Anda di halaman 1dari 14

BAB III

KONTRADIKSI YAHYA BIN MA’IN DAN IBNU HIBBAN DALAM

MENILAI AHMAD BIN ISA AL MISHRI

Dalam sejarah ilmu hadits, sikap kritis terhadap rawi menjadi hal yang

urgen. Sikap pemeriksaan secara seksama (tas\abbut) dan meminta saksi

(istisyhad) terhadap segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, Seperti

yang dilakukan Khulafa al-Rasyidun1. Hal itu dilakukan untuk menghindari

kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kedustaan atas nama Rasulullah saw.2

Sebagai contoh permintaan saksi yang dilakukan oleh shahabat Abu Bakar ra

atas periwayatan al-Mughirah tentang besaran bagian waris seorang nenek, sebab

Abu Bakar ra belum mendengar sebelumnya3.

Hal serupa lebih ditekankan paska masa fitnah yang menimpa umat Islam.

Berlanjut pada masa Tabi’in, ketika masyarakat Islam mulai majemuk dan

kadang terjadi perselisihan, sikap kritis dalam menggali kesaksian serta penilaian

positif dan negatif atas kepribadian rawi menjadi prioritas. Disini kritik lebih

diasumsikan untuk mengungkap sisi lain dan kekurangan seorang rawi.

Masing-masing kritikus mempunyai standar yang berbeda dalam menilai

kualitas rawi. Berdasar standar penilaiannya kritikus dapat dibedakan menjadi

tiga kelompok yaitu : [1] mutasyaddid, yakni kritikus rawi yang sangat keras saat

menilai jarh namun perlu pembuktian saat menilai ‘adalah [2] mutasahhil, yakni
1
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Riha>b al-Sunnah al-Kutub al-Shihah al-
Sittah atau Di Bawah Naunga al-Kutub al-Sitah terjemahan Hasan Su’aidi, (Pekalongan : STAIN
PRESS, 2007), hlm. 34
2
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Jakarta : Gema Insani
Press,2008), hlm. 218
3
Muhammad bin Mathar al-Zahrani, Ilmu Rija>l Nasy’atuhu wa Tathawwaruhu min al-
Qarni al-Awwal ila> Niha>yat al-Qarni al-Ta>si’, ( : Da>r al-Hudhairi), hlm. 19-20

55
56

kritikus yang sangat mudah dalam penilaian ta’dil dan sangat berhati-hati dalam

menilai jarh [3] mu’tadil ada juga yang menyebut mutawassith, yakni kritikus

dengan kriteria penilaian yang berimbang, kelompok inilah yang lebih dikuatkan

sebagai rujukan4.

Semangat dasar dari laku kritis terhadap pribadi rawi adalah menjalankan

syari’at sebagaimana tersurat dalam Q.S al-Hujurat : 6, dengan melakukan

tabayyun agar tidak menyesal dikemudian hari. Namun, apabila laku kritis

dilepas dan dibebaskan menjadi tujuan utama, niscaya tidak satupun tokoh yang

selamat dari kritik.5

Generalisasi diatas bisa dipahami sebab sikap kritik terhadap seseorang

dapat dipicu oleh : [1] hawa nafsu dan ego pribadi, [2] perbedaan keyakinan yang

berujung ta’assub, [3] perselisihan, [4] bicara tanpa dasar, [5] tuduhan semena-

mena berdasar dugaan, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Daqi>q al-‘I<d (w.702H)6.

Untuk itu diperlukan kaidah-kaidah dalam menyikapi penilaian terhadap

rawi apabila ditemukan penilaian yang berbeda. Supaya diperoleh i’timad dan

kesimpulan tarjih dari perbedaan yang ada.

Perbedaan penilaian pribadi rawi ditemukan pula atas rawi Ahmad bin Isa

al-Mishri yang lebih dikenal dengan kunyah Ibn Tustar, beliau dinilai berbeda

antara lain oleh Yahya bin Ma’in dan Ibn Hibban. Untuk itu, penulis akan

mencoba menguraikan permasalahannya.

4
Umar Iman Abu Bakar, al-Ta’si>s fi Fanni Dira>sat al-Asa>ni>d (Riyadh : Maktabah al-
Ma’arif), hlm. 118-122
5
Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran (Jakarta : Gema Insani
Press,2008), hlm. 224
6
Ibn Daqi>q al-I>d, al-Iqtira>h fi Bayan al-Ishthila>h, ed. Qahthan Abdul al-Rahman al-Dauri
(Yordania :Da>r al-Ulum, 2007), hlm. 436-451
57

A. Yahya bin Ma’in dan Manhaj beliau dalan jarh wa ta’dil

1. Biografi Yahya bin Ma’in.

Terdapat dua versi mengenai nasab beliau, namun pendapat yang

lebih masyhur nama dan nasab beliau adalah Yahya bin Ma’in bin ‘Aun

bin Ziya>d bin Bistha>m bin Abdurrahman al-Murri> al-Ghathafa>ni.7

Beberapa referensi menyebut bahwa sesungguhnya beliau adalah al-

Baghdadi, ini mengindikasikan bahwa beliau lahir dan besar di Baghdad8,

beliau lahir tahun 158 H pada masa pemerintahan khalifah Abi Ja’far al-

Mansur, informasi ini dikonfirmasi sendiri oleh Yahya bin Ma’in9. Yahya

bin Ma’in wafat pada tahun 233 H10.

Beliau meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mubarak, Husyaim,

‘Isa bin Yunus, Sufyan bin ‘Uyainah, Ghundar, Mu’adz bin Mu’adz,

Yahya bin Sa’id al-Qaththa>n, Abdurahman bin al-Mahdi, Waki>’, Abu

Mu’awiyah dan lain sebagainya.11

Murid-murid beliau antara lain Ahmad bin Hanbal, Zuhair bin Harb,

Muhammad bin Sa’id al-Katib, Muslim bin Hajja>j, Muhammad bin

Isma’il al-Bukhari, Abu Daud al-Sijistani, Ibrahim bin al-Junaid dan lain

sebagainya.

Kepakaran Yahya bin Ma’in dalam hadits dideskripsikan sebagai

muara ilmu dari daerah yang menjadi pusat keilmuan yakni Bashrah,

Kufah dan Hijaz. Ali ibn Al-Madini berkata : ilmu di daerah Bashrah
7
Ahmad Muhammad Nu>r Saif, Yahya bin Ma’i>n wa Kitabuhu al-Tarikh, (Makkah:
Universitas King Abdul Aziz, 1979), hlm. 19
8
Ibid., hlm. 20
9
Khatib Baghdadi, Tarikh Madinati al-Salam ed Dr. Basyar ‘Awwa>d Ma’ruf (Beirut :
Da>r al-Ghorb al-Islami,2001), Juz 16 hlm. 264
10
Ibid., hlm. 275
11
Ibid., hlm. 264
58

bermuara pada Yahya bin Abi Katsir dan Qatadah, ilmu di daerah Kufah

bermuara pada Abi Ishaq dan A’masy sedangkan ilmu di daerah Hijaz

bermuara pada Ibn Syihab dan Amr bin Dinar. Dari keenam ulama

tersebut diwariskan pada dua belas orang antara lain : Sa’i>d bin Abi

‘Aru>bah, Syu’bah, Ma’mar, Hammad bin Salamah, Abu> ‘Awa>nah, Sufyan

al-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Ma>lik bin Anas, al-Auza’iy. Dari

kesemuanya ilmu diwariskan pada Muhammad bin Ishaq, Hutsaim, Yahya

bin Sa’id, Ibn Abi> Za>idah, Waki>’, Ibn Muba>rok, Ibn Mahdiy serta Ibn

Adam. Dari kesemuanya ilmu bermuara pada Yahya bin Ma’in12. Khatib
ّ
Baghdadi mensifati Yahya bin Ma’in sebagai "‫ ﻣﺘﻘﻨﺎ‬,‫ ﺛ ﺘﺎ‬,‫ ﺣﺎﻓﻈﺎ‬,‫ﺎ‬ ,‫ ر ﺎﻧﻴﺎ‬,‫ "إﻣﺎﻣﺎ‬13

Yahya bin Ma’in konsen dalam ilmu ma’rifat al-rijal sehingga

beliau menjadi rujukan para asa>thi>n al-Ilm (ilmuan) jika terjadi

perselisihan diantara mereka14. Beliau mendermakan jiwa raganya untuk

menekuni hadits Nabi saw hingga akhir hidupnya.15

Jumlah hadits yang ditulis Yahya bin Ma’in sebanyak enam ratus

ribu hadits, sebagaimana dikonfirmasi beliau saat ditanya Ahmad bin

‘Uqbah16. Dari program Jawa>mi’ al-Kalim diketahui bahwa periwayatan

Yahya bin Ma’in sebanyak 514 hadits17.

12
Ibid., hlm. 265 - 266
13
Ibid.,
14
Sa’diy Mahdiy al-Hasyimiy, Ikhtila>f Aqwa>l al-Nuqa>d fi> al-Ruwa>t al-Mukhtalaf Fi>him
ma’a Dira>sat Ha>dhihi al-Dhohiroh ‘Inda Ibnu Ma’i>n, (Makkah, Universitas Ummul Qura), hlm.19
15
Ibid.,
16
Khatib Baghdadi, Tarikh Madinati al-Salam ed Dr. Basyar ‘Awwa>d Ma’ruf (Beirut :
Da>r al-Ghorb al-Islami,2001), Juz 16 hlm. 270
17
Program “Jawami’ al-Kalim” ver. 4,5 (Islamweb.net)
59

2. Manhaj Yahya bin Ma’in dalam Jarh wa Ta’dil

Yahya bin Ma’in termasuk kelompok kritikus yang ketat

(mutasyaddid), dalam bukunya Zikru Man Yu’tamad Qouluhu fi al-Jarh

wa al-Ta’di>l, al-Dzahabi menyebut dengan "‫ ﻣﺘ ﺒّﺖ ا ﻌﺪﻳﻞ‬, ‫"ﻣﺘﻌﻨﺖ ا ﺮح‬18.

Yahya bin Ma’in menggunakan penilaian dengan kriteria lebih ketat

dari ulama lain, sebagai contoh beliau menggunakan diksi “‫ ”ﻻﺑﺄس ﺑﻪ‬untuk

menilai rawi dengan standar “‫ ”ﺛﻘﺔ‬dan hal ini dikonfirmasi sendiri oleh

beliau.19

Penjelasan beberapa contoh lain dari pendapat Yahya bin Ma’in

seputar rawi antara lain :

 ‫ء‬ ‫ ﻟ ﺲ‬diksi ini bukan menunjukkan penilaian jarh yang

dilontarkan Yahya bin Ma’in terhadap rawi. Menurut Ibn Qathan

al-Fa>si maksud Yahya bin Ma’in bahwa rawi tersebut

meriwayatkan hadits yang sangat sedikit20.

 ‫ ﻻ ﺷﻴﺊ‬digunakan Yahya bin Ma’in untuk menggambarkan rawi

dhaif, diksi ini dimaknai beragam oleh beberapa ulama. Ibn Abi
Hatim memahami sama dengan ‫ﻟ ﺲ ﺑﺜﻘﺔ‬, al-Sa>jiy memahami ‫ﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ‬

, Abu Daud memahaminya ‫ﻻ اﺧﺮج ﺣﺪﻳﺜﻪ‬, Ibn Hibban memaknainya

dengan ‫ ر ﻤﺎ اﺧﻄﺄ‬dan lain sebagainya21.

18
Abdul Fatah Abu Ghuddah, Arba’u Rasa>il fi ‘Ulu>m al-Hadits (Alepo : maktabah
mathbuah islamiyah), hlm. 171
19
Muhammad Abdul Hayyi al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmi>l…., hlm. 221
20
Ibid., hlm. 212
21
Ibid., hlm. 213-215
60

 ‫ ﻳ ﺘﺐ ﺣﺪﻳﺜﻪ‬maksud dari diksi ini adalah bahwa rawi yang dimaksud

termasuk dalam rawi yang dhaif (‫)ﻣﻦ ﻠﺔ ا ﻀﻌﻔﺎء‬

 Setiap rawi yang tidak dikomentari oleh Yahya bin Ma’in dinilai

tsiqah.

B. Ibn Hibban dan Manhaj beliau dalam jarh wa ta’dil

1. Biografi Imam Ibn Hibban

Nama lengkap beliau adalah Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin

bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz bin Ma’bad bin Sa’id bin Syahid bin

Hudbah bin Murrah bin Sa’ad bin Yazid bin Murrah bin Zaid bin

Abdullah bin Da>rim bin Handhalah bin Ma>lik bin Zaid Mana>t bin Tami>m

bin Murri bin Addi bin Tha>bakhah bin Ilya>s bin Mudhor bin Nizar bin

Ma’ad bin ‘Adna>n al-Tamimi> al-Busti>22

Beliau hidup antara seperempat akhir abad ketiga hingga

pertengahan abad keempat hijriah23, tidak ditemukan catatan pasti tahun

kelahiran beliau, namun al-Dzahabi memperkirakan beliau lahir tahun 270

H24. Beliau lahir di kota Busti, salah satu kota antara kota Sijistan dan

kota Ghusnain dan wafat tahun 354 H.

Guru-guru beliau antara lain : al-Husain bin Idri>s al-Harawiy, Abu

Khalifah al-Juhi, Abu Abdurahman al-Nasai, Imran bin Musa, Hasan bin

22
Muhammad Abdullah Abu Sho’ilaik, al-Ima>m al-Ha>fidz Abu Ha>tim Muhammad bin
Hibba>n al-Busti Failusu>f al-Jarh wa al-Ta’dil, (Beirut : Da>r al-Qolam, 1995), hlm. 16
23
Ibid., hlm. 11
24
Ibid., hlm. 17
61

Sufyan, Abu Ya’la al-Maushili, Ahmad bin Hasan al-Shufi, Ja’far bin

Ahmad al-Damsiq, Abu Bakar bin Khuzaimah25.

Murid-murid beliau diantaranya : al-Hakim, Mansur bin Abdullah

al-Khalidiy, Abu Muadz Abdurahman bin Muhammad, Muhammad bin

Ahmad al-Zuzani26. Melalui program jawa>mi’ al-kalim, periwayatan Ibn

Hibban sebanyak 3401 hadits dan berada pada thabaqat ke-15.27

Dalam hal fikih, Ibn Hibban bermadzhab Syafi’i sebagaimana al-

‘Abbadi memasukkan beliau dalam kitab Thabaqa>t Syafi’iyah, namun

dalam hal tertentu Ibn Hibban memilih berbeda dengan Syafi’iyah ketika

beliau mempunyai dalil yang lebih kuat28.

Penilaian ulama atas Ibn Hibban antara lain :

 Abu Abdullah al-Hakim (w. 405 H) : Au’iyat al-Ilm, Imam al-

Hafid, Mushonnif al-Shahih

 Ibn Sholah (w. 643 H) : Rubama gholat fa>hisy, Lahu Auha>m

Katsirot

 Khatib Baghdadi (w. 463 H) : Tsiqah Nabi>l

 Al-Dzahabi (w. 748 H) : Aimmah Zamanihi, Ra’s fi> Ma’rifat al-

Hadits

2. Manhaj Ibn Hibban dalam jarh wa ta’dil.

Ibn Hajar memasukkan Ibn Hibban dalam kelompok kritikus yang

mutasahhil dalam mentsiqahkan rawi, pendapat ini juga diikuti oleh

25
Samsuddin al-Dzahabi, Tadzkirat al-Huffadh, juz 3 (Hyderabad : Dairatul Ma’arif al-
Osmania. 1985), hlm. 920
26
Ibid., hlm. 921
27
Program Jawami al-Kalim ver. 4,5 (Islamweb.net)
28
Muhammad Abdullah Abu Sho’ilaik, al-Ima>m al-Ha>fidz Abu Ha>tim Muhammad bin
Hibba>n al-Busti Failusu>f al-Jarh wa al-Ta’dil, (Beirut : Da>r al-Qolam, 1995), hlm. 30
62

Abdul Fattah Abu Ghuddah yang membenarkan bahwa Ibn Hibban mudah

memberi penilaian ta’dil dan ketat dalam menilai jarh29.

Kesimpulan Ibn Hajar dan ulama lain yang mengelompokkan Ibn

Hibban dalam golongan mutasahhili>n ketika menilai ta’dil rawi, karena

pendapat Ibn Hibban sebagaimana diterangkan dalam mukadimah

shahihnya bahwa “sifat dasar rawi itu adalah ‘adil, sedangkan sifat

tercelanya adalah hal yang asing” ‫اﻻﺻﻞ وا ﺮح ﻃﺎرئ‬ ‫ اﻟﻌﺪاﻟﺔ‬30.

Dari pendapat Ibn Hibban tersebut, diketahui bahwa beliau

memandang sifat dasar rawi adalah tsiqah dan adil, sehingga penilaian

dasar rawi adalah adil. Sedangkan sifat tercela (jarh) jika tidak diketahui

keadaanya dalam diri rawi yang dimaksud maka tertolak penilaian jarh-

nya.

‫ ﻓﻤﻦ ﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﺮح ﻓﻬﻮ ﻋﺪل إذا ﻢ‬،‫اﻟﻌﺪل ﻣﻦ ﻢ ﻳﻌﺮف ﻣﻨﻪ ا ﺮح ﺿﺪ ا ﻌﺪﻳﻞ‬


‫ و ﻧﻤﺎ ﻔﻮا‬،‫ﺿﺪه؛ إذ ﻢ ﻳ ﻠﻒ ا ﺎس ﻣﻦ ا ﺎس ﻣﻌﺮﻓﺔ ﻣﺎ ب ﻋﻨﻬﻢ‬ ‫ﻳ‬
‫ﻢ ﺑﺎﻟﻈﺎﻫﺮ ﻣﻦ اﻷﺷﻴﺎء ﻏ ا ﻐﻴﺐ ﻋﻨﻬﻢ‬ ‫ا‬

Dari keterangan diatas bisa disimpulkan bahwa kerangka yang

dibangun oleh Ibn Hibban dalam mentsiqahkan rawi adalah : ketika tidak

ditemukan hal yang tercela pada diri rawi, maka otomatis rawi tersebut

tsiqah karena adil itu menjadi sifat dasar manusia.

Dalam hal penilaian terhadap rawi majhu>l, pendapat Ibn Hibban

antara lain : majhul ‘ain terangkat jahalah-nya dengan adanya

29
Muhammad Thohir al-Jawabiy, al-Jarh wa al-Ta’di>l bayna al-Mutasyaddidi>n wa al-
Mutasahhili>n ( :Da>r al-‘Arabiyyah lil Kita>b,1997), hlm. 461
30
‫اﻻﺻﻞ وا ﺮح ﻃﺎرئ‬ ‫ اﻟﻌﺪاﻟﺔ‬seperti tercantum dalam mukadimah shahih Ibn Hibban
63

periwayatan dari seorang rawi yang masyhur31. Sedangkan majhu>l ha>l32

menjadi tsiqah ketika tidak ditemukan darinya hadits yang mungkar dan

diketahui bahwa guru-guru serta murid-muridnya tsiqah meski tidak

ditemukan penilaian jarh atau ta’dil atas rawi tersebut.

Dalam menulis kitab shahihnya, Ibn Hibban mensyaratkan 5 hal

dalam mengumpulkan hadits dari guru-gurunya yaitu : [1] ‘adil [2] jujur

dan masyhur dalam hadits, [3] cerdas dalam meriwayatkan hadits [4]

menguasai dan mengerti makna dari apa yang diriwayatkan [5] terbebas

dari tadlis33.

C. Ahmad bin Isa al-Mishri.

1. Biografi Ahmad bin Isa al-Mishri

Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Isa bin Hassa>n, Abu Abdullah

al-Mishri dan lebih dikenal al-Tustar. Detail biografi mengenai kehidupan

beliau nyaris tidak tercacat dalam kitab-kitab rijal, Informasi mengenai beliau

lebih banyak tentang catatan kualitas dan integritas (Jarh wa ta’dil) saja.

Khatib al-Baghda>di dalam bukunya Ta>rikh madi>nati al-sala>m

menginformasikan bahwa Ahmad bin ‘Isa bin Hassa>n (Abu Abdullah) al-

Mishri lebih dikenal dengan julukan al-Tustar karena beliau berdagang ke

31
Sebagaimana dikutip imam Ibn Hajjar al-Asqalani dalam mukadimah lisan al-miza>n,
fashl 5 mengenai manhaj Ibn Hibban dalam hal rawi majhul.
32
Rawi majhul dibagi dua yaitu : 1. majhul ‘ain : rawi yang diketahui namanya,
periwayatannya hanya diriwayatkan oleh seorang murid saja dan tidak ditemukan persaksian
tsiqahnya oleh para kritikus yang dipertimbangkan pendapatnya. 2. Majhul hal : mereka yang
telah diketahui majhul ‘ain nya namun tidak dinilai tsiqah dan tidak diketahui tingkat ‘adalah-
nya baik secara dhahir maupun batin.
‘ada>lah dhohir : sikap dhohir yang tampak dan dapat diamati manusia yakni tidak fasiq, tidak ada
sifat yang mengurangi wara’. Sedangkan yang dimaksud ‘adalah bathiniyah adalah hal-hal yang
tidak tampak dan hanya diketahui dari khabar yang dicantumkan dan ditetapkan oleh ulama Jarh
wa ta’dil (lihat ‘Imaduddin Muhamad Rasyid, Nadhriyat Naqd al-Rijal wa Makanatuha fi Dhou
al-Bahts al-Ilmiy., hlm 165)
33
Muhammad Abdullah Abu Sho’ilaik, al-Ima>m al-Ha>fidz Abu Ha>tim Muhammad bin
Hibba>n al-Busti Failusu>f al-Jarh wa al-Ta’dil (Beirut : Da>r al-Qolam, 1995), hlm. 127
64

daerah Tustar, dan singgah di Baghdad.34 Nama laqabnya adalah Ibn Abi

Mu>sa, nama kunniyahnya Abu Abdullah, nisbat beliau al-Tustar, al-Mishri>

dan al-‘Askari> dan masuk dalam thabaqat kesepuluh.35

Ahmad bin ‘Isa meriwayatkan hadits dari Mufadlal bin Fadla>lah al-

Mishri, Dzima>m bin Isma’il al-Ma’a>firi, Risydain bin Sa’ad al-Mahri,

Abdullah bin Wahb al-Qurasyi dan Azhar bin Sa’id al-Samma>ni. Hadist

beliau diriwayatkan oleh Abu Zur’ah, Abu Ha>tim dan Muhammad bin Ayyu>b

(ketiganya al-Ra>ziyu>n), Muslim bin Hajja>j al-Naisaburi, Muhammad bin

Isma’il al-Bukhari, Ismail bin Ishaq al-Qadhi, Hanbal bin Ishaq bin Hanbal,

Ibrahim al-Harbi, Abu Bakar bin Abi Dunya, Yusuf bin Ya’qub al-Qadhi,

Abdullah bin Ishaq al-Mada>ini serta Abdullah bin Muhammad al-Baghowi36,

Beliau wafat pada tahun 243 H.37

Berikut kami sertakan tabel guru dan muri dari Ahmad bin Isa al-

Mishri, untuk memudahkan penyajian data masing-masing guru maupun

murid beliau.

Tabel guru dari Ahmad bin Isa al-Mishri dan predikatnya38

Tempat Tahun Jml


Nama Predikat rawi
tinggal wafat periwayatan
Ayyub bin Muhammad al-Wazzan - 249 H Tsiqah 170
Mufadhdal bin Fadhalah Mesir 181 H Tsiqah 120
Basyar bin Bakar - 205 H Tsiqah 227
Rusydain bin Sa’ad Mesir 188 H Dhaif 303
‘Ubaidullah bin Abdullah Basrah - Maqbul 21
Abdullah bin Wahb al-Shan’aniy Shan’a - Maqbul 19

34
Khatib Baghda>di, Tari>kh Madinati al-Sala>m, ed Dr. Basya>r ‘Awwa>d Ma’ruf (Beirut:
Da>r al-Ghorb al-Islam, 2001), Juz 5, hlm. 450
35
Program Jawa>mi’ al-Kalim
36
Khatib Baghda>di, Tari>kh Madinati al-Sala>m, ed Dr. Basya>r ‘Awwa>d Ma’ruf (Beirut:
Da>r al-Ghorb al-Islam, 2001), Juz 5, hlm. 450
37
Ibid., hlm. 453
38
Program Jawami al-Kalim ver.4,5 (Islamweb.net)
65

Abdullah bin Wahb al-Qurasyi Mesir 197 H Tsiqah, Hafidh 2682


‘Amr bin al-Harits al-Anshari Mesir 149 H Tsiqah, Hafidh 624
Katsir bin Ubaid al-Hams Hams 247 H Tsiqah 201
Washil bin Abdul al-A’la Kufah 244 H Tsiqah 84
Ahmad bin Katsir al-Washiti - - Majhul Hal 16
Ibrahim bin Abi Hayyah al-Maki Makah - Muttahim dhaif 10
Khairan bin al-‘Alla> - - Maqbul 4
Dhimmam bin Isma’il Mesir 185 H Shaduq rubama 16
akhtha
Al-‘Iya>s bin al-Fadhl Basrah - Dhaif al-hadits 53
Ma’mal bin Abdurahman Basrah - Dhaif al-hadits 13
Yaghnam bin Salim Basrah - Muttahim dhaif 16

Tabel murid dari Ahmad bin Isa al-Mishri dan predikatnya39

Tempat Tahun Jml


Nama Predikat rawi
tinggal wafat periwayatan
Ahmad bin Ibrahim bin Katsir Baghdad 246 H Tsiqah Hafidh 436
Ahmad bin al-Azhar Naisabur 261 H Shaduq, 425
Hasanul hadits
Ahmad bin ‘Ali al-Umawi Damaskus 292 H Tsiqah, Hafidh 280
Ahmad bin Hanbal al-Syaibani Baghdad 241 H Tsiqah, Hafidh, 6177
Faqih, Hujjah
Ishaq bin Ibrahim bin ‘Iya>d - 285 H Shaduq, Hasan 1123
al-Hadits
Abdullah bin Ahmad al-Syaibani Baghdad 290 H Tsiqah, Hujjah 3693
Abdullah bin Abdurahman Makah 255 H Tsiqah, Fadhil 1519
Al-Darimi Mutqin, Hafidh
Umar bin Ayub al-Saqathi - 302 H Tsiqah 123
Umar bin Abi Mu’adz al-Tamiri - 262 H Tsiqah 772
Muhammad bin Isma’il al-Bukhari Bukhara 256 H Jabal al-Hafdh 3013
Imam al-Dunya
fi al-Hadits
Muslim bin Hajjaj al-Naisaburi 261 H Tsiqah, Imam, 2179
Hafidh
Ahmad bin Hasan al-Shufi Baghdad 306 Tsiqah 540
Ahmad bin Basyr bin Sa’ad 286 Tsiqah 58
Ahmad bin Syuaib al-Nasai Makah 303 Tsiqah, Tsubut, 3238
Hafidh
Abu Ya’la al-Maushili 307 Tsiqah, 4395
Ma’mun
Ahmad bin Muhammad al-Allaf 285 Shaduq, Hasan 7
al-Hadits
Muhammad bin Yazid bin Majjah 273 Shahib Sunan 2538
39
Program Jawami al-Kalim ver.4,5 (Islamweb.net)
66

Penelusuran menggunakan program jawa>mi’ al-kali>m diketahui bahwa

jumlah periwayatan Ahmad bin Isa sebanyak 256 marwiyya>t40, sedangkan

penilaian jarh wa ta’dil tentang beliau antara lain :

 Abu> Hatim al-Ra>ziy (w. 275 H) : takallam al-na>s fih

 Abu> Hatim bin Hibba>n al-Bustiy(w. 354 H) : dalam kitab al-tsiqat dinilai

mutqin

 Abu> Zur’ah al-Raziy (w. 375 H) : Asya>ra ila> Kaz}a>bihi

 Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i (w. 303 H) : Laisa bihi ba’sa

 Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) : Shadu>q takallam fi Ba’dhi Sima>’a>tih

 Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) : Ma> raitu liman takallam fih hujjah,

tu>jibu tarku al-ihtija>j bihadi>tsih

 Al-Z{ahabi (w.748 H) : takallam fih bila hujjah

 Yahya bin Ma’in (w. 233 H) : Kaz}z}ab>

Dalam shahih Bukhari, ada tiga hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad

bin Isa. Ketiga hadits tersebut ialah :pertama : hadits dari Ibn Wahb dari

‘Amr bin al-Harits dari Abi al-Aswad dari ‘Urwah dari Sayyidah ‘Aisyah ra

yaitu hadits 41
"‫ﺻ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﻟﻄﻮاف‬ ‫ء ﺑﺪأ ﺑﻪ ا‬ ‫ "أن اول‬dalam bab "‫ا ﻮﺿﻮء‬ ‫"ﻃﻮاف‬,

40
Program Jawami’ al-Kalim ver.4,5 (Islamweb.net)
ُ َ ُْ ََْ ْ َْ َْ َُ َ َ ْ ‫ﺧ َ َ َ ْﻤ ُﺮو ْ ُﻦ ا‬ ْ َ َْ ُ ْ ََ َ َ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ َ 41
‫ ﻧﻪ‬، ِ ‫ ْﻦ ﻤ ِﺪ ﺑ ْ ِﻦ ﺒ ِﺪ ا ﺮ ِﻦ ﺑ ِﻦ ﻧﻮﻓ ٍﻞ اﻟﻘﺮ‬،‫ﺎر ِث‬
َ
ِ ِ ‫ أ‬:‫ ﻗﺎل‬،‫ﺐ‬ ٍ ‫ ﺣﺪ ﻨﺎ ا ﻦ وﻫ‬، ‫ﺣﺪ ﻨﺎ أ ﺪ ﻦ ِﻋ‬
ُ ْ ْ َ َ ُ َ ََ ُ َ َ َ َ َََ َ ُ َ َ ََْ ُ َ ُ َ َ ْ‫ﺧ َ َ ﺗ‬ ْ ََ َْ َ ََ ْ َ ََ
‫ ﻢ‬،‫ﺖ‬ ِ ‫ ﻢ ﻃﺎف ِﺑﺎ َﻴ‬،‫ِﺸﺔ ر ِ َ اﷲ ﻨﻬﺎ أن أول ْ ٍء ﺑﺪأ ِﺑ ِﻪ ِﺣ ﻗ ِﺪم ﻧﻪ ﺗﻮﺿﺄ‬ ِ ‫ ﻗﺪ َﺣﺞ ا ِ ﻓﺄ‬:‫ ﻘﺎل‬، ِ َ ‫َﺳﺄل ُﻋ ْﺮ َوة ْ َﻦ ا ﺰ‬
ْ ُ ْ َ ُ َ َ ُ َ ُ ُ ً َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ ْ َْ ُ َ َََ َ َ َ َ ََ َُْ ُ َ ْ َ َُ َ ُ ً ْ ُ ْ ُ َ َْ
‫اﷲ ﻨﻪ ِﻣﺜﻞ‬ ِ ‫ ﻢ ﻤﺮ ر‬،‫ ﻢ ﻢ ﺗ ﻦ ﻤﺮة‬،‫ﺖ‬ ِ ‫ ﻢ ﺣﺞ أﺑﻮ ﺑ ٍﺮ ر ِ َ اﷲ ﻨﻪ ﻓ ن أول ْ ٍء ﺑﺪأ ِﺑ ِﻪ اﻟﻄﻮاف ِﺑﺎ ﻴ‬،‫ﻢ ﺗ ﻦ ﻤ َﺮة‬
ُ ُ َُْ َُ َ ُ ُ ًَْ ُ ْ ُ َ َْ ُ ْ ْ ُ َ َََ َ ُ َ َُُْ َ ُْ َ ُ َ ُ َُْ َ ُ َ َ
‫ ﻢ‬،‫اﷲ ْ ُﻦ َﻤ َﺮ‬ ِ ‫ﺎو ﺔ َو ﺒﺪ‬ ِ ‫ ﻢ ﻣﻌ‬،‫ ﻢ ﻢ ﺗ ﻦ ﻤﺮة‬،‫ﺖ‬ ِ ‫ ﻢ ﺣﺞ ﺜﻤﺎن ر ِ َ اﷲ ﻨﻪ ﻓ َﺮأ ﺘﻪ أول ْ ٍء ﺑﺪأ ِﺑ ِﻪ اﻟﻄﻮاف ِﺑﺎ َﻴ‬،‫ذ ِﻚ‬
َ ُ َْ َ َ َْْ َ َ َ ُْ ُ ََْ ُ ً َ ْ ُ ْ ُ َ َْ ُ ْ ْ ُ َ َََ َ َ َ َ ََ َْ ْ َْ َ ََ ُ ْ َ َ
‫ﺎر ﻔ َﻌﻠﻮن‬ ‫ﺎﺟ ِﺮ ﻦ واﻷﻧﺼ‬ِ ‫ ﻢ رأﻳﺖ ا ﻤﻬ‬،‫ ﻢ ﻢ ﺗ ﻦ ﻤﺮة‬،‫ﺖ‬ ِ ‫ﺣﺠﺠﺖ ﻣﻊ أ ِ ا ﺰ ِ ﺑ ِﻦ اﻟﻌﻮامِ ﻓ ن أول ْ ٍء ﺑﺪأ ﺑِ ِﻪ اﻟﻄﻮاف ﺑِﺎ َﻴ‬
ٌ َ َ ُ َ َُ ََ ُ َْ ُ َ َ ً ْ ُ ْ َُْ َ ُ ُ َ َ َ َ ُ ََْ ْ َ ُ ُ ً ْ ُ ْ ُ َ َْ ُ َ َ
‫ َوﻫﺬا ا ْ ُﻦ َﻤ َﺮ ِﻋﻨﺪﻫ ْﻢ ﻓﻼ َ ْﺴﺄ ﻮﻧﻪ َوﻻ أ َﺣﺪ ِ ﻤ ْﻦ‬،‫ ﻢ ْﻢ ﻨﻘﻀ َﻬﺎ ﻤ َﺮة‬،‫ﺖ َﻌﻞ ذ ِﻚ ا ْ ُﻦ َﻤ َﺮ‬ ‫آﺧﺮ ﻣﻦ رأﻳ‬ِ ‫ ﻢ‬،‫ ﻢ ﻢ ﺗ ﻦ ﻤ َﺮة‬،‫ذ ِﻚ‬
َ ََْ َ َ َ َْ َ َ َ َ ُ ُ ََْ ْ َ َ َ َ َ ُ ْ َْ ْ َُ ََْ ُ َ َ َ َ َ ََْ ُ َ َ َ َ
‫ﺎن‬ِ ‫ ﻻ ﺗ ﺘ ِﺪﺋ‬،‫ﺎن‬ ِ ‫ وﻗﺪ رأﻳﺖ أ وﺧﺎﻟ ِ ِﺣ ﻘﺪﻣ‬،‫ﺖ ﻢ ﻻ ِ ﻠﻮن‬ ِ ‫ﻣﺎ ﻧﻮا ﺒﺪ ُءون ِ ْ ٍء ﺣ ﻳﻀﻌﻮا أﻗﺪا ﻬﻢ ِﻣ َﻦ اﻟﻄ َﻮ‬
ِ ‫اف ِﺑﺎ ﻴ‬
67

Imam Bukhari menyertakan muttabi’ untuk hadits ini dari jalur sanad Asbagh

yang juga meriwayatkan dari Ibn Wahb42. Kedua : dari jalur sanad yang

mendekati sama namun ‘Urwah meriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar ra

dalam bab "‫ﻞ ا ﻌﺘﻤﺮ‬ ‫"ﻣ‬. Ketiga : hadits tentang "‫ "اﻫﻼل ﻣﻦ ذي ا ﻠﻴﻔﺔ‬dengan sanad

Ahmad bin Isa dari Ibn Wahb dari Yunus dari Ibn Syihab ibn dari Salim bin

Abdullah dari ayahnya Abdullah bin Umar, hadits ini disertakan muttabi’ dari

jalur Ibn Mubarak dari Yunus.43 Sedangkan imam Muslim menyertakan

beberapa hadits dari Ahmad bin Isa.

2. Penilaian Yahya bin Mai’in dan Ibn Hibban terhadap Ahmad bin Isa al-

Mishri

Dari data jarh wa ta’dil yang ditemukan terkait rawi Ahmad bin Isa

al-Mishri, jelas ditemukan diksi yang bertentangan antara penilaian

Yahya bin Ma’in dan Ibn Hibban yakni : [1] Penilaian Yahya bin Ma’in

terhadap Ahmad bin Isa adalah kaz\z\a>b. Bahkan Yahya bin Ma’in

memberikan sumpah saat menerangkan penilaiannya tersebut44. [2]

Penilaian Ibn Hibban terhadap Ahmad bin Isa al-Mishri atau ibn Tustar

sebagaimana tercantum dalam kitab al-Tsiqa>t adalah Mutqin 45.

Penilaian kontradiksi yang disematkan pada Ahmad bin Isa al-

Mishri tersebut patut diteliti dan dianalisis guna mendapatkan data serta

ْ ْ َ َْ ْ َُ َ ْ َ َ َ َ
ُ ‫ ﻓَﻠَﻤﺎ َ َﺴ‬،‫ﺧﺘُ َﻬﺎ َوا ﺰ َ ْ ُ َوﻓُ َﻼ ٌن َوﻓُ َﻼ ٌن ﺑ ُﻌ ْﻤ َﺮة‬ َ َ ُ َُ ُ َ ْ َْ ْ َ َ َ
‫ﺤﻮا‬ ٍ ِ ‫ َوﻗﺪ أﺧ َ َ ﺗ ِ أ‬،‫ ﻢ ﻻ ِ ﻼ ِن‬،‫ﺎن ِﺑ ِﻪ‬
‫ﻬﺎ أﻫﻠﺖ ِ وأ‬ ِ ‫ِ ْ ٍء أول ِﻣﻦ ا ﻴ ِﺖ ﻄﻮﻓ‬
ْ
" ‫ا ﺮ َﻦ َﺣﻠﻮا‬
42
Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Hadyu al-Sa>ri>y Muqaddimah Fathu al-Ba>riy,
ed Abdul Qadir Syaibah al-Hamd, (Riyadh : ), hlm. 406
43
Ibid.,
44
Khatib Baghdadi…, juz 5, hlm. 451
45
Muhammad Ibn Hibban, Kitab al-Tsiqa>t juz 8, hlm. 15
68

pendapat yang ra>jih untuk menentukan diterima atau tertolak

periwayatan beliau.

Sebagaimana diketahui bahwa keshahihan hadits meliputi

keshahihan sanad dan matan. Dalam hal keshahihan sanad, poin yang

wajib dikonfirmasi adalah : [1] sifat keadilan rawi meliputi integritas dan

kredibilitasnya, [2] tingkat kedhabitan rawi menyangkut kapabilitasnya

dalam hadits [3] ketersambungan sanad.

Anda mungkin juga menyukai