Kuliah Balaghah I - Ma'ani
Kuliah Balaghah I - Ma'ani
Materi Kuliah
1. Pengertian Balaghah
2. Aspek Balaghah
3. Balaghah dan Linguistik Modern
4. Sejarah Singkat Ilmu Balaghah
5. Musnad dan Musnad Ilaih
6. Ta'riif (me-ma'rifatkan Musnad Ilaih)
7. Tankiir (me-nakirahkan Musnad Ilaih)
8. Dzikr (menyebut Musnad Ilaih)
9. Hadzf (membuang Musnad Ilaih)
10. Washl, Fashl, Qashr
11. Ijaaz
12. Ithnaab
13. Musawah
Referensi
1
1. Pengertian Balaghah
Pengertian Bahasa
Maksud si Fulan sudah sampai, artinya, tujuannya ( إليه فالن مرا َده أي وصل بلغ ·
)tercapai
Pengertian Istilah
Situasi dan kondisi yang dimaksud disini adalah audiens ( )مخاطب. Perubahan sikon
audiens menuntut pula perubahan susunan bahasa agar “nyambung”, tidak “mis
komunikasi”.
2. Aspek Balaghah
Dalam kajian sastra, balaghah menjadi sifat dari kalam dan mutakallim, sehingga
muncul sebutan بليغ كالم dan متكلم بليغ. Karena itu, Balaghah memiliki 2 aspek; (1)
balaghah kalimat atau kalam baligh dan (2) balaghah pembicara atau mutakallim baligh.
Pengertian Kalam Baligh
هو الذي يصوره المتكلم بصورة تناسب أحوال المخاطبين : الكالم البليغ
Kalam Baligh ialah kalam yang sesuai dengan tuntutan keadaan serta terdiri dari kata-
kata yang fasih (tepat, indah)
Pengertian Mutakallim Baligh
2
احبها علىffا صffدر بهffة في النفس يقتffو مملكffه : ة المتكلمffغ أو بالغffالمتكلم البلي
fتأليف كالم بليغ مطابقة لمقتضى الحال
Mutakallim Baligh ialah kepiawaian yg ada pd diri seseorang dalam menyusun kata-
kata baligh (indah-tepat) sesuai dgn waktu dan tempat (situasi-kondisi)
ٌ
حريق ، ٌّلص : يقول الناس إذا رأوا لصا أو حريقا
Kalimat di atas, artinya, “Orang-orang berteriak saat mereka melihat maling atau
kebakaran, dengan cukup berkata: Maliiiiing, Kebakaraaan”.
Kata “Maling” (lishshun) dan kata “Kebakaran” (hariiq) merupakan kalam baligh atau
kata yang sesuai dengan konteks atau situasi yang mana mereka memilih satu kata
saja, singkat, padat, jelas, mengingat keadaan menuntut hal itu, yakni menuntut
tindakan cepat dan segera ada respon dari kalimat tersebut.
Seandainya kalimat itu menggunakan sebuah kalimat yang memiliki unsur lengkap,
misalnya: هو لص (dia maling), وجد حريق (ada kebakaran), maka pilihan kalimat semacam
ini, kelas balaghah-nya masih kalah dibanding dengan contoh pertama di atas. Sebab,
meski unsur-unsurnya lengkap (ada mubtada’ dan khabar), tapi kalimat itu terlalu
panjang sehingga sangat boleh jadi malah kurang mendapat respon dari orang lain
karena redaksinya yang panjang .
:(الجن ) ِبهم ر ُّبهم رشدا ََأ َراد َأ ْم، ِب َمنْ فِي األرض ُأ ِر ْي َد ش ٌّر
َ قال هللا ( َوَأ َّنا الَ َندْ ِر ْي َأ
)10
Artinya, “Dan kami (jin) tidak mengetahui apakah yang dikehendaki buruk terhadap
penduduk bumi ataukah Tuhan mereka (Allah) menghendaki kebaikan” (QS. Jin:10)
Pada ayat ini, ada kata “Urida” (dengan kata kerja pasif atau mabni majhul) sedangkan
kata “Arada” (dengan kata kerja aktif atau mabni ma’lum yang jelas menunjukkan
adanya subjek, yakni kata “Tuhan mereka”).
Dimana letak keindahannya dari kedua perbedaan tersebut? Jawabnya, kata “urida”
(majhul) memang sengaja digunakan untuk menyembunyikan subjeknya, yakni “Allah”.
Sebab, akan kurang sopan memunculkan subjek (Allah) untuk urusan keburukan.
Berbeda dengan kata “arada” (ma’lum) yang sengaja dipakai dengan menunjukkan
adanya subjek secara jelas dengan adanya kata “Tuhan mereka” untuk menunjukkan
bahwa kebaikan adalah kehendak Allah. Padahal, kita tahu, keadaan baik maupun
buruk, semuanya adalah kehendak dan ciptaan Allah. Hanya saja, untuk keburukan
tidak langsung dinisbatkan kepada Allah dengan cara menyembunyikan subjeknya demi
mengagungkan Allah.
Contoh lain, misalnya, penutup pidato yang biasa diucapkan da’i, “Bila ada kata-kata
yang baik, semua itu dari Allah. Tapi, bila ada kata-kata yang salah, itu semata-mata
dari saya pribadi sebagai manusia”.
3
Kalimat pidato ini jelas menunjukkan kalimat yang indah, baligh dari seorang muballigh
atau da’i yang baligh (mutakallim baligh). Dia ingin menunjukkan kehormatan dan
pengagungan terhadap Allah, meski sebenarnya dia tahu bahwa semua kata, apakah itu
baik maupun buruk, semuanya berasal dari Allah.
Linguistik berasal dari bahasa latin, lingua. Dalam bahasa Perancis berpadanan dengan
kata langue dan langage. Sedangkan dalam bahasa Italia berpadanan dengan
kata lingua dan dalam bahasa Spanyol berpadanan dengan kata lengua.
Linguistik, ilmu bahasa, dibedakan menjadi 2 macam. Pertama, linguistik murni, teoritis,
pure, nadzary. Kedua, linguistik terapan, praktis, tathbiqy.
Ketika bahasa mencakup kajian tentang suara atau bunyi bahasa berdasarkan hakikat
bahasa adalah bunyi “al-Lughah hiya al-shawt”, maka lahir ilmu fonologi atau ilm al-
ashwaat (ilmu yang mempelajari tentang bunyi). Ilmu Bunyi ini berkembang luas hingga
muncul ilmu fonetik, dan ketika ilmu dihubungkan dengan penelitian terhadap al-Qur’an,
muncul ilmu tajwid, ilmu qiraat, dan sebagainya.
4
Ketika dalam kajian bahasa juga dibahas tentang teori pembentukan kata, lalu lahirlah
ilmu morfologi atau ilmu sharaf. Ilmu ini membahas pembentukan kata, derivasi kata,
struktur kata, kata plural dan tunggal, kata ganti atau dhamir, dan sebagainya.
Ketika bahasa mengkaji hal yang lebih luas daripada sekedar bunyi dan kata, tapi juga
kalimat, maka diperlukan ilmu nahwu atau ilmu sintaksis yang bertugas untuk
mempelajari susunan kalimat, kedudukan kata dalam kalimat, bentuk-bentuk gramatis
dalam kalimat, dan sebagainya. Di Indonesia, ilmu nahwu paling berkembang luas,
terutama di dunia pesantren. Berbagai literatur mulai dari ringkas dan mudah hingga
yang luas dan mendalam, juga dipelajari.
Pada tahap selanjutnya, bahasa pun tidak sekedar membahas kalimat, kata atau bunyi.
Namun, bahasa juga membahas makna. Bahkan, makna dinilai sebagai hal terpenting
dari bahasa, mengingat bahasa sekedar sebagai alat komunikasi, dan dalam
berkomunikasi pesanlah yang disalurkan oleh pemberi pesan kepada penerima pesan.
Pesan itu adalah makna, dan makna dalam linguistik dibahas dalam ilmu khusus, yakni
ilmu semantik (ilmu makna).
Ilmu Semantik ini makin berkembang luas. Pada awalnya, ia hanya membatasi pada
pembahasan makna tiap kata sehingga lahir ilmu vocabulary atau ilmu mufradaat. Di
sana, makna kata dikupas tuntas, dicari pengembangan makna dari sebuah kata,
penyempitan makna, perluasan, makna ganda, makna denotatif – konotatif, dan
sebagainya.
Melihat bagan di atas, tampaknya, ilmu balaghah tidak masuk dalam kajian linguistik.
Padahal sebenarnya, ilmu balaghah yang terdiri dari ilmu ma’ani, ilmu bayan dan ilmu
badi’, telah ada dalam bagan linguistik di atas.
Ilmu Balaghah yang membahas makna kalimat dan konteksnya (ilmu ma’ani), secara
ontologis dan epistemologis, ada kesamaan dengan ilmu pragmatik. Ilmu Ma’ani juga
terkait dengan semantik dan bahkan, ketika ilmu ma’ani membahas bentuk-bentuk
kalimat khabari dan insya’i, ia masih terkait juga dengan ilmu sintaksis (nahwu), ilmu
morfologi (sharaf) dan ilmu fonologi (aswaat).
Demikian pula, ketika ilmu balaghah membahas tentang makna kata yang meliputi
tasybih, majaz, kinayah (ilmu bayaan), maka ilmu ini juga memiliki titik temu dengan ilmu
leksikologi dan ilmu mufradaat. Termasuk juga, ketika ilmu balaghah bagian ketiga (ilmu
5
badi’) yang membahas keindahan kata dan makna, maka ini juga juga hampir sama
kajiannya dengan ilmu semiotika atau ilmu usluub yang sejatinya juga membahas gaya
bahasa.
Dengan demikian, bisa dikatakan, bila kita mempelajari ilmu balaghah secara paripurna
meliputi ketiga bidangnya (ma’ani, bayan, badi’), maka sebenarnya kita telah
mempelajari linguistik murni secara lintas kajian. Oleh sebab itu, Muhammad Al-Khuli
berusaha memposisikan balaghah dalam bagan di bawah ini
Meski demikian luasnya kajian balaghah dan ia berada di mana-mana, kan tetapi, untuk
mempelajari balaghah di era kini, perlu juga dihubungkan dengan ilmu linguistik modern,
mengingat linguistik modern yang terus berkembang, terutama pada obyek kajiannya
yang sering dikaitkan dengan tindak tutur dan tindak berbahasa masa kini.
Sedangkan balaghah yang hanya mempelajari obyek kajiannnya terbatas pada ayat-
ayat al-Qur'an, hadis Nabi, puisi (syair) maupun prosa (natsr) ulama balaghah klasik,
maka kondisi semacam itu tidak akan banyak membantu penguasaan bahasa secara
luas. Di sisi lain, belajar balaghah yang terbatas pada kajian “tempo doeloe” juga akan
mempersempit balaghah itu sendiri dan membuatnya stagnan.
Kedua, Linguistik Praktis, yaitu ilmu bahasa yang membahas semua unsur
bahasa, lalu ilmu linguistik murni itu dihubungkan atau digabung dengan ilmu
lain.
Misalnya, gabungan antara linguistik dan sosiologi melahirkan sosiolinguistik (ilm lughah
ijtima’i); gabungan ilmu tentang jiwa atau psikologi dengan ilmu bahasa melahirkan
psikolinguistik (ilm lughah nafsi); dan sebagainya.
Selain cabang di atas, bagian lingustik terapan tidak hanya sosiolinguistik dan
psikolinguistik, tapi masih banyak yang lain, seperti: geolinguistik (ilm lughah jughrafi).
Paedagogik-linguistik, leksikografi, matematika-linguistik, dan seterusnya.
6
4. Sejarah Singkat Ilmu Balaghah
Pendahuluan
Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu masa. Ilmu mengalami
fase sejarah dimana ia muncul, berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami
kepunahan.
Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami
fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki
tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam
sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal
istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.
Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli meliputi tiga segi,
yaitu: (1) Sejarah tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi
masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada
akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang
khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang
sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya
saling berkaitan erat satu sama lain.
Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran
bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbarui.
Kesadaran inilah yang dapat menjamin perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih
maju, tidak mengalami kejumudan atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang
dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih
mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu
sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah
ada.
Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih banyak pada sejarah tentang materi
balaghah, tanpa banyak menyebutkan tokoh-tokoh maupun buku-buku karangan
balaghah yang ada.
Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor turunnya Al-Quran
dalam bahasa Arab. Al-Quran sebagai kitab samawi pegangan umat Islam
merupakan inspirator bagi para ahli bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai
macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya, membantu
memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.
Para pakar bahasa ketika menghendaki menafsirkan satu ayat atau menetapkan
makna dari satu kata yang sulit dipahami, maka mereka mendatangkan syair jahiliy
yang memuat kata tersebut beserta makna dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya
bagi tafsir yang banyak menggunakan pemaknaan secara bahasa, misal Tafsir Al-
Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para pakar dengan syair dan
produk kesusastraan (adab) lainnya inilah yang menjadikan mereka menulis
7
berjilid-jilid buku tentang kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan
khazanah sastra lainnya. Mereka menulisnya salah satunya demi khidmah kepada
Al-Quran.
Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kata-kata muncul dan
berkembang. Ilmu-ilmu ini lebih dari dua puluh macam, seperti nahwu, sharaf,
isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl, dan lain-lainnya.
Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini
telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu
tersebut dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa
orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu,
filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya
jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.
Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan
berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan
orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.
Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka.
Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah
mereka sebagai pemilik bahasa tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai
macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa mereka.
Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling
mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan
pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang
benih-benih ilmu balaghah.
Tema-tema ilmu balaghah mulai muncul belakangan setelah muncul dan mulai
berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Tema-tema ini yang dulunya dikenal
sebagai kritik sastra (naqd al-adab) semakin berkembang lebih dari pada masa
jahiliyah.
8
Mulai dari masa khilafah Umawiyah, sebenarnya para ulama pakar sastra mulai
bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya
dengan contoh dan bukti-bukti dari apa yang diriwayatkan dari orang-orang
sebelum mereka. Dari sinilah kemudian mulai muncul balaghah ‘arabiyyah dari
berbagai segi. Disusunlah buku-buku yang berbicara tentangnya hingga sampailah
fase pengajaran dari sebuah ilmu.
Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan,
yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w.
208), murid Al-Khalil (w. 170 H).
Untuk ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun
tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para
ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.
Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai
pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far
dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (w. 337 H).
Itulah ilmu balaghah pada masa awal kemunculannya. Yaitu terutama pada masa-
masa abbasiy kedua (232-334 H). Dalam fase tersebut, balaghah dengan tiga
cabangnya masih belum jelas keterkaitannya dalam kesatuan balaghah hingga
nantinya memasuki masa perkembangannya di abad kelima hijriyah.
Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pembela madrasah
kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah mereka dengan membuat batasan-
batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai
macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-
contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah
atau tidaknya bahasa mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-
kaidah logika.
9
indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni,
keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.
Penutup
Dari kajian terhadap literatur yang ada, terkait balaghah, maka ia memiliki sejarah
tersendiri, mulai dari benihnya, munculnya, hingga perkembangannya.
Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi balaghah telah mendarah daging
dalam penggunaan bahasa Arab baik dalam puisi maupun prosa. Dalam masa ini
kemudian Al-Quran turun dengan kemukjizatan sehingga mengalahkan selainnya
dalam hal ketepatan dan keindahan bahasanya.
Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga mulai muncul dan dikenal pada
masa abbasiy kedua, yaitu abad ketiga dan keempat hijriyah. Pada masa ini,
balaghah masih belum jelas bentuknya. Kemunculan ini disertai dengan disusunnya
kitab dengan tema tersebut. Kemudian, ilmu ini berkembang mulai abad kelima
dengan ciri khasnya yang mulai bersinggungan dengan I’jazul Quran sehingga
memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran sastra dan kalam. Keduanya
berbeda dalam perspektif terhadap balaghah.
Aliran balaghah kalam lebih banyak berpegang kepada analogi dan logika filsafat
dalam mengukur baik tidaknya bahasa sedangkan aliran sastra lebih
mengedepankan daya seni dan daya tangkap keindahan. Ilmu balaghah yang terus
berkembang dan sampai kepada kita saat adalah yang lebih bercorak kalamiyyah,
memiliki banyak batasan kata dan definisi-definisi.
Demikian ilmu balaghah ini yang tidak menutup kemungkinan untuk terus berubah
menuju lebih baik atau bahkan mengalami kemunduran. Hal ini tergantung kepada
para pemegang ilmu ini, apakah akan membiarkannya terdiam ataukah akan
membawanya menuju kemajuan.
Referensi :
10
5. Musnad dan Musnad Ilaih
Pada bagian ini, akan dijelaskan secara visual (via gambar) tentang musnad dan
musnad ilaih yang dikaji para ahli balaghah untuk mengetahui unsur-unsur sebuah
kalimat yang pada tataran selanjutnya, unsur-unsur itu dapat dijadikan bahan analisis
lebih lanjut.
11
12
13
6. Me-Makrifat-kan Musnad Ilaih
Berikut ini, bagan mengenai macam-macam bentuk musnad ilaih ketika makrifat dan
tujuan-tujuannya dilihat dari ilmu balaghah (ma'ani).
14
15
16
17
18
19
20
7. Me-Nakirah-kan Musnad Ilaih
Pada pembahasan sebelumnya, musnad ilaih sebagai unsur utama kalimat, ada yang
berbentuk ma'rifat dan bentuk makrifat itu memiliki tujuan-tujuan tersendiri. Demikian
pula ketika musnad ilaih dalam bentuk nakirah, maka dilihat dari perspektif ilmu
balaghah juga memiliki tujuan tersendiri yang itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
21
8. Menyebut Musnad Ilaih (Dzikr)
Menyebut musnad ilaih dalam sebuah kalimat, dalam ilmu ma'ani, ternyata
memiliki tujuan-tujuan tertentu. Sebuah kalimat yang lazimnya tidak disebut, tapi
kok kemudian disebutkan, maka di situ pasti ada beberapa tujuan yang dari
analisis ilmu balaghah bisa diketahui apa yang menjadi tujuan pembicara
(mutakallim) kepada audiens-nya (mukhatab).
22
23
Berikut gambar tentang penjelasan musnad ilaih yang tidak disebutkan atau dibuang
(hadzf).
24
25
10.Washl, Fashl dan Qashr
Dalam hubungannya dengan analisis pembentukan antar kalimat, ada kalimat yang satu
dengan kalimat yang lain disambung yang disebut dengan "washl" (menyambung).
Tentu ada tujuan tersendiri dalam menggabungkan 2 buah kalimat ini.
Sebaliknya, ada pula kalimat yang satu perlu dipisah dengan kalimat lainnya yang
disebut "fashl" (memisah), dan hal ini pun memiliki tujuan tersendiri. Salah satunya, agar
tidak terjadi salah paham apabila kalimat-kalimatnya disambung.
Tentu, tujuan utama dari belajar bab ini agar audiens memahami ucapan mutakkalim.
Misalnya, tentang apakah uraiannya itu masing "nyambung" dengan uraian sebelumnya,
atau jangan-jangan ia telah membicarakan hal lain.
Selain itu, pada bagian ini akan dijelaskan juga tentang bagan "Qashr" yang berarti
"mengkhususkan" sebuah kata/kalimat tertentu. Seperti biasa, terkadang
pembicara/penulis ingin memberi penekanan tertentu pada ujaran-ujarannya, dan hal itu
tentu memiliki tujuan. Salah satunya agar menjadi perhatian para audiens.
26
27
28
29
30
11.Ijaaz
Dalam pembahasan variasi hubungan lafal dan makna, ada 3 hal utama yang dikaji
dalam ilmu ma'ani, yaitu:
1. Ijaaz, yaitu apabila lafalnya lebih sedikit daripada maknanya. Dengan kata
lain, makna yang terkandung dalam sebuah lafal/kalimat jauh lebih
banyak/luas daripada jumlah kata/kalimat itu sendiri.
2. Ithnaab, yaitu kebalikan dari ijaaz, bahwa lafal/kata-kata yang terucap dalam
sebuah kalimat lebih panjang atau lebih luas dari makna yang terkandung di
dalam ujaran tersebut.
3. Musawaah, yaitu apabila antara lafal dan maknanya sepadan.
Berikut ini, akan dijelaskan gambaran tentang ijaaz yang dalam ilmu ma'ani
mengandung makna tertentu tentang mengapa seseorang hanya mengeluarkan ujaran
atau lafal yang singkat, padat padahal maknanya luas.
31
32
33
34
35
36
12.Ithnaab
Terkadang, seseorang berbicara panjang lebar, tapi kalimat-kalimat yang panjang itu
bertele-tele, tidak bermakna. Kalimat panjang bertele-tele itu disebut "tathwiil" dalam
ilmu ma'ani. Berbeda dengan "ithnaab". Ithnaab adalah kalimat yang panjang tapi tetap
bermakna. Menambah beberapa kata terkadang diperlukan untuk memberi perhatian
lebih, mengkhususkan, memberi sisipan, dan sebagainya.
Pada bagian ini, tergambar jelas tentang ithnaab, apa definisinya? bagaimana
bentuknya? apa tujuannya? mengapa diperlukan ithnaab?
37
38
39
40
13.Musawaah
Musawaah adalah apabila lafal dan makna dalam sebuah kalimat, ukurannya pas. Tidak
lebih besar maknanya daripada lafal (ijaaz) atau tidak lebih banyak lafalnya daripada
makna (ithnaab). Dengan kata lain, kalimat yang pas, tidak ijaaz dan tidak ithnaab, maka
ia dikategorikan musawaah.
41
42
https://www.taufiq.net/2013/12/musawaah.html
43