Anda di halaman 1dari 35

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

1. Definisi
a. Ruben dan Steward (1998): Komunikasi adalah proses penyampaian suatu
pesan (message) atau pernyataan (statement) oleh seseorang kepada orang
lain.

b. Harold Wesser: Proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk


(encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada
pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu. Komunikasi meliputi lima
unsur, yakni sebagai berikut.

i. Komunikator (Siapa yang mengatakan?)


ii. Pesan (Mengatakan apa?)
iii. Media (Melalui saluran/channel/media apa?)
iv. Komunikan (kepada siapa?)
v. Efek (dengan dampak/efek apa?)

c. Pawito dan Sardjono (1994): Komunikasi sebagai suatu proses dengan mana
suatu pesan dipindahkan (lewat suatu saluran) dari suatu sumber kepada
penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan,
sikap dan atau perilaku lainnya. Sekurang-kurangnya didapati 4 (empat) unsur
utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the source), pesan (the
message), saluran (the channel) dan penerima (the receiver)

d. Wilbur Schramm: Komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process):


Berkomunikasi, sebenarnya sedang berusaha menumbuhkan suatu
kebersamaan (commonness) dengan seseorang, berusaha berbagai informasi,
ide atau sikap. Suatu komunikasi akan benar-benar efektif apabila audiens
menerima pesan, pengertian dan lain-lain persis sama seperti apa yang
dikehendaki oleh penyampai.
e. Smith: Komunikasi antarmanusia merupakan suatu rangkaian proses yang
halus dan sederhana ... dengan berbagai unsur-sinyal, sandi, arti ... dapat
menggunakan beratus-ratus alat yang berbeda, baik kata maupun isyarat ...
baik berupa percakapan pribadi maupun melalui media massa dengan
audience ... ketika manusia berinteraksi saat itulah mereka berkomunikasi...
saat orang mengawasi orang lain, mereka melakukan melalui komunikasi.

f. Larry A Samovar, Richard E. Porter, dan Nemi C. Janin: Communication is


defined as a two way on going, behavior affecting process in which one person
(a source) intentionally encodes and transmits a message through a channel to
an intended audience (receiver) in order to induce a particular attitude or
behavior.

g. Charles Horton Cooley: Komunikasi itu merupakan mekanisme yang


menyebabkan adanya hubungan antar manusia, yang memungkinkan manusia
berkembang dengan simbol-simbol pikiran bersama-sama dengan alat- alat
untuk meneruskannya dalam ruang dan menyimpannya dalam dimensi waktu.

h. Joseph S. Roucek dan Roland L. Warren: Communication is the process of


transmitting facts, beliefs, attitudes, emotional reactions, or any other content
of awareness between human beings.

i. William Albig: Communication is the process of transmitting meaningful


symbols between individuals

j. Nimmo: Komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang


untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang
berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui
simbol-simbol.
2. Kategori Definisi Komunikasi

a. Komunikasi sebagai Tindakan Satu Arah

Penyampaian pesan searah dari seseorang (atau lembaga) kepada seseorang


(sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun
melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau
televisi. Pemahaman komunikasi sebagai proses searah sebenarnya kurang
sesuai bila diterapkan pada komunikasi tatap muka, namun tidak terlalu keliru
bila diterapkan pada komunikasi publik (pidato) yang tidak melibatkan tanya
jawab.

b. Komunikasi sebagai Interaksi

Komunikasi merupakan proses hubungan kausalitas. Komunikasi adalah


bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja
atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk pada bentuk komunikasi
verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.

c. Komunikasi sebagai Transaksi

Komunikasi adalah proses yang dinamis yang secara berkesinambungan


mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan ini,
maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang
secara aktif mengirimkan dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar
pesan verbal dan atau pesan nonverbal.
3. Lingkungan Komunikasi

Lingkungan (konteks) komunikasi setidaknya memiliki tiga dimensi, yaitu; dimensi


fisik, dimensi sosial-psikologis, dan dimensi temporal. Secara lebih mendalam,
DeVito menjelaskan ketiga konsep tersebut sebagai berikut.

a. Dimensi Fisik

Ruang, bangsal, atau taman tempat komunikasi itu berlangsung disebut


konteks atau lingkungan fisik. Yang dimaksud dengan konteks atau
lingkungan fisik; yakni adalah lingkungan nyata atau berwujud (tangible).
Lingkungan fisik, apapun bentuknya, mempunyai pengaruh tertentu atas
kandungan pesan kita (apa yang kita sampaikan ) selain juga bentuk pesan
(bagaimana kita menyampaikannya).

b. Dimensi Sosial-Psikologis

meliputi, tata hubungan status di antara mereka yang terlibat, peran dan
permainan yang dijalankan orang, serta aturan budaya: masyarakat di mana
mereka berkomunikasi. Lingkungan atau konteks ini juga mencakup rasa
persahabatan atau permusuhan, formalitas atau informalitas, serius atau
senda-gurau.

c. Dimensi Temporal (Waktu)

Faktor waktu (kondisi) mempengaruhi “ketepatan” dan kelancaran atas


terjadinya komunikasi. Dapat dibandingkan atau orang yang sibuk dengan
pekerjaannya pada pagi hari dengan orang-orang yang suka begadang pada
malam hari, yang di pagi harinya masih merasa loyo serta ingin
bermalas-malas.

4. Proses Komunikasi

Proses merupakan suatu kegiatan atau aktivitas secara terus-menerus yang dilakukan
dalam kurun waktu tertentu. Setiap langkah yang dimulai dari saat menciptakan
informasi sampai saat informasi itu dipahami, merupakan proses-proses di dalam
rangka proses komunikasi.
a. Proses Komunikasi secara Primer

Proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai
media primer dalam proses komunikasi adalah pesan verbal (bahasa), dan
pesan nonverbal (gestur, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya) yang
secara langsung dapat atau mampu menerjemahkan pikiran dan atau perasaan
komunikator kepada komunikan.

Prosesnya sebagai berikut, pertama-tama komunikator menyandi (encode)


pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Berarti komunikator
memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa)
yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian giliran
komunikan untuk menterjemahkan (decode) pesan dari komunikator.

Itu berarti ia menafsirkan simbol yang mengandung pikiran dan atau perasaan
komunikator tadi dalam konteks pengertiannya. Yang penting dalam proses
penyandian (coding) adalah komunikator dapat menyandi dan komunikan
dapat menerjemahkan sandi tersebut (terdapat kesamaan makna).

Dunia manusia adalah dunia simbol. Ketidakhadiran simbol, membuat


manusia tidak dapat berkembang seperti sekarang ini. Dalam perspektif Teori
Interaksionisme Simbolik ditegaskan bahwa ada dua hal penting yang
menandai kehidupan manusia, yaitu interaksi dan symbol. Interaksi itu
penting, karena dia menunjukkan kehidupan sosial, di mana orang saling
mengerti, saling menanggapi dan saling berkomunikasi. Binatang berinteraksi
dengan sesamanya dengan menggunakan naluri atau insting-nya, yaitu suatu
kemampuan yang dibawanya sejak lahir, tanpa perlu dipelajari.

Bahasa dapat dibayangkan sebagai kode, atau sistem simbol, yang kita
gunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal kita. Kita dapat mendefinisikan
bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialihkan dan terdiri atas
simbol-simbol yang cepat lenyap (rapidly fading), bermakna bebas (arbitrary)
serta dipancarkan secara kultural.

(Perbedaan lebih lanjut antara manusia dan hewan ada di PPT Konsep
Sosiologi Komunikasi.)
b. Proses Komunikasi secara Sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh


komunikator kepada komunikan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai
media kedua setelah memakai simbol sebagai media pertama. Media kedua
dipergunakan karena komunikan sebagai sasaran berada di tempat yang relatif
jauh atau berjumlah massal. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio,
televisi, film, dan sebagainya adalah media kedua yang sering digunakan
dalam komunikasi. Proses komunikasi secara sekunder itu menggunakan
media yang dapat diklasifikasikan sebagai media massa (surat kabar, televisi,
radio, dan sebagainya) dan media nirmassa (telepon, surat, megapon, dan
sebagainya).

5. Fungsi Komunikasi

a. Sebagai Komunikasi Sosial

Komunikasi penting untuk membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk


kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan
dan ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan
memupuk hubungan hubungan orang lain. Dengan komunikasi akan terbangun
kerja sama dengan anggota masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

i. Pembentukan Konsep Diri

George Herbert Mead mengistilahkan significant others (orang lain


yang sangat penting) untuk orang-orang di sekitar kita yang
mempunyai peranan penting dalam membentuk konsep diri kita. Selain
itu, terdapat reference group, yaitu kelompok yang secara emosional
mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri
kita. Pernyataan eksistensi diri. Orang berkomunikasi untuk
menunjukkan dirinya eksis. Inilah yang disebut aktualisasi diri atau
lebih tepat lagi pernyataan eksistensi diri.
b. Sebagai Komunikasi Ekspresif

Komunikasi berfungsi untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi) kita.


Perasaan-perasaan tersebut terutama dikomunikasikan melalui pesan-pesan
nonverbal. Perasaan sayang, peduli, rindu, simpati, gembira, sedih, takut,
prihatin, marah dan benci dapat disampaikan lewat kata-kata, namun bisa
disampaikan secara lebih ekspresif lewat perilaku nonverbal.

c. Sebagai Komunikasi Ritual

Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara sepanjang tahun dan


sepanjang hidup, yang disebut sebagai rites of passage, mulai dari upacara
kelahiran, sunatan, ulang tahun, pertunangan, siraman, pernikahan, dan
lain-lain.

d. Sebagai Komunikasi Instrumental

Komunikasi instrumental mempunyai beberapa tujuan umum, yaitu:


menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap, menggerakkan
tindakan, dan juga menghibur.

Berkenaan dengan fungsi komunikasi ini, terdapat beberapa pendapat dari para
ilmuwan yang bila dicermati saling melengkapi. Effendy (1994), berpendapat
bahwa fungsi komunikasi adalah menyampaikan informasi, mendidik,
menghibur, dan mempengaruhi. Di sisi lain, Harold D Lasswell menunjukkan
fungsi komunikasi sebagai berikut.

i. Penjagaan/pengawasan lingkungan (surveillance of the information)


yakni penyingkapan ancaman dan kesempatan yang mempengaruhi
nilai masyarakat.

ii. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyarakat


untuk menanggapi lingkungannya .

iii. Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya.


6. Simbol Komunikasi

Kata Kunci dalam Komunikasi adalah “simbol”. Pemaknaan yang sama terhadap
simbol menjadikan komunikasi dapat berlangsung dengan baik, tanpa ada
permasalahan. Simbol yang dimaksudkan merupakan simbol arbitrer atau simbol
konseptual.

7. Asumsi dalam Kajian Sosiologi Komunikasi

a. Kehidupan seseorang tidak berada dalam ruang hampa


b. Orang hidup dan berhubungan dengan realitas sosial, budaya, ekonomi,
politik, dan lain sebagainya.
c. Orang hidup di dunia yang telah ter-”setting”
d. Dunia penuh makna
e. Realitas yang terstruktur
f. Realitas sosial yang mempengaruhi komunikator

8. Lingkup Kajian Sosiologi Komunikasi

a. Siapa aktor (agen) komunikan


b. Dengan siapa aktor berkomunikasi
c. Pada situasi macam apa komunikasi dilakukan
d. Apakah struktur sosial (setting social) membuat perubahan pada cara, isi,
gaya, pilihan bahasa komunikator.
e. Apakah jika mengubah komunikator, kapan, tempat, dan dalam dalam bentuk
seperti apa perubahan itu terjadi
f. Bagaimana posisi dan peran teknologi komunikasi dalam proses perubahan
sosial
g. Mengapa (determinan faktor apa) yang menyebabkan komunikator, audiens,
dan masyarakat berubah
h. Sejauh mana (besaran) perubahan itu terjadi.

9. Konsep-Konsep Dasar Sosiologi Komunikasi

a. Interaksi Sosial (Social Interaction): Georg Simmel, Talcott Parson, Homans


Peter Blau, dan Levi Strauss
b. Definisi Situasi (Definition of Situation): Isac Thomas, Max Weber, Mac Iver,
Schutz, Anthony Giddens, dan Znaniecki
c. Pengambilan Peran Kelompok Referens (Role Taking and Reference Group):
Herbert Mead, W. G. Summer, Robert K. Merton, Erving Goffman
d. Kebudayaan (Symbol) dan Nilai (Value): Tylor, White, dan Kluckhohn
e. Sistem Status (Status System): Linton, Znaniecki, Merton, dan Hughes
f. Struktur dan Stratifikasi Sosial: Peter Blau, Robert K. Merton, Lewis Coser
g. Pembentukan Realitas secara Sosial: Peter L. Berger
h. Perubahan Sosial

10. Sejarah Komunikasi

11. Komunikasi Tatap Muka di Internet

a. Komunikasi berdasarkan Video dan Avatar

Internet digunakan untuk bekerja, bercakap-cakap dengan teman, bertemu


dengan orang-orang baru, berdiskusi isu penting, pendidikan, dan lain
sebagainya.

b. Komunikasi Interpersonal

Perbedaan komunikasi secara Computer Mediated Communication (CMC) dan


Face to Face Communication (FTF)

i. Komunikasi di internet lebih banyak berbasis komunikasi tekstual


daripada oral.

ii. Komunikasi di internet menggunakan bahasa yang penuh akronim,


pengubahan, huruf kapital, dan tanda baca, daripada gestur, ekspresi
muka, proksemik, dan intonasi suara.

iii. Komunikasi di internet banyak menggunakan saluran obrolan daripada


orang langsung.

iv. Komunikasi di internet banyak menggunakan emoji daripada reaksi


natural, spontan, dan ekspresif.
c. Kurangnya Komunikasi

Dalam melakukan konferensi video, sangat berbasis pada keyboard, kamera


video, dan mikrofon.

d. Konferensi Video secara Computer Mediated Communication (CMC)

Konferensi video secara Computer Mediated Communication (CMC


digunakan untuk pendidikan, medis, dan hukum. Konferensi video dinilai
paling efektif dibandingkan Face to Face Communication (FTF) dan
konferensi audio.

12. Video dan Emosi-Emosi

a. Video Mediated Communication (VMC) mirip dengan Face to Face


Communication (FTF)
b. Video Mediated Communication (VMC) - kompetitif simulasi interaksi -
saling berhadapan
c. Video Mediated Communication (VMC) tidak terdapat sensori (penciuman)
d. Video Mediated Communication (VMC) sama rasanya dengan kehadiran fisik

13. Pengaruh Kecemasan Sosial dalam Memproses Informasi Sosial melalui Video
Mediated Communication (VMC)

a. Hubungan antara internet dan perubahan sosial


b. Kecemasan sosial dan kesepian
c. Pesan instan, chat, email, phone mail, skype, jejaring sosial, situs
d. Unpresence

Banyak pengguna di internet yang tidak produktif, merasa bersalah, memiliki


keterampilan sosial rendah, anonim, dan membuat persona fiktif.
14. Menghadapi Masa Depan: Komunikasi Perasaan dan Kehadiran Orang Lain dalam
Era Video Mediated Communication (VMC)

a. Videophone

Perbedaan mendasar antara komunikasi tatap muka yang biasa kita lakukan
dan komunikasi tatap muka di masa depan adalah ketidakhadiran secara fisik.
Dalam konteks ini, interaksi visual, aktor dipisahkan oleh jarak dan
komunikasi dilakukan melalui webcam dan komputer atau telepon genggam.

b. Pentingnya Kehadiran

Dua aspek krusial dari kehadiran adalah (1) kesadaran satu sama lain dan
kapasitas untuk berhubungan dengan mereka, yang merupakan kehadiran
fisik; dan (2) makna sosial yang diberikan dari situasi yang terkait, yang
terkadang tetapi tidak harus dideskripsikan dalam term yang positif, yang
membutuhkan kehadiran sosial.

c. Akuntabilitas dan Mengurangi Kerentanan

Komunikasi yang memperlihatkan wajah membentuk identitas visual yang


dapat mereduksi emosi dalam berkomunikasi dan ketertutupan ketika partner
komunikasi kita adalah orang asing. Efek dari identitas visual adalah
kebutuhan untuk memperoleh identitas orang lain

15. Gestur Visual: Perwujudan dan Perilaku Non-Verbal dalam Computer Mediated
Communication (CMC)

Perilaku-perilaku nonverbal yang menghasilkan proses dan hasil komunikasi yang


tinggi secara berurutan adalah bahasa tubuh, postur, gestur, dan ekspresi wajah.

Perilaku non-verbal dalam Computer Mediated Communication (CMC) adalah


sebagai berikut.

a. Komunikasi Berbasis Teks


b. Isyarat Konteks Sosial
c. Anonim
d. Penyimpangan
e. Perilaku antisosial
16. Tahapan Fungsi Non-Verbal Behaviour (NVB)

a. Modelling
i. Mengamati gerakan

b. Discourse
i. Melambaikan tangan

c. Dialog
i. Kontak mata
ii. Anggukan kepala

d. Sosio-Emosional
i. Persepsi
ii. Evaluasi

Kritik dari penelitian Computer Mediated Communication (CMC): Komunikasi


berbasis teks tidak hanya menimbulkan pemiskinan emosional, tetapi memfasilitasi
perilaku antisosial dan menyimpang karena sifat individualismenya.

17. Politik Ekonomi Industri Media di Indonesia

a. Sejarah Media

i. Masa Kolonial

Surat kabar pertama kali mucul di Indonesia adalah Bataviasche


Nouvelles en Politique Raisonnementen pada tahun 1745. Surat khabar
pertama yang mucul tidak dalam bahasa Belanda tetapi dalam bahasa
Jawa dengan tulisan Hanacaraka yaitu Bromartani, yang terbit di Solo
pada tahun 1855. Selanjutnya, pada tahun 1903 mucul surat khabar
pertama berbahasa Indonesia dengan modal pribumi yaitu Sunda Berita
yang didirikan Tirto Adhi Surjo. Surat kabar ini bertahan sebentar lalu
mati. Tahun 1907, Tirtho Adi Surjo mendirikan lagi surat khabar
Medan Priyayi juga dengan modal pribumi dan ternyata sukses.
Semenjak 1920, surat-surat khabar yang ada semakin mempertegas
identitasnya sebagai surat khabar pergerakan. Tantangan yang dihadapi
pada masa kolonial-Belanda adalah, selain modal, pembatasan melalui
undang-undang pers yang memuat ketentuan tentang orang yang
melanggar ketertiban umum serta memperlihatkan dan menyebarkan
kebencian terhadap pemerintah kolonial.

Pada masa pendudukan Jepang (l942-l945) keadaan lebih


menguntungkan bagi pertumbuhan media massa nasional karena
beberapa hal. Pertama, ada kesempatan bagi para pekerja media untuk
memperdalam keahlian dan keterampilan yang diberikan oleh pihak
Jepang antara lain melalui program training untuk para jurnalis. Kedua,
media berbahasa Belanda dilarang terbit. Ketiga, bahasa Indonesia
menggantikan bahasa Belanda sebab pada saat itu bahasa Jepang
sendiri belum bisa dikuasai. Salah satu surat khabar yang lahir pada
masa Jepang adalah Indonesia Raya.

ii. Masa Orde Lama

1. Awal Kemerdekaan

Surat khabar yang mucul pada masa awal kemerdekaan antara


lain Merdeka (1 Oktober 1945) yang didirikan oleh B.M, Diah.
Ciri surat kabar pada masa ini dikenal sebagai surat khabar
perjuangan atau peres perjuangan. Pers ikut berjuang melalui
jalur diplomasi untuk mendapatkan pengakuan dunia atas
kemerdekaan negara Republik Indonesia.

2. Tahun 1950-an

Pada masa ini pertumbuhan pers mengalami perkembangan


pesat seperti cendawan. Peningkatan sirkulasi ini terjadi karena
beberapa faktor. Pertama, ada subsidi dari negara sehingga
jumlah yang dicetak menjadi lebih banyak; dan kedua karena
tehnologi percetakan yang lebih canggih.
3. Awal-Pertengahan Tahun 1960-an

Pada masa ini terjadi kompetisi tidak sehat di antara sejumlah


surat kanar dan majalah. Karena kalah bersaing, beberapa surat
kabar harus tutup. Ciri yang menonjol adalah bahwa banyak
surat kabar partai. Dengan kata lain, surat kabar menjadi
kendaraan atau corong politik dari partai yang ada pada saat itu.

iii. Masa Orde Baru

1. Group Kompas-Media

Harian pagi Kompas adalah surat kabar yang paling bergengsi


dan paling besar tingkat penjualannya, sedangkan pemasukan
dari iklan mencapai 26,8 % dari total iklan surat kabar nasional.
Kompas didirikan pada tahun 1965 oleh P.K. Oyong dan Yacob
Oetama. Hadirnya surat kabar ini dimaksud untuk mengisi
kekosongan karena banyaknya penutupan surat kabar baik yang
tidak sehaluan dengan soekarno dan komunis maupun
mendukungnya. Selain itu, misi yang ingin diemban oleh surat
kabar ini adalah menghadirkan “suara katolik” di tengah
hingar-bingar politik pada pertengahan tahun 1960-an.

Kompas identik dengan gaya penyajiannya yang substil dengan


kritik-kritiknya yang tidak langsung serta implisit, yang
dianggap tipikal dari kritik gaya Jawa. Kompas (pernah
diplesetkan sebagai Komando Pastur) sebagai bisnis induk di
bawah bendera Group Kompas-Gramedia melebarkan sayap
usahanya di berbagai bidang dengan total sekitar 38 bidang
usaha. Sejak tahun l989, Kompas juga merangkul beberapa
surat kabar daerah melalui suntikan dana dan kerjasama
manajerial dan editorial.
2. Group Sinar-Kasih

Berbeda dengan Kompas, gaya Sinar Harapan dalam


penyajiannya lebih terus-terang, dan kadang-kadang menantang
ketika berhadapan dengan berbagai kebijakan pemerintah. Pada
September 1986, Sinar Harapan terkena pembredelan
berdasarkan ketentuan baru SIUPP. Empat bulan kemudian,
surat kabar ini muncul kembali dengan nama baru Suara
Pembaruan.

Di kalangan persuratkabaran, Sinar Harapan adalah surat kabar


pertama yang merintis kerja sama dengan surat-surat kabar lain,
seperti kerja sama dengan Obor Pancasila (kemudian berganti
nama Cahaya Siang-Sulawesi Utara), Suara Indonesia (Jawa
Timur), Mingguan Suara Timor Timur. Hampir semua partner
ini ternyata kemudian berpaling dari Sinar Harapan dan
menjalin hubungan baru dengan media lain seperti Kompas,
Media Indonesia, dan Jawa Pos.

3. Group Tempo-Grafiti/ Jawa Pos

Majalah Mingguan Tempo didirikan pada tahun l971, hasil


kerja sama antara sekelompok wartawan muda yang kreatif
dengan sekelompok pengusaha (kapitalis). Tempo, majalah
yang meniru model Time Magazine, ini adalah suatu contoh
hasil perkawinan antara gagasan dan karya para pekerja Media
(wartawan) dengan modal dari para kapitalis. Sesuai dengan
mottonya: “enak dibaca dan perlu, Tempo menghadirkan suatu
jurnalisme yang ‘de-politicised’ tetapi sekaligus ‘non-party’.
Sasaran bidik yang menjadi pasar untuk Tempo adalah
pembaca kelas menengah yang hidup di kota, yang dinilai
sebagai orang-orang yang berminat terhadap persoalan politik
dan ekonomi tetapi tidak memiliki loyalitas yang kuat terhadap
partai.
4. Media Indonesia/ Surya Persindo Group

Media Indonesia berbeda dengan tiga pendahulunya. Apa yang


dilakukan oleh Surya Persindo Group merupakan contoh
tentang seorang pengusaha (Surya Paloh) yang tidak memiliki
pengalaman sebelumnya dalam jurnalisme tetapi berani
melakukan investasi dalam industri pers. Harian ini mulai terbit
pada tahun l985 dengan menggunakan jasa penerbit PT Agape
Press milik Sinar Harapan dan juga dengan bantuan beberapa
wartawan senior dari Sinar Harapan seperti Panda Nababan dan
Derek Manangka.

Seperti para “pemain” lainnya, Paloh dengan Surya Persindo


Grupnya juga melakukan diversifikasi dengan cara
menyuntikkan dana ke sejumlah Mingguan dan Harian di
daerah. Strategi pemasaran yang dilakukan Surya paloh
tergolong agresif bahkan cenderung kurang fair sehingga
mengundang protes dari sejumlah koran daerah. Sekedar
menyebut satu contoh, Paloh menutup Harian dan Mingguan di
daerah yaitu Aceh Post dan Peristiwa pada akhir tahun 1990
dan bersamaan dengan itu ia melempar koran Media Indonesia
di pasaran daerah Aceh dengan harga hanya Rp.100., sementara
di Jakarta di jual dengan harga Rp.300.
b. Konflik dalam Media

i. Konflik dalam Tempo

Dari segi internal, para wartawan muda ini menilai bahwa Tempo tidak
independen atau mandiri. Namun, sesungguhnya ada juga keinginan
mereka untuk mendirikan sebuah majalah baru. Tuntutan wartawan
terhadap kebebasan menulis dijawab oleh suatu kebebasan lain, yang
lebih kuat dan yang dapat menekan, yaitu kebebasan untuk menjual
keahlian mereka dalam transmisi pengetahuan kepada pihak lain.
Sosok yang menjawab tuntutan ini adalah Bank Panin sebagai pihak
penyedia dana bagi Editor sekaligus berperan memperlancar terjadinya
eksodus para wartawan ini dari majalah Tempo.

Kasus Tempo ini ditanggapi secara berbeda oleh Menteri tenaga Kerja,
Laksamana Soedomo. Menurut Soedomo, kasus ini terjadi karena
kegagalan dalam manajemen organisasi karyawan. Solusinya, menurut
beliau, para wartawan perlu membuat suatu organisasi buruh yang
mewadahi profesi kewartawanan.

Pertama, persoalan Tempo itu sesungguhnya tidak terletak pada


masalah serikat buruh, tetapi bagaimana mewujudkan regulasi yang
didasarkan pada ketentuan bahwa “jurnalis dan karyawan pers
memiliki sekurang-kurangnya 20% dari seluruh saham dalam sebuah
perusahaan setelah bekerja paling kurang 10 tahun dalam perusahaan
itu.” Kedua, ada perbedaan tajam antara sebuah organisasi buruh dan
sebuah organisasi profesional. Seorang wartawan itu bukan buruh,
pilihan yang masuk akal adalah menciptakan sebuah organisasi
profesional.

ii. Konflik dalam Kompas

Persoalan yang terjadi di Kompas sebetulnya berawal dari sebuah


kritik yang dilontarkan oleh Ashadi Siregar. Dalam pandangan Ashadi,
Jurnalisme di Indonesia meskipun dengan modal yang besar masih
mengidap semacam inferiority complex (mental rendah diri). Apa yang
dilontarkan Ashadi ternyata berhasil menerpa kesadaran sejumlah
wartawan termasuk di kalangan Kompas sendiri. Mereka seperti sadar
bahwa apa yang dilakukan wartawan hanya sekedar menemukan
pendapat atau opini orang lain, dan sang wartawan tidak ditantang
secara kreatif untuk mengungkapkan fakta.

iii. Konflik dalam Kartini

Hadirnya Femina memberi warna baru dalam media massa bagi


konsumsi segmen kaum wanita kalangan menengah ke atas.
Keberhasilan Femina mendorong Lukman Umar, agen distributor
Femina, untuk menerbitkan majalah baru Kartini dengan sasaran kaum
wanita kalangan menengah ke bawah. Ternyata usaha ini berhasil.
Keberhasilan ini menciptakan pula konflik menyangkut kapital antara
penerbit dan manajemen editornya, Titie Said. Konflik menjadi
semakin parah karena pihak penerbit melakukan intervensi atas kerja
jurnalistik.

Dari ketiga konflik diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, dari perdebatan itu akhirnya muncul suatu penegasan bahwa


wartawan itu bukan buruh tetapi profesional. Hakikat Industri surat kabar
menempatkan posisi wartawan dalam perangkap ganda. Di satu segi wartawan
harus bekerja sebagai buruh yang menjual keahliannya kepada kapitalis untuk
ditransformasi ke dalam keuntungan dan ditransformasi kembali ke dalam
kapital. Dengan cara ini, berarti hak wartawan untuk berpartisipasi dalam
kepemilikan ditiadakan, sebab wartawan dianggap sebagai seorang profesional
yang tidak memiliki kekuatan tawar-menawar dalam hubungan produksi.

Kedua, dilihat dari perspektif ekonomi politik, ketiga konflik tersebut di atas
justru menjadi konflik yang besar karena melibatkan intervensi negara
terutama melalui Deppen.

Ketiga, meskipun kasus-kasus yang muncul dalam ketiga konflik itu berbeda,
namun ketiga konflik itu mengungkapkan intervensi yang begitu luas dari
negara dalam industri media, dan hakikat dari intervensi itu pada dasarnya
bersifat manipulatif.
c. Bentuk-Bentuk Intervensi Negara dalam Media

i. Pembinaan Ideal

Pada 4 Desember 1949, terbit sebuah garis besar pedoman pembinaan


idiil pers. Isinya diambil dari pidato Menteri Penerangan. Antara lain
dikatakan bahwa kehidupan pers seharusnya tidak boleh dipisahkan
dari masyarakat.

Dokumen kedua yang memuat perihal pembinaan idiil bagi pers


dibahas dan dirumuskan tahun 1977. Kesepakatan di dalamnya adalah
Interaksi positif antara negara, pers, dan masyarakat. Terdapat
penolakan terhadap nilai-nilai Barat, Liberalisme dan Marxisme yang
dianggap dapat menciptakan persaingan kelas dan peniadaan terhadap
budaya harmoni.

Bentuk pembinaan idiil ini dengan konsep-konsep seperti harmoni,


hubungan positif, solidaritas, tanggung jawab sosial, dst. dapat
ditanggapi sebagai berikut.

Pertama, konsep ini jelas merupakan suatu bentuk intervensi negara


terhadap pers. Jika negara menghendaki peranan pers dalam
menunjukkan tanggung jawab terhadap masyarakat, pers dapat saja
mengungkapkan segala tindakan negara yang merugikan masyarakat.
Itu berarti pers akan berseberangan dengan negara.

Kedua, prinsip seperti harmoni, solidaritas, hubungan baik sebagai


pedoman bagi perilaku pers sebenarnya merupakan suatu keinginan
terselubung dari negara atau pemerintah agar pers Indonesia tidak
boleh bersuara keras mengkritik pemerintah. Demi sebuah harmoni
dan solidaritas atau hubungan baik, kritik menjadi barang yang tabu.
ii. Pembinaan Material: Kebijakan Politik-Ekonomi Kertas Koran

Ideologi itu tidak hanya mengacu pada seperangkat ide atau nilai-nilai,
tetapi mengacu juga pada proses realisasi atau materialisasi dari ide-ide
itu sendiri. Peran ideologis Departemen Penerangan selaku aparatur
negara terwujud dalam bentuk kebijakan politik ekonomi kertas koran.
Jika dilacak secara historis, kebijakan menyangkut kertas koran
sebenarnya mulai timbul sejak setahun sebelum penyerahan kedaulatan
RI pada tahun 1949. Karena faktor kelangkaan, Pemerintah kolonial
Belanda memutuskan untuk melarang penjualan kertas koran pada
pasar umum.

Kebijakan menyangkut kertas koran kemudian dilanjutkan pada masa


sesudahnya. Muncul keputusan dari Kementerian Kemakmuran yang
membatasi jumlah halaman surat khabar (hanya dua halaman),
pengurangan subsidi kertas koran, dan ketentuan impor kertas koran.

iii. Intervensi Melalui Bentuk Hubungan Khusus

Menurut Makarim, hubungan antara para personil media (wartawan)


dengan para pejabat pemerintah baik sipil maupun militer terkesan
dekat. Dari hubungan seperti itu, pihak media mendapat beberapa
keuntungan, seperti fasilitas dalam urusan birokrasi, fasilitas
perumahan, undangan dalam jamuan makan bersama, dan lain
sebagainya. Bentuk-bentuk hubungan ini dapat berakibat pada sikap
sebuah media yang menjadi tidak bebas dan kehilangan keberanian
untuk dalam soal pemberitaan yang menyangkut kepentingan para
pejabat negara. Ini menandakan bahwa hubungan seperti itu tentu tidak
selalu terjadi didasarkan pada ketulusan.
18. Komunikasi Massa

a. Asumsi Dasar Komunikasi Massa

Perkembangan zaman membuat manusia semakin kritis. Perkembangan


teknologi tidak bisa dan tidak boleh dihentikan. Informasi semakin mudah
diciptakan dan didapatkan karena perkembangan media massa yang
sedemikian pesat. Pesatnya perkembangan teknologi di bidang komunikasi
massa mau tak mau akan memberikan banyak efek yang dapat membuat
publik pintar dan bodoh secara bersamaan.

b. Fungsi Komunikasi Massa

i. Fungsi Pengawasan

Meliputi peringatan dan pengawasan instrumental.

ii. Fungsi Interpretasi


iii. Fungsi Hubungan
iv. Fungsi Sosialisasi
v. Fungsi Hiburan

c. Teori Difusi Informasi

Teori ini berasal dari sosiolog Everest M Roger, sebagai tokoh difusi. Difusi
adalah proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam
penyebaran informasi melalui ruang dan waktu, dari satu agen ke agen yang
lain. Salah satu saluran komunikasi yang penting adalah media massa, karena
itu model difusi mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang
berbeda-beda pada waktu yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu
sampai mempengaruhi adopsi atau rejeksi (penerimaan dan penolakan).

d. Teori Agenda Setting


19. Konstruksi Budaya Massa melalui Televisi

a. Latar Belakang

Kehadiran televisi yang masif dan berbau kapitalistik yang kental, secara
langsung maupun tidak telah berpengaruh pada perilaku dan pola pikir
masyarakat Indonesia. Apalagi dalam deretan media informasi, televisi
merupakan media yang memiliki penetrasi paling tinggi dibanding media
lainnya. Karena itu, banyak tudingan diarahkan pada televisi sebagai penyebab
maraknya gaya hidup konsumeristik-hedonistik. Sadar atau tidak, televisi kini
hadir di ruang belajar, kamar tidur dan ruang kerja, maka, media televisi
dengan sangat mudah menyebarkan pengaruh psikologis-nya untuk
mengendalikan pola pikir, emosi atau bahkan kebudayaan masyarakat.

b. Teori Budaya Massa dan Konstruksi Sosial

Dari pandangan Marxisme, budaya populer merupakan budaya yang


diproduksi oleh kelas buruh untuk dikonsumsi oleh kalangan rendah sebagai
sarana pemberontakan. Di sisi lain, budaya massa merupakan sebuah budaya
yang diproduksi oleh kaum borjuis (kapitalis) yang kemudian dikonsumsi oleh
masyarakat kelas bawah. Produk budaya dalam budaya massa merupakan
produk budaya dari kelas buruh dalam budaya populer yang diindustrialisasi
(diproduksi secara massal) oleh para kapitalis untuk dapat menghasilkan
keuntungan.

Konstruksi sosial merupakan suatu konsep bahwa suatu tatanan sosial


dibentuk dan dikendalikan oleh sesuatu dari luar masyarakat sosial tersebut.
Hal ini dapat menciptakan perubahan pola tingkah laku masyarakat hingga
perubahan pola nilai dalam masyarakat.

Menurut sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde, manusia itu pada dasarnya
individualistis. Berkat kemampuan untuk meniru (imitasi), mereka
membentuk jalinan interaksi sosial dan pada gilirannya tersusun kehidupan
sosial. Imitasi yang dilakukan atas suatu objek peniruan akan menghasilkan
kepribadian kedua yang mungkin berbeda dengan watak bawaan individu.
Manusia mengimitasi segala hal yang mungkin dapat ditiru. Proses imitasi ini
tidak bersifat serta-merta. Proses imitasi ini menghendaki tiga syarat, Syarat
pertama adalah adanya minat atau perhatian yang cukup besar terhadap apa
yang akan diimitasi. Kedua, adanya sikap menjunjung tinggi atau mengagumi
apa yang akan diimitasi. Ketiga, tergantung pada pengertian, tingkat
perkembangan, dan tingkat pengetahuan individu yang akan mengimitasi.

Ketiga persyaratan tersebut menunjukkan bahwa informasi atau pengetahuan


mengenai objek peniruan bersifat sentral. Semakin kaya informasi, maka
semakin mudah melakukan peniruan. Oleh karena itu, media massa dianggap
memiliki andil yang sangat besar dalam proses imitasi sosial ini. Televisi
sebagai media massa dianggap sebagai media yang memiliki penetrasi paling
tinggi dalam proses ini karena televisi menjadi media yang lengkap karena
dapat memunculkan informasi dalam bentuk audio dan visual sekaligus.

Pada era komunikasi digital, Konstruksi budaya terjadi akibat hadirnya banyak
informasi tersebut yang melakukan penetrasi terhadap nilai-nilai lama
kebudayaan. Masifnya penetrasi tersebut, kebudayaan lama tak mampu
membendung terjadinya konstruksi budaya baru dengan nilai-nilai baru
melalui media komunikasi yang ada.

Konstruksi budaya seperti ini memiliki dua kemungkinan, yaitu bersifat positif
dan negatif. Bersifat positif ketika konstruksi budaya itu dapat meruntuhkan
nilai-nilai lama yang memang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan
kontekstual zaman sekarang. Bersifat negatif ketika konstruksi budaya
tersebut malah menghancurkan nilai-nilai yang memang telah memiliki nilai
kebenaran dan kebaikan di masyarakat.
c. Televisi yang Mengkonstruksi Budaya Massa

Media di tengah-tengah masyarakat berfungsi sebagai komoditi sumber


informasi, yang mana masyarakat memiliki peran aktif dalam menentukan
media apa yang akan dikonsumsinya Hal ini sesuai dengan teori Uses and
Gratification oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Selain itu, Philip
Palmgreen melalui teori Expectancy-Value mengungkapkan bahwa media
tidaklah bebas nilai, melainkan masyarakat senantiasa mengharapkan nilai dari
media tersebut.

Adanya ketergantungan masyarakat akan informasi dari media massa dalam


rangka memenuhi kebutuhannya, mencapai tujuan tertentu, serta kondisi sosial
dari hubungan yang terjalin merupakan konsekuensi murni. Hal tersebut sesuai
dengan teori Dependency (Teori ketergantungan) oleh Sandra Ball-Rokeach
dan Melvin Defleur.

Ketergantungan tersebut berpotensi membuat media massa berperan dalam


membentuk karakter masyarakat. Dalam teori Agenda Setting yang
diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972), media akan
mempengaruhi khalayak untuk menganggap sesuatu penting dengan memberi
tekanan pada suatu peristiwa. Jadi apa yang dianggap penting media, maka
penting juga bagi masyarakat.

Televisi dapat dipandang sebagai hasil dari sebuah kebudayaan yang sudah
tidak asing dalam masyarakat. Televisi ini mempengaruhi aspek-aspek
kehidupan masyarakat yang termasuk budaya sehingga dengan mudah
diterima dan mempengaruhi masyarakat tersebut. Televisi sangat memiliki
daya tarik kuat yang disebabkan oleh unsur-unsur kata, musik dan sound effect
serta memiliki unsur visual yang dinamis.
Dalam model komunikasi dari Stuart Hall, sirkulasi makna dalam wacana
media televisi melewati tiga momen yang berbeda, yakni sebagai berikut.
Pertama, Para profesional media yang terlibat di dalamnya menentukan
bagaimana realitas sosial di-encoding dalam wacana. Kedua, Suatu pesan kini
terbuka bagi interpretasi. Ketiga, momen decoding yang dilakukan khalayak
(pemirsa). Seorang pemirsa tidak dihadapkan dengan realitas sosial, melainkan
dengan terjemahan diskursif realitas tersebut. Melalui sirkulasi wacana,
produksi menjadi reproduksi untuk menjadi produksi lagi.

Pemirsa disuguhkan oleh berbagai tanda yang muncul dari dalam televisi.
Prose penafsiran (encoding) dari tanda akan berbeda-beda pada setiap orang.
Hal tersebut diakibatkan perbedaan field of experience dan frame of reference.
Proses decoding memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
konstruksi budaya karena pemirsa menerima berbagai macam makna yang
kemudian ditafsir. Penafsiran ini merupakan sebuah proses seleksi yang
dilakukan oleh pemirsa. Jika sesuai, mungkin individu tersebut akan
menerimanya sebagai bagian dari pola hidup dirinya. Jika tidak, mungkin
individu tersebut akan melakukan penolakan atas tanda tersebut.
Kemungkinan lainnya, tanda yang muncul dari televisi merupakan sebuah
tanda yang belum pernah khalayak temui sebelumnya.

Televisi sebagai media menyebarkan nilai-nilai ke seluruh aspek sosial, seperti


konsep pembebasan dan nilai-nilai hedonis. Mengutip Marshall McLuhan,
medium adalah pesan itu sendiri. Medium itu sendiri adalah peristiwa, apa pun
isinya, entah sesuai atau subversif. Baudrillard mengidentifikasi bahwa pesan
yang sebenarnya bukanlah isi yang mengungkapkan suara dan gambar, tetapi
skema yang dikaitkan dengan esensi teknik media yang berupa transisi normal
dan diprogram berdasar pada abstraksi. Jadi, bukan dari isi wacana yang
mendorong konsumsi, tetapi melalui transisi sistematis. Transisi tersebut pada
ranah tanda, pesan yang menyamakan sejarah dengan berita sehari-hari,
peristiwa dengan tontonan, informasi, dan iklan. Sifat terbuka kebudayaan
telah membuka celah terjadinya sebuah konstruksi budaya melalui media
televisi.
Khalayak pemirsa tidak serta merta dapat langsung menerjemahkan
program-program yang ditayangkan televisi. Pemahaman yang terjadi
merupakan sebuah titik temu antara program dengan sekumpulan persepsi
yang ada serta penilaian yang telah ada sebelumnya dalam benak pemirsa.
Setiap representasi yang dihadirkan lewat program-program televisi
merupakan bagian kompleks dari representasi lainnya.

Menurut Fairclough (1995), representasi dalam teks media berfungsi secara


ideologis sepanjang representasi itu membantu mereproduksi hubungan sosial
berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi.

Menurut pandangan Marxis (Burton, 1999), media secara umum


merepresentasikan pandangan konservatif tentang isu-isu sosial dan
merepresentasikan berbagai kepentingan penguasa yang biasanya menolak
pandangan masyarakat awam.

Menurut teori feminis, Perspektif feminis fokus dengan bagaimana media dan
masyarakat mengonstruksi pandangan-pandangan tentang perempuan,
terutama pada berbagai implikasi bagi sosialisasi melalui gender.

Teori postmodernisme lebih fokus kepada berbagai ketertarikan dalam teks


daripada efek-efeknya yang mungkin terhadap masyarakat.

Menurut Burton (2000), Representasi dapat dipahami sebagai ideologi yang


memproduksi relasi sosial dalam dominasi dan eksploitasi. Ada beberapa hal
yang berkaitan dengan terbentuknya dominasi dan eksploitasi dari
representasi, yaitu stereotip, identitas, perbedaan, pengalamiahan, dan
ideologi.
20. Teori Komunikasi Massa

a. Komponen Komunikasi (Lasswell)

i. Who (Siapa/Komunikator/Control Studies)

Komponen komunikator (orang yang menyampaikan pesan) dalam


proses komunikasi massa adalah pekerja profesional yang mewakili
suatu lembaga, yayasan atau organisasi. Segala masalah yang berkaitan
dengan komunikator memerlukan analisis kontrol.

ii. Says What (Berkata Apa/Pesan/Analisis Pesan)

Unsur isi pernyataan umum atau pesan yang dapat berupa ide,
informasi, opini, sikap, pendapat, serta sangat erat kaitannya dengan
masalah analisis pesan.

iii. In Which Channel (Melalui Saluran Apa/Media/Analisis Media)

iv. Komponen media komunikasi massa atau saluran yang digunakan


untuk menyebarkan pesan. Penelitian terhadap media disebut analisis
media.

v. To Whom (Kepada Siapa/Penerima/Analisis Penerima)

Kepada siapa pernyataan atau pesan ditujukan. Masalah yang berkaitan


dengan penerima pesan diperlukan adanya analisis audiences.

vi. With What Effect (Dengan Efek Apa/Efek/Analisis Efek)

Komponen efek (hasil) yang dicapai dari usaha penyampaian


pernyataan umum itu pada sasaran yang dituju. Masalah yang
berkaitan dengan efek ini diperlukan analisis efek.
b. Teori-Teori Komunikasi Massa

i. Teori Langkah

1. Teori Satu langkah

Media -> Pemirsa/Pembaca/Pendengar

2. Teori Dua Langkah

Media -> Pembawa Pengaruh -> Masyarakat Umum

3. Teori Multi Langkah

Pemirsa/Pembaca/Pendengar <- Media -> Pemirsa/ Pembaca/


Pendengar

ii. Teori Difusi Inovasi

Teori ini difokuskan pada cara komunikasi (massa) bertujuan untuk


mempengaruhi orang untuk melaksanakan (mengadopsi) sesuatu yang
berbeda atau yang baru.

Difusi adalah penyebaran informasi baru dan inovasi di masyarakat.


Adopsi mengacu pada reaksi positif orang terhadap inovasi dan
pemanfaatannya.

1. Tiga Tahap Proses Inovasi (McEwen)

a. Tahap Akuisisi Informasi


b. Tahap Evaluasi Informasi

2. Tahap Adopsi Inovasi (Everett M. Rogers & Floyd G.


Shoemaker)

a. Pengetahuan
b. Persuasi
c. Keputusan
d. Konfirmasi
Teori difusi inovasi melibatkan adanya opinion leader -> pemuka
pendapat -> agen perubahan

Model Teori Difusi Inovasi

Model Difusi Inovasi

Anteseden (sejauh Variabel Media: Efek Difusi


mana media massa Jumlah waktu yang
atau saluran digunakan dalam
interpersonal berbagai media, jenis
mempengaruhi efek media
difusi ditentukan
oleh variabel dalam
model)

- Variabel - Terpaan media - Temporal


Penerima
- Penggunaan - Spasial
- Dimensi Inovasi: media
Faedah relatif, - Struktural
kontabilitas - Saluran
interpersonal - Fasal
(nilai),
kompleksitas

Lima Tipe Adopter dalam Populasi

1. Innovator

2. Adaptor Awal

3. Mayoritas Awal

4. Mayoritas Akhir

5. Kelompok yang Tertinggal

iii. Teori Kultivasi

Media, khususnya TV merupakan sarana utama pembelajaran tentang


masyarakat dan kulturnya.
iv. Teori Uses and Gratification

Teori ini merupakan pengembangan teori jarum hipodermik. Teori ini


tidak tertarik untuk membicarakan apa yang dilakukan media terhadap
masyarakat, tetapi apa yang dilakukan masyarakat terhadap media.
Masyarakat aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya.
Studi ini memusatkan pada penggunaan media (uses) media untuk
mendapatkan pemenuhan (gratification) individu atau masyarakat.

Katz, Blumler, Gurevitch (1974) menganggap masyarakat aktif, massa


mempunyai inisiatif, media massa harus bersaing dengan
sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhan, banyak tujuan
pemilihan media massa, dan terdapat penilaian tentang arti kultural
dari media massa (orientasi khalayak atau masyarakat).

c. Hambatan Komunikasi Massa

i. Hambatan Psikologis

Kepentingan (interest), prasangka, stereotip, dan motivasi.

ii. Hambatan Sosio-Kultural

Hambatan semantik (berkaitan dengan bahasa) dan hambatan tingkat


pendidikan.

iii. Hambatan Interaksi Verbal

Polarisasi, orientasi (internasional, regional, nasional, atau lokal),


statis, dan indiskriminasi.

iv. Hambatan Mekanis

Berhubungan dengan teknis komunikasi.

d. Pengaruh Komunikasi Massa

Terlihat pada perilaku individu dan masyarakat. Efek dari komunikasi dapat
mencangkup efek ekonomis, efek sosial, efek kegiatan sehari-hari, efek pada
penghilangan atau penyaluran perasan, dan efek perasaan terhadap media.
e. Efek Pesan Media

i. Efek Kognitif

Terkait dengan pemahaman.

ii. Efek Afektif

Sikap adalah predisposisi personal selektif (faktor personal individu


atau kelompok) yang mengakibatkan pengokohan sifat, perubahan
sikap, pendapat tentang masalah baru, akhirnya diperkuat.

iii. Efek Behavioral

Terkait dengan perilaku.

21. Komunikasi Massa

a. Definisi

Komunikasi massa: Proses Komunikasi yang dilakukan melalui medai massa


dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi
kepada khalayak sosial.

Komunikasi Massa menurut Joseph R. Dominick adalah suatu proses dalam


suatu organisasi yang kompleks dengan bantuan satu atau lebih mesin
memproduksi dan mengirimkan pesan kepada khalayak yang besar, heterogen
dan tersebar.

b. Sifat Komunikasi Massa

i. Sifat Komunikator

Bukan perorangan, hasil kerja institusi.

ii. Sifat Pesan

Untuk umum (universal) bukan untuk orang-orang tertentu. Akan


tetapi, realitanya agak sulit ditemukan kecuali klaim-klaim.
iii. Sifat Media Massa

Determinan faktor teknologi dan industri dalam hal jangkauan capaian


pesan yang lintas batas sasaran, teritorial, dan geografis.
Pelipatgandaan pesan, konstanitas, dan intensitas. Industrialisasi media
massa memungkinkan pesan diproduksi-reproduksi secara massal.

iv. Sifat Komunikan

Heterogenitas masyarakat dalam berbagai hal, seperti agama, suku,


kepercayaan, pendidikan, gaya hidup, dan lain sebagainya.

v. Sifat Efek

Umumnya memiliki tiga dampak, yakni sebagai berikut.

1. Kognitif (pengetahuan, pandangan, dan persepsi (definisi)


tentang sesuatu)

2. Afeksi (lebih senang, lebih marah, lebih penasaran, dan lain


sebagainya)

3. Konatif (keputusan final yang berbentuk ya atau tidak)

vi. Sifat Umpan Balik

Umpan balik (respons atau reaksi) komunikasi massa umumnya tidak


langsung, membutuhkan beberapa waktu.

Komunikasi massa diarahkan kepada massa yang berjumlah banyak, luas,


heterogen, dan anonim. Komunikasi yang dilakukan dalam periode tertentu
antara komunikator dan massa (khalayak) tidak secara face to face. Kemudian,
sasaran massa tidak eksklusif, melainkan beragam (heterogen), anonim, tidak
dikenal, bahkan tidak diketahui secara konkret oleh komunikator).
c. Konsekuensi Komunikasi Massa (Analisis Struktural Fungsional Robert K.
Merton)

Merton menyebut tentang manifest dan latent functions. Fungsi manifest


adalah suatu hasil sesuai dengan yang diinginkan atas dilakukannya aktivitas
tertentu. Fungsi Latent adalah hasil yang tidak sesuai dengan harapan.

Tidak semua konsekuensi dari suatu aktivitas memiliki nilai positif untuk
semua sistem sosial (masyarakat). Akibat dari konsekuensi dapat menjadi
fungsional dan disfungsional

d. Komunikasi Massa dan Komunikasi Interpersonal

i. Ciri Komunikasi Massa

1. Berlingkup umum, luas, anonim, impersonal


2. Selintas, dapat dikonsumsi dengan segera, sekali pakai, bukan
untuk diingat-ingat
3. Pesan ditujukan untuk massa
4. Menjangkau massa dengan waktu sesingkat mungkin
5. Simultan (serempak), superfisialitas (ketidakmendalaman), dan
cenderung sensasional
6. Komunikator hanya berperan di dalam suatu organisasi yang
kompleks.
ii. Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi serta


pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih di dalam suatu
kelompok manusia kecil dengan berbagai efek dan umpan balik
(feedback).

Fungsi komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut.

1. Mengenal diri sendiri dan orang lain


2. Komunikasi antarpribadi memungkinkan kita untuk
mengetahui lingkungan secara baik
3. Menciptakan dan memelihara hubungan baik antarpersonal
4. Mengubah sikap dan perilaku
5. Bermain dan mencari hiburan dengan berbagai kesenangan
pribadi
6. Membantu orang lain dalam menyelesaikan persoalan

e. Teori-Teori Komunikasi

i. Teori Perbedaan-Perbedaan Individu

Pengaruh dari paradigma psikologi sosial: 1) pendekatan psikologi


yang membahas perilaku seperti behaviorism , 2) pendekatan psikologi
sebagai metode eksperimental seperti psikoanalisa. Dalam teori ini
menekankan pengaruh media terhadap individu akan berbeda satu
sama lain (psikologi individu).

ii. Teori Penggolongan Sosial

Teori ini beranggapan bahwa terdapat kategori sosial yang luas dalam
masyarakat kota industri. Kategori sosial didasarkan pada usia, seks,
tingkat penghasilan, tingkat pendidikan, tempat tinggal (desa-kota),
ataupun agama. Asumsi dasar teori kategori sosial adalah teori
sosiologi. Yang berhubungan dengan kemajemukan masyarakat
modern, yang mana masyarakat memiliki kesamaan sifat-sifat tertentu
dan membentuk sikap yang sama dalam menghadapi rangsangan.
iii. Teori Hubungan Sosial

Teori ini menyatakan bahwa orang lebih banyak memperoleh pesan itu
melalui hubungan atau kontrak dengan orang lain daripada menerima
langsung dari media massa. Informasi bergerak dari media kepada
individu-individu yang relatif “well informed”, pada umumnya
memperoleh informasi langsung. informasi tersebut kemudian
bergerak melalui saluran komunikasi antarpribadi kepada
individu-individu yang kurang memiliki hubungan langsung dengan
media dan ketergantungan mereka akan informasi pada orang lain
sangat besar (Two Step-Flow Communication).

iv. Teori Norma-Norma Budaya

Teori ini melihat cara-cara media massa mempengaruhi sebagai suatu


produk budaya. Pesan-pesan komunikasi yang dapat memperkuat
pola-pola budayanya yang berlaku dan membimbing masyarakat untuk
mempercayai bahwa pola-pola tersebut masih tetap berlaku dan
dipatuhi oleh masyarakat. Media dapat menciptakan pola-pola budaya
baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang ada. Media
massa dapat mengubah norma-norma budaya yang berlaku dan dengan
cara sedemikian mengubah perilaku setiap individu dalam masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai