Anda di halaman 1dari 18

Perbandingan Gugatan Class Action di Indonesia dan Amerika Serikat

(Studi Kasus Putusan No.12/Pdt.G/2013/PN. Grt dengan Docket No.14-


1146 Tyson Foods, Inc. V. Bouaphakeo et. al.)

disusun oleh:
Alzena Bernadine (1806183141)
Maysa Arifa Widyasukma (1806182706)
Muhammad Raihan Alhadi (1806182851)
Siti Kanina Ramadhina (1806182800)
Triani Hana Sofia (1806234211)

Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Depok
2020
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gugatan Class Action sudah dikenal pada beberapa negara, salah satunya di Indonesia
sendiri dan Amerika Serikat. Gugatan perwakilan kelompok di Amerika Serikat, pertama
kali berasal dari tradisi common law di Inggris pada awal abad ke-18. Sebelum tahun
1873, penerapan class action di Inggris diberlakukan pada Court of Chancery. Baru
kemudian pada tahun 1873, dengan diundangkannya Supreme Court Judicature Act di
Inggris, class action mulai digunakan Supreme Court di Inggris.1 Sedangkan di Indonesia
terdapat beberapa peraturan yang menjadi landasan penerapan Class Action, yaitu UU
No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, UU No.18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, dan UU NO 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU
No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. 2 Kemudian sejalan dengan perkembangan
penggunaan Class Action, diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok sebagai dasar hukum pelaksanaannya.
Dalam prosedur penetapan gugatan Class Action di Indonesia dan Amerika Serikat
tentunya terdapat kesamaan dan perbedaan diantara keduanya. Makalah ini dibuat untuk
mengetahui perbandingan prosedur penetapan gugatan Class Action di kedua negara
tersebut dengan melakukan analisis terhadap Putusan No.12/Pdt.G/2013/PN. Grt dengan
Docket No.14-1146 Tyson Foods, Inc. V. Bouaphakeo et. al.

1.2 Pokok Permasalahan


1. Bagaimana perbedaan dan persamaan prosedur penyelesaian sengketa gugatan class
action di Indonesia dan Amerika Serikat?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa gugatan class action dalam Putusan
No.12/Pdt.G/2013/PN. Grt dan Docket No.14-1146 Tyson Food, Inc. V. Bouaphakeo,
et. al.?
3. Bagaimana pertimbangan hakim terkait syarat dan mekanisme pengajuan gugatan
class action yang diajukan oleh penggugat?

1
Dennis R. Klinck, Conscience Equity and the Court of Chancery in Early Modern England,
(Burlington: Ashgate Publishing, 2010) hlm. 141.
2
Ibid.
PEMBAHASAN

2.1. Gugatan Class Action di Indonesia


A. Pengertian Class Action di Indonesia
E. Sundari menjelaskan bahwa dalam sistem hukum civil law tidak dikenal
prosedur gugatan perwakilan kelompok, namun karena mempunyai banyak manfaat
kemudahan yang efisien dan ekonomis, prosedur pengajuan gugatan class action ini
semakin berkembang dan diadopsi oleh negara-negara lain penganut sistem hukum
civil law termasuk di Indonesia.3 Istilah Class Action berasal dari bahasa Inggris, yang
dapat diartikan bahwa “class” adalah sekumpulan orang, benda, kualitas atau kegiatan
yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri. Sedangkan “action” dalam bahasa hukum
adalah berarti tuntutan yang diajukan ke pengadilan. 4 Menurut Black’s Law
Dictionary, class action adalah sekelompok besar orang yang berkepentingan dalam
suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut mewakili kelompok besar
orang tersebut tanpa perlu menyebut satu peristiwa satu anggota yang diwakili
Pengertian class action menurut PERMA No. 1 tahun 2002 adalah suatu tata
cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk diri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili
sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan fakta atau dasar
hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. 5

B. Dasar Hukum Class Action di Indonesia


Pengaturan mengenai Gugatan class action di Indonesia secara materiil baru
diatur sejak tahun 1997 yaitu dengan lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Selain itu pada
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-
Undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga terdapat pengaturan mengenai
gugatan ini. Mengenai prosedur gugatan dalam Gugatan Class Action baru diatur
pada tahun 2002 dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun

3
E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya
di Indonesia), (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002) hlm. v.
4
Dani Saliswijaya, Himpunan Peraturan tentang Class Action, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2004), hlm. vii.
5
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung, Nomor 1 Tahun 2002, Ps. 1 (a).
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Mas Achmad Santosa dan
Wiwiek Awiati dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengakui
Peraturan Mahkamah Agung tersebut mempunyai arti penting karena akan
memberikan kepastian penanganan terhadap gugatan perwakilan kelompok. Apalagi
selama ini gugatan perwakilan kelompok bisa diterima atau ditolak oleh pengadilan
dengan berbagai pertimbangan, bahkan tidak sedikit hakim yang menanyakan surat
kuasa dalam kasus gugatan perwakilan kelompok.6
C. Mekanisme Gugatan Class Action di Indonesia
Berdasarkan ketentuan hukum acara class action dalam PERMA No.1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok terdapat 5 tahapan dalam gugatan
class action yaitu pengajuan berkas gugatan, proses sertifikasi, notifikasi dan
pernyataan keluar, pemeriksaan dan pembuktian, dan yang terakhir adalah
pelaksanaan putusan.7 Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Pengajuan Berkas Gugatan
Tahapan pertama dalam gugatan class action adalah pengajuan berkas
gugatan. Dalam hal ini penggugat harus memenuhi persyaratan gugatan dan
melibatkan sejumlah anggota kelompoknya. Adapun persyaratan gugatan
class action adalah jumlah anggota yang sedemikian banyak (numerosity),
adanya kesamaan antara wakil kelas dan anggota kelasnya yang dapat dilihat
dari fakta atau kesamaan hukum yang dilanggar (commonality and typicality
and similarity) dan kejujuran serta kesungguhan wakil kelompok untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya (class
protection).
2) Proses Sertifikasi
Pengadilan akan memeriksa apakah wakil kelas diizinkan untuk mewakili,
memeriksa pemenuhan syarat-syarat mengajukan gugatan, dan memeriksa
apakah gugatan tersebut tepat untuk dilakukan menggunakan class action.
3) Notifikasi dan Pernyataan Keluar
Dalam tahapan ini hakim memerintahkan penggugat dengan jangka waktu
tertentu untuk melakukan pemberitahuan kepada anggotanya. Tahapan ini
bertujuan untuk memberikan kesempatan anggota kelompok menentukan
6
Mas Achmad Santosa, Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing), (Jakarta:
ICEL), 1997, hlm. 22.
7
Admin IJRS, Explainer: Seperti Apa Gugatan Class Action di Indonesia?
http://ijrs.or.id/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia/, diakses 19 November 2020.
apakah mereka menginginkan ikut serta dan terikat dengan putusan perkara
tersebut atau tidak menginginkannya.
4) Pemeriksaan dan Pembuktian
Dalam tahapan ini proses yang dilakukan adalah sama seperti dalam perkara
perdata pada umumnya. Apabila pada sidang hari pertama penggugat tidak
hadir sedangkan tergugat atau kuasanya hadir maka gugatan digugurkan
serta penggugat dihukum membayar biaya perkara, dan apabila pada hari
pertama dan kedua tergugat yang tidak hadir sedangkan penggugat hadir
maka perkara akan diputus verstek.
5) Pelaksanaan/ Eksekusi Putusan
Dalam hal gugatan ganti rugi, hakim diharuskan memutuskan secara rinci
pembagian jumlah ganti rugi dalam gugatan yang dikabulkan, merinci siapa
saja kelompok yang berhak atas ganti rugi, mekanisme pendistribusian ganti
rugi, dan langkah yang diharuskan di jalani oleh wakil kelas dalam proses
penetapan dan pendistribusian.8
2.2 Gugatan Class Action di Amerika Serikat
A. Pengertian Class Action di Amerika Serikat
Amerika Serikat sudah mengatur prosedur class action sejak 1938 untuk
sistem peradilan federal, yakni di dalam the United State of Federal Rules of Civil
Procedure.9 Pada awalnya peradilan federal mengenal tiga jenis class action yaitu
true class action, hybrid class action serta spurious class action, namun aturan ini
direvisi pada tahun 1966 sehingga hanya dikenal satu jenis class action yang diatur
dalam Rule 23 the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966.
Berdasarkan Rule 23 (a) the United State of Federal Rules of Civil Procedure 1966
dijelaskan bahwa class action adalah gugatan yang diajukan oleh atau terhadap satu
orang atau lebih yang merupakan anggota dari suatu kelompok (class) yang bertindak
untuk mewakili seluruh anggota kelompok tersebut dengan syarat (1) ada sejumlah
besar orang, (2) mempunyai permasalahan hukum, fakta serta tuntutan yang sama
serta (3) wakil yang representatif.10
B. Dasar Hukum Class Action di Amerika Serikat

8
Ibid.
9
Laras Susanti, “Materi dan Prosedur Penetapan Gugatan Perwakilan Kelompok:
Studi Perbandingan Indonesia dan Amerika Serikat”, Mimbar Hukum Vol. 30, Nomor 2, (2018), hlm. 351.
10
Ibid, hlm. 352
Pada awalnya ketentuan mengenai Class Action untuk sistem peradilan federal
diatur pada tahun 1938 dalam the United State of Federal Rules of Civil Procedure
sebelum akhirnya Class Action diatur dalam Rule 23 the United State of Federal
Rules of Civil Procedure 1966.
C. Mekanisme Class Action di Amerika Serikat
Dalam konteks pengaturan federal, gugatan perwakilan kelompok di Amerika
Serikat diatur oleh Federal Rule of Civil Procedure, Rule 23 Class Action. Pasal 23
(a) menetapkan persyaratan class action sebagai berikut:11
1. Numerosity. jumlah penggugat (class) harus sedemikian banyak
sehingga melalui gugatan biasa (Joinder) menjadi tidak praktis;
2. Commonality: harus terdapat kesamaan “question of law” atau
“question of fact” diantara wakil dan anggota kelas;
3. Typicality: tuntutan maupun pembelaan dari wakil kelas haruslah
sejenis (typical) dengan anggota kelas;
4. Class Protection/Adequacy of Representation: wakil kelas harus secara
jujur dan sungguh-sungguh melindungi kepentingan dari anggota
kelas;
Rule 23 secara garis besar menyatakan mekanisme gugatan perwakilan
kelompok digunakan jika mengadili dengan perkara terpisah dapat menyebabkan
resiko inkonsistensi atau beragamnya ajudikasi dimana akan berdampak pada standar
yang tidak sesuai bagi tergugat perwakilan kelompok tersebut; ajudikasi satu individu
dapat berdampak dispositive bagi kepentingan individu lainnya. Secara umum Pasal
23 Federal Rule mengatur/memberikan dasar hukum terhadap 3 (tiga) hal yaitu:12

1. Class actions dapat merupakan class action terhadap penggugat


(Plaintiff class actions), maupun class actions sebagai tergugat
(defendant class actions);
2. Class actions memberikan otorisasi mengajukan permohonan yang
tidak terkait dengan ganti kerugian uang (injunctive atau declaratory
relief); dan
3. Class actions yang memberikan dasar tuntutan ganti kerugian uang
(“damage” class actions)
11
Sri Laksmi Anindita, “Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan (Class Action) di Pengadilan Negeri
Indonesia Khususnya di Jakarta”, (Thesis Magister Universitas Indonesia, 2003), hlm. 23
12
Ibid. hlm. 26
Pada tahap awal gugatan class action, hakim pengadilan di Amerika Serikat
melakukan penilaian atau biasa disebut preliminary certification test tentang isu
hukum dan faktual yang dipersoalkan, kemampuan pengacara, dan motivasi dari para
pihak beserta pengacara. Penilaian ini bersifat fleksibel dan sangat tergantung diskresi
hakim.13 Setelah gugatan masuk dengan mekanisme perwakilan kelompok dikabulkan
oleh certification order, tahapan selanjutnya adalah pretrial. Pada tahap ini dibuka
peluang untuk perdamaian, pencabutan gugatan atau kompromi. Terhadap
permohonan perdamaian, pencabutan gugatan maupun kompromi, pengadilan harus
memberikan pemberitahuan kepada anggota kelompok terhadap ketentuan dimana
anggota punya hak untuk keluar.
Pengadilan dapat menunjuk kuasa hukum untuk kelompok. untuk penunjukan
ini, hakim akan menentukan biaya representasi dan biaya yang tidak dikenakan pajak.
Hakim mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau perjanjian
yang dibuat oleh para pihak. Hakim harus memberitahukan kepada anggota kelompok
dan yang menolak dapat mengajukan perlawanan dimana hakim dapat meneruskan
pada special master atau magistrate judge sebelum menetapkan biaya tersebut.
2.3 Perbandingan Gugatan Class Action di Indonesia dan Amerika
Terdapat beberapa perbedaan antara Gugatan Class Action di Indonesia dan
Amerika. Perbedaan pertama terletak pada Persyaratan yang harus diajukan untuk
gugatan kelompok. Di Indonesia persyaratan yang harus diajukan untuk gugatan
kelompok diatur dalam Pasal 1 huruf a PERMA No. 1 Tahun 2002 yaitu:
1. Jumlahnya sangat banyak (Numerosity)
2. Terdapat kesamaan fakta, dasar hukum yang bersifat substansial, serta
kesamaan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompok.
(Commonality & Typicality)
3. Wakil kelompok jujur, dan melindungi kepentingan anggota kelompok.
(Adequacy of Representation)
4. Hakim dapat menganjurkan tentang pengacara
Sedangkan di Amerika, Persyaratan yang harus diajukan untuk gugatan
kelompok diatur oleh Federal Rule of Civil Procedure, Rule 23 Class Action yaitu
sebagai berikut:

13
Ibid. hlm 27
1. Numerosity. jumlah penggugat (class) harus sedemikian banyak sehingga
melalui gugatan biasa (Joinder) menjadi tidak praktis;
2. Commonality: harus terdapat kesamaan “question o f law” atau “question of
fact” diantara wakil dan anggota kelas;
3. Typicality: tuntutan maupun pembelaan dari wakil kelas haruslah sejenis
(typical) dengan anggota kelas;
4. Class Protection/Adequacy of Representation: wakil kelas harus secara jujur
dan sungguh-sungguh melindungi kepentingan dari anggota kelas.
Dari penjelasan di atas terdapat kesamaan antara materi gugatan Class Action
di Indonesia dan Amerika Serikat, dimana kedua negara sama-sama mensyaratkan
empat unsur yang harus terpenuhi yaitu numerosity, commonality, typicality, dan
adequacy of representation. Kemudian, dalam hal surat gugatan, Indonesia tunduk
kepada ketentuan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yaitu menurut HIR dan
RBG dengan memperhatikan persyaratan formal surat gugatan Sesuai PERMA RI No.
1 Tahun 2002. Surat gugatan harus memuat identitas para pihak, posita, petitum,
pengelompokan anggota kelas berdasarkan tuntutan, tata cara pendistribusian ganti
rugi. Sedangkan di Amerika Persyaratan Surat Gugatan tidak diatur dalam Pasal 23
Federal Code, dan Class Action negara bagian mengatur terutama negara bagian
Florida yang mengaturnya secara detail.
Proses pemeriksaan perkara dengan menggunakan class action di Indonesia
sejatinya adalah sama dengan proses acara perdata pada umumnya. Hanya saja, pada
pemeriksaan gugatan perwakilan kelompok (class action) dibagi menjadi 2 tahap
yaitu:14

1. Tahap awal, dimana hakim akan menentukan terlebih dahulu, apakah gugatan
telah memenuhi syarat untuk diajukan menggunakan gugatan perwakilan
kelompok (class action). Tahap ini adalah tahap hakim menentukan sah atau
tidaknya suatu gugatan menggunakan gugatan perwakilan kelompok (class
action).
2. Tahap pemeriksaan substansial, tahap ini adalah tahap dimana gugatan
perwakilan kelompok (class action) telah di sahkan dan dilanjutkan pada
pemeriksaan pokok perkara atau subtsansi perkara.

14
Laras Susanti, Materi…., hlm. 353
Sedangkan di Amerika Serikat, pemeriksaan formal atau procedural disebut
dengan certification. Pada tahap awal gugatan class action, hakim pengadilan di
Amerika Serikat melakukan penilaian (diistilahkan realistic appraisal) tentang isu
hukum dan faktual yang dipersoalkan, kemampuan pengacara, dan motivasi dari para
pihak beserta pengacara (preliminary certification test).15
Berdasarkan Rule 23, hal-hal yang berkait dengan pemeriksaan formal
gugatan perwakilan kelompok di Amerika Serikat, adalah:
1. Terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu Numerosity, Commonality,
Typicality, dan Adequacy of Representation;
2. Pemeriksaan formal yang dilakukan oleh hakim akan ditetapkan dengan
certification order yang berisi apakah masuknya gugatan dikabulkan atau
ditolak dengan mekanisme perwakilan kelompok.
3. Terhadap certification order dapat dilakukan upaya hukum banding ke
pengadilan federal circuit, hal ini tidak menghentikan proses pemeriksaan
gugatan kecuali ada perintah dari hakim distrik atau hakim banding federal.
4. Setelah gugatan masuk dengan mekanisme perwakilan kelompok dikabulkan
oleh certification order, tahapan selanjutnya adalah pretrial. Pada tahap ini
dibuka peluang untuk perdamaian, pencabutan gugatan atau kompromi.
5. Terhadap permohonan perdamaian, pencabutan gugatan maupun kompromi,
pengadilan harus memberikan pemberitahuan kepada anggota kelompok
terhadap ketentuan dimana anggota punya hak untuk keluar.
6. Pengadilan dapat menunjuk kuasa hukum untuk kelompok. untuk penunjukan
ini, hakim akan menentukan biaya representasi dan biaya yang tidak
dikenakan pajak. Hakim mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Hakim harus
memberitahukan kepada anggota kelompok dan yang menolak dapat
mengajukan perlawanan dimana hakim dapat meneruskan pada special master
atau magistrate judge sebelum menetapkan biaya tersebut.
Terkait waktu pemeriksaan, di Amerika dilakukan pada awal proses
persidangan setelah diajukan permohonan khusus Class Action-motion (setelah surat
gugat didaftarkan) sedangkan di Indonesia dilakukan pada awal proses persidangan
setelah gugatan diajukan, sebelum jawaban. Selanjutnya terkait notifikasi, menurut
PERMA RI No. 1 Tahun 2002, notifikasi dilakukan setelah hakim mengeluarkan
15
Sri Laksmi Anindita, Pelaksanaan…., hlm. 27
sertifikasi atas gugatan tersebut dan terhadap usulan notifikasi tersebut telah mendapat
persetujuan dari majelis hakim. Sedangkan Pemberitahuan (notifikasi) di Amerika
adalah The best notice practicable.16 Dalam Pemberitahuan wajib diberikan untuk opt
out, pemberitahuan diberitahukan kepada anggota kelas yang tidak menyatakan keluar
bahwa keputusan akan mengikat mereka. Di Amerika Serikat, semua anggota kelas
yang tidak menyatakan opt out berhak hadir ke persidangan. Sedangkan di Indonesia,
pemberitahuan (notifikasi) merupakan pemberitahuan yang practicable, dan terdapat
hak opt out.17 Pemberitahuan juga wajib diberikan segera setelah hakim memutuskan
bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah. Di
Indonesia, pemberitahuan diberitahukan pada tahap penyelesaian dan pendistribusian
ganti rugi. Beban biaya pemberitahuan di Amerika ditanggung oleh Penggugat
kecuali ditentukan lain atas putusan hakim dan di Indonesia juga ditanggung oleh
pihak penggugat kecuali ditentukan lain atas putusan hakim. Bentuk keputusan di
Amerika adalah Court Order, sedangkan di Indonesia adalah penetapan sela. Bentuk
administrasi pelaksanaan ganti kerugian di Amerika dilakukan dengan menunjuk
master (akuntan), yang terdiri dari perwakilan para pihak dan pihak independen,
seluruh proses atau pengawasan hakim yang memeriksa, sedangkan di Indonesia
ditetapkan oleh hakim dalam putusan pengadilan. Selanjutnya terkait opt in/opt ut,
Amerika dan Indonesia terdapat sistem opt out18

2.4 Analisis Putusan

A. Putusan Nomor No.12/Pdt.G/2013/PN.Grt


Para Pihak:
Penggugat: ASEP ZAENAL ARIPIN, ACHMAD TAMDJID
Tergugat: Pemerintah Kabupaten Garut Republik Indonesia, Sekretaris Daerah
Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, Kepala Bagian Bagian Pemerintah
Daerah Kabupaten Garut, Pimpinan Perusahaan Daerah BPR Kecamatan
Bungbulan (PD BPR), Dewan Pengawas Perusahaan Daerah Bank BPR
Kecamatan Bungbulan

16
Sri Laksmi Anindita, Pelaksanaan…., hlm. 71
17
Ibid. hlm 114
18
Ibid.
Kasus Posisi
Bank Perkreditan Rakyat adalah badan usaha milik pemerintah daerah
berdasarkan Peraturan Daerah Tingkat II Garut No.9 Tahun 1996. Perusahaan Daerah
Bank Rakyat Bungbulan Garut (PD BPR Bungbulan Garut) menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito berjangka. Sejak didirikan, bank
tersebut telah menghimpun dana milik masyarakat termasuk penggugat, sebanyak
Rp.3.997.346.372,00 (Tiga milyar sembilan ratus sembilan puluh tujuh juta tiga ratus
tujuh puluh dua rupiah). Kemudian pada tanggal 7 November 2007, simpanan para
nasabah baik yang berupa tabungan maupun deposito/simpanan berjangka, tidak bisa
diambil dengan alasannya yang tidak jelas, padahal Para Penggugat berhak untuk
mengambil/mencairkan simpanan berupa tabungan mereka kapan saja dan pada waktu
yang telah ditentukan untuk simpanan yang berbentuk deposito. Kemudian, tidak ada
siapapun yang berhak menahan seluruh simpanan tersebut dan menahan hak milik
Para Penggugat terhadapnya tanpa ada dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu para
penggugat menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji
(wanprestasi) yang merugikan para penggugat. Berdasarkan tabel rincian simpanan
yang digunakan penggugat untuk bukti, bank menyimpan saldo tabungan dengan suku
bunga 7%/tahun selama 5.5 tahun sebanyak Rp.219.863.725,00 dan menyimpan
deposito dengan suku bunga sesuai kesepakatan per tahun selama 5.5 Tahun sebanyak
Rp.7.583.875.050,00 sehingga jika diakumulasikan dana yang disimpan bank adalah
Rp.7.803.738.775,00, sedangkan jumlah keseluruhan atas simpanan tabungan dan
deposito tanpa bunga adalah Rp.3.997.346.372,00.
Sejak bulan November tahun 2007, PD.BPR Bungbulan telah dicabut izin
usahanya Oleh Bank Indonesia dan dinyatakan sebagai bank likuidasi oleh Lembaga
Penjamin Simpanan, yang berarti bank tersebut tidak boleh beroperasional dan
menjalankan usahanya dan berdasarkan Undang-undang No.24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan segala aset dan simpanan akan diambil alih oleh LPS,
akan tetapi majelis hakim berpendapat bahwa setiap keputusan yang dibuat oleh Bank
PD.BPR ditanggung oleh para Tergugat dikarenakan menurut Peraturan Daerah No.9
Tahun 1996 yang menyatakan Direksu bertanggung jawab kepada bupati Kepala
Daerah melalui Dewan Pengawas (Pasal 10 ayat (3) lalu tata cara dan tata tertib
menjalankan tugas Direksi ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah (Pasal 14) dengan
begitu segala kegiatan usaha, perbuatan maupus segala kebijakan yang ditetapkan PD.
BPR Bugbulan sudah diketahui dan disetujui oleh pemilik PD. BPR serta kewenangan
yang diberikan oleh atas nama pemilik PD.BPR Bungbulan, sehingga berdasarkan
Pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan “Seseorang tidak saja bertanggung jawab
untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan perbuatan yang disebabkan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya”. Para tergugat bertanggung jawab atas wanprestasi yang dilakukan
PD.BPR.
Penggugat adalah wakil kelas dan gugatan yang diajukan merupakan gugatan
class action
Para penggugat adalah orang yang memiliki kedudukan dan kepentingan
hukum selaku wakil kelompok dalam kaitan prosedur gugatan perwakilan kelompok
(class action), wakil kelompok mewakili sekelompok orang yang sama-sama
menderita kerugian akibat perbuatan ingkar janji yang dilakukan PD.BPR. Para
penggugat (wakil kelompok) tidak dipersyaratkan mendapatkan kuasa khusus dari
anggota kelompok sebagaimana ketentuan Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2002 yang
menyatakan “untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok
tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok”.
Kemudian, gugatan para penggugat telah menggunakan mekanisme yang diakui
dalam peraturan perundang-undangan, yaitu prosedur gugatan dimana pihak wakil
kelompok bertindak tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga sekaligus mewakili
anggota kelompok yang jumlahnya banyak dengan menderita kerugian yang sama. 19
Kemudian, penggugat adalah nasabah yang mengalami kerugian akibat wanprestasi
oleh tergugat, terdiri dari 764 orang (tujuh ratus enam puluh empat orang), lalu sesuai
dengan Pasal 7 PERMA No.1 Tahun 2002 keberadaan para penggugat yang memiliki
kepentingan dan kedudukan hukum sebagai wakil kelompok dari anggota
kelompoknya akan mengumumkan secara luas (notifikasi) lewat media cetak dan
elektronik agar diketahui keberadaan para penggugat dan proses gugatan perwakilan
kelompok dapat diikuti.
Berdasarkan uraian tersebut diatas yang disertai dengan alasan- alasan gugatan
secara lengkap, maka Para Penggugat memohon Yth. Ketua Pengadilan Negeri Garut
Cq Majelis Hakim Pengadilan Negeri Garut yang memeriksa, mengadili dan memutus
perkara ini berkenan agar gugatan perwakilan kelompok ini dapat ditetapkan dan

19
Pasal 1 PERMA No.1 tahun 2002
dikabulkan, mengingat Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

Pertimbangan hakim terkait syarat dan mekanisme pengajuan gugatan class


action yang diajukan oleh penggugat
Berdasarkan PERMA No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, Majelis hakim telah melakukan pemeriksaan pendahuluan (proses
sertifikasi) dan berpendapat bahwa gugatan Para Penggugat telah memenuhi syarat
formil gugatan sebagaimana dalam Hukum Acara Perdata maupun ketentuan dalam
PERMA No. 1 Tahun 2002. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fakta bahwa terdapat
kesamaan peristiwa atau fakta, kesamaan dasar hukum dan kesamaan jenis tuntutan
serta adanya perlindungan kepentingan anggota kelas yang diwakili. Oleh karena itu
hakim menolak eksepsi dari Tergugat I, II dan II dan mengabulkan Gugatan
Perwakilan Kelompok (Class Action) Para Penggugat untuk sebagian.

B. Docket No.14-1146 TYSON FOODS, INC. V. BOUAPHAKEO et al


Para Pihak:
1. TYSON FOOD, INC.
Sebagai penggugat dalam Banding (awalnya tergugat)
2. BOUAPHAKEO et al
Sebagai tergugat dalam Banding (awalnya penggugat)
Kasus Posisi
Dalam Supreme Court of United States Docket No.14-1146 tergugat yang
sebelumnya adalah pemohon adalah buruh dari pihak pemohon Tyson Food yang
mengajukan banding. Dalam kasus a quo, Tergugat bekerja sebagai buruh di Tyson
Food yang dalam pekerjaan sehari-harinya melakukan penyembelihan dan
pemotongan babi di pabrik. Pekerjaan ini membuat para tergugat harus menggunakan
pakaian khusus yang wajib digunakan saat melaksanakan tugasnya. Pemakaian
pakaian khusus ini berikutnya akan disebut ‘donning and doffing’.
Dalam gugatan awal tergugat kepada Tyson Food, para tergugat merasa
dirugikan dikarenakan dalam satu minggu mereka harus bekerja selama 40 jam,
sedangkan dalam satu hari tergugat harus melakukan ‘donning and doffing’ pada
waktu makan siang dan saat pulang kerja yang memakan waktu 18 menit untuk sektor
pemotongan daging babi dan 21.25 menit untuk sektor penyembelihan babi, jika
diakumulasikan dalam satu minggu akan menyebabkan overtime dari waktu kerja 40
jam per minggu tergugat, akan tetapi penggugat tidak melakukan pembayaran
terhadap jam lembur yang disebabkan oleh ‘donning and doffing’. Berdasarkan Fair
Labor Standards Act 1938 (FLSA) dan 29 U. S. C. §216, penggugat diharuskan
membayarkan overtime terhadap para pekerjanya, akan tetapi tidak dilakukan.
Sehingga, para tergugat mencari sertifikasi dari klaim negara bagian Iowa untuk
membuat gugatan perwakilan di bawah Federal Rule of Civil Procedure 23 dan
sertifikasi klaim FLSA 1938 mereka sebagai "tindakan kolektif." Kemudian
Pengadilan Negeri menyimpulkan permasalahan yang dibahas adalah apakah
‘donning and doffing’ harus dikompensasi oleh penggugat berdasarkan FLSA 1938,
karena tidak semua pekerja memakai pakaian khusus yang sama. Untuk itu demi
membuktikan pelanggaran terhadap ketentuan lembur FLSA, pengadilan distrik Iowa
meminta para pekerja untuk menunjukkan mereka bekerja lebih dari 40 (empat puluh)
jam seminggu termasuk waktu yang dihabiskan untuk melakukan ‘donning and
doffing’. Namun, para pekerja gagal membuktikan waktu yang mereka habiskan untuk
‘donning and doffing’ dalam satu minggu, sehingga mereka menggunakan studi yang
dilakukan oleh pakar hubungan industrial, Dr.Kenneth Mericle sebagai bukti.
Pada studi Dr. Mericle dinyatakan bahwa para pekerja dalam melakukan
‘donning and doffing’ membutuhkan waktu 18 menit untuk sektor pemotongan daging
babi dan 21.25 menit untuk sektor penyembelihan babi, perkiraan ini kemudian
dimasukan kedalam jam kerja para pekerja dan memperjelas pekerja mana saja yang
bekerja lembur. Penggugat menyatakan bahwa dalam studi Dr. Mericle terdapat
banyak perbedaan variasi waktu sehingga jika tergugat menggunakan studi Dr.
Mericle untuk pembuktian dianggap kurang benar, karena nantinya penggugat
diharuskan membayarkan uang kepada pekerja yang tidak bekerja lebih dari 40 jam
per minggu. Para juri mengabulkan permintaan tergugat dengan memberikan $2.9 juta
dalam bentuk upah belum terbayarkan, walaupun belum dibagikan kepada para
pekerja, pengabulan permohonan tergugat juga diakui oleh Pengadilan Tinggi Iowa.
Dinyatakan bahwa Pengadilan Distrik Iowa tidak menemukan error atau
kesalahan dalam sertifikasi gugatan Class Action para pekerja dan memutuskan
bahwa gugatan class action tergugat diakui. 20 Sebelum mengesahkan sebuah Class
Action berdasarkan Federal Rule of Civil Procedure 23(b) (3), pengadilan distrik
harus menemukan permasalahan umum yang akan mendominasi seluruh
20
Docket No.14-1146 Tyson Foods, Inc. V. Bouaphakeo, et al. baca Held, hlm. 2
permasalahan yang hanya mempengaruhi individu dalam gugatan kelas tersebut.
Tergugat sepakat bahwa permasalahan umum pada gugatan adalah apakah kegiatan
‘donning and doffing’ yang menyebabkan overtime dapat dikompensasi berdasarkan
FLSA, sehingga syarat penemuan masalah umum oleh pengadilan distrik telah
dipenuhi dan dalam Federal Rule of Civil Procedure 23 gugatan perwakilan yang
memenuhi prasyarat class (b)(3) dianggap paling superior dibanding bentuk gugatan
perwakilan yang lainnya karena dianggap lebih efisien dan adil dalam memutus
permasalahan utamanya dan tidak terdapat keraguan dalam permasalahan utama
antara para pihak pengaju gugatan perwakilan.21
Dalam kasus a quo, tergugat menggunakan bukti statistik dari Dr. Mericle
sebagai bukti (classwide liability) gugatan perwakilan dan menurut penggugat hal itu
tidak dapat dilakukan dikarenakan gugatan perwakilan dilakukan atas nama
kelompok, yang berarti setiap individu belum tentu sesuai dengan sampel Dr. Mericle.
Akan tetapi, menurut kasus Erica P. John Fund, Inc. v. Halliburton Co., dapat atau
tidaknya bukti statistik menjadi classwide liability tergantung pada tujuan dimana
bukti itu diperkenalkan pada “unsur-unsur utama penyebab tindakan”. 22 Menurut
pengadilan distrik penggunaan bukti statistik sebagai bukti yang mewakili seluruh
gugatan perwakilan tidak dapat dianggap tidak patut, karena bisa jadi itu satu-satu
cara untuk menggunakan bukti dalam gugatan perwakilan. Kemudian, tergugat dapat
menunjukan bahwa sample Mericle adalah cara yang diizinkan untuk penetapan jam
kerja dalam gugatan class action dengan menyatakan bahwa tiap individu dalam class
action dapat mengandalkan sample Mericle untuk menjadi bukti jika para tergugat
mengajukan gugatan sendiri-sendiri. Pada akhirnya, gugatan penggugat ditolak
majelis hakim Supreme Court dikarenakan para tergugat telah berhasil membuktikan
klaim mereka di Pengadilan Distrik.

Penggugat adalah wakil kelas dan gugatan yang diajukan merupakan gugatan
class action
Tergugat merupakan buruh di perusahaan penggugat, hal ini menyebabkan
adanya hubungan hukum antara penggugat dan tergugat. Berdasarkan Federal Rules
Civil Procedure 23(a) dalam gugatan perwakilan dinyatakan satu atau lebih anggota
gugatan perwakilan dapat digugat atau menggugat perwakilan anggota sebagai

21
Federal Rule of Civil Procedure 23(b)(3)
22
Erica P. John Fund, Inc. v. Halliburton Co., 563 US 804, 809
perwakilan dari semua anggota apabila (1) anggota berjumlah banyak hingga
penggabungan semua anggota tidak praktis; (2) terdapat persamaan dalam
permasalahan anggota-anggota tersebut; (3) klaim yang diajukan oleh perwakilan
anggota mirip dengan klaim para anggota yang ada di dalam kelas tersebut; dan (4)
perwakilan anggota akan secara adil dan memadai melindungi kepentingan kelas.
Pada gugatan para tergugat Peg Bouaphakeo merupakan perwakilan dari sekumpulan
orang yang memiliki permasalahan yang sama yaitu mengharapkan pembayaran atas
jam lembur mereka. Kemudian, Peg Bouaphakeo juga memberikan klaim yang
memadai kepentingan kelas yang akhirnya berhasil memenangkan pembuktian di
depan para juri pengadilan distrik, sehingga dapat dipastikan ia melindungi
kepentingan kelas secara memadai dan adil. Dengan begitu gugatan yang diajukan
sudah memenuhi seluruh persyaratan di Federal Rules Civil Procedure 23 untuk
mendapatkan sertifikasi dan diakui sebagai Gugatan Class Action oleh Pengadilan
Distrik.

Pertimbangan hakim terkait syarat dan mekanisme pengajuan gugatan class


action yang diajukan oleh penggugat
Pengadilan memutuskan bahwa sertifikasi kelas sesuai dengan Federal Rule of
Civil Procedure 23 gugatan perwakilan yang memenuhi prasyarat class (b)(3) dimana
para tergugat mengandalkan studi Dr.Mericle tentang waktu yang dihabiskan untuk
aktivitas ‘donning and doffing’ yang juga dapat digunakan, jika para tergugat dalam
kelompok mengajukan gugatan sendiri-sendiri atas pelanggaran FLSA. Kemudian,
studi Dr. Mericle juga berhasil mempertahankan keputusan juri tentang berapa lama
waktu yang dihabiskan para pekerja, jika aktivitas ‘donning and doffing’ dimasukan
ke dalamnya. Jika menurut penggugat penggunaan studi menggagalkan sertifikasi
kelas tergugat, hal ini menurut juri tidak tepat karena kegagalan pembuktian penyebab
gugatan dibuat hanya akan membuat pengadilan mengajukan pertanyaan tersebut
untuk keputusan ringkasan bukan membatalkan sertifikasi.

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Gugatan Class Action di Indonesia dilaksanakan berdasarkan PERMA No. 1 Tahun


2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dalam pelaksanaannya terdapat 5
tahapan yaitu pengajuan berkas gugatan, proses sertifikasi, notifikasi dan pernyataan keluar,
pemeriksaan dan pembuktian, dan yang terakhir adalah pelaksanaan putusan. Adapun
Gugatan Class Action di Amerika dilaksanakan berdasarkan Rule 23 the United State of
Federal Rules of Civil Procedure 1966, dalam pelaksanaannya terdapat tahapan yang serupa
dengan tahapan di Indonesia. Namun terdapat 1 tahapan yang membedakan terhadap kedua
negara ini, yaitu tahap preliminary certification test yang ada di Amerika.
Berdasarkan uraian analisis perbandingan diatas, dapat dilihat bahwa pengaturan
mengenai class Action di Indonesia masih terdapat beberapa hal yang belum diatur
sebagaimana pengaturan class Action di Amerika dan sebaliknya.

3.2 Saran

Berdasarkan uraian mengenai perbandingan penerapan gugatan class action di


Indonesia dan Amerika Serikat dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan dan persamaan dalam
keduanya. Baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat tentu memiliki kelebihan dan
kekurangan terkait prosedur pelaksanaan gugatan class action. Ketentuan lebih detail dalam
Rules 23 Federal Code of Civil Procedure seharusnya dapat dijadikan suatu saran untuk
perubahan ketentuan di Indonesia agar mengoptimalkan pelaksanaan prosedur gugatan class
action demi terciptanya keadilan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Saliswijaya, Dani. Himpunan Peraturan tentang Class Action, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Klinck, Dennis R. Conscience Equity and the Court of Chancery in Early Modern England,
Burlington: Ashgate Publishing, 2010.
Santosa, Mas Achmad. “Hak Gugat Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing),
Jakarta: ICEL, (1997).
B. ARTIKEL
Susanti, Laras. “Materi dan Prosedur Penetapan Gugatan Perwakilan Kelompok Studi
Perbandingan Indonesia dan Amerika Serikat”, Mimbar Hukum, Vol. 30, Nomor 2,
(2018).
Sundari, E. “Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan
Penerapannya di Indonesia), Universitas Atmajaya. (2002)
C. SKRIPSI/TESIS/DISERTASI
Anindita, Sri Laksmi. “Pelaksanaan Hak Gugat Perwakilan (Class Action) di Pengadilan
Negeri Indonesia Khususnya di Jakarta” Thesis Magister Universitas Indonesia,
Jakarta, 2003.
D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung, Perma Nomor 1 Tahun 2002.
United State of America, The Federal Rules of Civil Procedure 1938.
E. PUTUSAN PENGADILAN
Docket No.14-1146 Tyson Foods, Inc. V. Bouaphakeo, et al.
Erica P. John Fund, Inc. v. Halliburton Co., 563 US 804, 809
F. INTERNET
Admin IJRS, Explainer: Seperti Apa Gugatan Class Action di Indonesia?
http://ijrs.or.id/explainer-seperti-apa-gugatan-class-action-di-indonesia/, diakses 19
November 2020.

Anda mungkin juga menyukai