Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

"AL ASY’ARIYAH"

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah "Ilmu kalam"

Dosen pengampu : Yadi mulyadi M.Ag.

Disusun Oleh :

Kelompok 02

M Fachdiansyah

Rama Zulfikri

Evan Rivai

Juniar Rachma Dita

Siti Rohimah

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM (BKPI)

SEKOLAH TINGGI PESANTREN DARUNNA’IM (STPDN)


Cirende, kalanganyar Lebak-Banten 2023 M
ii
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, guna
memenuhi tugas kelompok mata kuliah "Ilmu kalam"

kami menyadari bahwa penulisan dari makalah ini,tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak,yang dengan tulus memberikan do'a saran dan kritik,sehingga makalah ini dapat
terselesaikan

Kami menyadari bahwasannya makalah ini jauh dari kata sempurna, dikarnakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kami
mengharapakan segala bentuk saran dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak, akhirnya
kami berharap makalah ini dapat bermanfaat di dalam dunia pendidikan.

Cirende, kalanganyar, 07 Agustus 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............…………………………………........................ii

DAFTAR ISI….…………………………………………………………………iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................1

C. Tujuan penulisan.................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................2
A. lahirnya aliran al-asy’ariah.................................................................................................2

B. perkembangan aliran al-asy’ariah.......................................................................................2

C. pokok-pokok pemikiran al-asy'ari.......................................................................................2

D. perkembangan dan pengaruh asy'ariah (ahalus sunnah wal jama'ah) di dunia islam .........2

BAB III PENUTUP.............................................................................................5


A. Kesimpulan.........................................................................................................................5

B. Saran...................................................................................................................................5

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beragam aliran teologi yang berdiri memiliki sejarah yang cukup panjang, semuanya
tidak terlepas dari para pendirinya dan latar belakang yang menyertai sampai pada para
pengikutnya yang memilki loyalitas terhadap aliran tersebut.

Makalah ini akan membahas tentang aliran Asy’ariyah yang berkembang pada abad ke-4
dan ke-5/ke-10 dan ke-11. Aliran ini merupakan salah satu aliran yang muncul atas reaksi
terhadap Mu’tazilah sebagai paham yang memprioritaskan akal sebagai landasan dalam
beragama. Ketidaksepakatan terhadap doktrin-doktrin Mu’tazilah tersebut memunculkan aliran
Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Doktrin-doktrin yang dikemukan
beliau dan para pengikutnya merupakan penengah diantara aliran-aliran yang ada pada saat itu.

Pada perkembangan selanjutnya aliran ini banyak dianut oleh mayoritas umat Islam
karena dianggap sebagai aliran Sunni yang mampu mewakili cara berpikir yang diharapkan umat
Islam di tengah-tengah pergolakan hati akibat beberapa aliran yang datang lebih dulu.

B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dalam pembahasan
makalah ini, dapat dirumuskan beberapa permasalahan,  yaitu :

1. Lahirnya aliran Al-Asy’ariah.

2. Perkembangan aliran al-asy’ariah.

3.    Pokok-Pokok Pemikiran al-Asy’ari


4.    Perkembangan dan Pengaruh  Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia
Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lahirnya Asy’ariyah

Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke-
10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah,
mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal jama‟ah.1. Nama Asy‟ariyah sebagai suatu
aliran dalam ilmu kalam berasal dari nama tokoh Iman Abu al-Hasan Ali Ibn Isma‟il
alAsy‟ari. Ia lahir di kota basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324
H/935 M.

Dengan nama al-Asy‟ari di belakang namanya, benarlah bahwa Imam Abu Hasan
alAsy‟ari mempunyai hubungan darah dengan Abu Musa al-Asy‟ari, seorang sahabat yang
menjadi hakam (perantara) dalam sangketa antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah bin
Abi Sufyan. Pada usia remaja Abu Hasan al-Asy‟ari berguru pada seorang tokoh Muktazilah
bernama Abu Ali al-Jubbai.

Di sini timbul soal apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan ragu dalam diri alAsy'ari
yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham Mu‟tazilah? Berbagai tafsiran
diberikan untuk menjelaskan hal ini. Menurut Ahmad Mahmud Subhi keraguan itu timbul
karena al-Asy'ari menganut madzhab Syafi‟i. al-Syafi‟i mempunyai pendapat teologi yang
berlainan dengan ajaran-ajaran Mu‟tazilah, umpamanya al-Syafi‟i berpendapat bahwa al-
Qur'an tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akherat nanti.

Menurut Hammudah ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy'ari dari


alJubba‟i, menimbulkan persoalan-persoalan, yang tak mendapat penyelesaikan yang
memuaskan. Umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak kecil tersebut di atas. Dari kalangan
kaum orientalis, Mac Donald berpendapat bahwa darah Arab Padang Pasir yang mengalir
dalam tubuh al-Asy'ari yang mungkin membawanya kepada perubahan madzhab itu.8 Arab
padang pasir bersifat tradisional dan patalistis sedang kaum Mu‟tazilah bersifat rasionil dan
percaya kepada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.

B. Perkembangan Aliran Asy’ariyah


2
Pikiran-pikiran Imam al-Asy'ari, merupakan jalan tengah antara golongan-golongan
berlawanan atau antara aliran rasionalis dan tekstualis. Dalam mengemukakan dalil dan alasan, ia
juga memakai dalil-dalil akal dan naqli bersama-sama. Sesudah ia mempercayai isi al-Qur'an dan
al-Hadits, ia mencari alasan-alasan dari akal pikiran untuk memperkuatnya.
Jadi ia tidak menganggap akal pikiran sebagai hakim atas nash-nash agama untuk
mena‟wilkan dan melampaui ketentuan arti lahirnya, melainkan dianggapnya sebagai pelayan
dan penguat arti lahir nash tersebut. Ia tidak meninggalkan cara yang lazim dipakai oleh ahli
filsafat dan logika, sesuai dengan alam pikiran dan selera masanya. Meskipun demikian, Imam
al-Asy'ari tetap menyatakan kesetiaanya kepada Imam Ahamd bin Hanbal atau aliran ahlus
sunnah yaitu suatu aliran yang menentang aliran Mu‟tazilah sebelum al-Asy'ari, bahkan ia
mengikuti jejak ulama salaf yaitu sahabat-sahabat dan tabi‟in-tabi‟in, terutama dalam
menghadapi ayat-ayat mutasyabihat, di mana mereka tidak memerlukan pena‟wilan,
pengurangan atau melebihkan atau melebihkan arti lahirnya.11
Pemikiran al-Asy‟ari dapat diketahui lewat karyanya seperti Maqalat al-Islamiyyin wa
Ikhtilah al-Muslim, Kitab al-Luima‟ fi al-Radd „ala Ahl al-Ziyagh wa al-Bida‟ dan al-Ibanah „an
al-Ushul al-Diyanah. Lewat buku-buku tersebut dan dilanjutkan oleh murid-muridnya seperti al-
Bagillani dan al-Juwaini, tesis-tesis baru yang dikembangkan oleh Imam Abu alHasan Asy‟ari
berkembang menjadi aliran baru yang dikenal dengan nama Asy‟ariyah. Sebagai pemikir dengan
latar belakang pendidikan aliran Muktazilah. Asy‟ari tampil ke depan dengan tesis-tesis
bandingannya terhadap paham-paham keagamaan yang dikembangkan oleh Muktazilah.12
Akan tetapi aliran Asy'ariyah sepeninggal pendirinya sendiri mengalami perkembangan
dan perubahan yang cepat karena pada akhirnya, aliran Asy'ariyah lebih condong kepada segi
aliran mendahulukannya sebelum nash dan memberikan tempat yang lebih luas daripada tempat
untuk nash-nash itu sendiri. Al-Juwaini sudah berani memberikan ta‟wilan terhadap ayat-ayat
mutasyabihat. Bahkan menurut al-Ghazali, pertalian antara dalil akal dengan dalil syara‟ (naqli)
ialah kalau dalil akal merupakan fondamen bagi sesuatu bangunan, maka dalil syara‟ merupakan
bangunan itu sendiri. Fondamen tidak akan ada artinya, kalau tidak ada bangunan di atasnya,
sebagaimana bangunan tidak akan kokoh senantiasa tanpa fondamen. Buku al-Ghazali yang lain,
yaitu al-Iqtishad, dimaksudkannya untuk memberikan kepercayaan (aqidah) yang tengah-tengah
antara golongan yang terlalu memegangi akal, yaitu golongan filosof dan Mu‟tazilah, sehingga
pikiran-pikiran mereka berlawanan dengan nas-nas yang sudah pasti. Kedua macam sifat tersebut
yang hanya memihak kepada salah satu segi, tidak dapat dibenarkan, sebab sebenarnya
sebagaimana halnya dengan orang yang melihat dengan baik memerlukan mata yang sehat dan
sinar matahari bersama-sama. Namun buku itu sendiri, yaitu al-Iqtihad, yang berarti metode rate
3
(jalan tengah) cukup menunjukkan aqidah yang ditempuh oleh pengarangnya, suatu aqidah dari
ahlussunnah. Jadi aliran Asy'ariyah pada akhir perkembangannya mendekati aliran Mu‟tazilah,
karena kedua aliran tersebut memegangi prinsip yang mengatakan bahwa:
“pengetahuan yang didasarkan atas unsur-unsur naqli (tradisional) tidak memberikan
keyakinan kepada kita”. Mereka memandang bahwa pengetahuan tersebut tidak mempunyai nilai
kebenaran mutlak (absolut), kecuali dalam hal-hal yang bertalian dengan amalan-amalan syara‟
(fiqih), sedang untuk masalah aqidah hanya bisa mencapai nilai sekunder. Karena itu hanya dalil-
dalil akal pikiran saja yang memungkinkan kita mencapai keyakinan.
Kecenderungan inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang pengikut madzhab
Hanbali (ahlussunnah) merasa tidak puas terhadap aliran Asy'ariyah dan mengadakan perlawanan
yang sengit terhadap mereka, seperti yang pernah dilakukannya terhadap aliran Mu‟tazilah, dan
puncak perlawanannya terjadi pada masa Ibnu Taimiah. Biar bagaimanapun juga prinsip yang
dipegangi oleh aliran Asy'ariyah, namun aliran ini dapat menggantikan aliran Mu‟tazilah dan
dipeluk oleh kebanyakan kaum muslimin sampai sekarang.

C.Pokok-Pokok Pemikiran al-Asy’ari


Al-Asy'ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu‟tazilah, tidak dapat
menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya
mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas
soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh rasul merupakan suatu kesalahan. Sahabat-
sahabat nabi sendiri, sesudah beliau wafat, banyak membicarkan soal-soal baru dan meskipun
demikian mereka tidak disebut orang-orang yang sesat (bid‟ah). Ia menentang keras orang yang
berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam (teologi Islam) dan argumentasi pikiran,
keberatan mana tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan Hadits. Di samping itu, ia juga
mengingkari orang-orang yang berlebihan menghargai akal pikiran yaitu aliran Mu‟tazilah.
Karena aliran ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan, maka dikatakannya telah sesat, sebab mereka
telah menjauhkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya dan menempatkan-Nya dalam bentuk yang tidak
dapat diterima akal, selain karena mereka mengingkari kemungkinan terlihat Tuhan dengan mata
kepala. Apabila pendapat ini dibenarkan, maka akan berakibat penolakan hadits- hadits nabi yang
merupakan salah satu tiang agama. Dengan demikian jelaslah kedudukan Imam al-Asy'ari, seperti
yang dilukiskan oleh pengikut- pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela
kepercayaan dan mempercayai isi al-Qur'an dan al-Hadits, dengan menempatkannya sebagai
dasar (pokok), di samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada
memperkuat nasnas tersebut.
4
Dalam banyak hal, al-Asy'ari berusaha untuk mencari jalan tengah17 di antara pendapat-
pendapat yang bertentangan pada waktu itu. Meskipun tidak semua pendapatnya, seperti dia
sendiri penganut madzhab Syafi‟i serta mengikuti dan menerima pendapat Imam Ahmad ibn
Hanbal tokoh ahlul hadits (tekstualis) dengan segala keikhlasan tanpa diubah dan ditanyakan
bagaimana caranya. Sebagai contoh antara lain pendapat al-Asy'ari pada masalahmasalah sebagai
berikut:
1.Masalah Dosa Besar
Golongan Mu‟tazilah berpendapat, bahwa orang yang melakukan dosa besar meskipun
dia mempunyai Iman dan ketaatana, bila dia tidak bertaubat dari dosa besarnya, sebelum
meninggal ia akan kekal di dalam neraka. Golongan Murji‟ah berpendapat siapa saja yang
beriman kepada Allah, maka betapapun dosa besar yang dilakukannya, ia tidak akan
mempengaruhi keimanannya. Sedangkan al-Asy'ari berpendapat, orang mukmin yang
mengEsakan Tuhan, tetapi fasiq maka persoalannya diserahkan kepada kehendak Allah. Dia
dapat mengampuni-Nya serta memasukkan ke dalam surga atau Dia memasukkannya terlebih
dahulu ke dalam neraka, kemudian memasukkannya ke dalam surga.
Sesungguhnya orang mukmin tidak akan kekal di neraka ini telah disepakti oleh ulama.
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai siapa orang mukmin yang tidak kekal di neraka
itu. Khawarij menganggap orang yang mengerjakan dosa besar dan dosa kecil sebagai orang
kafir. Dalam pandangan mereka, ia tidak diakui sebagai seorang muslim maupun mukmin.
Mu‟tazilah mengatakan bahwa pelaku dosa besar tidak diakui sebagai seorang mukmin,
sekalipun ia masih diakui sebagai seorang muslim. Hanya saja, ia akan kekal dalam neraka
selama ia belum bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, dan siksaannya lebih ringan di
bandingkan dengan siksa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tampknya Khawarij dan Mu‟tazilah memasukkan amal sebagai salah satu komponen
iman. Sedangkan Asy'ariyah dan Maturidiyah tidak menganggap amal sebagai salah satu
komponennya. Oleh kerena itu orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari iman,
sekalipun amalnya tetap dihisab dan ia tetap mendapat siksa, serta Allah dapat saja mencurahkan
rahmat kepadanya. Itulah sebabnya al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal
dineraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat. Berkenaan dengan hal ini ia mengatakan
bahwa Allah telah menetapkan dalam al-Qur'an bahwa Dia tidak akan membalas kejahatan
kecuali dengan kejahatan yang serupa. Allah berfirman dalam surah alan‟am (Qs 6 : 160)

5
‫السيَِّئ ِة فَاَل جُيْ ٰ ٓزى اِاَّل ِم ْثلَ َها َو ُه ْم‬
َّ ِ‫َم ْن َجاۤءَ بِاحْلَ َسنَ ِة َفلَهٗ َع ْش ُر اَْمثَاهِلَا َ ۚو َم ْن َجاۤءَ ب‬

َ‫اَل ُظْلَ ُم ْون‬


Artinya: Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan
melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
(Qs.al-An‟am:160)
Tidak disanksikan bahwa orang yang tidak mengingkari Allah dan tidak menyekutukan
sesuatu dengan-Nya, berada dibawah dosa orang kafir dan orang musyrik. Allah telah
menetapkan kekekalan dalam neraka sebagai siksaan bagi kemusyrikan dan kekufuran. Maka
sekiranya pelaku dosa besar disiksa sebagaimana siksaan terhadap orang kafir, padahal ia
beriman niscaya hukumannya itu melebihi kadar dosanya. Ini merupakan pelanggaran Allah
terhadap janji-Nya sendiri, sedangkan Dia tidak akan menganiaya hambahamba-Nya dan tidak
akan melanggar janji-Nya. Selanjutnya mempersamakan pembalasan antara orang kafir dan
orang mukmin yang durhaka termasuk hal yang bertentangan dengan kebijaksanaan dan keadilan
Allah. Alasannya, orang mukmin yang durhaka telah membawa sesuatu yang merupakan
kebaikan terbesar, yaitu iman dan ia tidak melakukan kejahatan terburuk, yaitu kekufuran. Maka
sekiranya Allah mengekalkannya dalam neraka, niscaya Dia telah mnetapkan pembalsan
kejahatan terburuk sebagai imbalan bagi kebaikan terbaik. Tuntutan keadilan dan kebijaksanaan
ialah membalas secara seimbang, bukan melebihi, kecuali balasan pahala.20 Selanjutnya al-
Maturidi mengatakan bahwa yang benar mengenai orang mukmin yang berdosa ialah
menyerahkan persoalan mereka kepada Allah. Jika Allah menghendaki, maka Dia mengampuni
mereka sebagai karunia, kebaikan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah menghendaki, maka
Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Namun, mereka tidak akan dikekalkan
dalam neraka. Dengan demikian, orang mukmin berada di antara harapan dan kecemasan. Allah
boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar.
2. Masalah melihat Tuhan
Ada suatu ayat yang menjelaskan tentang bahwa Allah dapat dilihat, seperti firman Allah
dibawah ini (QS Al-Qiyamah : 22-23) :

ِ َ‫ربِّها ن‬
ٌ‫اظَرة‬ َ َ ‫اضر ۙاةٌِىٰل‬
ِ َّ‫ۚ وجوه يَّوم ِٕى ٍذ ن‬
َ ْ ٌ ُْ ُ
َ
6
Artinya : “Wajah-wajah (orang-orang mu‟min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat. (Al-Qiyamah :22-23).21
Berdasarkan firman tersebut,sebagaimana Al-Asy'ari menetapkan bahwa Allah dapat
dilihat pada Hari Kiamat. Mu'tazilah manafikannya, sebab perbuatan melihat memerlukan ruang
bagi yang bagi yang melihat, dan hal ini jelas mengandung konsekuensi bahwa Allah bertempat
pada suatu ruang, padahal Allah Maha suci dari berada pada suatu tempat dan dipengaruhi oleh
perubahan waktu.
3. Masalah Kekuasaan Tuhan Dan Perbuatan Manusia
Dalam hal ini Mu‟tazilah berpendapat, manusialah yang melakukan perbuatannya dengan
daya kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Golongan Jabariyah menyatakan manusia tidak
berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi manusia mempunyai daya untuk memperoleh suatu
perbuatan, yang menurut Al-Asy‟ari disebut “kasab” (acquistion, perolehan ).22
Mengenai perbuatan manusia, al-Asy‟ari berpendapat juga bahwa perbuatan manusia itu
diciptakan oleh Tuhan. Ini bertolak belakang dengan pendapat al-Muktazilah yang mengatakan
bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Untuk menggambarkan
hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy‟ari
menggunakan istilah al-kasb (acquistion, perolehan). Al-Kasb adalah suatu yang timbul dari al-
muktasib. Yang dimaksud dengan kasb disini ialah”berbarengan kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan”.23
Al-Asy‟ari mengemukakan arti al-iktisab adalah suatu terjadi dengan perantara daya
yang diciptakan, dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan
dayanya perbuatan itu timbul. Kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan
demikian manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Tetapi karena kasb adalah ciptahan
Tuhan, ini menghilangkan arti keaktifan itu sendiri sehingga manusia bersifat pasif dalam
perbuatannya. Dasar al-Asy‟ari mengatakan kasb itu ciptahan Tuhan adalah firman Allah dalam
surah al-Shaffat (37) ayat 96 :

‫َوال ٰلّهُ َخلَ َق ُك ْم َو َما َت ْع َملُ ْو َن‬

‫َو َما َت ْع َملُ ْو َن‬


Diartikan oleh al-Asy‟ari dengan “apa yang kamu perbuat” bukan “apa yang kamu buat”.
Jadi, arti tersebut adalah Allah yang menciptakan kamu dan perbuatanperbuatan kamu. Dengan
demikian, menurut al-Asy‟ari perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan.24
7
Dalam paham al-Asy‟ari, untuk terwujudnya perbuatan diperlukan adanya dua daya,
yaitu daya Tuhan dan daya Manusia; tetapi daya Tuhanlah yang berpengaruh dalam perwujudan
perbuatan itu.
 D. Perkembangan dan Pengaruh  Asy’ariyah (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) di Dunia Islam

Perkembangan Aliran  Asy’ariah (Ahlussunnah Waljama’ah) Sebagaimana telah


diuraikan sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran Al-Asy’ari kemudian diidentikkan
dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah maka untuk membahas perkembangannya dan
pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya
sendiri.  Pengaruh  Asy’ariah (Ahlussunnah waljama’ah) jika diperhatikan perjalanan sejarah
tokoh-tokoh Asy’ariah dalam perkembanganya dengan klaim  Ahlussunnah Waljama’ah, maka
dapat dikatakan bahwasanya pengaruh ajaran Ahlussunnah Waljama’ah tidak terlepas dari
beberapa hal:

1. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam Al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan
dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa
sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.
2. Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang
sangat membantu penyebaran paham ini. Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam
bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran
Ahlussunnah Waljama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang
menjadi referensi hingga saat ini. Karya tersebut antara lain: Maqalat al-Islamiyyah, al-Ibanah an
Ushuluddianah, al Luma’ Ketiganya  oleh Asy’ari, al-Tamhid oleh Al-Baqillani, al-Irsyad oleh
Al-Juwaini, al-Qawaidul Aqa’id dan Ihya Ulumuddin oleh Al-Ghazali, Aqidatu Ahlut
Tauhid oleh al Sanusi, Risalatut tauhid oleh Muhammad Abduh dan karya-karya lainnya.
Pengaruh Ahlu Sunnah ini sampai ke Indonesia.

Di Indonesia misalnya NU secara formal konstitusional menganut ideologi, demikian pula


Muhammadiyah secara tidak langsung mengakui ideologi ini seperti yang terlihat adalah salah
satu keputusan majlis tarjih yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman
merupakan aqidah dari Ahlu Haq wal Sunnah. Sedangkan pergerakan lainnya juga menyatakan
berhak menyandang sebutan Ahlu Sunnah ialah Persatuan Islam (persis). Kenyataan ini
menunjukkan betapa aliran Ahlu Sunnah itu diyakini sebagai satu-satunya aliran yang benar dan
selamat.

8
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Setelah Menyelesaikan Penyususan Makalah Ini, Penulis Dapat Mengambil Kesimpulan


Bahwa Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke-10
(awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah dan Salafiyah, mangaku
termasuk golongan ahlus sunnah wal jama‟ah.1. Nama Asy‟ariyah sebagai suatu aliran dalam
ilmu kalam berasal dari nama tokoh Iman Abu al-Hasan Ali Ibn Isma‟il alAsy‟ari. Ia lahir di
kota basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M.

Perkembangan Aliran  Asy’ariah (Ahlussunnah Waljama’ah) Sebagaimana telah


diuraikan sebelumya bahwa dalam perkembanganya aliran Al-Asy’ari kemudian diidentikkan
dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah maka untuk membahas perkembangannya dan
pengaruhnya di dunia Islam pada dasarnya tidak terlepas dari peranan tokoh-tokohnya
sendiri.  Pengaruh  Asy’ariah (Ahlussunnah waljama’ah) jika diperhatikan perjalanan sejarah
tokoh-tokoh Asy’ariah dalam perkembanganya dengan klaim  Ahlussunnah Waljama’ah, maka
dapat dikatakan bahwasanya pengaruh ajaran Ahlussunnah Waljama’ah tidak terlepas dari
beberapa hal:

1. Kepintaran tokoh sentralnya yaitu Imam Al-Asy’ari dan keahliannya dalam perdebatan
dengan basis keilmuan yang dalam. Di samping itu ia adalah seseorang yang shaleh dan taqwa
sehingga ia mampu menarik simpati orang banyak dan memperoleh kepercayaan dari mereka.

2. Asy’ariah memiliki tokoh-tokoh dari kalangan intelektual dan birokrasi (penguasa) yang
sangat membantu penyebaran paham ini. Para tokoh-tokoh tersebut tidak hanya ahli dalam
bidang memberikan argumentasi-argumensi yang meyakinkan dalam mengembangkan ajaran
Ahlussunnah Waljama’ah melalui perdebatan namun juga melahirkan karya-karya ilmiah yang
menjadi referensi hingga saat ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

1.    Al-Maqdisy, Al-imam ibnu Qudamah. Lum’atul I’tiqad Al-Hadi ila Sabilir Rasyad / Pokok-
Pokok Aqidah Ahlus Sunnah Waljamaah; Pekalongan; Pustaka Sumayyah. 2007
2.   Tim Karya Ilmiah Santri Lirboyo. Aliran-Aliran Teologi Islam. Kediri; Zam-Zam 2008
3.   http://mpi2umi.blogspot.com/2015/05/tugas-makalah-pemikiran-aliran-asyariah.html
4.   https://www.kumpulanmakalah.com/2015/10/al-asyariyah.html

https://yusufa17.blogspot.com/p/blog-page.html

10

Anda mungkin juga menyukai