Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Hipertensi Pada Kehamilan


Dosen pembimbing : Bd.Mutiara Dwi Yanti.SST.,M.Keb

Disusun Oleh :

1. Kelly Angginie
2. Noni
3. Reni Nopida
4. Sari br Sitanggang
5. Yuliana

INSTITUT KESEHATAN DELI HUSADA DELITUA


PROGRAM STUDI KEBIDANAN
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang berkat limpahan
Karunia nikmatnya menulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “hipertensi
pada ke hamilan” dengan lancar.

Dalam proses penyusunan tak lepas dari bantuan, arahan dan masukan dari
berbagai pihak , untuk itu penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala
partisipasinya dalam menyelesaikan makalah ini.

Meski demikian, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dan


kekeliruan di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa
maupun isi. Sehingga penulis secara terbuka menerima segala kritik dan saran positif
dari pembaca. Demikian apa yang dapat penulis sampaikan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk masyarakat umumnya dan untuk penulis sendiri khususnya.

Deli Tua,06 Maret 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB I Pendahuluan.................................................................................................
1.1 Latar Belakang.............................................................................................
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................
1.3 Tujuan Penulis.............................................................................................
BAB II Tinjauan Pustaka
2.1 ..........................................................................................................................
2.2 ...........................................................................................................................
2.3 ...........................................................................................................................
BAB III
3.1.1 Kesimpulan.....................................................................................................
3.1.2 Saran...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
LAMPIRAN JURNAL............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi pada kehamilan merupakan penyakit tidak menular penyebab kematian
maternal. Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak
ditularkan dari orang ke orang. PTM di antaranya adalah hipertensi, diabetes, penyakit
jantung, stroke, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). PTM merupakan
penyebab kematian hampir 70% di dunia. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 dan 2013, tampak kecenderungan peningkatan prevalensi PTM
seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan penyakit sendi/rematik/encok. Fenomena ini
diprediksi akan terus berlanjut1 (Kemenkes RI, 2018).

Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) didefinisikan sebagai tekanan darah ≥140/90


mmHg dalam dua kali pengukuran atau lebih. (Cunningham, 2010). Berdasarkan
International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) ada 4 kategori
hipertensi dalam kehamilan, yaitu preeklamsia-eklamsia, hipertensi gestasional, kronik
hipertensi dan superimpose preeklamsia hipertensi kronik. (Manuaba, 2007).

Kegawatdaruratan maternal adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa. Salah


satunya yaitu kematian ibu. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator
untuk mengetahui kualitas kesehatan ibu. (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2018).

Gangguan hipertensi kehamilan, istilah umum yang mencakup hipertensi yang sudah
ada sebelumnya dan hipertensi gestasional, preeklampsia, dan eklampsia, mempersulit
hingga 10% kehamilan dan merupakan penyebab signifikan morbiditas ibu dan perinatal
dan mortalitas. Terlepas dari perbedaan pedoman, tampaknya ada konsensus bahwa
hipertensi berat dan tidak berat hipertensi dengan bukti kerusakan organ akhir perlu
dikontrol; namun target ideal berkisar di bawah 160/110 mmHg tetap menjadi sumber
perdebatan. Ulasan ini menguraikan definisi, patofisiologi, tujuan terapi, dan agen
pengobatan yang digunakan pada gangguan hipertensi kehamilan.

Hipertensi sering ditemui pada saat kehamilan. Hipertensi pada ibu hamil jika tidak
ditangani dapat menyebabkan kematian saat bersalin. Kejadian hipertensi pada
kehamilan terjadi karena kurangnya pengetahuan pada ibu hamil. Berdasarkan data yang
dikumpulkan didapatkan (73%) ibu hamil yang memiliki pengetahuan kurang dan
memiliki pengetahuan cukup 3 (20%). Setelah di lakukan penyuluhan dalam upaya
pengendalian pencegahan hipertensi terdapat peningkatan pengetahuan ibu hamil dengan
presentase 7% meningkat menjadi 60%. Tujuan penyuluhan kepada masyarakat ini untuk
meningkatkan pengetahuan upaya pengendalian hipertensi pada kehamilan.

1.2 Rumusan masalah


1.2.1 Apa definisi hipertensi pada kehamilan?
1.2.2 Apa komplikasi hipertensi pada kehamilan?
1.2.3 Apa faktor faktor yang berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan ?
1.2.4 Bagaimana hubungan riwayat hipertensi dan status gizi dengan kejadian
preeklamsia ?
1.2.5 Bagaimana edukasi kesehatan dan pencegahan tentang resiko kejadian
hipertensi ?
1.2.6 Bagaimana patofisiologi dan pengobatan hipertensi pada kehamilan ?
1.2.7 Apa saja klasifikasi hipertensi pada kehamilan ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui definisi hipertensi pada kehamilan.
1.3.2 Untuk mengetahui hipertensi pada kehamilan.
1.3.3 Untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan hipertensi dalam
kehamilan.
1.3.4 Untuk mengetahui hubungan riwayat hipertensi dan status gizi dengan kejadian
preeklamsia.
1.3.5 Untuk mengetahui edukasi kesehatan dan pencegahan tentang resiko kejadian
hipertensi.
1.3.6 Untuk mengetahui patofisiologi dan pengobatan hipertensi pada kehamilan.
1.3.7 Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada kehamilan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Defenisi Hipertensi Pada Kehamilan


Definisi hipertensi pada kehamilan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penting
pada penyakit kardiovaskular, penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah
perifer,stroke dan penyakit ginjal. Untuk menghindari komplikasi tersebut diupayakan
pengendalian tekanan darah dalam batas normal baik secara farmakologis maupun non
farmakologis. Lima penyebab kematianibu terbesar di Indonesia diantaranya adalah karena
hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi pada kehamilan dapat digolongkan menjadi pre-
eklampsia, eklampsia,hipertensi kronis pada kehamilan, hipertensi kronis disertai pre-
eklampsia, dan hipertensi gestational. Penyakit kardio-serebrovaskular adalah salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas,dengan angka kematian 17 juta di seluruh dunia
setiap tahunnya atau 31% dari seluruh mortalitas. Di eropa,angka ini bahkan mencapai 42%.
Penyakit kardiovaskular kerap diasosiasikan dengan gaya hidup (merokok, kurangnya
aktivitas fisik, perilaku makan yang tidak sehat, dan stress) dan beberapa faktor risiko lain
seperti hipertensi, dislipidemia, obesitas, usia lanjut, riwayat penyakit kardiovaskular pada
keluarga,dan disfungsi endhothelium. Koeksistensi dari beberapa faktor risiko akan
meningkatkan risiko kardiovaskular.
2.2 Komplikasi Hipertensi Pada Kehamilan
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko penting pada penyakit kardiovaskular,
penyakit jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer,stroke dan penyakit ginjal. Untuk
menghindari komplikasi tersebut diupayakan pengendalian tekanan darah dalam batas normal
baik secara farmakologis maupun non farmakologis. Lima penyebab kematian ibu terbesar di
Indonesia diantaranya adalah karena hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi pada kehamilan
dapat digolongkan menjadi pre-eklampsia, eklampsia,hipertensi kronis pada kehamilan,
hipertensi kronis disertai pre-eklampsia, dan hipertensi gestational. Penyakit kardio-
serebrovaskular adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas,dengan angka
kematian 17 juta di seluruh dunia setiap tahunnya atau 31% dari seluruh mortalitas. Di
eropa,angka ini bahkan mencapai 42%. Penyakit kardiovaskular kerap diasosiasikan dengan
gaya hidup (merokok, kurangnya aktivitas fisik, perilaku makan yang tidak sehat, dan stress)
dan beberapa faktor risiko lain seperti hipertensi, dislipidemia, obesitas, usia lanjut, riwayat
penyakit kardiovaskular pada keluarga,dan disfungsi endhothelium. Koeksistensi dari
beberapa faktor risiko akan meningkatkan risiko kardiovaskular. Peningkatan tekanan darah
yang tidak terlalu tinggi (high normal / prehipertensi) telah terbukti meningkatkan insiden
penyakit kardiovaskular. Insiden penyakit kardiovaskular selama 10 tahun pada mereka yang
tekanan darahnya prehipertensi adalah 8% pada laki-laki dan 4% pada perempuan. Sehingga
disimpulkan bahwa semakin tinggi tekanan darah,semakin tinggi pula angka kejadian
kelainan kardiovaskular.
2.3 Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi Dalam Kehamilan
Seseorang dikatakan berisiko hipertensi jika hasil pengukuran tekanan darah sistolik >140
mmHg dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg (Kemenks RI, 2014). Faktor risiko hipertensi
dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu faktor risiko yang dapat diubah yaitu umur, jenis
kelamin, Genetik, dan faktor risiko termasuk paritas untuk Ibu Hamil, dan yang tidak dapat
diubah yaitu obesitas, stress, merokok, alkohol, konsumsi garam, (Widyanto, 2013). Faktor
predisposisi gangguan hipertensi pada kehamilan diseluruh dunia, seperti; riwayat
preeclampsia keluarga, preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, kehamilan multifetal,
obesitas, nuliparitas, diabetes, hipertensi kronis, dan ektrem usia ibu (Makmur & Fitriahadi,
2020). Hasil Penelitian yang dilakukan oleh (Basri et al., 2018) menyatakan bahwa ada
hubungan antara umur ibu hamil dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan dengan nilai
p=0,000, selain itu ia juga menyatakan bahwa ada hubungan antara penambahan berat badan
dengan kejadian hipertensi pada kehamilan dengan nilai p = 0,048. Paritas juga merupakan
salah satu faktor resiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh (Yurianti Rosy, Umar Yolanda Mareza, 2020) yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara paritas dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan
dengan nilai OR = 3,934, selain itu hasil penelitiannya juga menyatakan ada hubungan antara
paritas denga kejadian hipertensi dalam kehamilan dengan nilai OR = 1,696. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Imaroh diperoleh hasil uji statistik menggunakan uji Chi
Square bahwa terdapat hubungan antara riwayat hipertensi keluarga terhadap kejadian
hipertensi kehamilan dengan besar nilai p=0,015 (p<0,05; 95% CI=5,950). Sehingga pada
penelitian ini didapat bahwa ibu yang memiliki riwayat hipertensi keluarga mempengaruhi
faktor risiko kejadian hipertensi pada ibu hamil dengan risiko 5,9 kali lebih besar terjadinya
hipertensi (Imaroh et al., 2018).
2.4 Hubungan Riwayat Hipertensi Dan Status Gizi Dengan Kejadian Preeklampsia
Penyebab terjadinya preeklampsia sampai saat ini belum diketahui. Hipotesis faktorfaktor
etiologi preeklampsia bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu genetik, imunologik,
gizi, serta infeksi (Amellia, 2019). Berbagai macam faktor resiko penyebab preeklampsia
salah satunya riwayat hipertensi dan status gizi ibu hamil. Menurut Dewi (2014) yang
menyebutkan terdapat hubungan riwayat hipertensi dengan kejadian preeklampsia. Ibu hamil
dengan riwayat hipertensi akan mempunyai resiko lebih besar mengalami superimposed
preeklampsia. Hal ini karena hipertensi yang diderita sejak sebelum hamil sudah
mengakibatkan gangguan/ kerusakan pada organ penting tubuh dan ditambah lagi dengan
adanya kehamilan maka kerja tubuh akan bertambah berat sehingga timbul edema dan
proteinuria. Menurut penelitian dari Mamuroh & Nurhakim (2018) menyebutkan terjadinya
preeklampsia pada ibu hamil yang memiliki riwayat hipertensi, 21 kali lebih tinggi dibanding
dengan responden tidak mempunyai riwayat hipertensi. Menurut Cunningham (2013), hal
tersebut sesuai dengan faktor riwayat hipertensi pada sebagian wanita dengan riwayat
hipertensi kronis, hipertensi dapat memburuk, terutama pada kehamilan berikutnya.Salah satu
faktor resiko preeklampsia termasuk status gizi juga menjadi salah satu konstributor
terjadinya preeklampsia, dimana asupan gizi pada ibu sangat menetukan kesehatan ibu hamil
dan janin. Menurut teori dari Angsar (2010) menyatakan bahwa obesitas/overweight
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya preeklampsia. Faktor resiko terjadinya
preeklampsia tidak hanya masalah gizi berlebih atau obesitas. Pada ibu hamil yang
mengalami overweight dapat terjadi preeklampsia melalui mekanisme hiperleptinemia,
sindrom metabolik, reaksi inflamasi serta peningkatan stres oksidatif yang berujung pada
kerusakan dan disfungsi endotel. Hal ini sangat bertentangan oleh penelitian dari Anggasari
(2018) yang menyebutkan bahwa status gizi tidak berpengaruh terhadap kejadian
preeklampsia. Sebanyak 53,3% ibu hamil dengan status gizi lebih didapatkan 60% ibu hamil
tidak mengalami preeklampsia.
2.5 Edukasi Kesehatan Dan Cara Pencegahan Tentang Resiko Kejadian Hipertensi
Edukasi Kesehatan pada ibu hamil ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan pelaksanaan
kegiatan, yaitu:
1. Tahap Survei
Tahap ini dimulai dari survei tempat penyuluhan dan pengurusan surat izin ke Puskesmas
serta membuat kontrak pertemuan untuk dilakukan penyuluhan pada ibu hamil di wilayah
kerja Puskesmas Suppa Kabupaten Pinrang.
2. Tahap Pre-test
Tahap ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan ibu hamil terhadap
resiko kejadian hipertensi pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Suppa, Kabupaten
Pinrang.
3. Tahap Pelaksanaan Penyuluhan
Tahap ini dilakukan penyuluhan pada ibu hamil dengan memberikan edukasi Kesehatan
tentang resiko kejadian hipertensi dan cara pencegahannya dengan menggunakan leaflet di
wilayah kerja Puskesmas Suppa Kabupaten Pinrang. Penyuluhan dihadiri sebanyak 15 orang
ibu hamil.
4. Tahap Evaluasi
Tahap ini dilakukan setelah pemberian penyuluhan edukasi kesehatan pada ibu hamil dan
pemberian pre test dan post test kepada ibu hamil yang hadir dengan jumlah 20 soal.
Indikator penilaian post test adalah hasil peningkatan post test ibu hamil. Tujuan dari evaluasi
ini adalah untuk melihat sejauh mana tingkat pemahaman ibu hamil terhadap kejadian
hipertensi pada ibu hamil dan cara pencegahannya setelah dilakukan penyuluhan edukasi
kesehatan.Materi penyuluhan disampaikan langsung kepada para peserta penyuluhan dan
diselingi dengan dialog interaktif antara peserta dan kader posyandu tentang pencegahan
Kejadian hipertensi dalam kehamilan. Pada saat penyuluhan berlangsung, terlihat ibu-ibu
antusias dalam mendengarkan materi yang disampaikan dan berdiskusi tentang hipertensi
dalam kehamilan. Berdasarkan hasil diskusi diketahui ibu-ibu belum mengetahui faktor
penyebab terjadinya hipertensi dan apa saja yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko
terjadinya. Upaya untuk pencegahan dan pengendalian hipertensi dalam kehamilan, ibu dapat
menerapkan pola hidup sehat dengan menjaga makanan yang dikonsumsi, menjaga kesehatan
tubuh dengan olahraga ringan dan menjauhi stress. Selain itu ibu hamil juga harus
memperbanyak kontrol sejak dini sehingga hipertensi dapat dideteksi lebih cepat. Oleh
karena itu, tujuan kegiatan penyuluhan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil
tentang hipertensi dalam kehamilan dan pencegahannya. Dari hasil pre-test dan post-test
menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dari score awal hanya 7% kemudian
meningkat kan menjadi 60%. Hasil dari penyuluhan kepada mitra penyuluhan terdapat
penurunan jumlah peserta yang berpengetahuan kurang. Peningkatan pengetahuan tentang
hipertensi pada ibu-ibu setelah diberikan penyuluhan juga sejalan dengan kegiatan
pengabdian lain (Kurniasari & Alrosyidi, 2020). Hal ini menunjukkan ibu-ibu telah
memahami arti, manfaat, dan tujuan mengendalikan hipertensi. Pengetahuan yang tinggi
tentang hipertensi akan dapat movasi merekamelakukan pengendalian tekanan darahnya
(Maharani & Syafrandi, 2017). Penyuluhan pendidikan kesehatan dapat mempengaruhi
pengetahuan hipertensi. Pengetahuan tentang hipertensi yang di miliki ibu-ibu dapat
membuat mereka mampu menangani hipertensi agar tekanan darahnya tetap terkendali
(Yusnanda & Pratiwi, 2022). Pengetahuan tentang hipertensi yang telah dimiliki ibu-ibu
dapat menyadarkan dan percaya diri untuk melakukan gaya hidup sehat sehingga dapat
mengatasi masalah kesehatan yang menyertai kehamilannya dan tidak cemas (Suparji et
al.,2022; Tanti & Silaban, 2022). Evaluasi kegiatan pengabdian masyarakat ini dilakukan
dengan pendampingan kepada peserta penyuluhan atau mitra ibu hamil. Evaluasi dengan
melakukan post-test pada mitra dan penjelasan Kembali kepada mitra jika masih terdapat
permasalahan mengenai hipertensi dalam kehamilan dan pencegahannya.
2.5 Patofisiologi Hipertensi Dan Pengobatan Hipertensi Pada Kehamilan
 patofisiologi hipertensi
Setiap gangguan hipertensi dalam kehamilan dapat menyebabkan preeklampsia. Ini terjadi
pada hingga 35% wanita dengan kehamilan hipertensi dan hingga 25% dari mereka dengan
hipertensi kronis.Patofisiologi yang mendasari yang menjunjung tinggi transisi ke, atau
superposisi, preeklampsia ini tidak dimengerti; Namun, itu dianggap terkait dengan
mekanisme penurunan perfusi plasenta yang menginduksi disfungsi endotel vaskular
sistemik.Hal ini timbul karena invasi sitotrofoblas yang kurang efektif ke spiral uterus
arteri.Hipoksia plasenta yang dihasilkan menginduksi kaskade peristiwa inflamasi,
mengganggu keseimbangan angiogenik faktor, dan menginduksi agregasi platelet, yang
semuanya menghasilkan dalam disfungsi endotel bermanifestasi secara klinis sebagai
sindrom preeklampsia. Ketidakseimbangan angiogenik terkait dengan perkembangan
preeklampsia termasuk menurun konsentrasi faktor angiogenik seperti vaskular faktor
pertumbuhan endotel (VEGF) dan faktor pertumbuhan plasenta (PIGF) dan peningkatan
konsentrasi antagonisnya, tyrosine kinase 1 (sFlt-1) seperti fms yang larut dalam plasenta.
Menghambat pengikatan VEGF dan PIGF ke reseptornya adalah faktor dalam pengurangan
sintesis oksida nitrat, yang penting faktor dalam remodeling vaskular dan vasodilatasi, yang
mungkin sebaliknya dapat memperbaiki iskemia plasenta. Earlyonset preeclampsia (EOPE),
terjadi sebelum 34 minggu kehamilan, diperkirakan terutama disebabkan oleh stres
sinsitiotrofoblas yang menyebabkan plasentasi buruk, sedangkan preeklampsia onset lambat
(LOPE), terjadi pada atau setelah 34 minggu, dipahami sebagai sekunder dari plasenta yang
tumbuh lebih besar darinya sirkulasi sendiri. Perlu disebutkan bahwa EOPE lebih sering
dikaitkan dengan pembatasan pertumbuhan janin daripada LOPE, karena durasi disfungsi
plasenta yang lebih lama. Selama periode postpartum, hingga 27,5% wanita dapat
berkembang menjadi hipertensi de novo. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk
mobilisasi cairan dari interstisial ke ruang intravaskular, pemberian cairan dan agen
vasoaktif. Pergeseran cairan meningkatkan stroke volume dan curah jantung hingga 80%,
diikuti dengan kompensasi mekanisme diuresis dan vasodilatasi, yang melembutkan kenaikan
tekanan darah. Patofisiologi hipertensi dalam kehamilan menjadi sangat relevan ketika
meninjau saat ini keadaan terapi tambahan untuk antihipertensi yang dapat membantu
mencegah preeklampsia.

Pengobatan Hipertensi Dalam Kehamilan


 Pengobatan pilihan berat hipertensi
Secara historis, berbagai agen telah digunakan untuk akut menurunkan tekanan darah,
termasuk hydralazine, berbagai kalsium penghambat saluran, metildopa, diazoksida,
prostasiklin, urapidil ketanserin, prazosin, isosorbid, dan bahkan magnesium sulfat. Paling
umum digunakan dalam beberapa tahun terakhir adalah hydralazine intravena, labetalol
intravena, dan saluran kalsium penghambat (khususnya nifedipin oral kerja singkat; Tabel 2).
Hydralazine mungkin tidak disukai, karena dua meta-analisis, satu termasuk 35 studi (3573
wanita) dan satu lagi dengan 21 percobaan (893 wanita), telah menunjukkan bahwa wanita
hamil mengambil penghambat saluran kalsium cenderung memiliki tekanan darah tinggi yang
persisten bila dibandingkan dengan mereka yang dirawat dengan hidralazin. 57,59 Satu
review juga menyarankan bahwa hydralazine dikaitkan dengan peningkatan keseluruhan
hipotensi ibu yang merugikan, operasi caesar, solusio plasenta, oliguria, dan efek yang lebih
buruk pada denyut jantung janin dan rendah Skor Apgar 1 menit dibandingkan dengan obat
antihipertensi lainnya. 59 Upaya telah dilakukan untuk membandingkan nifedipin oral
dengan labetalol IV, tetapi meta-analisis tujuh penelitian (363 pasangan ibu-bayi) hanya
menemukan penurunan yang signifikan secara statistik dalam laporan efek samping ibu pada
mereka yang diobati dengan nifedipin (risiko relatif (RR), 0,57; 95% interval kepercayaan
(CI), 0,35–0,94); tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam pengendalian
hipertensi persisten, morbiditas atau mortalitas ibu, atau janin dan bayi baru lahir
hasil.Dengan demikian, ketiga agen terus direkomendasikan oleh pedoman internasional,3–
7,9,10 dan ACOG saat ini telah menyarankan protokol untuk ketiga agen dalam Buletin
praktik 2019 (Tabel 3). Perlu disebutkan bahwa percobaan triple-blinded, terkontrol plasebo,
pada populasi kecil (34 pasien) yang didiagnosis dengan preeklampsia berat dan diobati
dengan magnesium sulfat, membandingkan nifedipin sublingual dengan nitrogliserin
intravena. Studi menunjukkan lebih besar dan respons hipotensi yang lebih cepat, dengan
variabilitas yang lebih sedikit kelompok nitrogliserin, dan tidak ada perubahan signifikan
pada jantung janin tingkat respon terhadap terapi vasodilator, dengan efek samping janin-ibu
perinatal serupa pada kedua kelompok.

 Pengobatan pilihan tidak parah hipertensi

Dalam kasus hipertensi non-berat, yang paling umum agen lini pertama yang
direkomendasikan adalah metildopa, labetalol, dan nifedipine, dan ACOG menguraikan saran
mereka dosis dalam buletin praktik 2019 mereka (Tabel 2 dan 3). Tidak mengherankan, ada
beberapa variabilitas dalam rekomendasi spesifik, didorong oleh ketidakpastian yang mana
agen ini paling baik mencegah hasil ibu dan janin yang buruk.
 Metildopa
Methyldopa direkomendasikan sebagai agen lini pertama untuk kontrol tekanan darah yang
tidak parah oleh orang Amerika, Kanada, Pedoman Eropa dan Australia/Selandia Baru. Itu
telah dipelajari sejak tahun 1960-an20 dan memiliki keamanan jangka panjang data pada
anak-anak yang ibunya meminumnya selama kehamilan. Studi kohort prospektif
mengevaluasi hasil kehamilan di paparan trimester pertama menemukan bahwa itu tidak
teratogenik; namun, terdapat tingkat aborsi spontan yang lebih tinggi dan persalinan
prematur. Meskipun direkomendasikan oleh yang di atas pedoman, dan tercatat paling sering
digunakan oleh Masyarakat Internasional untuk Studi Hipertensi di Kehamilan, update
terbaru dari Cochrane review pengobatan antihipertensi untuk ringan sampai sedang
hipertensi pada kehamilan menunjukkan bahwa itu lebih rendah daripada calcium channel
blocker dan beta-blocker dalam hal mencegah hipertensi berat (RR, 0,70; 95% CI, 0,56-0,88,
11 percobaan, 638 wanita) dan mungkin terkait dengan lebih banyak lagi operasi caesar
daripada obat lain (risiko relatif disesuaikan (aRR), 0,84; 95% CI, 0,84–0,95, 13 percobaan,
1330 wanita). Namun, analisis subkelompok dari uji coba CHIPS menemukan hal itu mereka
yang diobati dengan metildopa daripada labetalol pasca pengacakan memiliki hasil primer
dan sekunder yang lebih baik, termasuk berat badan lahir, hipertensi berat, preeklampsia, dan
persalinan prematur. Selanjutnya, retrospektif baru-baru ini studi kohort menemukan bahwa
metildopa dikaitkan dengan hasil bayi yang merugikan lebih sedikit, termasuk gangguan
pernapasan, kejang, dan sepsis, dibandingkan dengan labetalol oral. Dengan demikian,
metildopa kemungkinan besar tidak akan dihilangkan dari lini pertama agen sampai ada bukti
yang lebih pasti menentangnya.
 Labetalol oral
Labetalol oral dianggap sebagai agen lini pertama untuk non-berat hipertensi pada kehamilan
dan sebenarnya satu-satunya agen lini pertama yang direkomendasikan oleh pedoman
Inggris.Dalam studi observasi prospektif, sekitar 75% wanita menanggapi labetalol oral
sebagai monoterapi. Uji coba acak sebelumnya yang secara langsung membandingkannya
dengan metildopa ditemukan kesetaraan dalam keamanan dan kemanjuran,dan yang lebih
baru menunjukkan keunggulan batas labetalol dalam mencegah proteinuria, hipertensi berat,
dan rawat inap antenatal; labetalol juga secara independen terkait dengan hasil komposit ibu
yang lebih sedikit dan hasil komposit perinatal. Namun, ada juga penelitian terbaru yang
menunjukkan bahwa labetalol sebenarnya lebih rendah dari metildopa dalam hal pencegahan
hasil maternal dan perinatal yang merugikan.Selanjutnya, an studi eksplorasi
membandingkan tekanan darah rawat jalan pengukuran wanita yang memakai labetalol oral
untuk mereka yang memakai nifedipine rilis yang dimodifikasi menunjukkan bahwa mereka
yang menggunakan labetalol menghabiskan lebih banyak waktu daripada pembandingnya di
bawah target diastolik 80mmHg, menunjukkan bahwa mereka mungkin berisiko lebih tinggi
terkena perfusi uteroplasenta yang buruk.Penghambat saluran kalsium. Penghambat saluran
kalsium khususnya nifedipin kerja panjang, lebih disukai sebagai lini pertama dalam sebagian
besar pedoman. kohort prospektif menunjukkan teratogenisitas minimal ketika ibu terkena
penghambat saluran kalsium pada awalnya trimester.Selanjutnya, mereka telah terbukti lebih
unggul methyldopa dalam hal untuk mengontrol tekanan darah dan mungkin lebih aman
daripada labetalol dalam hal mengendalikan darah tekanan ke tekanan diastolik rendah yang
aman. Satu diacak uji klinis terkontrol membandingkan nifedipin oral dan labetalol pada
wanita hamil dengan hipertensi kronis. penurunan tekanan aorta sentral rata-rata 7,4mmHg
terlihat pada lengan nifedipine, tapi tekanan darah perifer efektif sama di kedua lengan.
Terjadi sedikit peningkatan di unit perawatan intensif neonatal (ICU) dan neonatal merugikan
efek pada lengan nifedipine. Data untuk amlodipin, penghambat saluran kalsium
dihidropiridin lain yang biasa diresepkan, tampaknya sangat terbatas. Tiga rangkaian kasus
menyimpulkan bahwa amlodipine tidak tampaknya teratogenik,dan studi percontohan kecil
membandingkan amlodipine dengan aspirin dan furosemide untuk pengobatan hipertensi
kronis mengungkapkan tidak ada perbedaan antara dua antihipertensi pada hasil ibu atau
perinatal.
 Penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE inhibitor) dan penghambat reseptor
angiotensin (ARB)
Penghambat RAAS telah dikontraindikasikan secara universal karena hubungannya dengan
oligohidramnion, intrauterin pembatasan pertumbuhan, dan berbagai bawaan ginjal dan
lainnya kelainan saat wanita terpapar selama detik atau trimester ketiga kehamilan. Obat-
obatan ini masuk pengawasan setelah studi kohort dari 30.000 bayi yang lahir dari ibu non
diabetes menunjukkan malformasi pada mereka yang terpapar inhibitor ACE selama trimester
pertama dibandingkan dengan mereka yang tidak terpapar antihipertensi (RR, 2,71; 95% CI,
1,72–4,27).Namun, studi tidak secara eksplisit mengontrol obesitas ibu, faktor risiko
independen untuk anomali kongenital. Selain itu, populasi yang diteliti dibingungkan oleh
wanita dengan diabetes yang tidak terdiagnosis atau diet terkontrol, faktor risiko independen
lain untuk cacat lahir.Studi kohort retrospektif serupa menemukan peningkatan risiko cacat
jantung bawaan pada mereka terkena ACE inhibitor dibandingkan dengan kontrol
normotensif (ATAU, 1,54; 95% CI, 0,90–2,62), meskipun ada OR serupa ditemukan pada
mereka yang terpapar antihipertensi lain (OR, 1,52; CI 95%, 1,04–2,21). Selain itu,
dibandingkan dengan kontrol hipertensi (mereka yang tidak diberi obat), tidak ada
peningkatan risiko kelainan jantung (OR, 1,14; 95% CI, 0,65–1,98 dan ATAU, 1,12; 95% CI,
0,76–1,64). Beberapa lainnya studi, baik prospektif maupun retrospektif, juga menghilangkan
prasangka tersebut risiko malformasi kongenital, khususnya terkait paparan trimester pertama
terhadap ACE inhibitor dan ARB. Penghambat ACE tetap menjadi agen lini pertama dalam
hipertensi di luar kehamilan,dan bersama dengan ARB, mereka juga diindikasikan untuk
pencegahan komplikasi mikrovaskular diabetes.Karena ambang baru yang lebih rendah untuk
diagnosis hipertensi, dan peningkatan angka diabetes di kaum muda, lebih banyak wanita
akan memenuhi syarat untuk ACE inhibitor dan ARB pada usia reproduksi. Sejak sekitar
setengah kehamilan tidak direncanakan, kemungkinan banyak wanita pada agen ini secara
tidak sengaja akan mengekspos mereka janin sampai mereka mengetahui bahwa mereka
hamil dan memilikinya antihipertensi dialihkan. Karena itu, sangat penting untuk memahami
profil keamanan trimester pertama, karena akan membantumengarahkan manajemen
prakonsepsi.
 Diuretik tiazid
Diuretik tiazid dianggap sebagai terapi lini kedua untuk hipertensi non-berat per ACOG dan
Hipertensi Kanada, tetapi tidak direkomendasikan oleh ESC, Society Kedokteran Kebidanan
Australia dan Selandia Baru, dan Pedoman NICE Inggris. Tiazid secara rutin diresepkan
sebagai profilaksis pada 1960-an karena dianggap menghilangkan edema dapat mencegah
preeklampsia, terlepas dari status hipertensi.Hal ini didorong oleh percobaan dengan lebih
dari 3000 pasien diacak untuk tiazid atau tanpa tiazid, menunjukkan kelompok tiazid
memiliki lebih sedikit "toksemia" (istilah yang kemudian digunakan untuk preeklampsia),
kematian perinatal, dan kelahiran prematur. Praktik ini menyusut ketika para peneliti mulai
mempercayainya ekspansi volume darah plasma yang tidak adekuat pada kehamilan mungkin
berkorelasi dengan preeklampsia.Data lebih lanjut tidak mendukung keprihatinan ini.
Percobaan prospektif acak ditemukan bahwa ada tingkat yang lebih rendah dari ekspansi
volume darah plasma pada wanita yang diobati dengan diuretik dibandingkan dengan mereka
yang bukan; namun, tidak ada perbedaan dalam hasil perinatal.Sehubungan dengan efek pada
preeklampsia, satu metaanalisis meninjau percobaan (7000 wanita) dan menunjukkan
penurunan preeklampsia dengan penggunaan diuretik,meskipun review Cochrane yang lebih
baru (5 studi, 1836 wanita) melakukannya tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan
pada preeklamsia, prematur kelahiran, atau SGA dalam uji coba yang membandingkan
diuretik thiazide dengan plasebo atau tidak sama sekali.
 Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan risiko hipertensi postpartum
Gangguan hipertensi pada kehamilan dapat terjadi setelah persalinan. Satu penelitian
terhadap 151 wanita menunjukkan bahwa 5,7% dari mereka mengembangkan preeklampsia
atau eklampsia postpartum; lainnya studi menemukan bahwa dari 22 pasien datang ke
keadaan darurat departemen dengan preeklampsia hingga 4 minggu setelah melahirkan, 55%
adalah de novo. Penyebab hipertensi postpartum multifaktorial; sebagai tubuh mencoba untuk
kembali ke fisiologi prahamil, yang meliputi mobilisasi cairan ekstraseluler ke dalam ruang
intraseluler, tekanan darah dapat lebih meningkat dengan cairan dan NSAID yang diberikan
sebagai bagian dari perawatan suportif. NSAID berada di bawah pengawasan ketika
serangkaian kasus enam pasien di Australia, beberapa di antaranya mengalami preeklamsia
selama kehamilan, berkembang menjadi hipertensi krisis setelah diberikan indometasin atau
ibuprofen di periode postpartum. Studi yang lebih besar memiliki konflik bukti. Satu studi
kohort retrospektif membandingkan 223 wanita dengan gangguan hipertensi berat kehamilan,
148 yang telah menerima NSAID dan 75 yang tidak, menunjukkan paparan itu tidak terkait
dengan peningkatan rata-rata tekanan arteri postpartum. Dua kontrol acak uji coba yang
membandingkan penggunaan asetaminofen dengan ibuprofen pada wanita dengan
preeklampsia berat pada periode postpartum tercapai hasil yang bertentangan: satu
menunjukkan lebih signifikan hipertensi pada lengan ibuprofen,dan yang lainnya ditemukan
bahwa tidak ada perbedaan dalam durasi hipertensi berat atau tekanan arteri rata-rata. Dengan
demikian, ACOG melakukannya tidak menyarankan untuk tidak menggunakannya pada
periode postpartum.
2.6 Klasifikasi Hipertensi Pada Kehamilan
Hipertensi pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg. Dibagi menjadi
ringansedang (140 – 159 / 90 – 109 mmHg) dan berat (≥160/110 mmHg)7. Pada semua
wanita hamil, pengukuran tekanan darah harus dilakukan dalam posisi duduk, karena posisi
telentang dapat mengakibatkan tekanan darah lebih rendah daripada yang dicatat dalam posisi
duduk. Diagnosis hipertensi pada kehamilan membutuhkan pengukuran tekanan darah dua
kali terjadi hipertensi setidaknya dalam 6 jam. Pada kehamilan, curah jantung meningkat
sebesar 40%, dengan sebagian besar peningkatan karena peningkatan stroke volume. Denyut
jantung meningkat 10x/menit selama trimester ketiga. Pada trimester kedua, resistensi
vaskular sistemik menurun, dan penurunan ini dikaitkan dengan penurunan tekanan darah.
 Hipertensi pada kehamilan dapat digolongkan menjadi:
1) pre-eklampsia/ eklampsia,
2)hipertensi kronis pada kehamilan,
3) hipertensi kronis disertai pre-eklampsia dan
4) hipertensi gestational.

1.Pre-eklampsia dan Eklampsia


Pre-eklampsia adalah sindrom pada kehamilan (>20 minggu), hipertensi (≥140/90 mmHg)
dan proteinuria (>0,3 g/hari). Terjadi pada 2-5% kehamilan dan angka kematian ibu 12-
15%7. Pre-eklampsia juga dapat disertai gejala sakit kepala, perubahan visual, nyeri
epigastrium, dan dyspnoea. Beberapa faktor telah diidentifikasi terkait dengan peningkatan
risiko pre-eklampsia seperti usia, paritas, pre-eklampsia sebelumnya, riwayat keluarga,
kehamilan ganda, kondisi medis yang sudah ada sebelumnya (diabetes mellitus tipe I),
obesitas dan resistensi insulin, hipertensi kronis, penyakit ginjal, penyakit autoimun, sindrom
anti-fosfolipid, penyakit rematik), merokok, peningkatan indeks massa tubuh (BMI),
peningkatan tekanan darah, dan proteinuria. Selain itu, beberapa faktor yang terkait termasuk
keterpaparan sperma yang terbatas, primipaternitas, kehamilan setelah inseminasi donor /
sumbangan oosit / embrio telah ditemukan memainkan peran penting pada kejadian pre-
eklampsia/eklampsia.
• Faktor risiko pre-eklampsia/eklampsia
adalah hipertensi kronis, obesitas, dan anemia parah . Faktor risiko utama pre-eklampsia
adalah sindrom antifosfolipid, relative risk, pre-eklampsia sebelumnya, diabetes tipe I,
kehamilan ganda, belum pernah melahirkan (nulliparity), sejarah keluarga, obesitas, usia >40
tahun, hipertensi. Sindrom antibodi antifosfolipid, pre-eklampsia sebelumnya, hipertensi
kronik, diabetes tipe I, teknologi pembantu reproduksi dan BMI (body mass index) sangat
berkaitan erat dengan terjadinya pre-eklampsia. Eklampsia adalah terjadinya kejang pada
wanita dengan pre-eklampsia yang tidak dapat dikaitkan dengan penyebab lainnya.
Eklampsia keadaan darurat yang dapat mengancam jiwa, terjadi pada sebelum, saat, dan
setelah persalinan (antepartum, intrapartum, postpartum). Eklampsia didahului dengan sakit
kepala dan perubahan penglihatan, kemudian kejang selama 60-90 detik.
• Prinsip manajemen kejang eklampsia
i) Menjaga kesadaran
ii) Menghindari polifarmasi
iii) Melindungi jalur nafas dan meminimalkan risiko aspirasi
iv) Mencegah cedera pada ibu hamil
v) Pemberian magnesium sulfat untuk mengontrol kejang
vi) Mengikuti proses kelahiran normal.
• Sindrom HELLP (Haemolysis Elevated Liver enzymes Low Platelet count)
HELPP terjadi pada < 1% dari seluruh kehamilan, tetapi terjadi pada 20% komplikasi
kehamilan dengan pre-eklampsia berat. HELPP dapat terjadi pada sebelum, saat dan setelah
kehamilan. Diagnosis cukup sulit karena gejalanya mirip dengan penyakit lain. Evaluasi
membutuhkan tes darah komplit dan tes transaminase hati. Wanita dengan HELPP sebaiknya
diberi magnesium sulfat saat masuk rumah sakit hingga 24-48 jam setelah persalinan.

Waktu Persalinan Untuk Pre-Eklampsia

1. Direncanakan persalinan secara konservatif


2. Dilakukan pengamatan intensif
3. Dilakukan persalinan sebelum minggu ke-34 jika: terjadi hipertensi berat hingga sesak
nafas, ibu atau janin terancam
4. Merekomendasikan persalinan setelah minggu ke-34 jika tekanan darah terkontrol
5. Merekomendasikan persalinan dengan waktu 24-48 jam setelah minggu ke-37 pada
pre-eklampsia sedang/ringan.

2.Hipertensi kronis pada kehamilan


Hipertensi kronis pada kehamilan apabila tekanan darahnya ≥140/90 mmHg, terjadi sebelum
kehamilan atau ditemukan sebelum 20 minggu kehamilan. Seringkali merupakan hipertensi
esensial / primer, dan didapatkan pada 3,6-9% kehamilan. Hipertensi kronis pada kehamilan
adalah hipertensi ( 140/90 mmHg) yang telah ada sebelum kehamilan. Dapat juga didiagnosis
sebelum minggu ke-20 kehamilan. Ataupun yang terdiagnosis untuk pertama kalinya selama
kehamilan dan berlanjut ke periode post-partum. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi
kronis terjadi sebelum minggu ke-20 kehamilan, dapat bertahan lama sampai lebih dari 12
minggu pasca persalinan.
Hipertensi, obesitas dan usia merupakan faktor risiko hipertensi kronis. Hipertensi kronis
pada Kehamilan meningkatkan risiko pre-eklampsia, pertumbuhan janin, persalinan dini, dan
kelahiran dengan ceasar. Wanita hipertensi yang hamil memiliki kecenderungan mengalami
pre-eklampsia, eklampsia, sindroma HELLP, detachment plasenta, gagal hati, gagal ginjal
dan sesak nafas karena cairan pada paru.
Hipertensi kronis pada kehamilan umumnya berasal dari hipertensi essensial terlihat dari
riwayat keluarganya. Tetapi bisa juga berasal dari kelainan ginjal parenkim, hiperplasia
fibromuskular atau hiperaldosteronisme hanya saja kasusnya jarang. Hipertensi kronis berat
(SBP ≥ 180 mmHg dan atau DBP ≥ 110 mmHg akan disertai dengan penyakit ginjal,
kardiomiopati, koarktasion aorta, retinopati, diabetes (B sampai F), kolagen vaskular,
sindrom antibodi antifosfolipid, pre-eklampsia. Wanita hamil dengan hipertensi kronis berat
memiliki risiko tinggi terkena stroke, serbral hemorage, hipertesi encelopati, pre-eklampsia,
serangan jantung, gagal ginjal akut, abruptio plasenta, koagulopati intravaskular diseminata
dan kematian Mayoritas wanita hipertensi kronis mengalami penurunan tekanan darah
menjelang akhir trimester pertama sekitar 5-10 mmHg mirip seperti siklus pada wanita
normal. Bahkan ada beberapa yang menjadi normal tekanan darahnya. Kemudian tekanan
darah naik kembali pada trimester ketiga sehingga mirip dengan hipertensi gestasional. Tetapi
hipertensi kronis dapat bertahan sampai lebih dari 12 minggu setelah persalinan.
Wanita hipertensi kronis setelah persalinan memiliki kemungkinan terkena komplikasi edema
pulmonari, hipertensi enselopati dan gagal ginjal. Sehingga perlu dilakukan terapi anti
hipertensi yang baik untuk mengontrol tekanan darah.

Penanganan hipertensi kronis pada kehamilan


1.Pemberitahuan bila mengonsumsi ACE inhibitor:
+ terdapat peningkatan risiko gangguan kongenital
+ berdiskusi memilih obat hipertensi alternatif
2.Pemberitahuan bila mengonsumsi chlorothiazide:
+ terdapat peningkatan risiko gangguan kongenital dan komplikasi neonatal
+ berdiskusi memilih obat hipertensi alternatif
3.Menjaga tekanan darah kurang dari 150/100 mmHg saat kehamilan
Waktu persalinan untuk hipertensi kronik Tekanan darah < 160/110 mmHg dengan atau tanpa
obat anti hipertensi tidak diperbolehkan melakukan persalinan sebelum 37 minggu
kehamilan. Tekanan darah < 160/110 mmHg dengan atau tanpa obat anti hipertensi setelah 37
minggu melakukan konsultasi mengenai hari persalinan. Persalinan dapat dilakukan setelah
kartikosteroids selesai.

3. Hipertensi kronis yang disertai preeklampsia


Orang dengan hipertensi sebelum kehamilan (hipertensi kronis) memiliki risiko 4-5 kali
terjadi preeklampsia pada kehamilannya. Angka kejadian hipertensi kronis pada kehamilan
yang disertai preeklampsia sebesar 25%. Sedangkan bila tanpa hipertensi kronis angka
kejadian pre-eklampsia hanya 5% 13,7. Hipertensi yang disertai pre-eklampsia biasanya
muncul antara minggu 24-26 kehamilan berakibat kelahiran preterm dan bayi lebih kecil dari
normal (IUGR).

Diagnosis Hipertensi Kronis Yang Disertai Preeklampsia


Wanita hipertensi yang memiliki proteinuria kurang lebih 20 minggu kehamilan diikuti
dengan; peningkatan dosis obat hipertensi, timbul gejala lain (peningkatan enzim hati secara
tidak normal), penurunan trombosit > 100000/mL, nyeri bagian atas dan kepala, adanya
edema, adanya gangguan ginjal (kreatinin ≥ 1.1 mg/dL), dan peningkatan ekskresi protein.
Hipertensi kronis disertai pre-eklampsia ada 2. Hipertensi kronis disertai pre-eklampsia berat.
Peningkatan tekanan darah, adanya proteinuria dengan adanya gangguan organ lain.
Hipertensi kronis disertai pre-eklampsia ringan. Hanya ada peningkatan tekanan darah dan
adanya proteinuria.

4.Hipertensi gestasional
Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang terjadi setelah 20 minggu kehamilan tanpa
proteinuria. Angka kejadiannya sebesar 6%. Sebagian wanita (> 25%) berkembang menjadi
pre-eklampsia diagnosis hipertensi gestasional biasanya diketahui setelah melahirkan.
Hipertensi gestasional berat adalah kondisi peningkatan tekanan darah > 160/110 mmHg.
Tekanan darah baru menjadi normal pada post partum, biasanya dalam sepuluh hari. Pasien
mungkin mengalami sakit kepala, penglihatan kabur, dan sakit perut dan tes laboratorium
abnormal, termasuk jumlah trombosit rendah dan tes fungsi hati abnormal. Hipertensi
gestasional terjadi setelah 20 minggu kehamilan tanpa adanya proteinuria. Kelahiran dapat
berjalan normal walaupun tekanan darahnya tinggi. Penyebabnya belum jelas, tetapi
merupakan indikasi terbentuknya hipertensi kronis di masa depan sehingga perlu diawasi dan
dilakukan tindakan pencegahan.

Waktu Persalinan Untuk Hipertensi Gestational


Tekanan darah < 160/110 mmHg dengan atau tanpa obat anti hipertensi tidak diperbolehkan
melakukan persalinan sebelum 37 minggu kehamilan. Tekanan darah < 160/110 mmHg
dengan atau tanpa obat anti hipertensi setelah minggu ke-37 melakukan konsultasi mengenai
hari persalinan. Persalinan dapat dilakukan setelah kartikosteroids selesai.

Anda mungkin juga menyukai