Anda di halaman 1dari 10

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

Visit www.DeepL.com/pro for more information.

Tersedia secara online di www.sciencedirect.com

Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721

WCLTA 2010

Efektivitas pengajaran dan pembelajaran kontekstual RANGKA


terhadap kemampuan pemecahan masalah dan sikap ilmiah siswa

Evi Suryawatia , Kamisah Osmanb*, T. Subahan Mohd Meerahc


1

a,Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau Indonesia

Fakultas Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia, 43600 Bangi, Selangor, Malaysia


b,c

Abstrak
Penelitian ini dirancang khusus untuk mengukur efektivitas pengajaran dan pembelajaran kontekstual Biologi terhadap
kemampuan pemecahan masalah dan sikap ilmiah siswa di kalangan siswa sekolah menengah di Pekanbaru, Riau, Indonesia.
Eksperimen kuasi ini melibatkan 215 siswa kelas VII dari tiga sekolah negeri, yang dikelompokkan berdasarkan kemampuan
kognitif mereka, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Data yang diperoleh dari penelitian eksperimen ini dideskripsikan dengan
menggunakan analisis deskriptif, diikuti dengan analisis inferensial y a n g melibatkan serangkaian uji-t, ANOVA dan
MANOVA. Dalam penelitian ini, modul pembelajaran kontekstual dikembangkan dengan menerapkan strategi RANGKA yang
terdiri dari Rumuskan (simpulkan), Amati (amati), Nyatakan (nyatakan), Gabungkan (Gabungkan), Komunikasi
(komunikasikan) dan Amalkan (terapkan) yang mencakup topik Keanekaragaman Hayati. Dampaknya terhadap kemampuan
pemecahan masalah dan sikap ilmiah siswa diukur melalui tes dan observasi. Secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kemampuan siswa dalam hal kemampuan
pemecahan masalah. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal keterampilan ilmiah mereka. Pola temuan tersebut
memberikan bukti empiris yang menandakan kegunaan pendekatan kontekstual dalam pengajaran dan pembelajaran Biologi.
© 2010 Elsevier Ltd. Akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND.

Kata kunci: Pengajaran dan pembelajaran kontekstual, keterampilan pemecahan masalah, sikap ilmiah

1. Pendahuluan

Sains sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui kegiatan
berbasis pemecahan masalah dan penyelidikan. Penerapan sains perlu dilakukan secara bijak untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan. Pada tingkat sekolah menengah di Indonesia, diharapkan adanya keterlibatan sains,
lingkungan, teknologi, dan masyarakat dalam pengalaman belajar untuk membangun dan menciptakan karya
berdasarkan prinsip-prinsip sains dan kompetisi ilmiah secara bijaksana, seperti yang dinyatakan oleh Departemen
Pendidikan Nasional.
Pembelajaran sains harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan data dan membuat
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sains akan sulit dipelajari jika tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektual dan karakteristik siswa. Oleh karena itu, sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi,
pembelajaran sains tidak hanya berfokus pada perkembangan kognitif siswa tetapi juga pada pengembangan
kemampuan pemecahan masalah dan sikap ilmiah siswa. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah
pendekatan kontekstual yang berlandaskan filosofi

*Kamisah OsmanTel.:+6 019 3770379; fax:+6 03 89254372


E-mail address:kamisah68@gmail.com
.
1877-0428 © 2010 Diterbitkan oleh Elsevier Ltd. Akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND.
doi:10.1016/j.sbspro.2010.12.389
1718 Evi Suryawati dkk. / Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721

konstruktivisme. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Metode ini akan
membantu siswa untuk menjadi pembelajar yang lebih mandiri dan alamiah dalam upaya mengembangkan
pengetahuan mereka (Johnson 2002).
Faktor utama dalam pembelajaran sains adalah siswa belajar melalui proses inkuiri sehingga mereka dapat
belajar dengan semangat dan kondisi yang nyaman (Zemelman, 1998). Siswa akan belajar dari apa yang telah
mereka lakukan dan mendapatkan pengalaman dari hal tersebut (Schelecty, 1997). Di sini, peran utama guru adalah
sebagai fasilitator, untuk memperluas sudut pandang siswa dan membuat materi yang diajarkan mudah dipahami
(Parnell, 1995). Pembelajaran kontekstual di Indonesia berdiri di atas 7 prinsip. Ketujuh prinsip tersebut adalah
konstruktivisme, inkuiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya. Menurut
Crawford (2001), pembelajaran kontekstual dapat digunakan dengan 5 strategi, yaitu mengaitkan (relating),
mengalami (experiencing), menerapkan (applying), mengkolaborasikan (collaborating), dan mentransfer
(transferring).
Biologi merupakan salah satu mata pelajaran sains yang wajib dipelajari oleh siswa di sekolah menengah. Untuk
itu diperlukan partisipasi siswa yang optimal dalam belajar Biologi. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, guru
harus mengamati dan mengenali proses pembelajaran karena ilmu pengetahuan hayati harus dikembangkan melalui
kegiatan hands-on dan minds-on (Ibrahim, 2004).
Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan dalam penerapan pembelajaran kontekstual, seperti
ketersediaan materi pelajaran, kondisi sekolah, akses belajar, prestasi siswa, dan kemampuan guru yang masih
rendah. Beberapa sekolah telah menerapkan pembelajaran kontekstual, namun pada kenyataannya guru masih
menggunakan sistem pembelajaran konvensional. Karena guru tidak sepenuhnya menggunakan sistem yang telah
direncanakan untuk mereka, siswa cenderung berpikir bahwa sains adalah mata pelajaran yang dipelajari melalui
hafalan.
Berdasarkan fakta ini, penulis ingin membahas lebih lanjut tentang efektivitas pengajaran dan pembelajaran
kontekstual Biologi terhadap kemampuan pemecahan masalah dan sikap ilmiah siswa di sekolah menengah di
Pekanbaru.

2. Metodologi
Eksperimen kuasi (Cook & Campbell, 1979) ini dilakukan di tiga sekolah menengah di Pekanbaru, Provinsi Riau,
Indonesia dari bulan Februari hingga April 2008. Terdapat 110 siswa yang berpartisipasi dalam penelitian
pembelajaran kontekstual dan 105 siswa untuk pembelajaran konvensional. Tujuan utamanya adalah untuk
menganalisis kemampuan pemecahan masalah dan sikap ilmiah siswa berdasarkan Standar Kompetensi
Keanekaragaman Organisme, dengan menerapkan strategi kontekstual yang diadopsi dari REACT (Crawford, 2001).
Strategi ini disebut RANGKA, yang merupakan singkatan dari Rumuskan, Amati, Nyatakan, Gabungkan,
Komunikasi, dan Amalkan. Instruktur menggunakan istilah ini karena mudah diingat. Diharapkan hal ini dapat
membantu dan memberikan kontribusi dalam pembelajaran sains, terutama Biologi untuk mendapatkan hasil yang
maksimal. Percobaan ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama meliputi perencanaan, pembentukan dan
pengembangan materi pembelajaran kontekstual. Tahap kedua meliputi implementasi dan aktivitas pembelajaran
kontekstual di sekolah terkait. Setiap kelompok pembelajaran melalui 6 langkah (Diagram 1). Langkah pertama
adalah menganalisis masalah (Menyimpulkan). Kedua, mengamati objek dan memulai kegiatan pembelajaran
(Observe and Act). Selanjutnya, menyatakan hasil pengamatan dan kegiatan di atas kertas (State). Langkah keempat
adalah berbagi informasi dalam kelompok atau seminar (Combine). Kemudian salah satu anggota kelompok
melaporkan hasil dari tahap pemecahan masalah (Communicate). Langkah terakhir adalah mengimplementasikan
hasil pembelajaran. Kemampuan pemecahan masalah siswa diukur dengan menggunakan tes dan observasi,
sedangkan sikap ilmiah diukur melalui wawancara. Data yang diperoleh dari penelitian eksperimen kemudian
dideskripsikan melalui analisis deskriptif, diikuti dengan analisis inferensial yang melibatkan serangkaian tes,
analisis ANOVA dan MANOVA.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Keterampilan Pemecahan Masalah

Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah terdiri dari 5 aspek, yaitu identifikasi masalah,
pengumpulan data, perencanaan pemecahan masalah, penerapan strategi, dan evaluasi masalah. Hasil dari
pengajaran dan pembelajaran kontekstual dijelaskan pada Tabel 1 dan 2.
Pemecahan masalah sangat dibutuhkan dalam proses pembelajaran karena ketika dihadapkan pada suatu
masalah, siswa cenderung menggunakan pikiran mereka secara kreatif dan intensif. Langkah pertama mengharuskan
Evi Suryawati dkk. / Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721 1719
siswa dalam kelompok untuk mencoba mengenali dan menganalisis masalah untuk mengetahui bagaimana cara
kerjanya dan strategi kognitif apa yang mereka rencanakan untuk digunakan secara efektif. Jadi dalam setiap
kegiatan, siswa akan diminta untuk mengenal masalah terlebih dahulu, menganalisanya dan kemudian bekerja dalam
kelompok untuk menemukan solusi yang tepat untuk masalah tersebut.
1720 Evi Suryawati dkk. / Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721

Shayer dan Adey (2002) menyebutkan bahwa tes merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kemampuan
siswa d a l a m mengevaluasi strategi mereka sendiri. Strategi yang digunakan dalam program RANGKA berkaitan
dengan pernyataan Crawford, yaitu siswa dapat memperoleh pengalaman dengan melakukan aktivitas dan bekerja
dalam proyek. Secara berkelompok, siswa belajar dengan melakukan observasi dan mengolah hasil observasi. Ada
dua jenis pengolahan data, yaitu pengolahan data secara aktif dan pengolahan data secara reflektif. Active
processing mengharuskan siswa untuk ikut serta dan melakukan percobaan secara langsung, sedangkan pada
reflective processing, siswa hanya mengamati percobaan, kemudian memberikan pemikiran terkait percobaan
tersebut secara kreatif dan kritis.
Ketika siswa menemukan hubungan antara pengetahuan mereka dengan masalah nyata, mereka akan merasakan
manfaatnya. Hal ini juga meningkatkan pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik) mereka.
Pengalaman belajar, sikap yang baik, keterampilan dan pengetahuan merupakan kombinasi yang lengkap untuk
memecahkan masalah. Menurut Bransford (1999), kegiatan pemecahan masalah yang baik harus dimulai dengan
memperkenalkan konsep kunci kurikulum. Phillips dan Germann (2002) mengatakan bahwa bekerja dalam
kelompok membantu siswa untuk menjadi rasional dan menghargai pendapat yang berbeda, mencoba untuk
menemukan alternatif yang tepat dan lebih sensitif.
Analisis data kualitatif dari beberapa observasi menunjukkan bahwa dengan melakukan pertemuan, anggota
kelompok mencoba untuk berinteraksi dan mendukung rekan mereka untuk mendapatkan penyelesaian masalah.
Pemimpin setiap kelompok saling memahami satu sama lain dan setiap anggota bekerja sama untuk menyelesaikan
tugas. Sebelum mengerjakan tugas, para siswa memilih dan menentukan judul. Jika mereka menghadapi masalah,
mereka mendiskusikannya dengan pemimpin kelompok lain. Setiap pemimpin dengan sabar menghadapi masalah
yang mungkin terjadi di sepanjang jalan dan bertanggung jawab untuk memberikan tugas kepada semua anggota.
Semua siswa bekerja keras untuk menyelesaikan tugas mereka. Mereka mempersiapkan dan menyusun langkah-
langkah secara teratur dan logis sehingga mereka dapat melakukan kegiatan secara sistematis untuk sampai pada
kesimpulan yang benar.
Tabel 1. Nilai keterampilan pemecahan masalah untuk kedua kelompok pembelajaran

BELAJAR Keterampilan Berarti


Pemecahan Masalah
KELOMPOK
Kontekstual I II III IV V
Tinggi 77.24 74.48 60.05 70.08 60.24 68.41

Sedang 67.60 66.03 56.32 64.40 56.40 63.90


Rendah 64.46 65.58 60.92 67.50 48.40 64.45

Tinggi 68.41 64.6 49.34 66.7 54.30 67.60


Konvensional
Sedang 53.90 57.75 44.17 58.46 42.60 62.74
Rendah 52.40 55.27 46.18 54.45 40.20 62.40

Catatan: I Identifikasi Masalah II Pengumpulan Data


III Perencanaan Pemecahan Masalah IV Penerapan Strategi
V Evaluasi Soal

Tabel 2. Hasil Uji Post Hoc Bonferroni Test berdasarkan kemampuan pemecahan masalah siswa pada kelompok pembelajaran
kontekstual
Variabel independen Kemampua Kemamp ) Perbedaan min Koreksi Sig
n (I) uan (J
Keterampilan Pemecahan Tinggi Sedang 4.632 (*) .8487 .000
Masalah
Sedang Rendah 4.571 (*) .8659 .000
Tinggi -4.632 (*) .8487 .000
Rendah Rendah .060 .8455 1.000
Tinggi -4.571 (*) .8659 .000
Sedang -.060 .8455 1.000
(*) signifikan pada 0,05

Secara berkelompok, siswa akan dilatih untuk mengidentifikasi masalah, mengumpulkan data, merencanakan,
melaksanakan kegiatan dan mengevaluasi masalah yang diberikan oleh instruktur secara individu maupun
kelompok. Sebagai contoh, ketika mempelajari tentang ciri-ciri suatu makhluk hidup, instruktur akan membawa
makhluk hidup yang akan dipelajari ke dalam kelas. Sehingga siswa dapat menghubungkan teori dengan objek
nyata, yang kemudian dapat membuat proses belajar menjadi lebih bermakna. Hal ini juga dapat meningkatkan
tingkat pencapaian mereka. Sonmez dan Lee menyarankan agar masalah yang diberikan kepada siswa haruslah
Evi Suryawati dkk. / Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721 1721
menarik. Allen (2006) menyatakan bahwa dengan bekerja dalam kelompok, mahasiswa dapat memecahkan masalah
dengan mengajukan pertanyaan dan berkomunikasi dalam rapat atau seminar.
1722 Evi Suryawati dkk. / Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721

3.2 Sikap Ilmiah

Ada tujuh aspek penting dalam membangun sikap ilmiah. Aspek-aspek tersebut adalah tanggung jawab, rasa
ingin tahu, kerja sama, ketepatan waktu dan ketelitian, disiplin, toleransi, dan percaya diri. Pengaruh pembelajaran
kontekstual RANGKA terhadap sikap ilmiah siswa dijelaskan pada Tabel 3 dan 4.
Berdasarkan hasil observasi, dengan menggunakan strategi RANGKA pada tahap perencanaan, penggabungan
dan penerapan, siswa dapat menerapkan sikap ilmiah dengan lebih baik terutama dalam hal rasa ingin tahu,
tanggung jawab dan kerja sama. Ada beberapa cara yang dapat dipilih oleh guru untuk meningkatkan minat dan
sikap ilmiah siswa, yaitu dengan menggunakan alat dan kegiatan baru yang dapat memicu semangat mereka.
Pedrotti (1997) juga menyatakan bahwa beberapa elemen dari kerja sama adalah belajar dalam kelompok dan
berkomunikasi satu sama lain. Sebagai seorang pemimpin, guru memainkan peran penting dalam membentuk sikap
kerja sama di antara anggota kelompok dan menciptakan proses pembelajaran yang aktif.
Keterampilan ilmiah adalah keterampilan penting yang digunakan untuk menjalankan kegiatan lain yang
berkaitan dengan metode ilmiah. Metode seperti eksperimen, investigasi, dan proyek membutuhkan keterampilan
ilmiah dan akan membantu mendukung sikap ilmiah siswa. Nilai tertinggi dari aspek kerja sama adalah 82,26 untuk
kemampuan kontekstual siswa. Nilai terendah dari sikap ilmiah untuk tanggung jawab siswa adalah 61,56 dan
kemampuan konvensional adalah 49,36. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kognitif dan kepercayaan diri siswa.
Kurangnya tanggung jawab siswa dibuktikan dengan pengamatan kualitatif dimana siswa jarang memeriksa
k e m b a l i h a s i l kerja mereka, memeriksa peralatan, atau membersihkan lingkungan sekitar setelah selesai
melakukan kegiatan.

Tabel 3. Nilai kemampuan sikap ilmiah Nilai kemampuan sikap ilmiah

Kelompok Belajar Sikap Ilmiah


I II III IV V VI VII
Tinggi 76.48 72.28 82.26 76.22 76.88 74.64 77.65
Kontekstual
Sedang 64.54 62.78 74.86 70.42 74.64 74.22 74.44
Rendah 61.56 64.00 72.06 64.94 68.84 66.82 66.64

Tinggi 74.44 71.34 80.42 56.88 66.80 64.40 65.43

Konvensional Sedang 60.46 60.20 73.12 64.28 73.61 74.16 69.07


Rendah 49.36 60.16 68.82 58.03 64.59 64.77 62.94
Catatan : I Komitmen V Dicipline II Keingintahuan
VI Toleransi III Kerjasama VII Kepercayaan diri
IV Tanggung jawab

Tabel 4. Hasil Uji Post Hoc Bonferroni Test berdasarkan sikap ilmiah siswa pada kelompok pembelajaran kontekstual

Variabel
(I) (J) Perbedaan rata-rata (I-J) Koreksi Sig.
independe
Kemampuan Kemampuan
n
Sikap Ilmiah Tinggi Sedang 9.7475(*) 1.78495 .000
Sedang Rendah 8.9686(*) 1.92760 .000
Tinggi -9.7475(*) 1.78495 .000
Rendah Rendah -.7789 1.84886 1.000
Tinggi -8.9686(*) 1.92760 .000
Sedang .7789 1.84886 1.000
(*) signifikan pada
0,05

Salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh seorang pengajar adalah kepekaan jika siswa menghadapi
kesulitan dalam belajar. Philips (1996) menemukan bahwa dengan bekerja dalam kelompok, siswa dapat menjadi
lebih rasional, berpikiran terbuka untuk menerima pendapat lain dan selalu berusaha mencari alternatif serta peka
terhadap perasaan orang lain. Seperti yang dikatakan Bricheno, sikap ilmiah akan menjadi positif ketika siswa
mempelajarinya dari pengalamannya sendiri dengan melibatkan diri dalam suatu kegiatan yang melibatkan mereka
secara penuh. Materi pembelajaran kontekstual diberikan berdasarkan lingkungan budaya siswa agar mereka
Evi Suryawati dkk. / Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721 1723
tertarik. Materi yang menarik akan memberikan mereka informasi, eksposisi, motivasi untuk
1724 Evi Suryawati dkk. / Procedia Ilmu Sosial dan Perilaku 9 (2010) 1717-1721

memperkaya pengalaman mereka sendiri, meningkatkan kepercayaan diri mereka, dan mengembangkan
kemampuan serta keberanian mereka untuk mengambil keputusan di masa depan.
Melalui aktivitas langsung (Parnell, 1996), siswa akan melihat bagaimana pelajaran yang mereka pelajari dapat
diaplikasikan dalam kehidupan nyata, sehingga dapat merangsang motivasi mereka untuk belajar lebih efektif.
Pengajar juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan menyiapkan materi
pembelajaran yang seimbang secara teknologi. Mereka harus mencari materi yang mengandung isu-isu hangat atau
berita terkini. Menurut Crawford, beberapa langkah strategi pembelajaran kontekstual adalah mentransfer
pengetahuan yang telah disusun dalam sebuah konsep baru, memberikan tugas kepada siswa untuk bekerja dalam
kelompok kemudian mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari ke dalam sebuah pengalaman baru, dan
menjadikan hal tersebut sebagai sebuah motivasi. Siswa juga harus menggunakan kemampuan berpikirnya dalam
suatu percobaan sains yang kompleks, seperti menghubungkan fakta-fakta ilmiah, membuat hipotesis, dan
mempersiapkan percobaan.
Dalam pembelajaran kontekstual RANGKA, siswa tidak hanya berfokus pada pencapaian intelektual tetapi juga
belajar bagaimana menciptakan situasi belajar yang dapat mengembangkan semua dimensi pendidikan seperti
kepribadian, emosi dan sosial (Evi Suryawati et al. 2009). Dengan membangun sikap ilmiah, siswa akan memiliki
kesempatan untuk mendapatkan perkembangan yang seimbang antara aspek intelektual, emosional dan sosial.

4. Kesimpulan

Pembelajaran kontekstual RANGKA membutuhkan kerja sama antara guru dan siswa di mana guru berperan besar
dalam memotivasi siswa. Beberapa strategi kontekstual yang dapat diterapkan adalah pemecahan masalah, belajar
dari lingkungan, bekerja dalam kelompok, menjalin kerja sama dengan masyarakat, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran melalui pengalaman nyata. Dari hasil pengamatan, ditemukan bahwa pembelajaran kontekstual
RANGKA berhasil meningkatkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan pemecahan masalah. Namun, hal ini
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sikap ilmiah siswa baik pada kelompok kontekstual maupun
kelompok konvensional.
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual RANGKA dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan
melatih mereka untuk lebih divergen dan evaluatif. Di sisi lain, strategi pembelajaran konvensional tidak boleh
diterapkan karena hanya menuntut siswa untuk menghafal pelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru harus fokus
pada strategi teknis yang berorientasi pada penemuan yang sesuai dengan kemampuan berpikir siswa.

Referensi

Allen, D. (2006). Pembelajaran Berbasis Masalah dalam sains sarjana. Project Kaleidoskop Vol IV.http://www.mis4.udel.edu/Pbl.
Bransford, JD, Brown, AL, & Cocking, JR (1999). Bagaimana Orang Belajar: Otak, Pikiran, Pengalaman, dan Sekolah. Washington DC : National
Academy Press.
Bricheno, P., Johnson, J. Sears, J. (2000). Sikap anak-anak terhadap sains: di luar pria berjas putih. Dalam Isu-isu dalam pengajaran sains. J. Sears
dan P. Sorensen (eds). Routledge: London.
Cook, TD, & Campbell, DT (1979). Eksperimen Kuasi: Masalah desain dan analisis untuk pengaturan lapangan. Boston: Houghton Miffin
Company Crawford, M.L. (2001). Mengajar secara kontekstual: Penelitian, dasar pemikiran, dan teknik-teknik untuk meningkatkan motivasi dan
prestasi siswa dalam
Matematika dan Sains. Texas: KABEL
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sains SMP. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. Gagne,
R.M., Wager, W.W., Golas, K.C., & Keller, J.M. (2005). Prinsip-Prinsip Desain Instruksional. Edisi kelima, Singapura: Wadsworth Thomson
Learning Inc.
Johnson, E.B. (2002). Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual: Apa itu dan mengapa hal ini akan terus ada. California: Corwin Press, Inc.
Parnell, D. (1995). Pengajaran Kontekstual Meningkatkan Prestasi Siswa. Waco Texas: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan (CORD).
Pedrotti, L. S. (1997). Sistem Pendidikan yang efektif untuk Siswa Sekolah Menengah dan Sekolah Lanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pekerjaan, Waco, Texas.
Philips, J. (1996). Mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif pada anak-anak. Selangor: Lingua Publications.
Philips, K.A. & Germann, P.J. (2002). Inkuiri: Sebuah Alat untuk Belajar Inkuiri Ilmiah. Guru Biologi Amerika. 67 (7): P 512-520. Schlechty, P.C.
(1997). Menciptakan sekolah yang lebih baik Rencana aksi untuk reformasi pendidikan. New York: Jossey-Bass
Shayer, M. & Adey. (2002). (eds.). Kecerdasan Belajar: Akselerasi Kognitif di Seluruh Kurikulum dari 5 sampai 15 tahun. Buckingham: Open
University Press.
Zemelman, S., Daniel, H., Hyde, A. (1998). Praktik Terbaik: Standar Baru untuk pengajaran dan pembelajaran di Sekolah Amerika. E d i s i ke-2.
New Hampshire: Heinemann

Anda mungkin juga menyukai