Anda di halaman 1dari 5

Cerita Rakyat Nusantara : Panglima To Dilating

Dahulu di sebuah bukit Napo di daerah Tammajarra, Puloweli Mandar berdiri sebuah Kerajaaan
Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa yang sudah tiga puluh tahun tidak pernah mau turun
dari jabatannya.

Raja Balanipa menginginkan berkuasa selamanya. Ia mempunyai dua anak laki-laki dan dua anak
perempuan. Akan tetapi, kedua anak Iaki-Iakinya sudah dibunuh olehnya, karena ia tidak mau
mewariskan jabatan Raja kepada dua anak Iaki-Iakinya itu. Sang Permaisuri tidak bisa berbuat
apa-apa, ia selalu merasa cemas jika sedang mengandung. Ia takut anak yang dikandungnya itu
seorang bayi laki-laki lalu akan dibunuh lagi oleh suaminya.

Pada suatu hari, sang Permaisuri sedang mengandung, sebentar lagi ia akan melahirkan, pada
saat itu Raja Balanipa hendak pergi berburu dalam waktu yang lama. Maka sang Raja berpesan
kepada panglima Puang Mosso untuk menjaga permaisurinya dan juga meminta untuk
membunuh bayinya apabila yang lahir adalah bayi laki-laki. Setelah itu, berangkatlah Raja
Balanipa ke Mosso.

Esok harinya, sang Permaisuri pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Anehnya,
lidah bayi itu berwarna hitam dan berbulu. Puang Mosso yang mengetahui bahwa permaisuri
melahirkan bayi laki-laki, ia merasa kasihan dan tidak tega membunuh bayi itu.

“Aku tidak mungkin membunuh bayi yang tidak berdosa ini,” ucap Puang Mosso sambil menatap
bayi laki-laki di depannya. la berpikir keras untuk menyelamatkan bayi laki-laki itu, akhirnya ia
menitipkan bayi itu kepada keluarganya yang tinggal di sebuah kampung jauh dari istana.
Kemudian ia menyembelih seekor kambing dan dikuburkannya. Lalu ia buatkan nisan di atasnya.
Sehingga sang Raja akan mengira bahwa isi kuburan itu adalah bayi laki-lakinya.
Beberapa minggu kemudian sang Raja Balanipa pulang ke istana dan langsung menemui Puang
Mosso, “Bagimana keadaan permaisuri? Apakah sudah melahirkan?” tanya sang Raja.

“Ampun Raja, permaisuri telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Dan hamba telah membunuh
dan menguburkannya di samping kuburan kedua anak laki-laki Raja yang lainnya,” jelas Puang
Mosso.
Raja Balanipa segera menuju tempat kuburan bayi laki-lakinya itu, ia belum yakin jika belum
melihat langsung kuburan itu. Sesampainya di sana, tampaklah sebuah kuburan kecil yang
masih baru. Sang Raja pun percaya bahwa bayi Iaki-lakinya sudah mati. la pun kembali
menjalankan tugasnya sebagai raja dengan perasaan tenang dan bahagia, karena tidak ada lagi
yang akan menggantikannya.

Waktu terus berganti, Putra raja yang dahulu Puang Mosso titipkan di kampung halamannya
sudah besar, ia tampan dan kekar. Ia juga sangat akrab dengan Puang Mosso, karena hampir
setiap minggu Puang Mosso menemuinya secara diam-diam, Puang Mosso juga menceritakan
asal usulnya yang bahwa sebenarnya ia adalah Putra Raja Balanipa. Kemudian Puang Mosso
menitipkan anak itu lagi kepada seorang pedagang yang akan berlayar menuju Pulau Salerno
yang berada sangat jauh dari bukit Napo. Puang Mosso sangat takut jika sang Raja mengetahui
bahwa anak laki-lakinya masih hidup.

Di Pulau Salerno, Putra Raja Balanipa itu tumbuh menjadi anak yang cerdas dan gagah. Ia sangat
tekun bekerja dan pandai memanjat pohon kelapa. Hingga suatu hari ketika Ia sedang memanjat
pohon kelapa, tiba-tiba

seekor burung rajawali raksasa menyambarnya, lalu membawanya terbang ke tempat yang jauh
yaitu di daerah Gowa, anak itu terlepas dari cengkeraman rajawali raksasa sehingga terjatuh di
tengah sawah dan ditemukan oleh seorang petani.

Si petani pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Gowa, Tumaparissi Kalonna. Lalu Raja itu
meminta petani untuk membawa anak itu ke istana. Sang petani segera membawa anak yang
ditemukannya itu ke istana, ketika sang Raja melihat dan mengamati anak itu, ia Iangsung
tertarik melihat tubuh anak itu yang kekar, ia tertarik untuk merawat dan mendidiknya agar
kelak menjadi panglima perang yang gagah dan perkasa. Beberapa tahun kemudian Putra Raja
Balanipa itu benar-benar menjadi panglima perang yang tangguh sehingga pasukan Kerajaan
Gowa selalu menang dalam perang melawan kerajaan manapun. Raja Gowa kemudian memberi
gelar panglima perangnya itu dengan gelar I Manyambungi.

Sementara itu, di Kerajaan Balanipa, kondisinya sangat memprihatinkan, Kerajaan itu sudah tak
sesejahtera dulu, rupanya Raja Balanipa yang merupakan ayah kandung Panglima I
Manyambungi telah wafat dan digantikan oleh Raja Lego yaitu seorang Raja yang sangat kejam
dan bengis. Ia suka menganiaya rakyat, baik yang berada di wilayah kekuasaannya maupun yang
berada di negeri luar yaitu negeri Samsundu, Mosso dan Todang-Todang. Hal tersebut membuat
raja-raja negeri bawahannya menjadi resah.

Mereka pun mengadakan musyawarah untuk mencari cara menyingkirkan Raja Lego. Oleh
karena panglima I Manyambungi sudah terkenal ke berbagai daerah, maka para raja negeri
bawahan pun mengenalnya dan mereka bersepakat untuk mengundang Panglima I
Manyambungi.

Maka diutuslah beberapa perwakilan dari kerajaan-kerajaan bawahan ke Kerajaan Gowa.


Setibanya di sana mereka langsung menyatakan maksudnya, “Hormat kami Tuan, Kami adalah
utusan dari kerajaan-kerajaan kecil di daerah Polewali Mandar. Maksud kedatangan kami adalah
ingin meminta bantuan Tuan untuk melawan Raja Lego yang bengis dan kejam itu,” lapor
seorang utusan.

“Siapa Raja Lego itu?” tanya I Manyambungi.

“Dia adalah Raja penguasa Kerajaan Balanipa yang menggantikan Raja Balanipa. la suka
menganiaya rakyat kami tanpa alasan yang jelas,” tambah_ salah seorang utusan.
I Manyambungi sangat terkejut saat mendengar jawaban itu. Ia jadi teringat dengan ayahnya,
Raja Balanipa dan keluarganya yang pernah diceritakan oleh Puang Mosso dahulu, “Bagaimana
dengan Raja Balanipa dan keluarga istana lainnya juga Panglima Puang Mosso?” tanya I
Manyambungi cemas.

“Raja Balanipa dan permaisurinya telah wafat. Sementara beberapa keluarga istana lainnya
sudah mengungsi. Puang Mosso masih hidup, bahkan dialah yang telah menyelamatkan
keluarga istana. Maaf Tuan, bagaimana Tuan dapat mengenal Puang Mosso?” tanya utusan yang
lain heran.

Kemudian Panglima I Manyambungi menceritakan I asal-usulnya yang merupakan anak dari Raja
Balanipa. Para utusan dari Mandar itu pun terkejut dan segera memberi hormat.

“Baiklah, aku bersedia membantu kalian, tapi dengan syarat Puang Mosso yang harus datang
sendiri menjemputku,” pesan Panglima I Manyambungi.
Para utusan itu pun menyanggupinya. Sesampainya di Mandar, mereka segera menemui Puang
Mosso. Mendengar laporan para utusan itu, Puang Mosso menjadi heran dan cemas mengapa
harus ia yang menjemputnya, siapakah sebenarnya panglima perang dari Gowa itu. Puang
Mosso terus berpikir selama perjalanan ke Gowa.

Sesampainya di Gowa, Puang Mosso segera menghadap Panglima I Manyambungi, hati Puang
Mosso semakin berdebar kencang sedangkan I Manyambungi yang selalu tersenyum sambil
menatap Puang Mosso dengan mata berkaca-kaca, “Kaukah Puang Mosso?” tanya Panglima I
Manyambungi dengan mata berkaca-kaca.

“Benar, Tuan!” jawab Puang Mosso kebingungan, “Maafkan aku Tuan, bisakah Tuan
menjulurkan lidah sebentar?” pinta Puang Mosso hati-hati.
I Manyambungi kemudian mengulurkan lidahnya, ketika melihat lidah I Manyambungi berwarna
hitam dan berbulu, maka semakin yakinlah Puang Mosso jika panglima itu adalah putra Raja
Balanipa yang dulu ia titipkan kepada seorang pedagang.

Puang Mosso segera memeluknya sambil menangis haru, “Engkaulah putra Raja Balanipa!”
ucapnya sambil memeluk erat I Manyumbungi yang juga membalas pelukannya.

“Benar Puang Mosso, terima kasih telah menyelamatkan nyawaku ketika aku masih kecil dulu,”
kata panglima I Manyumbungi. Puang Mosso menepuk-nepuk bahu I Manyumbungi sambil
mengangguk.

Kemudian saat tengah malam, Puang Masso dan Panglima I Manyambungi beserta beberapa
pengikutnya meninggalkan istana Kerajaan Gowa menuju bukit Napo. Sejak saat itu, Panglima I
Manyambungi dikenal dengan nama Panglima To Dilating.

Sementara itu, Raja Lego semakin kejam terhadap rakyat yang lemah, semua warga tak ada
yang berani melawannya. Maka, saat melihat hal itu, Panglima To Dilating mengajak para warga
untuk memerangi Raja Lego, mereka menyetujuinya dengan penuh semangat.
Pada waktu yang telah ditentukan, Panglima To Dilating beserta seluruh warga segera menyerbu
istana Raja Lego. Pertempuran sengit pun tidak didapat dihindari lagi. Pasukan Raja Lego
akhirnya menyerah.

Sementara itu, Raja Lego yang dihadapi langsung oleh Panglima To Dilating masih mampu
melakukan perlawanan. Keduanya saling mengadu kesaktian. Namun akhirnya Raja Lego
akhirnya kalah juga dan mati di ujung tombak Panglima To Dilating. Seluruh warga menyambut
kemenangan itu dengan sangat gembira.

Akhirnya, Panglima To Dilating dinobatkan menjadi Raja di bukit Napo. Hingga saat ini, makam
Panglima To Dilating berada di bawah sebuah pohon beringin yang rindang berada di atas bukit
Napo, Polewali Mandar. Sulawesi Barat.

Pesan moral dari Cerita Rakyat Nusantara : Panglima To Dilating adalah berusaha dan belajar
dengan sungguh-sungguh maka engkau akan mencapai cita-citamu

Anda mungkin juga menyukai