PBL 1
PBL 1
Problem-Based Learning
Pengelolaan Kualitas Udara
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc.
PEMBAHASAN
Sumber Debu Kawasan Industri Batubara
Perhitungan sumber debu dalam pembuatan industri baru memerlukan beberapa data.
Perhitungan kali ini dilakukan dengan memakai data yang diperoleh dari penelitian yang
dilakukan oleh Alfianto dan Lestari (2014). Data – data yang didapat berupa jenis dan jumlah
bahan bakar yang dipakai industri dari tiap plant berupa batu bara sebagai bahan bakar utama
dan berbagai limbah yang merupakan bahan bakar alternatif yang mengsubstitusi batu bara.
Analisis dihitung menggunakan persamaan 1. Dimana, emisi partikulat merupakan emisi dari
cerobong industri pada setiap plant yang beroperasi per ton bahan bakar (ton partikulat/ton
bahan bakar) dan flowrate adalah debit emisi pada cerobong yang beroperasi (m3 /jam).
……….(1)
Standar baku mutu yang digunakan pada perhitungan emisi debu ini adalah SNI 13-
4703-1998 tentang “Penentuan Kadar Debu di Udara dengan Penangkap debu jatuh” dan
memiliki korelasi yang sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 107 Tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta informasi indeks
standar pencemar udara. Hasil analisis statistik emisi debu yang dihasilkan oleh industri batu
bara setelah pembangunan disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Analisis Statistik emisi debu
Sumber debu Konsentrasi debu (mg/m3) Emisi debu (ton/ton fuel)
Indonesian coal 74 74
Sumber : Alfianto dan Lestari, 2014
………………………………………………………………...…..(2)
50 120
100 300
200 500
300 625
400 875
500 1000
Sumber: (Anwar et al. 2019)
PM2.5 65
PM10 150
Analisis dampak lingkungan pada kawasan industri yang relatif dekat dengan
permukiman dilakukan dengan studi dan perbandingan literatur dengan eksperimen yang telah
ada sebelumnya. Data-data yang dikumpulkan berupa data PM2.5, dan PM10 yang diawali
dengan proses diagnosis melalui observasi lokasi terhadap emisi dan aktivitas penghasil
polutan selama fase konstruksi dan operasi. Alat yang digunakan dalam proses pengambilan
data, yaitu weather station dengan skema
Keterangan:
Sampel dikumpulkan selama di lokasi industri selama periode waktu 24 jam pada tiap
titik penempatan alat. Namun, terdapat beberapa inkonsistensi dalam pengambilan data yang
disebabkan oleh kesalahan pengukuran di lapangan, penimbangan di laboratorium, atau
prosedural peralatan. Berikut disajikan data-data yang dihasilkan dari eksperimen yang telah
dilakukan.
Tabel 5 Data pengukuran konsentrasi particulate matter dalam
Perolehan data Titik 1 Titik 2
Adapun pesamaan yang digunakan dalam perhitungan lalu lintas kendaraan sebagai
berikut.
Analisis jalur luar kota :
Dengan :
CO = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas
FCSP = Faktor penyesuaian akibat pemisahan arah
FCSF = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping
Dengan :
CO = Kapasitas dasar (smp/jam)
FW = Faktor penyesuaian lebar masuk
FM = Faktor penyesuaian tipe median jalan utama
FCS = Faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU = Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan
FLT = Faktor penyesuaian penyesuaian belok kiri
FRT = Faktor penyesuaian penyesuaian belok kanan
FMI = Faktor penyesuaian penyesuaian rasio arus jalan minor
DS : Q/C............................................................................................................... 4
Dengan :
Q : Arus Lalu lintas (smp/jam)
C : Kapasitas (smp/jam)
𝑟2
LP2 = LP1- 20.log 𝑟1 .............................................................................................8
Hasil analisis statistik kebisingan yang dihasilkan oleh kawasan industri selama pembangunan
disajikan dalam tabel 6.
Tabel 6 Hasil pengukuran tingkat kebisingan
Titik Pengukuran Tingkat Kebisingan Keterangan
1, 23, 20, 21, 22, 39, 40, 41, dan 100 66 dB – 70 dB (tidak Titik tersebut merupakan
melebihi baku mutu titik dengan intensitas
Peraturan Menteri kebisingan terendah. Hal ini
Tenaga Kerja No.13 dikarenakan titik tersebut
Tahun 2011) berada pada area tempat
parkir yang berada pada
bagian tepi dan berjarak
cukup jauh dari mesin-
mesin produksi.
4, 5, 24, 38, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 70 dB – 76 dB (tidak Titik tersebut berada pada
77, 80, 81, 82, 83, 95, 96, 97, 98, 99, melebihi baku mutu area pos satpam, kiln dry,
101, 113, 115, 116, 117, 118, 119, Peraturan Menteri dan musholla dimana pada
126, 127, dan 128. Tenaga Kerja No.13 area tersebut tidak
Tahun 2011 ) menghasilkan sumber suara
dan berjarak cukup jauh dari
mesin-mesin produksi.
42, 43, 44, 63, 64, 65, 66, 67, 84, 76 dB – 85 dB (tidak Titik tersebut berjarak dekat
102, 120, 85, 48, 49, 50, 30, 51, 52, melebihi baku mutu dengan mesin-mesin.
53, 54, 55, 36, 37, 18, 19, 59, 79, 78, Peraturan Menteri
76, 75, 74, 73, 72, 71, 70, 69, 68, Tenaga Kerja No.13
114, 112, 111, 110, 109, dan 108 Tahun 2011)
10, 17, 31, 45, 86, 89, 103 dan 121 85 dB – 89 dB Titik tersebut berada pada
(melebihi baku mutu bagian tepi area produksi
Peraturan Menteri dan saw milling.
Tenaga Kerja No.13
Tahun 2011)
7, 27, 47, 12, 15, 123, 125, dan 106 > 89 dB (melebihi Pada titik ini merupakan
baku mutu Peraturan sumber bising dan area yang
Menteri Tenaga Kerja sangat berbaya bagi pekerja
No.13 Tahun 2011)
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh Zam dan Putrawan pada lokasi
kegiatan penambangan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa
sumber kebauan pada industri batubara menghasilkan sumber kebauan Hidrogen Sulfida (H2S)
sebesar <0,01 ppm. Hal tersebut berarti kebauan akibat H2S masih dalam batas baku mutu.
Meskipun terdapat aktivitas perusahaan yang menyebabkan terjadinya peningkatan beberapa
parameter kimia namun sumber kebauan pada proses penambangan masih dalam batas baku
mutu yang aman.
SOLUSI
Target Penyelesaian
Jenis usaha atau kegiatan yang wajib memiliki izin AMDAL diatur oleh Permen LH
no. 5 tahun 2012.Industri yang wajib memiliki izin AMDAL adalah industri semen (yang
dibuat melalui produksi klinker), industri pulp ( skala > 300.000 ton pulp/ tahun), industri
petrokimia hulu, Kawasan industri (termasuk komplek industri yang terintegrasi), industri
galangan kapal dengan sistem growing dock, industri propelan (juga industri amunisi dan
bahan peledak), industri peleburan timah hitam, dan industri lainnya yang menggunakan areal
kota ataupun pedesaan pada besaran tertentu.
Kasus dibagi menjadi dua, yakni pemukiman yang sudah berdiri sebelum dibangunnya
industri atau pemukiman yang baru dibangun setelah dibangunnya industri.
1. Untuk pemukiman yang sudah dibangun sebelum industri tersebut dibangun, maka sebelum
pihak pengelola dan penyelenggara pembangunan industri harus mengurus perizinan
mengenai permasalahan kepemilikan tanah yang akan dibangun kawasan industri. Dan
berdasarkan jenis industri dan AMDAL menurut PP No. 27 tahun 1999 pihak pelaku usaha
atau pemrakarsa suatu proyek pembangunan baik itu industri ataupun bukan sudah
semestinya mengantisipasi gangguan yang akan disebabkan oleh pembangunan konstruksi
industri ataupun selama berjalannya industri tersebut. Setelah pemrakarsa pembangunan
industri mendapatkan izin AMDAL, maka mereka harus meminta izin dengan menggeser
pemukiman penduduk sebelumnya yang terhindari dari zona bahaya industri. Zona bahaya
industri sendiri dapat meliputi keselamatan kerja bagi penduduk dan pekerja sekitar, kualitas
udara (debu, TSP, PM 10, dan PM 2.5), gangguan kebisingan akibat industri dan lalu lintas
daerah industri, dan kebauan hasil dari produk industri.
2. Untuk pemukiman yang dibangun yang dibangun setelah dibangunnya kawasan industri
seharusnya dari pihak pengelola industri sudah memberikan wewenang perizinan mereka
atas pembangunan kawasan industri di daerah tersebut. Maka dari itu, pihak pengelola
pemukiman dapat mengikuti aturan yang berlaku sehingga mereka dapat dengan aman
membangunan kawasan pemukiman tanpa gangguan kawasan industri.
Particulate Matter biasa dihasilkan oleh hasil pembakaran yang tidak sempurna baik
selama proses pembangunan ataupun selama proses produksi dari suatu industri. Selain itu PM
dapat dihasilkan oleh pembakaran BBM yang menghasilkan emisi, yang jika dilihat kedepan
akan mengganggu kesehatan lingkungan karena efek gas rumah kaca. Selain itu, dapat
mengurangi penggunaan energi tak terbaharukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara
dengan beralih menggunakan Pembangkit Listrik tenaga Cahaya Matahari. Untuk
permasalahan emisi gas kendaraan dapat beralih menggunakan bahan baka bio-gas. Dan untuk
tindakan preventif dalam jangka panjang dapat menerapkan sistem rain-water harvesting dalam
menunjang kebutuhan air individu.
Lalu lintas merupakan permasalahan yang akan muncul pada suatu pembangunan,
karena suatu lalu lintas akan terhenti ataupun terhambat karena adanya pembangunan ditengah
suatu aktivitas manusia. Lalu lintas yang terganggu dapat diselesaikan dengan menekan sistem
ketertiban terhadap lalu lintas tersebut dengan pihak pengatur lalu lintas seperti polisi dapat
lebih turun langsung pada lokasi pembangunan. Setelah pembangunan suatu industri
seharusnya dari pengelola industri tersebut sudah memerhatikan dari sistem tata lalu lintas dan
perjalanan baik itu yang menghubungkan industri dengan daerah lainnya.
Kebauan biasanya tercipta oleh suatu industri yang sudah berjalan dan menghasilkan
prodk yang menghasilkan limbah. Mengambil contoh pada industri kimia, harus memiliki
WWTP (Waste Water Treatment Plant) dalam menjamin kualitas efluen limbah industri aman
dilepaskan ke lingkungan dan tidak akan mengganggu kawasan sekitar seperti pemukiman
penduduk. Proses pengolahan limbah dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain
menggunakan mekanisme biologis, fisika, ataupun kimia. Pengolahan biologis tentu akan
menggunakan bantuan mikroorganisme dalam mengolah masalah kebauan yang dihasilkan
oleh limbah industri. Pengolahan fisika cenderung menggunakan alat seperti tangki reaktor
sedimentasi. Sedangkan, bagi pengolahan kimia akan mencampurkan limbah dengan senyawa
kimia untuk mereaksikan limbah tersebut menjadi senyawa yang aman terhadap lingkungan
nantinya.
Kebisingan sendiri hasil dari proses pengoperasian industri, kendaraan, dan aktivitas
manusia di kawasan tersebut. Sehingga kebisingan sendiri tidak dapat dihindari hanya dapat
diminimalisir untuk menghindari gangguan terhadap kebisingan dengan melakukan aktiivitas
yang tidak dekat dengan daerah kebisingan yang tinggi.
Langkah Penyelesaian
Partikel debu dapat terhirup melalui saluran pernapasan. Partikel yang berukuran lebih
dari 0,6 µ akan tertahan pada saluran nafas bagian atas, sedangkan yang dibawah 0,3 µ akan
dapat keluar masuk, serta debu dengan ukuran antara 0,3 µ - 0,6 µ akan sampai pada bagian
alveolus paru-paru. Debu yang mengandung logam berat selain mempunyai potensi untuk
menimbulkan fibrosis pada paru, juga dapat menimbulkan iritasi mukosa. Contohnya adalah
debu asbes yang terjadi akibat pengereman kendaraan bermotor yang menggunakan asbes
untuk kanvas remnya dapat menyebabkan asbestosis yang berdampak pada penyakit kanker.
Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi untuk mengendalikan emisi debu, terutama debu
logam, pada kawasan industri untuk mengurangi resiko penyakit akibat emisi debu.
Penanggulangan pencemaran debu dapat dilakukan dengan memanfaatkan peralatan
pengendali debu yang dioperasikan pada industri, seperti ruang sistem pengendap gravitasi,
bag filter, electrostatic precipitator (EP), cyclone, dan scrubber (Prayudi 2015).
TSP (Total Suspended Particulate) merupakan partikel udara berwujud padat yang
memiliki diameter maksimum sekitar 45 mm dan berada di udara dengan waktu yang relatif
lama dalam keadaan melayang-layang dan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernafasan (Roza et al. 2015). Emisi partikel padat TSP yang mencemari udara dapat
merusak lingkungan, tanaman, hewan, dan manusia. Pada manusia, TSP tidak dapat terhirup
ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada bagian saluran pernapasan atas. Dampaknya adalah
pelunturan warna bangunan industri, kerusakan tanaman di sekitar kawasan industri, penyakit
pernapasan pada manusia, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, diperlukan langkah
penanggulangan emisi TSP pada kawasan industri. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengurangi emisi TSP, diantaranya mensubstitusi bahan bakar untuk industri dan kendaraan
bermotor dengan bahan bakar yang ramah lingkungan, seperti biosolar dari minyak kelapa
sawit. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahan bakar yang rendah nitrogen
dan sulfur,, seperti bahan bakar gas. Sementara itu, teknologi yang dapat digunakan untuk
mengurangi atau menanggulangi emisi TSP, antara lain penggunaan teknologi Exhaust Gas
Recirculation (EGR), pengaturan temperatur udara yang masuk, dan proses humidifikasi
(Simanjuntak 2007).
Konsentrasi partikel (PM) merupakan indikator kualitas udara utama karena merupakan
polutan udara paling umum yang mempengaruhi kesehatan jangka pendek dan jangka panjang.
Dua ukuran partikel digunakan untuk menganalisis kualitas udara; partikel halus dengan
diameter kurang dari 2,5 µm atau PM2.5 dan partikel kasar dengan diameter kurang dari 10
µm atau PM10. Partikel PM2.5 lebih memprihatinkan karena ukurannya yang kecil
memungkinkan mereka melakukan perjalanan lebih dalam ke sistem kardiopulmoner.
Pedoman kualitas udara dari Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan bahwa
konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 tidak boleh melebihi 10 g/m3 dan 20 g/m3 untuk PM10.
Paparan dari PM2,5 dan PM10 dapat mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh dan kematian
akibat permasalahan pernafasan. Masalah pernafasan yang sering ditimbulkan oleh PM10 dan
PM2,5 adalah asma. Oleh karena itu, diperlukan teknologi untuk menangani emisi PM10 dan
PM2,5 yang banyak dihasilkan oleh kawasan industri. Salah satu teknologi yang dapat
digunakan untuk menangani emisi PM adalah venturi scrubber. Venturi scrubber merupakan
alat penangkap PM yang memiliki beberapa keunggulan, yaitu mampu mengatasi partikel
eksplosif dan rawan terbakar dengan risiko kecil, biaya perawatan yang relatif rendah, mudah
dalam desain dan pemasangan, efisiensi pengoleksian yang dapat bervariasi, dan menyediakan
pendinginan untuk gas panas dan bisa menetralisir gas korosif (Nicholas 2002).
Kebisingan merupakan masalah yang sering dijumpai di banyak perusahaan besar saat
ini. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan
waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan. Penggunaan mesin dan alat kerja yang mendukung proses produksi berpotensi
menimbulkan suara kebisingan. Kebisingan dapat sangat merugikan dan mengganggu
kesehatan tenaga kerja yang berkaitan dengan produktivitas dan efektivitas kerja. . Menurut
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996 maksimum kebisingan adalah 70 dB
untuk area industri. Jika terjadi kebisingan melewati nilai ambang batas (NAB) yang telah
ditentukan, maka akan menimbulkan dampak gangguan pada manusia dan lingkungan. Pada
umumnya kebisingan yang terjadi di pabrik memiliki kualitas dan kuantitas tertentu, biasanya
irama gelombang bunyi yang dihasilkan bersifat tetap ataupun periodik. Sehingga dapat
dikatakan bising yang terjadi di lingkungan kerja khusunya pabrik atau industri ialah kumpulan
bunyi yang didasarkan atas gelombang gelombang akustik dengan berbagai macam frekuensi
serta intensitasnya (Rangga Adi 2009).
Secara umum, penanganan kebisingan dibagi menjadi dua yaitu kontrol kebisingan
pasif dan aktif (Beranek dan Ver 1992). Pada kontrol kebisingan pasif, unjuk kerja dipengaruhi
oleh geometri dan sifat-sifat serapan suara komponennya. Sedangkan pada kontrol kebisingan
aktif menggunakan prinsip destruksi interferensi gelombang. Penggunaan silencer pada
knalpot merupakan bentuk kontrol kebisingan pasif. Sementara itu, contoh kontrol kebisingan
aktif, antara lain mengurangi faktor gesean dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi
elemen gerae, melengkapi peredam pada mesin, dan pemeliharaan rutin terhadap mesin.
Menurut Tambunan (2005), beberapa teknologi yang dapat meredam kebisingan pada mesin
industri, antara lain cladding, silencer, attenuator, dan muffler.
DAFTAR PUSTAKA
Albertus, Frendly, Yosana Z. 2019. Dampak dan pengaruh pertambangan batubara terhadap
masyarakat dan lingkungan di Kalimantan Timur. LEGALITAS: Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum. 4(1): 42-56.
Alfianto PN, Lestari P. 2014. Analisis emisi debu dan partikulat terhadap penggunaan bahan
bakar alternatif di industri batu bakar. Jurnal Teknik Lingkungan. 20(1) : 11 -19
Alimuddin, Rulhendri, Chayati N, Rachmawati ID. 2021. Kajian Dampak Lingkungan bagi
Rekonstruksi Gedung Sekolah (Studi Kasus: SDN Mekarsari 6, Depok). Jurnal
Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas. 5(1):13-21
Anwar FS, Mallongi A, Maidin MA. 2019. Kualitas Udara Ambien Co Dan Tsp Di
Permukiman Sekitar Kawasan Industri Pt. Semen Tonasa. J. Kesehat. Masy. Marit.
2(1). doi:10.30597/jkmm.v2i1.10060.
Bachtiar VS, Dewilda Y, Wemas BV. 2013. Analisis Tingkat Kebisingan Dan Usaha
Pengendalian Pada Unit Produksi Pada Suatu Industri Di Kota Batam. Jurnal Teknik
Lingkungan UNAND. 10 (2) : 85-93
Efendy I. 2016. Konstruksi pendidikan kesehatan lingkungan dalam perspektif islam. Miqot:
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman. 40(2): 69-71.
Haryandi, Setiawan VR. 2021. Analisis Tingkat Kebisingan Dan Upaya Pengendalian Penyakit
Akibat Kerja DI AREA MINING PT. XYZ, SUMBAWA BARAT, NUSA
TENGGARA BARAT. Jurnal Sains Teknologi & Lingkungan. 6(2):176-181
Nicholas PC. 2002. Handbook of Air Pollution Prevention and Control. New York (AS):
Butterworth Heineman.
Pamungkas EP. 2022. Analisis Konsentrasi Polutan TSP,PM2.5, PM10, dan PB Bengkel Motor
Resmi (Studi Kasus: UD. Utama Motor Sleman). Universitas Islam Indonesia.
Prayudi T. 2005. Dampak industri peleburan logam Fe terhadap pencemaran debu di udara. J
Tek Ling. 6(2):385-390.
Ramadhini R, Syarifuddin, Andarani, et.al. 2015. ANALISIS RISIKO TOTAL SUSPENDED
PARTICULATE (TSP) PADA TAHAP PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP
KESEHATAN PEKERJA (STUDI KASUS: PEMBANGUNAN JALAN KENDAL –
BATAS KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH). Jurnal Teknik Lingkungan. 6(1):14-
25
Rangga AL. 2009. Gambaran kebisingan di area kerja shop c-d unit usaha jembatan PT bukaka
teknik utama (skripsi). Jawa Barat (ID): Universitas Indonesia.
Roza V, Ilza M, Anita S. 2015. Korelasi PM10 di udara dan kandungan timbal dalam rambut
petugas SPBU di kota Pekanbaru. Din Ling Indo. 2(1):52-58.
Simanjuntak AG. 2007. Pencemaran udara. LIMBAH. 11(1):34-40.
Tambunan BTS. 2005. Occupational Noise. Yogyakarta(ID): Andi Offset.
Trianisa K, Purnomo EP, Kasiwi AN. 2020. Pengaruh Industri Batubara Terhadap Polusi Udara
dalam Keseimbangan World Air Quality Index in India. Jurnal Sains Teknologi &
Lingkungan. 6(2):156-168
Zam Z, Putrawan IM. 2020. Evaluasi kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan di
Pulau Obi Provinsi Maluku Utara. Jurnal Pendidikan Lingkungan Pengembangan
Berkelanjutan. 21(2) : 58-68