Anda di halaman 1dari 7

Bentuk Nasionalisme

Semangat kebangsaan dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian dari paham negara atau
gerakan yang berdasarkan pendapat warga negara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi.
Beberapa bentuk dari semangat kebangsaan, meliputi:

1. Nasionalisme agama
Nasionalisme agama sebagai bentuk di mana negara memperoleh legitimasi politik dari
persamaan agama. Seperti semangat nasionalisme di Irlandia yang bersumber dari agama Hindu.
Jadi, bagi kebanyakan kelompok nasionalis beranggapan bahwa agama hanya merupakan simbol
dan bukanlah motivasi utama.

2. Nasionalisme kenegaraan 
Ini merupakan variasi semangat kebangsan kewarganegaraan yang digabungkan dengan
nasionalisme etnis. Dalam nasionalisme kenegaraan, bangsa adalah suatu komunitas yang
memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan dan kekuatan negara. Misalnya, fasisme Italia
yang menganut slogan Mussolina: Tutto nello stato, niente al di fuori dello stato, nulla contro lo
stato (semuanya di dalam negara, tidak ada satupun yang di luar negara, tidak ada satupun yang
menentang negara). Tidaklah mengherankan jika nasionalisme ini bertentangan dengan cita-cita
kebebasan individual dan prinsip demokrasi liberal.

3. Nasionalisme budaya
Nasionalisme budaya sebagai sejenis semangat kebangsaan di mana negara memperoleh
kebenaran politik dari budaya bersama dan bukan dari sifat keturunan seperti warna kulit, rasa
dan sebagainya. Misalnya, rakyat Cina yang menganggap negara berdasarkan budaya bersama.
Unsur ras telah dikesampingkan, sehingga golongan minoritas telah dianggap sebagai rakyat
Cina.

4. Nasionalisme romantic
Nasionalisme romantic sebagai bentuk nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran
politik sebagai suatu yang alamiah (organic) dan merupakan ekspresi dari bangsa atau ras.
Nasionalisme romantic menitikberatkan pada budaya etnis yang sesuai dengan idealism
romantic.

5. Nasionalisme etnis atau etnonasionalisme


Nasionalisme etnis sejenis semangat kebangsaan di mana negara memperoleh kebenaran politik
dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Keanggotaan suatu bangsa bersifat secara turun
temurun.

Contohnya, Ani merupakan orang dari Jawa karena orang tua dan nenek moyangnya berasal dari
suku Jawa. Ani menggunakan bahasa Jawa karena bahasa itu digunakan oleh orang tuanya dan
orang-orang sebelumnya.

6. Nasionalisme kewarganegaraan (nasionalisme sipil) 


Semangat kebangsaan di mana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif
rakyatnya. Keanggotaan suatu bangsa bersifat sukarela. Bentuk nasionalisme dibangun pertama-
tama oleh Jean- Jacques Rousseau dan menjadi bahan tulisannya. Di antara tulisannya yang
terkenal adalah buku yang berjudul Du Contract Social (kontrak sosial).

Tujuan Nasionalisme
Pada dasarnya, rasa semangat kebangsaan mempunyai tujuan untuk beberapa hal sebagai berikut:

 Menjamin kemauan dan kekuatan mempertahankan masyarakat nasional melawan musuh


dari luar sehingga melahirkan semangat rela berkorban atau bela negara.
 Menghilangkan ekstremisme atau tuntutan yang berlebihan dari warga negara.
 Dapat mempererat tali persaudaraan antar masyarakat.
 Menumbuhkan rasa cinta tanah air.
 

Prinsip Nasionalisme 
Semangat kebangsaan dalam negara, dijiwai oleh lima prinsip nasionalisme, yaitu :

1. Kesatuan
Ini sebagai kesatuan dalam wilayah teritorial, bangsa, bahasa, ideology dan doktrin kenegaraan,
sistem politik atau pemerintah, sistem perekonomian, sistem pertahanan keamanan dan aturan
kebudayaan.

2. Kebebasan
Memberi kita kebebasan dalam beragama, berbicara, berpendapat secara lisan dan tulisan serta
berkelompok dan berorganisasi.

3. Kesamaan 
Prinsip ini menjelaskan tentang setiap anggota bangsa mempunyai kesamaan dalam kedudukan
hukum, hak dan kewajiban.

4. Kepribadian 
Prinsip identitas yaitu mempunyai harga diri, rasa bangga dan rasa sayang terhadap kepribadian
dan identitas bangsanya yang tumbuh sesuai dengan sejarah dan kebudayaan.

5. Demokrasi 
Prinsip demokrasi ini memandang bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak dan
kewajiban yang sama. Karena pada hakikatnya kebangsaan adalah adanya tekad untuk hidup
bersama mengutamakan kepentingan bangsa dan negara yang tumbuh dan berkembang dari
bawah untuk bersedia hidup sebagai bangsa yang bebas, merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

6. Prestasi 
Prestasi yaitu cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan serta kebesaran dan kemanusiaan dari
bangsanya.

Contoh Sikap Nasionalisme


Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk memberi contoh dari sikap semangat kebangsaan
yang dapat dilakukan setiap hari, antara lain:

1. Merasa bangga menjadi warga negara Indonesia.


2. Mencintai tanah air dengan segenap hati tanpa menjelekkan negara lain.
3. Melakukan upacara bendera.
4. Mempunyai toleransi dalam menjalani kehidupan antar masyarakat.
5. Melestarikan budaya-budaya Indonesia yang kaya.
6. Menjaga persatuan bangsa dengan tidak melakukan hal-hal yang negatif.
7. Menjaga nama baik bangsa atau mengharumkan dalam berbagai ajang bergengsi.
8. Menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dalam membela kemerdekaan
Indonesia.
9. Memberikan pendidikan yang mumpuni pada anak bangsa, khususnya pendidikan moral
agar menjadi pribadi dewasa yang tidak mudah terpengaruh hal-hal buruk.
10. Selalu tertib menaati setiap aturan yang ada dan mencerminkannya dalam kehidupan sehari-
hari.
11. Mengawasi lingkungan dan interaksi anak di lingkungan sekitar.
12. Sebagai pengajar menanamkan sikap menghormati jasa para pahlawan dan cinta tanah air.
13. Memberikan bekal pendidikan moral pada anak muda agar tidak gampang menyerap hal-hal
negatif.
14. Pengaruh buruk dapat mengancam ketahanan nasional.
15. Menjaga ketertiban dan kerukunan di lingkungan tempat tinggal.
Contoh Sikap yang Bertolak Belakang dari Nasionalisme
Adapun, contoh sikap bertolak belakang dari nasionalisme adalah:

1. Lebih mementingkan kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan sendiri atau


primordialisme.
2. Bertindak menciptakan kepanikan, pembunuhan, keresahan dan suasana tidak nyaman di
lingkungan.
3. Sikap keras kepala teguh pada pendirian sendiri.
4. Menggunakan segala cara demi tujuan pribadi.
5. Lebih mementingkan diri sendiri.
Ada beberapa unsur nasionalisme yang tumbuh dari semnagat kebangsaan. Unsur nasionalisme
tidak datang dalam diri seseorang melainkan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti perasaan
nasional, agama, peralatan nasional, bahasa nasional dan watak nasional.

Kesantunan Berbahasa

Oleh: Harlin, S.S.


(Peneliti Bahasa Kantor Bahasa Maluku)

Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak bisa lepas dari dalam diri manusia. Bahasa selalu
hadir dalam segala aktivitas atau kegiatan manusia. Malah sampai pada bermimpipun, bahasa itu tetap
selalu ikut serta. Bahasa bisa membuat kita banyak teman atau disenangi orang, tetapi juga bisa membuat
kita banyak musuh atau dibenci orang. Oleh karena itu kita harus memiliki kesantunan dalam berbahasa.

Kesantunan, kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang  berlaku dalam
masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan kesantunan atau santun adalah halus dan
baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan. Jadi kesantunan berbahasa tercermin
dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara  berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita
tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekadar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara
berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur  budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan
dipergunakannya suatu bahasa dalam  berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sopan
dan tidak  sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya
dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Kesantunan berbahasa seseorang mencermikan sikap kepribadiannya.

Ada beberapa hal yang harus dihindari oleh pemakai bahasa dalam berkomunikasi agar tuturan yang
disampaikan santun dan tidak melanggar norma.

1. Jangan mempermalukan lawan tutur. Hindari kata bernada mengejek, menyepelekan, menghina,
dan merendahkan lawan tutur. Contoh:

“Anak itu bukan malas, melainkan goblok”.

Bandingkan:

“Anak Ibu sebetulnya cukup pandai, hanya kadang-kadang kurang tekun.

2. Jangan menyombongkan diri, membanggakan diri, atau memuji diri di hadapan lawan tutur.

“Anakku itu memang hebat, selalu menjadi juara kelas dan baru lulus ujian nasional dengan angka rata-
rata sembilan koma lima kemarin.

Bandingkan:

“Anakku sebenarnya biasa-biasa saja, cuma tekun sehingga sering menjadi juara kelas, dan dalam ujian
nasional lulus dengan angka lumayan.

3. Jangan menghina atau menjelek-jelekkan milik orang lain sehingga orang tersebut merasa tidak
senang dan marah.

“Motormu yang sudah butut itu buang saja ke got.


Bandingkan:

“Motormu ini bila dirawat  dengan baik tentu tampaknya lebih bagus; saya pun masih ingin memilikinya.

4. Jangan menunjukkan perasaan senang terhadap kemalangan yang dialami orang lain.

“Nenekmu meninggal di kampung, tidak apalah karena semua orang juga akan meninggal”.

Bandingkan:

Saya turut sedih atas meninggalnya nenekmu di kampung; tabahlah, semua kita juga akan mengalami hal
yang sama.

5. Jangan menyatakan ketidaksetujuan atau ketidaksepakatan dengan lawan tutur.

“Saya tidak sepakat kalau kamu mau menyelesaikan pekerjaan itu seorang diri”.

Bandingkan:

“Saya yakin kamu bisa menyelesaikan; tetapi bagaimana kalau kita kerjakan berdua, mungkin hasilnya
akan lebih baik.

6. Jangan gunakan kalimat langsung untuk menyuruh atau menolak suatu permintaan dari lawan
tutur.

“Antarkan surat ini ke kantor Bupati!”

Bandingkan:

“Kalau Anda tidak berkeberatan bisakah Anda mengantarkan surat ini ke kantor Bupati”.

7. Jangan memaksa lawan tutur Anda untuk melakukan sesuatu.

“Anda harus datang ke rumah saya besok sore”.

Bandingkan:

“Dapatkah Anda datang ke rumah saya besok sore?”

Selain beberapa hal yang perlu dihindari dalam bertutur, ada juga beberapa hal yang harus dilakukan oleh
petutur agar tuturan santun dan tidak melanggar norma.

1. Membuat lawan tutur merasa senang.

A    : Saya memerlukan uang tiga ratus ribu untuk membayar sewa rumah bulan ini.

B     : Jangan khawatir kebetulan saya punya, nanti saya pinjamkan.

2. Memberi pujian kepada lawan tutur.

A    : Tulisanku tentang suka duka anak jalanan dimuat dalam surat kabar yang terbit di            Jakarta.

B    : O, selamat ya, kamu memang hebat.

3. Menunjukkan persetujuan kepada lawan tutur

A    : Setelah lulus kuliah nanti saya ingin kembali ke daerah menjadi guru di sana.

B     : Saya setuju sekali sebab kalau bukan putra daerah yang membangun daerahnya,   siapa lagi?

4. Sebagai penutur kita harus bersikap rendah terhadap lawan tutur,

A   : Kemeja yang kamu pakai bagus sekali, beli di mana?


B   : Ah, ini cuma kemeja murahan. Belinya pada pedagang di pinggir jalan

5. Penutur harus memberi simpati pada lawan tutur.

A  : Rumah orang tuaku di daerah hancur tertimbun longsor.

B  : Saya turut sedih mendengarnya. Ya, rupanya bencana alam tidak memilih-milih korban.

6. Menggunakan kosakata yang secara sosial budaya terasa lebih santun dan sopan.

A   : Dia dikuburkan di kota kelahiranya

Bandingkan:

A  : Beliau dimakamkan di kota kelahirannya.

7. Menggunakan kata sapaan dan kata ganti yang sesuai dengan identitas sosial penutur dan lawan
tutur.

A   : Bu, apakah ibu akan mengadakan ujian susulan?

B   : Ya, minggu depan.

8. Menggunakan kata “maaf” bila harus menyebutkan kata-kata yang dianggap tabu.

Hasil visum dokter menyatakan bahwa, “maaf” selaput darah jenazah telah robek.

9. Menggunakan kalimat tidak langsung dalam menyuruh.

Ruangan ini terasa panas sekali. (Misalnya ucapan seorang dosen kepada para mahasiswanya dengan
maksud  menyuruh membuka jendela).

10. Menggunakan kalimat “berputar”

A   : Saya ingin mengajak makan malam hari ini di rumah, saya.

B  : Wah, undangan yang sangat menarik; tetapi malam ini rasanya tidak bisa karena harus mengantar ibu
ke dokter, bagaimana kalau hari lain?

11. Dalam meminta maaf gunakan kata “maaf” yang disertai dengan penjelasan dan akan lebih
santun lagi kalau diawali dengan kata “mohon”

Mohon maaf atas kenakalan anak-anak saya.

12. Gunakan kata” mohon” untuk meminta batuan,

Mohon untuk tidak merokok di ruangan ini

1. Kesantunan Berbahasa Chaer (2010: 14) mendefinisikan bahasa sebagai sebuah sistem lambang bunyi
yang bersifat arbitrer dan digunakan sebagai alat komunikasi atau interaksi sosial. Menurut Prof.
Anderson bahasa merupakan suatu sistem vokal unik dan dinamis sebagai alat komunikasi yang
terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan dan budaya dimana bahasa itu berada. (Tarigan, 2009: 2-3). Definisi
lain Yusuf tentang bahasa (dalam Mirmiyanti, 2012: 3) adalah kemampuan untuk berkomunikasi dengan
orang lain dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk
mengungkapkan suatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan,
dan mimik muka. Jadi, dapat disimpulkan bahasa adalah pengungkapan pikiran dan perasaan dalam
bentuk lambang bunyi (lisan) dan visual (tulisan/gerakan) yang bersifat arbitrer dan dinamis serta
digunakan sebagai alat komunikasi dengan orang lain. Bahasa mempunyai struktur dan kaidah tertentu
yang harus dipatuhi oleh para penuturnya saat berkomunikasi atau berinteraksi dalam suatu tuturan.
Pemakaian bahasa tidak hanya memperhatikan ragam bahasa yang baik dan tata bahasa yang benar,
tetapi makna dan maksud dari bahasa tersebut tidak menyinggung atau menyakitkan hati pendengarnya
(Pranowo, 2012: 4). Penutur yang memiliki kemampuan bertutur kata yang baik, halus dan maksud dari
perkataannya jelas akan menyejukkan hati mitra tutur sehingga berkenan untuk 10 mendengarnya.
Tujuan interaksi akan tercapai dengan efektif dengan suasana yang menyenangkan dan harmonis.
Bahasa juga mencerminkan kepribadian seseorang. Melalui bahasa baik verbal (ujaran atau tulisan)
maupun nonverbal (gerak tubuh) akan terlihat bagaimana ia mengungkapkan pikiran dan perasaan
mereka dengan baik atau buruk. Budi halus dan pekerti luhur menjadi tolak ukur kepribadian baik
seseorang yang terlihat dari kesantunan berbahasanya (Pranowo, 2012: 3). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (dalam Markhamah dkk, 2009: 117), santun bermakna (1) halus budi bahasanya, baik
tingkah lakunya, sabar, tenang, dan sopan, (2) penuh rasa belas kasihan, suka menolong. Leech (dalam
Nurdaniah, 2014: 8) menyatakan bahwa kesantunan adalah ujaran yang membuat orang lain dapat
menerima dan tidak menyakiti perasaannya. Selanjutnya Richards (dalam Prayitno, 2011: 37)
mengartikan kesantunan adalah bagaimana bahasa menunjukkan jarak sosial di antara penutur dan
hubungan peran mereka di dalam suatu masyarakat. Rahardi (2009: 26) menjelaskan kesantunan
sebuah tuturan sesungguhnya juga dapat dilihat dari banyak sedikitnya tuturan itu memberikan pilihan
kepada mitra tutur. Berdasarkan pemaparan oleh para ahli di atas, kesantunan berbahasa adalah
pengungkapan pikiran dan perasaan dengan halus, baik dan sopan dalam interaksi komunikasi verbal.
Kesantunan berbahasa mencerminkan budi halus dan pekerti luhur seseorang dengan tidak menyakiti
perasaan dan memberikan pilihan kepada orang lain. Pemberian pilihan kepada orang lain agar tidak
terkesan memaksa atau angkuh sehingga tujuan interaksi tercapai secara efektif dan hubungan mereka
menjadi harmonis. 11 Teori kesantunan berbahasa telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli
bahasa, di antaranya Robin Lakoff, Fraser, Brown dan Levinson, Geoffrey Leech, dan Pranowo (Chaer,
2010: 45). Penelitian ini akan menggunakan teori Pranowo untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk
bahasa santun pada tuturan guru dan teori Leech untuk mendeskripsikan realisasi prinsip kesantunan
pada tuturan guru. 2. Bentuk Kesantunan Berbahasa Baik atau buruknya bahasa dan perilaku seseorang
akan dilihat dari kesantunan pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa oleh penutur agar terdengar santun
menurut Pranowo (2012: 6-8) perlu menggunakan 6 bentuk sebagai berikut. a. Penggunaan bentuk
tuturan langsung dengan penanda kesantunan dan tuturan tidak langsung Penutur menggunakan
tuturan langsung dengan penanda kesantunan terdengar santun daripada tuturan langsung tanpa
penanda tersebut. Pemakaian ungkapan penanda kesantunan dapat memperhalus maksud tuturan
langsungnya. Berikut contoh tuturan yang dapat memperjelas pernyataan di atas. (1) “Bawa ke sini, tas
yang ada di meja Anda itu!” (2) “Tas di meja Anda itu milik saya, tolong ambilkan dan bawa ke sini!”
Pada tuturan (1) terdengar kurang santun karena penutur menggunakan tuturan langsung yang
menyatakan maksud menyuruh, agar sang mitra tutur memberikan tanggapan berupa tindakan
membawakan tas yang ada di meja. Tuturan (2) juga menggunakan tuturan langsung dengan maksud
menyuruh, namun terdengar lebih santun dari tuturan (1) karena menggunakan kata “tolong”. 12 Kata
“tolong” merupakan penanda kesantunan yang digunakan untuk memperhalus maksud dari tuturan
langsung di atas. Serupa dengan penjelasan diatas, Rahardi (2005: 125-134) menyatakan terdapat
bermacam-macam penanda kesantunan diantaranya: tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba,
harap, hendaknya, hendaklah, -lah, dan sebagainya. Berkaitan dengan hal itu, contohcontoh berikut
dapat memperjelas pemakaian ungkapan penanda kesantunan. (3) “Tutup jendela dekat tempat tidur
itu!” (4) “Silakan tutup jendela dekat tempat tidur itu!” Pada tuturan (3) terdengar kurang santun karena
penutur menggunakan tuturan langsung yang menyatakan maksud menyuruh, agar sang mitra tutur
memberikan tanggapan berupa tindakan menutup jendela yang ada di dekat tempat tidur. Tuturan (4)
juga menggunakan tuturan langsung dengan maksud menyuruh, namun terdengar lebih santun dari
tuturan (3) karena menambahkan kata “silakan”. Dengan digunakannya penanda kesantunan silakan,
tuturan langsung yang awalnya bermaksud menyuruh dan terdengar sedikit kasar akan memiliki makna
persilaan dan terdengar lebih halus. Selanjutnya penutur juga bisa menggunakan tuturan tidak langsung
agar terdengar lebih santun dari tuturan langsung. Chaer (2010: 30) mengatakan bahwa tuturan
langsung adalah tuturan yang langsung menyatakan sesuatu. Serupa dengan penjelasan diatas, Rahardi
(2005: 8-9) menyatakan bahwa semakin langsung sebuah tuturan diucapkan maka semakin kurang
santun tuturan itu. Sebaliknya semakin tidak langsung sebuah tuturan diucapkan maka semakin santun
tuturan tersebut. Berikut contoh tuturan yang dapat memperjelas pernyataan di atas. 13 (5) “Tas di
meja Anda itu milik saya, tolong ambilkan dan bawa ke sini!” (6) “Maaf pak, tas di meja itu mengganggu
Bapak.” (penutur mengulurkan tangan ke arah mitra tutur) Pada tuturan (5) menggunakan tuturan
langsung dengan maksud menyuruh dan menambahkan kata “tolong”. Tuturan (6) terdengar lebih
santun dari tuturan (5) karena menggunakan tuturan tidak langsung yang menyatakan maksud
menyuruh dengan mengulurkan tangan ke arah mitra tutur (suruhan tidak langsung) dan menggunakan
kata “maaf”. b. Pemakaian bahasa dengan kata-kata kias Penutur memakai tuturan dengan kata-kata
kias terdengar santun daripada tuturan dengan kata-kata lugas. Berikut contoh tuturan yang dapat
memperjelas pernyataan di atas. (7) “Jika tidak sependapat dengan orang lain, orang Batak selalu
mengungkapkan perasaannya dengan kasar.” (8) “Jika tidak sependapat dengan orang lain, orang Batak
lebih suka terbuka dan terus terang.” Pada tuturan (8) terdengar lebih santun daripada tuturan (7)
karena menggunakan ungkapan bermakna kias “lebih suka terbuka dan terus terang”. Sebaliknya,
tuturan (7) menggunakan kata lugas “kasar” yang bermakna denotatif buruk. c. Pemakaian ungkapan
dengan gaya bahasa penghalus Penutur memakai tuturan dengan gaya bahasa penghalus terdengar
santun daripada tuturan dengan ungkapan biasa. Gaya bahasa tidak hanya membuat pemakaian bahasa
lebih efektif namun juga membuat tuturan menjadi indah dan 14 budi bahasa menjadi halus (Pranowo,
2012: 18). Gaya bahasa penghalus yang digunakan untuk membuat tuturan terdengar santun di
antaranya sebagai berikut. 1) Perumpamaan Perumpamaan adalah salah satu jenis gaya bahasa
perbandingan yang membandingkan dua hal yang berlainan, tetapi dianggap sama. Penanda majas ini
menggunakan kata-kata “seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, bagai, bagaikan, serupa”
(Pranowo, 2012: 19). Berikut contoh yang dapat memperjelas pernyataan di atas. (9) “Kalau saya baca,
delapan rekomendasi kadin itu bagus. Hanya, analisisnya kok seperti menyatakan bahwa apa yang
dilakukan pemerintah salah semua. Seperti zaman kegelapan.” (10) “Tiap hari kita merasa seperti mau
kiamat dengan kenaikan harga-harga.” Pada tuturan di atas, sebenarnya penutur marah kepada mitra
tutur, namun penutur tidak ingin kemarahannya terungkap di depan mitra tutur. Penutur masih ingin
menjaga martabat mitra tutur dengan menggunakan gaya bahasa perumpamaan untuk menyamarkan
maksud penutur. Dengan demikian tuturan tersebut dapat menyelamatkan muka dan tidak
mempermalukan mitra tutur sehingga dikatakan sebagai tuturan yang santun. 2) Eufemisme Eufemisme
adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa kasar, menghina, merugikan,
dan tidak menyenangkan (Tarigan, 2013: 125-126). Pemakaian gaya bahasa ini agar penutur tidak
menyinggung perasaan mitra tutur. Berikut contoh tuturan yang dapat memperjelas pernyataan di atas.
15 (11) “Badanmu sekarang kok tampak kurus, apakah baru sakit?” (12) “Badanmu sekarang tampak
lebih langsing, apakah baru sakit?” Pada tuturan (12) terdengar lebih santun daripada tuturan (11)
karena menggunakan gaya bahasa penghalus (eufemisme). Sebaliknya, tuturan (11) terdengar kurang
santun karena menggunakan ungkapan biasa dengan kata “kurus”. (13) “Ada sesuatu yang harus
diklarifikasi. Hanya dengan itu air yang keruh bisa dijernihkan.” Pada tuturan (13) terdengar santun
karena penutur membantah pernyataan mitra tutur yang tidak benar dengan menggunakan gaya bahasa
eufemisme. Penutur menjaga kehormatan mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan dengan
bantahan yang diutarakan. d. Tuturan dengan maksud yang berbeda Penutur mengatakan tuturan yang
berbeda dengan yang dimaksudkan terdengar santun daripada maksud tuturan yang sama dengan apa
yang dituturkan. Berikut contoh tuturan yang dapat memperjelas pernyataan di atas. (14) “Kemarin
tidak kuliah katanya sakit, kok keluyuran sampai sekaten kamu.” (15) “Kemarin tidak kuliah katanya
sakit, apa di sekaten ada dokter buka praktik, Tik?” Pada tuturan (15) terdengar lebih santun daripada
tuturan (14) karena tuturan yang dikatakan berupa pertanyaan tetapi bermaksud menyindir jadi
terdengar lebih santun. Sebaliknya, tuturan (14) terdengar kurang santun karena tuturan yang dikatakan
berupa pernyataan teguran dengan yang dimaksudkan sama yaitu menegur sehingga mempermalukan
mitra tutur. 16 e. Pemakaian tuturan secara implisit Tuturan yang dikatakan secara implisit (tersirat)
terdengar santun daripada tuturan yang dikatakan secara eksplisit (jelas). Berikut contoh tuturan yang
dapat memperjelas pernyataan di atas. (16) “Katanya parpol besar, kalah strategi dalam merebut kursi
presiden ataukah memang memilih menjadi oposan?” (17) “Setiap parpol pasti ingin memenangkan
pilpres, meskipun ada pula parpol yang hobinya menjadi oposan.” Pada tuturan (17) terdengar lebih
santun daripada tuturan (16) karena tuturan yang dikatakan berupa pernyataan sindiran secara implisit
(tersirat). Sebaliknya, tuturan (16) terdengar kurang santun karena tuturan yang dikatakan terlalu
terbuka/jelas mengenai kondisi parpol besar yang kalah dalam pemilihan presiden.

Anda mungkin juga menyukai