe
Screenshot Bukti Wawancara Herpin D
Screenshot Bukti dan Surat Keterangan Wawancara Herpin D
Screenshot Bukti Wawancara Rizki Fitria Darmayanti
Screenshot Bukti dan Surat Keterangan Wawancara Rizki Fitria

Darmayanti
Screenshot Bukti Wawancara Yuslita Syafia
Screenshot Bukti dan Surat Keterangan Wawancara Yuslita Syafia
Screenshot Bukti Email PPI Fukuoka
SURAT KETERANGAN WAWANCARA

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Achmad Rachmad Tullah

Dengan ini menyatakan bahwa Faradita Prayusti dari London School of

Public Relations – Jakarta, jurusan Hubungan Internasional benar-benar telah

melakukan wawancara dengan saya sebagai narasumber guna

menyelesaikan skripsi kualitatif yang berjudul “Adaptasi Mahasiswa Indonesia

dalam Menghadapi Gegar Budaya di Fukuoka Jepang”.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan

diharapkan agar pernyataan ini dapat digunakan sebaik-baiknya.

Fukuoka, 23 Februari 2017

Achmad Rachmad Tullah


pernyataan ini dibuat dengan sebenar-bena
SURAT KETERANGAN WAWANCARA
taan ini dapat digunakan sebaik-baiknya.
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Herpin Dwijayanti

Dengan ini menyatakan bahwa Faradita Prayusti dari London School of

Public Relations – Jakarta, jurusan Hubungan Internasional benar-benar telah

melakukan wawancara dengan saya sebagai narasumber guna

menyelesaikan skripsi kualitatif yang berjudul “Adaptasi Mahasiswa Indonesia

dalam Menghadapi Gegar Budaya di Fukuoka Jepang”.


Fukuoka, 16 Feb
Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan

diharapkan agar pernyataan ini dapat digunakan sebaik-baiknya.

Fukuoka, 16 Februari 2017

Herpin Dwijayanti
SURAT KETERANGAN WAWANCARA

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Rizki Fitria Darmayanti

Dengan ini menyatakan bahwa Faradita Prayusti dari London School of

Public Relations – Jakarta, jurusan Hubungan Internasional benar-benar telah

melakukan wawancara dengan saya sebagai narasumber guna

menyelesaikan skripsi kualitatif yang berjudul “Adaptasi Mahasiswa Indonesia

dalam Menghadapi Gegar Budaya di Fukuoka Jepang”.

Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan

diharapkan agar pernyataan ini dapat digunakan sebaik-baiknya.

Fukuoka, 19 Februari 2017

Rizki Fitria Darmayanti


RIWAYAT HIDUP

Faradita Prayusti lahir di Jakarta pada tanggal 14

September, merupakan mahasiswa tingkat akhir di

London School of Public Relations – Jakarta. Lulus dari

SMAN 13 Jakarta dan SMPN 30 Jakarta.

Semasa kuliah, Dita lebih banyak mengikuti kegiatan

di luar kampus. Ketertarikan pada budaya Jepang terutama anime, membuat

selama 3 tahun (2013-2016) berkerja sebagai seorang penyiar radio di

Japanese Music ID. Di tahun 2014, Dita berkesempatan untuk melakukan

wawancara langsung dengan penyanyi Jepang yaitu Hachioji-P dan Haruna

Luna. Dibandingkan dengan dunia politik, ketertarikan terhadap budaya pop

lebih besar dan saat ini tengah berfokus pada dunia ilustrasi dan komik. Pada

tahun 2016, Dita mendapatkan kesempatan untuk magang selama 3 bulan di

Friendship Associations Indonesia – Korea.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai