Anda di halaman 1dari 14

PERMASALAHAN LINGKUNGAN SELAMA MASA KONSTRUKSI DAN

OPERASI SUATU KAWASAN INDUSTRI X DAN RENCANA


PENGELOLAAN

Problem-Based Learning
Pengelolaan Kualitas Udara

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc.

Kevin Audryc Herditya


F4401211003

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN KUALITAS UDARA


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TAHUN 2023
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi, pembangunan dari seluruh aspek
kehidupan terus dilakukan. Salah satu aspek yang terus berkembang ialah pembangunan
kawasan industri. Hal ini terlihat jelas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020–2024 yang mana pemerintah melalui Kementerian Perindustrian
telah menyiapkan 27 kawasan industri terpadu (KIT). Dalam perencanaan kawasan industri,
penggunaan lahan dan aktivitas ekonomi secara intensif yang berhubungan dengan
manufakturisasi dan produksi membawa dampak bagi lingkungan hidup maupun lingkungan
sosial. Beberapa dampak tersebut diantaranya seperti mengurangi tingkat pengangguran,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan industri dan lain sebagainya. Bagi
kehidupan sosial, industri cenderung membawa dampak positif karena membuka kesempatan
masyarakat sekitar untuk dapat bekerja. Namun, dalam aspek lingkungan hidup industri justru
banyak membawa dampak negative, baik saat kegiatan konstruksi kawasan maupun saat sudah
beroperasi. Dampak negatif yang ketika konstruksi suatu kawasan industri berlangsung antara
lain peningkatan polusi udara, peningkatan kebisingan, produksi limbah, dan lalu lintas
kendaraan serta setelah kawasan beroperasi dapat menyebabkan masalah kebauan, sumber
bising, serta emisi gas buang ke atmosfer.
Dalam problem-based learning (PBL) ini, diberikan suatu kasus di mana terdapat suau
kawasan industri X yang dibangun berdekatan dengan suatu pemukiman masyarakat di Kota
A. Selama konstruksi kawasan berlangsung, timbul gangguan lingkungan berupa debu, TSP,
PM, lalu lintas kendaraan, dan kebisingan lingkungan. Ketika kawasan industri sudah
beroperasi, kawasan industri menjadi sumber bau dan bising, menghasilkan emisi melalui
kendaran yang keluar masuk kawasan, dan mengeluarkan asap industri yang berwarna
kehitaman. Oleh karena itu, PBL ini dilakukan dengan tujuan untuk mecari tahu pengelolaan
dari permasalahan lingkungan tersebut.

PEMBAHASAN
Sumber Debu Kawasan Industri Batubara
Perhitungan sumber debu dalam pembuatan industri baru memerlukan beberapa data.
Perhitungan kali ini dilakukan dengan memakai data yang diperoleh dari penelitian yang
dilakukan oleh Alfianto dan Lestari (2014). Data – data yang didapat berupa jenis dan jumlah
bahan bakar yang dipakai industri dari tiap plant berupa batu bara sebagai bahan bakar utama
dan berbagai limbah yang merupakan bahan bakar alternatif yang mengsubstitusi batu bara.
Analisis dihitung menggunakan persamaan 1. Dimana, emisi partikulat merupakan emisi dari
cerobong industri pada setiap plant yang beroperasi per ton bahan bakar (ton partikulat/ton
bahan bakar) dan flowrate adalah debit emisi pada cerobong yang beroperasi (m3 /jam).

……….(1)
Standar baku mutu yang digunakan pada perhitungan emisi debu ini adalah SNI 13-
4703-1998 tentang “Penentuan Kadar Debu di Udara dengan Penangkap debu jatuh” dan
memiliki korelasi yang sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 107 Tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta informasi indeks
standar pencemar udara. Hasil analisis statistik emisi debu yang dihasilkan oleh industri batu
bara setelah pembangunan disajikan dalam tabel 1.
Tabel 1. Analisis Statistik emisi debu
Sumber debu Konsentrasi debu (mg/m3) Emisi debu (ton/ton fuel)

Rice husk 41,41259009 0,000655245

Municipal solid waste 34,97325 0,000545217

Used tyres 28,07415608 0,000515353

Saw dust 3,9545 3,17745E-07

Used oil 150,1955 0,003051246

Indonesian coal 74 74
Sumber : Alfianto dan Lestari, 2014

Sumber TSP Kawasan Industri Batubara


Pengambilan sampel TSP pada udara ambien di lokasi penelitian, yaitu penambangan
batu bara dengan mengunakan alat Dust Sampler DS 600 - MVS. Tahap pertama dalam analisis
risiko adalah identifikasi lokasi dan identifikasi sumber-sumber bahaya yang ada dalam lokasi
studi. Sumber bahaya yang akan diidentifikasi adalah konsentrasi TSP. Identifikasi TSP
dengan mengukur konsentrasi TSP pada saat sebelum pengerjaan kegiatan penambangan pada
siang hari dan malam hari untuk mengetahui konsentrasi awal yang ada di lokasi kegiatan
sebelum kegiatan dimulai dan saat pengerjaan kegiatan penambangan di kelima lokasi.
Tabel 2 Data rata-rata TSP
Kegiatan Rata rata TSP (μg/m^3) Baku mutu (μg/m^3)

Pembersihan Lahan 420

Pengupasan tanah atau penggalian tanah 530


230
Pengangkutan batubara 260

Reklamasi dan rehabilitasi 210


Pada kegiatan pembersihan lahan ini sudah melewati baku mutu peraturan Pemerintah
Nomor 22 Tahun 2021 Lampiran VII, yaitu sebesar 420 μg/m^3. Konsentrasi terbesar terdapat
pada kegiatan pembersihan lahan berupa penebangan pohon, hutan belukar, dan alang-alang.
Hal ini karena pada kegiatan penebangan hutan yang menggunakan alat gergaji mesin
menghasilkan banyak sekali debu debu beruba serbuk kayu yang bertebaran di udara dan
terbawa oleh angin dan menjadi sumber TSP utama pada kegiatan pembersihan lahan ini.
Kegiatan selanjutnya yaitu pengupasan tanah atau penggalian tanah juga melewati baku
mutu yaitu sebesar 530 μg/m^3. Konsentrasi TSP pada kegiatan ini merupakan yang terbesar
dan menjadi sumber TSP utama. Konsentrasi terbesar pada kegiatan ini ialah proses
pengerukan tanah dengan menggunakan alat berat. Debu tanah dan partikel kecil lainnya dapat
terbawa oleh angin dan mengendap sehingga mencemari udara di sekitarnya.
Kegiatan pengangkutan batubara dari lokasi penambangan ke lokasi pengumpulan juga
menghasilkan TSP yang cukup banyak yaitu 260 μg/m^3 dimana nilai tersebut juga melewati
baku mutu yang sudah ditetapkan. Pengangkutan batu bara ini dilakukan oleh alat berat berupa
haul truck. Pada kegiatan ini kemungkinan terjadi penyebaran partikel batubara yang halus oleh
angin yang berhembus pada truck. Sehingga ketika truck lewat konsentrasi TSP dapat
meningkat dan menyebabkan udara yang tidak sehat.
Kegiatan terakhir ialah proses rehabilitasi dan reklamasi tanah hasil galian adalah sebagai
bentuk usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak akibat kegiatan usaha
penambangan. Upaya pemulihan ini dilakukan agar lahan bekas tambang dapat kembali fungsi
lingkungannya. Pada kegiatan ini menghasilkan nilai rata rata TSP yang paling rendah yaitu
210 μg/m^3 dan dibawah nilai Baku mutu yang ditetapkan.
Menurut PP Nomor 22 Tahun 2021 Lampiran VII, baku mutu TSP untuk udara ambien
sebesar 230 μg/m^3 yang diukur selama 24 jam secara aktif manual.
Dalam menentukan nilai ISPU dari TSP, digunakan persamaan 2 dengan keterangan batas
ISPU dan batas kadar ambien disajikan pada tabel 3

………………………………………………………………...…..(2)

Tabel 3 Konversi nilai konsentrasi ISPU untuk TSP

ISPU 24 jam TSP (μg/m^3)

50 120

100 300

200 500

300 625

400 875

500 1000
Sumber: (Anwar et al. 2019)

Sumber PM Kawasan Industri Batubara


Partikulat atau yang biasa disebut sebagai Particulate Matter yang bertebaran di udara
menjadi salah satu pengotor yang mencemari udara. Polutan udara dapat didefinisikan sebagai
zat yang terpancar ke udara dari berbagai sumber, misalnya antropogenik, biogenik, dan
geogenik yang bukan bagian dari atmosfer alami serta dapat menyebabkan dampak negatif
jangka pendek dan jangka panjang. Particulate Matter terdiri dari inti karbon dengan beberapa
lapisan, seperti logam, polutan organik, garam asam, dan elemen biologis lainnya. PM dapat
berbentuk asap, debu, oksida logam, dan aerosol. PM dapat berasal dari pembakaran, seperti
kendaraan bermotor, kebakaran hutan dan lahan, serta beberapa proses industri. Sebuah studi
menjelaskan bahwa polusi udara ambien berhubungan langsung dengan kematian akibat
penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh perubahan fungsi otonom jantung yang menjadi
bagian dari jalur patofisiologis. PM memiliki masa hidup selama beberapa hari jika tidak ada
curah hujan akibat tingkat sedimentasinya yang sangat kecil. Partikulat tersebut dapat terangkat
ribuan kilometer dan tetap berada di sekitar atmosfer selama beberapa hari lamanya.
KLHK telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
14 tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemar Udara yang menggantikan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 45 tahun 1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi
Indeks Standar Pencemar Udara. Parameter ISPU yang dituliskan dalam peraturan tersebut
dihitung selama jangka waktu 24 jam dengan tabel nilai konsentrasi parameter ISPU sebagai
berikut.
Tabel 4 Standar Baku Mutu Partikulat

Jenis Polutan Standar mutu

PM2.5 65

PM10 150

Analisis dampak lingkungan pada kawasan industri yang relatif dekat dengan
permukiman dilakukan dengan studi dan perbandingan literatur dengan eksperimen yang telah
ada sebelumnya. Data-data yang dikumpulkan berupa data PM2.5, dan PM10 yang diawali
dengan proses diagnosis melalui observasi lokasi terhadap emisi dan aktivitas penghasil
polutan selama fase konstruksi dan operasi. Alat yang digunakan dalam proses pengambilan
data, yaitu weather station dengan skema

penempatan sebagai berikut :

Gambar 1 Skema penempatan peralatan di lokasi

Persamaan yang digunakan untuk menghitung konsentrasi partikulat yaitu sebagai


berikut :
𝑚
C = 𝑄 ×𝑇……………………………………………………………………………………..(3)

Keterangan:

C = konsentrasi partikulat (massa/volume)

m = massa netto yang terkumpul pada filter (massa)

Q = laju aliran volumetrik sampel (volume/waktu)

T = durasi pengambilan sampel (wakt

Sampel dikumpulkan selama di lokasi industri selama periode waktu 24 jam pada tiap
titik penempatan alat. Namun, terdapat beberapa inkonsistensi dalam pengambilan data yang
disebabkan oleh kesalahan pengukuran di lapangan, penimbangan di laboratorium, atau
prosedural peralatan. Berikut disajikan data-data yang dihasilkan dari eksperimen yang telah
dilakukan.
Tabel 5 Data pengukuran konsentrasi particulate matter dalam
Perolehan data Titik 1 Titik 2

PM2.5 PM10 PM2.5 PM10

Maksimum 102.15 300.2 106.19 270.59

Minimum 55.8 362.1 55.2 54.2

Rata-rata 76.02 199.1 76.9 78.1


Berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan, polutan yang terdapat pada tiap titik
pengukuran pada lokasi industri melebihi baku mutu yang ditetapkan dengan rata-rata PM2.5
sebanyak 76.02 µg/m3 dan PM10 sebanyak 199.1 µg/m3 pada titik 1, dan PM2.5 sebanyak 76.9
µg/m3 dan PM10 sebanyak 214.01 µg/m3 pada titik 2.
Sumber Lalu Lintas Kendaraan Kawasan Industri Batubara
Pembangunan suatu kegiatan akan menimbulkan dampak salah satunya adalah dampak
terhadap lalu lintas. pada periode konstruksi, dampak lalu lintas yang signifikan adalah
timbulnya gangguan keselamatan lalu lintas, contohnya seperti dari truk yang keluar masuk
proyek dan timbulnya ceceran tanah pada lintasan yang dilalui oleh truk pengangkut tanah
tersebut. Analisis dampak lalu-lintas pada dasarnya merupakan analisis pengaruh
pengembangan tata guna lahan terhadap sistem pergerakan arus lalu - lintas disekitarnya yang
diakibatkan oleh bangkitan lalu - lintas yang baru, lalu lintas yang beralih, dan oleh kendaraan
keluar masuk dari / ke lahan tersebut.

Dampak lalu lintas dapat terjadi pada 2 tahap :


1. Pada tahap konstruksi / pembangunan. Pada tahap ini akan terjadi bangkitan lalu - lintas
akibat angkutan material dan mobilisasi alat berat yang membebani ruas jalan pada rute
material
2. Tahap pasca konstruksi / saat beroperasi. Pada tahap ini akan terjadi bangkitan lalu-
lintas dari pengunjung, pegawai dan penjual jasa transportasi yang akan membebani
ruas-ruas jalan tertentu, serta timbulnya bangkitan parkir kendaraan.

Adapun pesamaan yang digunakan dalam perhitungan lalu lintas kendaraan sebagai
berikut.
Analisis jalur luar kota :

C = CO x FCW x FCSP x FCSF ..........................................................................…………(4)

Dengan :
CO = Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas
FCSP = Faktor penyesuaian akibat pemisahan arah
FCSF = Faktor penyesuaian akibat hambatan samping

Analisis Simpang Tak Bersinyal (Prioritas)

C = CO x FW x FM x FCS x FRSU x FLT x FRT x FMI ..................................…………(5)

Dengan :
CO = Kapasitas dasar (smp/jam)
FW = Faktor penyesuaian lebar masuk
FM = Faktor penyesuaian tipe median jalan utama
FCS = Faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU = Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan
FLT = Faktor penyesuaian penyesuaian belok kiri
FRT = Faktor penyesuaian penyesuaian belok kanan
FMI = Faktor penyesuaian penyesuaian rasio arus jalan minor

Rasio Arus Lalu Lintas

DS : Q/C............................................................................................................... 4

Dengan :
Q : Arus Lalu lintas (smp/jam)
C : Kapasitas (smp/jam)

Sumber Kebisingan Kawasan Industri Batubara


Pencemaran bunyi tersebut sangat mengganggu terhadap manusia berada di sekitarnya.
Kebisingan sebagai akibat dari getaran mekanik rangkaian proses produksi serta keberadaan
transportasi di sekitar kawasan industri. Dalam pelaksanaan operasinya Industri juga banyak
menggunakan mesin-mesin dan peralatan yang menimbulkan intensitas kebisingan yang tinggi
seperti blasting machine, induction coil, coating spray gun, extruder, quenching, grinding dan
lainnya. Pencemaran bunyi merupakan gangguan terus menerus dari bising ke dalam
lingkungan pada tingkat yang merugikan bagi kesehatan manusia atau suara yang tidak disukai
kehadirannya. Bunyi secara berkelanjutan atau impulsif dapat mengakibatkan kerusakan pada
telinga. Kerusakan telinga biasanya pada gendang telinga atau assicles. Awalnya akan terjadi
kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, perlahan menurun sampai pada frekuensi
rendah. Tingkat kebisingan adalah ukuran angka tunggal dari kebisingan rata-rata selama
selang waktu tertentu. Pengukuran tingkat kebisingan terbagi menjadi 4 waktu yaitu, LTM5,
nilai ekivalen dengan waktu pengukuran selama 10 menit dengan pembacaan angka ukur setiap
5 detik, Ls, nilai ekivalen dengan waktu pengukuran siang hari pada selang waktu pukul 06.00
– 22.00, LM, nilai ekivalen dengan waktu pengukuran malam hari pada selang waktu pukul
22.00 – 06.00, LSM, nilai ekivalen dengan waktu pengukuran siang sampai malam hari (24
jam).
Nilai ambang batas kebisingan (NAB) ialah intensitas kebisingan tertinggi dan merupakan
nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh manusia tanpa mengakibatkan hilangnya daya
dengar yang tetap untuk waktu yang cukup lama atau terus menerus. Pemerintah mengeluarkan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.48 tahun 1996 tentang baku mutu tingkat nilai
kebisingan yang diperbolehkan pada area industri adalah 70 dB. Adapun persamaan yang
digunakan dalam perhitungan kebisingan sebagai berikut.

Mencari range (r) angka, dengan rumus sebagai berikut :


r = nilai maks – nilai min ....................................................................................5
Menentukan banyak kelas interval (k) yang diperlukan berdasarkan aturan sturgess, banyak
kelas dapat diambil berdasarkan rumus :
K = 1 + (3,3) log n .............................................................................................. 6
Keterangan:
K : Banyak kelas
n : Jumlah data
Menghitung panjang kelas interval (i), menggunakan rumus:
i = 𝑟 𝐾 .................................................................................................................7
Persamaan penurunan tingkat kebisingan menurut jarak sebagai berikut :

𝑟2
LP2 = LP1- 20.log 𝑟1 .............................................................................................8

LP1 = Tingkat kebisingan yang diketahui


LP2 = Tingkat kebisingan permukiman (55 dBA)
r1 = Jarak dari industri
r2 = Jarak minimum permukiman dari pabrik

Hasil analisis statistik kebisingan yang dihasilkan oleh kawasan industri selama pembangunan
disajikan dalam tabel 6.
Tabel 6 Hasil pengukuran tingkat kebisingan
Titik Pengukuran Tingkat Kebisingan Keterangan
1, 23, 20, 21, 22, 39, 40, 41, dan 100 66 dB – 70 dB (tidak Titik tersebut merupakan
melebihi baku mutu titik dengan intensitas
Peraturan Menteri kebisingan terendah. Hal ini
Tenaga Kerja No.13 dikarenakan titik tersebut
Tahun 2011) berada pada area tempat
parkir yang berada pada
bagian tepi dan berjarak
cukup jauh dari mesin-
mesin produksi.

4, 5, 24, 38, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 70 dB – 76 dB (tidak Titik tersebut berada pada
77, 80, 81, 82, 83, 95, 96, 97, 98, 99, melebihi baku mutu area pos satpam, kiln dry,
101, 113, 115, 116, 117, 118, 119, Peraturan Menteri dan musholla dimana pada
126, 127, dan 128. Tenaga Kerja No.13 area tersebut tidak
Tahun 2011 ) menghasilkan sumber suara
dan berjarak cukup jauh dari
mesin-mesin produksi.

42, 43, 44, 63, 64, 65, 66, 67, 84, 76 dB – 85 dB (tidak Titik tersebut berjarak dekat
102, 120, 85, 48, 49, 50, 30, 51, 52, melebihi baku mutu dengan mesin-mesin.
53, 54, 55, 36, 37, 18, 19, 59, 79, 78, Peraturan Menteri
76, 75, 74, 73, 72, 71, 70, 69, 68, Tenaga Kerja No.13
114, 112, 111, 110, 109, dan 108 Tahun 2011)

10, 17, 31, 45, 86, 89, 103 dan 121 85 dB – 89 dB Titik tersebut berada pada
(melebihi baku mutu bagian tepi area produksi
Peraturan Menteri dan saw milling.
Tenaga Kerja No.13
Tahun 2011)

7, 27, 47, 12, 15, 123, 125, dan 106 > 89 dB (melebihi Pada titik ini merupakan
baku mutu Peraturan sumber bising dan area yang
Menteri Tenaga Kerja sangat berbaya bagi pekerja
No.13 Tahun 2011)

Sumber Kebauan Kawasan Industri Batubara


Kebauan merupakan salah satu masalah lingkungan yang disebabkan berbagai macam
sumber layaknya pendirian suatu kawasan industri. Berbagai jenis industri telah dianggap oleh
masyarakat sebagai sumber penghasil bau. Senyawa kimia berbau ini terdispersi dalam udara
ambien. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 50 Tahun 1996
ditetapkan beberapa sumber kebauan dan nilai batasnya yang disajikan pada tabel x berikut.
Tabel 7 Sumber kebauan dan nilai batasnya
No. Parameter Satuan Nilai Metoda Peralatan
Batas Pengukuran

1 Amoniak (NH3) ppm 2,0 Metoda Spektrofotometer


Indofenol

2 Metil Merkaptan ppm 0,002 Absorbsi Gas Gas Kromatograf


(CH3SH)

3 Hidrogen Sulfida ppm 0,02 Merkuri tisinat Spektrofometer dan Gas


(H2S) dan Absorbsi Kromatograf
Gas

4 Metil Sulfida ppm 0,01 Absorbsi Gas Gas Kromatograf


((CH3)2)S

5 Stirena ppm 0,1 Absorbsi Gas Gas Kromatograf


(C6H8CHCH2)

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh Zam dan Putrawan pada lokasi
kegiatan penambangan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa
sumber kebauan pada industri batubara menghasilkan sumber kebauan Hidrogen Sulfida (H2S)
sebesar <0,01 ppm. Hal tersebut berarti kebauan akibat H2S masih dalam batas baku mutu.
Meskipun terdapat aktivitas perusahaan yang menyebabkan terjadinya peningkatan beberapa
parameter kimia namun sumber kebauan pada proses penambangan masih dalam batas baku
mutu yang aman.

SOLUSI
Target Penyelesaian
Jenis usaha atau kegiatan yang wajib memiliki izin AMDAL diatur oleh Permen LH
no. 5 tahun 2012.Industri yang wajib memiliki izin AMDAL adalah industri semen (yang
dibuat melalui produksi klinker), industri pulp ( skala > 300.000 ton pulp/ tahun), industri
petrokimia hulu, Kawasan industri (termasuk komplek industri yang terintegrasi), industri
galangan kapal dengan sistem growing dock, industri propelan (juga industri amunisi dan
bahan peledak), industri peleburan timah hitam, dan industri lainnya yang menggunakan areal
kota ataupun pedesaan pada besaran tertentu.
Kasus dibagi menjadi dua, yakni pemukiman yang sudah berdiri sebelum dibangunnya
industri atau pemukiman yang baru dibangun setelah dibangunnya industri.
1. Untuk pemukiman yang sudah dibangun sebelum industri tersebut dibangun, maka sebelum
pihak pengelola dan penyelenggara pembangunan industri harus mengurus perizinan
mengenai permasalahan kepemilikan tanah yang akan dibangun kawasan industri. Dan
berdasarkan jenis industri dan AMDAL menurut PP No. 27 tahun 1999 pihak pelaku usaha
atau pemrakarsa suatu proyek pembangunan baik itu industri ataupun bukan sudah
semestinya mengantisipasi gangguan yang akan disebabkan oleh pembangunan konstruksi
industri ataupun selama berjalannya industri tersebut. Setelah pemrakarsa pembangunan
industri mendapatkan izin AMDAL, maka mereka harus meminta izin dengan menggeser
pemukiman penduduk sebelumnya yang terhindari dari zona bahaya industri. Zona bahaya
industri sendiri dapat meliputi keselamatan kerja bagi penduduk dan pekerja sekitar, kualitas
udara (debu, TSP, PM 10, dan PM 2.5), gangguan kebisingan akibat industri dan lalu lintas
daerah industri, dan kebauan hasil dari produk industri.
2. Untuk pemukiman yang dibangun yang dibangun setelah dibangunnya kawasan industri
seharusnya dari pihak pengelola industri sudah memberikan wewenang perizinan mereka
atas pembangunan kawasan industri di daerah tersebut. Maka dari itu, pihak pengelola
pemukiman dapat mengikuti aturan yang berlaku sehingga mereka dapat dengan aman
membangunan kawasan pemukiman tanpa gangguan kawasan industri.
Particulate Matter biasa dihasilkan oleh hasil pembakaran yang tidak sempurna baik
selama proses pembangunan ataupun selama proses produksi dari suatu industri. Selain itu PM
dapat dihasilkan oleh pembakaran BBM yang menghasilkan emisi, yang jika dilihat kedepan
akan mengganggu kesehatan lingkungan karena efek gas rumah kaca. Selain itu, dapat
mengurangi penggunaan energi tak terbaharukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara
dengan beralih menggunakan Pembangkit Listrik tenaga Cahaya Matahari. Untuk
permasalahan emisi gas kendaraan dapat beralih menggunakan bahan baka bio-gas. Dan untuk
tindakan preventif dalam jangka panjang dapat menerapkan sistem rain-water harvesting dalam
menunjang kebutuhan air individu.
Lalu lintas merupakan permasalahan yang akan muncul pada suatu pembangunan,
karena suatu lalu lintas akan terhenti ataupun terhambat karena adanya pembangunan ditengah
suatu aktivitas manusia. Lalu lintas yang terganggu dapat diselesaikan dengan menekan sistem
ketertiban terhadap lalu lintas tersebut dengan pihak pengatur lalu lintas seperti polisi dapat
lebih turun langsung pada lokasi pembangunan. Setelah pembangunan suatu industri
seharusnya dari pengelola industri tersebut sudah memerhatikan dari sistem tata lalu lintas dan
perjalanan baik itu yang menghubungkan industri dengan daerah lainnya.
Kebauan biasanya tercipta oleh suatu industri yang sudah berjalan dan menghasilkan
prodk yang menghasilkan limbah. Mengambil contoh pada industri kimia, harus memiliki
WWTP (Waste Water Treatment Plant) dalam menjamin kualitas efluen limbah industri aman
dilepaskan ke lingkungan dan tidak akan mengganggu kawasan sekitar seperti pemukiman
penduduk. Proses pengolahan limbah dapat dilakukan dengan banyak cara, antara lain
menggunakan mekanisme biologis, fisika, ataupun kimia. Pengolahan biologis tentu akan
menggunakan bantuan mikroorganisme dalam mengolah masalah kebauan yang dihasilkan
oleh limbah industri. Pengolahan fisika cenderung menggunakan alat seperti tangki reaktor
sedimentasi. Sedangkan, bagi pengolahan kimia akan mencampurkan limbah dengan senyawa
kimia untuk mereaksikan limbah tersebut menjadi senyawa yang aman terhadap lingkungan
nantinya.
Kebisingan sendiri hasil dari proses pengoperasian industri, kendaraan, dan aktivitas
manusia di kawasan tersebut. Sehingga kebisingan sendiri tidak dapat dihindari hanya dapat
diminimalisir untuk menghindari gangguan terhadap kebisingan dengan melakukan aktiivitas
yang tidak dekat dengan daerah kebisingan yang tinggi.
Langkah Penyelesaian
Partikel debu dapat terhirup melalui saluran pernapasan. Partikel yang berukuran lebih
dari 0,6 µ akan tertahan pada saluran nafas bagian atas, sedangkan yang dibawah 0,3 µ akan
dapat keluar masuk, serta debu dengan ukuran antara 0,3 µ - 0,6 µ akan sampai pada bagian
alveolus paru-paru. Debu yang mengandung logam berat selain mempunyai potensi untuk
menimbulkan fibrosis pada paru, juga dapat menimbulkan iritasi mukosa. Contohnya adalah
debu asbes yang terjadi akibat pengereman kendaraan bermotor yang menggunakan asbes
untuk kanvas remnya dapat menyebabkan asbestosis yang berdampak pada penyakit kanker.
Oleh karena itu, diperlukan suatu teknologi untuk mengendalikan emisi debu, terutama debu
logam, pada kawasan industri untuk mengurangi resiko penyakit akibat emisi debu.
Penanggulangan pencemaran debu dapat dilakukan dengan memanfaatkan peralatan
pengendali debu yang dioperasikan pada industri, seperti ruang sistem pengendap gravitasi,
bag filter, electrostatic precipitator (EP), cyclone, dan scrubber (Prayudi 2015).
TSP (Total Suspended Particulate) merupakan partikel udara berwujud padat yang
memiliki diameter maksimum sekitar 45 mm dan berada di udara dengan waktu yang relatif
lama dalam keadaan melayang-layang dan dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernafasan (Roza et al. 2015). Emisi partikel padat TSP yang mencemari udara dapat
merusak lingkungan, tanaman, hewan, dan manusia. Pada manusia, TSP tidak dapat terhirup
ke dalam paru, tetapi hanya sampai pada bagian saluran pernapasan atas. Dampaknya adalah
pelunturan warna bangunan industri, kerusakan tanaman di sekitar kawasan industri, penyakit
pernapasan pada manusia, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, diperlukan langkah
penanggulangan emisi TSP pada kawasan industri. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengurangi emisi TSP, diantaranya mensubstitusi bahan bakar untuk industri dan kendaraan
bermotor dengan bahan bakar yang ramah lingkungan, seperti biosolar dari minyak kelapa
sawit. Selain itu, juga dapat dilakukan dengan menggunakan bahan bakar yang rendah nitrogen
dan sulfur,, seperti bahan bakar gas. Sementara itu, teknologi yang dapat digunakan untuk
mengurangi atau menanggulangi emisi TSP, antara lain penggunaan teknologi Exhaust Gas
Recirculation (EGR), pengaturan temperatur udara yang masuk, dan proses humidifikasi
(Simanjuntak 2007).
Konsentrasi partikel (PM) merupakan indikator kualitas udara utama karena merupakan
polutan udara paling umum yang mempengaruhi kesehatan jangka pendek dan jangka panjang.
Dua ukuran partikel digunakan untuk menganalisis kualitas udara; partikel halus dengan
diameter kurang dari 2,5 µm atau PM2.5 dan partikel kasar dengan diameter kurang dari 10
µm atau PM10. Partikel PM2.5 lebih memprihatinkan karena ukurannya yang kecil
memungkinkan mereka melakukan perjalanan lebih dalam ke sistem kardiopulmoner.
Pedoman kualitas udara dari Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan bahwa
konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 tidak boleh melebihi 10 g/m3 dan 20 g/m3 untuk PM10.
Paparan dari PM2,5 dan PM10 dapat mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh dan kematian
akibat permasalahan pernafasan. Masalah pernafasan yang sering ditimbulkan oleh PM10 dan
PM2,5 adalah asma. Oleh karena itu, diperlukan teknologi untuk menangani emisi PM10 dan
PM2,5 yang banyak dihasilkan oleh kawasan industri. Salah satu teknologi yang dapat
digunakan untuk menangani emisi PM adalah venturi scrubber. Venturi scrubber merupakan
alat penangkap PM yang memiliki beberapa keunggulan, yaitu mampu mengatasi partikel
eksplosif dan rawan terbakar dengan risiko kecil, biaya perawatan yang relatif rendah, mudah
dalam desain dan pemasangan, efisiensi pengoleksian yang dapat bervariasi, dan menyediakan
pendinginan untuk gas panas dan bisa menetralisir gas korosif (Nicholas 2002).
Kebisingan merupakan masalah yang sering dijumpai di banyak perusahaan besar saat
ini. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan
waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan. Penggunaan mesin dan alat kerja yang mendukung proses produksi berpotensi
menimbulkan suara kebisingan. Kebisingan dapat sangat merugikan dan mengganggu
kesehatan tenaga kerja yang berkaitan dengan produktivitas dan efektivitas kerja. . Menurut
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996 maksimum kebisingan adalah 70 dB
untuk area industri. Jika terjadi kebisingan melewati nilai ambang batas (NAB) yang telah
ditentukan, maka akan menimbulkan dampak gangguan pada manusia dan lingkungan. Pada
umumnya kebisingan yang terjadi di pabrik memiliki kualitas dan kuantitas tertentu, biasanya
irama gelombang bunyi yang dihasilkan bersifat tetap ataupun periodik. Sehingga dapat
dikatakan bising yang terjadi di lingkungan kerja khusunya pabrik atau industri ialah kumpulan
bunyi yang didasarkan atas gelombang gelombang akustik dengan berbagai macam frekuensi
serta intensitasnya (Rangga Adi 2009).
Secara umum, penanganan kebisingan dibagi menjadi dua yaitu kontrol kebisingan
pasif dan aktif (Beranek dan Ver 1992). Pada kontrol kebisingan pasif, unjuk kerja dipengaruhi
oleh geometri dan sifat-sifat serapan suara komponennya. Sedangkan pada kontrol kebisingan
aktif menggunakan prinsip destruksi interferensi gelombang. Penggunaan silencer pada
knalpot merupakan bentuk kontrol kebisingan pasif. Sementara itu, contoh kontrol kebisingan
aktif, antara lain mengurangi faktor gesean dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi
elemen gerae, melengkapi peredam pada mesin, dan pemeliharaan rutin terhadap mesin.
Menurut Tambunan (2005), beberapa teknologi yang dapat meredam kebisingan pada mesin
industri, antara lain cladding, silencer, attenuator, dan muffler.

DAFTAR PUSTAKA
Albertus, Frendly, Yosana Z. 2019. Dampak dan pengaruh pertambangan batubara terhadap
masyarakat dan lingkungan di Kalimantan Timur. LEGALITAS: Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum. 4(1): 42-56.
Alfianto PN, Lestari P. 2014. Analisis emisi debu dan partikulat terhadap penggunaan bahan
bakar alternatif di industri batu bakar. Jurnal Teknik Lingkungan. 20(1) : 11 -19
Alimuddin, Rulhendri, Chayati N, Rachmawati ID. 2021. Kajian Dampak Lingkungan bagi
Rekonstruksi Gedung Sekolah (Studi Kasus: SDN Mekarsari 6, Depok). Jurnal
Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas. 5(1):13-21
Anwar FS, Mallongi A, Maidin MA. 2019. Kualitas Udara Ambien Co Dan Tsp Di
Permukiman Sekitar Kawasan Industri Pt. Semen Tonasa. J. Kesehat. Masy. Marit.
2(1). doi:10.30597/jkmm.v2i1.10060.
Bachtiar VS, Dewilda Y, Wemas BV. 2013. Analisis Tingkat Kebisingan Dan Usaha
Pengendalian Pada Unit Produksi Pada Suatu Industri Di Kota Batam. Jurnal Teknik
Lingkungan UNAND. 10 (2) : 85-93
Efendy I. 2016. Konstruksi pendidikan kesehatan lingkungan dalam perspektif islam. Miqot:
Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman. 40(2): 69-71.
Haryandi, Setiawan VR. 2021. Analisis Tingkat Kebisingan Dan Upaya Pengendalian Penyakit
Akibat Kerja DI AREA MINING PT. XYZ, SUMBAWA BARAT, NUSA
TENGGARA BARAT. Jurnal Sains Teknologi & Lingkungan. 6(2):176-181
Nicholas PC. 2002. Handbook of Air Pollution Prevention and Control. New York (AS):
Butterworth Heineman.
Pamungkas EP. 2022. Analisis Konsentrasi Polutan TSP,PM2.5, PM10, dan PB Bengkel Motor
Resmi (Studi Kasus: UD. Utama Motor Sleman). Universitas Islam Indonesia.
Prayudi T. 2005. Dampak industri peleburan logam Fe terhadap pencemaran debu di udara. J
Tek Ling. 6(2):385-390.
Ramadhini R, Syarifuddin, Andarani, et.al. 2015. ANALISIS RISIKO TOTAL SUSPENDED
PARTICULATE (TSP) PADA TAHAP PEMBANGUNAN JALAN TERHADAP
KESEHATAN PEKERJA (STUDI KASUS: PEMBANGUNAN JALAN KENDAL –
BATAS KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH). Jurnal Teknik Lingkungan. 6(1):14-
25
Rangga AL. 2009. Gambaran kebisingan di area kerja shop c-d unit usaha jembatan PT bukaka
teknik utama (skripsi). Jawa Barat (ID): Universitas Indonesia.
Roza V, Ilza M, Anita S. 2015. Korelasi PM10 di udara dan kandungan timbal dalam rambut
petugas SPBU di kota Pekanbaru. Din Ling Indo. 2(1):52-58.
Simanjuntak AG. 2007. Pencemaran udara. LIMBAH. 11(1):34-40.
Tambunan BTS. 2005. Occupational Noise. Yogyakarta(ID): Andi Offset.
Trianisa K, Purnomo EP, Kasiwi AN. 2020. Pengaruh Industri Batubara Terhadap Polusi Udara
dalam Keseimbangan World Air Quality Index in India. Jurnal Sains Teknologi &
Lingkungan. 6(2):156-168
Zam Z, Putrawan IM. 2020. Evaluasi kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan di
Pulau Obi Provinsi Maluku Utara. Jurnal Pendidikan Lingkungan Pengembangan
Berkelanjutan. 21(2) : 58-68

Anda mungkin juga menyukai