Anda di halaman 1dari 40

ASUHAN KEPERAWATAN BY .

Y DENGAN
DIAGNOSA IKTERUS NEUNATURUM
UPT. PUSKESMAS SENGKOL

DISUSUN OLEH :
ERNA SOPIATNI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS QAMARUL HUDA BADARUDIDIN (UNIQHBAL ) BAGU
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini bisa
terlaksana dengan baik. Sholawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
yang gelap gulita hingga ke zaman terang benderang seperti saat ini. Semoga
kita selalumendapatkan Syafaat-Nya di hari akhir nanti.

Karya Tulis Ilmiah ini berjudul “Asuhan Keperawatan pada By.Y dengan
Ikterus Neonatus di Ruang Nicu RSUD PRAYA Dalam proses penyusunan
karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari banyak kesulitan. Tetapi berkat
bantuan, dukungan, bimbingan serta doa dan kerja sama yang baik dari
berbagai belah pihak akhirnya penulis telah menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
ini. Maka dari itu penulis mengucapkan terimakasih kepada.
PENDAHULUAN

BAB 1

A. Latar Belakang

Hiperbilirubinemia merupakan masalah yang sering terjadi pada


bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia ditandai dengan ikterik atau jaundice
akibat tingginya kadar bilirun dalam darah. Bilirubin merupakan hasil
pemecahan hemoglobin akibat sel darah merah yang rusak (Wong , 2009).

Bilirubin merupakan senyawa pigmen kuning yang merupakan


produk katabolisme enzimatik biliverdin oleh biliverdin reduktase.
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah
rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar
dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi)
kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki
usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah,
sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek
yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus
bersirkulasi (Atikah & Jaya, 2016 ).

Bilirubin yang tak terkonjugasi larut dalam lemak, kemudian di


kirim ke hepar, yang mana pada saat itu hepar belum berfungsi sempurna
sehingga akan meningkatkan produksi bilirubin. Kerusakan pada sel darah
merah akan memperburuk keadaan, karna proses pemecahan bilirubin
akan terganggu, hal ini mengakibatkan bayi akan mengalami
hiperbilirubinemia ( Lynn & Sowden , 2009 )

Hiperbilirubinemia dapat terjadi secara fisiologis dan patologis.


Secara fisiologis bayi mengalami kuning pada bagian wajah dan leher,
atau pada derajat satu dan dua (<12mg/dl), dapat diatasi dengan pemberian
intake ASI yang adekuat dan sinar matahari pagi kisaran jam 7.00-9.00
selama
15menit. Secara patologis bayi akan mengalami kining diseluruh tubuh
atau derajat tiga sampai lima (>12mg/dl), di indikasikan untuk pemberian
fototerapi, jika kadar bilirubin >20mg/dl maka bayi akan di indikasikan
untuk transfusi tukar (Aviv, 2015; Atikah & Jaya, 2015).

Pemberian fototerapi akan berdampak pada bayi, karena fototerapi


memancarkan sinar intensitas tinggi yang dapat berisiko cedera bagi bayi
yaitu pada mata dan genitalia, juga bayi dapat berisiko mengalami
kerusakan intensitas kulit, diare, dan hipertermi. Perawat berperan penting
dalam pemberian fototerapi untuk mencegah terjadinya dampak fototerapi
pada bayi, yaitu monitor intake ASI yang adekuat, memasangkan penutup
mata dan genitalia bayi, merubah posisi bayi setiap 2jam, dan mengatur
intensitas sinar yang diberikan (Aviv, 2015; Atikah & Jaya, 2015).

WHO (2015), menjelaskan bahwa sebanyak 4,5 juta (75%) dari


semua kematian bayi dan balita terjadi pada tahun pertama kehidupan.
Data kematian bayi terbanyak dalam tahun pertama kehidupan ditemukan
di wilayah Afrika, yaitu sebanyak 55/1000 kelahiran. Sedangkan di
wilayah eropa ditemukan ada 10/1000 dari kelahiran. Hal ini menunjukkan
bahwa di wilayah afrika merupakan kejadian tertinggi pada tahun 2015.

Data Profil Kesehatan Indonesia (2014), dalam upaya penekanan


angka kematian bayi di 2015, yang menjadi perhatian bagi pemerintah
ialah terjadinya 59% kematian bayi pada 2014.

Survei awal yang dilakukan di Ruangan Perinatologi IRNA


Kebidanan dan Anak RSUP Dr.M.Djamil Padang pada tanggal 10 Januari
2017 ditemukan bahwa dari 13 neonatus yang dirawat, terdapat satu kasus
dengan BBLR yang mengalami hiperbilirubinemia dan sedang menjalani
fototerapi di ruang NICU. Bayi tersebut dengan berat badan lahir 2000 g,
dengan bilirubin sebanyak 18mg/dl, perawat sudah melakukan fototerapi
selama 150 jam, perawatan dasar sudah dilakukan, dan intake ASI yang
adekuat. Pengkajian lengkap sudah dilakukan perawat yang meliputi
identitas neonatus dan orang tua, alamat, riwayat kesehatan, data
pemeriksaan fisik serta diagnostik. Pendokumentasian setiap tindakan
pada neonatus sudah dilakukan.
B. Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan asuhan keperawatan pada neonatus dengan kasus


Hiperbilirubinemia Diruangan NICU RSUD PRAYA

C. Tujuan Penelitian

I. Tujuan umum

Menerapkan asuhan keperawatan pada neonatus dengan kasus


hiperbilirubinemia di Ruangan NICU RSUD PRAYA

II. Tujuan khusus

a) Mengidentifikasi data hasil pengkajian pada neonatus dengan kasus


hiperbilirubinemia di Ruangan NICU RSUD PRAYA

b) Merumuskan diagnosa keperawatan pada neonatus dengan kasus


hiperbilirubinemia di Ruangan NICU RSUD PRAYA

c) Menyusun rencana keperawatan pada neonatus dengan kasus


hiperbilirubinemia di Ruangan NICU RSUD PRAYA

d) Melakukan tindakan keperawatan pada neonatus dengan kasus


hiperbilirubinemia di Ruangan NICU RSUD PRAYA

e) Melakukan evaluasi keperawatan pada neonatus dengan kasus


hiperbilirubinemia di Ruangan NICU RSUD PRAYA

f) Melakukan dokumentasi keperawatan pada neonatus dengan kasus


hiperbilirubinemia di Ruangan NICU RSUD PRAYA.
D. Manfaat Penulisan

1. Institusi Pelayanan

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran


dalam menerapkan asuhan keperawatan pada neonatus dengan
hiperbilirubinemia
2. Pengembangan Keilmuan

a. Peneliti

Laporan kasus ini dapat mengaplikasikan dan menambah wawasan


ilmu pengetahuan serta kemampuan peneliti dalam menerapkan
asuhan keperawatan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia yang
telah dipelajari.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kasus Hiperbilirubinemia

1. Pengertian

Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana menguningnya


sklera, kulit atau jaringan lain akibat perlekatan bilirubuin dalam tubuh
atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5mg/ml dalam 24 jam,
yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari liper, sistem
biliary, atau sistem hematologi ( Atikah & Jaya, 2016 ).

Hiperbilirubinemia adalah kondisi dimana tingginya kadar bilirubin


yang terakumulasi dalam darah dan akan menyebabkan timbulnya ikterus,
yang mana ditandai dengan timbulnya warna kuning pada kulit, sklera dan
kuku. Hiperbilirubinemia merupakan masalah yang sering terjadi pada
bayi baru lahir. Pasien dengan hiperbilirubinemia neonatal diberi
perawatan dengan fototerapi dan transfusi tukar (Kristianti ,dkk, 2015).

Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam


darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara
klinis ditandai dengan ikterus ( Mathindas, dkk , 2013 ).

Atikah dan Jaya, (2016), membagi ikterus menjadi 2 :

a. Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis sering dijumpai pada bayi dengan berat lahir


rendah, dan biasanya akan timbul pada hari kedua lalu menghilang
setelah minggu kedua. Ikterus fisiologis muncul pada hari kedua dan
ketiga. Bayi aterm yang mengalami hiperbilirubin memiliki kadar
bilirubin yang tidak lebih dari 12 mg/dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan
dapat hilang pada hari ke-14. Penyebabnya ialah karna bayi
kekurangan protein Y, dan enzim glukoronil transferase.

b. Ikterus Patologis

Ikterus patologis merupakan ikterus yang timnbul segera dalam


24 jam pertama, dan terus bertamha 5mg/dl setiap harinya, kadal

bilirubin untuk bayi matur diatas 10 mg/dl, dan 15 mg/dl pada bayi
prematur, kemudian menetap selama seminggu kelahiran. Ikterus
patologis sangat butuh penanganan dan perawatan khusus, hal ini
disebabkan karna ikterus patologis sangat berhubungan dengan
penyakit sepsis. Tanda-tandanya ialah :
1) Ikterus muncul dalam 24jam pertama dan kadal melebihi
12mg/dl.
2) Terjadi peningkatan kadar bilirubin sebanyak 5 mg/dl dalam
24jam.
3) Ikterus yang disertai dengan hemolisis.

4) Ikterus akan menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi


aterm , dan 14 hari pada bayi BBLR.
B. Luasnya ikterus pada neonatus menurut daerah yang terkena
dan kadar bilirubinnya dapat dilihat pada tabel berikut :
C.
D. Tabel 2.1
E. Derajat ikterus pada neonatus menurut rumus Kramer
F.
G.
Zona Luas Ikterik Rata-rata Bilirubin Kadar bilirubin

Serum (umol/L) (mg)


1 Kepala dan leher 100 5
2 Pusar-leher 150 9
3 Pusar-paha 200 11
4 Lengan dan tungkai 250 12
5 Tangan dan kaki >250 16
H. Sumber : Atikah & Jaya (2016)
1. Etiolgi

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam


keadaan. Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang
timbul akibat inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim
G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karna adanya perdarahan tertutup
(hematoma cepal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompatibilitas
golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam
terjadinya hiperbilirubinemia; keadaaan ini terutama terjadi pada penderita
sepsis dan gastroenteritis. Faktor lain yaitu hipoksia atau asfiksia,
dehidrasi dan asiosis, hipoglikemia, dan polisitemia (Atikah & Jaya,
2016). Nelson, (2011), secara garis besar etiologi ikterus neonatorum
dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan

Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,


misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan


fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-
Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam
hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian


diangkat ke hepar.Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat
dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek
yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar
hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. Etiologi ikterus yang sering
ditemu-kan ialah: hiperbilirubinemia fisiologik, inkompabilitas
golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi,
bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas.

Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD,


defisiensi piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-
Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-tiroid, dan
hemoglobinopati. (Mathindas, dkk , 2013)
2. Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk
akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.
Karena sifat hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam
plasma, terikat erat pada albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut
ke dalam hepatosit, terikat dengan ligandin. Setelah diekskresikan ke
dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi menjadi tetrapirol tak
berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat
diserap kembali ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin
plasma total (Mathindas ,dkk, 2013).
Bilirubin mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi
yang sering ditemukan ialah meningkatnya beban berlebih pada sel hepar,
yang mana sering ditemukan bahwa sel hepar tersebut belum berfungsi
sempurna. Hal ini dapat ditemukan apabila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, pendeknya umur

eritrosit pada janin atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain,
dan atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik (Atikah &
Jaya, 2016).

Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit


yang telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi)
dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin
direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus
gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna
belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin
tidak berhasil dan menjadi bilirubin indirek yang kemudian ikut
masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi
(Atikah & Jaya, 2016)
3. PATHWAY

Hemoglobin

Peningkatan Destruksi Eritrosit Hepar tidak mampu melakukan


Suplai bilirubin melebihi
HB Dan Eritrosit Abnormal konjungasi
tampungan hepar

Pemecahan bilirubin berlebihan

Ikterus pada sclera leher dan badan


peningkatan bilirubin indirec > 12 IKTERUS Sebagian masuk kembali
mg/dl NEUNATURUM ke siklus

Gangguan integritas Sinar dengan intensitas


kulit tinggi

Indikasi foto terapi


hipertermi Kurangnyan
volume cairan

Persepsi yang salah

Kurang pengetahuan
orang tua atau keluarga
4. Penatalaksanaan

Menurut Atikah dan Jaya, 2016, cara mengatasi


hiperbilirubinemia yaitu:
 Mempercepat proses konjugasi, misalnya pemberian fenobarbital. Fenobarbital
dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi dapat dipercepat.
 Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya
ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubion bebas.
 Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah dicoba
dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan bilirubin dengan cepat.
Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada
proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi
tukar.
 Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara terapeutik :

a. Fototerapi

Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg%


dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja
dan urin dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin.
Langkah-langkah pelaksanaan fototerapi yaitu :

1) Membuka pakaian neonatus agar seluruh bagian tubuh


neonatus kena sinar.
2) Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang
memantulkan cahaya.
3) Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm

4) Mengubah posisi neonatus setiap 6 jam sekali.

5) Mengukur suhu setiap 6 jam sekali.

6) Kemudian memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau


sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam.
7) Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama pada
penderita yang mengalami hemolisis.
b. Fenoforbital

Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan


memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatis
glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan bilirubin
konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam empedu,
sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk
mengikat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering
dianjurkan.

c. Transfusi Tukar

Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan


fototerapi atau kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%.
Langkah penatalaksanaan saat transfusi tukar adalah
sebagai berikut :
a. Sebaiknya neonatus dipuasakan 3-4 jam sebelum
transfusi tukar.
b. Siapkan neonatus dikamar khusus.

c. Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada neonatus.

d. Tidurkan neonatus dalam keadaan terlentang dan buka


pakaian ada daerah perut.
e. Lakukan transfusi tukar sesuai dengan protap.

f. Lakukan observasi keadaan umum neonatus, catat


jumlah darah yang keluar dan masuk.
g. Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali
pusat.
h. Periksa kadar Hb dan bilirubin setiap 12
jam. (Suriadi dan Yulianni 2006)

Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara alami :

1) Bilirubin Indirek

Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar


ultraviolet ringan yaitu dari jam 7.oo – 9.oo pagi. Karena
bilirubin fisioplogis jenis ini tidak larut dalam air.
2) Bilirubin Direk
Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang
adekuat. Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut
dalam air, dan akan dikeluarkan melalui sistem pencernaan.

(Atikah & Jaya, 2016 ; Widagdo, 2012)


Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Hiperbilirubinemia

I. Pengkajian

Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi :

a) Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih


sering diderita oleh bayi laki-laki.

b) Keluhan utama

Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu,


tampak lemah, dan bab berwarna pucat.

c) Riwayat kesehatan

1) Riwayat kesehatan sekarang

Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi,


refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang
sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke jaringan serebral
maka bayi akan mengalami kejang dan peningkatan
tekanan intrakranial yang ditandai dengan tangisan
melengking.

 Riwayat kesehatan dahulu

Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat


gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau
golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita
DM. Mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA),
bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi
besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu
diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi
wanita.

 Riwayat kehamilan dan kelahiran

Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur


yang dapat menyebabkan maturitas pada organ dan salah
satunya hepar, neonatus dengan berat badan lahir rendah,
hipoksia dan asidosis yang akan menghambat konjugasi
bilirubin, neonatus dengan APGAR score rendah juga
memungkinkan terjadinya hipoksia serta asidosis yang akan
menghambat konjugasi bilirubin.

d) Pemeriksaan fisik

 Kepala-leher.

Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa.

 Dada

Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan


terlihat pergerakan dada yang abnormal.

 Perut

Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan


oleh gangguan metabolisme bilirubin enterohepatik.

 Ekstremitas Kelemahan pada otot.


 Kulit

Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di


daerah kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika
kuning pada daerah kepala serta badan bagian atas
digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada kepala,
badan bagian atas, bawah dan tungkai termasuk ke grade
tiga, grade empat jika kuning pada daerah kepala, badan
bagian atas dan bawah serta kaki dibawah tungkai,
sedangkan grade 5 apabila kuning terjadi pada daerah
kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai, tangan dan
kaki.

 Pemeriksaan neurologis

Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah


mencapai jaringan serebral, maka akan menyebabkan
kejang-kejang dan penurunan kesadaran.

 Urogenital

Urine berwarna pekat dan tinja berwarna pucat.


Bayi yang sudah fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja
kekuningan.
e) Pemeriksaan diagnosti
1. Pemeriksaan bilirubin serum
Bilirubin pada bayi cukup bulan mencapai puncak kira-kira 6
mg/dl, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Jika nilainya diatas 10 mg/dl
yang berarti tidak fisiologis, sedangkan bilirubin pada bayi prematur
mencapai puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7 hari kehidupan.
Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl yaitu tidak fisiologis. Ikterus
fisiologis pada bayi cukup bulan bilirubin indirek munculnya ikterus 2
sampai 3 hari dan hilang pada hari ke 4 dan ke 5 dengan kadar
bilirubin yang mencapai puncak 10-12 mg/dl, sedangkan pada bayi
dengan prematur bilirubin indirek munculnya sampai 3 sampai 4 hari
dan hilang 7 sampai 9 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai
puncak 15 mg/dl/hari. Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin
lebih dari 5 mg/dl perhari.
No Diagnosa NOC NIC
Keperawatan
1 Ikterus Neonatus Setelah dilakukan 1. Fototerapi: neonatus
b.d neonatus asuhan keperawatan, a. Kaji ulang riwayat
mengalami maka didapatkan maternal dan bayi
kesulitan transisi kriteria: mengenai adanya
kehidupan ekstra 1. Adaptasi bayi baru faktor risiko
uterin, lahir terjadinya
keterlambatan a. Warna kulit (5) hyperbilirubinemia.
pengeluaran b. Mata bersih (5) b. Observasi tanda-tanda
mekonium, c. Kadar bilirubin (warna) kuning.
penurunan berat (5) c. Periksa kadar serum
badan tidak bilirubin, sesuai
terdeteksi, pola 2. Organisasi kebutuhan, sesuai
makan tidak tepat (Pengelolaan) bayi protokol dan
dan usia ≤ 7 hari. prematur permintaan dokter.
a. Warna kulit (5) d. Edukasikan keluarga
mengenai prosedur
3. Fungsi hati , resiko dalam perawatan
gangguan. isolasi.
a. Pertumbuhan e. Tutup mata bayi,
dan hindari penekanan
perkembangan yang berlebihan.
bayi dalam f. Ubah posisi bayi
batas normal.(5) setiap 4jam per
b. Tanda-tanda protokol.
vital bayi dalam
batas normal(5). 2. Monitor tanda vital
a. Monitor nadi, suhu,
dan frekuensi
pernapasan dengan
tepat.
b. Monitor warna kulit,
suhu, dan
kelembaban.
2 Hipertermi b.d Setelah dilakukan 1. Temperature regulation
suhu lingkungan asuhan keperawatan, (pengaturan suhu)
tinggi dan efek maka didapatkan a. Monitor sushu
fototerapi. kriteria: minimal tiap 2 jam.
b. Rencanakan
1. Termoregulasi. monitoring suhu
secara kontinyu.
a. berkeringat saat c. Monitor nadi dan
panas (5) RR.
b. gemetaran saat d. Monitor warna dan
dingin.(5) suhu kulit.
c. Tingkat e. sesuaikan suhu yang
pernafasan. (5) sesua dengan
kebutuhan pasien.
f. Monitor tanda-tanda
2. Kontrol resiko : hipertermi dan
hipertermi. hipotermi.
g. Tingkatkan cairan
a. Teridentifikasi dan nutrisi.
nya tanda dan h. Berikan antipiretik
gejala jika perlu.
hipertermi (5) i. Gunakan kasur yang
b. Modifikasi dingin dan mandi air
lingkungan hangat untuk
untuk perubahan suhu
mengontrol tubuh yang sesuai.
suhu tubuh (5)
2. Manajemen demam
a. Monitor suhu secara
kontinue
b. Monitor keluaran
cairan
c. Monitor warna kulit
dan suhu
d. Monitor masukan
dan keluaran.
3 Risiko infeksi b.d Setelah dilakukan Infection Control (Kontrol
proses invasif. asuhan keperawatan, Infeksi).
maka didapatkan a. Bersihkan lingkungan
kriteria: setelah dipakai pasien
lain.
Kontrol resiko : proses
b. Pertahankan teknik
infeksi.
isolasi.
c. Batasi pengunjung bila
Faktor risiko infeksi perlu.
teridentifikasi. (5) d. Gunakan sabun
antimikroba untuk cuci
tangan.
e. Cuci tangan setiap
sebelum dan sesudah
tindakan keperawatan.
f. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai
pelindung.
g. Pertahankan
lingkungan aseptik
selama pemasangan
alat.
h. Tingkatkan intake
nutrisi.
i. Berikan terapi
antibiotik bila perlu
yang mengandung
infection protection
(proteksi terhadap
infeksi).
4 Risiko kekurangan Setelah dilakukan Manajemen cairan
volume cairan b.d asuhan keperawatan, a. Monitor berat badan.
tidak adekuatnya maka didapatkan b. Timbang popok.
intake cairan, efek kriteria:
c. Pertahankan catatan
fototerapi dan
intake dan output yang
diare. Keseimbangan cairan.
akurat.
d. Monitor vital sign.
a. Intake dan
e. Dorong masukan oral.
output
seimbang f. Monitor pernafasan,

dalam 24 tekanan darah, dan nadi.

jam.(5) g. Monitor status hidrasi


(kelembapan membrane
b. Turgor kulit
mukosa, nadi adekuat,
membaik (5)
tekanan darah ortostatik).
h. Monitor warna, kuantitas
dan banyaknya keluaran
urin.
i. Berikan cairan yang
sesuai.
j. Monitor respon pasien
terhadap penambahan
cairan.
k. Monitor berat badan.
5 Risiko kerusakan Setelah dilakukan
integritas kulit b.d asuhan keperawatan, 1. Manajemen cairan
hiperbilirubinemia maka didapatkan a. Monitor berat badan.
dan diare. kriteria: b. Pertahankan catatan

1. Integritas jaringan : intake dan output yang

kulit dan membran akurat.

mukosa. c. Dorong masukan oral.


d. Monitor status hidrasi
a. Integritas kulit
(kelembapan membran
yang baik bisa
mukosa, nadi adekuat,
dipertahankan
tekanan darah
(sensasi,
ortostatik).
elastisitas,
e. Berikan cairan yang
hidrasi). (5)
sesuai.
b.Perfusi jaringan
baik. (5)
2. Pressure management
2. Kontrol resiko. (Manajemen tekanan)
a. Anjurkan untuk
integritas kulit
menggunakan pakaian
neonatus kembali
yang longgar.
membaik.
b. Hindari kerutan pada
Dengan kriteria hasil :
tempat tidur.
a. Faktor resiko
c. Jaga kebersihan kulit
teridentifikasi
agar tetap bersih dan
(5)
kering.
b. Faktor resiko
d. Mobilisasi (ubah posisi
personal
pasien) setiap dua jam
termonitor (5)
sekali.
c. Faktor resiko
e. Monitor akan adanya
lingkungan
kemerahan.
termonitor. (5)
f. Monitor aktivitas dan
mobilisasi pasien.
g. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat.
6 Risiko cedera b.d Setelah dilakukan Environment Management
peningkatan kadar asuhan keperawatan, (manajemen lingkungan).
bilirubin dan maka didapatkan a. Sediakan lingkungan
proses fototerapi. kriteria: yang aman untuk
pasien.
1. Kontrol Resiko b. Menghindari
cidera lingkungan yang
berbahaya.
1. Terbebas dari c. Monitor kadar
cidera. (5)
bilirubin, Hb, HCT
sebelum dan sesudah
tansfusi tukar.
d. Monitor tanda vital.
e. Mempertahankan
sistem
kardiopulmonary.
f. Mengkaji kulit pada
abdomen.
g. Kolaborasi pemberian
obat untuk
meningkatkan
transportasi dan
konjugasi seperti
pemberian albumin
atau pemberian
plasma.
h. Mengontrol
lingkungan dari
kebisingan.
7 Ketidakefektifan Setelah dilakukan 1. Manajemen cairan
pola makan bayi asuhan keperawatan, a. Timbang BB setiap hari
maka didapatkan dan dan monitor status
kriteria: pasien.
b. Hitung atau timbang
1. Organisasi popok dengan baik
(pengelolaan) bayi c. Monitor tanda vital
pasien
prematur
a. Toleransi makan
(5)
2. Monitor nutrisi
2. Status menelan: fase a. Timbang dan ukur
oral berat badan ideal
a. Efisiensi b. Berikan intake ASI
kemampuan yang adekuat.
menghisap (5)

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian asuhan keperawatan pada By.L dan By.T


dengan hiperbilirubinemia diruang Perinatologi IRNA Kebidanan dan
Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang, peneliti dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut :

1. Hasil pengkajian yang dilakukan pada By.L dan By.T menunjukkan


adanya persamaan pada tanda dan gejala, namun memiliki perbedaan
yaitu pada By.L dengan bilirubin derajat II – III, sedangkan pada By.T
dengan bilirubin derajat IV – V.
2. Diagnosis keperawatan yang muncul sebagai prioritas masalah pada
By.L dan By.T sama yaitu ikterus neonatus.
3. Intervensi keperawatan pada By.L dan By.T memiliki perbedaan dan
persamaan. Perbedaan yang ditemukan yaitu pada By.L tidak
direncanakan untuk diberikan tindakan transfusi tukar, dan cukup
dengan fototerapi saja, sedangkan pada By.T direncanakan untuk
mendapatkan tindakan transfusi tukar, karena sudah mencapai kriteria
untuk transfusi tukar. Sementara persamaan yang ditemukan yaitu
pada perencanaan fototerapi neonatus dan monitor tanda vital.
4. Implementasi yang diberikan pada By.L dan By.T memiliki perbedaan
pada respon tubuh, yang mana pada By.L lebih cepat menerima respon
seperti penurunan kadar bilirubin serum, sedangkan pada By.T lebih
lambat dalam menerima respon sepeti tidak terjadi penurunan kadar
bilirubin serum.
5. Hasil evaluasi yang dilakukan selama tujuh hari pada By.L untuk
diagnosis ikterus neonatus masalah teratasi, pada By.T untuk diagnosis
ikterus neonatus masalah belum teratasi.
B. Saran

1. Bagi perawat ruang rawat inap perinatologi

Disarankan kepada tenaga kesehatan di ruang Perinatologi IRNA


Kebidanan dan Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang agar dapat
memfasilitasi pertemuan antara dokter dan tim medis, kemudian
memberikan edukasi terkait proses penyakit dan rencana tindakan yang
akan dilakukan.

2. Bagi institusi pendidikan

Dapat meningkatkan mutu pendidikan sehingga terciptanya lulusan


perawat yang profesional, terampil, dan bermutu yang mampu
memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh berdasarkan kode
etik keperawatan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Diharapkan peneliti dapat melakukan pengkajian secara tepat dan


lebih optimal lagi dalam memberikan asuhan keperawatan,serta
mendokumentasikan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan
benar.
b. Diharapkan peneliti dapat menggunakan atau memanfaatkan
waktu seefektif mungkin, sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan yang optimal pada bayi dengan hiperbilirubinemia.
c. Diharapkan peneliti dapat menambahkan diagnosis defisiensi
pengetahuan untuk asuhan keperawatan, karena untuk kelancaran
proses perawatan dan tidak bertentangan dengan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Atikah,M,V & Jaya,P. 2015. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, dan
Balita. Jakarta. CV.Trans Info Media.

Aviv,J. 2015. Researchers Submit Patent Application."Bilirubin


Hematofluorometer and Reagent Kit” . Perpustakaan Nasional RI. Diakses
Pada 10 Januari 2017

Dinkes Kota Padang. 2015. Profil Kesehatan Kota padang 2014. Sumatera
Barat. Kementrian kesehatan RI

Gusni, S,R. 2016. Perbedaan Kejadian Ikterus Neonatorum Antara Bayi


Prematur Dan Bayi Cukup Bulan Pada Bayi Dengan BBLR Di RS
PKU Muhammadiyah Surakarta. Naskah Publikasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Herdman. 2015. Diagnosis Keperawatan Defenisi & Klasifikasi Edisi 10.


Jakarta. ECG

Hidayat, A,A . 2009. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta. Salemba


Medika

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar


(Riskesdas) 2013. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Kristanti ,H,M. Etika,R. Lestari,P . 2015. Hyperbilirubinemia Treatment Of


Neonatus. Folia Medica Indonesian Vol. 51
Lynn, B, C & Sowden, L,A . 2009. Keperawatan Pediatri. Jakarta. EGC
Mathindas, S. Wiliar,R. Wahani,A . 2013. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.
Jurnal Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing interventions


clasification (NIC). United Kingdom. Mocomedia

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M, L. Swanson, E. 2016. Nursing outcomes


clasification (NOC). United Kingdom. Mocomedia

Nelson. Waldo E. dkk. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol. 1.
Jakarta. EGC.

Surasmi, A. Handayani, S. Kusuma, H, N. 2003. Perawatan bayi risiko tinggi.


Jakarta . EGC.

Widagdo. 2012. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Ikterus. Jakarta.


Sagung Seto

WHO, (2015),Global Health Observatory (GHO) data. Diperoleh dari


http://www.who.int/gho/child_health/mortality/neonatal_infant_text/en/.
Diakses Senin, 10 Januari 2017.
Wong, D, L. Eaton, M, H. Wilson, D. Winkelstein, M, L. Schwartz.
2009. Buku ajar keperawatan pediatrik. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai