Anda di halaman 1dari 4

HAK DISABILITAS DALAM PEMILU

Tertuang pada Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2016 pasal 13 yang salah satunya berbunyi:
“memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum”. Dan
“memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum,
pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain”

Dikutip dari Kompas.com, Belajar dari Pemilu 2019 dan Pilkada 2020
Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PP-PDSKJI)
dalam pernyataannya pada 7 April 2019 mengatakan, jumlah pemilih ODGJ (orang dengan
gangguan jiwa) yang didaftar jauh lebih kecil dari prakiraan jumlah ODGJ di
Indonesia. PP-PDSKJI memperkirakan, lebih dari 3.500 orang dengan disabilitas mental
terdaftar dalam daftar pemilih tahun 2019. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan
perkiraan jumlah ODGJ yang mencapai lebih dari 500 ribu orang sesuai Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2018.
Menurut PP-PDSKJI, salah satu yang menyebabkan ketidaksesuaian data Riskesdas
dan jumlah pemilih ODGJ adalah masih adanya stigma terkait gangguan jiwa.
Berdasarkan data Perhimpunan Jiwa Sehat dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada
Pilkada Serentak 2020 yang dilaksanakan di 270 daerah (provinsi, kabupaten, dan kota),
sebaran panti-panti sosial ada di 63 daerah atau hanya 23 persen wilayah, yaitu 6 provinsi, 13
kota, dan 44 kabupaten yang memiliki panti, rumah sakit jiwa (RSJ), dan tempat rehabilitasi
mental. Ada setidaknya 101 panti/RSJ/tempat rehabilitasi mental yang ada di 63 daerah yang
mengadakan pilkada serentak. Sedangkan 207 daerah lainnya atau 77 persen tidak memiliki
panti, RSJ dan tempat rehabilitasi mental.
Menurut Yeni Rosa Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), ada sejumlah
masalah terkait keberadaan fasilitas panti-panti sosial disabilitas psikososial di Indonesia,
yakni kondisinya yang tertutup seperti penjara, penghuni terkurung di dalam dan tidak
bisa keluar masuk fasilitas. Damayanti menggunakan istilah disabilitas psikososial untuk
tidak menyebut gangguan jiwa atau tunagrahita. Rata-rata penyandang disabilitas psikososial
hidup dalam panti seperti ini selama bertahun-tahun. Masalah lainnya terkait kondisi Covid-
19. Pandemi menyebabkan sulitnya PJS untuk memantau pendaftaran, edukasi pemilih
maupun pelaksanaan pemilu/pilkada bagi pemilih disabilitas mental, terutama yang
berada di panti-panti sosial.
Dikatakan Yeni Rosa Damayanti, KPU dan KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) serta
Bawaslu (Badan Pengawas Pemiu), harus menjadi ujung tombak pelaksanaan pemilu yang
inklusif. Sedangkan potensi masalah saat pendaftaran pemilih yaitu KPUD masih memiliki
stigma terhadap penyandang disabilitas psikososial (PDP) sehinga tidak yakin PDP
berhak memilih dan enggan melakukan pendaftaran karena itu dibutuhkan surat
edaran KPU terkait hal ini. Persoalan lainnya yaitu adanya kepala panti menolak
memberikan izin pendaftaran. Terkait hal ini, dibutuhkan ketegasan penegakan hukum
bagi pihak-pihak yang menghalang-halangi warga negara untuk memilih. Persolan lain, saat
hendak didata, penghuni panti tidak memiliki identitas kependudukan. Karena itu, KPUD
mesti bekerja sama erat dengan Disdukcapil untuk memfasilitasi PDP memiliki identitas
kependudukan.

Menghilangkan diskriminasi regulasi


Sebelum tahun 2016, pemilih tunagrahita tidak diperbolehkan memilih atau didaftar
untuk memilih dalam pemilu. Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Nomor 8 Tahun 2015
menyatakan, “Pemilih yang terdaftar adalah yang tidak sedang terganggu
jiwa/ingatannya”. Peraturan diskriminatif itu kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi
(MK) untuk dilakukan uji materi. Adanya ketentuan dalam undang-undang pilkada itu jelas-
jelas telah membuat perlakuan yang berbeda kepada setiap warga negara yang seharusnya
mendapatkan perlakuan yang sama, khususnya untuk menjadi pemilih dalam pemilu.
Hal itu merupakan bentuk diskriminasi karena memperkuat stigma di masyarakat
bahwa penderita gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan dan tidak memiliki akal
sehat. Adanya stigma seperti ini justru akan merugikan penyandang disabilitas mental karena
berpotensi membuat mereka dijauhkan dari kehidupan sosial. Terhadap ketentuan undang-
undang yang diskriminatif tersebut, beberapa organisasi mengajukan judicial review ke MK.
Untuk meyakinkan MK mereka mengajukan beberapa ahli guna menjelaskan bahwa stigma
yang menyatakan bahwa orang dengan disabilitas mental tidak dapat memberikan pilihannya
dalam pemilu adalah keliru.
Ahli dalam permohonan tersebut menyebutkan bahwa gangguan jiwa bersifat
temporer. Jika orang tersebut mengonsumsi obat dan melakukan terapi maka hal tersebut
dapat diatasi. Permohonan uji materi itu diajukan pada 20 Oktober 2015 dengan pemohon
adalah Perhimpunan Jiwa Sehat, Perludem, dan PPUA. Atas upaya judicial review
tersebut, pada tanggal 27 September 2016, MK mengeluarkan Putusan Nomor
135/PUU-XIII/2015. Dalam putusannya, Majelis Hakim MK menyebutkan Pasal 57 ayat (3)
huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa
“terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau
gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah
menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”
Surat dari profesional bidang kesehatan jiwa harus menjadi dasar untuk
mengecualikan pendataan pemilih. Penyandang disabilitas mental atau tunagrahita yang
diberi surat dari profesional dikecualikan untuk didata sebagai pemilih lantaran dia
dinyatakan tak mampu menggunakan hak pilih. Terhadap judicial review tersebut, MK
berpendapat bahwa pendaftaran calon pemilih dan hak pilih adalah dua hal yang berbeda.
Pendaftaran pemilih adalah proses yang dilakukan untuk mendapatkan data mengenai warga
negara untuk mendapatkan hak pilih dan untuk memastikan bahwa warga negara yang
memiliki hak pilih telah dapat mempergunakan haknya pada saat pemilihan umum.
Untuk itu MK berpendapat bahwa syarat berupa terdaftar sebagai pemilih bukanlah
satu-satunya syarat untuk dapat mengikuti pemilu. Syarat terdaftar dalam daftar pemilih
adalah syarat alternatif atau pilihan. Jika warga negara sudah memiliki hak pilih tetapi
tidak terdaftar dalam daftar pemilih, yang bersangkutan tetap dapat menggunakan
hak pilihnya selama dapat menunjukkan KTP elektroniknya.
MK berpendapat bahwa: (1) hak untuk memilih dan hak untuk dipilih didaftar sebagai
pemilih dalam pemilihan umum adalah hak semua warga negara Indonesia yang memenuhi
syarat; (2) kegiatan pendaftaran pemilih adalah wilayah administratif yang tidak langsung
berkorelasi dengan terpenuhinya hak pilih; (3) gangguan jiwa dan gangguan ingatan adalah
dua kondisi yang berbeda meskipun keduanya secara kategoris beririsan; (4) tidak semua
orang yang sedang mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan akan kehilangan
kemampuan untuk menjadi pemilih dalam pemilihan umum; dan (5) ketiadaan
pedoman/kriteria dan ketiadaan lembaga/profesi yang tepat untuk melakukan analisis
kejiwaan terhadap calon pemilih, mengakibatkan ketentuan dalam Pasal 57 UU No 8 8/2015
sebagaimana diubah dalam UU No 10/2016 menimbulkan pelanggaran konstitusional.
Dari pendapat tersebut, MK memutuskan bahwa frasa “terganggu jiwa/ingatannya”
harus dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan
permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan
kemampuan sesorang untuk memilih dalam pemilihan umum”. Dengan putusan ini maka
hak pilih penyandang disabalitas mental dipulihkan kembali. Konsekuensinya undang-
undang dan peraturan KPU harus mengatur agar penyandang disabilitas mental
namanya bisa masuk dalam DPT agar mereka bisa menggunakan hak pilihnya.
Namun, Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan KPU No. 11/2018 masih mengatur bahwa
salah satu syarat pemilih adalah sedang tidak terganggu jiwa dan/ingatannya. Padahal, syarat
semacam sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. MK menyatakan, jika
terhadap penyandang disabilitas mental tidak ada surat keterangan dari ahli kejiwaan
setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan secara personal, bahwa seorang
penyandang disabilitas mental telah kehilangan kemampuan memilih di dalam pemilu,
penyandang disabilitas mental tersebut mesti didaftar sebagai pemilih, sepanjang yang
bersangkutan sudah memenuhi syarat sebagai pemilih (sudah 17 tahun atau
sudah/pernah kawin). Selain sudah ada putusan MK, dalam UU No. 7/2017 juga tidak ada
ketentuan tentang syarat bagi warga negara yang hendak didaftar sebagai pemilih tidak
sedang terganggu jiwa dan/atau ingatannya.
Selain bertentantangan dengan Putusan MK dan undang-undang pemilu, syarat ini akan
menjadikan proses pendaftaran pemilih menjadi diskriminatif. Upaya untuk menghilangkan
ketentuan tidak sedang terganggu jiwa dan/atau ingatan, diupayakan untuk menghadirkan
ruang dan kesempatan bagi warga negara yang tidak masuk ke dalam DPT, untuk bisa masuk
ke dalam daftar pemilih setelah perbaikan. Upaya mendorong KPU untuk melakukan
perubahan kebijakan yang sangat fundamental untuk melindungi hak pilih warga negara di
Pemilu 2019 dan Keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sudah berhasil
dilakukan. Dua isu penting yang diubah adalah dihapuskannya syarat sedang tidak terganggu
jiwa dan/atau ingatannya untuk bisa didaftar sebagai pemilih, dan adanya ruang DPT
perbaikan pasca penetapan DPT 15 Desember 2018 oleh KPU. Upaya advokasi itu juga
berhasil meyakinkan KPU untuk mengakomodir pemilih yang belum memiliki KTP-el, serta
pemilih yang memang belum masuk ke DPT tetapi sudah memenuhi syarat sebagai pemilih
(sudah 17 tahun atau sudah/pernah menikah) melalui penerbitan Peraturan KPU No
37/2018 yang mengubah Peraturan KPU No 11/2018 tentang Penyusunan Daftar
Pemilih di Dalam Negeri di Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Perubahan ketentuan dalam peraturan KPU tersebut tampak pada Pasal 35A ayat (4)
Peraturan KPU No 37/2018, yang mengatur “Perbaikan DPT sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan dengan cara: (a) mencoret pemilih yang tidak memenuhi syarat
sebagai pemilih; (b) melengkapi atau memperbaiki elemen daftar pemilih; dan/atau (c)
menambah pemilih baru. Namun dalam jangka panjang, tentu saja kekeliruan serupa tidak
boleh terjadi lagi di dalam tahapan pelaksanaan pemilu. Jelang Pemilu 2024, mesti ada
evaluasi menyeluruh terhadap peraturan tentang pendaftaran pemilih, peraturan dan
pelaksanaan sistem administrasi kependudukan, dan putusan-putusan pengadilan yang
telah memberikan jaminan dan batasan terhadap hak pilih warga negara, terutama
hak untuk memilih bagi pemilih tunagrahita.

Anda mungkin juga menyukai