Anda di halaman 1dari 14

Bab 04

Gus Dur dan Negara Islam

Hubungan antara negara dan agama selalu ambivalen. Ia terdebat dalam


benturan politico-jurisprudentik antara struktur negara-bangsa (nation state) yang
menganut hukum alam (natural law), dengan agama (Islam) yang memiliki struktur
hukum transferensial (teks suci).

Keduanya selalu berbenturan. Satu hal yang dilihat Gus Dur bahkan tidak
menyentuh jantung dari persoalan kenegaraan. Ini terjadi karena di dalam dirinya,
masalah negara memiliki ruang politis material yang menuntut pendekatan multi-
sektoral, terkait kondisi structural yang membuat negara efektif dalam menjalankan
amanat publik. Sementara di sisi lain, tuntutan politik Islam lebih didorong oleh
jihad ideologis yang sayangnya bersifat sectarian, karena masing umat Islam
memiliki ragam penafsiran berbeda, terkait bagaimana menempatkan agama dalam
hidup berbangsa.

Dalam Jurnal Prisma edisi No. 11, November 1980, Gus Dur memberikan
gambaran problematik, hubungan antara agama, sebagai ideologi, yang harus
berhadapan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Tema Agama, Ideologi dan
Pembangunan ini menjadi penting, sebab Orde Baru pada awal agenda
pembangunannya, telah memosisikan secara dikotomis antara agama sebagai
ideologi politik dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya
mensyaratkan “matinya ideologi”.

Makna urgen dari makalah ini juga terdapat dalam fungsi penjelas, dimanakah
posisi Gus Dur: apakah dalam gerbong modernisasi yang berarti meminggirkan
agama demi kelancaran percepatan ekonomi, ataukah salah satu dari bagian gerakan
agama yang saat itu dipasung oleh negara, dalam arti Gus Dur adalah bagian dari
Islam politik? Posisi agama dan Gus Dur sebagai pemikir Islam dalam pergulatan
represifitas negara, yang hendak dikupas di tulisan ini, dengan harapan memberikan
satu informasi pemikiran Gus Dur, kaitannya dengan bagaimanakah sikap ideal
yang harus dimiliki antara agama dan negara, agar tidak terjadi perbenturan yang
tentunya merugikan nilai-nilai yang dijunjung oleh kedua faktor tersebut.

1
Gus Dur mengawali analisanya dengan memberikan gambaran atas fakta
ketegangan agama dan negara. Secara abstraktif, Gus Dur menemukan banyak bukti
yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, karena
terjadinya kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab
ideologi negara dan pimpinan gerakan keagamaan dikalangan negara-negara yang
sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh sehingga kehidupan
politik di negara yang sedang berkembang menjadi labil. Tenaga sangat besar
ditujukan hanya untuk membatasi gerakan keagamaan, yang dianggap mengganggu
lancarnya pembangunan. Dalam perjalanannya, proses penghambatan ini malah
menciptakan kelambatan kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali,
roda pembangunan. Gus Dur kemudian melihat terciptanya strategi ganda oleh
negara, dalam menghambat “gangguan” gerakan keagamaan tersebut. Di satu pihak,
gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara untuk keperluan ritual,
sedang dipihak lain terjadi upaya pemojokan gerakan agama yang memiliki aspirasi
politis dan berwatak korektif terhadap pemerintah. Upaya pemojokan ini biasanya
dilakukan melalui penciptakan gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas besar,
dari negara. Dalam istilah Gus Dur, negara menghambat gerakan keagamaan,
melalui politik “memotong baja harus dengan baja”.

Pada sisi lain, radikalisme yang dimiliki oleh gerakan keagamaan terbentuk
dari besarnya persepsi akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi
nilai-nilai transendental yang mereka yakini. Hal ini disebabkan oleh kesibukan
negara dalam menciptakan infrastruktur rasional dan teknik yang efisien, sehingga
aspirasi transendental diatas terabaikan. Sebagian karena oportunisme politik, dan
sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat
diterima oleh semua kalangan. Persepsi akan “kerugian” nilai-nilai transendental ini
kemudian melahirkan “konsolidasi spiritual” yang menemukan ketetapan pendirian
gerakan keagamaan, dalam berbagai sumber ajaran agama, sehingga apapun yang
mereka yakini, memiliki keabadian dan kelanggengan cita-cita. Konsep kesyahidan
(martyrdom) mendudukkan akibat penindasan fisik dalam kerangka perjuangan suci,
yang tentunya berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melakukan
penindasan tersebut.

2
Pada tataran kultur politik, ketegangan antara pemegang ideologi negara vis a
vis gerakan keagamaan ini terkonstruk oleh strategi represif dari Orde Baru dalam
“mengamankan” proyek pembangunan. Oleh Frans Seda, kultur politik Orde Baru
(Orba) dilihat sebagai “kebudayaan ekonomi” yang tentunya lebih berorientasi pada
mengejar performance (performance oriented) atau prestasi, serta hasil sebesar dan
secepat mungkin.1 Satu orientasi yang berbeda dengan Orde Lama, yang menjadikan
politik sebagai panglima, sementara ekonomi (hanya) menjadi faktor penunjang.
Dalam orientasi ini, Orba mendambakan satu pengamanan, yakni sebuah penyiapan
situasi dan kondisi politik yang aman untuk prestasi serta penertiban terhadap
akibat-akibat negatif dari performance tersebut, baik secara preventif maupun
represif. Dalam fakta politik, kaitan antara performance dan pengamanan dapat
berlangsung dengan tempo yang makin hangat. Makin tinggi performance atau
prestasi yang ditargetkan, makin ketat pula pengamanan yang harus dilakukan.
Demikian sebaliknya, performance akan semakin ditingkatkan untuk membenarkan
pengamanan politik yang dilakukan. Perkembangan secara spiral ini diharuskan
sebab suatu pola pembangunan yang didasarkan pada mengejar prestasi tidak akan
bisa mandeg, sebab mandeg berarti mundur dan hancur. Dalam hal inilah Orba
melalui strategi Trilogi Pembangunan baik lewat statement resmi maupun dalam real
politics menunjukkan orientasi performance dengan suatu pengamanan stabilitas
politik sebagai penunjangnya.

Pada titik inilah kesulitan saling memahami antara ideologi negara dengan
aspirasi keagamaan menemu ruang. Hal ini disebabkan oleh situasi labil negara-
negara yang baru berdiri dalam membentuk ideologinya. Apalagi ketika sistem
politik yang dianut merupakan adaptasi secara kasar dari kultur politik “luar”,
sehingga adaptasi tersebut kemudian berbenturan dengan kultur politik
dimasyarakatnya sendiri. Dalam kaitan ini, negara kemudian mengambil strategi
“tawar menawar yang sepi” dengan satu target, yakni stabilitas politik yang
disebabkan kemampuan hegemonik ideologi negara dalam “menertibkan” ideologi
alternatif dari masyarakat. Deskripsi Gus Dur:

“Segera setelah tercapainya penyelesaian formal berupa ideologi negara


yang dinamai Pancasila, perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya
“pengamanan” Pancasila itu sendiri, dari kemungkinan “penyimpangan”

1
Frans Seda, Orde Baru dan Kultur Politiknya, Prisma, No. 11, November 1980, h., 3-4

3
oleh pihak lawan politik. Upaya ini terutama ditumpukkan pada tindakan
politik untuk menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik
di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa
demokrasi liberal (1959-1966) maupun di masa Orde Baru sejak 1966.
“Pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran”
senantiasa mengambil bentuk dalam pendayagunaan aparat negara bagi
perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara, semisal melalui
penataran P4. Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara
bukanlah kasus unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi
negara dan proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara
pihak yang berbeda pendapat… Tetapi, dialog tersebut ada pula yang
mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings),
seperti yang berlangsung di negeri kita. Proses tolak-angsur (tug-of-war)
antara aspirasi theologies dan aspirasi sekularis yang berlangsung di negeri
kita ini adalah bagian dari jalannya “tawar-menawar yang sepi” itu”. 2

Tentu dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam.
Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di
negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya
adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi
Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak
relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara
yang selalu memanfaatkan agama.

Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari
penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak
penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa
dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Cak Nur. Hanya saja,
konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena
telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu
menggambarkan detail perbedaan didalam konsep pemisahan agama-negara.

Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih
mengedepankan aspek “tujuan ideologis” dimana para konseptor negara-bangsa

2
Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Prisma No. 11, November 1980, h., 13-14

4
memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan
paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita
politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh
pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut
penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Kenapa?
Karena perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-betul
relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal
ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya
sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya:

Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya


rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat
ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut
pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila
digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi
momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi
komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya
(cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para
ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk
menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap
inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang
sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan
pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions),
sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang
berwawasan sangat jauh.3

Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori
kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh
sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa
gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam kedalam fanatisme
ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich.4 Bagi Gus Dur,
fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam

3
Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas
Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7
Februari 1988, h., 4
4
Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h., 41-45

5
sebagai agama. Disatu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin
politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan
“solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan
mashlahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa kedalam
pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim.

Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek


pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik
birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan
pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri,
yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan
masyarakat.

Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori
kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa
diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai
problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah
dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum
formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat
terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu
konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan dibangun: masyarakat
tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat
terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah
kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan
atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur
kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara
Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam
politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan
kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi
keadilan sosial.

Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan
modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk
sistem Islami. Prinisp tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara
universal memberikan kedudukan sama di muka hokum, tanpa melihat asal-usul

6
agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan
berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan
menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas
manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang
diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi
hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-uandang)
berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hokum agama Islam), (4)
jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik,
(5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu
pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk mengembangkan
keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan,
selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan kegiatan
ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan sepihak oleh
semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan.5

Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketum PBNU
saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat,
karena disamping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-ormas untuk
mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional,6
juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam
sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam
kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika
sosial, dimana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan
kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular didalam struktur hukum
nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata
terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik
internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan
dengan dilema Islam dan modernitas.

Penerimaan Gus Dur atas nama Nahdlatul Ulama (NU) memang bersifat
historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk
negara-bangsa, yang mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur

5
Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5
6
Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan Politik: sebuah
Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi
(penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 57

7
kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah
aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.

Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan


watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al-
Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-
sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin
kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen
historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang
hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan
kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya
umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga
sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang
dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda,
maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan
kemerdekaan pada Oktober 1945.

Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-bangsa,
menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum
muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi
penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal
yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga
negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola
yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup
kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam
batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.

Dalam kaitan inilah, Gus Dur kemudian menggambarkan modal besar dari
sistem keagamaan NU yang membuatnya moderat dalam berhubungan dengan
negara-bangsa. Sistem keagamaan ini merujuk pada kesatuan antara tiga komponen
utama Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dalam berfiqh, muslim NU tidak
hanya mengembangkan produk hukum agama yang diambil dari literatur fiqh
dalam sekala massif, namun juga cara-cara menyusun pemikiran hukum (legal
maxim, qawa’idul fiqh), guna menentukan bentuk akhir keputusan hukum, jika latar
belakang masalahnya tengah mengalami perubahan.

8
Disinilah dinamika pengambilan hukum Islam menjadi dinamis, karena NU
mampu merumuskan kembali setiap permasalahan hukum berdasarkan perubahan
konteks masyarakat. Pemikiran metodologis hukum agama ini kemudian diberi
bobot spiritualitas melalui tasawuf dalam pengamalan ajaran agama sehari-hari,
melalui rangkaian ritual yang memungkinkan penyiraman jiwa, yang berfungsi
memperdalam bobot kearifan spiritual, sebagai pendalaman bagi kecenderungan
legal formalistik dari corak keagamaan serba fiqh. Dari ketaatan terhadap hukum
agama, dibarengi dengan pengamalan ajaran agama secara sufistik ini, maka muslim
NU kemudian memiliki bobot ketauhidan yang kuat, sehingga agama mampu
membentuk pandangan dunia yang bulat dan utuh, baik dalam lanskap duniawi
maupun ukhrawi.

Dari sistem keagamaan fiqh-sufistik inilah, NU kemudian merumuskan


hubungan moderat antara Islam dan negara modern, sehingga pada satu titik, Islam
tidak kehilangan relevansi bagi kehidupan kekinian, sekaligus Islam tidak
kehilangan dirinya dalam struktur kebudayaan sekular yang dibawa oleh
modernitas tersebut. Elaborasi Gus Dur:

Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang


membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang
asas Pancasila dalam kehidupan organisasi. Dalam pandangan fiqh asas
Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan
negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama
sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama
ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan
berorganisasi yang bersangkutan.

Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh,


NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah
negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan, pandangan serba fiqh itu
juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan.. Namun, itu
tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendali
keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan
pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqh.. seperti kaidah

9
“kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat”
(tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah). 7

Dengan menggunakan fiqh sebagai tolok ukur keabsahan negara, maka NU


kemudian tidak mempermasalahkan bentuk formal pemerintahan, selama perilaku
kelembagaan negara masih sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh fiqh.
Dari sinilah muncul kritik partikular atas penyimpangan yang dilakukan oleh sub-
sistem atau pemegang kekuasaan, tidak kemudian menjadikan NU menolak secara
total bentuk pemerintahan, melainkan memperbaikinya secara kasuistik dan
gradual.

Pemikiran kenegaraan (Islam) Gus Dur ini, memang terkait dengan situasi
politik pembangunan yang digerakkan oleh Orde Baru, di mana Gus Dur harus
cerdas menempatkan diri. Satu situasi yang merujuk pada sekularisasi di satu sisi,
dan kebangkitan Islam di sisi lain, yang pada akhir pemerintahan Soeharto malah
diberi angin. Tentu, Gus Dur tidak gamang, dan dengan sigap melakukan
rekonstruksi hubungan antara Islam dan negara, yang pada saat itu menjelma titik
tengkar.

Titik tengkar ini mengacu pada pertanyaan: haruskah Islam menolak Pancasila,
karena ideologi ini bersifat “tidak Islami”? Tanya ini kemudian menciptakan
pembelahan pemaknaan atas hubungan Islam dan politik. Satu pihak, Islam
dipandang sebagai political, dimana arti kejayaannya disematkan dalam totalitas
sistemik, melalui pendaulatan syari’at sebagai konstitusi negara. Lahirlah Piagam
Jakarta yang diharapkan menjadi payung konstitusional bagi penerapan hukum
Islam di semua lini kehidupan publik. Sementara itu di pihak lain, Islam tidak
dimaknai sebagai “yang politik”, tetapi lebih kepada “yang kultural”. Pemaknaan ini
berdampak pada posisi politik Islam, yang tidak harus menjelma supra-struktur
negara, tetapi sub-struktur dalam bangunan tubuh negara-bangsa.

Gus Dur masuk dalam gerbong ini. Yakni, dalam penempatan Islam yang
mengacu pada dua hal. Pertama, pemosisian hukum Islam kedalam sub-sistem
hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh kaidah fiqh: ma laa yudraku kulluhu laa yutraku
julluhu (apa yang tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya).

7
Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur,
Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 157-159

10
Bagi Islam (Sunni), jika konstitusi negara tidak bisa berdasarkan Islam, mengingat
pluralitas bangsa, maka penanganan persoalan mu’amalah haruslah tetap ditangani
oleh hukum Islam. Dari sini keberadaan Kementarian Agama dan Peradilan Agama
menjadi penting demi menjaga otoritas fiqh agar tetap dipegang oleh para ulama.
Tentu posisi minimalis ini tidak berhenti dengan sendirinya, karena setelah hukum
Islam terposisikan dalam sub-struktur negara, ia kemudian digerakkan sebagai etik
sosial pada ranah masyarakat, juga negara. Gus Dur mendefinisikan etik sosial ini
sebagai fungsi komplementer dari Islam, dimana agama memiliki kewajiban untuk
menyempurnaan tata politik.8 Dalam praktik, proses penyempurnaan ini kemudian
melahirkan etos kritik, di mana Islam mampu menyediakan alternatif dari
pembangunan, jika arah kebijakan negara, dirasa menyimpang dari nilai-nilai dasar
yang dianut oleh Islam.

Dalam kaitan inilah, praktik pembangunan bahkan telah melahirkan, apa yang
disebut Gus Dur sebagai penanganan non-religius atas kehidupan beragama.
Artinya, apa yang dimaksud pemerintah dengan pengaturan kehidupan beragama,
ternyata hanya bersifat artifisial, institusionalis, dan event oriented, daripada
penelaahan problem fundamental umat beragama.9 Hal ini digerakkan melalui
pemberian dana bagi perayaan keagamaan serta pembentukan birokrasi agama,
yang bahkan telah menjebak keberislaman formalistik. Kecenderungan ini lahir dari
paradigma pembangunanisme, yang menempatkan agama, sebagai satu unsur sosial
yang harus memperkuat kebijakan ekonomi negara. Inilah yang terjadi, dan
menempatkan Islam, jika tidak sebagai “ekstrim kanan” yang tersanding dengan
“ekstrim kiri”, maka posisi Islam yang hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Dua
posisi sama sulit, karena pembangunan yang mensyaratkan konflik, dan oleh
karenanya wajib meminggirkan Islam ideologis, dengan satu usaha politisasi Islam
non-politik, yang telah mencerabut agama ini dari fungsi vitalnya.

Penobatan Islam sebagai legitimasi pembangunan tersebut dilakukan


pemerintah dalam dua fase, jika merujuk pada pergulatan Gus Dur. Fase pertama
merujuk pada revisi pandangan modernis negara atas tradisi pesantren, di mana
pembangunan sudah tak lagi menempatkan tradisi ini sebagai penghambat

8
Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di
Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
9
Abdurrahman Wahid, Pergumulan Islam dengan Masalah-masalah Pembangunan, dalam Muslim
Ditengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 90

11
modernisasi, tetapi sebaliknya, ia dilihat sebagai basis budaya, tempat pemerintah
mensosialisasikan agenda pembangunan. Pendekatan ini memang bersifat
instrumentalis, karena hanya melihat pesantren sebagai alat, dikarenakan watak
kulturalnya yang mengakar dengan masyarakat.10 Dengan modal budaya kuat, yakni
kemenyatuan tradisi Islam dan lokalitas, ditambah patronase perlindungan kyai atas
warga sekitar, pesantren dilihat mampu menjadi ruang komunikasi yang efektif,
dimana peran kyai sebagai komunikator budaya, akan mampu menjembatani
pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi kebijakan pembangunan.

Inilah yang dikritik Gus Dur, karena alih-alih pemerintah bisa, dan berempati
dengan tata nilai pesantren, pendekatan instrumentalis ini hanya menempatkan
pesantren secara pragmatis, minus kesadaran nilai.11 Ketiadaan kesadaran inilah
yang dikritik Gus Dur, sehingga ia kemudian mewacanakan sub-kultur pesantren,
sebagai usaha untuk menggambarkan sistem nilai muslim tradisional tersebut.
Bentuk sub-kultur inilah yang menempatkan pesantren sebagai sub-budaya nan
unik (dan karenanya pemerintah harus hati-hati), tetapi sekaligus mampu
mempengaruhi sistem secara keseluruhan, dan oleh karena itu, ia tidak hanya
berperan sebagai “corong kebijakan”, namun bahkan mampu melakukan koreksi
atas pembangunan. Dari sini Gus Dur kemudian menggerakkan pengembangan
masyarakat melalui pesantren, salah satunya dengan mendirikan P3M. Melalui
gerak ini, Gus Dur dan kalangan NU menggali potensi sosio-ekonomi masyarakat,
sehingga ketergantungan atas pembangunan negara bisa diminimalisir.

Fase kedua penggunaan Islam sebagai legitimasi terjadi ketika negara


mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang oleh Gus Dur
dilihat sebagai penodaan komitmen awal terhadap demokrasi. Hal ini terjadi, dan
dikritik Gus Dur, karena “kemesraan” NU dengan negara terjadi, ketika pemerintah
sepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekslusifitas Islam. 12 Ini yang melahirkan
dekonfessionalisme Islam: ruang publik dinetralisir dari kecenderungan sektarian

10
MM. Billah, Dari Paradigma instrumentalistis ke Paradigma Alternatif, Jurnal Pesantren, No. 3/Vol.
V/1988, Jakarta: P3M, h., 10-14
11
Abdurrahman Wahid, Culture Oriented Development Policies and Programs; the Case of Pesantren
in Indonesia, makalah dalam International Conference on Interactions of Development and Culture:
from Dilemmas to Oppoetunities, oleh Fredrich Naumann Foundation dan International University
Foundation, Bonn, 29 Juni-3 Juli 1987, h., 4
12
Douglas E. Ramage, Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of
Abdurrahman Wahid, dalam Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Greg
Barton, Greg Fealy (ed), Australia: Monash ASIA Institute, 1996, h., 235

12
agama yang tentunya akan menjebak penanganan politik dalam segregasi kelompok.
Sayang, komitmen awal ini telah ternoda, dan pemerintah dengan sengaja
memediasi birokratisasi Islam, dengan mengakomodir kecenderungan islamisasi
baik ranah ritual kenegaraan, pengatahuan, dan ruang politik.

Satu hal yang dikhawatirkan Gus Dur, karena pendirian ICMI berarti
pemberian political opportunity atas ekslusifitas Islam, yang bahkan Gus Dur
nisbatkan pada geliat Aljazaer, dimana kaum fundamentalis bergolak. 13 ICMI
menurut Gus Dur akan menyemai benih Islamisme politik, di mana kepentingan
demokratisasi pada aras kebangsaan, akan direbut oleh kepentingan golongan
Islamis. Ini tentu langkah mundur, karena sejak awal pembangunan, bentuk politik
sekular sebetulnya ideal, karena melakukan minimalisasi atas potensi ideologis dari
gerakan Islam. Ruang publik yang netral ini, pada dekade 1990 telah dikacaukan lagi
oleh Soeharto, yang memang pada saat itu telah kehilangan sebagian basis politik
militernya, dan oleh karena itu membutuhkan perangkulan massa Islam, demi
kelangsungan kekuasaan.

Dalam kaitan inilah, pemikiran Islam Gus Dur berusaha melakukan


penyaringan, counter discourse, dan penjelasan kesejarahan atas bangunan Islam di
Indonesia, yang tidak selalu besifat legitimatif. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui
rekonstruksi metode pemikiran (hukum) Islam, untuk menggali potensi
transformatif, agar Islam bisa kompatibel dengan perubahan sosial yang terjadi.
Tentu harus ada kompromi, semisal akomodasi Islam terhadap ideologi negara,
dengan catatan, masing pihak mampu memberikan kontribusi berdasar kesamaan
nilai universal, seperti nilai-nilai yang Gus Dur tarik dari titik sama antara Islam dan
Pancasila:

Pancasila harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan


prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut oleh Islam.
Pancasila harus mengembangkan wawasan yang demokratis, menganut
faham perlakuan sama dimuka undang-undang dan memperjuangkan
keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak
kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara
tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan
13
Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin 9
Atchison Street, 1999, h., 186-187

13
berserikat. Itulah kunci diperoleh lima buah jaminan dasar yang
diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar atas
keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik
pribadi, dan keselamatan profesi. 14

Hal inilah yang dilakukan Gus Dur, yakni mengangkat perbedaan partikular
kepada persamaan cita-cita universal, yakni kemanusiaan dan keadilan. Struktur
politik demokratis kemudian menjadi syarat utama, di mana Islam harus melakukan
rekonstruksi atas bangunan doktrinalnya, jika ia ingin menggerakkan perubahan
masyarakat. Inilah letak pemikiran Islam beliau, karena tanpa pembenahan ke
dalam, Islam bahkan sering dijadikan penghambat bagi demokratisasi. Tetapi juga
sebaliknya, tanpa orientasi demokratis, pembenahan dalam tubuh Islam, hanya akan
menciptakan konflik internal umat Islam, karena masing pihak terjebak dalam klaim
kebenaran penafsirannya.

14
Wahid, Islam, Ideologi,dan Etos Nasional sumber tak terlacak, h., 3

14

Anda mungkin juga menyukai