Anda di halaman 1dari 3

SRI WILATIKTA BRAHMARAJA XI

Diaba
d 21 ini kedatangan beliau ke Bali adalah sesuai dengan visi dan misi dalam mengurus
kerabat Majapahit yang ada di Jawa Timur dan Bali yaitu untuk menegaskan kembali
peradaban Hindu Bali dengan mempertebal keyakinan umat terhadap Leluhur/Kawitan
dengan praktek nyata/karya nyata Beliau membikin dan memelihara kembali Palinggih Stana
Kawitan Pusat di seluruh daerah yang ada di Jawa dan bali yaitu menyempurnakan kembali
Pura Majapahit(Bali) dalam bidang Adat Budaya Nusantara baik di wilayah
Negara,Tabanan,Badung,Bangli,Singaraja,Gianyar,dan Karangasem lewat Budaya pemersatu
kerukunan umat(Nguri nguri Leluhur).Karena umat sekarang lebih condong mencari jalan
singkat langsung menuju Tuhan yang Maha Esa tanpa melalui jalur yang sudah ada yaitu
jalur Kawitan, baru setelah itu kejenjang lebih tinggi untuk menuju ke Tuhan.Kapan Agama
tidak mendukung Budaya maka kepunahan di ambang pintu dan begitu juga sebaliknya kapan
agama menjunjung tinggi Budaya niscaya akan langgeng.Terbukti kita telah di wariskan oleh
pendahulu untuk tetap memelihara bahkan meningkatkan serada bakti kita terhadap Leluhur
Kawitan masing-masing untuk kembali ke Kawitan Pusat Majapahit Nusantara yang sudah di
bangun sesuai kaidah Budaya leluhur . Penegasan dan penerapan kembali Ageman Hindu
Bali yaitu sesuai dengan Bisama Empu Kuturan di Batu Anyar(Gianyar sekarang) yaitu
Ageman Siwa Budha yang diimflementasikan dengan membangun Klenteng/gedong
palinggih di dalam satu areal Pura yang ada dan membangun Pagoda/Meru Tumpang di
dalam satu areal Pura(kelemahan kita di Bali),sehingga kelihatan secara nyata(praktek nyata)
bentuk penghormatan kita kepada Kawitan sesuai ageman siwa budha.Di Bali Gedong Ibu
yang biasa kita temui di Pura Dalem Kayangan itu sama fungsinya dengan Kelenteng Cuma
berlainan nama saja.Begitu juga keberadaan Pagoda/Meru tumpang yang lumrah di Bali
mempergunakan atap ijuk di sesuaikan dengan zaman yaitu beratap cor/semen cor sesuai
perkembangan zaman karena kita harus fleksibel memilih bahan bangunan alternative apabila
nanti bahan ijuk atap sudah langka keberadaannya tanpa mempengaruhi estetika yang sudah
ada.Memperkenalkan Arca-arca/Pratima Leluhur Kawitan Pusat(umurnya 100an tahun yang
masih disimpan dan disungsung) yang dulunya khusus untuk persembahyangan Raja-raja di
tanah Jawa untuk masyarakat umum guna lebih mempertebal srada bhakti dalam pemusatan
pikiran, sehingga bhakti kita tidak ngawur dan hampa.Ini lebih menyempurnakan untuk
pendahulunya yaitu Danghyang Dwijendra dalam penerapan
Padmasana(padma=lingga,asana=duduk)ARTINYA tempat duduk Beliau, beliau yang mana
didudukkan di Padmasana yang kosong itu(ilmiah)……???jawabannya adalah Hyang
Widhi/Tuhan dalam wujud/manifestasi apa yang kita sembah,jadi Hyang Widhi itu kita
wujudkan dalam bentuk Lingga/Pratima sesuai yang kita Puja,misalnya semisal Dewa Siwa
haruslah ada Pratima Siwa di rong Padmasana sehingga umat tidak memuja Kekosongan
terutama bagi masyarakat awam,bagi yang sudah mengerti tidak menjadi masalah,tapi bagi
masyarakat awam justru ini sama dengan pembodohan umat.Sehingga Sulinggih yang
berhasil adalah ketika Beliau mampu memberikan umatnya pemahaman yang benar dan jelas.
Di Bali sekarang ini sering kita dengar dan digembar-gemborkan “Ajeg Bali”tapi
kenyataannya di masyarakat masih terdengar bentrok karena khasus Pelaba Pura,khasus
kasepekang,khasus tidak boleh dikubur di setra desa adat dll dsb,justru kejadian ini
berkembang di daerah yang Sulinggihnya Ngetop di Bali dengan Darmawacana-nya,tapi
berbanding terbalik dengan prilaku umatnya(berita Koran).jadi kita kurang dalam penerapan
Budha tatwa(budi pekerti luhur).
Jadi kita memuja beliau jelas dan tidak sembunyi-sembunyi lagi(atau memang
disembunyikan untuk egosentris bagi kaum tertentu saja),atau takut dikatakan
pindah/menjiplak Agama Buddha(karena penganut Buddha lebih mengutamakan
Arca/Pratima dalam pemujaannya),padahal kalau dicari sejarah Leluhur kita semua jelas
berpulang dari Lingga Yoni/Bapak Ibu/Siwa Budha/Purusha Predhana/Akasa Pertiwi/Langit
Bumi.Kebanyakan di Bali menganut Purusha tatwa dan mengambil hukum waris garis
purusha(Siwa tatwa=penerapan ke luar/keatas tanpa noleh ke dalam) lebih mempokuskan
serana bebantenan saja tanpa mampu menjabarkan makna dan filosofinya untuk masyarakat
umum dan jarang mengambil hukum waris predana(Buddha tatwa=penerapan ke dalam).Dan
ini sudah jelas dalam Bisama di “Pura Samuan Tiga”Gianyar.
Kenapa kita tidak menggabungkan keduanya yaitu pemujaan Purusha Predana dalam satu
areal pura(keluar dan kedalam) sehingga kita tidak lagi dipisah-pisah dan di cerai berai oleh
pihak luar yang ingin merongrong Ageman kita yang di sebut Ageman Budaya yang
Adiluhung.coba pakai akal sehat(ilmiah) ,bagaimana seandainya bapak dan ibu dicerai sudah
tentu anaknya juga tercerai berai luntang lantung tanpa punya pegangan dan didikan yang
cukup,hidup melarat,hidup di garis kemiskinan,inikah yang diinginkan oleh Pentolan-
pentolan orang Bali yang nigtig tangkah mebela pati untuk jagad Bali…..????.Jadi Beliau
lebih menekankan penerapan dari “Ageman Siwa Budha”untuk diperdalam dan
diimplementasikan dalam karya dan praktek nyata dan bukan hanya slogan semata.Inilah
contoh Pura yang sudah di wariskan kepada anak cucunya dan sudah mengembangkan
Ageman Siwa Budha di Bali,yaitu :Pura Tegeh Koripan(Penulisan), Pura Batur(Bangli),Pura
Dalem Balingkang(Bangli),Pura Besakih(Karangasem),Pura Dalem Ped(Kelungkung),
Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak,
Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget,
Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, terakhir yang
paling baru adalah Pura Ibu Majapahit Jimbaran Badung(tempat beliau bermukim yaitu Puri
Surya Majapahit). Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja
beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya dsb,dst dll. Jadi
semua Pura yang ada di Bali adalah sesuai dengan Lontar-lontar yang dibawa dari tanah
jawa(Majapahit Pusat) yang diterapkan oleh keturunannya di Bali,begitulah adat Budaya
yang sudah terkenal di seluruh jagad Raya ini jangan sampai kita tinggalkan beralih dengan
ageman yang langsung menuju Tuhan tanpa melalui Kawitan sebelum kalian kwalat/Tulah
kepada bisama Leluhur Kawitan semua.(lihat pis bolong dua sisi).

Tidak ada larangan untuk belajar ke India,Mesir,Arab maupun Negeri Cina,tapi harus
diseleksi mana yang sesuai untuk diterapkan di Tanah Ibu Pertiwi ini sehingga tidak
bertentangan dengan adat Budaya Nusantara,katakan benar bila benar dan katakan keliru
kalau memang keliru karena masih ada waktu untuk berbenah,selamat berkarya
nyata….bersambung.

Anda mungkin juga menyukai