Resume - Ringkasan - Uji UU Kejaksaan Sebagai Penyidik
Resume - Ringkasan - Uji UU Kejaksaan Sebagai Penyidik
I. Pemohon
1. Iwan Budi Santoso S.H.
2. Muhamad Zainal Arifin S.H.
3. Ardion Sitompul S.H.
Pasal 39 UU 31/1999:
“Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan,
penyidikan, dan penuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-
sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan
Militer”
3
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
4
Pasal 50 ayat (4) UU 30/2002 khusus frasa “dan/atau kejaksaan” dan
“atau kejaksaan”
Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera
dihentikan.
1. Bahwa penyidikan oleh Kejaksaan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas;
2. Bahwa berdasarkan sejarah hukum peraturan perundang-undangan terkait
dengan kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut:
5
) ) nya tidak (tidak dapat) dapat) dapat)
dapat, dapat
tetapi )
diberi
jangka
waktu
tertentu
untuk
ditinjau
kembali)
- UU UU UU UU UU UU UU
15/19 15/19 15/1961 5/199 5/1991 5/1991 16/2004
61 61 (dapat) 1 (tidak (tidak (Dapat
(dapat (dapat (tidak dapat) dapat) untuk
) ) dapat menamp
) ung UU
No.
31/1999
dan UU
No.
30/2002)
Peraturan UU UU UU UU UU UU UU
Penguasa No. 3/197 3/1971 3/197 31/1999 31/1999 31/1999
Perang 24 1 (dapat) 1 (ditafsirk (tidak jo UU
Pusat Kepala Prp (dapat (dapa an dapat dapat 20/2001
Staf Tahun ) t) karena karena (tidak
Angkatan 1960 ada Pasal 27 dapat)
Darat tanggal (dapat Pasal dicabut
16 April 1958 ) 26, 27 dengan UU
No. dan 39) Pasal 71 30/2002
Prt/Peperpu/ UU (tidak
013/ 1958 30/2002, dapat)
sedangk
6
an Pasal
39 UU
31/1999
dikaitka
n
dengan
asas lex
posterior
i derogat
legi
priori
tidak
berlaku
dengan
adanya
Pasal 42
UU
30/2002
)
Dapat Dapat Dapat Dapat Dapat Tidak Tidak
Dapat dapat dapat
3. Bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004,
memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan
tindak pidana tertentu asalkan di dalam undang-undang yang khusus tersebut
dinyatakan bahwa kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan
penyidikan. UU 31/1999 yang dirujuk oleh penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf
UU 16/2004 telah memberikan kewenangan penyidikan, nyatanya sudah tidak
memberikan kewenangan kepada Kejaksaan melakukan penyidikan tindak
pidana korupsi. UU 30/2002 juga tidak secara tegas menyatakan Kejaksaan
sebagai penyidik tindak pidana korupsi. Justru adanya UU 30/2002
mengakibatkan KPK sebagai koordinator penyidikan tindak pidana korupsi,
bukan lagi Jaksa Agung. Oleh karena itu, penegasan kewenangan penyidikan
7
oleh kejaksaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d
dengan mengargumentasikan bahwa kewenangan tersebut untuk
menampung UU 31/1999 dan UU 30/2002 adalah sesuatu yang mengada-
ada, manipulatif dan tidak berdasar, karena kedua UU tersebut (UU 31/1999
dan UU 30/2002) tidak memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana
korupsi kepada kejaksaan;
4. Bahwa kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
kejaksaan tidak mempunyai dasar hukum yang jelas, maka ketentuan pasal-
pasal yang diuji dalam perkara a quo bertentangan dengan prinsip negara
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
mensyaratkan adanya peraturan tertulis yang tegas terutama yang
menyangkut pemberian kewenangan kepada institusi penegak hukum;
5. Bahwa penyidikan oleh Kejaksaan melanggar prinsip negara hukum yang
mengakui adanya diferensiasi dalam penegakan hukum guna menjamin hak
asasi manusia;
6. Bahwa pembagian kekuasaan penyidikan dan penuntutan yang jelas dan
tegas antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam rangka due process of law
guna mencapai the integrated criminal justice system dalam sistem peradilan
di Indonesia sesungguhnya dibutuhkan semata-mata untuk menjamin hak
asasi warga negara;
7. Bahwa Kejaksaan yang memiliki ”Wewenang Rangkap/Ganda” yaitu
”Wewenang Penyidikan sekaligus Penuntutan” dalam proses hukum pidana
sebagaimana bersumber pada ketentuan-ketentuan undang-undang yang
diuji dalam perkara a quo, maka dapat dipastikan bahwa mekanisme check
and balances dalam proses hukum tersebut telah “terabaikan”, atau dengan
kata lain, ”wewenang rangkap/ganda” yang dimiliki Kejaksaan dimaksud
terlaksana tanpa kendali (uncontrol) dan tanpa pengawasan horizontal
maupun vertikal, sehingga sangat rentan dan potensial untuk terjadinya
“kesewenang-wenangan (arbitrary) dan ketidakadilan serta ketidakpastian
hukum (rechsonzekerheid)”. Bahwa tidak adanya check and balance dalam
penyidikan yang dilakukan kejaksaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 yang mengamanatkan “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum”.
8
VII. Petitum
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon;
Jika Majelis Hakim Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
11