Anda di halaman 1dari 25

Sejarah Singkat Ilmu Balaghah

Pendahuluan

Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu masa. Ilmu mengalami
fase sejarah dimana ia muncul, berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami
kepunahan.

Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab pun mengalami
fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya. Ilmu bahasa Arab yang memiliki
tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani, bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam
sistematika seperti yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal
istilah balaghah sebagai sebuah ilmu.

Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli meliputi tiga segi,
yaitu: (1) Sejarah tentang materi balaghah dan ketentuan-ketentuannya, meliputi
masalah awal kemunculan, tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada
akhirnya; (2) Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang
khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi di atas terkadang
sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang beruntun. Hal ini karena ketiganya
saling berkaitan erat satu sama lain.

Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar muncul kesadaran
bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang yang tidak dapat diperbarui.
Kesadaran inilah yang dapat menjamin perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih
maju, tidak mengalami kejumudan atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang
dimaksud di sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang lebih
mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil penerapan dari ilmu itu
sendiri yang memuaskan, atau bahkan munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah
ada.

Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih banyak pada sejarah tentang materi
balaghah, tanpa banyak menyebutkan tokoh-tokoh maupun buku-buku karangan
balaghah yang ada.

Al-Quran dan Munculnya Ilmu-Ilmu Bahasa Arab

Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor turunnya Al-Quran
dalam bahasa Arab. Al-Quran sebagai kitab samawi pegangan umat Islam
merupakan inspirator bagi para ahli bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai
macam pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya, membantu
memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.

Para pakar bahasa ketika menghendaki menafsirkan satu ayat atau menetapkan
makna dari satu kata yang sulit dipahami, maka mereka mendatangkan syair jahiliy
yang memuat kata tersebut beserta makna dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya
bagi tafsir yang banyak menggunakan pemaknaan secara bahasa, misal Tafsir Al-
Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para pakar dengan syair dan
produk kesusastraan (adab) lainnya inilah yang menjadikan mereka menulis
1
berjilid-jilid buku tentang kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan
khazanah sastra lainnya. Mereka menulisnya salah satunya demi khidmah kepada
Al-Quran.

Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kata-kata muncul dan
berkembang. Ilmu-ilmu ini lebih dari dua puluh macam, seperti nahwu, sharaf,
isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl, dan lain-lainnya.

Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-benih ilmu ini
telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri. Bahkan, sebelum ilmu-ilmu
tersebut dikenal, esensinya telah mendarah daging dalam praktek berbahasa
orang-orang Arab dulu. Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu,
filsafat, seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam kehidupannya
jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan keindahan
berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah menghiasi berbagai perkataan
orang Arab, baik dalam puisi maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.

Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa mereka.
Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah menjadi kemampuan fitrah
mereka sebagai pemilik bahasa tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai
macam gaya bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa mereka.

Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah satu faktor


munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-Quran yang tak tertandingi
menjadikannya sebagai puncak tertinggi dalam hal ketepatan dan keindahan
berbahasa Arab.

Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga terbiasa saling
mengkritisi syair satu sama lain mulai menghadapkan Al-Quran dengan
pengetahuan mereka tentang keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang
benih-benih ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran orang Arab dengan


non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam menjadikan perlu disusunnya sebuah
ilmu pengukur ketepatan dan keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka
orang-orang non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali jika
terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama karena mereka
punya keinginan besar untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran.

Munculnya Ilmu Balaghah

Tema-tema ilmu balaghah mulai muncul belakangan setelah muncul dan mulai
berkembangnya ilmu nahwu dan sharaf. Tema-tema ini yang dulunya dikenal
sebagai kritik sastra (naqd al-adab) semakin berkembang lebih dari pada masa
jahiliyah.

2
Mulai dari masa khilafah Umawiyah, sebenarnya para ulama pakar sastra mulai
bicara tentang makna fashahah dan balaghah dan berusaha menjelaskannya
dengan contoh dan bukti-bukti dari apa yang diriwayatkan dari orang-orang
sebelum mereka. Dari sinilah kemudian mulai muncul balaghah ‘arabiyyah dari
berbagai segi. Disusunlah buku-buku yang berbicara tentangnya hingga sampailah
fase pengajaran dari sebuah ilmu.

Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah tentang ilmu bayan,
yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu ‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w.
208), murid Al-Khalil (w. 170 H).

Untuk ilmu ma’ani, tidak diketahui pasti orang pertama kali yang menyusun
tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini sangat kental dalam pembicaraan para
ulama, terutama al-Jahidz (w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.

Adapun penyusun kitab tentang ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai
pelopor, adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far
dengan Naqd asy-Syi’r dan Naqd an-Natsr (w. 337 H).
Itulah ilmu balaghah pada masa awal kemunculannya. Yaitu terutama pada masa-
masa abbasiy kedua (232-334 H). Dalam fase tersebut, balaghah dengan tiga
cabangnya masih belum jelas keterkaitannya dalam kesatuan balaghah hingga
nantinya memasuki masa perkembangannya di abad kelima hijriyah.

Perkembangan Ilmu Balaghah

Setelah kemunculannya di masa awal, para ulama berikutnya saling melengkapi


dan menambahi khazanah ilmu ini hingga hadirlah seorang pakar balaghah, Abu
Bakar Abdul Qahir Al-Jurjaniy (w. 471 H) yang mengarang kitab tentang ilmu
ma’aniy dengan judul Dalailul I’jaz, dan tentang ilmu bayan dengan judul Asrorul
Balaghah. Kemudian setelah beliau, hadirlah abu Ya’qub Sirajuddin Yusuf As-
Sakakiy Al-Khawarizmi (w. 626 H) dengan kitabnya yang membahas tentang ilmu
balaghah lebih lengkap daripada lainnya, yaitu kitab dengan judul Miftah al-‘Ulum.

Perkembangan balaghah pada masa ini salah satunya disebabkan oleh


persinggungannya dengan ilmu kalam dan filsafat terkait dengan i’jazul Quran.
Adanya fenomena inilah yang kemudian oleh para pakar sekarang dimunculkan
istilah madrasah adabiyyah dan madrasah kalamiyyah atas dasar kecenderungan
yang dipilih dalam melakukan pembahasan balaghah.

Tiap-tiap madrasah ini memiliki ciri khas tersendiri. Para pembela madrasah
kalamiyyah memfokuskan pembahasan balaghah mereka dengan membuat batasan-
batasan lafdzi dan spirit perdebatan. Kemudian fokus dengan membuat berbagai
macam definisi-definisi dan kaidah-kaidah tanpa banyak menunjukkan contoh-
contoh bukti sastrawi baik puisi maupun prosa. Untuk menentukan tepat dan indah
atau tidaknya bahasa mereka banyak berpegang pada analogi filsafat dan kaidah-
kaidah logika.

Sedangkan madrasah adabiyyah, mereka sangat berlebihan dalam mengajukan


bukti-bukti (contoh-contoh) sastrawi baik puisi maupun prosa, dan sedikit sekali
memperhatikan tentang definisi dan lain-lainnya. Untuk menentukan tepat dan

3
indah atau tidaknya bahasa mereka lebih banyak berpegang pada rasa seni,
keindahan daripada kepada filsafat ataupun logika.

Demikianlah, madrasah kalamiyyah memang sangat berkepentingan dengan


penguatan i’jazul Quran yang mana hal itu adalah titik temu antara sastra, akidah,
filsafat ketuhanan, dan lainnya. Sedangkan madrasah adabiyyah, mereka banyak
menguatkan karya sastra, latihan menyusun bahasa yang baik, dan mendidik rasa
kritis.

Masa berjalan, pada akhirnya madrasah kalamiyyah lebih menguat dibandingkan


adabiyyah hingga sampailah konsep balaghah yang kita kenal saat ini, dari kitab-
kitab yang ditulis para pakar-pakarnya tersebut dari masa ke masa.

Penutup

Dari kajian terhadap literatur yang ada, terkait balaghah, maka ia memiliki sejarah
tersendiri, mulai dari benihnya, munculnya, hingga perkembangannya.

Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi balaghah telah mendarah daging
dalam penggunaan bahasa Arab baik dalam puisi maupun prosa. Dalam masa ini
kemudian Al-Quran turun dengan kemukjizatan sehingga mengalahkan selainnya
dalam hal ketepatan dan keindahan bahasanya.

Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga mulai muncul dan dikenal pada
masa abbasiy kedua, yaitu abad ketiga dan keempat hijriyah. Pada masa ini,
balaghah masih belum jelas bentuknya. Kemunculan ini disertai dengan disusunnya
kitab dengan tema tersebut. Kemudian, ilmu ini berkembang mulai abad kelima
dengan ciri khasnya yang mulai bersinggungan dengan I’jazul Quran sehingga
memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran sastra dan kalam. Keduanya
berbeda dalam perspektif terhadap balaghah.

Aliran balaghah kalam lebih banyak berpegang kepada analogi dan logika filsafat
dalam mengukur baik tidaknya bahasa sedangkan aliran sastra lebih
mengedepankan daya seni dan daya tangkap keindahan. Ilmu balaghah yang terus
berkembang dan sampai kepada kita saat adalah yang lebih bercorak kalamiyyah,
memiliki banyak batasan kata dan definisi-definisi.
 
Demikian ilmu balaghah ini yang tidak menutup kemungkinan untuk terus berubah
menuju lebih baik atau bahkan mengalami kemunduran. Hal ini tergantung kepada
para pemegang ilmu ini, apakah akan membiarkannya terdiam ataukah akan
membawanya menuju kemajuan.

Referensi :

Ahmad Al-Iskandari, 1916, Al-Wasith fil-Adab al-‘Arabiy wa Tarikhuhu, Mesir:


Penerbit Darul Ma’arif
Amin Al-Khuli, 1961, Manahij Tajdid fi an-Nahwi wal-Balaghah wat-Tafsir wal-
Adab, Penerbit Dar al-Ma’arif
Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, juz 2, Penerbit Darul Hilal

4
H T T P S : / / W W W . TA U F I Q . N E T / 2 0 11 / 0 9 / S E J A R A H - S I N G K AT - I L M U - B A L A G H A H . H T M L

5
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU  BALAGHOH
Sebuah ilmu tidaklah muncul sekaligus sempurna dalam satu
masa. Ilmu mengalami fase sejarah dimana ia muncul,
berkembang, dan maju, hingga bisa jadi mengalami kepunahan.

Ilmu balaghah sebagai salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab
pun mengalami fase kemunculan, perkembangan, dan seterusnya.
Ilmu bahasa Arab yang memiliki tiga cabang ini, yaitu ilmu ma’ani,
bayan, dan badi’, tidaklah ada dari awal dalam sistematika seperti
yang kita kenal sekarang ini. Dahulu, sama sekali tak dikenal istilah
balaghah sebagai sebuah ilmu.

Istilah “’Ilm Al-Balaghah” terdiri atas dua kata, yaitu ‘ilm dan al-
Balaghah. Kata “‘Ilm” dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang
tertentu. Kata “Ilm” juga diartikan sebagai materi-materi
pembahasan dalam kajian suatu disiplin ilmu (al-Qadhaya allati
tubhatsu fihi). Kata “ilm” juga dapat diartikan sebagai pemahaman
yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam suatu
bidang tertentu.

Sedangkan kata “al-Balaghah” didefinisikan oleh para ahli dalam


bidang ini dengan definisi yang beragam, diantaranya adalah:

1. Menurut Ali jarim dan Musthafa Amin dalam Balaghatul


Wadhihah:

‫أما البالغة فهي تأدية المعنى الجليل واضحا بعبارة صحيحة لها في النفس أثر خالب مع مالئمة‬
‫كل كالم للموطن الذي يقال فيه واألشخاص الذين يخاطبون‬.

“Adapun Balaghah itu adalah mengungkapkan makna yang estetik


dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar, berpengaruh
dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya dengan
tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan
kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.

1. Menurut Dr. Abdullah Syahhatah :

6
‫الحد الصحيح للبالغة في الكالم هو أن يبلغ به المتكلم ما يريد من نفس السامع بإصابة موضع‬
‫اإلقناع من العقل والوجدان‬

“Definisi yang benar untuk term Balaghah dalam kalimat


adalahkeberhasilan si pembicara dalam menyampaikan apa yang
dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar (penerima), dengan tepat
mengena ke sasaran yang ditandai dengan kepuasan akal dan
perasaannya”.

1. Menurut Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul


Fattah Lasyin :

‫البالغة هي مطابقة الكالم لمقتضى الحال مع فصاحته‬

Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan


situasi disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih.

Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa


inti dari Balaghah adalah penyampaian suatu pesan dengan
menggunakan ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan
kandungan maksudnya, tetap memperhatikan situasi dan kondisi
pengungkapannya, menjaga kepentingan pihak penerima pesan,
serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam diri penerima pesan
tersebut.

Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan materi-
materi yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan
yang bernilai Balaghah itu sendiri.

Pembahasan tentang sejarah balaghah menurut Amin Al-Khuli


meliputi tiga segi, yaitu: (1) Sejarah tentangmateri balaghah dan
ketentuan-ketentuannya, meliputi masalah awal kemunculan,
tahapan perkembangan, dan bagaimana ilmu ini pada akhirnya; (2)
Kajian tentang tokoh-tokoh ilmu balaghah; (3) Kajian tentang
khazanah tulisan atau karangan dalam ilmu balaghah. Ketiga segi
di atas terkadang sulit dipisahkan satu per satu dalam kajian yang
beruntun. Hal ini karena ketiganya saling berkaitan erat satu sama
lain.

7
Pengetahuan tentang sisi sejarah balaghah perlu dipahami agar
muncul kesadaran bahwa ilmu ini memang bukan benda mati yang
yang tidak dapat diperbarui. Kesadaran inilah yang dapat menjamin
perkembangan ilmu ini ea rah yang lebih maju, tidak mengalami
kejumudan atau bahkan kepunahan. Kemajuan yang dimaksud di
sini meliputi berbagai segi, entah dari segi pengajarannya yang
lebih mudah, cakupan materi yang lebih luas, ataupun hasil
penerapan dari ilmu itu sendiri yang memuaskan, atau bahkan
munculnya ilmu baru dari ilmu yang telah ada.

Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih banyak pada sejarah


tentang materi balaghah, tanpa banyak menyebutkan tokoh-tokoh
maupun buku-buku karangan balaghah yang ada.

Al-Quran dan Munculnya Ilmu-Ilmu Bahasa Arab

Ilmu-ilmu bahasa Arab berkembang pesat tak lepas dari faktor


turunnya Al-Quran dalam bahasa Arab. Al-Quran sebagai kitab
samawi pegangan umat Islam merupakan inspirator bagi para ahli
bahasa Arab untuk mengkonsep berbagai macam pengetahuan
yang dapat digunakan untuk menjaga keasliannya, membantu
memahaminya, dan menemukan sisi-sisi keindahannya.

Para pakar bahasa ketika menghendaki menafsirkan satu ayat atau


menetapkan makna dari satu kata yang sulit dipahami, maka
mereka mendatangkan syair jahiliy yang memuat kata tersebut
beserta makna dan gaya bahasanya. Hal ini khususnya bagi tafsir
yang banyak menggunakan pemaknaan secara bahasa, misal
Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (w. 538). Interaksi para
pakar dengan syair dan produk kesusastraan (adab) lainnya inilah
yang menjadikan mereka menulis berjilid-jilid buku tentang
kumpulan syair, makna kosakata, khithobah, dan khazanah sastra
lainnya. Mereka menulisnya salah satunya demi khidmah kepada
Al-Quran.

Dari sinilah kemudian ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kata-


kata muncul dan berkembang. Ilmu-ilmu ini lebih dari dua puluh
macam, seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, ma’ani, bayan, badi’, ‘arudl,
dan lain-lainnya.

8
Balaghah Pada Masa Pra-Kodifikasi

Secara historis istilah balaghah muncul belakangan setelah benih-


benih ilmu ini telah muncul dengan berbagai istilahnya sendiri.
Bahkan, sebelum ilmu-ilmu tersebut dikenal, esensinya telah
mendarah daging dalam praktek berbahasa orang-orang Arab dulu.
Berbagai macam pengetahuan manusia, mulai dari ilmu, filsafat,
seni, dan lainnya telah ada di akal dan lisan manusia dalam
kehidupannya jauh sebelum diajarkan dan dikodifikasikan.

Tidak terkecuali ilmu balaghah, ilmu yang terkait ketepatan dan


keindahan berbahasa ini sebagai sebuah pengetahuan telah
menghiasi berbagai perkataan orang Arab, baik dalam puisi
maupun prosa, bahkan jauh sebelum Al-Quran turun.

Setiap bangsa pasti akan memilih yang bagus dari seni berbahasa
mereka. Membedakan antara bahasa yang baik dan buruk telah
menjadi kemampuan fitrah mereka sebagai pemilik bahasa
tersebut. Mereka pun telah menggunakan berbagai macam gaya
bahasa yang indah. Tak terkecuali bangsa Arab dan bahasa
mereka.
Sebagaimana telah disampaikan di depan, Al-Quran adalah salah
satu faktor munculnya berbagai ilmu bahasa. Keindahan bahasa Al-
Quran yang tak tertandingi menjadikannya sebagai puncak tertinggi
dalam hal ketepatan dan keindahan berbahasa Arab.

Para pakar yang biasa berbangga dengan keindahan syair dan juga
terbiasa saling mengkritisi syair satu sama lain mulai
menghadapkan Al-Quran dengan pengetahuan mereka tentang
keindahan berbahasa. Dari sinilah mulai berkembang benih-benih
ilmu balaghah.

Pada perkembangan selanjutnya, semakin luasnya percampuran


orang Arab dengan non-Arab seiring kemajuan peradaban Islam
menjadikan perlu disusunnya sebuah ilmu pengukur ketepatan dan
keindahan berbahasa Arab. Hal ini karena mereka orang-orang
non-Arab tidak dapat mengetahui keindahan bahasa Arab kecuali
jika terdapat kaidah ataupun pembanding. Hal ini penting terutama
karena mereka punya keinginan besar untuk mengetahui
kemukjizatan Al-Quran.
9
Tradisi sastra arab telah berakar jauh sebelum munculnya agama
Islam di semenanjung Arab. Pada mulanya Islam dipahami melalui
penggunaan bahasa arab yang literer. Namun pada masa
perkembangan selanjutnya, sastra Islam sedikit demi sedikit
dipengaruhi Alqur’an dan Hadits Nabi.

Tradisi sastra Islam, khususnya Arab, bahkan jauh sebelum


lahirnya Islam. Walaupun sampai abad ketujuh hanya dikenal
sastra lisan, berbentuk puisi, pribahasa dan pidato, tradisi lama ini
tetap bertahan sampai sekarang. Lirik lisan untuk dinyanyikan pada
umumnya berisi kisah kepahlawanan, kebanggaan suku dan
keturunan, elegi (marasiin), cinta, dan pelampiasan balas dendam.

Dalam berbagai literature disebutkan bahwa disiplin ilmu balaghah


merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang menjadi alat
untuk menguak kemukjizatan Alqur’an. Sebagaimana diketahui
bahwa Alqur’an dikenal dengan susunan kalimatnya yang indah,
tertib, dan rapi. Kelebihan ini disinyalir kuat karena memang
mukjizat nabi terakhir ini diturunkan di tengah-tengah komunitas
pengagum sastra. Bahkan, pasar Ukadz merupakan tempat yang
menjadi ajang jual-beli sastra di masa jahiliyah, sebelum nabi
Muhammad datang membawa Islam.

Secara terminologi, balaghah adalah suatu disiplin ilmu yang


berfungsi untuk mengetahui aturan-aturan dalam merangkai kata-
kata ataupun kalimat yang indah dan fasih, tepat, dan sesuai
dengan kondisi yang ada (muqtadla al-hal).

Pasca Turunnya Al-Qur’an

Sebagaimana dilihat sebelumnya bahwa keberadaan Balaghah


pasca turunnya al-Qur’an sudah demikian berkembang, lebih-lebih
setelah turunnya al-Qur’an. Keindahan dan kelembutan berbahasa
merupakan pokok kajian yang tak habis-habisnya, yang telah
melahirkan banyak ungkapan-ungkapan yang indah dan bermakna
dalam kepustakaan sastra, terutama setelah turunnya al-Qur’an
yang merupakan salah satu inspirator dalam melahirkan keindahan
dan kelembutan berbahasa tersebut.

Dalam tradisi Islam, al-Qur’an dipandang sebagai salah satu


10
sumber keindahan atau ke-balaghah-an bagi para penyair dan
penulis prosa. Al-Qur’an, diakui oleh mereka sebagai puncak
balagah dan merupakan model utama dalam rujukan penggubahan
syai’r.

Kedudukan al-Qur’an begitu penting dan berpengaruh besar


terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola tutur umat Islam. Seluruh
umat sepakat bahwa salah satu bentuk kemukjizatan al-Qur’an
adalah keindahan bahasanya yang tak tertandingi oleh ungkapan
manapun. Gagasan tentang nilai keindahan dan keluhuran tradisi
sastra al-Qur’an tidak hanya diakui dalam kesusastraan dan
kebahasaan, namun hal tersebut telah menjadi doktrin agama yang
mendasar. Otentisitas al-Qur’an didasarkan atas ajaran
ketidakmungkinan al-Qur’an untuk dapat ditiru oleh siapapun, baik
dari sisi kandungannya, maupun sisi keindahannya. Itulah konsep
I’jaz al-Qur’an, kemukjizatan al-Qur’an yang tak tertandingi. Tidak
seorangpun manusia yang bisa membuat ungkapan-ungkapan
yang serupa dengan al-Qur’an.

Bahkan sebagian pakar sastra mencoba dengan sadar dan


seksama untuk menyamai bahkan melampaui keindahan al-Qur’an.
Upaya-upaya tersebut mereka lakukan untuk meladeni tantangan
al-Qur’an yang begitu menggugah orang-orang yang memiliki
keahlian dan keberanian di antara mereka, meski usaha tersebut
tidak pernah berhasil. Tantangan al-Qur’an itu semakin menarik
perhatian mereka disamping telah adanya rasa cinta terhadap
keindahan dan ketinggian bahasa yang melekat kuat dalam jiwa
mereka sejak masa pra turunnya al-Qur’an.

Sampai masa permulaan Islam ini keberadaan ilmu Balaghah


sebagai suatu disiplin ilmu yang utuh seperti saat inibelum
terkodifikasi, namun ia terus mengalami perkembangan sedikit
demi sedikit. Diawali dengan kajian sastra terhadap beberapa sya’ir
dan pidato-pidato orang Jahiliah, dilanjutkan dengan mengulas
sya’ir dan sastra pada masa awal Islam, sampai kepada masa
pemerintahan Daulah Umaiyah, ia terus mengalami perkembangan
yang menggembirakan.

Perkembangan Balaghah dari Masa ke Masa

11
Kitab yang pertama kali disusun dalam bidang balaghah adalah
tentang ilmu bayan, yaitu kitab Majazul Qur’an karangan Abu
‘Ubaidah Ma’mar bin Al-Mutsanna (w. 208), murid Al-Khalil (w. 170
H).Sedangkan ilmu ma’ani, maka tidak diketahui pasti orang
pertama kali yangmenyusun tentang ilmu tersebut. Namun, ilmu ini
sangat kental dalam pembicaraan para ulama, terutama al-Jahidz
(w. 255 H) dalam I’jazul Quran-nya.Adapun penyusun kitab tentang
ilmu badi’ pada masa awal, yang dianggap sebagai pelopor, adalah
Abdullah Ibn al-Mu’taz (w. 296 H) dan Qudamah bin Ja’far .[8]Dan
Al-Jahizh dipandang sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam
sejarah perkembangan ilmu Balaghah secara umum dan ilmu
Bayan secara khusus, lewat karya tulisnya yang lain berjudul al-
Bayan wa al-Tabyin

Ilmu Balaghah terusmengalami perkembangan sehingga mencapai


banyak kemajuan ditandai dengan semakin utuhnya kajian-kajian
didalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun oleh Imam
Abdul Qahir al-Jurjani. Kedua kitab tersebut adalah : Pertama,kitab
Asrarul Balaghah yang berisi Ilmu Ma’ani yang merupakan bagian
dari Balaghah.Kedua, kitab I’jazul Qur’an, yang berisi tentang
keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan
makna yang merupakan keistimewaan uslub Al-Qur’an yang
menunjukkan kemukjizatannya.

Kemudian disusul dengan kemunculan Imam As-Sakaki yang


semakin mematangkan keberadaan Ilmu Balaghah sebagai disiplin
Ilmu. Beliau menyusun sebuah karya besar yang menguraikan ilmu
tersebut disamping ilmu-ilmu pengetahuan bahasa Arab lainnya.
Kitab tersebut dikenal dengan nama Miftahul ‘Ulum.

Sedangkan pembagian ilmu Balaghah ke dalam tiga istilah (Ilmu


Ma’ani, Bayan, danBadi’) seperti yang dikenal sekarang dilakukan
oleh Al-Khatib al-Qazwainy (w. 729 H) pada abad ke-VII H dalam
karyanya yang bernama Talkhisul Miftah yang merupakan
ringkasan dari kitab Miftahul ‘Ulum karya As-Sakaki.

Disipilin ilmu balaghah mulai dikenal pada masa dinasti Abbasiyah.


Pada saat itu, terjadi perdebatan yang sengit di kalangan para
sastrawan dan para ahli bahasa dalam mengungkap mukjizat
Alqur’an. Seperti disinggung dalam kitab al-Maqasid karya as-
12
Syaikh Sa’duddin al-Taftazani, ketegangan ini menyebabkan
terjadinya perpecahan dalam tubuh umat Islam. Sehingga mereka
berinisiatif untuk mendirikan aliran sesuai dengan keinginannya
sendiri.

Sebenarnya ketegangan ini ditimbulkan oleh salah satu pendapat


Ibrahim al-Nidzam yang dianggap paling menyesatkan. Al-Nidzam
mengatakan bahwa Alqur’an tidak memiliki kekuatan mukjizat
berupa kefasihan dan kebalighannya. Bahkan, semua orang Arab
pasti bisa membuat kalimat yang nilainya sama dengan bahasa
yang digunakan Alqur’an.
Pendapat ini mengundang reaksi keras para pakar sastra dan
ulama waktu itu. Di antaranya adalah al-Baqilany, Imam Haramain,
dan Imam al-Fakhrurrazi. Mereka kemudian menulis sebuah risalah
yang isinya menolak semua argumen Ibrahim al-Nidzam, dan
mengungkap kebobrokan aliran yang dianut olehnya.

Sebagaimana yang tertera di dalam kitab ‘Ulum al-Balaghah’ karya


Ahmad Mushthofa al-Maraghi, bahwa yang pertama kali
memperkenalkan metode balaghah adalah Ubaidah Mu’ammar bin
Mutsanna al-Rowiyah (w. 211 H.), salah satu murid Imam Kholil
yang notabene pakar bahasa arab. Ubaidah menulis sebuah kitab
tentang Ilmu Bayan (salah satu topic utama disiplin ilmu balaghah,
selain Ma’aniy dan Badi’) yang bernama Majaz Alqur’an.
Akan tetapi, sebenarnya yang lebih tersohor dalam menyusun
kaidah-kaidah balaghah adalah Khalifah Abdullah bin Mu’taz bin
Mutawakkil al-Abbasiy (w. 296 H). Dalam usahanya menyusun
kaidah balaghah tersebut, beliau betul-betul mendalami dan
menekuni dunia sastra (sya’ir), kemudian menyusun kitab bernama
Al-Badi’.

Dalam kitab tersebut beliau menguraikan tentang tujuh belas


macam kaidah balaghah seperti Kinayah, Bayan, Isti’arah, dan
Tauriyah. Dalam salah satu tulisannya beliau berkata, “Tak seorang
pun sebelum aku yang pernah mengarang ilmu Badi’, dan tidak
seorang pun yang pernah menyusunnya selain aku. Bagi siapa saja
yang ingin mempelajari karanganku, maka lakukanlah. Jika ada (di
antara kalian) yang melihat kebaikan dalam karangan tersebut,
maka itu perlu dicoba (dibuktikan).”

13
Sepeninggal beliau, pada periode selanjutnya perkembangan
balaghah kian pesat dan signifikan. Hal ini dengan tersusunnya
sebuah risalah bernama Naqdu Qudamah yang disusun oleh
Qudamah bin Ja’far al-Baghdady (w. 310 H.). Kitab ini merupakan
kelanjutan dari karangan Khalifah Abdullah al-Mu’taz al-Abbasiy,
sekaligus menyempurnakan istilah-istilah yang dipakai di dalamnya.
Kalau dalam kitab Al-Badi’ Khalifah bin al-Mu’taz hanya
mengenalkan tujuh belas istilah saja, maka imam Qudamah
memperkenalkan beberapa kaidah-kaidah baru sehingga jumlah
keseluruhan menjadi tiga puluh kaidah.

Tidak hanya sampai di situ saja, kedua kitab tersebut kemudian


dipelajari lagi oleh imam Abu Hilal bin Abdillah al-‘Askary (w. 395
H.). Dari pendalaman itu beliau akhirnya menyusun sebuah kitab
bernama Al-Shina’ataini, yang disampaikan dengan dua kalimat,
prosa dan sastra. Di dalamnya terdapat sebanyak 35 macam badi’,
serta membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan
balaghah seperti Fashahah, Balaghah, Ijaz, dan beberapa bab
Naqdu al-Syi’ry (kritik sastra). Kitab inilah yang kemudian dianggap
sebagai karangan pertama yang mengarah langsung pada tiga
materi pokok ilmu balaghah berupa Ma’ani, Bayan, dan Badi’
secara lengkap dan sempurna.

Abad kelima Hijriyah (atau abad kesepuluh dan kesebelas masehi)


merupakan puncak dari kebangkitan ilmu balaghah. Hal itu
bersamaan dengan maraknya diskusi filsafat, sastra juga kian
subur lagi. Pendorongnya ialah kegairahan mengkaji sastra di
kalangan ilmuwan dan filosof, dan munculnya berbagai teori sastra
yang inspiratif bagi penciptaan. Di antara filosof dan ahli teori sastra
terkemuka yang telah memberikan sumbangsih besar dalam teori
dan kajian sastra adalah Abdul Qahir al-Jurjani, al-Baqillani, al-
Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), Qudamah, dan lainnya. Dalam teori
mereka disampaikan pentingnya imajinasi (takhyil) dalam
penciptaan karya seni. Mereka juga menemukan bahwa kekuatan
bahasa Alqur’an disebabkan banyaknya ayat-ayat yang
menggunakan bahasa figuratif (majaz), citraan visual (tamtsil),
pengucapan simbolik (mitsal), dan metafora (isti’arah).

Sebagai kitab suci yang mengandung nilai sastra tinggi, tidak


diragukan lagi bahwa Alqur’an memiliki pengaruh yang besar bagi
14
perkembangan kesusastraan. Lebih daripada itu, kitab ini mampu
membangkitkan perkembangan ilmu bahasa. Di samping itu,
Alqur’an mengandung rujukan yang melimpah untuk berbagai
cabang ilmu, dan di dalam Alqur’an pula terdapat banyak kisah
dengan cara penyajian yang khas dan menarik. Pola ini pula yang
turut mempengaruhi corak naratif sastra Islam. Yang perlu diketahui
adalah bahwa perkembangan sastra yang demikian pesat ini
sepenuhnya disulut oleh pengaruh kitab suci Alqur’an. Walaupun
bukan merupakan kitab sastra, tapi Ia memiliki nilai sastra yang
sangat tinggi.

Kelebihan di bidang sastra inilah yang juga menjadi nilai lebih dari
Alqur’an sekaligus menjadi mukjizat Alqur’an sepanjang masa.
Konon, tak satupun orang-orang arab Jahiliyah yang mampu
menandingi bahasa Alqur’an yang begitu indah dan menawan.
Sayyidina Umar r.a. pun sampai menangis dan akhirnya masuk
Islam setelah mendengar bacaan ayat suci Alqur’an. Tak heran jika
kemudian Alqur’an menjadi rujukan dan bahan utama yang dibidik
oleh ilmu balaghah.
Salah satu hal penting dan signifikan yang menandakan
pembaharuan dalam sastra ialah dikaitkannya sastra dengan adab,
terutama dalam pemerintahan Abbasiyah (750-1258 M.). Bahkan di
masa kemudian sastra lebih identik dengan bahasa arab, dan
seorang penulis karya sastra disebut al-Adib.

Masa Keemasan Balaghah dan Lahirnya Ulama Balaghah


Terkemuka

Era keemasan ilmu Balaghag diawali dengan lahirnya seorang


sastrawan terkemuka bernama Abu Bakar Abdul Qahir bin
Abdurrahman al-Jurjani (w. 471 H.) yang dikenal dengan nama
Abdul Qahir al-Jurjani. Beliau termasuk figur yang sangat perhatian
terhadap ilmu balaghah. Dalam sejarah, beliaulah yang dikenal
menguraikan semua kaidah balaghah satu persatu, mengajukan
contoh yang mudah dimengerti dan menggunakan bahasa yang
mudah dicerna. Hal itu tercermin dalam kitabnya yang bernama
Asrar al-Balaghah dan Dalail al-I’jaz. Dalam penyampaiannya
beliau memandang bahwa ilmu dan tindakan harus sama-sama
berjalan.

15
Oleh karena itu, contoh-contoh yang beliau kemukakan selalu
berkaitan erat dengan hal-hal yang banyak terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Tujuannya agar pembaca lebih mudah mencerna
kaidah-kaidah balaghah yang beliau sampaikan. Masalahnya,
semua tema yang terdapat di dalam balaghah tidak akan mudah
dicerna kecuali dengan memperbanyak contoh-contoh dan latihan.
Maka contoh global itulah yang kemudian diolah dan dijelaskan
sejelas mungkin, selain juga diperkuat dengan gambaran-
gambaran particular yang makin memperjelas kandungan balaghah
dalam satu redaksi atau ungkapan.

Walaupun pada masa sebelum itu ada beberapa cendekiawan


yang telah memperkenalkan kaidah balaghah, seperti Imam al-
Jahidz, Qudamah al-Katib, akan tetapi justru Abdul Qahir yang
dianggap sebagai salah satu pelopor ilmu balaghah. Klaim tersebut
bukanlah omong kosong belaka dan tanpa alasan. Penilaian ini
berdasarkan kontribusi Abdul Qahir yang betul-betul
membangkitkan ilmu balaghah. Apa yang beliau berikan, tidak
pernah sekalipun berhasil disamai oleh periode-periode sebelum
dan sesudah beliau. Beliau berhasil membangun ilmu balaghah
menjadi disiplin ilmu pengetahuan yang dikenal masyarakat luas.

Setelah masa keemasan Abdul Qahir berlalu, muncullah al-Imam


Jar al-Allah al-Zamakhsyari, yang dikenal dengan nama Imam
Zamakhsyari (w. 538 H.). Beliau banyak menguak unsur-unsur
balaghah yang terdapat dalam Alqur’an, mukjizatnya, maksud ayat,
serta keistimewaan yang dimiliki ayat-ayat tertentu.

Pada masa berikutnya, muncullah seorang ulama balaghah


terkenal yang kontribusinya juga tidak kalah penting, yaitu Abu
Ya’kub Yusuf al-Sakaky atau dikenal dengan nama Imam Sakaky
(w. 626 H.). Beliau menulis kitab berjudul Miftahul Ulum yang isinya
menyempurnakan dan melengkapi karangan-karangan terdahulu,
serta menjelaskan kekurangan yang terdapat sebelumnya, dan
banyak meneliti (mengkritik) kaidah-kaidah balaghah yang
dianggap tidak diperlukan. Hasil penelitian tersebut kemudian
dituangkan dalam kitab tersebut dengan penyampaian yang
sistematis, dan dikelompokkan dalam bab-bab tertentu dengan rapi,
dan mengklasifikan beberapa kaidah yang terpisah satu sama lain.

16
Semua itu beliau lakukan karena beliau banyak mempelajari kitab-
kitab mantiq dan filsafat. Tentu saja kitab ini memiliki kelebihan
tersendiri dibandingkan kitab-kitab sama yang ditulis pada masa-
masa sebelumnya.

Keberadaan Imam Sakaky ini juga ditenggarai menjadi salah satu


pendorong berkembangnya ilmu balaghah. Bahkan, sejarawan dan
sosiolog terkemuka sekelas Ibnu Khaldun menyebutkan kalau
Imam al-Sakaky yang menjadi pioner balaghah, bukan Abdul Qahir.
Apalagi Imam al-Sakaky merupakan tokoh yang menjembatani
antara Abdul Qahir, yang menggabungkan ilmu dan amal, dengan
orang-orang kontemporer, yang memaksakan diri untuk mengkaji
balaghah. Mereka menyamakan balaghah dengan ilmu-ilmu
nazariyah (rasional), serta menafsiri kalimat-kalimatnya seperti
mengkaji ilmu bahasa arab.

Keadaan ini hampir membuat balaghah lebih mirip dengan teka-teki


dan tebak-tebakan. Sehingga batasan dan kriteria ilmu balaghah
hampir musnah dan hilang. Lebih parah lagi, kitab-kitab karangan
Abdul Qahir mulai ditelantarkan, dan tidak lagi dipelajari. Barangkali
inilah nasib sebuah ilmu pengetahuan jika dipelajari oleh orang-
orang yang berada dalam masa kehancuran (penurunan)
kelemahan. Dalam kasus ini, kitab Asror al-Balaghah-nya Abdul
Qahir bisa disamakan dengan kitab Muqaddimah-nya Ibnu
Khaldun, atau Sultan Sulaiman dengan kitab Qawanin-nya.

Walaupun demikian, dalam pandangan Ahmad Mushthofa al-


Maraghi, dibandingkan dengan Abdul Qahir, Imam al-Sakaky tak
ubahnya hanya mem’bebek’ pada Abdul Qahir. “ma kana al-sakaky
illa ‘iyalan ‘ala abdil qahir,” komentar beliau dalam kitab ‘Ulum al-
Balaghah-nya. Apalagi penggunaan redaksi dan penjelasan materi
balaghah yang disampaikan oleh Imam al-Sakaky justru kurang
tersusun rapi dan terkesan kacau. Mungkin kelebihan Imam al-
Sakaky adalah karena beliau hidup setelah era Abdul Qahir, serta
penyajian materi yang menggunakan sub bab yang lebih banyak
dikenal.

Tapi, lanjut al-Maraghi, seseorang yang hidup lebih dulu (Abdul


Qahir) mempunyai kelebihn daripada orang yang hidup
belakangan, karena dia dianggap sebagai pelopornya. Terlepas
17
dari perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu, Abdul
Qahir atau Imam al-Sakaky, ilmu balaghah telah mencapai
tingkatan tertinggi pada masa itu. Hanya saja, beberapa sejarawan
ada juga yang menganggap bahwa yang pantas menjadi ‘Bapak’
ilmu balaghah adalah Imam al-Sakaky. Tentu saja, perbedaan
pendapat dan kaidah balaghah yang seringkali berbenturan satu
sama lain, selalu mewarnai pembahasan kaidah dan tema ilmu
balaghah secara merata.

Tokoh-tokoh Ilmu Balaghah dan Ilmu Ma’ani

Ilmu ma’ani membahas bagaimana kita mengungkapkan sesuatu


ide fikiran atau perasaan ke dalam bahasa yang sesuai dengan
konteksnya. Tokoh pertama yang mengarang buku dalam bidang
ilmu bayân adalah Abû Ubaidah dengan kitabnya Majâz Alquran.
Beliau adalah murid al-Khalil. Dalam bidang ilmu ma’âni, kitab I’jâz
Alquran yang dikarang oleh al-Jâhizh merupakan kitab pertama
yang membahas masalah ini. Sedangkan kitab pertama dalam ilmu
badî’ adalah karangan Ibn al-Mu’taz dan Qudâmah bin Ja’far. Pada
fase berikutnya, munculah seorang ahli balâghah yang
termashur,beliau adalah Abd al-Qâhir al-Jurzâni yang mengarang
kitab Dalâil al-I‘jâz dalam ilmu ma’âni dan Asrâr al-Balâghah dalam
ilmu bayân. Setelah itu muncullah Sakkâki yang mengarang kitab
Miftah al-Ulûm yang mencakup segala masalah dalam ilmu
balâghah. Selain tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, masih
banyak lagi tokoh yang mempunyai andil dalam pengembangan
ilmu balâghah, yaitu:

1. Hasan bin Tsabit, beliau seorang penyair Rasullullah saw. Orang


Arab sepakat bahwa ia adalah seorang tokoh penyair dari
kampung. Suatu pendapat menyatakan bahwa ia hidup selama 120
tahun; 60 tahun dalam masa Jahiliyah dan 60 tahun dalam masa
keislaman. Ia meninggal pada tahun 54 H.
2. Abu-Thayyib, beliau adalah Muhammad bin al-Husain seorang
penyair kondang. Ia mendalami kata-kata bahasa Arab yang aneh.
Syi’irnya sangat indah dan memiliki keistimewaan, bercorak
filosofis, banyak kata-kata kiasannya dan beliau mampu
menguraikan rahasia jiwa. Ia dilahirkan di Kufah, tepatnya di
sebuah tempat bernama Kindah pada tahun 303 H, dan wafat
tahun 354 H.
18
3. Umru’ al-Qais, ia tokoh penyair Jahiliyah yang merintis
pembagian bab-bab dan macam-macam syi’ir. Ia dilahirkan pada
tahun 130 sebelum Hijriyah. Nenek moyangnya adalah para raja
dan bangsawan Kindah. Ia wafat pada tahun 80 sebelum Hijriyah.
Syi’ir-syi’irnya yang pernah tergantung di Ka’bah sangat masyhur.
4. Abu Tammam (Habib bin Aus Ath-Tha’i), ia seorang penyair yang
masyhur, satu-satunya orang yang mendalam pengetahuannya
tentang maâni, fashahah al-syâir, dan banyak hafalannya. Ia wafat
di Mosul pada tahun 231 Hijriyah.
5. Jarir bin Athiyah al-Tamimi, ia seorang di antara tiga penyair
terkemuka pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka adalah
al-Akhthal, Jarir, dan al- Farazdaq. Dalam beberapa segi ia
melebihi kedua rekannya. Dia wafat pada tahun 110 H.
6. Al-Buhturi, ia seorang penyair Bani Abasiyah yang profesional.
Ketika Abu al- ‘A’la al-Ma’arri ditanya tentang al-Buhtury dia
berkata, “Siapakah yang ahli syi’ir di antara tiga orang ini, Abu
Tammam, al-Buhturi, ataukah al- Mutanabbi?” Ia menjawab, “Abu
Tamam dan al-Mutanabbi keduanya adalah para pilosof;
sedangkan yang penyair adalah al-Buhturi”. Dia lahir di Manbaj dan
wafat di sana pada tahun 284 H.”
7. Saif al-Daulah, ia adalah Abu al-Hasan Ali bin Abdullah bin
Hamdan, raja Halab yang sangat cinta syi’ir. Lahir tahun 303, wafat
tahun 356.
8. Ibnu Waki’, ia seorang penyair ulung dari Baghdad. Lahir di Mesir
dan wafat di sana pada tahun 393 H.
9. Ibn Khayyath, ia seorang penyair dari Damaskus. Ia telah
menjelajahi beberapa negara dan banyak mendapatkan pujian dari
masyarakat yang mengenalnya. Ia sangat masyhur, karena karya-
karyanya khususnya pada buku-buku syi’ir yang sangat populer. Ia
wafat pada tahun 517 H.
10. Al-Ma’arri, ia adalah Abu al-‘Ala’ al-Ma’arri. Dia seorang
sastrawan, pilosof dan penyair masyhur, lahir di Ma’arrah (kota
kecil di Syam). Matanya buta karena sakit cacar ketika berusia
empat tahun. Dia meninggal di Ma’arrah pada tahun 449 H.
11. Ibn Ta’awidzi, ia adalah penyair dan sastrawan Sibth bin at-
Ta’awidzi. Wafat di Baghdad pada tahun 584 H, dan sebelumnya
buta selama lima tahun.
12. Abu Fath Kusyajin, ia seorang penyair profesional dan terbilang
sebagai pakar sastra. Ia cukup lama menetap di Mesir dan berhasil
mengharumkan negeri itu. Dia wafat pada tahun 330 H.

19
13. Ibn Khafajah, ia seorang penyair dari Andalus. Ia tidak
mengharapkan kemurahan para raja sekalipun mereka menyukai
sastra dan para sastrawan. Ia wafat pada tahun 533 H.
14. Muslim bin al-Walid, ia dijuluki dengan Shari’ al-Ghawani. Ia
seorang penyair profesional dari dinasti Abbasiyah. Ia adalah orang
yang pertama kali menggantungkan syi’irnya kepada Badî’. Dia
wafat pada tahun 208 H.
15. Abu al-‘Atahiyah, ia adalah Ishaq bin Ismail bin al-Qasim, lahir
di Kufah pada tahun 130 H. Syi’irnya mudah di pahami, padat dan
tidak banyak mengada-ada. Kebanyakan syi’irnya tentang zuhud
dan peribahasa. Dia wafat pada tahun 211 H.
16. 1Ibn Nabih, ia seorang penyair dan penulis dari Mesir. Ia
memuji Ayyubiyyin dan menangani sebuah karya sastra berbentuk
prosa buat Raja al-Asyraf Musa. Ia pindah ke Mishshibin dan wafat
di sana pada tahun 619 H.
17. Basysyar bin Burd, ia seorang penyair masyhur. Para periwayat
menilainya sebagai seorang penyair yang modern lagi indah. Ia
penyair dua zaman, Bani Umayah dan Bani Abasiyah. Dia wafat
pada tahun 167 H.
18. Al-Nabighah Al-Dzubyani, ia adalah seorang penyair Jahiliyah.
Ia dinamai Nabighah karena kejeniusannya dalam bidang syi’ir. Ia
dinilai oleh Abd al- Malik bin Marwan sebagai seorang Arab yang
paling mahir bersyi’ir. Ia adalah penyair khusus Raja Nu’man Ibn al-
Mundzir. Di zaman Jahiliyah, ia mempunyai kemah merah khusus
untuknya di pasar tahunan Ukash. Para penyair lain berdatangan
kepadanya, lalu mereka mendendangkan syi’irsyi’irnya untuk ia
nilai. Ia wafat sebelum kerasulan Muhammad saw.
19. Abu al-Hasan al-Anbari, ia seorang penyair kondang yang hidup
di Baghdad. Ia wafat pada tahun 328 H. Ia terkenal dengan
ratapannya kepada Abu Thahirbin Baqiyah, patih ‘Izz al-Daulah,
ketika ia dihukum mati dan tubuhnyadisalib. Maratsi-nya
(ratapannya) itu merupakan maratsi yang paling jarangmengenai
orang yang mati disalib. Karena ketinggiannya, Izzud Daulahsendiri
memerintahkan agar dia disalib. Dan seandainya ia sendiri
yangdisalib, lalu dibuatkan maratsi tersebut untuknya.
20. Syarif Ridha, ia adalah Abu al-Hasan Muhammad yang
nasabnya sampaikepada Husain bin Ali as. Ia seorang yang
berwibawa dan menjaga kesuciandirinya. Ia disebut sebagai tokoh
syi’ir Quraisy karena orang yang pintar di antara mereka tidak
banyak karyanya, dan orang yang banyak karyanya tidak pintar,

20
sedangkan ia menguasai keduanya. Ia lahir di Baghdad dan wafat
di sana pada tahun 406 H.
21. Said bin Hasyim al-Khalidi, ia seorang penyair keturunan Abdul
Qais. Kekuatan hafalannya sangat mengagumkan. Ia banyak
menulis buku-buku sastra dan syi’ir. Ia wafat pada tahun 400 H.
22. Antarah, ia adalah seorang penyair periode pertama. Ibunya
berkebangsaan Ethiopia. Ia terkenal berani dan menonjol. Ia wafat
tujuh tahun sebelum kerasulan Muhammad. Ibnu Syuhaid al-
Andalusi, ia dari keturunan Syahid al-Asyja’i. Ia seorang pemuka
Andalus dalam ilmu sastra. Ia dapat bersyi’ir dengan indah dan
karya tulisnya bagus. Ia wafat di Kordova, tempat kelahirannya
pada tahun 426 H. Al-Abyuwardi, ia adalah seorang penyair yang
fasîh, ahli riwayat, dan ahli nasab. Karya-karyanya dalam bidang
bahasa tiada duanya. Ia wafat di Ishbahan pada tahun 558 H.
Abiyuwardi adalah nama kota kecil di Khurasan.
23. Ibnu Sinan al-Kahfaji, ia adalah seorang penyair dan sastrawan
yang berpendirian syi’ah. Ia diangkat menjadi wali pada salah satu
benteng di Halab oleh Raja Mahmud bin Saleh, tetapi ia
memberontak terhadap raja. Akhirnya ia mati diracun pada tahun
466 H.
24. Ibnu Nubatah Al-Sa’di, ia adalah Abu Nashr Abd al-Aziz,
seorang penyair ulung yang sangat lihai dalam merangkai dan
memilih kata. Ia wafat pada tahun 405 H.

Mukjizat Alqur’an Menurut Balaghah

Alqur’an merupakan satu-satunya kitab samawi yang dengan jelas


dan tegas menyatakan bahwa tidak seorang pun yang mampu
menandinginya, meskipun seluruh manusia dan jin berkumpul
untuk melakukan hal itu. Bahkan, mereka tidak akan mampu
sekalipun untuk menyusun, misalnya, sepuluh surat saja, atau
malah satu surat pendek sekalipun yang hanya mencakup satu
baris saja.
Oleh karena itu, Alqur’an menantang seluruh umat manusia untuk
melakukan hal itu. Dan banyak sekali ayat-ayat Alqur’an yang
menekankan tantangan tersebut. Sesungguhnya ketidakmampuan
mereka untuk mendatangkan hal yang sama dan memenuhi
tantangan tersebut merupakan bukti atas kebenaran kitab suci itu
dan risalah Nabi Muhammad saw. dari Allah swt.

21
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Alqur’an telah
membuktikan pengakuannya sebagai mukjizat. Sebagaimana Rasul
saw., pembawa kitab ini, tersebut telah menyampaikannya kepada
umat manusia sebagai mukjizat yang abadi dan bukti yang kuat
atas kenabiannya hingga akhir masa.
Hari ini – setelah 14 abad berlalu – bahana suara Ilahi itu masih
terus menggema di tengah umat manusia melalui media-media
informasi dan sarana-sarana komunikasi, baik dari kawan maupun
lawan. Itu semua merupakan hujjah (argumentasi) atas mereka.

Dari sisi lain, nabi Islam, Muhammmad saw. – sejak hari pertama
dakwahnya – senantiasa menghadapi musuh-musuh Islam dan
para pendengki yang sangat keras. Mereka telah mengerahkan
seluruh tenaga dan kekuatan untuk memerangi agama Islam.
Setelah putus asa lantaran ancaman dan tipu dayanya tidak
berpengaruh sama sekali, mereka berusaha melakukan
pembunuhan dan pengkhianatan. Akan tetapi, usaha jahat itu pun
mengalami kegagalan berkat inayah (pertolongan) Allah swt.
dengan cara menghijrahkan Nabi saw. ke Madinah secara rahasia
pada malam hari.

Setelah hijrah, Rasul saw. menghabiskan sisa-sisa umurnya yang


mulia dengan melakukan berbagai peperangan melawan kaum
musyrikin dan antek-antek mereka dari kaum Yahudi. Semenjak
beliau wafat hingga hari ini, orang-orang munafik dari dalam dan
musuh-musuh Islam dari luar senantiasa berusaha memadamkan
cahaya Ilahi ini. Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan
dalam rangka ini. Seandainya mereka mampu menciptakan sebuah
kitab sepadan Alqur’an, pasti mereka akan melakukannya, tanpa
ragu sedikitpun.
Di zaman modern sekarang ini, kekuatan adidaya dunia (Amerika
dan sekutunya) melihat bahwa Islam adalah musuh terbesar yang
sanggup mengancam kekuasaan arogan mereka. Maka itu, mereka
senantiasa berusaha memerangi Islam dengan segala kekuatan
dan sarana yang mereka miliki berupa materi, strategi, politik, dan
informasi. Seandainya mereka mampu menjawab tantangan
Alqur’an, dan sanggup menulis satu baris saja yang menandingi
satu surat pendek darinya, pasti mereka sudah melakukannya dan
menyebarkannya melalui media informasi dunia. Karena memang
cara semacam itu (menyebarkan informasi ke seluruh dunia)
22
merupakan usaha yang paling mudah dan paling efektif dalam
menghadapi Islam dan menahan perluasannya.

Atas dasar uraian di atas, setiap manusia berakal yang mempunyai


kesadaran yang cukup merasa yakin – setelah memperhatikan hal-
hal tersebut – bahwa Alqur’an merupakan kitab samawi yang
istimewa, yang tidak mungkin ditiru atau dipalsukan, dan tidak
mungkin pula bagi setiap individu atau kelompok manapun untuk
menciptakan kitab yang sepadan dengannya, sekalipun mereka
mengerahkan seluruh kekuatan dan telah menjalani pendidikan dan
pelatihan khsusus.

Artinya, kitab suci itu memiliki ciri-ciri kemukjizatan yang luar biasa,
tidak bisa ditiru dan dipalsukan, dan diturunkan sebagai bukti atas
kebenaran kenabian seseorang. Tampak jelas bahwa Alqur’an
merupakan bukti yang paling akurat dan kuat atas kebenaran klaim
Muhammad saw sebagai nabi Allah. Sedangkan agama Islam yang
suci adalah hak dan karunia Ilahi yang paling besar bagi umat
Islam. Alqur’an diturunkan sebagai mukjizat abadi hingga akhir
masa, yang kandungannya merupakan bukti atas kebenarannya.
Begitu sederhananya argumentasi ini hingga dapat dipahami oleh
setiap orang dan dapat diterima tanpa mempelajarinya secara
khusus.

Manfaat mempelajari Ilmu Balaghah

Posisi ilmu Balaghah dalam tatanan kelompok ilmu-ilmu Arab persis


seperti posisi ruh dari jasad. Keberadaan ilmu Balaghah dan
kaidah-kaidah yang tertuang didalamnya sangat urgen. Urgensitas
tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat
menghantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang ke-I’jaz-an
al-Qur’an;
2. Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat
membantu seorang yang bergelut dengan diskursus al-Qur’an
terutama mufassir dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan
pesan-pesan yang tertuang didalamnya.

Hal ini diperjelas oleh pernyataan al-Zamakhsyari dalam al-


Kasysyaf yang artinya:
23
“Sesungguhnya ilmu yang paling sarat dengan noktah-noktah
rahasia yang rumit di tempuh, paling padat dengan kandungan
rahasia yang pelik, yang membuat watak dan otak manusia
kewalahan untuk memahaminya adalah ilmu tafsir, yakni ilmu yang
sangat sulit untuk dijangkau dan diselidiki oleh orang yang
berstatus alim sekalipun. Dan tidak akan mampu untuk menyelam
kekedalaman hakekat pemahaman tersebut kecuali seseorang
yang memiliki kompetensi dan kredibilitas dalam dua spesifik ilmu
yang berkaitan dengan al-Qur’an, yaitu ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan.

Dari kajian terhadap literatur yang ada, terkait balaghah, maka ia


memiliki sejarah tersendiri, mulai dari benihnya, munculnya, hingga
perkembangannya.
Sebelum muncul sebagai sebuah ilmu, esensi balaghah telah
mendarah daging dalam penggunaan bahasa Arab baik dalam puisi
maupun prosa. Dalam masa ini kemudian Al-Quran turun dengan
kemukjizatan sehingga mengalahkan selainnya dalam hal
ketepatan dan keindahan bahasanya.

Ilmu balaghah dengan pembagiannya yang tiga mulai muncul dan


dikenal pada masa abbasiy kedua, yaitu abad ketiga dan keempat
hijriyah. Pada masa ini, balaghah masih belum jelas bentuknya.
Kemunculan ini disertai dengan disusunnya kitab dengan tema
tersebut.

Kemudian, ilmu ini berkembang mulai abad kelima dengan cirri


khasnya yang mulai bersinggungan dengan I’jazul Quran sehingga
memunculkan dua aliran balaghah, yaitu aliran sastra dan kalam.
Keduanya berbeda dalam perspektif terhadap balaghah. Aliran
balaghah kalam lebih banyak berpegang kepada analogi dan logika
filsafat dalam mengukur baik tidaknya bahasa sedangkan aliran
sastra lebih mengedepankan daya seni dan daya tangkap
keindahan.

Ilmu balaghah yang terus berkembang dan sampai kepada kita saat
adalah yang lebih bercorak kalamiyyah, memiliki banyak batasan
kata dan definisi-definisi.
Demikianlah, dan ilmu ini tidak menutup kemungkinan untuk terus
berubah menuju lebih baik atau bahkan mengalami kemunduran.
Hal ini tergantung kepada para pemegang ilmu ini, apakah akan
24
membiarkannya terdiam ataukah akan membawanya menuju
kemajuan.
https://wakidyusuf.wordpress.com/2018/05/19/sejarah-dan-perkembangan-ilmu-balaghoh-
2/

25

Anda mungkin juga menyukai