Anda di halaman 1dari 11

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Proses C.I.P.

Proses pelindian dengan sianida atau proses carbon in pulp ( CIP ) dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu : 1. Sianidasi. Pelarut yang biasa digunakan dalam proses sianidasi adalah Sodium Cyanide ( NaCN ), Potassium Cyanide ( KCN ) , Calcium Cyanide [ Ca(CN)2 ], atau Ammonium Cyanide ( NH4CN ). Namun pelarut yang paling sering digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut lainnya. Konsentrasi sianida jika terlalu rendah reaksinya tidak optimum sehingga emasnya tidak terlarut menjadi emas-sianida. Jika terlalu tinggi akan bereaksi terhadap logam lain sehingga emas tidak banyak terserap oleh karbon aktif. Selain itu gunakan jenis sianida yang baik. Sianida dapat bereaksi dengan unsur selain emas,seperti tembaga, besi, perak, dan merkuri. Ketika sianida bereakasi dengan zat tersebut, maka akan mengurangi sianida yang tersedia untuk melarutkan emas. Sehingga terkadang diperlukan sianida yang lebih banyak untuk melarutkan. Bijih tembaga dengan mineral seperti malachite dan azurite menyebabkan masalah besar karena mineral tersebut bereaksi dengan cepat dengan sianida. Oleh karenanya, perlu dijaga kebutuhan ideal free cyanide. Free cyanide bukanlah cyanide consumtion ( jumlah sianida yang dipakai ) tetapi sianida yang masih bebas ( belum terikat dengan mineral lain ) dan belum berubah menjadi Sodium Thiocyanate ( NaSCN ). Untuk itu perlu diketahui berapa free cyanide ( CNF ), total cyanide ( CNT ), dan Sodium Thiocyanate-nya ( NaSCN ). Metode paling umum dipakai adalah dengan menggunakan titrasi AgNO3 di mana reaksi yang terjadi adalah : 2KCN + AgNO3 AgKCN2 + KNO3 2NaCN + AgNO3 AgNaCN2 + NaNO3 Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai penggunaan metode titrasi free cyanide ( CNF ), total cyanide ( CNT ), dan Sodium Thiocyanate-nya ( NaSCN ) silahkan klik di sini.

2. Alkalinity ( pH tinggi ) Kondisi alkalin ( pH tinggi / basa ) saat berlangsungnya proses sianidasi sangat menentukan keberhasilan proses sianidasi. Penggunaan alkalies seperti kalsium oksida, akan mencegah dekomposisi dalam larutan sianida untuk membentuk gas hidrogen sianida ( HCN.) Jika pH terlalu rendah / asam dapat menghasilkan gas HCN yang mudah menguap akibat proses hidrolisis, sehingga konsentrasi cyanida berkurang. CN- (aq) + H+ (aq) HCN(g) Jika pH terlalu tinggi akan menyebabkan proses sianidasi berlangsung lambat, hal ini dikarenakan sianida menjadi terlalu stabil dalam pulp. Selain itu dengan terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menyebabkan logam-logam lain akan larut dalam sianida yang membentuk senyawa kompleks sehingga turut terserap oleh karbon aktif. Untuk membuat kondisi basa dengan pH 10 - 11 gunakan kapur sebagai pH Modifier. Kapur aktif / kapur tohor ( CaO ) lebih reaktif menaikan pH sehingga kebutuhannya sedikit. Namun Kapur Hydroksida / kapur sirih ( CaOH ) juga dapat digunakan. Ketika memasukkan kapur hendaknya dilakukan di atas saringan 50 mesh agar kotoran atau batuan kapur yang besar tidak ikut masuk dalam tong. Selain kapur, pH Modifier lainya adalah Soda Api / Coustic Soda / Sodium Hydroxide ( NaOH ) atau Soda Abu ( Na2CO3 ). Pastikan pH 10 - 11 untuk mengantisipasi agar NaCN tidak berubah menjadi gas HCN yang sangat berbahaya ( dosis 60 mg HCN dapat membunuh manusia ). Dimana pada kondisi pH 9.3, konsentrasi sianida dapat berkurang hingga 50% karena menguap

menjadi gas HCN, bahkan sianida berubah menjadi 99% HCN pada pH 7. Selain gas ini sangat berbahaya tentu mengurangi jumlah NaCN yang larut dalam pulp / slurry sehingga kemampuannya untuk melarutkan emas juga berkurang.

Pengukuran kondisi pH dapat diukur dengan beberapa cara. Secara kualitatif pH dapat diperkirakan dengan kertas Lakmus ( Litmus ) atau kertas indikator pH. Secara kuantitatif pengukuran pH dapat digunakan elektroda potensiometrik. Elektroda ini memonitor perubahan voltase yang disebabkan oleh perubahan aktifitas ion hidrogen ( H+ ) dalam larutan. Elektroda pH yang paling modern terdiri dari kombinasi tunggal elektroda referensi ( reference electrode ) dan elektroda sensor ( sensing electrode ) yang lebih mudah dan lebih murah daripada elektroda tepisah. Elektroda kombinasi ini mempunyai fungsi yang sama dengan elektroda pasangan. 2. Dissolved Oxygen ( Oksigen terlarut ) Telah terbukti bahwa tingkat pembubaran emas dalam larutan sianida berbanding lurus dengan jumlah oksigen hadir. Air normal memiliki oksigen terlarut 8-9 ppm yang ada di dalamnya. Jika oksigen ini digunakan oleh reaksi lainnya, mungkin diperlukan untuk aerate solusi, merangsang oksigen ke dalamnya, untuk mempercepat reaksi. Oksigen dari udara adalah agen pengoksidasi untuk memisahkan emas dalam suatu larutan sianida. Oksigen memainkan peran penting dalam proses leaching. Pada umumnya semakin tinggi oksigen maka reaksi juga semakin cepat.

Tetapi ternyata berdasarkan teori limiting rate didapatkan bahwa perbandingan sianida dan oksigen dalam larutan adalah tetap yaitu 6 ( enam ). Sehingga jika sianida berlebih maka yang menentukan kecepatan reaksi adalah kelarutan oksigen, demikian pula sebaliknya. Penggunaan Hidrogen peroksida ( H2O2 ) dalam larutan sianida telah dideteksi di mana emas dapat terpisah secara cepat, dan observasi ini menunjukkan bahwa beberapa emas kemungkinan terpisah melalui sepasang reaksi yang melibatkan pembentukan pertama hidrogen peroksida : 2Au + 4CN- + O2 + H2O 2[Au(CN)2]- + 2OH- + H2O2 Lalu hidrogen peroksida bereaksi dengan beberapa emas dan sianida. 2Au + 4CN- + H2O2 2[Au(CN)2]- + 2OH-

ANALISIS OKSIGEN TERLARUT ( DO ) Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu : a. Metoda titrasi dengan cara WINKLER Metoda titrasi dengan cara WINKLER secara umum banyak digunakan untuk menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Dengan menggunakan botol winkler, diperlukan air sampel sebanyak 300 ml atau 60 ml. Tidak boleh ada udara yang terperangkap dalam botol, caranya botol sampel harus berada di bawah permukaan air. Agar tidak ada gelembung udara yang terjebak, isi penuh dengan air hingga meluber saat ditutup. Kemudian sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2 den Na0H - KI, sehingga akan terjadi endapan Mn02. Dengan menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali

dan juga akan membebaskan molekul iodium ( I2 ) yang ekivalen dengan oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar Natrium Thiosulfat ( Na2S203 ) dan menggunakan indikator larutan amilum ( kanji ). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut : MnCI2 + NaOH Mn(OH)2 + 2 NaCI 2 Mn(OH)2 + O2 2 MnO2 + 2 H20 MnO2 + 2 KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH I2 + 2 Na2S2C3 Na2S4O6 + 2 NaI b. Metoda elektrokimia Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter. Prinsip kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam dalarn larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya menggunakan katoda perak ( Ag ) dan anoda timbal ( Pb ). Secara keseluruhan, elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semi permeable terhadap oksigen. Reaksi kimia yang akan terjadi adalah : Katoda : O2 + 2 H2O + 4- 4HOAnoda : Pb + 2 HO- PbO + H2O + 2eAliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada katoda. Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap konsentrasi oksigen terlarut. Penentuan oksigen terlarut ( DO ) dengan cara titrasi berdasarkan metoda WINKLER lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan Thiosulfate dan pembuatan larutan standar Kalium Bichromate yang tepat. Dengan mengikuti prosedur penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat. Sedangkan penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan salinitas sampel yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter. Disamping itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat menentukan akurasinya hasil penentuan.

3. Karbon aktif. Di bawah ini adalah spesifikasi yang perlu diperhatikan dalam memilih karbon aktif untuk adsorbsi emas : 1. Hardness/attrition resistant 2. Activity 3. Total gold capasity adsorption 4. Shape and size distribution 5. Ash content 6. Bulk Density 7. Moisture 8. Surface area 9. %-Carbon Tetrachloride ( CTC / CCl4 ) 10. %-w/wt Benzene adsorption Karbon aktif yang berkualitas baik sangat menentukan hasil produksi emas yang diperoleh. Karbon aktif yang baik memiliki : struktur pori-pori yang alami, tingkat ketahanan yang tinggi ( higher resistence ) terhadap gesekan, tingkat kekerasan yang tinggi ( higher hardness ) dan bentuk yang seragam serta memiliki CTC yang cukip tinggi. Sebab jika menggunakan karbon aktif yang memiliki CTC rendah, emas yang terabsopsi dalam karbon aktif akan mudah terlepas lagi saat proses pencucian karbon / botoyong. CTC yang disarankan sebaiknya 50%-60%. Untuk menghasilkan karbon CTC tinggi harus menggunakan kiln yang berputar dan datar serta kontrol temperatur yang akurat. Karbon yang belum melalui proses kiln biasanya hanya memiliki CTC 10 - 20 %. Hendaknya teliti dalam memilih karbon aktif karena secara kasat mata kita tidak dapat

membedakan mana karbon aktif yang memiliki CTC rendah dan mana yang CTC nya tinggi, untuk itu disarankan untuk menggunakan karbon aktif yang diketahui jelas asal usul pabriknya dan sistem jaminan kualitasnya untuk menghindari karbon aktif yang memiliki CTC rendah. Biasanya dalam metode CIP menggunakan karbon aktif granular dengan ukuran 6x12 atau 6x16 mesh, sedangkan ukuran 6x16 atau 12x30 mesh digunakan dalam metode CIC. Konsentrasi penggunaan karbon dalam metode CIP adalah 10-25 gram per liter pulp ( 0.5 sampai 1,2% karbon dari volume ).

4. Ore / rep. Konsentrasi emas dalam ore sangat menentukan hasil produksi. Ore hasil tambang sangat bervariasi, ada yang berupa pasir, batu keras ( kuarsa ), batu lunak ( domato ), lempung ( clay ), dan lumpur.

Secara umum, agar partikel emas dapat cepat larut, slurry untuk keperluan produksi dibutuhkan ore dari hasil milling 80 - 90% -200 mesh ( -74 micron ) dengan kepadatan 40 - 50%-solid. Partikel emas 45 micron akan larut dalam 10 - 13 jam, sementara partikel emas 150 micron mungkin memakan waktu 20 - 44 jam untuk larut dalam solusi yang sama.

Untuk mendapatkan hasil optimum, pengolahan emas pada batuan oxydis ( oxide ores ) biasanya cukup efektif dengan penggilingan pada 65 mesh dan leaching dengan 0,05% NaCN selama 4 - 24 jam dengan kepadatan 50% solids. Sedangkan batuan sulfidis ( sulfida ores ) memerlukan penghalusan hingga 325 mesh dan leaching dengan 0,1% NaCN selama 10 - 72 jam dengan kepadatan 40% solids. ( Weiss 1985 ). 5. Bentuk agitator / propeller. Tangki agitator dan propeller harus seimbang agar pergerakan ore dan karbon aktif tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Karena kalau terlalu cepat senyawa kompleks emas-sianida tidak optimum terserap oleh karbon aktif dan bila terlalu lambat, ore akan mengendap yang menyebabkan sianida dan karbon akan terperangkap ke dalam ore.

Tangki agitator bentuk kerucut dapat menjadi pilihan yang ideal untuk mengatasi masalah di atas. Namun kelemahan model ini memiliki kapasitas yang relatif terbatas ( maksimal kapasitas yang disarankan 10 ton ), karena bentuk tabung yang tinggi dan ramping.

6. Retention Time ( Waktu Tinggal ) Proses absorpsi emas ke dalam pori-pori karbon aktif bukan melalui proses kimiawi melainkan kontak secara fisik. Semakin lama waktu tinggal untuk reaksi maka recovery bisa meningkat namun kapasitas produksi yang menurun. 7. Temperatur. Emas akan lebih cepat terserap ke dalam karbon aktif pada suhu yang tinggi. Tetapi pada umumnya, hal ini tidak dipersoalkan dalam proses produksi. Menurut Vaughan ( 1988 ), proses kelarutan emas menjadi senyawa kompleks emas-sianida dapat terganggu oleh beberapa hal yang berhubungan dengan adanya mineral-mineral pengotor ( gangue ) dan sejumlah masalah yang sering muncul sbb : 1. Cyanides dan oxygen consumers. Mineral atau senyawa kimia yang dapat bereaksi sehingga mengkonsumsi sianida sehingga dikenal dengan sebutan cyanides. Sesuatu yang bereaksi dengan oxygen di dalam larutan sianida selama proses leaching disebut oxygen consumers. Keduanya sama-sama tidak diharapkan selama proses produksi berlangsung. Unsur-unsur ekstra pengganggu, seperti digambarkan di atas di antaranya :

Mineral tembaga, akan larut dalam larutan sianida dan menyebabkan peningkatan penggunaan sianida, tembaga-sianida kompleks yang terbentuk akan cenderung menghambat pembubaran emas dalam larutan sianida.

Zink, unsur yang digunakan untuk mengendapkan emas dari solusi, jika hadir dalam bijih, akan bereaksi dengan sianida untuk membentuk senyawa sianida seng. Unsur lain adalah nikel, meskipun tidak sampai mengganggu emas masuk ke solusi, melainkan pengendapan emas dari larutan sianida. Arsenik dan antimon lakukan adalah mempresentasikan masalah yang lebih besar, dengan bereaksi dengan sianida dan menggunakan semua kelebihan oksigen, hanya menyisakan sedikit atau tidak ada oksigen untuk efek pembubaran emas.

2. Adsorbsi larutan emas Emas dapat juga hilang selama proses sianidasi karena adanya adsorpsi ke dalam bahan carbonaceous ores dan bahan organik seperti kayu, batu bara, dll. Adsorpsi adalah proses dimana molekul komples emas dalam larutan sianida berinteraksi dengan material tersebut yang prosesnya serupa dengan proses penyerapan ke dalam karbon aktif. 3. Halangan selama proses produksi Mineral-mineral liat ( clay ) karena ukurannya yang sangat kecil terkadang menjadi penghalang ( blockage ) sehingga menghalangi mobilisasi emas selama proses produksi.

Anda mungkin juga menyukai